Anda di halaman 1dari 20

ABSTRAK

Crude Palm Oil (CPO) merupakan produk ekspor terbesar di Indonesia. CPO juga
dapat diolah menjadi biolubrikan yang digunakan sebagai pelumas dalam industri.
Dalam proses pengolahan biolubrikan diperlukan adanya katalis untuk menghasilkan
produk yang sesuai standar dan dapat dihasilkan secara berkelanjutan. Dalam
penggunaan katalis, dapat digunakan katalis konvensional yang berasal dari abu
tandan kosong kelapa sawit. Tandan kelapa sawit selama ini hanya digunakan
sebagai bahan bakar dalam boiler industri, sedangkan jumlah limbah tandan kelapa
sawit melimpah dikarenakan perkebunan kelapa sawit Indonesia yang besar. Proses
pengolahan biolubrikan dari Crude Palm Oil (CPO) melalui 3 tahapan yaitu,
transesterifikasi, epoksidasi, dan esterifikasi.

Kata kunci : biolubrikan, epoksidasi, esterifikasi, transesterifikasi,

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas unggul di Indonesia. Perkebunan
kelapa sawit menghasilkan Crude Palm Oil (CPO), yang masih menjadi salah satu
produk ekspor unggulan Indonesia. Hingga tahun 2017, Indonesia masih tercatat
sebagai eksportir terbesar di dunia untuk komoditas tersebut. Berdasarkan data
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), volume ekspor minyak sawit
Indonesia, baik dalam bentuk CPO, PKO, dan produk turunannya termasuk oleokimia
dan biodiesel, mencapai 16,6 juta ton. Jumlah tersebut naik 25% dibandingkan
dengan periode yang sama tahun 2016 yang hanya mencapai 12,5 juta ton (Herlinda,
2017).
TKKS (Tandan Kosong Kelapa Sawit) di Indonesia adalah limbah pabrik kelapa
sawit yang jumlahnya sangat melimpah. Setiap pengolahan 1 ton TBS (Tandan Buah
Segar) akan dihasilkan TKKS (Tandan Kosong Kelapa Sawit) sebanyak 22–23%
TKKS (Tandan Kosong Kelapa Sawit) atau sebanyak 220–230 kg TKKS. Limbah ini
belum dimanfaatkan secara baik oleh sebagian besar pabrik kelapa sawit (PKS) dan
masyarakat di Indonesia. Pengolahan/pemanfaatan TKKS oleh PKS masih sangat
terbatas. Sebagian besar pabrik kelapa sawit (PKS) di Indonesia masih membakar
TKKS dalam incinerator, meskipun cara ini sudah dilarang oleh pemerintah. Alternatif
pengolahan lainnya adalah dengan menimbun (open dumping), dijadikan mulsa di
perkebunan kelapa sawit, atau diolah menjadi kompos (Salmina, 2016).
Dalam industri, pelumas sering sekali digunakan untuk mencegah gesekan dan
keausan antar komponen mesin Melimpahnya produk CPO dan limbah tandan kosong
kelapa sawit dapat dimanfaatkan menjadi biolubrikan yang lebih bernilai guna dan
bernilai jual tinggi. Dilihat dari kebutuhan pelumas, di dunia telah mencapai 3,5 juta -
5,3 juta ton/tahun semenjak 1991. Jerman adalah negara yang menggunakan
pelumas terbesar yaitu sekitar 47% dari total konsumsi di dunia (2,5 juta ton/tahun).
Konsumsi untuk industri mencapai 1,7 juta ton/tahun (32 %) dan pelumas untuk
proses 0,6 juta ton/tahun (11,3%) (Nagendramma, 2012). Dalam penggunaan
pelumas, selama ini masih banyak menggunakan pelumas berbahan dasar minyak
bumi yang merupakan sumber daya alam terbatas serta dapat berakibat buruk pada
lingkungan. Sedangkan biolubrikan merupakan pelumas yang secara cepat dapat
2
terdegradasi (biodegradable) dan tidak beracun (nontoxic) bagi manusia dan
lingkungan.
Pengolahan CPO menjadi biolubrikan dapat menjadi inovasi baru untuk mengatasi
banyaknya produk CPO yang diproduksi. Dengan dikembangkanya menjadi
biolubrikan dapat menambah nilai guna dan nilai jual produk CPO, sekaligus dapat
mengatasi banyaknya pelumas yang berbahan dasar minyak bumi.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Graille dkk. menggunakan
katalis abu yang berasal dari tungku pembakaran padat pabrik kelapa diperoleh kadar
ion kalium dan karbonat yang tinggi (Yusuf, 2013).
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, perlu dilakukan penelitian
pemanfaatan abu kulit buah kelapa sebagai subtitusi katalis konvensional karena ion
kalium dan karbonat pada kulit lebih besar dibandingkan dari sekam batang kelapa
dalam pembuatan metil ester (biodiesel) sebagai energi terbarukan dengan bahan
baku minyak sawit mentah CPO (Crude Palm Oil).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan, didapatkan rumusan masalah dari
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Bagaimana proses pembuatan katalis konvensional dari tandan kelapa kosong
sebagai katalis dalam proses transesterifikasi ?
2) Bagaimana proses pembuatan biolubrikan dari Crude Palm Oil (CPO) ?
3) Bagaimana karakteristik biolubrikan dari Crude Palm Oil (CPO) ?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Mempelajari proses pembuatan katalis konvensional dari tandan kelapa kosong
sebagai katalis dalam proses transesterifikasi
2) Mempelajari proses pembuatan biolubrikan dari Crude Palm Oil (CPO)
3) Mempelajari karakteristik biolubrikan dari Crude Palm Oil (CPO)

