Anda di halaman 1dari 13

STUDI LITERATUR APLIKASI KINETIKA REAKSI PEMBUATAN

BIODIESEL DARI MINYAK JELANTAH

Mashita1, dan Vika Seputri2


Jurusan PMIPA, Program Studi Pendidikan Kimia, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Jambi, Jl. Raya Jambi – Muaro Bulian KM. 15 Mendalo Indah Muaro Jambi,
Jambi, Indonesia.

ABSTRAK
Cadangan minyak mentah fosil terus menurun, yang pada akhirnya menyebabkan
berkurangnya ketersediaan bahan bakar minyak di Indonesia. Salah satu solusi untuk
mengatasi krisis bahan bakar fosil adalah dengan mencari energi alternatif berbasis bahan
terbarukan. Oleh karena itu, penggunaan sumber energi alternatif yang berasal dari
tumbuhan, seperti biodiesel harus dipertimbangkan. Namun biodiesel sebagai bahan bakar
alternatif memiliki banyak kekurangan. Minyak goreng bekas merupakan limbah terbesar
yang dapat diubah menjadi biofuel sebagai sumber energi alternatif terbarukan dengan proses
catalytic cracking. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan parameter kinetika reaksi orde
satu pembuatan biodiesel dari minyak jelantah melalui reaksi transesterifikasi dengan katalis
NaOH. Pada penelitian ini minyak kelapa bekas (jelantah) diproses melalui dua tahap reaksi
yaitu, reaksi esterifikasi dan reaksi transesterifikasi. Tahap esterifikasi dilakukan untuk
menurunkan kadar asam lemak bebas dalam minyak. Minyak diesterifikasi dengan methanol
dankatalisator H2SO4, dipanaskan pada suhu 60ºC dengan waktu 30 menit. Hasil reaksi
esterifikasi, direaksikan lagi dengan metanol dan katalisator KOH pada suhu kamar, reaksi
yang terjadi adalah reaksi transesterifikasi. Kinetika reaksi pembuatan biodiesel dari minyak
kelapa bekas (jelantah) dan metanol dengan katalisator KOH merupakan reaksi orde dua.
Dengan menggunakan 100 mL minyak dan 126,5 mL metanol dan 1,5 gram katalisator
bekerja pada suhu kamar dan tekanan atmosferis diperoleh hasil optimal yaitu konstanta
kecepatan reaksi ke kanan (k1) sebesar 3,49.10-4, konstanta kecepatan reaksi ke kiri (k2)
sebesar 1,89.10-4 dan nilai konstanta kesetimbangan reaksi (K) sebesar 1,85 dengan konversi
kesetimbangan sebesar 80,28 %.

1. Latar Belakang
Dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia diprediksi akan menghadapi krisis bahan
bakar karena stok minyak bumi yang semakin menipis. Keterbatasan sumber energi yang
terjadi di mana-mana dan terus berlanjut, pada akhir tahun 1970-an minyak nabati di
Eropa telah digunakan sebagai bahan bakar motor diesel menggantikan minyak solar.
Bahan bakar minyak bumi diperkirakan akan habis jika dieksploitasi secara terus-
menerus. Salah satu sumber energi yang dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif
adalah biodiesel (Hindryawati et al., 2014).
Biodiesel merupakan sumber bahan bakar alternatif pengganti solar yang terbuat dari
minyak tumbuhan atau lemak hewan, tidak mengandung sulfur dan tidak
beraroma,terutama di Jerman dan Austria, biodiesel diproduksi dari minyak rapeseed
(Swern, 1964). Pemanfatan minyak tumbuhan dan hewan sebagai bahan baku biodiesel
dirasakan mahal, karena pada umumnya minyak tumbuhan dan minyak hewan pada
umumnya digunakan sebagai bahan makanan, sehingga harus dipilih minyak tumbuhan
yang tidak digunakan sebagai bahan makan misalnya minyak jarak, minyak biji kapuk
dan sebagainya.
Biodiesel biasanya diperoleh melalui transesterifikasi minyak nabati dan hewani
dengan alkohol. Bisa juga dari minyak goreng bekas karenanya, tidak mengganggu
produksi minyak nabati untuk konsumsi manusia. Menggunakan limbah minyak goreng
meminimalkan pencemaran lingkungandan risiko kesehatan yang terkait dengan
penggunaan berulang. Biodiesel memiliki keunggulan dibandingkan minyak bumi, dapat
mengurangi emisi berbahaya seperti CO dan CO 2 dalam pembakaran bahan bakar ini
tidak menghasilkan emisi belerang (SO2) memiliki angka setana tinggi yang membuat
sifat penyalaannya menjadi sangat baik.
