Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan pangsa


mencapai sekitar 50-60 persen dari total volume produksi minyak sawit di dunia.
Dengan posisi tersebut, Indonesia berpeluang menjadi produsen terbesar dunia untuk
produk-produk hilir sawit. Satu dari tiga jalur industrialisasi hilir (hilirisasi) minyak
sawit yang dikembangkan di Indonesia adalah oleokimia.

Oleokimia merupakan substitusi dari senyawa kimia yang berasal dari turunan
energi fosil yang populer disebut sebagai petrokimia. Oleokimia sebagai biobased
chemical memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan petrokimia. Oleokimia
dapat diperbarui, dapat terurai secara biologis dan umumnya tidak mengandung
logam berat yang bersifat toksik sehingga lebih ramah lingkungan. Sebaliknya,
petrokimia tidak dapat diperbarui dan umumnya tidak dapat terurai secara biologis,
mengandung logam berat yang bersifat toxic sehingga dapat menimbulkan masalah
lingkungan

Salah satu dari produk yang dihasilkan dari sektor oleokimia di Indonesia
dalam jumlah yang sangat besar adalah Biodiesel. Biodiesel dihasilkan dari minyak
nabati dengan mengkonversi trigliserida menjadi metil ester melalui suatu proses
yang disebut transesterifikasi. Proses ini berjalan lambat, sehingga membutuhkan
katalis untuk mengurangi energi aktivasi, dan untuk selanjutnya mempercepat laju
reaksi. Umumnya, katalis yang digunakan yaitu KOH dan NaOH (Busyairi et al.,
2020).

Dalam kegiatan praktikum ini, praktikan akan membuat metil ester dari CPO
(Crude Palm Oil) dengan menggunakan metanol dan katalis basa. Metil ester
merupakan komponen utama dalam pembuatan biodiesel, yang terbentuk melalui
reaksi transesterifikasi. Transesterifikasi (alkoholisis) adalah pertukaran antara
alkohol dan suatu ester untuk membentuk ester lain dalam suatu proses yang serupa
dengan hidrolisis, namun dengan penggunaan alkohol sebagai pengganti air dan
menghasilkan gliserol sebagai produk samping.

1.2 Tujuan Praktikum

Adapun tujuan dari dilakukannya praktikum ini, yaitu:

1. Menentukan pengaruh waktu proses terhadap konversi reaksi transesterifikasi


asam lemak bebas yang terkandung di dalam CPO.
2. Menentukan pengaruh nisbah berat CPO/metanol terhadap konversi reaksi
transesterifikasi asam lemak bebas yang terkandung di dalam CPO.
3. Menentukan kadar KOH pada reaksi transesterifikasi.
4. Menentukan pengaruh nisbah CPO/metanol terhadap yield yang dihasilkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Crude Palm Oil (CPO)