1.4 Luaran yang Diharapkan


Luaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Ditemukannya teknologi pengolahan biolubrikan dari Crude Palm Oil (CPO)
yang dapat mendukung kemajuan sawit Indonesia
3
2) Ditemukanya inovasi untuk pengolahan Crude Palm Oil (CPO) sebagai
biolubrikan dengan menggunakan katalis dari tandan kosong kelapa sawit
3) Ditemukannya inovasi untuk mengatasi permasalahan lingkungan dan
kelangkaan energi yang disebabkan dari penggunaaan pelumas dari minyak bumi
4) Dipublikasikannya di jurnal Pusat Penelitian Kelapa Sawit Indonesia
5) Dipublikasikannya dalam seminar pemakalah dalam Seminar Ilmiah
1.5 Kegunaan
Dari hasil penelitian ini dapat diharapkan sebagai berikut :
1) Menjadi salah satu terobosan baru untuk menambah nilai guna dan nilai jual
produk Crude Palm Oil (CPO) sebagai biolubrikan
2) Menjadikan biolubrikan sebagai pelumas yang aman bagi manusia dan
lingkungan

BAB II
STUDI PUSTAKA

4
2.1 Minyak Kelapa Sawit
Minyak kelapa sawit diperoleh dari pengolahan buah kelapa sawit (Elaeis
guinensis JACQ}. Secara garis besar buah kelapa sawit terdiri dari serabut buah
(pericarp) dan inti (kernel). Serabut buah kelapa sawit terdiri dari tiga lapis yaitu
lapisan luar atau kulit buah yang diseb but pericarp, lapisan sebelah dalam disebut
mesocarp atau pulp dan lapisan paling dalam disebut endocarp. Inti kelapa sawit
terdiri dari lapisan kulit biji (testa), endospermdan embrio. Mesocarp mengandung
kadar minyak rata-rata sebanyak 56%, inti (kernel) mengandung minyak sebesar 44%,
dan endocarp tidak mengandung minyak. Minyak kelapa sawit seperti umumnya
minyak nabati lainnya adalah merupakan senyawa yang tidak larut dalamair,
sedangkan komponen penyusunnya yang utama adalah trigliserida dan nontrigliserida
. Seperti halnya lemak dan minyak lainnya, minyak kelapa sawit terdiri atas trigliserida
yang merupakan ester dari gliserol dengan tiga molekul asam lemak menurut reaksi
sebagai berikut :

Gambar 2.1-1 Reaksi Penyusunan Trigliserida


Bila R, = RZ = R3 atau ketiga asam lemak penyusunnya Sama maka trigliserida ini
disebut trigliserida sederhana,dan apabila salah satu atau lebih asamlemak
penyusunnya tidak sama maka disebut trigliserida campuran. Asam lemak merupakan
rantai hidrokarbon; yang setiap atom karbonnya mengikat satu atau dua atomhidrogen
; kecuali atomkarbon terminal mengikat tiga atom hidrogen, sedangkan atomkarbon
terminal lainnya mengikat gugus karboksil. Asam lemak yang pada rantai
hidrokarbonnya terdapatikatan rangkap disebut asam lemak tidak jenuh, dan apabila
tidak terdapat ikatan rangkap pada rantai hidrokarbonnya karbonnya disebut dengan
asamlemak jenuh. Secara umumstruktur asam lemak dapat digambarkan sebagai
berikut : (Pasaribu, 2004)

