Nim
: 1214046
BLEACHING EARTH
( TANAH PEMUCAT )
Tanah Pemucat
Tanah pemucat (bleaching earth) merupakan jenis tanah liat yang tersusun
atas senyawa alumina silikat dengan ukuran partikel 2 m. Daya pemucat
bleaching earth disebabkan oleh ion Al+3 pada permukaan partikel sehingga dapat
mengadsorpsi zat warna.
Tabel Syarat Mutu
No
1
2
3
4
5
Uraian
Kadar air maks % b/b
Hilang pijar maks % b/b
pH suspensi 10 %
Analisa ayak kering %
lolos 200 mesh, min
Efisiensi memucatkan
warna dibandingkan
dengan tanah pemucat yang
baik mutunya min %
Logam berbahaya :
Tembaga (Cu) maks
mg/kg
Timbal (Pb) maks
mg/kg
Raksa (Hg) maks mg/kg
Arsen (As) maks mg/kg
Jenis
Alamiah
Mutu I
Mutu II
10
10
7
7
67
67
90
90
Yang diaktifkan
Mutu I Mutu II
10
10
15
15
24
24
90
90
80
60
80
70
0,1
0,1
0,1
0,1
0,001
0,05
0,001
0,05
0,001
0,05
0,001
0,05
Catatan :
Tanah pemucat yang baik ialah tanah pemucat yang dapat memucatkan warna
minyak kelapa dari 40 % transmitten sampai dengan 80 % transmitten.
Komposisi (%)
65.24
Al2O3
15.12
Fe2O3
5.27
MgO
2.04
CaO
1.67
Na2O
2.71
K2O
2.07
TiO2
0.68
MnO2
0.21
P2O5
0.06
Lainnya
4.92
Tanah pemucat pertama kali ditemukan pada abad ke-19 di Inggris dan
Amerika. Dalam perdagangan tanah pemucat mempunyai nama dan komposisi
kimia yang berbeda. Tanah pemucat merupakan jenis Ca-bentonit yang memiliki
permukaan yang luas dan mempunyai afinitas spesifik terhadap molekul bertipe
pigmen. Tanah pemucat dapat digunakan secara langsung maupun dengan aktivasi
terlebih dahulu. Tanah pemucat hasil aktivasi adalah hasil perlakuan tanah
pemucat alami dengan asam mineral, umumnya dilakukan dengan asam klorida
dan asam sulfat. Perlakuan dengan asam meningkatkan daya adsorpsi tanah
tersebut sehingga untuk menghilangkan zat warna dengan jumlah yang sama
hanya dibutuhkan setengah dari tanah pemucat netral. Untuk beberapa jenis
minyak tertentu seperti minyak sawit, warna hanya dapat dihilangkan secara
efektif dengan tanah pemucat aktif.
Tanah pemucat bekas adalah limbah padat yang dihasilkan dari proses
pemucatan minyak pada industri minyak goreng yang mengandung zat warna dan
sejumlah minyak yang cukup berarti. Tanah pemucat bekas secara alami bersifat
pyrogenic pada kondisi atmosfir dan suhu hangat secara spontan sehingga akan
meningkatkan suhu lingkungan.
Umumnya industri pemurnian minyak membuang tanah pemucat bekas
dengan menimbun di lahan terbuka, dibakar di incenerator, dijadikan tambahan
makanan ternak dan digunakan sebagai land fill. Tanah pemucat bekas yang
ditumpuk akan menimbulkan limbah yang mudah terbakar dan mengeluarkan bau
yang tidak sedap karena kandungan minyaknya.
Minyak Sawit
Minyak sawit terbagi menjadi dua jenis yaitu minyak sawit mentah atau
CPO (crude palm oil) yang diekstrak dari daging buah (mesocarp) dan minyak
inti sawit atau PKO (palm kernel oil) yang diekstrak dari inti sawit. Bahan baku
yang digunakan untuk memproduksi minyak goreng adalah minyak sawit yang
berasal dari CPO. Penggunaan minyak yang diperoleh dari PKO sebagai bahan
baku minyak goreng jarang dilakukan.
Komponen penyusun minyak sawit terdiri dari campuran trigliserida, air,
asam lemak bebas dan komponen lainnya yang merupakan komponen minor.