Crude Palm Oil adalah salah satu hasil olahan dari kelapa sawit dengan rumus
kimia C3H5(COOR). Crude Palm Oil termasuk minyak nabati yang banyak
dikonsumsi oleh manusia. Minyak kelapa ini dihasilkan dari buah kelapa sawit,
umumnya spesies elaeis guineensis. Crude Palm Oil mengandung beta karoten tinggi
yang mengakibatkan warna merah pada CPO. Minyak sawit berbeda dengan minyak
inti kelapa sawit (palm kernel oil) atau inti buah kelapa (cocos nucifera). Bagian dari
kelapa sawit yang menghasilkan CPO adalah cangkang buah kelapa sawit yang
berserabut. Adapun anatomi buah kelapa sawit. Bagian buah kelapa sawit terdiri dari
perikarp dan biji. Perikrap tersusun atas epikarp dan mesokarp. Epikarp merupakan
kulit buah yang licin dan keras, sedangkan mesokarp adalah daging buah yang
berserat dan mengandung minyak dan sebagai penghasil CPO (de Almeida et al.,
2021).
Sedangkan pada biji tersusun oleh endokarp, endosperm, dan lembaga embrio.
Endokarp adalah tempurung kulit biji yang berwarna hitam dan keras, sedangkan
endosperm adalah daging biji yang berwarna putih dan dari bagian ini dihasilkan
minyak inti sawit. Seperti halnya lemak dan minyak lainnya, minyak kelapa sawit
terdiri atas trigliserida yang merupakan ester dari gliserol dengan tiga molekul asam
lemak. Komposisi trigliserida dalam minyak kelapa sawit ditampilkan pada Tabel 2.1
berikut,
Tabel 2.1 Kandungan Trigliserida pada CPO
Trigliserida Jumlah (%)
Tripalmitin 3-5
Dipalmito-Stearine 1-3
Oleo-Miristopalmitin 0-5
Oleo-dipalmitin 21-43
Oleo-Palmitostearine 10-11
Palmito-Diolein 32-48
Stearo-Diolein 0-6
Linoleo-Diolein 3-12
(Sumber: Ketaren, 1986)
Di Indonesia, banyak industri yang bergerak dalam bidang perkebunan kelapa
sawit. Dalam data Kementerian Perdagangan, Indonesia menjadi negara dengan
pengekspor minyak kelapa sawit ke negara-negara di Eropa dan India. Peningkatan
jumlah ekspor minyak kelapa sawit pada bulan Maret 2019 sebesar 2,78% juta ton
mengakibatkan peningkatan yang signifikan devisa negara pada bidang
perekonomian .Pada tahun 2014, data dari BPS menunjukkan bahwa kegiatan ekspor
kelapa sawit ke berbagai di Eropa mencapai 40.000 ton/tahun dan ke negara India
mencapai 70.000 ton/tahun (de Almeida et al., 2021).

2.2 Asam Lemak Bebas (ALB)

Asam lemak bebas diperoleh dari proses hidrolisa, yaitu penguraian lemak
atau trigliserida oleh molekul air yang menghasilkan gliserol dan asam lemak bebas.
Kerusakan minyak atau lemak dapat juga diakibatkan oleh proses oksidasi, yaitu
terjadinya kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak atau lemak, yang biasanya
dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida. Selanjutnya, terurainya
asam-asam lemak disertai dengan hidroperoksida menjadi aldehid dan keton serta
asam-asam lemak bebas. Asam lemak bebas yang dihasilkan oleh proses hidrolisa
dan oksidasi biasanya bergabung dengan lemak netral dan pada konsentrasi sampai
15%, belum menghasilkan rasa yang tidak disenangii. Lemak dengan kadar asam
lemak bebas lebih dari 1%, jika dicicipi akan terasa membentuk film pada permukaan
lidah dan tidak berbau tengik, namun intensitasnya tidak bertambah dengan
bertambahnya jumlah asam lemak bebas (Ketaren, 1986).
Penentuan asam lemak dapat dipergunakan untuk mengetahui kualitas dari
minyak atau lemak, hal ini dikarenakan bilangan asam dapat dipergunakan untuk
mengukur dan mengetahui jumlah asam lemak bebas dalam suatu bahan atau
sampel. Semakin besar angka asam maka dapat diartikan kandungan asam lemak
bebas dalam sampel semakin tinggi, besarnya asam lemak bebas yang terkandung
dalam sampel dapat diakibatkan dari proses hidrolisis ataupun karena proses
pengolahan yang kurang baik (Qiu et al., 2019).

2.3 Etanol

Etanol adalah senyawa alkohol yang juga disebut sebagai etil alkohol. Etanol
memiliki rumus kimia C2H5OH. Etanol merupakan senyawa alkohol yang berwarna
bening, mudah menguap, mudah terbakar, dan merupakan senyawa alkohol yang
paling banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam aplikasinya dalam
bidang kimia, etanol digunakan sebagai pelarut yang penting (Strohm, 2014).
Struktur molekul etanol ditampilkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Struktur Molekul Etanol (Strohm, 2014)


Etanol merupakan alkohol primer yang setiap karbonnya berikatan dengan
minimal dua atom hidrogen. Etanol merupakan senyawa kimia yang penting dan
banyak digunakan di seluruh dunia untuk berbagai macam kegunaan. Produksi etanol
dunia tercatat mencapai 13,5 miliar gallon pada 2005 (Lee et al., 2021).
a. Sifat Fisika Etanol
Etanol adalah senyawa alkohol yang juga disebut sebagai etil alkohol. Etanol
memiliki rumus kimia C2H5OH. Etanol merupakan senyawa alkohol yang berwarna
bening, mudah menguap, mudah terbakar, dan merupakan senyawa alkohol yang
paling banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam aplikasinya di bidang
kimia, etanol digunakan sebagai pelarut yang penting (Strohm, 2014). Sifat etanol
yang cukup dikenal adalah saat etanol dicampurkan dengan air volume etanol akan
menyusut dan saat dicampurkan dengan bensin, volume etanol akan meningkat. Sifat
fisika etanol ditampilkan pada Tabel 2.2.