5
Gambar 2.1-2 Asam Lemak Jenuh
2.2
Tandan kelapa sawit adalah wadah bagi kelapa sawit selama pertumbuhan san
sejak sebelum terjadi penyerbukan hingga buah menjadi matang. Selama proses
perontokan buah sawit dalam pabrik pengolahan minyak sawit,buah pada tandan ini
dipisahkan. Tandan yang dipisahkan dari buahnya menjadi limbah padat pabrik
minyak sawit kasar tersebut. Satu ton tandan buah segar kelapa sawit mengandung
230 – 250 kg tandan kosong kelapa sawit (TKKS), 130 – 150 kg serat, 60 – 65 kg
cangkang, 55 – 60 kg biji, dan 160 – 200 kg minyak mentah (Fauzi, 2005).
Menurut keterangan Direktorat Jenderal Perkebunan seperti yang dikutip Aulia
(2000), limbah abu tandan kosong kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai bahan
baku bangunan dan industry kertas, sumber selulosa, pupuk, dan lain-lain. Berdasar
analisis kadar logam keseluruhan dalam tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dengan
AAS, abu tandan kelapa sawit memiliki komposisi 30 – 40% K2O, 7% P2O5, 9% CaO,
3% MgO, dan unsur-unsur logam yang lain (Fauzi, 2005). Logam kalium merupakan
kandungan logam terbesar dalam TKKS, sebesar 30 – 40%. Dengan suhu pengabuan
yang kurang dari 900oC, dimungkinkan kalium tersebut didapatkan dalam wujud
senyawa kalium karbonat, yang dapat dimanfaatkan sebagai katalis dalam proses.
Dengan sifat basa yang dimiliki kalium karbonat maka abu TKKS mempunyai
potensi untuk digunakan sebagai sumber katalis basa dalam pembuatan biodiesel.
Berdasarkan hasil data pengujian uji alkalinitas dengan metode titrasi indikator dapat
diambil kesimpulan bahwa anion karbonat (CO3) merupakan anion yang paling
dominan yang terdapat pada abu TKKS dengan kadar sebesar 375,86 g/kg berat abu.
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa kalium yang terdapat dalam abu TKKS
berada dalam bentuk persenyawaan K2CO3.
2.2 Biolubrikan
Biolubrikan (biolubricant) adalah pelumas yang memiliki sifat – sifat ramah
lingkungan seperti : mudah diuraikan dilingkungan, memiliki kandungan racun
terhadap lingkungan yang sangat rendah akan tetapi tetap memenuhi standar
pelumas yang telah ditetapkan. Biolubrikan tidak selalu terbuat dari minyak nabati
6
akan tetapi bisa juga terbuat dari modifikasi minyak nabati maupun minyak dasar
berbasis minyak bumi. Pertumbuhan penggunaan biolubrikan didunia adalah
2%/tahun dengan pemakaian saat ini sebesar 46.Juta KL. Penggunaan biolubrikan
ini 48% digunakan untuk pelumas mesin,15,3% untuk pelumas untuk proses, 10,2 %
digunakan sebagai oli hidrolik dan sisanya 26,5% untuk pelumasan lainnya. Wilayah
yang paling banyak menggunakan biolubrikan adalah di Asia Pasifik dengan 36,7%,
Amerika Utara 28%, Eropa 12,5% dan wilayah lain sebesar 22,8%. (Bart, J. B. Dan
Larry, P., 2008). Biolubrikan ini memiliki beberapa keunggulan apabila dibandingkan
dengan pelumas dengan minyak dasar berbasis minyak bumi antara lain:
a. Lebih cepat diuraikan bakteri karena berasal dari bahanorganik
b. Kandungan racun yang rendah karena tidak mengandung sulfur dan senyawa
aromatik, parafinik dan naftalenik yang berasal dari minyak bumi.
c. Ramahlingkungan
d. Sifat pelumasan yang baik
e. Indek kekentalan yang baik
(Jumat Salimon et al., 2010)
2.3 Transesterifikasi

Gambar 2.3-1 Reaksi Transesterifikasi


Transesterifikasi adalah tahap konversi trigliserida menjadi alkil ester melalui
reaksi dengan alkohol dan menghasilkan produk samping gliserol. Alkohol berlebih
juga di gunakan untuk kesetimbangan sehingga rekasi bergeser ke arah produk
karena ini merupakan reaksi reversibel. Jadi, ketika NaOH, KOH, K 2CO3 atau
sejenisnya dicampur dengan alkohol maka akan terbentuk larutan alkalinitas. Katalis
biasanya di gunakan untuk mempercepat laju reaksi dan yield.Metanol (CH3OH) lebih
banyak digunakan karena harga lebih murah dibandingkan alkohol lain, senyawa polar
dengan rantai karbon terpendek sehingga bereaksi lebih cepat dengan trigliserida dan
melarutkan semua jenis katalis baik basa maupun asam.