Biodiesel merupakan mono-alkil ester yang berasal dari asam lemak yang terbuat dari
minyak tumbuh-tumbuhan atau lemak hewan sehingga ramah lingkungan. Emisi gas
buang dari pembakaran biodiesel relatif lebih rendah dibandingkan emisi bahan bakar
konvensional. Jika diproduksi secara efisien, biodiesel bahkan mendekati netral karbon
(Janajreh et al., 2015).
Studi mengenai kinetika meliputi penentuan parameter-parameter yang dapat
digunakan untuk memprediksi hasil reaksi pada sembarang waktu dan kondisi tertentu.
Parameter-parameter itu meliputi konstanta laju reaksi dan energi aktivasi.
Di Indonesia, pemanfaatan minyak kelapa bekas (jelantah) masih kontraversial.
Sampai saat ini sebagian minyak kelapa bekas (jelantah) dari perusahaan besar dijual ke
pedagang kaki lima dan kemudian digunakan untuk menggoreng makanan dagangannya
dan sebagian lain dibuang begitu saja ke saluran pembuangan. Bila ditinjau dari
komposisi kimianya, minyak kelapa bekas (jelantah) mengandung senyawa-senyawa
yang bersifat karsinogenik, yang terjadi selama proses penggorengan.
Minyak jelantah mengandung asam lemak, sebagian besar asam palmitat (21,47%)
dan asam oleat (28,64%). Asam lemak ini dapat diubah menjadi bentuk lain yang
bernilai ekonomis agar tidak mencemari lingkungan menjadi bahan bakar biodiesel
dengan proses esterifikasi. Selain proses esterifikasi, minyak jelantah dapat diubah
menjadi biofuel melalui proses catalytic cracking menggunakan katalis dengan
selektivitas tinggi terhadap bahan bakar yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

2. Tinjauan Pustaka
Minyak atau asam lemak merupakan senyawa yang tidak larut dalam air dan
keduanya merupakan kondensasi dari satu molekul gliserol dan tiga molekul asam lemak
membentuk trigliserida (Swern, 1964). Minyak, lemak, steroid dan terpentin termasuk
golongan lipida dengan ikatan kimia yang terbentuk secara alami. Zat ini memang tidak
larut dalam air tetapi larut dalam pelarut organik nonpolar misal eter (Fessenden and
Fessenden, 1979). Gliserida dari asam jenuh dengan rantai panjang mempunyai titik
leleh yang lebih tinggi daripada yang terbuat dari asam jenuh dengan rantai pendek atau
tak jenuh.
Salah satu energi alternatif yang sedang dikembangkan baik di Indonesia maupun di
tempat lain adalah biofuel. Istilah biofuel mengacu pada padatan (bio-char), cairan
(ethanol dan biodiesel), atau gas (biogas, biohydrogen dan gas biosintetik) yang sebagian
besar dihasilkan dari biomassa.
Biofuel adalah salah satu sumber energi terbarukan tersebut. Biofuel memberikan
banyak keuntungan, yaitu keberlanjutan, pengurangan emisi gas rumah kaca, dan
keamanan pasokan. Biodiesel memiliki keunggulan dibandingkan minyak bumi, dapat
mengurangi emisi berbahaya seperti CO dan CO 2 dalam pembakaran bahan bakar ini
tidak menghasilkan emisi belerang (SO2) memiliki angka setana tinggi yang membuat
sifat penyalaannya menjadi sangat baik.
Istilah biofuel mengacu pada bahan bakar gas atau cair yang banyak digunakan dalam
transportasi yang terutama dihasilkan dari biomassa. Biodiesel dapat diproduksi dengan
berbagai metode, termasuk trans-esterifikasi dan perengkahan katalitik. Trans-
esterifikasi saat ini merupakan proses yang paling banyak diterapkan, karena proses
teknisnya yang sederhana dan efisien. Kelemahan dari metode ini adalah tingginya
kandungan gliserol yang akan dihasilkan selama proses trans-esterifikasi, yang harus
dihilangkan melalui proses ekstraksi yang mahal.