Tabel 2. 2 Sifat Fisika Etanol


Parameter Nilai
Massa molekul relatif 46,07 gram/mol
Titik beku -114,1oC
Titik didih normal 78,32oC
Viskositas 1,19 mPa.s
Densitas 0,793 gram/L
Indeks Pembiasan 1,3604
(Sumber : Küüt, et al., 2018)

Produksi etanol dalam industri dilakukan dengan menggunakan bahan yang


mengandung sukrosa, pati, dan bahan yang mengandung ligniselulosa sebagai bahan
baku. Metode yang digunakan dibagi menjadi dua yaitu dry milling dan wet milling
(Küüt, et al., 2018).
b. Sifat Kimia Etanol
Etanol merupakan senyawa dengan gugus hidroksil dan bersifat polar. Sebagai
senyawa dengan gugus hidroksil etanol memiliki sifata kimia yang sama seperti
senyawa dengan gugus hidroksil lainya yang meliputi penamaan, reaksi dehidrasi,
dehidrogenasi, oksidasi, dan reaksi esterifikasi. Atom hidrogen dari gugus hidroksil
dapat diganti dengan logam aktif seperti sodium, potasium, dan kalsium untuk
membentuk logam etoksida. Gugus hidroksil dari etanol juga dapat diganti dengan
gugus halogen yang berasala dari senyawa asam halida anorganik atau dari fosfor
halida yang akan menghasilkan dua produk yaitu etil ester dan etil halida (Strohm,
2014). Sifat Kimia etanol ditampilkan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Sifat Kimia Etanol
Parameter Nilai
Rumus kimia C2H6O
Momen dipol 1,69
Berat molekul 46 gram/mol
Keasaman 15,9
Konstan dielektrik 25,7
LD50 7340 mg/m3 pada tikus melalui mulut
(Sumber: Othmer, 2004)

c. Penggunaan Etanol
Penggunaan etanol dibagai menjadi dua berdasakan jenis etanol yang
digunakan yaitu penggunaan etanol standar industri dan penggunaan etanol yang
berasal dari proses fermentasi. Penggunaan etanol standar industri meliputi sebagai
pelarut, intermediet dalam pembuatan senyawa kimia lain, dalam industri obat
obatan, dan minuman. Persentase penggunaan etanol dari keseluruhan produksi etanol
dai Amerika Serikat pada 2003 meliputi 60% sebagai pelarut dengan persentasi
industri yang menggunakan etanol sebagai pelarut meliputi 33% dalam industri
kosmetik; 30% dalam industri bahan pelapis dan tinta; 15% dalam industri deterjen
dan pembersih rumahan; 10% dalam industri pelarut dalam proses; 7% dalam industri
obat yang diaplikasikan pada kulit; dan 5% lainya digunakan dalam gabungan
industri lain (Othmer, 2004). Penggunaan etanol sebagai intermediet pembuatan
senyawa lain dalam industri memiliki persentase sebesar 40% dari total produksi
keseluruhan etanol di Amerika Serikat pada 2003 dengan pembagian persentase
industri yang menggunakan etanol sebagai intermediet untuk membuat senyawa lain
meliputi 27% etil akrilat; 25% cuka yang telah didistilasi; 13% dalam pembuatan
etilamin; 10% dalam pembuatan etil asetat; 8% dalam pembuatan eter glikol; dan
17% sebagai gabungan penggunaan etanol sebagai intermediet dalam industri
pembuatan senyawa lainya. Penggunaan etanol yang berasal dari hasil fermentasi
dibagai dengan persentase sebagai berikut 92% digunakan sebagai aditif bahan bakar
kendaraan bermotor untuk meningkatkan angka oktan bahan bakar kendaraan
bermotor, 4% sebagai pelarut industri, dan 4% dalam industri minuman beralkohol
(Wyman, 2004).
2.4 Metanol
Alkohol yang dipakai pada proses transesterifikasi yakni methanol dan etanol.
Metanol merupakan jenis alkohol yang paling disukai dalam pembuatan biodiesel
karena metanol (CH3OH) mempunyai keuntungan lebih mudah bereaksi / lebih stabil
dibandingkan dengan etanol (C2H5OH). Metanol memiliki satu ikatan karbon
sedangkan etanol memiliki dua ikatan karbon, sehingga methanol lebih mudah
memperoleh pemisahan gliserol. Sifat fisika dan kimia dari metanol ditampilkan pada
tabel 2.4