7
Tetapi terbentuknya sabun menyulitkan proses pencucian dan memungkinkan
hilangnya produk yang berguna. Alternatifnya, proses dilakukan dengan dua tahapan
proses yang menggunakan katalis asam dan katalis basa (Canakci dan Gerpen,
2001). Reaksi transesterifikasi dengan katalis basa harus dilakukan pada minyak
yang bersih, bebas air dan tidak mengandung katalis. Menurut Freedman et al.
(1984), kandungan asam lemak bebas dan air yang lebih dari 0,3% dapat
menurunkan rendemen transesterifikasi. Berdasarkan penelitian Lee et al. (2002)
rendemen transesterifikasi dapat ditingkatkan dari 25% menjadi 96% dengan
memurnikan minyak jelantah yaitu menurunkan kadar asam lemak bebas dari 10%
menjadi 0,23% dan kadar air dari 0,2% menjadi 0,02%.
Proses transesterifikasi akan berlangsung lebih cepat bila suhu dinaikkan
mendekati titik didih alkohol yang digunakan. Semakin tinggi kecepatan pengadukan
akan menaikkan pergerakan molekul dan menyebabkan terjadinya tumbukan.
Pemakaian alkohol berlebih akan mendorong reaksi ke arah pembentukan etil ester
dan semakin besar kemungkinan terjadinya tumbukan antara molekul-molekul
metanol dan minyak yang bereaksi (Hui, 1996).
Berdasarkan Haryanto, bahwa dalam abu kulit buah kelapa terdapat anion-anion
karbonat yangmana konsentrasi ion karbonat adalah yang paling besar dibandingkan
unsur lain. Abu hasil pembakaran kulit buah kelapa memiliki senyawa utama kadar
ion kalium (K) dan karbonat (CO3) yang tinggi masing-masing 40 dan 27,7 %
berat.Dengan demikian bahwa kalium yang terdapat dalam abu kulit buah kelapa
adalah dalam bentuk senyawa kalium karbonat (K 2CO3) dan sebagian kecil
bikarbonat (KHCO3). Bila abu ini di larutkan dalam air akan di peroleh larutan alkali.
Abu yang banyak mengandung komponen K baik sebagai katalis. Dengan melarutkan
sejumlah tertentu abu ke dalam sejumlah tertentu alkohol (metanol), logam kalium
akan terekstraksi ke dalam alkohol dan akan bereaksi lebih lanjut membentuk garam
metoksida. Alkali katalis akan mempercepat reaksi transesterifikasi bila dibandingkan
dengan katalis asam. Semakin tinggi temperatur pembakaran kulit buah kelapa maka
kadar kalium yang dihasilkan semakin sedikit. Besarnya keberadaan gliserol terikat
dan gliserol bebas menunjukkan bahwa trigliserida belum terkonversi menjadi metil
ester sehingga menurunkan kemurnian dan yield metil ester.
Kalium hidroksida (KOH) merupakan katalis yang sering di gunakan dalam
metanolisis ataupun etanolisis minyak mentah dan minyak kelapa yang memberikan
yield sebesar 90%. Namun, penggunaan katalis homogen mempunyai kelemahan
8
yaitu bersifat korosif, sulit dipisahkan dari produk dan katalis tidak dapat digunakan
kembali. Saat ini banyak industri menggunakan katalis heterogen yang mempunyai
banyak keuntungan. Kalium karbonat merupakan katalis heterogen pada reaksi
metanolisis. Pemisahan katalis heterogen ini dari produk reaksinya dapat dilakukan
dengan mudah. Abu yang mengandung ion kalium dan ion karbonat dilarutkan dalam
metanol akan membentuk garam metoksida.

Gambar 2.3-2 Reaksi Metanol dengan Kalium Karbonat


2.4 Epoksidasi
Proses epoksidasi merupakan reaksi pembentukan gugus oksiran antara asam
peroksi dengan senyawa olefin atau dengan ikatan rangkap ester asam lemak tidak
jenuh, dimana apabila senyawa olefin atau ikatan rangkap pada ester asam lemak
tidak jenuh direaksikan dengan sesama peroksi, ikatan rangkap olefin atau ester asam
lemak tidak jenuh akan pecah menjadi ester siklik segitigayang disebut oksiran (Kirk
dan Othmer,1982).
Karakteristik dari senyawa epoksi ialah adanya kandungan oksiran. Semakin
tinggi kadar oksirannya, maka senyawa epoksi yang dihasilkan juga semakin baik.
Jumlah ikatan rangkap yang terdapat dalam minyak ditentukan dengan mengukur
ilangan iodnya. Semakin besar bilangan iodnya, maka jumlah ikatan rangkap juga
emakin besar, titik cair semakin rendah,dan kadar epoksinya semakin tinggi. Lemak
yang mempunyai bilangan iod rendah lebih tahan terhadap kerusakan karena proses
oksidasi (Gan dkk, 1995).
Berbagai macam asam peroksida yang dapat digunakan untuk epoksidasi
minyaknabati antara lain asam perasetat, perbenzoat, dan perfluoasetan. Diantara
asam-asam peroksi tersebut yang umumnya digunakan adalah asam perasetat
karena lebih murah, mudah didapat, efisiensinya tinggi,dan bias diproduksi dalam
media air, non air, homogen maupun heterogen (Yadav dan Satoska,1997).
Komponen organik yang mengandung ikatan rangkap mudah bereaksi dengan asam
perasetat yang dihasilkan dari reaksi asam organik dengan hidrogen peroksida (Chou
dan Chang, 1986).
Metode yang digunakan adalah proses epoksidasi in situ, yaitu proses dimana
asam perasetat (mereaksikan asam asetat dengan hidrogen peroksida) dibuat
sekaligus dalam reaktor (Rangrajan dkk, 1995). Pembentukan asam perasetat dalam
9
suatu proses in situ menghasilkan ion H dan air untuk mengurangi reaksi samping,
sehingga proses dilakukan pada suhu yang moderat, waktu reaksi dipercepat, dan
menggunakan katalis (Kirk dan Othmer, 1982).
Proses in situ sering dipakai dalam skala industri sebab proses ini lebih aman
karena asam peroksi yang terbentuk akan bereaksi langsung dengan ester berikatan
rangkapnya (Kirk dan Othmer, 1982), serta lebih sedikit dalam pemakaian asam dan
hidrogen peroksida (Yadav dan Satoska, 1997). Selain itu, epoksi yang dibentuk
secara insitu juga mengakibatkan penurunan bahaya reaksi dan menghindarkan
kehilangan O2 peroksida, reaksi epoksidasi ini menggunakan proses menyatu dimana
asam peroksi dibuat persamaan sehingga lebih ekonomis, cepat dan mudah (Kirk dan
Othmer, 1982).
Reaksi antara Asam Lemak bebas dengan asam perasetat :

