TERMINOLOGI
1. Diabetes Mellitus suatu gangguan metabolic yang ditandai dengan peningkatan
glukosa(hiperglikemia) akibat kerusakan pada sekrsi insulin dan kerja insulin
2. Glukosuria kondisi ketika urine atau air seni mengandung gula.
3. Ketonuria merupakan terjadinya peningkatan benda keton di dalam darah
Neuropati terbagi menjadi beberapa jenis. Meskipun penyebab pasti berbagai jenis
neuropati masih belum diketahui secara pasti, para peneliti berpendapat bahwa kadar
gula darah tinggi yang tak terkontrol dapat merusak saraf-saraf dan mengganggu
kemampuan saraf dalam mengirim sinyal, sehingga menyebabkan diabetes neuropati.
Kadar gula darah yang tinggi juga melemahkan kapiler yang menyuplai oksigen dan
nutrisi ke saraf-saraf (vasa nervosa).Salah satu diabetes neuropati adalah diabetes
neuropati autonom, yaitu merupakan kerusakan saraf autonom (organ internal) karena
diabetes. Neuropati autonom dapat menyebabkan berbagai macam gangguan, seperti
hipotensi ortostatik, resting tachycardia, dan denyut jantung yang tidak responsif.
Hipotensi ortostatik atau bisa disebut juga hipotensi postural merupakan keadaan di
mana tekanan darah menurun secara tiba-tiba begitu penderitanya tiba-tiba berdiri dari
posisi tidur atau duduk.Pada saat kita berdiri, gravitasi menyebabkan darah turun ke
bagian perut dan kaki.Pada manusia yang sehat, baroreseptor langsung mendeteksi
adanya perubahan pada tekanan darah. Baroreseptor kemudian mengirimkan sinyal ke
otak dan otak merespon dengan memberikan stimulus ke saraf motorik untuk menjaga
tekanan darah tetap stabil.
Pada penderita hipotensi ortostatik, ada fungsi tubuh yang terganggu di saat tubuh
seharusnya menjaga kestabilan tekanan darah, sehingga tekanan darah menjadi lebih
rendah dari pada seharusnya dan dapat menyebabkan penderitanya pusing atau
bahkan pingsan.
2. Bagaimana etiologi DM tipe 1 seperti yang diderita oleh pasien dalam skenario?
Diabetes melitus tipe 1 diakibatkan oleh kerusakan sel beta pankreas yang
diperantarai berbagai faktor. Faktor genetik dan dipicu oleh faktor lingkungan diduga
sebagai penyebab terjadinya proses autoimun yang menyebabkan destruksi sel beta
pankreas. Onset diabetes melitus tipe 1 biasanya terjadi sebeum usia 25-30 tahun.
Beberapa faktor lingkungan yang diduga memicu terjadinya diabetes melitus tipe 1
antara lain infeksi virus (rubela kongenital, mumps, dan sitomegalovirus), radiasi,
ataupun makanan
3. Apa saja faktor yang mempengaruhi glukosa darah pada pasien hamil tersebut?
usia
Usia memang sangat mempengaruhi prevalensi kejadian diabetes melitus.
jenis kelamin
Dapat di simpulkan Baik laki-laki maupun perempuan memiliki risiko yang besar
untuk mengidap diabetes sampai usia dewasa awal.
obesitas
semakin tinggi kategori IMT (Obesitas) maka semakin memperburuk kadar gula
darah didalam tubuh. obesitas dapat mengakibatkan resistensi insulin . Pada jaringan
lemak juga merupakan suatu jaringan “endokrin” aktif yang dapat berhubungan
dengan hati dan otot (dua jaringan sasaran insulin) melalui pelepasan zat perantara
yang nantinya mempengaruhi kerja insulin dan tingginya penumpukan jaringan lemak
tersebut dapat berakhir dengan timbulnya resistensi insulin.
aktivitas fisik
aktivitas yang kurang maka akan mengakibatkan kadar gula darahnya naik begitu
pula sebaliknya apabila melakukan aktivitas seperti berolahraga dan senam secara
rutin maka kadar gula darah dalam rentang normal, Barnes (2012) menyebutkan Saat
aktivitas fisik, otot menggunakan glukosa yang disimpannya sehingga glukosa yang
tersimpan akan berkurang sehingga menyebabkan kadar gula darah terkontrol pada
penderita DM
stres
Menurut peneliti Apabila tingkat stres dalam rentang normal maka kadar gula daranya
juga dalam batas normal, begitu pula sebaliknya apabila tingkat
stresnya sangat berat maka akan mengakibatkan kadar gula darah naik.