Tabel 2.4 Sifat Fisik dan Kimia Metanol


Karakteristik Nilai
Massa molar 32.04 g/mol
Wujud cairan tidak berwarna
Specific gravity 0.7918
Titik leleh –97 °C
Titik didih 64.7 °C
Kelarutan dalam sangat larut
Keasaman (pKa) ~ 15.5
(Sumber: Verhelst et al., 2019)

Metanol digunakan secara terbatas dalam mesin pembakaran, karena metanol


tidak mudah terbakar dibandingkan dengan bensin. Metanol campuran merupakan
bahan bakar dalam model radio kontrol. Ketika diproduksi dari kayu atau bahan
oganik lainnya, metanol organik tersebut merupakan bahan bakar terbarui yang dapat
menggantikan hidrokarbon. Metanol juga digunakan sebagai solven dan sebagai
antifreeze, serta fluida pencuci kaca depan mobil. Penggunaan metanol terbanyak
adalah sebagai bahan pembuat bahan kimia lainnya. Dalam beberapa pabrik
pengolahan air limbah, sejumlah kecil metanol digunakan ke air limbah sebagai
bahan makanan karbon untuk denitrifikasi bakteri, yang mengubah nitrat menjadi
nitrogen. Bahan bakar direct- methanol unik karena suhunya yang rendah dan
beroperasi pada tekanan atmosfer, ditambah lagi dengan penyimpanan dan
penanganan yang mudah dan aman membuat methanol dapat digunakan dalam
perlengkapan elektronik (Hermansyah, 2015).

Kerugian dari methanol adalah methanol merupakan zat beracun dan berbahaya
bagi kulit, mata, paru-paru dan pencernaan, serta dapat merusak plastik dan karet.
Salah satu kelemahan metanol sebagai bahan bakar adalah sifat korosi terhadap
beberapa logam, termasuk aluminium. Metanol berwarna bening seperti air, mudah
menguap, mudah terbakar dan mudah bercampur dengan air. Etanol lebih aman, tidak
beracun dan terbuat dari hasil pertanian, etanol memiliki sifat yang sama dengan
methanol yaitu berwarna bening seperti air, mudah menguap, mudah terbakar dan
mudah bercampur dengan air. Metanol dan etanol yang dapat digunakan hanya yang
12 murni 99%. Metanol memiliki massa jenis 0,7915 g/m3, sedangkan etanol
memiliki massa jenis 0,79 g/m3 (Hermansyah, 2015).

2.5 Indikator Fenolftalein (PP)

Indikator merupakan suatu senyawa kompleks yang dapat bereaksi dengan


asam maupun basa dengan adanya perubahan warna sesuai dengan konsentrasi ion
hidrogen melalui proses titrasi. Indikator yang digunakan pada titrasi basa kuat-asam
kuat biasanya berupa indikator sintetis, misalnya indikator fenolftalein (pp).
Fenolftalein adalah pewarna yang berperan sebagai indicator pH. Fenolftalein
adalah senyawa kimia dengan rumus molekul C18H14O4 dan sering ditulis sebagai
“Hln” atau “pp” dalam notasi singkat. Fenolftalein sering digunakan sebagai
indikator dalam titrasi asam-basa. Untuk aplikasi ini, senyawa ini berubah warna
dari tak berwarna dalam larutan asam menjadi merah muda dalam larutan basa.