+ Asam Asetat
+ H2O2

Gambar 2.2-1 Senyawa Epoksidasi


Untuk mencegah tidak terkendalinya reaksi yang terlalu eksotermis dan untuk
mengoptimalisasi reaksi epoksidasi tersebut, maka larutan peroksida ditambahkan
secara bertahap disertai pengadukan dan temperatur dijaga pada 50 - 65oC untuk 10
sampai dengan 25 menit setiap penambahan peroksida (Kirk dan Othmer, 1982).
Pada reaksi epoksidasi ini, yang mengontrol kecepatan reaksi adalah reaksi
pembentukan asam perasetatnya (Kirk dan Othmer, 1982). Reaksi epoksidasi adalah
reaksi bolak-balik, sehingga berpotensi untuk terjadinya reaksi samping.Hal ini
penting karena proses epoksidasi dilakukan pada suhu yang terendah (moderat) dan
waktu reaksi yang pendek. Laju pembukaan gugus oksiran dari 9,10-epoxyteavic acid
(epoksidasi asam oleat) 1 % per jam pada 25oC, dan 100 % pada 1 – 4 jam pada 65–
100oC (Kirk dan Othmer, 1982). Reaksi pembentukan gugus oksiran dapat direduksi
dengan menggunakan kurang dari satu mol asam organik untuk setiap mol asam
lemak tak jenuh (Kirk dan Othmer, 1982).

10
Kondisi optimum pembentukan epoksi dari bahan baku CPO adalah pada suhu
70o C dengan perbandingan reaktan asam asetat 98% 0,3 mol dan H2O2 50% 1,7 mol
dengan waktu reaksi 2 jam (Abdullah, 2012).
Senyawa epoksida tidak mengandung ikatan rangkap sehingga memiliki stabilitas
termal yang lebih tinggi dibandingkan dengan asam lemak bebas. Untuk menstabilkan
minyak nabati dari reaksi oksidasi, adalah dengan cara memodifikasi minyak atau
trigliserida menjadi senyawa epoksi melalui reaksi epoksidasi. Reaksi Epoksidasi
adalah reaksi pembuakaan ikatan rangkap menjadi ikatan tertutup. Pada ujung
senyawa masih mengikat gugus asam COOH maka senyawa epoksida (Gambar 2.2-
2) belum dapat memenuhi persyaratan sebagai pelumas. Sifat asam senyawa
menyebabkan korosi pada alat. Untuk menurunkan keasamaan, epoksi harus
dimodifikasi lebih lanjut menjadi senyawa ester melalui reaksi esterifikasi
(Rahardiningrum dkk, 2016).
2.5 Esterifikasi

Gambar 2.5-1 Reaksi Esterifikasi


Esterifikasi dilakukan pada minyak yang mengandung asam lemak bebas tinggi
(ALB>1%), reaksi ini akan membentuk banyak sabun sehingga akan mengurangi
produksi biodiesel. Esterifikasi adalah reaksi antara metanol dengan asam lemak
bebas membentuk metil ester menggunakan katalis asam. Pada proses esterifikasi
katalis yang banyak digunakan pada awalnya adalah katalis homogen asam donor
proton dalam pelarut organik, seperti H2SO4.Katalis homogen ini bersifat korosif,
beracun dan sulit untuk dipisahkan dari produk. Oleh karena itu, dicoba dilakukan
penggantian dengan katalis padat (katalis heterogen), seperti dengan zeolit dan
alumina.
Reaksi esterifikasi tidak hanya mengkonversi asam lemak bebas menjadi metil
ester tetapi juga mengubahnya menjadi trigliserida meskipun dengan kecepatan
reaksi yang lebih rendah dibandingkan dengan katalis basa (Freedman et al., 1984).
Untuk mendorong reaksi dapat mengkonversi sempurna pada suhu rendah (65 oC)
reaktan methanol. Reaktan metanol perlu ditambahkan berlebih (biasanya lebih dari
10 kali rasio stoikhiometri) supaya proses konversi dapat berjalan sempurna. Selain