Biodiesel merupakan nama yang diberikan untuk bahan bakar yang terdiri dari mono-
alkyl ester yang dapat terbakar dengan bersih. Nama biodiesel telah disetujui oleh
Departemen of Energy (DOE), the Environmental Protection Agency (EPA) dan
American Society of Testing Material (ASTM) sebagai industri energi alternatif. Berasal
dari asam lemak yang sumbernya renewable limit, dikenal sebagai bahan bakar yang
ramah lingkungan dan menghasilkan emisi gas buang yang relatif lebih bersih
dibandingkan bahan bakar konvensional. Biodiesel tidak beracun, bebas dari belerang,
aplikasinya sederhana dan berbau harum.
Biodiesel dapat dibuat melalui reaksi transesterifikasi menggunakan alkohol dan
katalis basa. Metanol merupakan alkohol monohidrik yang berpotensi sebagai pemasok
gugus alkil dengan kelebihan memiliki reaktivitas paling tinggidan harga murah. Katalis
yang digunakan pada reaksi transesterifikasi adalah NaOH yang harganya murah.
Trigliserida + Alkohol → Biodiesel + Gliserol (1)
Hampir semua jenis masakan di Indonesia menggunakan minyak kelapa sawit,
sehingga permintaan minyak goreng setiap tahun meningkat. Sebagai contoh, pada tahun
2011 konsumsi minyak goreng di Indonesia sebesar 7,1 juta ton, namun pada tahun 2013
telah mencapai 8,5 juta ton. Oleh karena itu, jumlah minyak goreng bekas juga
meningkat. Minyak jelantah ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku produksi
biofuel. Minyak goreng bekas berasal dari minyak sawit mentah, yang terutama terdiri
dari trigliserida dengan senyawa hidro karbon rantai panjang. Minyak goreng bekas
merupakan limbah rumah tangga dan produk sampingan dari industri pengalengan. Oleh
karena itu, itu tidak dapat dimakan; dengan demikian, pemanfaatan minyak goreng bekas
tidak akan mempengaruhi persediaan pangan. Pemanasan minyak untuk waktu yang
lama dan pada suhu tinggi menyebabkan pembentukan senyawa polimer padat dan
meningkatkan kandungan asam lemak bebasnya. Akibatnya, minyak goreng bekas
biasanya berwarna gelap dan memiliki bau yang khas.
Minyak jelantah (waste cooking oil) merupakan limbah dan bila ditinjau dari
komposisi kimianya, minyak jelantah mengandung senyawa-senyawa yang bersifat
karsinogenik, yang terjadi selama proses penggorengan, jumlahnya sangat melimpah,
dan harganya sangat murah, disamping itu untuk mengurangi beredarnya jelantah yang
diproses ulang jadi minyak goreng kembali, seperti diketahui bahwa jelantah yang
dikonsumsi kembali setelah dipakai berulang-ulang (ditandai dengan warna coklat tua,
hitam, dan mengandung sekitar 400 senyawa kimia) akan mengoksidasi asam lemak
tidak jenuh membentuk gugus peroksida dan monomer siklik. Senyawa ini berpotensi
memicu penyakit kanker kolon, pembesaran hati, ginjal, dan gangguan jantung. Jika
anda dapat memperoleh jelantah yang beredar dimasyarakat untuk dibuat biodiesel,
maka secara tidak langsung anda juga menyelamatkan masyarakat dari bahan yang
beracun.
Minyak jelantah didefinisikan sebagai minyak nabati bekas yang diperoleh setelah
memasak makanan. Makanan yang digoreng berulang kali membuat minyak nabati tidak
layak lagi dikonsumsi manusia karena kandungan asam lemak bebas (FFA) yang tinggi.
Minyak goreng bekas ini dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan biofuel.
Minyak goreng bekas berasal dari minyak sawit mentah (CPO) yang sebagian besar
terdiri dari trigliserida dengan senyawa hidrokarbon rantai panjang. Minyak goreng
bekas merupakan limbah dari industri makanan dan rumah tangga yang sifatnya tidak
dapat dimakan, sehingga penggunaan minyak goreng bekas tidak akan mengganggu
kebutuhan pangan. Pemanasan minyak dalam waktu lama dan pada suhu tinggi
menyebabkan terbentuknya senyawa polimer padat dan peningkatan jumlah asam lemak
bebas. Ciri-ciri minyak goreng bekas adalah berwarna gelap dan memiliki bau yang
khas.
