Anda di halaman 1dari 18

Nama : Nur sabana Hadiansah

Nim

: 1214046

BLEACHING EARTH
( TANAH PEMUCAT )
Tanah Pemucat

Tanah pemucat (bleaching earth) merupakan jenis tanah liat yang tersusun
atas senyawa alumina silikat dengan ukuran partikel 2 m. Daya pemucat
bleaching earth disebabkan oleh ion Al+3 pada permukaan partikel sehingga dapat
mengadsorpsi zat warna.
Tabel Syarat Mutu
No
1
2
3
4
5

Uraian
Kadar air maks % b/b
Hilang pijar maks % b/b
pH suspensi 10 %
Analisa ayak kering %
lolos 200 mesh, min
Efisiensi memucatkan
warna dibandingkan
dengan tanah pemucat yang
baik mutunya min %
Logam berbahaya :
Tembaga (Cu) maks
mg/kg
Timbal (Pb) maks
mg/kg
Raksa (Hg) maks mg/kg
Arsen (As) maks mg/kg

Jenis
Alamiah
Mutu I
Mutu II
10
10
7
7
67
67
90
90

Yang diaktifkan
Mutu I Mutu II
10
10
15
15
24
24
90
90

80

60

80

70

0,1

0,1

0,1

0,1

0,001
0,05

0,001
0,05

0,001
0,05

0,001
0,05

Catatan :
Tanah pemucat yang baik ialah tanah pemucat yang dapat memucatkan warna
minyak kelapa dari 40 % transmitten sampai dengan 80 % transmitten.

Tabel Komposisi kimia tanah pemucat


Komponen
SiO2

Komposisi (%)
65.24

Al2O3

15.12

Fe2O3

5.27

MgO

2.04

CaO

1.67

Na2O

2.71

K2O

2.07

TiO2

0.68

MnO2

0.21

P2O5

0.06

Lainnya

4.92

Tanah pemucat pertama kali ditemukan pada abad ke-19 di Inggris dan
Amerika. Dalam perdagangan tanah pemucat mempunyai nama dan komposisi
kimia yang berbeda. Tanah pemucat merupakan jenis Ca-bentonit yang memiliki
permukaan yang luas dan mempunyai afinitas spesifik terhadap molekul bertipe
pigmen. Tanah pemucat dapat digunakan secara langsung maupun dengan aktivasi
terlebih dahulu. Tanah pemucat hasil aktivasi adalah hasil perlakuan tanah
pemucat alami dengan asam mineral, umumnya dilakukan dengan asam klorida
dan asam sulfat. Perlakuan dengan asam meningkatkan daya adsorpsi tanah
tersebut sehingga untuk menghilangkan zat warna dengan jumlah yang sama
hanya dibutuhkan setengah dari tanah pemucat netral. Untuk beberapa jenis
minyak tertentu seperti minyak sawit, warna hanya dapat dihilangkan secara
efektif dengan tanah pemucat aktif.
Tanah pemucat bekas adalah limbah padat yang dihasilkan dari proses
pemucatan minyak pada industri minyak goreng yang mengandung zat warna dan
sejumlah minyak yang cukup berarti. Tanah pemucat bekas secara alami bersifat
pyrogenic pada kondisi atmosfir dan suhu hangat secara spontan sehingga akan
meningkatkan suhu lingkungan.
Umumnya industri pemurnian minyak membuang tanah pemucat bekas
dengan menimbun di lahan terbuka, dibakar di incenerator, dijadikan tambahan

makanan ternak dan digunakan sebagai land fill. Tanah pemucat bekas yang
ditumpuk akan menimbulkan limbah yang mudah terbakar dan mengeluarkan bau
yang tidak sedap karena kandungan minyaknya.

Minyak Sawit
Minyak sawit terbagi menjadi dua jenis yaitu minyak sawit mentah atau

CPO (crude palm oil) yang diekstrak dari daging buah (mesocarp) dan minyak
inti sawit atau PKO (palm kernel oil) yang diekstrak dari inti sawit. Bahan baku
yang digunakan untuk memproduksi minyak goreng adalah minyak sawit yang
berasal dari CPO. Penggunaan minyak yang diperoleh dari PKO sebagai bahan
baku minyak goreng jarang dilakukan.
Komponen penyusun minyak sawit terdiri dari campuran trigliserida, air,
asam lemak bebas dan komponen lainnya yang merupakan komponen minor.
Trigliserida terdapat dalam jumlah yang besar sedangkan komponen minor
terdapat dalam jumlah yang relatif kecil namun keduanya memegang peranan
dalam menentukan kualitas minyak sawit.

Tabel Komponen penyusun minyak sawit (CPO)


Komponen
Trigliserida

Komposisi (%)
95.62

Asam lemak bebas

Air

0.2

Phospatida

0.0702

Karoten

0.0351

Aldehid

0.0747

Senyawa-senyawa dalam minyak sawit untuk bahan baku pembuatan


biodiesel adalah trigleserida dan asam lemak bebas sebagaimana dijelaskan
sebagai berikut:
1.