Hipoglikemia
Hiperglikemia
Penyakit jantung dan pembuluh darah
Kerusakan saraf (neuropati)
Kerusakan ginjal (nefropati)
Kerusakan mata
Komplikasi kehamilan
Disfungsi seksual.
Kadar gula penderita DM 2 masih bisa dikontrol dan stabil dengan pola hidup yang
teratur, pola makan yang baik dan sehat, serta dengan konsumsi obat-obatan tertentu,
sehingga penderita DM 2 belum terlalu perlu menggunakan insulin.
Pada DM 1, sel-sel pankreas menghasilkan sedikit insulin atau tidak sama sekali.
Apabila kadar gula darah penderita DM 1 menjadi tidak terkontrol, tidak bisa
distabilkan kembali hanya dengan pola hidup dan makan yang sehat atau obat-obatan.
Pasien membutuhkan insulin setiap kali kadar gula darahnya naik secara drastis,
menyebabkan pasien menjadi ketergantungan insulin (insulin dependent)
LEARNING OBJECTIVE
1. Diabetes pada Dewasa (Etiologi, patofisiologi, pathogenesis, penatalaksanaan,
pemeriksaan fisik, farmakologi obat-obatan)
2. Diabetes pada gestasional (Etiologi, patofisiologi, pathogenesis, penatalaksanaan,
pemeriksaan fisik, farmakologi obat-obatan)
3. Komplikasi pada dm(luka pada kaki diabetes
LO 1 Diabetes pada Dewasa (Etiologi, patofisiologi, pathogenesis,
penatalaksanaan, pemeriksaan fisik, farmakologi obat-obatan)
Definisi
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan cara
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kelebihan.
Epidemiologi
Data RISKERDAS 2018 menjelaskan prevelansi DM Nasional adalah 8,5 persen atau sekitar
20,4 juta orang Indonesia terkena DM
Schwartz pada tahun 2016 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, hepar, dan sel beta
pankreas saja yang berperan dalam patogenesis penyandang DM tipe 2 tetapi terdapat
delapan organ lain yang berperan, disebut sebagai egregious eleven (Gambar 1).
Secara garis besar patogenesis hiperglikemia yang disebabkan oleh sebelas hal (egregious
eleven) yaitu:
1.Kegagalan sel beta pankreas
Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti
diabetes yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, agonis glucagon-like
peptide (GLP-1) dan penghambat dipeptidil peptidase-4 (DPP-4).
3. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, yang meningkatkan proses
lipolisis dan kadar asam lemak bebas (free fatty acid (FFA)) dalam plasma. Peningkatan
FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di hepar
dan otot, sehingga mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini
disebut sebagai lipotoksisitas. Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidinedion.
4. Otot
Pada penyandang DM yang mengalami gangguan kinerja insulin yang multipel di
intramioselular, yang diakibatkan oleh gangguan fosforilasi tirosin, sehingga terjadi
gangguan transportasi glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan
oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin dan tiazolidinedion.
5. Hepar
Pada penyandang DM tipe 2 terjadi resisten insulin yang berat dan memicu glukoneogenesis
sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal meningkat oleh hepar (hepatic glucose
production). Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang melawan proses
glukoneogenesis.
6. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang mengalami obesitas
baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan kompensasi
dari resistensi insulin. Pada golongan ini peningkatan makanan justru meningkat akibat
adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah
agonis GLP-1, amilin dan bromokriptin.
7. Kolon / Mikrobiota
Perubahan komposisi mikrobiota pada kolon berkontribusi dalam keadaan hiperglikemia.
Mikrobiota usus terbukti berhubungan dengan DM tipe 1, DM tipe 2, dan obesitas sehingga
menjelaskan bahwa hanya sebagian individu berat badan berlebih akan berkembang DM.