Gambar 2.5 Struktur Fenolftalein (Saeidnia & Manayi,


2014)
Fenolftalein biasanya digunakan sebagai indikator keadaan suatu zat yang
bersifat lebih asam atau lebih basa. Prinsip perubahan warna ini digunakan dalam
metode titrasi. Fenolftalein cocok untuk digunakan sebagai indikator untuk
proses titrasi. Fenolftalein cocok digunakan untuk sebagai indicator untuk proses
titrasi HCl dan NaOH. Fenolftalein tidak akan berwarna kemerahan dalam zat yang
asam atau netral. Namun, akan berwarna kemerahan dalam zat yang basa. Tepat
pada titik pH dibawah 8,3 fenolftalein tidak berwarna, namun jika mulai melewati
8,3 maka warna merah muda yang semakin kemerahan akan muncul. Semakin basa
maka warna yang ditimbulkan akan semakin merah.
a. Sifat Fisika Fenoftalein
Menurut Fessenden & Fessenden (1992), ada beberapa sifat fisika
Fenolftalein yang ditampilkan pada tabel 2.3 berikut,
Sifat Fisika Fenolftalein
Tabel 2.5 Sifat Fisika Fenolftalein
Karakteristik Nilai
Berat molekul 318,32 g/mol
Rumus Kimia C18H14O4
Penampilan Serbuk Putih
Densitas 1,277 g/cm3 (32°C)
(Sumber: Fessenden & Fessenden, 1992)
b. Sifat Kimia Fenolftalein
Menurut Fessenden & Fessenden (1992), ada sifat kimia fenolftalein
yaitu sebagai berikut :
1. Sedikit larut dalam air dan dilarutakan dalam alkohol.
2. Bersifat asam lemah membebaskan H+.
3. Molekul ftalein tidak berwarna.
4. Ketika basa ditambahkan ke dalam fenoftalein, keseetimbangan
molekul bergeser ke kanan, menyebabkan ionisasi lebih banyak
karena pembebasan H+ sesuai prinsip Le’ Chatelier.
5. Pada kondisi asam sangat kuat, mengalami protonasi menghasilkan
warna jingga.
6. Pada kondisi asam kuat, berbentuk lakton yang tak berwarna.

2.6 Kalium Hidroksisa

Kalium hidroksida merupakan penamaan dalam bahasa Indonesia untuk


senyawa potassium hydroxide dan dikenal dengan nama lain seperti : caustic potash,
potassia, dan potassium hydrate. Kalium hidroksida merupakan senyawa anorganik
dengan rumus molekul KOH dimana unsur kalium (K+ ) mengikat sebuah gugus
hidroksil (OH- ) (Ramli, 2011). Kalium hidroksida merupakan basa yang memiliki
bahaya yang lebih kecil dibanding NaOH, dan dikenal dengan nama caustic potash.
Bahan ini umumnya digunakan pada industri pupuk, fotografi, farmasi, sabun dan
sebagainya. Reaksi yang terjadi umumnya seperti halnya NaOH, dan dikenal sebagai
basa yang korosif. Menurut Lide pada tahun 2005, sifat fisiknya ditampilkan pada
tabel 2.5 berikut,
Karakteristik’ Nilai

Densitas 2,12 mg/l


Berat Molekul 56,106 g/mol
Titik didih 1324oC
Titik leleh 410oC
Kelarutan dalam air Sangat larut
(Sumber: Lide, 2005)
Kalium hidroksida (KOH) merupakan senyawa anorganik basa kuat yang
juga termasuk dalam golongan heavy chemical industry. Heavy chemical merupakan
bahan kimia yang diproduksi dalam partai besar dan harga murah dengan industri
lain sebagai konsumen utamanya. Di pasaran, KOH biasa dijual dalam fasa padat
berbentuk flake dan juga fasa cair dengan konsentrasi sebesar 45 - 50%. Kalium
hidroksida cukup banyak digunakan oleh berbagai industri kimia proses seperti
pada industri pupuk, sabun, baterai alkaline, dan juga reagent. Kebutuhan
terhadap KOH semakin meningkat seiring dengan berkembangnya industri –
industri kimia proses tersebut.
Meningkatnya kebutuhan terhadap KOH dapat menjadi peluang yang
baik untuk mendirikan pabrik pembuatan KOH di Indonesia. Terlebih selama ini
pemenuhan terhadap KOH dilakukan dengan mengimpornya dari negara lain.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), peningkatan jumlah KOH yang
diimpor oleh Indonesia mencapai angka 12% dalam kurun waktu lima tahun
terakhir (2009 - 2013) dengan kebutuhan rata – rata sebesar 12.500 ton/tahun.
Sehingga, dengan didirikannya pabrik KOH diharapkan perindustrian di Indonesia
dapat semakin berkembang serta ketergantungan impor KOH dari negara lain dapat
ditekan
2.7 Transesterifikasi