Trigiliserida

Trigliserida merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang.
Trigliserida dapat berfasa padat atau cair pada suhu kamar tergantung pada
komposisi asam lemak penyusunnya. Minyak sawit berfasa semi padat pada suhu
kamar karena komposisi asam lemak yang bervariasi dengan titik leleh yang juga
bervariasi. Komponen penyusun trigliserida terdiri dari asam lemak jenuh dan
asam lemak tidak jenuh. Selain trigliserida, terdapat juga monogliserida dan
digliserida.
2.

Asam Lemak Bebas


Asam lemak bebas adalah asam lemak yang terpisah dari trigliserida,

digliserida, monogliserida, dan gliserin bebas. Asam lemak bebas merupakan


produk hidrolisis dari trigliserida. Oksidasi juga dapat meningkatkan kadar asam
lemak bebas dalam minyak nabati.
Dalam proses konversi trigliserida menjadi biodiesel melalui reaksi
transesterifikasi dengan katalis basa, asam lemak bebas harus dipisahkan atau
dikonversi menjadi biodiesel terlebih dahulu karena asam lemak bebas akan
mengkonsumsi katalis.

Tabel Sifat fisikokimia minyak sawit (crude palm oil)


Parameter
Densitas 25 0C
Viskositas 40 0C
Bilangan setana
Nilai kalor
Titik tuang
Titik nyala
Bilangan penyabunan
Bilangan iod
Komposisi asam lemakb
Laurat (C12:0)
Miristat (C14:0)
Palmitat (C16:0)
Stearat (C18:0)
Oleat (C18:1)
Linoleat (C18:2)

Unit
kg/m3
cSt
MJ/kg
0
C
0
C
mgKOH/g
mgIod/g
%

Nilai
920-950a
40.2 a
42 a
39.6 a
15a
314 a
190-209b
50-55b
0-0.4
0.5-2.0
40.1-47.5
3.5-6.0
36-44
6.5-12
0-0.5

Linolenat (C12:3)

Recovery Minyak dari Tanah Pemucat Bekas


Residu minyak sawit dalam tanah pemucat bekas umumnya direcovery

dengan metode ekstraksi menggunakan pelarut. Beberapa pelarut polar dan non
polar digunakan sebagai media pengekstrak. Pelarut polar seperti eseton, metil etil
keton, isopropil alkohol dapat mengekstrak zat warna bersama dengan minyak
yang terkandung dalam tanah pemucat bekas, sedangkan pelarut non polar seperti
petroleum eter, toluen, xylene dan heksana mengekstrak komponen non polar
seperti trigliserida dan asam lemak bebas dalam minyak. Jenis pelarut dan metode
ekstraksi yang digunakan dapat mempengaruhi jumlah dan kualitas minyak yang
dihasilkan. Proses ekstraksi minyak dengan pelarut isopropil alkohol memberikan
yield minyak tertinggi mencapai 44%, namun kualitas minyak terbaik dihasilkan
dari pelarut heksana. Ekstraksi menggunakan pelarut heksana dapat dihasilkan
minyak dengan yield 20-30% dan kadar asam lemak bebas 11.5%.
Karakteristik minyak yang dihasilkan dari ekstraksi tanah pemucat bekas
menggunakan pelarut heksana. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara
komposisi asam lemak pada minyak hasil recovery dari tanah pemucat bekas
dengan CPO. Hal ini mengindikasikan bahwa proses pemucatan pada industri
minyak goreng tidak merubah komposisi asam lemak dalam minyak sawit.