11
itu, sisa katalis dan air pada produk hasil esterifikasi harus dihilangkan sebelum
dilanjutkan dengan reaksi transesterifikasi supaya reaksi dapat berjalan sempurna.
Asam lemak langsung di esterifikasi dengan etilen glikol dengan temperatur reaksi
180oC dan kecepatan pengadukan 200 rpm dan dengan variasi waktu reaksi 2 jam, 4
jam dan 6 jam serta rasio mol terhadap etilen glikol 1:3, 1:4 dan 1:5.Berdasarkan hasil
yang diperoleh diketahui bahwa yield tertinggi didapat dari kondisi operasi dengan
rasio mol 1:4 selama 6 jam, yaitu sebesar 91,15%.

12
BAB III
METODE RISET

Pembuatan Katalis Proses Transesterifikasi


Transesterifikasi dari Abu Tandan
Kelapa Kosong
Proses Epoksidasi

Proses Esterifikasi

Pengujian terhadap Sampel Produk

Gambar 3-1 Diagaram Alir Riset


3.1 Alat dan Bahan Riset
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain ...................
Sedangkan peralatan yang digunakan antara lain .........................................
3.2 Tahapan Riset
3.2.1 Pembuatan Metanol yang Mengandung Katalis Transesterifikasi
Kulit buah kelapa dibakar dalam furnace dengan variasi temperatur
pembakaran 600oC selama ±8 jam hingga menjadi abu. Hal ini dikarenakan pada
temperatur 600oC ion-ion alkali dalam abu optimal sebagai katalis untuk
menghasilkan produk metil ester yang maksimum dan tidak bereaksi dengan
trigliserida. Ditimbang jumlah katalis sehingga diperoleh metanol yang
mengandung 1% dan 2% abu kulit buah kelapa. Katalis tersebut masing-masing
di aduk dalam metanol teknis 75 ml hingga homogen selama 1 jam kemudian di
saring. Ekstrak yang diperoleh dicukupkan volumenya hingga sesuai dengan rasio
molar metanol : CPO 6:1 ke dalam beaker glass lalu di aduk untuk melarutkan
abu kulit buah kelapa.
3.2.2 Proses Transesterifikasi
CPO sebanyak 200 mL dimasukkan ke dalam labu leher tiga, kemudian
masukkan magnetik stirer. Labu leher tiga dihubungkan dengan kondensor
(rangkaian refluks kondensor), kemudian dipanaskan di atas hot plate hingga
mencapai temperatur 60oC. Kecepatan agitasi magnetik stirer diatur agar transfer
panas di dalamnya berlangsung lebih cepat. Metanol dan K 2CO3 dari abu kulit
13
kelapa sawit dicampur dan diaduk rata ke dalam erlenmeyer dengan rasio mol
trigliserida-metanol 1 : 6. Setelah temperatur 58 - 60oC dicapai, campuran metanol
dan KOH dicampurkan ke dalam labu leher tiga. Dengan cepat, labu leher tiga
tersebut ditutup rapat dengan gabus hingga didapat kondisi reaksi batch. Suhu
reaksi dijaga agar konstan pada suhu 58 - 60oC selama 1 jam, dan kecepatan
agitasi magnetik stirer diatur agar transfer massa di dalamnya sempurna. Setelah
1 jam, hasil reaksi di dalam labu leher tiga dimasukkan ke dalam corong pemisah.
Kemudian, didiamkan selama ± 1 jam. Setelah proses settling selesai, produk
crude metil ester dan gliserol dipisahkan ke dalam wadah yang berbeda. Crude
metil ester dan gliserol yang terbentuk di timbang dengan neraca analitis.
Percobaan diulang dengan suhu reaksi 55 oC dan rasio mol trigliserida-metanol 1
: 7. Crude metil ester tadi dimasukkan kembali ke dalam corong pemisah untuk
melakukan proses pencucian. Aquadest dipanaskan hingga 55 oC di atas hotplate.
Setelah dipanaskan, aquadest tersebut dimasukkan ke dalam corong pemisah
sebanyak 15 ml dan kemudian didiamkan sejenak hingga terbentuk lapisan air di
bagian bawah. Lapisan air tersebut dikeluarkan. Pencucian ini dilakukan hingga
air hasil pencucian menjadi jernih. Hasil pencucian berupa metil ester dikeluarkan
ke dalam wadah beaker glass, kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu
103 ± 2 oC selama 3 jam. Setelah tiga jam, keluarkan hasil pencucian dari oven.
Metil ester hasil pengeringan tersebut didinginkan hingga suhu kamar. Setelah
dingin, metil ester ditimbang. Kemudian, dilakukan analisa FFA dengan menitrasi
dengan NaOH dan pengujian pH.
3.2.3 Proses Epoksidasi
100 mL metil ester hasil dari proses transesterifikasi dicampur dengan asam
asetat didalam labu leher tiga rangkai dengan stirrer mekanik, termometer dan
corong. Campuran dipanaskan dalam Hot Plate Stirer dengan pengadukan
konstan pada suhu 50-55oC. Larutan Hidrogen Peroksida dan Asam Sulfat 1%