Probiotik dan prebiotik diperkirakan sebagai mediator untuk menangani keadaan
hiperglikemia
8. Usus halus
Glukosa yang ditelan respons insulin jauh lebih besar dibanding kalau diberikan secara
intravena. Efek yang dikenal sebagai efek inkretin ini diperankan oleh 2 hormon yaitu
glucagon-like polypeptide-1 (GLP-1) dan glukosa-dependent insulinotrophic polypeptide
atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide (GIP). Pada penyandang DM tipe 2
didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap hormon GIP. Hormon inkretin juga segera
dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat
yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga
mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim alfa glukosidase yang
akan memecah polisakarida menjadi monosakarida, dan kemudian diserap oleh usus besar
sehingga berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk
menghambat kinerja enzim alfa glukosidase adalah acarbosa.
9. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui dalam patogenesis DM tipe 2. Ginjal memfiltrasi
sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan
diserap kembali melalui peran enzim natrium glukosa co-transporter (SGLT-2) pada bagian
convulated tubulus proksimal, dan 10% sisanya akan diabsorbsi melalui peran SGLT- 1 pada
tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urin. Pada
penyandang DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2, sehingga meningkatkan
peningkatan reabsorbsi glukosa dalam tubulus ginjal dan peningkatan peningkatan kadar
glukosa darah. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat reabsorbsi
kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan melalui urin. Obat yang
bekerja di jalur ini adalah penghambat SGLT-2. Dapaglifozin, empaglifozin dan canaglifozin
adalah contoh obatnya
10. Lambung
Penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan kerusakan sel beta pankreas. Penurunan
kadar amilin penyebab percepatan pengosongan lambung dan peningkatan absorpsi glukosa
di usus halus yang berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa postprandial
Beberapa dekade terakhir, terbukti bahwa adanya hubungan antara obesitas dan resistensi
insulin terhadap inflamasi. Hal tersebut menggambarkan peran penting inflamasi terhadap
patogenesis DM tipe 2, yang sebagai sebagai kelainan kelainan imun (gangguan imun).
Kelainan metabolik lain yang berkaitan dengan inflamasi juga banyak terjadi pada DM tipe 2.
Etiologi
Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan glukosa
darah yang lebih dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan glukometer.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan ada keluhan seperti:
-Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya
-Keluhan lain: Lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria,
serta pruritus vulva pada wanita.
Pemeriksaan penunjang
Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis yang diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
(gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral (dapat dilihat di lampiran 1)
dan bentuk suntikan.
Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya mirip dengan sulfonilurea, namun berbeda lokasi
reseptor, dengan hasil akhir berupa peningkatan sekresi fase insulin. Golongan ini terdiri dari
2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin).
Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah dipersembahkan secara lisan dan diekskresi secara
cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia pasca prandial. Efek samping
yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia. Obat golongan glinid sudah tidak tersedia di
Indonesia.
Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa (glukoneogenesis), dan
memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer. Metformin merupakan pilihan pertama
pada sebagian besar kasus DM tipe 2. Dosis metformin diturunkan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal (LFG 30 - 60 ml / menit / 1,73 m²). Metformin tidak boleh diberikan
pada beberapa keadaan LFG <30 mL / menit / 1,73 m², adanya gangguan hati berat, serta
pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis,
renjatan, PPOK, gagal jantung NYHA fungsional class III-IV ). Efek samping yang terjadi
adalah gangguan saluran pencernaan seperti dispepsia, diare, dan lain-lain.
Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim alfa glukosidase menghambat absorpsi
glukosa dalam usus halus. Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan LFG
<30 ml / min / 1,73 m², gangguan faal hati yang berat, Irritable Bowel Syndrome. Efek
samping yang mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering
menimbulkan kembung. Efek samping samping pada diberikan dengan dosis kecil. Contoh
obat golongan ini adalah acarbose.
Diagnosis Banding
-Diabetes Melitus 1
-Diabetes insipidius
Prognosis
diabetes mellitus tipe 2 ditentukan oleh modifikasi gaya hidup pasien, kontrol gula darah
yang baik, dan follow up secara teratur. Komplikasi diabetes dapat berupa komplikasi akut
seperti ketoasidosis diabetik dan komplikasi kronis, seperti neuropati dan nefropati diabetik.