Tabel Karakteristik residu minyak dalam tanah pemucat bekas


Parameter
Kadar asam lemak bebas

Unit
%

Nilai
11.5

Bilangan Peroksida

ppm

3.1

Karoten

ppm

Miristat

1.1

Palmitat

45.2

Komposisi Asam lemak

Stearat

4.9

Oleat

37.9

Linoleat

10.9

Biodiesel
Biodiesel (alkil ester) didefinisikan sebagai energi alternatif bagi bahan
bakar solar berbasis petroleum dan terbuat dari sumber terbarukan seperti minyak
nabati atau lemak hewani. Secara kimia pengertian ilmiah paling umum dari
istilah biodiesel mencakup semua bahan bakar mesin diesel yang terbuat dari
sumber daya hayati atau biomassa.
Biodiesel dapat dibuat dari minyak nabati maupun lemak hewan, namun
yang paling umum digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel adalah
minyak nabati. Minyak nabati dan biodiesel tergolong ke dalam kelas besar
senyawa-senyawa organik yang sama, yaitu kelas ester asam-asam lemak. Minyak
nabati adalah triester asam-asam lemak dengan gliserol, sedangkan biodiesel
adalah monoester asam-asam lemak dengan alkohol rantai pendek seperti
metanol, etanol, propanol dan butanol. Perbedaan wujud molekuler ini memiliki
beberapa perbedaan dalam penilaian keduanya sebagai kandidat bahan bakar
mesin diesel :
1 Minyak nabati (trigliserida) memiliki berat molekul jauh lebih besar dari
biodiesel, sehingga trigliserida relatif mudah mengalami perengkahan
(cracking) menjadi molekul kecil jika dipanaskan tanpa kontak dengan udara
(oksigen).
2 Minyak nabati memiliki kekentalan (viskositas) jauh lebih besar dari minyak
solar maupun biodiesel, sehingga pompa penginjeksi bahan bakar di dalam
mesin diesel tidak mampu menghasilkan pengkabutan (atomization) yang baik
ketika minyak nabati disemprotkan ke ruang pembakaran.
3 Molekul minyak nabati relatif lebih bercabang dibandingkan biodiesel,
sehingga bilangan setana minyak nabati lebih rendah dari pada bilangan setana
biodiesel. Bilangan setana adalah tolok ukur kemudahan bahan bakar untuk
terbakar dalam mesin diesel.

Selain perbedaan di atas, minyak nabati dan biodiesel sama-sama


berkomponen penyusun utama asam-asam lemak. Proses transesterifikasi minyak
nabati menjadi alkil ester asam-asam lemak bertujuan memodifikasi minyak
nabati menjadi alkil ester (biodiesel) yang berkekentalan mirip solar, berangka
setana lebih tinggi, dan relatif lebih stabil terhadap perengkahan. Semua minyak
nabati dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar solar namun dengan
proses-proses pengolahan tertentu.
Keunggulan biodiesel sebagai bahan bakar antara lain diproduksi dari bahan
baku yang dapat diperbarui, dapat digunakan pada kebanyakan mesin diesel tanpa
modifikasi atau hanya sedikit modifikasi, bersifat biodegradable, tidak beracun,
bebas dari sulfur dan senyawa aromatik, mempunyai titik nyala yang lebih tinggi
dibanding petrodiesel.
Tabel Perbandingan karakteristik biodiesel dan petrodiesel

Fisika Kimia
Kelembaban %
Engine power

Biodiesel
0.1
Energi yang dihasilkan

Solar (Petrodiesel)
0.3
Energi yang dihasilkan

Viskositas
Densitas
Bilangan Setana
Engine torque
Modifikasi engine
Konsumsi bahan

128.000 BTU
4.8 cSt
0.8624 g/ml
62.4
Sama
Tidak diperlukan
Sama

130.000 BTU
4.6 cSt
0.8750 g/ml
53
Sama
Sama

bakar
Lubrikasi
Emisi

Lebih tinggi
CO rendah, total

Lebih rendah_
CO tinggi, total

hidrokarbon, sulfur

hidrokarbon, sulfur

Penanganan
Lingkungan

dioksida, dan nitroksida dioksida dan nitroksida


Flamable lebih rendah
Flamable lebih tinggi
Toksisitas rendah
Toksisitas 10 kali lebih

Keberadaan

Terbarukan

Proses Pembuatan Biodiesel

tinggi
Tak terbarukan

Teknologi proses pembuatan biodiesel umumnya dilakukan melalui reaksi


transesterifikasi berkatalis basa. Namun teknologi proses satu tahap tersebut tidak
cocok digunakan untuk bahan baku yang memiliki kadar asam lemak bebas tinggi.
Transesterifikasi hanya bekerja secara baik terhadap minyak dengan kadar asam
lemak bebas kurang dari 2%. Asam lemak bebas yang tinggi dalam minyak nabati
akan mengkonsumsi katalis basa pada proses transesterifikasi sehingga akan
membentuk emulsi sabun yang sulit dipisahkan dan dapat menurunkan yield
biodiesel. Pembuatan biodiesel dengan bahan baku minyak dengan kadar asam
lemak bebas tinggi dilakukan dengan dua tahap proses yaitu esterifikasi dengan
katalis asam yang bertujuan mengkonversi asam lemak bebas menjadi biodiesel
dilanjutkan dengan transesterifikasi berkatalis basa yang bertujuan mengkonversi
trigliserida menjadi biodiesel.
1. Esterifikasi
Esterifikasi adalah tahap konversi dari asam lemak bebas menjadi alkil ester.
Reaksi esterifikasi dilakukan dengan mereaksikan minyak dengan alkohol dan
penambahan katalis asam. Katalis-katalis yang cocok adalah zat berkarakter asam
kuat seperti asam sulfat, asam klorida, asam sulfonat organik atau resin penukar
kation asam kuat.