(pertotal reaktan sebagai katalis) ditambahkan lewat corong setelah mencapai
suhu 50-55oC. Temperatur reaksi akan meningkat sampai optimum sebesar 70oC
dan dipertahankan 180 menit dengan jumlah asam asetat 0,3 mol dan jumlah
peroksida 1,7 mol. Setelah waktu reaksi tercapai, tambahkan larutan jenuh
sodium bikarbonat untuk menetralkan sisa asam dan kemudian diikuti
penambahan 100 ml aquades sampai bebas dari asam sehingga pH mendekati 7
atau netral. Larutan Natrium Sulfat ditambahkanuntuk menyerap sisa air dan
14
kemudian disaring. Produk dari proses epoksidasi siap di lanjutkan ke proses
selanjutnya.
3.2.4 Proses Esterifikasi
Hasil tahap sebelumnya dimasukkan ke dalam labu leher tiga, lalu masukkan
magnetik stirer. Labu leher tiga dihubungkan dengan kondensor (rangkaian
refluks kondensor), kemudian dipanaskan di atas hot plate hingga mencapai
temperatur 60oC. Kecepatan agitasi magnetik stirer diatur agar transfer panas di
dalamnya berlangsung lebih cepat. Metanol dan HZeolit dicampur dan diaduk rata
ke dalam Erlenmeyer. Setelah temperatur 60oC dicapai, campuran Hzeolit dan
metanol dicampurkan ke dalam labu leher tiga. Dengan cepat, labu leher tiga
tersebut ditutup rapat dengan gabus hingga didapat kondisi reaksi batch. Suhu
reaksi dijaga agar konstan pada suhu 60oC selama 1 jam, dan kecepatan agitasi
magnetik stirer diatur agar transfer massa di dalamnya sempurna. Setelah 1 jam,
hasil reaksi di dalam labu leher tiga dimasukkan ke dalam corong pemisah.
Kemudian, didiamkan selama ± 1 jam. Setelah proses settling selesai, produk air
dan metil ester dipisahkan ke dalam wadah yang berbeda. Produk air dan lapisan
atas yang terbentuk ditimbang di neraca analitis. Hasil lapisan atas tadi
dimasukkan kembali ke dalam corong pemisah untuk melakukan proses
pencucian. Air bersih dipanaskan hingga 55 oC di atas hot plate. Setelah
dipanaskan, air tersebut dimasukkan ke dalam corong pemisah sebanyak 15 ml
dan kemudian didiamkan sejenak hingga terbentuk lapisan air dibagian bawah.
Lapisan air tersebut dikeluarkan. Pencucian ini dilakukan sebanyak 5 kali atau
lebih. Hasil pencucian tersebut dikeluarkan ke dalam wadah breaker glass,
kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 103 ± 2 oC selama 3 jam. Setelah
tiga jam, keluarkan hasil pencucian dari oven. Hasil pengeringan tersebut
didinginkan hingga suhu kamar. Setelah dingin, hasil pengeringan tersebut
ditimbang. Kemudian, dilakukan analisa FFA dengan cara menitrasi dengan
NaOH dan pengujian pH.

15
BAB IV
LUARAN RISET

Berdasarkan rencana kegiatan yang telah disusun maka target luaran yang
diharapkan setelah pelaksaan Penelitian Riset Sawit ini yaitu ditemukannya teknologi
pengolahan biolubrikan dari Crude Palm Oil (CPO) yang dapat mendukung kemajuan
sawit Indonesia. Pengolahan CPO menjadi biolubrikan dapat meningkatkan nilai guna
dan jual dari CPO, sehingga dapat meningkatkan komoditas ekspor di Indonesia agar
menjadi beragam tidak hanya produk CPO saja yang diekspor.
Penelitian riset ini juga bertujuan ditemukanya inovasi untuk pengolahan Crude
Palm Oil (CPO) sebagai biolubrikan dengan menggunakan katalis dari tandan kosong
kelapa sawit. Tandan kosong kelapa sawit merupakan limbah dari pabrik kelapa sawit
yang sangat melimpah jumlahnya, biasanya tandan kosong hanya digunakan sebagai
bahan bakar untuk boiler pada mesin-mesin industri. Dengan penggunaan tandan
kosong sebagai katalis konvensional proses transesterifikasi dapat menambah fungsi
lain dari tandan kosong.
Apabila menggunakan katalis berasal dari tandan kosong untuk mengolah CPO
menjadi biolubrikan dapat mengurangi banyaknya limbah tandan kosong. Dengan
penggunaan biolubrikan dalam industri dapat mengurangi pencemaran lingkungan
yang disebabkan penggunaan pelumas dari minyak bumi dan mengurangi
penggunaan minyak bumi yang kian hari makin langka.
Dalam penemuan teknologi dan inovasi diperlukan adanya pengakuan yang bisa
berupa publikasi jurnal atau seminar pemakalah agar banyak orang yang mengakui
inovasi teknologi tersebut. Sehingga perlu dipublikasikannya di jurnal Pusat Penelitian
Kelapa Sawit Indonesia dan terpublikasi dalam seminar pemakalah dalam Seminar
Ilmiah.