Penyebab utama kematian pada diabetes mellitus tipe 2 adalah akibat kejadian
kardiovaskular.
Tata Laksana non Farmakologis
-Edukasi merupakan komponen penting dalam tata laksana pasien DM dalam
penatalaksanaan pasien DM. Dalam memberikan edukasi, tingkat pendidikan dan
pengetahuan pasien dipertimbangka Anggota keluarga pasien harus dilibatkan dalam edukasi
Kebutuhan Kalori
Kebutuhan kalori pasien DM diperoleh dari kebutuhan kalori basal berdasarkan berat badan
ideal (BB) yang ditambah atau dikurangi dengan faktor koreksi (Tabel 10.3). Berdasarkan
rumus Broca, berat badan ideal dapat dihitung dengan cara sebagai berikut:
• BB ideal = 90% x (TB dalam cm – 100) x 1 kg
• Jika tinggi badan <150 cm pada perempuan atau <160 cm pada laki-laki, penghitungan BB
ideal menjadi: BB ideal = (TB dalam cm - 100)x1
F
Komposisi makanan dapat dilihat pada Tabel 10.4. Total kebutuhan kalori dibagi menjadi 3
kali makan besar (20% makan pagi, 30% makan siang, dan 25% makan malam) dan 2-3 kali
makan ringan (10-15%). Pembagian ini dapat disesuaikan dengan kondisi dan kebiasaan
pasien.
• Latihan jasmani lebih tinggi selama 150 menit / minggu, dengan durasi 30-45 menit setiap
latihan (minimal 10 menit untuk latihan aerobik). Jarak antara latihan jasmani tidak lebih
dari 2 hari berturut-turut. Latihan jasmani yang lebih disukai adalah aktivitas aerobik dengan
intensitas sedang (50-70% denyut jantung maksimal) seperti jalan cepat, bersepeda santai,
berenang, dan jogging.
DIABETES MELITUS TIPE 1
DEFINISI
Diabetes melitus tipe 1 (DM tipe 1) adalah kelainan sistemik akibat defisiensi insulin absolut
yang menyebabkan gangguan metabolisme, akibat hiperglikemia. Defisiensi insulin pada
DM tipe 1 disebabkan oleh kerusakan sel B pankreas akibat proses autoimun maupun
idiopatik.
EPIDEMIOLOGI
DM tipe I termasuk 90% kasus DM pada anak dan remaja. Berdasarkan data Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI) tahun 2018, terdapat 1.220 anak penyandang DM tipe 1 di Indonesia.
Angka ini menggambarkan tidak menggambarkan jumlah kasus sebenarnya. Sekitar 71%
baru terdiagnosis saat mengalami ketoasidosis diabetikum (KAD). Waktu dari timbulnya
gejala sampai diagnosis DM tipe 1 bervariasi sehingga awitan DM tipe 1 ditetapkan saat
pertama kali pasien mendapatkan insulin. Sekitar 10-15% pasien DM tipe 1 memiliki riwayat
keluarga dengan DM. Di Indonesia, proporsi tertinggi perempuan 10-14 tahun (60%).
Kerusakan sel B pankreas menurunkan produksi insulin dan menyebabkan defisiensi insulin
absolut. Defisiensi insulin menurunkan utilisasi glukosa oleh otot dan jaringan jaringan yang
awalnya terjadi hiperglikemia postprandial. Selain itu, insulin tidak dapat masuk ke dalam
sel sehingga terjadi peningkatan glukoneogenesis dan glikogenolisis yang dipicu oleh hormon
kontraregulasi insulin. Kondisi ini menyebabkan hiperglikemia puasa. Gejala klinis mulai
muncul ketika kerusakan sel-sel pankreas mencapai > 90% Defisiensi insulin absolut pada
pasien DM tipe 1 yang berkaitan dengan risiko tinggi ketoasidosis diabetikum (KAD) karena
tidak terdapat insulin yang menekan aktivitas hormon kontraregulasi insulin. Akibatnya,
kadar glukosa darah akan terus meningkat sehingga terjadi diuresis osmotik yang berujung
pada dehidrasi dan gangguan elektrolit. Kondisi ini produksi hormon stres akan
meningkatkan kadar produksi glukosa.