RCOOH + R'OH
Asam lemak bebas

Alkohol

RCOOR' + H2O
Alkil ester

Air

Gambar : Reaksi esterifikasi


Proses esterifikasi umumnya dilakukan dengan metanol dan katalis asam
sulfat. Reaksi ini merupakan reaksi dapat balik sehingga diumpankam metanol
berlebih untuk menggeser reaksi ke arah produk. Mempelajari proses esterifikasi
minyak kedelai oleh metanol dengan katalis asam sulfat.
2. Transesterifikasi
Transesterifikasi adalah tahap konversi trigliserida menjadi alkil ester
melalui reaksi dengan alkohol dan menghasilkan produk samping gliserol.

Metanol, etanol, propanol dan butanol banyak digunakan dalam reaksi ini.
Metanol lebih sering dipilih karena lebih murah dibandingkan alkohol lainnya dan
merupakan senyawa polar berantai karbon paling pendek sehingga bereaksi lebih
cepat dengan trigliserida serta dapat melarutkan katalis asam maupun basa. Reaksi
transesterifikasi trigliserida menjadi alkil ester ditampilkan pada Gambar berikut.
CH2-OOC-R1

R1-COO-R'

CH-OOC-R2 + 3R'OH

R2-COO-R'

CH2-OOC-R3

R3-COO-R'

CH2-OH

Alkil ester

Gliserol

Trigliserida

Alkohol

CH2-OH
+

CH2-OH

Gambar : Reaksi transesterifikasi


Reaksi transesterifikasi merupakan reaksi dapat balik sehingga penggunaan
alkohol berlebih akan menggeser kesetimbangan ke arah produk. Katalis yang
biasa digunakan adalah katalis basa seperti NaOH, KOH, NaOCH 3 dan KOCH3 .
Transesterifikasi merupakan reaksi berantai. Pertama, trigliserida (TG) direduksi
menjadi digliserida (DG), selanjutnya digliserida direduksi menjadi monogliserida
(MG) yang akhirnya membentuk alkil ester dan gliserol.

Trigliserida + R'OH

Digliserida + R1COOR'

Digliserida + R'OH

Monogliserida + R2COOR'

Monogliserida + R'OH

Gliserol + R3COOR'

Gambar : Mekanisme reaksi transesterifikasi


Proses transesterifikasi umumnya dilakukan pada rasio mol metanol:minyak
6:1 dengan 1% katalis basa (NaOH atau KOH) pada 60 0C selama 1 jam. Yield
biodiesel yang tinggi hanya dihasilkan jika minyak yang diumpankan memiliki
kadar asam lemak bebas kurang dari 2% dan semua reaktan yang digunakan bebas

air. Proses-proses tersebut dilakukan terhadap minyak yang telah diekstrak dari
bahan asalnya dari alam.
3. Proses In situ
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, para ilmuan mulai berfikir untuk
mengefektifkan proses pembuatan biodiesel dengan cara in situ yaitu proses
pembuatan biodiesel langsung dari bahan yang mengandung minyak atau lemak.
Hasil yang diperoleh sama baiknya dengan metode konvensional bahkan lebih
baik.
Proses produksi biodiesel dengan metode in situ pertama kali dilakukan oleh
Harrington dan D'Arcy-Evans. Proses ini berbeda dengan proses konvensional
yang menggunakan bahan baku minyak atau lemak yang telah diekstrak dari
bahan asalnya. Pada proses in situ bahan baku yang digunakan adalah bahan
padatan yang mengandung minyak atau lemak. Proses ini dikenal dengan nama
esterifikasi atau transesterifikasi in situ. Esterifikasi atau transesterifikasi in situ
adalah proses ekstraksi minyak dan reaksi esterifikasi atau transesterifikasi
dilangsungkan secara simultan dalam satu reaktor.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses In situ


Faktor-faktor yang mempengaruhi proses esterifikasi dan transesterifikasi in

situ adalah kadar air dan asam lemak bebas bahan baku, jenis alkohol, rasio
alkohol terhadap bahan baku, jenis katalis, konsentrasi katalis, waktu reaksi, suhu
reaksi, ukuran bahan dan kecepatan pengadukan sebagaimana dijelaskan sebagai
berikut:
a

Kadar air dan asam lemak bebas


Minyak nabati yang akan ditransesterifikasi harus memiliki kadar asam

lemak bebas kurang dari 2%. Beberapa peneliti menyarankan kadar asam lemak
bebas kurang dari 1%. Selain itu, semua bahan yang akan digunakan harus bebas
dari air, karena air akan menghidrolisis trigliserida menghasilkan asam lemak
bebas yang selanjutnya bereaksi dengan katalis sehingga mengurangi efektifitas
kinerja katalis.