Transesterifikasi adalah reaksi ester baru yang mengalami penukaran posisi


asam lemak (Swern, 1982). Proses transesterifikasi lebih disukai untuk memproduksi
biodiesel karena lebih efisien (Freedman et al., 1984). Transmetilasi berkatalis basa
berlangsung antara metanol dan trigliserida melalui pembentukan berturut-turut
digliserida dan monogliserida yang menghasilkan metil ester pada tiap tahapannya
(Kumar et al., 2012). Laju konversi monogliserida menjadi metil ester lebih cepat
dari pada digliserida dan trigliserida (Arachchige et al., 2021). Menurut (Arachchige
et al., 2021)hal ini terjadi karena monoglierida lebih mudah larut dalam fase polar
(gliserol) dimana katalis berada. Metanolisis berkatalis basa memerlukan minyak
dengan syarat tertentu. Sifat dasar minyak yang harus dipenuhi adalah bersih, tanpa
air, dan netral secara substansial (Swern, 1982). Kegagalan reaksi ini menghasilkan
sabun yang dapat mengurangi kebasaan katalis dan membentuk lapisan gel yang
dapat mempersulit pemisahan dan pengendapan gliserol (Arachchige et al., 2021).
Kandungan asam lemak bebas dan air yang lebih dari 0,5 % dan 0,3 % dapat
menurunkan rendemen transesterifikasi minyak (Freedman et al., 1984).
Transesterifikasi minyak menjadi metil ester dilakukan baik dengan satu atau
dua tahap proses, bergantung pada mutu awal minyak. Minyak yang mengandung
asam lemak bebas yang tinggi, dapat dengan efisien dikonversi menjadi esternya
melalui beberapa tahap reaksi yang melibatkan katalis asam, untuk mengesterifikasi
asam lemak bebas yang dilanjutkan dengan transesterifikasi asam lemak bebas
berkatalis basa yang mengkonversi sisa trigliserida. Jika minyak mempunyai
kandungan asam lemak bebas yang rendah, transesterifikasi dapat dilakukan dengan
satu Asam Lemak Bebas Katalis asam Metil Ester Air 11 tahap (Arachchige et al.,
2021)..
Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan alkohol Katalis asam selain
mengesterifikasi asam lemak bebas, juga mengkonversi trigliserida menjadi metil
esternya. Meskipun demikian, kecepatannya lebih rendah dibandingkan dengan
transesterifikasi yang menggunakan katalis basa. Reaksi esterifikasi dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya adalah jumlah pereaksi, metanol dan asam lemak bebas,
waktu reaksi, suhu, konversi katalis, dan kandungan air pada minyak. Semakin tinggi
jumlah metanol yang digunakan dan kandungan asam lemak bebas pada minyak,
maka semakin tinggi rendemen metil ester serta semakin kecil kandungan asam
lemak bebas di akhir reaksi. Minyak dengan kadar air kurang dari 0.1 % dapat
menghasilkan metil ester lebih dari 90 %. Semakin lama waktu reaksi esterifikasi
o
maka semakin besar rendemen metil ester yang didapat. Suhu 65 C sudah
memberikan rendemen metil ester yang memadai. Akan tetapi, jumlah katalis yang
berlebihan tidak akan meningkatkan dengan nyata rendemen metil ester. Air yang
dihasilkan selama proses esterifikasi berkurang seiring berjalannya waktu. Reaksi
transesterifikasi dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
adalah kondisi minyak itu sendiri misalnya kandungan air, kandungan asam lemak
bebas, dan kandungan zat terlarut maupun tak terlarut yang dapat mempengaruhi
reaksi. Faktor eksternal adalah kondisi yang bukan berasal dari minyak dan dapat
mempengaruhi reaksi. Faktor eksternal diantaranya adalah suhu, waktu, kecepatan
pengadukan, jenis dan konsentrasi katalis, serta jumlah rasio molar metanol terhadap
minyak. Jumlah alkohol yang dianjurkan sekitar 1.6 kali jumlah yang dibutuhkan
secara teoritis. Bahkan bisa dikurangi sampai 1.2 kali jika direaksikan dalam tiga
tahap. Jumlah alkohol yang lebih dari 1.75 kali jumlah teoritis tidak akan
mempercepat reaksi bahkan mempersulit pemisahan gliserol selanjutnya (Swern,
1982). Proses transesterifikasi dapat dilakukan secara curah (batch) atau sinambung
(continuous) (Arachchige et al., 2021).