FAKTOR RISIKO
• Genetik:Risiko DM tipe 1 tanpa riwayat keluarga adalah 0,4%. Pada kedua orang tua
dengan DM tipe 1, risiko DM tipe 1 pada anaknya sekitar 30%.
• Etnis:Di Amerika, prevalensi DM tipe 1 lebih tinggi pada etnis kulit putih non-Hispanik,
diikuti oleh Afrika- Amerika, Hispanik, Asia Pasifik, dan India.
• Faktor lingkungan:Beberapa faktor lingkungan yang berhubungan antara lain: infeksi virus
(terutama enterovirus dan virus coxsackie), diet (terutama paparan terhadap susu sapi lebih
awal), obesitas, status sosial ekonomi tinggi, defisiensi vitamin D, faktor perinatal
(preeklamsia dan ikterus neonatorum). Berat badan lahir rendah ditemukan risiko DM tipe 1.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Pemeriksaan glukosa darah, yaitu glukosa darah sewaktu >200 mg / dl, glukosa darah puasa
>126 mg / dL (puasa berarti tidak ada asupan makanan selama 8 jam), glukosa darah dalam
dua jam pasca glukosa glukosa oral> 200 mg / dl.
• Pemeriksaan HbA1C,dengan kadar >6,5%
menegakkan diagnosis DM, tetapi kadar HbA1C <6,5% tidak mengeksklusi DM tipe 1.
Kadar HbA1C dipengaruhi oleh hemoglobin. Pada pasien yang telah terdiagnosis dan dalam
terapi, pemeriksaan HbA1C dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan untuk menilai penyakit
dalam waktu 3 bulan sebelumnya.
• Pemeriksaan autoantibodi pancreas hanya ditemukan positif pada sekitar 70-80% pasien
DM tipe 1 sehingga tidak menjadi syarat diagnosis mutlak. Pemeriksaan insulin dan peptida
C dengan kadar rendah mendukung diagnosis DM tipe 1 dan perbedaannya dari DM tipe 2.
Pemeriksaan penunjang lain dikerjakan untuk mencari komplikasi DM tipe 1:
• Funduskopi untuk memeriksa tanda retinopati diabetes (lihat bab Retinopati).
• Rasio albumin-kreatinin dalam urin 24 jam bertujuan pemeriksaan mikroalbuminuria dan
diminta pada anak berusia minimal 10 tahun atau telah mengalami pubertas dan telah
didiagnosis dengan DM tipe 1 selama minimal 5 tahun. Rasio normal albumin-kreatinin
adalah <3,4 mg / mmol.
• Profil lipid, dimulai saat anak berusia 10 tahun atau saat memasuki pubertas. Pemeriksaan
dapat lebih awal jika terdapat faktor risiko kardiovaskular lain seperti obesitas dan riwayat
penyakit kardiovaskular pada keluarga. Jika hasil LDL <100 mg / dl, pemeriksaan ulangi
setiap 5 tahun. Jika HbA1c> 9% disarankan diulang setiap 2 tahun. Jika LDL >100 mg / dl,
pemeriksaan yang disarankan diulang setiap tahun.
• Pemeriksaan kaki menyeluruh dimulai saat awitan pubertas atau saat pasien berusia >10
tahun jika pasien telah terdiagnosis selama minimal 5 tahun. Pemeriksaan termasuk inspeksi,
palpasi, dan pemeriksaan sensorik propriosepsi, fibrasi, dan monofilamen.
• Pemeriksaan thyroid stimulating hormone (TSH) yang dijaga penyakit tiroid autoimun yang
dapat ditemukan pada 17-30% pasien dengan DM tipe 1. Sebaiknya dilakukan setiap 1-2
tahun atau ada tanda hipotiroidisme dan pembesaran pengawasan tiroid.
DIAGNOSIS
Diagnosis DM ditetapkan berdasarkan kriteria sebagai berikut:
• Glukosa darah puasa <126 mg / dl pada lebih dari 1 waktu pemeriksaan. Puasa diartikan
sebagai tidak ada asupan kalori selama minimal 8 jam
•Glukosa darah vena sewaktu <200 mg / dl pada pasien dengan gejala (polidipsi, poliuria,
polifagia, enuresis, nokturia, penurunan berat badan).