Penurunan kadar air dalam bahan baku dari 8.7% menjadi 1.9% dapat
meningkatkan kelarutan minyak dalam metanol dari 92.2% menjadi 99.7% dan
meningkatkan konversi transesterifikasi dari 80% menjadi 98% pada proses
transesterifikasi in situ biji kapas dengan metanol dan katalis NaOH. Pengurangan
kadar air dibawah 1.9% tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
kelarutan minyak dan konversi transesterifikasi.
b

Jenis alkohol
Beberapa alkohol berantai pendek yang digunakan untuk proses esterifikasi

dan transesterifikasi in situ adalah metanol, etanol, propanol, iso-propanol dan


butanol. Kelarutan minyak dalam alkohol meningkat dengan meningkatnya
jumlah atom karbon alkohol, namun produk dengan kemurnian yang tinggi
diperoleh dari proses dengan menggunakan metanol. Metanol bukan pelarut yang
baik untuk minyak, namun kebanyakan peneliti menggunakan metanol sebagai
media pengekstrak. Pemilihan ini lebih didasarkan pada harganya yang lebih
murah, rantai paling pendek sehingga paling reaktif untuk reaksi esterifikasi dan
transesterifikasi. Beberapa peneliti menggunakan co-solvent seperti heksana atau
petroleum eter dalam proses in situ untuk menaikkan yield biodiesel.
c

Rasio alkohol terhadap bahan baku


Secara stoikiometri reaksi transesterifikasi membutuhkan 3 mol alkohol

untuk mereaksikan 1 mol trigliserida menjadi 3 mol alkil ester dan 1 mol gliserol.
Pada proses konvensional yield optimum diperoleh dari rasio mol alkohol:minyak
6:1, alkohol berlebih diperlukan untuk mendorong reaksi ke arah produk karena
reaksi transesterifikasi merupakan reaksi reversibel. Dalam proses in situ, selain
sebagai pemasok gugus alkil, alkohol juga berfungsi sebagai pelarut sehingga
diperlukan alkohol dengan jumlah yang lebih banyak. Shiu et al. mempelajari
pengaruh jumlah alkohol terhadap yield metil ester dengan memvariasikan
perbandingan jumlah alkohol yang digunakan yaitu 2.5 - 20 ml untuk tiap gram
bahan baku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah alkohol 15 ml/g bahan
baku memberikan yield optimum.
d

Jenis katalis
Katalis yang digunakan dapat digolongkan menjadi katalis asam, katalis

basa dan katalis enzim. Berdasarkan fasanya katalis digolongkan menjadi katalis

homogen dan katalis heterogen. Pemilihan jenis katalis sangat penting dalam
produksi biodiesel. Bahan baku dengan kadar asam lemak bebas tinggi lebih
efektif menggunakan katalis asam untuk menghindari terjadinya reaksi
penyabunan. Katalis basa lebih banyak digunakan dibanding katalis asam dan
enzim karena konversi reaksi dapat dicapai dengan waktu yang lebih singkat.
Katalis basa yang paling populer untuk reaksi transesterifikasi adalah
natrium hidroksida (NaOH), kalium hidroksida (KOH), natrium metoksida
(NaOCH3), dan kalium metoksida(KOCH3). Katalis sejati bagi reaksi sebenarnya
adalah ion metilat (metoksida). Katalis NaOH lebih reaktif dan lebih murah
dibanding KOH, katalis NaOCH3 lebih baik namun harganya sangat mahal.
Sedangkan katalis asam yang biasa digunakan adalah asam sulfat dan asam
klorida.
f

Konsentrasi katalis
Dengan metode konvensional, reaksi transesterifikasi akan menghasilkan

konversi yang maksimum dengan jumlah katalis 0.5-1.5% terhadap minyak


nabati. Jumlah katalis yang efektif adalah 0.5%-b minyak nabati untuk natrium
metoksida dan 1%-b minyak nabati untuk natrium hidroksida. Produksi biodiesel
dengan metode in situ membutuhkan jumlah katalis yang lebih besar untuk
mencapai konversi maksimum. Hal ini disebabkan oleh besarnya volume
campuran reaksi metode in situ dibandingkan metode konvensional.
g

Waktu reaksi
Waktu reaksi berhubungan dengan konversi reaksi. Semakin lama waktu

reaksi semakin banyak produk yang dihasilkan karena keadaan ini akan
memberikan kesempatan terhadap molekul-molekul reaktan untuk saling
bertumbukan. Setelah kesetimbangan tercapai peningkatan waktu reaksi tidak
memberikan pengaruh terhadap konversi reaksi.
Yield biodiesel meningkat seiring dengan meningkatnya waktu reaksi. Pada
proses konvensional dibutuhkan waktu 1 jam untuk menghasilkan konversi yang
maksimum. Namun untuk proses in situ dibutuhkan waktu yang lebih lama karena
selain reaksi transesterifikasi juga dibutuhkan waktu untuk mengekstrak minyak
dari bahan baku. Umumnya proses in situ berlangsung selama 3-6 jam.
h