Trigliserida terdapat dalam jumlah yang besar sedangkan komponen minor
terdapat dalam jumlah yang relatif kecil namun keduanya memegang peranan
dalam menentukan kualitas minyak sawit.
Komposisi (%)
95.62
Air
0.2
Phospatida
0.0702
Karoten
0.0351
Aldehid
0.0747
Trigiliserida
Trigliserida merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang.
Trigliserida dapat berfasa padat atau cair pada suhu kamar tergantung pada
komposisi asam lemak penyusunnya. Minyak sawit berfasa semi padat pada suhu
kamar karena komposisi asam lemak yang bervariasi dengan titik leleh yang juga
bervariasi. Komponen penyusun trigliserida terdiri dari asam lemak jenuh dan
asam lemak tidak jenuh. Selain trigliserida, terdapat juga monogliserida dan
digliserida.
2.
Unit
kg/m3
cSt
MJ/kg
0
C
0
C
mgKOH/g
mgIod/g
%
Nilai
920-950a
40.2 a
42 a
39.6 a
15a
314 a
190-209b
50-55b
0-0.4
0.5-2.0
40.1-47.5
3.5-6.0
36-44
6.5-12
0-0.5
Linolenat (C12:3)
dengan metode ekstraksi menggunakan pelarut. Beberapa pelarut polar dan non
polar digunakan sebagai media pengekstrak. Pelarut polar seperti eseton, metil etil
keton, isopropil alkohol dapat mengekstrak zat warna bersama dengan minyak
yang terkandung dalam tanah pemucat bekas, sedangkan pelarut non polar seperti
petroleum eter, toluen, xylene dan heksana mengekstrak komponen non polar
seperti trigliserida dan asam lemak bebas dalam minyak. Jenis pelarut dan metode
ekstraksi yang digunakan dapat mempengaruhi jumlah dan kualitas minyak yang
dihasilkan. Proses ekstraksi minyak dengan pelarut isopropil alkohol memberikan
yield minyak tertinggi mencapai 44%, namun kualitas minyak terbaik dihasilkan
dari pelarut heksana. Ekstraksi menggunakan pelarut heksana dapat dihasilkan
minyak dengan yield 20-30% dan kadar asam lemak bebas 11.5%.
Karakteristik minyak yang dihasilkan dari ekstraksi tanah pemucat bekas
menggunakan pelarut heksana. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara
komposisi asam lemak pada minyak hasil recovery dari tanah pemucat bekas
dengan CPO. Hal ini mengindikasikan bahwa proses pemucatan pada industri
minyak goreng tidak merubah komposisi asam lemak dalam minyak sawit.
Unit
%
Nilai
11.5
Bilangan Peroksida
ppm
3.1
Karoten
ppm
Miristat
1.1
Palmitat
45.2
Stearat
4.9
Oleat
37.9
Linoleat
10.9
Biodiesel
Biodiesel (alkil ester) didefinisikan sebagai energi alternatif bagi bahan
bakar solar berbasis petroleum dan terbuat dari sumber terbarukan seperti minyak
nabati atau lemak hewani. Secara kimia pengertian ilmiah paling umum dari
istilah biodiesel mencakup semua bahan bakar mesin diesel yang terbuat dari
sumber daya hayati atau biomassa.
Biodiesel dapat dibuat dari minyak nabati maupun lemak hewan, namun
yang paling umum digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel adalah
minyak nabati. Minyak nabati dan biodiesel tergolong ke dalam kelas besar
senyawa-senyawa organik yang sama, yaitu kelas ester asam-asam lemak. Minyak
nabati adalah triester asam-asam lemak dengan gliserol, sedangkan biodiesel
adalah monoester asam-asam lemak dengan alkohol rantai pendek seperti
metanol, etanol, propanol dan butanol. Perbedaan wujud molekuler ini memiliki
beberapa perbedaan dalam penilaian keduanya sebagai kandidat bahan bakar
mesin diesel :
1 Minyak nabati (trigliserida) memiliki berat molekul jauh lebih besar dari
biodiesel, sehingga trigliserida relatif mudah mengalami perengkahan
(cracking) menjadi molekul kecil jika dipanaskan tanpa kontak dengan udara
(oksigen).