Minyak goreng bekas merupakan salah satu sumber ekonomis untuk produksi bahan
bakar nabati. Minyak goreng bekas mengandung air dan asam lemak bebas. Minyak
goreng bekas didefinisikan sebagai minyak nabati bekas yang diperoleh setelah
memasak makanan dan tidak layak pakai dan digunakan kembali dapat berbahaya bagi
kesehatan kita. Minyak goreng bekas mencemari lingkungan karena keberadaannya
dalam air dapat menghambat pertukaran oksigen dan merusak ekosistem. Penerapan
minyak goreng bekas sebagai bahan baku produksi biofuel dapat mengurangi
pencemaran air, mengurangi biaya produksi biofuel, pengurangan gas rumah kaca dan
meningkatkan nilai ekonomi minyak goreng bekas.
Minyak jelantah mengandung asam lemak, sebagian besar asam palmitat (21,47%)
dan asam oleat (28,64%). Asam lemak ini dapat diubah menjadi bentuk lain yang
bernilai ekonomis agar tidak mencemari lingkungan menjadi bahan bakar biodiesel
dengan proses esterifikasi. Selain proses esterifikasi, minyak jelantah dapat diubah
menjadi biofuel melalui proses catalytic cracking menggunakan katalis dengan
selektivitas tinggi terhadap bahan bakar yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Minyak jelantah (WCO), yang dihasilkan dari turunan minyak goreng, yaitu minyak
sawit minyak bunga matahari, minyak kedelai, minyak kelapa dll telah menjadi minat
dunia. Produksi biofuel merupakan salah satu proses yang optimal untuk memanfaatkan
limbah minyak dari segi efisiensi dan efektif secara ekonomi. Minyak jelantah
mengandung asam lemak, sebagian besar asam palmitat (21,47 %) dan asam oleat (28,64
%).
Methyl ester (biodiesel) dari minyak kelapa bekas (jelantah) dapat dihasilkan melalui
proses transesterifikasi, yaitu dengan cara mengeluarkan gliserin dari minyak dan
mereaksikan asam lemak bebasnya dengan alkohol (misalnya methanol) menjadi alkohol
ester (Fatty Acid Methyl Ester/FAME), atau biodiesel. Methanol lebih umum digunakan
untuk proses transesterifikasi karena harganya lebih murah dan lebih mudah untuk
direcovery. Transesterifikasi merupakan suatu reaksi kesetimbangan. Untuk mendorong
reaksi agar bergerak kekanan sehingga dihasilkan methyl ester (biodiesel) maka perlu
digunakan alkohol dalam jumlah berlebih atau salah satu produk yang dihasilkan harus
dipisahkan.
Dalam penelitian kinetika reaksi pembuatan biodiesel dari minyak kelapa bekas
(jelantah) perhitungan konversi dilakukan dengan menganalisis kadar gliserol dalam
hasil reaksi. Analisis gliserol dalam bahan dapat dilakukan dengan metode asetin
(Griffin,1958). Penelitian sejenis dengan dua tahap reaksi pernah dilakukan sebelumnya
menggunakan metode analisa Iodometri-Asam Periodat (Prasetyo & Winoto, 2006).
Kinetika Reaksi Orde Satu Model kinetika yang dipilih dalam penelitian didasarkan
pada asumsi bahwa transesterifikasi adalah reaksi orde satu dan merupakan fungsi dari
konsentrasi non-metil ester (NME) dan suhu reaksi. Komponen NME meliputi
trigliserida, digliserida, monogliserida, dan asam lemak bebas yang tidak bereaksi.
Kinetika reaksi dirunut mengacu pada Kusdiana dan Saka (2001):
𝑑 [𝑁𝑀𝐸 ]
𝐿𝑎𝑗𝑢 𝑟𝑒𝑎𝑘𝑠𝑖 = − = 𝑘 [𝑁𝑀𝐸]
𝑑𝑡
(3)
dimana [NME] adalah konsentrasi NME dan k adalah konstanta laju rekasi. Persamaan