2.8 Metil Ester

Metil ester asam lemak merupakan salah satu senyawa turunan lemak/minyak
nabati yang dihasilkan dari reaksi transesterifikasi. Penggunaan secara langsung
minyak nabati kurang baik pada mesin, karena minyak nabati memiliki berat molekul
yang besar, jauh lebih besar dari metil ester, sehingga dapat menghasilkan kerusakan
pada mesin. Sehingga dilakukan cara yang dapat mengubah karakteristik minyak
nabati dan lemak menyerupai solar yaitu menghasilkan metil ester asam lemak yang
pemanfaatannya jauh lebih besar (Makalalag, 2018). Metil Ester merupakan bahan
baku yang dibutuhkan dalam industri oleokimia, dengan sifat- sifat sebagai berikut
Metil Ester Jenuh Metil ester jenuh antara lain metil stearat, metil palmitat,
metil laurat merupakan hasil transesterifikasi minyak atau lemak dengan kandungan
asam lemak jenuh. Pemanfaatan metil ester jenuh memang lebih baik, karena bahan
yang tidak memiliki ikatan rangkap. Penggunaan metil ester jenuh telah banyak
dimodifikasi dalam industri oleokimia demi peningkatan nilai pemakaiannya yaitu
digunakan sebagai bahan surfaktan seperti metil lauril sulfonat, dan sebagai zat
pengemulsi seperti sodium stearoyl-2-lactylate, glycerol-latic-palmitate (Muchtadi,
1990).. Metil Ester Tak Jenuh Metil ester tak jenuh antara lain metil oleat, metil
linoleat, metil linolenat merupakan hasil transesterifikasi minyak/lemak dengan
kendungan asam lemak tak jenuh yang memiliki ikatan rangkap. Pemanfaatan metil
ester tak jenuh ini pada dasarnya digunakan sebagai biodiesel. Untuk meningkatkan
mutu pemakaian metil ester tak jenuh, dilakukan pengubahan metil ester tak jenuh
tersebut menjadi dimetil ester rantai bercabang, yang memiliki nilai pembakaran yang
lebih efektif daripada biodiesel. Alkil ester tak jenuh seperti metil oleat dapat menjadi
senyawa 3-oktil–undekana-anhidrid melalui reaksi karbonilasi dan selanjutnya
diesterifikasi kembali menghasilkan dimetil ester bercabang. Bahan dimetil ester
bercabang ini digunakan sebagai bahan untuk menurunkan emisi gas NO, serta
meningkatkan kinerja mesin diesel dibanding dengan bahan baku biodiesel yang
umum (Makalalag, 2018).