2 Minyak nabati memiliki kekentalan (viskositas) jauh lebih besar dari minyak
solar maupun biodiesel, sehingga pompa penginjeksi bahan bakar di dalam
mesin diesel tidak mampu menghasilkan pengkabutan (atomization) yang baik
ketika minyak nabati disemprotkan ke ruang pembakaran.
3 Molekul minyak nabati relatif lebih bercabang dibandingkan biodiesel,
sehingga bilangan setana minyak nabati lebih rendah dari pada bilangan setana
biodiesel. Bilangan setana adalah tolok ukur kemudahan bahan bakar untuk
terbakar dalam mesin diesel.
Fisika Kimia
Kelembaban %
Engine power
Biodiesel
0.1
Energi yang dihasilkan
Solar (Petrodiesel)
0.3
Energi yang dihasilkan
Viskositas
Densitas
Bilangan Setana
Engine torque
Modifikasi engine
Konsumsi bahan
128.000 BTU
4.8 cSt
0.8624 g/ml
62.4
Sama
Tidak diperlukan
Sama
130.000 BTU
4.6 cSt
0.8750 g/ml
53
Sama
Sama
bakar
Lubrikasi
Emisi
Lebih tinggi
CO rendah, total
Lebih rendah_
CO tinggi, total
hidrokarbon, sulfur
hidrokarbon, sulfur
Penanganan
Lingkungan
Keberadaan
Terbarukan
tinggi
Tak terbarukan
RCOOH + R'OH
Asam lemak bebas
Alkohol
RCOOR' + H2O
Alkil ester
Air
Metanol, etanol, propanol dan butanol banyak digunakan dalam reaksi ini.
Metanol lebih sering dipilih karena lebih murah dibandingkan alkohol lainnya dan
merupakan senyawa polar berantai karbon paling pendek sehingga bereaksi lebih
cepat dengan trigliserida serta dapat melarutkan katalis asam maupun basa. Reaksi
transesterifikasi trigliserida menjadi alkil ester ditampilkan pada Gambar berikut.
CH2-OOC-R1
R1-COO-R'
CH-OOC-R2 + 3R'OH
R2-COO-R'
CH2-OOC-R3
R3-COO-R'
CH2-OH
Alkil ester
Gliserol
Trigliserida
Alkohol
CH2-OH
+
CH2-OH
Trigliserida + R'OH
Digliserida + R1COOR'
Digliserida + R'OH
Monogliserida + R2COOR'
Monogliserida + R'OH
Gliserol + R3COOR'
air. Proses-proses tersebut dilakukan terhadap minyak yang telah diekstrak dari
bahan asalnya dari alam.
3. Proses In situ
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, para ilmuan mulai berfikir untuk
mengefektifkan proses pembuatan biodiesel dengan cara in situ yaitu proses
pembuatan biodiesel langsung dari bahan yang mengandung minyak atau lemak.
Hasil yang diperoleh sama baiknya dengan metode konvensional bahkan lebih
baik.
Proses produksi biodiesel dengan metode in situ pertama kali dilakukan oleh
Harrington dan D'Arcy-Evans. Proses ini berbeda dengan proses konvensional
yang menggunakan bahan baku minyak atau lemak yang telah diekstrak dari
bahan asalnya. Pada proses in situ bahan baku yang digunakan adalah bahan
padatan yang mengandung minyak atau lemak. Proses ini dikenal dengan nama
esterifikasi atau transesterifikasi in situ. Esterifikasi atau transesterifikasi in situ
adalah proses ekstraksi minyak dan reaksi esterifikasi atau transesterifikasi
dilangsungkan secara simultan dalam satu reaktor.
situ adalah kadar air dan asam lemak bebas bahan baku, jenis alkohol, rasio
alkohol terhadap bahan baku, jenis katalis, konsentrasi katalis, waktu reaksi, suhu
reaksi, ukuran bahan dan kecepatan pengadukan sebagaimana dijelaskan sebagai
berikut:
a
lemak bebas kurang dari 2%. Beberapa peneliti menyarankan kadar asam lemak
bebas kurang dari 1%. Selain itu, semua bahan yang akan digunakan harus bebas
dari air, karena air akan menghidrolisis trigliserida menghasilkan asam lemak
bebas yang selanjutnya bereaksi dengan katalis sehingga mengurangi efektifitas
kinerja katalis.