BAB V
16
JADWAL KEGIATAN

Bulan
No Jenis Kegiatan
1 2 3 4 5 6 7 8
Persiapan Alat
1.
dan Bahan
2. Persiapan Katalis
Penelitian Proses
3.
Hidrolisis
Penelitian Proses
4.
Transesterifikasi
Penelitian Proses
5.
Epoksidasi
Penelitian Proses
6.
Esterifikasi
7. Pengujian Sampel
Pengolahan data
8.
dan Studi Literatur
Penyusunan
9.
Laporan

BAB VI
17
PENDANAAN

No. Jenis Pengeluaran Estimasi Biaya


1. Peralatan Penunjang
2. Bahan Habis Pakai
3. Perjalanan
4. Lain – lain

DAFTAR PUSTAKA
18
Abdullah, S. 2012. Pengaruh Waktu Reaksi terhadap Bilangan Hidroksil pada
Pembentukan Polyol dari Epoksidasi CPO dan Curcas OIL. Universitas
Muhammadiyah Jakarta. Jakarta.
Arita, Susila. 2008. Pembuatan Metil Ester Asam Lemak dari CPO Off Grade dengan
Metode Esterifikasi - Transesterifikasi. Jurnal Teknik Kimia, No. 2, Vol. 15, Hal.
34-43. Palembang.
Bart J. Bremmer & Dr. Larry Plonsker. 2008. Bio Based Lubricants A Market
Opportunity Study Update.United Soybean Board.
Chou and Chang, 1986. The Organic Chemical Process.Ho Chi Minh-Ville,Vietnam
Gan L.H, Goh S.H dan Ooi K.S.,1992. Kinetics Studies of Epoxidationand Oxirane
Cleavages of PalmOlein Methyl Esters.JAOCS, vol.69.
Kirk R.E. dan Othmer, 1964. Encyclopedia of Chemical Technology.Vol.6, The
Interscience Encyclopedia Inc., NewYork.
Kusumaningtyas,Nur Widi. 2011. Proses Esterifikasi Transesterifikasi In Situ Minyak
Sawit dalam Tanah Pemucat Bekas untuk Proses Produksi Biodiesel. Skripsi
Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Pasaribu, Nurhida. 2014. Minyak Buah Kelapa Sawit. Universitas Sumatera Utara.
Sumatera Utara.
Rahardiningrum S.W.S, Mahreni, Reningtyas R, dan Gusaptono R.H. 2016.
Biopelumas dari Minyak Nabati (Review). Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Yogyakarta. Yogyakarta.
Ritonga, Muhammad Yusuf. 2013. Pemanfaatan Abu Kulit Buah Kelapa sebagai
Katalis pada Reaksi Transesterifikasi Minyak Sawit Menjadi Metil Ester. Jurnal
Teknik Kimia USU, Vol. 2, No. 4, Hal. 17-24. Medan.
Salmina. 2016. Studi Pemanfaatan Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit oleh
Masyarakat di Jorong Koto Sawah Nagari Ujung Gading Kecamatan Lembah
Melintang. Jurnal Spasial Vol. 3 No.2. Sumatera Barat.
Siswahyu, Agung &Hendrawati,Tri Yuni. 2013. Studi Pustaka Modifikasi Minyak
Nabati sebagai Sumber Bahan Baku Pelumas Bio. Jurnal Teknologi Vol. 2, No.
2, Hal. 23 – 32. Jakarta.

19
Susanto, Bambang Heru. 2008. Reaksi Esterifikasi Asam Oleat dengan Alkohol Rantai
Panjang Berkatalis HPW/Zeolit untuk Produksi Pelumas Dasar Bio. Seminar
Nasional Teknik Kimia Oleo Petrokimia Indonesia 2008. Depok.
Yadav dan Satoska, 1997.Mechanism ofthe Oxidation of Oleic Acid byHydrogen
Peroxide in Acetic Acid. J.Chem. Soc., 37(1943):37-38.

20

Anda mungkin juga menyukai