(3) dapat ditulis :
𝑑 [𝑁𝑀𝐸 ]
− = 𝑘𝑑𝑡
[𝑁𝑀𝐸 ]
(4)
Kondisi batas untuk Persamaan (4) adalah konsentrasi NME pada t = 0 adalah [NME0]
dan pada t = t adalah [NMEt], dimana [NME0] > [NMEt]. Integrasi Persamaan (4) pada
batas-batas t = 0 hingga t dan [NME] = [NAE0] hingga [NME] = [NAEt] menghasilkan:
𝑵𝑴𝑬 𝒕
𝒅 [𝑵𝑴𝑬]
− ∫ = 𝒌 ∫ 𝒅𝒕
[𝑵𝑴𝑬]
𝑵𝑴𝑬฀ 𝟎

(5)
[𝑵𝑴𝑬฀]
− 𝒍𝒏 =𝒌𝒕
[𝑵𝑴𝑬˳]
(6)
atau
[𝑵𝑴𝑬฀]
− 𝒍𝒏 = −𝒌𝒕
[𝑵𝑴𝑬˳]
(7)
Banyaknya komponen NME pada waktu t adalah sama dengan NME pada t = 0
dikurangi biodiesel (BD) yang dihasilkan selama waktu t:
[𝑵𝑴𝑬฀] = [𝑵𝑴𝑬˳] − [𝑩𝑫฀]
(8)
Substitusi Persamaan (8) ke Persamaan (7) menghasilkan:
[𝑵𝑴𝑬˳]
𝒍𝒏 = −𝒌 𝒕
[𝑵𝑴𝑬˳]
(9)
atau
𝒍𝒏 (𝟏 − 𝑹𝒆𝒏𝒅𝒆𝒎𝒆𝒏) = −𝒌 𝒕
(10)
dimana Rendemen adalah [BDt]/[NME0]
Nilai konstanta laju reaksi k pada suatu suhu tertentu diperoleh dari ploting hubungan
antara t sebagai absis dan nilai negatif logaritma alam dari (1 – Rendemen) sebagai
ordinat. Nilai-nilai k pada suhu yang berbeda-beda digunakan untuk menentukan nilai
energi aktivasi (Ea) reaksi transesterifikasi dengan memanfaatkan persamaan Arrhenius:
𝒌 = 𝑨 𝒆𝒙𝒑 (−𝑬ₐ ⁄ 𝑹𝑻)
(11)
dengan A adalah konstanta frekuensi tumbukan, T adalah suhu mutlak, dan R adalah
konstanta gas universal (8.314 J/mol).

3. Metode Penelitian
Artikel ini disusun berdasarkan studi literatur untuk mengetahui metode yang sesuai
dalam aplikasi kinetika reaksi pembuatan biodiesel dari minyak jelantah, katalis yang
sesuai, serta untuk mengetahui pengaruh temperatur pemanasan dan reaksi pembuatan
biodiesel. Karya ilmiah ini disusun secara deskriptif kualitatif dengan beberapa sumber
berupa jurnal 10 tahun terakhir. Sehingga dapat mengkaji data-data serta pendekatan
teori dan dapat disimpulkan.
Pada penelitian ini reaksi pembuatan biodiesel dilakukan melalui dua tahap reaksi,
yaitu reaksi esterifikasi minyak kelapa bekas (jelantah) dengan metanol menggunakan
katalisator H2SO4 untuk menghilangkan asam lemak bebas, dan reaksi transesterifikasi
minyak kelapa bekas (jelantah) metanol menggunakan katalisator KOH (Prasetyo &
Winoto, 2006).

4. Hasil dan Pembahasan


Minyak kelapa bekas (jelantah) sebanyak 150 ml dimasukkan ke dalam labu leher tiga
kemudian ditambahkan H2SO4 pekat sebanyak 0,2 mL (0,25% berat minyak), kemudian
dipanaskan sampai suhu 60oC. Metanol sebanyak 185 mL dimasukkan ke erlenmeyer
yang telah dilengkapi pendingin balik, kemudian dipanaskan dengan kompor listrik
hingga mencapai titik didih. Selanjutnya metanol dimasukkan ke dalam reaktor
berpengaduk melalui saluran pendingin balik. Suhu dalam reaktor diusahakan tetap pada
60oC selama 30 menit. Setelah 30 menit, reaksi dihentikan kemudian hasil reaksi
dimasukkan ke dalam corong pisah dan didiamkan sampai mencapai suhu kamar
(dibiarkan selama satu malam). Hasil reaksi kemudian minyak hasil reaksi dicuci dengan
150 mL aquadest dalam gelas beker dengan magnetic stirrer selama 15 menit (dilakukan
dua kali pencucian). Setelah itu minyak dan aquadest dipisahkan dengan corong pisah,
minyak kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 100oC sampai berat konstan.
Langkah-langkah tersebut diulang selama beberapa kali sampai didapatkan minyak hasil
yang mencukupi untuk tahap reaksi transesterifikasi.