•Glukosa darah <200 mg / dl pada 2 jam setelah tes toleransi glukosa dengan pemberian
glukosa 1,75 g / kg (maksimal 75 gram glukosa).
•HbA1c (hemoglobin terglikosilasi) >6,5% dengan pemeriksaan yang terstandardisasi. Pada
anak, HbA1C, <6,5% tidak mengeksklusi DM sehingga perlu dilakukan evaluasi terhadap
kadar glukosa darah.
KLASIFIKASI
• Immune mediated (disebut juga DM tipe 1A, 85% kasus). Defisiensi insulin pada immun
mediated DM tipe 1 disebabkan oleh proses autoimun terhadap sel beta pankreas. Pada
kondisi ini dapat ditemukan autoantibodi dalam sirkulasi pasien. Idiopatik (disebut juga DM
tipe 1B) termasuk 15% kasus DM tipe 1. Tidak ditemukan bukti proses autoimun sebagai
penyebab kerusakan sel B.
DIAGNOSIS BANDING
• Pada sakit kritis dapat ditemukan hiperglikemia atau hipoglikemia akibat gangguan
metabolisme gula. Kondisi hipoglikemia atau hiperglikemia akan mengalami perbaikan saat
penyakit kritis telah teratasi.
• Obat-obatan, seperti agen simpatomimetik dan glukokortikoid.
Hiperglikemia pada neonatus akibat sepsis, infus dekstrosa, prematuritas, dan obat-obatan.
Terapi insulin
merupakan komponen utama dalam tata laksana DM tipe 1, guna menjamin ketersediaan
insulin untuk memenuhi kebutuhan pasien dalam 24 jam sehingga dapat mengontrol
metabolik yang baik.
• Dosis insulin pada anak umumnya antara 0,7-1 U / kg / hari. Pada periode honeymoon,
kebutuhan insulin harian dapat sampai berkurang <0,5 U / hari. Selama masa pubertas,
kebutuhan insulin meningkat sampai sekitar 1-2 U / hari.
• Frekuensi mempersembahkan jenis insulin dan cara pemberiannya.
• Regimen insulin yang disesuaikan dengan usia, durasi menderita DM tipe 1, gaya hidup,
pola makan dan olahraga, target kontrol metabolik, dan kebiasaan individu maupun keluarga.
Pengaturan makan pada penyandang DM tipe 1 perlu memperhatikan kebutuhan nutrisi
untuk tumbuh kembang pasien. Kebutuhan kalori dapat dihitung berdasarkan berat badan
ideal, usia, dan jenis kelamin (Tabel 8.3).
Olahraga berfungsi menjaga berat badan ideal, meningkatkan kapasitas kerja jantung,
meningkatkan sensitivitas insulin. Olahraga pada DM harus mempertimbangkan glikemik
dan kondisi kesehatan secara umum. dan
• Konsultasikan pengaturan insulin saat olahraga dengan dokter spesialis yang merawat.
• Asupan karbohidrat 1-3 jam sebelum olahraga.
• Jika glukosa darah> 250 mg / dL dan keton urin / darah positif, tunda olahraga. Jaga hidrasi
(250 ml setiap 20-30 menit).
• Disarankan pantau glukosa tiap 30 menit selama berolahraga. Pasien juga perlu diajarkan
pemantauan glukosa darah mandiri untuk mengatasi hipoglikemia dan hiperglikemia, serta
dosis insulin.
Kontrol metabolik kejadian dengan tidak terdapat glukosuria, ketonuria dan ketosis, jarang
terjadi hipoglikemia, Hba1C, normal, sosialisasi baik, pertumbuhan dan perkembangan anak
normal serta tidak timbul komplikasi. Pada pasien dengan kontrol, metabolk vang buruk
dapat ditemukan gejala klinis klasik.