2.9 Oleokimia

Oleokimia merupakan bahan kimia yang berasal dari minyak/lemak alami, baik
tumbuhan maupun hewani. Produk oleokimia diperkirakan akan semakin banyak
berperan menggantikan produk-produk turunan minyak bumi (petrokimia). Pada saat
ini, permintaan akan produk oleokimia semakin meningkat. Hal ini dapat dimaklumi
karena produk oleokimia mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan produk
petrokimia, seperti harga, sumber yang dapat diperbaharui dan produk yang ramah
lingkungan (Behr, 2020).
Oleokimia didefenisikan sebagai pembuatan asam lemak dan gliserin serta
turunannya baik yang berasal dari hasil pemecahan trigliserida yang dikandung
minyak atau lemak alami maupun yang berasal dari produk petrokimia. Produk
oleokimia dasar yang utama adalah asam lemak, ester asam lemak, alkohol asam
lemak, amina asam lemak, serta gliserol yang merupakan produk samping yang juga
tidak kalah pentingnya (Behr, 2020). Dari antara produk-produk oleokimia, asam
lemak merupakan produk dari bahan oleokimia yang terpenting yang digunakan
dalam berbagai jenis reaksi modifikasi kimia untuk menghasilkan berbagai produk
alirnya yang berasal dari turunan asam lemak, turunannya dapat diaplikasikan dalam
industrial yang berbeda. Asam lemak banyak digunakan dalam pembuatan sabun,
produk-produk karet, kosmetika, lilin, dan bahan baku untuk produksi turunan amina
asam lemak. Disisi lain, aplikasi gliserol pada industri oleokimia juga sangat luas,
yang digunakan pada produk kosmetika, farmasi, bahan peledak, serta monogliserida
yang digunakan sebagai bahan pengemulsi. Hingga saat ini, umumnya sebagian
produk oleokimia ini diaplikasikan sebagai surfaktan pada produk-produk kosmetika,
toiletries, serta produk pencuci/pembersih, baik untuk kebutuhan rumah tangga,
maupun industri seperti tekstil, plastik, pertambangan, dan pengolahan limbah cair
pabrik (Behr, 2020).

Arachchige, U. S. P. R., Miyuranga, K. A. V., Thilakarathne, D., Jayasinghe, R. A.,


& Weerasekara, N. A. (2021). Biodiesel-Alkaline Transesterification Process for
Methyl Ester Production. Nature Environment and Pollution Technology, 20(5),
\

Behr, A. (2020). Chemistry of Renewables: An Introduction. In Chemistry of


Renewables: an Introduction.

Busyairi, M., Muttaqin, A. Z., Meicahyanti, I., & Saryadi, S. (2020). Potensi Minyak
Jelantah Sebagai Biodiesel dan Pengaruh Katalis Serta Waktu Reaksi Terhadap
Kualitas Biodiesel Melalui Proses Transesterifikasi. Jurnal Serambi
Engineering, 5(2), 933–940.

de Almeida, E. S., da Silva Damaceno, D., Carvalho, L., Victor, P. A., Dos Passos, R.
M., de Almeida Pontes, P. V., Cunha-Filho, M., Sampaio, K. A., & Monteiro, S.
(2021). Thermal and physical properties of crude palm oil with higher oleic
content. Applied Sciences (Switzerland), 11(15).

Kumar, A., Osembo, S. O., Namango, S. S., & Kiriamiti, K. H. (2012).


Heterogeneous Basic Catalysts For Transesterification Of Vegetable Oils : A
Review. 4(May).

Küüt, A., Ritslaid, K., Küüt, K., Ilves, R., & Olt, J. (2018). State of the art on the
conventional processes for ethanol production. In Ethanol: Science and
Engineering.

Lee, U., Kwon, H., Wu, M., & Wang, M. (2021). Retrospective analysis of the U.S.
corn ethanol industry for 2005–2019: implications for greenhouse gas emission
reductions. Biofuels, Bioproducts and Biorefining, 15(5), 1318–1331.

Makalalag, A. (2018). Pembuatan metil ester dari minyak kelapa. Jurnal Penelitian
Teknologi Industri, 10(2), 67–74.

Othmer, K. (2004). Kirk-Othmer Encyclopedia ofChemical Technology: Volume 10,


(Ethanol). 5.

Qiu, J., Hou, H. Y., Yang, I. S., & Chen, X. B. (2019). Raman spectroscopy analysis
of free fatty acid in olive oil. Applied Sciences (Switzerland), 9(21).

Saeidnia, S., & Manayi, A. (2014). Phenolphthalein (P. B. T.-E. of T. (Third E.


Wexler (ed.); pp. 877–880). Academic Press.

Strohm, B. (2014). Ethanol. Encyclopedia of Toxicology: Third Edition, 2, 488–491.

Verhelst, S., Turner, J. W., Sileghem, L., & Vancoillie, J. (2019). Methanol as a fuel
for internal combustion engines. Progress in Energy and Combustion Science,
70, 43–88.

Anda mungkin juga menyukai