Suhu reaksi

Suhu reaksi berkaitan dengan panas yang dibutuhkan untuk mencapai energi
aktivasi. Semakin tinggi suhu, maka semakin banyak energi yang digunakan
reaktan untuk saling bertumbukan dalam mencapai energi aktivasi. Reaksi
transesterifikasi dapat dilakukan pada suhu 25-65 0C (titik didih metanol sekitar
65 0C). Semakin tinggi suhu, konversi yang diperoleh akan semakin tinggi untuk
waktu yang lebih singkat. Banyak peneliti merekomendasikan suhu optimum
untuk reaksi transesterifikasi adalah 60 0C.
i

Kecepatan pengadukan
Metanol dan minyak merupakan larutan yang tidak saling campur sehingga

dalam reaksinya perlu pengadukan. Kecepatan pengadukan berkaitan dengan


kehomogenan campuran reaksi agar reaksi berlangsung sempurna. Semakin tinggi
kecepatan pengadukan maka semakin cepat terjadinya reaksi transesterifikasi.
Kecepatan pengadukan optimum untuk proses transesterifikasi CPO adalah 150
rpm, berbeda dengan sebelumnya Noureddini dan Zhu dan Sahirman melaporkan
kecepatan pengadukan optimum dari proses transesterifikasi adalah 300 rpm. Pada
proses konvensional kecepatan pengadukan di atas 400 rpm tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap hasil transesterifikasi. Pada proses in situ
diperlukan kecepatan pengadukan yang lebih tinggi untuk menghasilkan kontak
yang sempurna antara padatan dan cairan. Umumnya transesterifikasi in situ
dilakukan pada 600 rpm.
j

Ukuran bahan
Ukuran bahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju reaksi

antara padatan dan cairan. Bahan dengan ukuran lebih kecil yaitu dengan pori
yang lebih banyak mempunyai luas permukaan kontak yang lebih besar sehingga
perpindahan massa berlangsung lebih cepat. Proses esterifikasi in situ biji jarak
dengan pelarut metanol dan katalis asam sulfat menunjukkan bahwa penurunan
ukuran partikel biji jarak dari 1 mm menjadi 0.355 mm dapat menaikkan yield
biodiesel dari 62% menjadi 99.8% setelah diproses selama 24 jam pada 60 0C.

Kualitas Biodiesel
Beberapa parameter yang dijadikan sebagai acuan penentu kualitas biodiesel

adalah:

Titik Nyala
Titik nyala merupakan suhu terendah dimana aplikasi suatu pembakar

(ignition) menyebabkan uap suatu specimen terbakar pada kondisi uji yang
spesifik. Suatu contoh menyala jika api secara nyata muncul dan merambat secara
spontan dan sempurna di atas permukaan contoh. Persyaratan titik nyala
diperlukan untuk kemanan bahan bakar selama penyimpanan, transportasi dan
penggunaan. Titik nyala berkaitan dengan residu metanol dalam biodiesel. Adanya
sejumlah kecil metanol dalam biodiesel akan menurunkan titik nyala biodiesel
(titik nyala metanol adalah 11 0C).
b

Air dan Sedimen


Adanya air dan sedimen dalam biodiesel tidak dikehendaki karena akan

menyebabkan korosi terhadap peralatan mesin diesel serta mengkondisikan


lingkungan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Proses pengeringan saat
pemurnian biodiesel yang kurang baik mengakibatkan adanya air dan sedimen
dalam biodiesel. Kontak bahan bakar dengan air selama penyimpanan dan
transportasi juga meningkatkan kadar air dalam biodiesel.
c

Bilangan Setana
Bilangan setana menunjukkan seberapa cepat bahan bakar mesin diesel yang

diinjeksikan ke ruang bakar bisa terbakar secara spontan setelah bercampur


dengan udara. Semakin tinggi bilangan setana bahan bakar maka semakin cepat
suatu bahan bakar mesin diesel terbakar setelah diinjeksikan ke dalam ruang bakar
(Knothe 2010). Bilangan setana pada bahan bakar mesin diesel memiliki
pengertian yang berkebalikan dengan bilangan oktan pada bahan bakar mesin
bensin. Bilangan oktan menunjukkan kemampuan campuran bensin dan udara
menunggu rambatan api dari busi (spark ignition).
Hidrokarbon dengan rantai lurus lebih mudah terbakar dibandingkan dengan
hidrokarbon yang memiliki banyak cabang. Bilangan setana yang tinggi juga
diketahui berhubungan dengan rendahnya polutan NOx.
Secara umum biodiesel memiliki bilangan setana yang lebih tinggi
dibandingkan solar. Biodiesel umumnya memiliki rentang bilangan setana 46-70,
sedangkan solar memiliki bilangan setana 47-55. Panjang rantai karbon,
komposisi asam lemak dan derajat kejenuhan asam lemak mempengaruhi nilai

bilangan setana pada biodiesel. Bilangan setana meningkat dengan meningkatnya


panjang rantai karbon dan derajat kejenuhan asam lemak penyusun biodiesel.
d

Viskositas
Viskositas merupakan sifat intrinsik fluida yang menunjukkan resistensi