KOMPLIKASI
• Hipoglikemia pada DM pasien tipe 1 meningkat jika asupan makan tidak teratur,
penggunaan insulin berlebihan, dan melakukan berlebihan. Hipoglikemia biasanya terjadi
pada malam hari terutama pada anak yang berusia lebih muda. Hipoglikemia berat dicegah
dengan memberi makan karbohidrat yang lambat diserap pada malam hari seperti susu, roti,
pisang, dan apel dan memastikan kadar glukosa pada tengah malam sekitar 120-180 mg / dl.
Pasien DM tipe 1 juga perlu meninggal mengenai tanda dan gejala hipoglikemia serta
dibekali permen atau atau tablet glukosa yang siap makan jika gejala hipoglikemia muncul.
• Ketoasidosis diabetik (KAD). Pasien DM tipe 1 memiliki risiko lebih tinggi mengalami
KAD dibandingkan DM tipe 2 (gejala lihat pada Tabel 8.1). Faktor risiko KAD adalah usia
muda saat diagnosis, diagnosis yang berdasarkan, faktor sosioekonomi rendah, penghentian
insulin karena berbagai alasan, hambatan akses pelayanan kesehatan, dan gangguan terhadap
pemberian insulin pada pasien yang menggunakan pompa insulin.
Menurut konsensus International Society for Pediatric and Adolescent Diabetes, diagnosis
KAD ditetapkan berdasarkan kriteria sebagai berikut:
• Hiperglikemia (glukosa darah> 200 mg / dl).
• pH vena <7,3 atau bikarbonat serum <15 mmol / I.
• Ketonemia (kadar beta-hidroksibutirat darah >3 mmol / L) atau ketonuria sedang sampai
berat.
Pada praktik di lapangan, keton urin (asetoasetat) adalah modalitas yang lebih sering
diperiksa. Interpretasi pemeriksaan ini harus hati-hati karena benda keton yang predominan
di tubuh adalah beta-hidroksibutirat (B-OHB). Pada terapi KAD yang berhasil, akan berhasil
mengubah B-OHB menjadi asetoasetat. Oleh karena itu, keton urin tidak terlalu baik dalam
menggambarkan derajat keparahan KAD dan respons terapi. Kadar keton darah lebih baik
dalam menentukan respons terapi dibandingkan keton urin.
KRITERIA RUJUKAN
Pasien DM tipe 1 dirujuk ke inisiasi insulin atau kunjungan kondisi akut atau komplikasi
yang memerlukan evaluasi lebih lanjut. Pasien yang mau berpuasa Ramadan juga harus
berlatih untuk membuat dosis insulin.
PROGNOSIS
Pasien dengan KAD saat diagnosis pada umumnya memiliki kontrol glikemik yang lebih
buruk. Pasien yang didiagnosis pada usia lebih muda cenderung memiliki kontrol metabolik
buruk dan memerlukan dosis insulin yang lebih besar. Risiko komplikasi berat juga akan
meningkat seiring dengan bertambahnya durasi pasien menderita DM tipe 1. Pasien
perempuan umumnya juga membutuhkan dosis insulin yang lebih besar dari laki-laki dalam
8-10 tahun setelah diagnosis. Selain itu, perempuan juga ditemukan lebih banyak mengalami
komplikasi multipel dibandingkan laki-laki. Kadar peptida C yang lebih rendah saat
diagnosis juga berkaitan dengan dosis insulin yang lebih tinggi dalam 2 tahun pertama setelah
diagnosis.
Faktor risiko
Faktor risiko diabetes melitus gestasional meliputi:
• Obesitas
• Riwayat diabetes melitus gestasional sebelumya
• Glukosuria
• Riwayat keluarga dengan diabetes
• Abortus berulang
Riwayat melahirkan dengan cacat bawaan atau bayi> 4000 gram
• Riwayat preeklampsia
Diagnosis
Diagnosis pada pasien dengan faktor risiko (WHO
A Kadar glukosa darah sewaktu> 200 mg / dl (disertai gejala klasik hiperglikemia)
B. Kadar glukosa darah puasa> 126 mg / dl ATAU
D. Kadar HBA1C> 6, 5% Hasil yang lebih rendah dikonfirmasi dengan pemeriksaan TTGO
24-28 minggu
Pemeriksaan Penunjang
konfirmasi untuk ibu hamil tanpa faktor risiko (IADPSG) Diagnosis atau diabetes melitus
gestasional ditegakkan berdasarkan ditemukan:
• Kadar gula darah puasa> 92 mg / dl ATAU
• Kadar gula darah setelah 1 jam> 180 mg / dl
• Kadar gula darah setelah 2 jam> 153 mg / dl
Penatalaksanaan
• Rujuk ibu ke mendapatkan penatalaksanaan yang rumah sakit untuk adekuat.