KOH pellet 0,9 gram dilarutkan dalam metanol yang berada di dalam gelas beker 600
ml diaduk dengan magnetic stirrer. 100 ml minyak dimasukkan ke dalam gelas beker
yang berisi metanol-KOH. Campuran diaduk dengan magnetic stirrer selama 15
menit,kemudian campuran didiamkan selama satu malam. Proses yang sama dilakukan
untuk berat katalis 0,9 gr dengan variasi waktu 30 menit, 45 menit, 60 menit, dan 75
menit. Campuran hasil reaksi dimasukkan ke dalam vacuum distillation untuk
memisahkan metanol. Setelah ester dan gliserol terbentuk menjadi 2 lapisan sempurna,
vacuum distillation dihentikan. Lapisan bawah berupa gliserol danlapisan atas berupa
ester dan sisa minyak, kemudian gliserol dipisahkan dengan corong pisah, gliserolnya
dianalisis sedangkan esterdan sisa minyak dicuci dengan aquadest dan 2 mL asam asetat
untuk memisahkan sisa katalis yang dimungkinkan masih ada dalam ester menggunakan
pengaduk mercury dengan kecepatan 500 rpm selama 15 menit pencucian dilakukan dua
kali. Setelah itu ester hasil pencucian dimasukkan ke dalam corong pisah. Biarkan
sebentar membentuk 2 lapisan, ester di atas dan air di bawah (dibuang). Ester
dimasukkan ke dalam beker gelas kemudian dipanaskan pada suhu 100oC selama 1 jam
untuk menguapkan sisa air yang masih ada setelah pencucian. Proses di atas diulang
dengan variasi berat katalis 1,1 gram, 1,3 gram, 1,5 gram dan 1,7 gram.
Komposisi ini sedikit berbeda dari komposisi minyak jelantah yang dilaporkan
Kheang et al. (2006). Hasil perhitungan menggunakan karakteristik minyak
menghasilkan massa molar trigliserida yang terdapat pada minyak jelantah adalah 857,3
g/mol. Oleh karena itu, reaksi menggunakan 100 ml minyak dan 18 ml metanol
memberikan rasio molar minyak terhadap metanol 1:4,19, tidak jauh berbeda dengan
yang diinginkan (1:4). Kandungan asam lemak bebas (FFA) cukup rendah (1.43%)
sehingga pembuatan biodiesel dapat dilakukan satu tahap melalui transesterifikasi
langsung hasil perhitungan rendemen biodiesel dan nilai [NMEt]/[NME0] pada berbagai
suhu dan waktu reaksi. Semakin lama waktu reaksi, maka semakin besar konversi yang
diperoleh karena kesempatan untuk bertumbukan antara zat pereaksi semakin besar
(Parhusip et al., 2012). Hasil penelitian juga menunjukan bahwa rendemen tertinggi
yakni 76.6% terjadi pada suhu 60 oC dan lama reaksi 60 menit. Kartika dan
Widyaningsih (2012) menyatakan bahwa hal ini mungkin terjadi karena pada suhu 60 oC
metanol telah mendekati titik didihnya sehingga intensitas tumbukan antar reaktan
meningkat. Selain itu, pada suhu yang tinggi minyak lebih encer sehingga reaksi menjadi
lebih mudah.
Konstanta laju reaksi (k) diperoleh dari plot tersebut yang merupakan gradien
persamaan garis linear yang mewakili tiap suhu reaksi. Terdapat kecenderungan bahwa
konstanta laju reaksi tranesterifikasi minyak jelantah meningkat terhadap suhu, yaitu k =
0.003/menit pada suhu 30oC, k = 0.008/menit pada suhu 40 dan 50oC, dan k =
0.010/menit (pada 60oC). Semua garis linear tidak memiliki intersep. Hal ini mungkin
terjadi karena selain NME dan biodiesel, di dalam minyak terdapat komponen lain
sehingga asumsi sebagaimana diberikan tidak terpenuhi.
Nilai energi aktivasi reaksi pembuatan biodiesel telah dilaporkan oleh beberapa
peneliti dengan nilai yang berbeda-beda. Nilai energi aktivasi yang dihasilkan dalam
penelitian ini berada pada kisaran nilai-nilai tersebut. Perbedaan energi aktivasi mungkin
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah jenis dan sifat minyak yang
digunakan, rasio molar minyak terhadap metanol, dan jenis katalis. Issariyakul and Dalai
(2012) menyatakan dua faktor yang mempengaruhi kinetika transesterifikasi, yaitu
jumlah senyawa jenuh yang mempengaruhi tahap konversi trigliserida dan distribusi
panjang rantai yang mempengaruhi tahap konversi monogliserida. Nilai parameter
kinetika yang dihasilkan dari penelitian ini digunakan untuk memprediksi rendemen
biodiesel pada lama reaksi t = 120 menit. Perbandingan antara rendemen biodiesel hasil
prediksi dan hasil eksperimen. Pada suhu rendah (30oC) hasil prediksi jauh lebih rendah
dibandingkan hasil eksperimen dengan penyimpangan mencapai 55%. Makin tinggi suhu
hasil prediksi makin mendekati hasil eksperimen dengan penyimpangan 19.5% pada
suhu 60oC.