Penurunan kadar air dalam bahan baku dari 8.7% menjadi 1.9% dapat
meningkatkan kelarutan minyak dalam metanol dari 92.2% menjadi 99.7% dan
meningkatkan konversi transesterifikasi dari 80% menjadi 98% pada proses
transesterifikasi in situ biji kapas dengan metanol dan katalis NaOH. Pengurangan
kadar air dibawah 1.9% tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
kelarutan minyak dan konversi transesterifikasi.
b
Jenis alkohol
Beberapa alkohol berantai pendek yang digunakan untuk proses esterifikasi
untuk mereaksikan 1 mol trigliserida menjadi 3 mol alkil ester dan 1 mol gliserol.
Pada proses konvensional yield optimum diperoleh dari rasio mol alkohol:minyak
6:1, alkohol berlebih diperlukan untuk mendorong reaksi ke arah produk karena
reaksi transesterifikasi merupakan reaksi reversibel. Dalam proses in situ, selain
sebagai pemasok gugus alkil, alkohol juga berfungsi sebagai pelarut sehingga
diperlukan alkohol dengan jumlah yang lebih banyak. Shiu et al. mempelajari
pengaruh jumlah alkohol terhadap yield metil ester dengan memvariasikan
perbandingan jumlah alkohol yang digunakan yaitu 2.5 - 20 ml untuk tiap gram
bahan baku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah alkohol 15 ml/g bahan
baku memberikan yield optimum.
d
Jenis katalis
Katalis yang digunakan dapat digolongkan menjadi katalis asam, katalis
basa dan katalis enzim. Berdasarkan fasanya katalis digolongkan menjadi katalis
homogen dan katalis heterogen. Pemilihan jenis katalis sangat penting dalam
produksi biodiesel. Bahan baku dengan kadar asam lemak bebas tinggi lebih
efektif menggunakan katalis asam untuk menghindari terjadinya reaksi
penyabunan. Katalis basa lebih banyak digunakan dibanding katalis asam dan
enzim karena konversi reaksi dapat dicapai dengan waktu yang lebih singkat.
Katalis basa yang paling populer untuk reaksi transesterifikasi adalah
natrium hidroksida (NaOH), kalium hidroksida (KOH), natrium metoksida
(NaOCH3), dan kalium metoksida(KOCH3). Katalis sejati bagi reaksi sebenarnya
adalah ion metilat (metoksida). Katalis NaOH lebih reaktif dan lebih murah
dibanding KOH, katalis NaOCH3 lebih baik namun harganya sangat mahal.
Sedangkan katalis asam yang biasa digunakan adalah asam sulfat dan asam
klorida.
f
Konsentrasi katalis
Dengan metode konvensional, reaksi transesterifikasi akan menghasilkan
Waktu reaksi
Waktu reaksi berhubungan dengan konversi reaksi. Semakin lama waktu
reaksi semakin banyak produk yang dihasilkan karena keadaan ini akan
memberikan kesempatan terhadap molekul-molekul reaktan untuk saling
bertumbukan. Setelah kesetimbangan tercapai peningkatan waktu reaksi tidak
memberikan pengaruh terhadap konversi reaksi.
Yield biodiesel meningkat seiring dengan meningkatnya waktu reaksi. Pada
proses konvensional dibutuhkan waktu 1 jam untuk menghasilkan konversi yang
maksimum. Namun untuk proses in situ dibutuhkan waktu yang lebih lama karena
selain reaksi transesterifikasi juga dibutuhkan waktu untuk mengekstrak minyak
dari bahan baku. Umumnya proses in situ berlangsung selama 3-6 jam.
h
Suhu reaksi
Suhu reaksi berkaitan dengan panas yang dibutuhkan untuk mencapai energi
aktivasi. Semakin tinggi suhu, maka semakin banyak energi yang digunakan
reaktan untuk saling bertumbukan dalam mencapai energi aktivasi. Reaksi
transesterifikasi dapat dilakukan pada suhu 25-65 0C (titik didih metanol sekitar
65 0C). Semakin tinggi suhu, konversi yang diperoleh akan semakin tinggi untuk
waktu yang lebih singkat. Banyak peneliti merekomendasikan suhu optimum
untuk reaksi transesterifikasi adalah 60 0C.