Jelaskan kepada pasien bahwa penatalaksanaan diabetes melitus gestasional dapat
mengurangi risiko besar, memiliki bayi besar mengurangi kemungkinan terjadinya
hipoglikemia neonatal, dan mengurangi kemungkinan bayi mengidap diabetes di usia dewasa
kelak
• Pemberian insulin dilakukan di rumah sakit dan bila pengaturan diet selama 2 minggu tidak
mencapai target kadar glukosa darah.
• Pemberian insulin dimulai dengan dosis kecil yaitu 0,5-1,5 unit / kgBB / hari.
• Pemantauan ibu dan janin dilakukan dengan pemeriksaan tinggi fundus uteri, USG, dan
kardiotokografi.
• Ketoasidosis diabetik (KAD). Pasien DM tipe 1 memiliki risiko lebih tinggi mengalami
KAD dibandingkan DM tipe 2 (gejala lihat pada Tabel 8.1). Faktor risiko KAD adalah usia
muda saat diagnosis, diagnosis yang berdasarkan, faktor sosioekonomi rendah, penghentian
insulin karena berbagai alasan, hambatan akses pelayanan kesehatan, dan gangguan terhadap
pemberian insulin pada pasien yang menggunakan pompa insulin.
Menurut konsensus International Society for Pediatric and Adolescent Diabetes, diagnosis
KAD ditetapkan berdasarkan kriteria sebagai berikut:
• Hiperglikemia (glukosa darah> 200 mg / dl).
• pH vena <7,3 atau bikarbonat serum <15 mmol / I.
• Ketonemia (kadar beta-hidroksibutirat darah >3 mmol / L) atau ketonuria sedang sampai
berat.
Pada praktik di lapangan, keton urin (asetoasetat) adalah modalitas yang lebih sering
diperiksa. Interpretasi pemeriksaan ini harus hati-hati karena benda keton yang predominan
di tubuh adalah beta-hidroksibutirat (B-OHB). Pada terapi KAD yang berhasil, akan berhasil
mengubah B-OHB menjadi asetoasetat. Oleh karena itu, keton urin tidak terlalu baik dalam
menggambarkan derajat keparahan KAD dan respons terapi. Kadar keton darah lebih baik
dalam menentukan respons terapi dibandingkan keton urin.
Komplikasi Makrovaskular
-Penyakit jantung koroner pada pasiem DM dapat ditandai dengan gejala nyeri tipikal atau
atipikal
-penyakit arteri perifer dapat dideteksi dini dengan palpasi pulsasi arteri pada ekstremitas dan
mengukur ankle branchial indeks(ABI)
-Stroke iskemik atau hemoragik ditandai dengan hemiperasis,disfaigia,penurunan
kesadaran,atau gejala neurologis lainnya
Komplikasi Mikrovaskular
-Retinopati diabetik Skrining retinopati DM dilakukan dengan pemeriksaan tajam
penglihatan dan oftalmoskopi
-Nefropati diabetik.Skrining nefropati diperlukan minimal satu kali setahun dengan
pemeriksaan albumin urine (Rasio albumin-kreatinin dalam urine sewaktu) estimasi LFG
-Neuropati meliputi neuropati perifer dan otonom.
-Neuropati perifer ditandai dengan hilangnya sensasi secara perlahan tanpa disadari.
-Deteksi dini neuropati perifer dapat dilakukan pemeriksaan sensorik dengan
minofilamen,sensasi nyeri,suhu dan vibrasi
-Neuropati otonom,berupa hipotensi ortostatik,gastroparasesis,konstipasi ,diare,inkontinensia
urine alvi atau urine,disfungsi ereksi,disfungsi sudomotor,dan hypoglycemia unawereness
-Gastroaparesis ditandai dengan mual,muntah,penurunan nafsu makan dan kembung.