Semakin banyaknya jumlah methanol yang dipakai dalam reaksi esterifikasi, maka
jumlah campuran reaksi akan semakin bertambah. Penggunaan methanol berlebih
merupakan hal biasa dalam proses pembuatan biodiesel.Semakin banyaknya jumlah
katalis asam sulfat yang dipakai dalam reaksi esterifikasi, maka jumlah campuran reaksi
akan semakin bertambah. Dengan semakin banyak jumlah asam sulfat yang dipakai
maka akan mempercepat reaksi yang terjadi. Hal ini disebabkan karena pada tahap
esterifikasi, katalis asam dapat dengan cepat mengkonversi asam lemak bebas. Sehingga
jumlah katalis asam sangat mempengaruhi kadar asam lemak bebas yang bereaksi
dengan methanol pada tahap esterifikasi.
Semakin banyaknya jumlah methanol yang dipakai dalam reaksi esterifikasi, maka
jumlah air akan semakin berkurang. Hal ini disebabkan karena semakin banyak banyak
bahan baku (minyak jelantah) yang telah terkonversi menjadi campuran reaksi. Sehingga
jumlah air yang dihasilkan pada tahap esterifikasi akan semakin berkurang. Semakin
banyak methanol yang digunakan pada tahap esterifikasi, maka semakin sedikit methyl
ester yang dihasilkan pada tahap transesterfikasi. Semakin banyak methanol yang
digunakan, maka semakin banyak pula excess methanol yang akan dihasilakan.
Semakin banyaknya jumlah katalis asam sulfat yang dipakai dalam reaksi esterifikasi,
maka jumlah air akan semakin berkurang. Hal ini disebabkan karena semakin banyak
banyak bahan baku (minyak jelantah) yang telah terkonversi menjadi campuran reaksi.
Sehingga jumlah air yang dihasilkan pada tahap esterifikasi akan semakin berkurang.
Semakin banyak katalis asam sulfat yang digunakan pada tahap esterifikasi, semakin
banyak pula methyl ester yang dihasilkan pada tahap transesterifikasi. Hal ini disebakan
karena asam sulfat berfungsiuntuk mempercepat laju reaksi sehingga dihasilkan methyl
ester yang lebih banyak.

5. Kesimpulan
Minyak jelantah (waste cooking oil) merupakan limbah dan bila ditinjau dari
komposisi kimianya, minyak jelantah mengandung senyawa-senyawa yang bersifat
karsinogenik, yang terjadi selama proses penggorengan, jumlahnya sangat melimpah,
dan harganya sangat murah. Hasil perhitungan menggunakan karakteristik minyak
menghasilkan massa molar trigliserida yang terdapat pada minyak jelantah adalah 857,3
g/mol. Oleh karena itu, reaksi menggunakan 100 ml minyak dan 18 ml metanol
memberikan rasio molar minyak terhadap metanol 1:4,19, tidak jauh berbeda dengan
yang diinginkan (1:4). Kandungan asam lemak bebas (FFA) cukup rendah (1.43%)
sehingga pembuatan biodiesel dapat dilakukan satu tahap melalui transesterifikasi
langsung hasil perhitungan rendemen biodiesel dan nilai [NMEt]/[NME0] pada berbagai
suhu dan waktu reaksi.
Semakin lama waktu reaksi, maka semakin besar konversi yang diperoleh karena
kesempatan untuk bertumbukan antara zat pereaksi semakin besar. Hasil penelitian juga
menunjukan bahwa rendemen tertinggi yakni 76,6% terjadi pada suhu 60oC dan lama
reaksi 60 menit. Pada suhu yang tinggi minyak lebih encer sehingga reaksi menjadi lebih
mudah. Terdapat kecenderungan bahwa konstanta laju reaksi tranesterifikasi minyak
jelantah meningkat terhadap suhu, yaitu k = 0.003/menit pada suhu 30 oC, k =
0.008/menit pada suhu 40 dan 50oC, dan k = 0.010/menit (pada 60oC). Pada suhu rendah
(30oC) hasil prediksi jauh lebih rendah dibandingkan hasil eksperimen dengan
penyimpangan mencapai 55%. Makin tinggi suhu hasil prediksi makin mendekati hasil
eksperimen dengan penyimpangan 19.5% pada suhu 60oC.