fluida terhadap aliran. Kecepatan aliran bahan bakar melalui injektor akan
mempengaruhi derajat atomisasi bahan bakar dalam ruang bakar. Viskositas bahan
bakar juga berpengaruh terhadap kemampuan bahan bakar tersebut bercampur
dengan udara. Viskositas bahan bakar yang tinggi seperti pada minyak nabati
tidak diharapkan dalam bahan bakar mesin diesel, oleh karena itu penggunaan
minyak nabati secara langsung pada mesin diesel menuntut digunakannya
mekanisme pemanas bahan bakar sebelum memasuki sistem pompa dan injeksi
bahan bakar.
Viskositas minyak nabati yang terlalu tinggi menyebabkan proses
penginjeksian dan atomisasi bahan bakar tidak dapat berlangsung dengan baik
sehingga akan menghasilkan pembakaran yang kurang sempurna dan dapat
mengakibatkan terbentuknya deposit dalam ruang bakar. Selain itu, proses
pemanasan dalam mesin menyebabkan minyak nabati yang merupakan suatu
senyawa trigliserida akan terurai menjadi gliserin dan asam lemak bebas. Senyawa
ini dapat menyebabkan kerusakan pada mesin karena akan membentuk deposit
pada pompa dan nozzle injector. Minimum viskositas diperlukan untuk beberapa
mesin karena berkaitan dengan daya lumas bahan bakar terhadap mesin diesel,
kehilangan power pada pompa injeksi dan kebocoran injektor.
Perbedaan viskositas antara minyak nabati dengan biodiesel digunakan
sebagai salah satu indikator keberhasilan dalam proses produksi biodiesel. Nilai
viskositas dipengaruhi oleh komposisi dan derajat kejenuhan asam lemak serta
tingkat kemurnian biodiesel. Viskositas meningkat dengan meningkatnya
panajang rantai karbon dan derajat kejenuhan asam lemak penyusun biodiesel.
e

Abu Sulfat
Abu tersulfatkan menunjukkan adanya residu alkali dalam biodiesel seperti

sisa NaOH. Proses pencucian biodiesel yang kurang sempurna menyebabkan


tingginya residu alkali dalam biodiesel. Abu tersulfatkan dapat menyebabkan
penyumbatan pada sistem bahan bakar.

Sulfur
Adanya sulfur dalam biodiesel akan menghasilkan emisi asam sulfat dan gas

SO2 selama pembakaran. Selain itu oksida belerang dapat menyebabkan keausan
mesin karena saat mesin berhenti akan terjadi kondensasi oksida dan dengan
adanya air akan terbentuk asam sulfat yang dapat merusak dinding logam silinder
dan sistem gas buang kendaraan.
g

Titik Awan dan Titik Tuang


Titik awan adalah suhu pada saat bahan bakar mulai tampak berawan

(cloudy). Hal ini timbul karena munculnya kristal-kristal dalam bahan bakar.
Bahan bakar masih bisa mengalir pada titik ini, namun keberadaan kristal di
dalam bahan bakar bisa mempengaruhi kelancaran aliran bahan bakar dalam filter,
pompa, dan injektor.
Titik tuang adalah suhu terendah yang masih memungkinkan terjadinya
aliran bahan bakar. Di bawah titik tuang bahan bakar tidak lagi bisa mengalir
karena terbentuknya kristal yang menyumbat aliran bahan bakar. Dilihat dari
definisinya, titik awan terjadi pada suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan
titik tuang.
Umumnya permasalahan aliran bahan bakar terjadi pada suhu diantara titik
awan dan titik tuang yaitu saat keberadaan kristal mulai mengganggu proses
filtrasi bahan bakar. Umumnya titik awan dan titik tuang biodiesel lebih tinggi
dibandingkan dengan solar. Hal ini bisa menimbulkan masalah pada penggunaan
biodiesel terutama di negara-negara yang mengalami musim dingin. Untuk
mengatasi hal tersebut, biasanya ditambahkan aditif tertentu pada biodiesel untuk
mencegah aglomerasi kristal-kristal yang terbentuk dalam biodiesel pada suhu
rendah. Selain menggunakan aditif, bisa juga dilakukan pencampuran antara
biodiesel dan solar.
Teknik lain yang bisa digunakan untuk menurunkan titik awan dan titik
tuang bahan bakar adalah dengan melakukan winterisasi. Pada metode ini
dilakukan pendinginan pada bahan bakar hingga terbentuk kristal-kristal yang
selanjutnya disaring dan dipisahkan dari bahan bakar. Proses kristalisasi parsial ini
terjadi karena asam lemak tidak jenuh memiliki titik beku yang lebih rendah
dibandingkan dengan asam lemak jenuh. Proses winterisasi sejatinya merupakan

proses pengurangan asam lemak jenuh pada biodiesel. Namun pengurangan asam
lemak jenuh akan menurunkan bilangan setana biodiesel.
h

Bilangan Asam
Bilangan asam menunjukkan kadar asam lemak bebas dalam biodiesel.