i
Kecepatan pengadukan
Metanol dan minyak merupakan larutan yang tidak saling campur sehingga
Ukuran bahan
Ukuran bahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju reaksi
antara padatan dan cairan. Bahan dengan ukuran lebih kecil yaitu dengan pori
yang lebih banyak mempunyai luas permukaan kontak yang lebih besar sehingga
perpindahan massa berlangsung lebih cepat. Proses esterifikasi in situ biji jarak
dengan pelarut metanol dan katalis asam sulfat menunjukkan bahwa penurunan
ukuran partikel biji jarak dari 1 mm menjadi 0.355 mm dapat menaikkan yield
biodiesel dari 62% menjadi 99.8% setelah diproses selama 24 jam pada 60 0C.
Kualitas Biodiesel
Beberapa parameter yang dijadikan sebagai acuan penentu kualitas biodiesel
adalah:
Titik Nyala
Titik nyala merupakan suhu terendah dimana aplikasi suatu pembakar
(ignition) menyebabkan uap suatu specimen terbakar pada kondisi uji yang
spesifik. Suatu contoh menyala jika api secara nyata muncul dan merambat secara
spontan dan sempurna di atas permukaan contoh. Persyaratan titik nyala
diperlukan untuk kemanan bahan bakar selama penyimpanan, transportasi dan
penggunaan. Titik nyala berkaitan dengan residu metanol dalam biodiesel. Adanya
sejumlah kecil metanol dalam biodiesel akan menurunkan titik nyala biodiesel
(titik nyala metanol adalah 11 0C).
b
Bilangan Setana
Bilangan setana menunjukkan seberapa cepat bahan bakar mesin diesel yang
Viskositas
Viskositas merupakan sifat intrinsik fluida yang menunjukkan resistensi
fluida terhadap aliran. Kecepatan aliran bahan bakar melalui injektor akan
mempengaruhi derajat atomisasi bahan bakar dalam ruang bakar. Viskositas bahan
bakar juga berpengaruh terhadap kemampuan bahan bakar tersebut bercampur
dengan udara. Viskositas bahan bakar yang tinggi seperti pada minyak nabati
tidak diharapkan dalam bahan bakar mesin diesel, oleh karena itu penggunaan
minyak nabati secara langsung pada mesin diesel menuntut digunakannya
mekanisme pemanas bahan bakar sebelum memasuki sistem pompa dan injeksi
bahan bakar.
Viskositas minyak nabati yang terlalu tinggi menyebabkan proses
penginjeksian dan atomisasi bahan bakar tidak dapat berlangsung dengan baik
sehingga akan menghasilkan pembakaran yang kurang sempurna dan dapat
mengakibatkan terbentuknya deposit dalam ruang bakar. Selain itu, proses
pemanasan dalam mesin menyebabkan minyak nabati yang merupakan suatu
senyawa trigliserida akan terurai menjadi gliserin dan asam lemak bebas. Senyawa
ini dapat menyebabkan kerusakan pada mesin karena akan membentuk deposit
pada pompa dan nozzle injector. Minimum viskositas diperlukan untuk beberapa
mesin karena berkaitan dengan daya lumas bahan bakar terhadap mesin diesel,
kehilangan power pada pompa injeksi dan kebocoran injektor.
Perbedaan viskositas antara minyak nabati dengan biodiesel digunakan
sebagai salah satu indikator keberhasilan dalam proses produksi biodiesel. Nilai
viskositas dipengaruhi oleh komposisi dan derajat kejenuhan asam lemak serta
tingkat kemurnian biodiesel. Viskositas meningkat dengan meningkatnya
panajang rantai karbon dan derajat kejenuhan asam lemak penyusun biodiesel.
e
Abu Sulfat
Abu tersulfatkan menunjukkan adanya residu alkali dalam biodiesel seperti
Sulfur
Adanya sulfur dalam biodiesel akan menghasilkan emisi asam sulfat dan gas
SO2 selama pembakaran. Selain itu oksida belerang dapat menyebabkan keausan
mesin karena saat mesin berhenti akan terjadi kondensasi oksida dan dengan
adanya air akan terbentuk asam sulfat yang dapat merusak dinding logam silinder
dan sistem gas buang kendaraan.
g
(cloudy). Hal ini timbul karena munculnya kristal-kristal dalam bahan bakar.