DAFTAR PUSTAKA

Agustian, E., Jessica, Untoro, P., Sulaswatty, A., 2018, Esterification of Waste Cooking
Oil Using Ultrasonic: Kinetic Study, J.Kim.Terap.Indones, Vol. 20, No. 2, e-
ISSN:2527-7669.
Alfernando, O., Sarip, R., Anggraini, T., Nazarudin. 2019. Catalytic Cracking of Methyl
Ester from Used Cooking Oil with Ni-Ion-Exchanged ZSM-5 Catalyst.
Makara Journal of Science, Vol. 23, No. 4.
Arita, S. Afrianto, I., dan Fitriana, Y., 2008. Produksi Biodiesel Dari Minyak Jelantah
Dengan Menggunakan Reaksi 2 Tahap (Esterifikasi Dan Transesterifikasi).
Jurnal Teknik Kimia. Vol. 15, No.4.
Arita, S., Nazarudin, N., Rahmiyati, L., Komariah, L, N., Alfernando, O., 2020,
Pyrolysis of empty fruit bunches to bio-oil using combination of ZSM-5 and
spent FCC catalysts, AIP Conference Proceedings,
https://doi.org/10.1063/5.0007866.
Arita, S., Nazarudin,N., Rosmawati, R., Komariah, L, N., Alfernando, O., The Effect of
Combined H-USY and ZSM-5 Catalyst in Catalytic Cracking of Waste
Cooking Oil to Produce Biofuel, AIP Conference Proceedings,
https://doi.org/10.1063/5.0007867.
Haryanto, A. Yozana, O., dan Triyono, S., 2017. Aplikasi Kinetika Reaksi Pembuatan
Biodiesel dari Minyak Jelantah Melalui Reaksi Transesterifikasi Basa. Jurnal
Keteknikan Pertanian, Vol. 5, No. 3. P-ISSN 2407-0475. E-ISSN 2338-8439.
McDaniel, M, P., 2010, A Review of the Phillips Supported Chromium Catalyst and Its
Commercial Use for Ethylene Polymerization, Advances in Catalysis, Volume
53, ISSN 0360-0564, DOI: 10.1016/S0360-0564(10)53003-7.
Nazarudin, Amalia, S, P., Afrida, Ulyarti, 2021. Thermal Pyrolysis of Used Lubricant
and Cooking Oil Mixtures, Jurnal Penelitian Pendidikan IPA, Vol. 7, No. 2.
Nazarudin, Jayanti, N., Alfernando, O., Prabasari. I. G., Ulyarti, Sarip, R., 2020,
Catalytic cracking of polyethylene terephthalate (PET) plastic waste and palm
fibre mixtures using Ni-USY zeolite catalyst, Journal of Physics: Conference
Series, doi:10.1088/1742-6596/1567/2/022034
Nazarudin, Prabasari, I, G., Ulyarti, Susilawati, Oktadio, A., 2020, Catalytic cracking of
used cooking oil using Chromium impregnated charcoal (Cr-charcoal)
catalyst, Journal of Physics: Conference Series, doi:10.1088/1742-
6596/1567/2/022021.
Nazarudin, Ulyarti, Alfernando, O., Fitri, S., 2020, Used cooking oil catalytic cracking
using Cr-charcoal ion-exchanged catalyst, doi:10.1088/1742-
6596/1567/2/022031.
Putra, Adhi, I, M, W., 2017, Production Of Biodiesel From Waste Cooking Oil By
Transesterification Reaction Using Cao/Natural Zeolite Catalysts, Cakra
Kimia (Indonesian E-Journal of Applied Chemistry), Vol. 5, No. 2.
Prabasari, I, G., Sarip, R., Rahmayani, S., Nazarudin. 2019. Catalytic Cracking of Used
Cooking Oil Using Cobalt-impregnated Carbon Catalysts. Makara Journal of
Science, Vol. 23, No. 3.
Rosmawati, Arita, S., Komariah, L, N., Nazarudin, Alfernando, O., 2019, The effect of
H-USY catalyst in catalytic cracking of waste cooking oil to produce biofuel,
Indonesian Journal of Fundamental and Applied Chemistry, Vol. 4, No. 2.
Yuniwati, M., dan Karim, A.A., 2009. Kinetika Reaksi Pembuatan Biodiesel Dari
Minyak Goreng Bekas (Jelantah) Dan Methanol Dengan Katalisator Koh,
Jurnal Teknologi. Vol. 2, No. 2.

Anda mungkin juga menyukai