Keberadaan asam lemak bebas tidak dikehendaki dalam biodiesel karena bersifat
korosif pada peralatan injeksi bahan bakar, penyumbatan filter dan pembentukan
sedimen sehingga dapat merusak komponen peralatan mesin diesel. Bilangan
asam yang tinggi mengindikasikan degradasi ester selama penyimpanan yang
kurang baik. Bilangan asam di atas 0.8 mgKOH/g dapat menyebabkan korosi
terhadap komponen mesin diesel dan menyebabkan terjadinya deposit sistem
bahan bakar.
i

Gliserin Total dan Gliserin Bebas


Gliserin total merupakan jumlah seluruh gliserin dalam bahan bakar baik

dalam bentuk terikat (mono, di dan trigliserida) maupun bebas (gliserol).


Keberadaan gliserol dan sisa gliserida yang belum terkonversi dapat menyebabkan
penyumbatan pada tangki penyimpanan dan deposit pada ruang bakar. Konversi
mono, di dan trigliserida menjadi biodiesel yang tidak sempurna serta proses
pencucian biodiesel yang kurang sempurna menyebabkan tingginya bilangan
gliserin total.
j

Bilangan Iod
Bilangan iod pada biodiesel menunjukkan tingkat ketidakjenuhan asam

lemak penyusun biodiesel. Keberadaan asam lemak tidak jenuh meningkatkan


performansi biodiesel pada suhu rendah karena senyawa ini memiliki titik leleh
yang lebih rendah sehingga berkorelasi pada titik awan dan titik tuang yang juga
rendah. Disisi lain banyaknya senyawa lemak tak jenuh memudahkan senyawa
tersebut bereaksi dengan oksigen di atmosfer dan dapat terpolimerisasi
membentuk material serupa plastik. Batasan maksimal nilai bilangan iod yang
diperbolehkan untuk biodiesel yaitu 115 berdasarkan standard Eropa dan
Indonesia.
k

Efek Pelumasan Mesin


Sifat pelumasan pada solar menjadi berkurang jika dilakukan desulfurisasi

(pengurangan kandungan sulfur) akibat tuntutan standard solar di berbagai negara.

Berkurangnya sifat pelumasan bahan bakar bisa menimbulkan permasalahan pada


sistem penyaluran bahan bakar seperti pompa bahan bakar dan injektor. Meski
berkurangnya sifat pelumasan muncul akibat proses desulfurisasi, namun hasil
penelitian menunjukkan berkurangnya sifat pelumasan tersebut bukan akibat
berkurangnya konsentrasi sulfur tetapi karena berkurangnya komponen-komponen
non-polar yang terikut dalam proses desulfurisasi.
Tabel Standarisasi Biodiesel Indonesia menurut SNI
No
1
2
3
4
5
6
7

Parameter
Densitas (40 0C)
Viskositas (40 0C)
Bilangan setana
Titik nyala
Titik awan
Korosi strip tembaga
Residu karbon
-

Unit
kg/m3
mm2/s (cSt)
0

C
C

Nilai
850 - 890
2.3 - 6.0
min. 51
min. 100
maks. 18
maks. no 3

% - berat

contoh

Metode Uji
ASTM D 1298
ASTM D 445
ASTM D 613
ASTM D 93
ASTM D 2500
ASTM D 130
ASTM D 4530

maks. 0.05

- 10% ampas distilasi


8
Air dan sedimen
% - vol
0
9
Suhu destilasi, 90%
C
10 Abu tersulfatkan
% - berat
11 Belerang
ppm (mg/kg)
12 Fosfor
ppm (mg/kg)
13 Bilangan asam (NA)
mgKOH/g
14 Gliserin bebas
% - berat
15 Gliserin total (Gttl)
% - berat
16 Kadar ester
% - berat
17 Iodine Number
g iod/100g
18 Uji Halphen
Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2006)

(maks. 0.3)
Maks. 0.05*
maks. 360
maks. 0.02
maks. 100
maks.10
maks. 0.8
maks. 0.02
maks. 0.24
min. 96.5
maks. 115
negatif

ASTM D 2709
ASTM D 1160
ASTM D 874
ASTM D 5453
ASTM D 4951
ASTM D 664
ASTM D 6584
ASTM D 6584
Dihitung**
AOCS Cd 1-25
AOCS Cb 1-25

Keterangan:
*

= dapat dihitung terpisah, kadar sediment maks. 0.01 % - vol


100 ( N S N A 4,57 Gttl )
NS

** = kadar ester (% - massa) =


Ns = Bilangan penyabunan, mgKOH/g biodiesel, metode AOCS Cd 3-25

Anda mungkin juga menyukai