Bahan bakar masih bisa mengalir pada titik ini, namun keberadaan kristal di
dalam bahan bakar bisa mempengaruhi kelancaran aliran bahan bakar dalam filter,
pompa, dan injektor.
Titik tuang adalah suhu terendah yang masih memungkinkan terjadinya
aliran bahan bakar. Di bawah titik tuang bahan bakar tidak lagi bisa mengalir
karena terbentuknya kristal yang menyumbat aliran bahan bakar. Dilihat dari
definisinya, titik awan terjadi pada suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan
titik tuang.
Umumnya permasalahan aliran bahan bakar terjadi pada suhu diantara titik
awan dan titik tuang yaitu saat keberadaan kristal mulai mengganggu proses
filtrasi bahan bakar. Umumnya titik awan dan titik tuang biodiesel lebih tinggi
dibandingkan dengan solar. Hal ini bisa menimbulkan masalah pada penggunaan
biodiesel terutama di negara-negara yang mengalami musim dingin. Untuk
mengatasi hal tersebut, biasanya ditambahkan aditif tertentu pada biodiesel untuk
mencegah aglomerasi kristal-kristal yang terbentuk dalam biodiesel pada suhu
rendah. Selain menggunakan aditif, bisa juga dilakukan pencampuran antara
biodiesel dan solar.
Teknik lain yang bisa digunakan untuk menurunkan titik awan dan titik
tuang bahan bakar adalah dengan melakukan winterisasi. Pada metode ini
dilakukan pendinginan pada bahan bakar hingga terbentuk kristal-kristal yang
selanjutnya disaring dan dipisahkan dari bahan bakar. Proses kristalisasi parsial ini
terjadi karena asam lemak tidak jenuh memiliki titik beku yang lebih rendah
dibandingkan dengan asam lemak jenuh. Proses winterisasi sejatinya merupakan
proses pengurangan asam lemak jenuh pada biodiesel. Namun pengurangan asam
lemak jenuh akan menurunkan bilangan setana biodiesel.
h
Bilangan Asam
Bilangan asam menunjukkan kadar asam lemak bebas dalam biodiesel.
Keberadaan asam lemak bebas tidak dikehendaki dalam biodiesel karena bersifat
korosif pada peralatan injeksi bahan bakar, penyumbatan filter dan pembentukan
sedimen sehingga dapat merusak komponen peralatan mesin diesel. Bilangan
asam yang tinggi mengindikasikan degradasi ester selama penyimpanan yang
kurang baik. Bilangan asam di atas 0.8 mgKOH/g dapat menyebabkan korosi
terhadap komponen mesin diesel dan menyebabkan terjadinya deposit sistem
bahan bakar.
i
Bilangan Iod
Bilangan iod pada biodiesel menunjukkan tingkat ketidakjenuhan asam
Parameter
Densitas (40 0C)
Viskositas (40 0C)
Bilangan setana
Titik nyala
Titik awan
Korosi strip tembaga
Residu karbon
-
Unit
kg/m3
mm2/s (cSt)
0
C
C
Nilai
850 - 890
2.3 - 6.0
min. 51
min. 100
maks. 18
maks. no 3
% - berat
contoh
Metode Uji
ASTM D 1298
ASTM D 445
ASTM D 613
ASTM D 93
ASTM D 2500
ASTM D 130
ASTM D 4530
maks. 0.05
(maks. 0.3)
Maks. 0.05*
maks. 360
maks. 0.02
maks. 100
maks.10
maks. 0.8
maks. 0.02
maks. 0.24
min. 96.5
maks. 115
negatif
ASTM D 2709
ASTM D 1160
ASTM D 874
ASTM D 5453
ASTM D 4951
ASTM D 664
ASTM D 6584
ASTM D 6584
Dihitung**
AOCS Cd 1-25
AOCS Cb 1-25
Keterangan:
*