Nim:190610068
Kel:6
MODUL 2
Obstruksi Sistem Respirasi Bagian Bawah
Tn. Didi, laki-laki berusia 41 tahun berobat ke Puskesmas dengan keluhan dadanya sering
terasa berat dan sesak nafas sejak satu tahun belakangan. Dia juga sering bersin-bersin terutama pada
pagi hari. Anamnesis menemukan bahwa sesak nafas sering muncul saat cuaca dingin dan batuk pagi
hari. Terdapat riwayat merokok dengan Indeks Brinkman sedang dan ia mengaku kadang-kadang
masih tetap merokok. Seingat Tn. Didi, orangtuanya juga sering menderita keluhan sesak nafas dan
sempat diopname.
Pemeriksaan fisik paru didapatkan adanya ekspirasi memanjang pada kedua lapangan paru.
Pada Pemeriksaan laboratorium didapatkan hemoglobin 16,5 g/dl hematokrit 45,8% trombosit
44.5000/mm3, dan leukosit 9.830/ mm3 dengan hitung jenis basofil 0, eosinofil 1, neutrofil 75,
limfosit 16, monosit 8. Elektrolit kesan dalam batas normal dengan kadar natrium 135 meq/L kalium,
4.5 meq/L, klorida 100 meq/L, begitupun juga dengan ureum 66,4 mg/dl kreatinin 0,76 mg/dl; SGOT
24 SGPT 18; GDS 77 mmHg; albumin 3,89 g/dl dan globulin 3,62 g/dl. Analisis Gas Darah
menunjukkan pH 7,26 pCO2 77,9 mmHg pO2 110,2 mmHg HCO3 35,4 mmol/L dan saturasi O2
96.7. HbsAg, Anti HCV, maupun Anti HIV non reaktif. Pemeriksaan BTA sputum sebanyak tiga kali
menunjukkan hasil negatif. Kultur darah pada pasien ini steril. Dokter memberikan obat
bronkodilator kepada Tn. Didi. Dokter menjelaskan bahwa keluhan ini akibat tersumbatnya saluran
pernafasan yang bisa disebabkan oleh berbagai hal. Dokter menganjurkan untuk dilakukan
pemeriksaan Spirometri untuk mengetahui tingkat keparahan penyakit Tn. Didi. Dokter mengedukasi
agar mulai menghentikan kebiasaan merokoknya dan menghindari pemicu timbulnya sesak nafas
tersebut. Apabila terjadi serangan sesak nafas yang berat, maka ia harus dirujuk ke RS Daerah
terdekat untuk tatalaksana lebih lanjut.
Bagaimana Anda menerangkan keluhan dan kondisi?
Jump 1:
1) Obstruksi = Obstruksi sumbatan pada saluran atas atau saluran cerna yang disebabkan oleh
benda benda asing Seperti kacang kacangan pada saluran nafas
2) Indeks brinkman = yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan
lama merokok dalam tahun
3) Pemeriksaan spirometri = Suatu pemeriksaan yang menilai fungsi terintegrasi mekanik paru,
dinding dada, dan otot-otot pernapasan dengan mengukur jumlah volume udara yang
dihembuskan dari kapasitas paru total (TLC) ke volume residu
4) GDS = Gula darah sewaktu, hasil dari tes gula darah yang bisa dilakukan kapan saja
5) Kultur darah = Kultur darah merupakan metode pemeriksaan diagnostik untuk mendeteksi
adanya mikroorganisme di dalam darah. Mikroorganisme tersebut bisa bakteri, jamur, atau
parasit.
6) SGOT = Serum glutamic oxaloasetik transaminase atau disebut juga aspartate aminotransferase
(AST), merupakan salah satu enzim di hati yang jika kadarnya berlebihan di dalam darah
menandakan adanya kerusakan hati.
7) Obat bronkodilator = obat yang digunakan untuk meredakan asma dan PPOK dengan cara
merelaksasi otot paru-paru dan melebarkan jalur pernapasan bronkiolus.
Rumusan Masalah
4) Bagaimana yang dimaksud dengan riwayat merokok dengan Indeks Brinkman sedang pada Tn. Didi?
5) Bagaimanakah hasil laboratorium yang normal dari pemeriksaan yang dilakukan pasien?
7) Apa tujuan pemberian obat bronkodilator pada Tn Didi dan apa saja jenis obat bronkodilator?
14) Apa saja faktor resiko yang dapat menyebabkan ppok dan apa saja komplikasinya?
Sinusitis merupakan salah satu penyebab sering bersin di pagi hari berikutnya. Pasalnya, peradangan
pada sinus dapat mengganggu lapisan hidung dan memicu lendir yang berlebihan. Jika kamu merasakan
sensasi menggelitik di hidung hingga sering bersin selama beberapa minggu, maka bisa jadi hal ini
menandakan kamu sedang mengalami sinusitis kronis.
Rhinitis Vasomotor
Penyebab sering bersin di pagi hari berikutnya adalah Rhinitis Vasomotor. Jika kamu tidak sednag
mengalami sakit atau bahkan juga tidak alergi, bisa jadi kamu menagalami masalah kesehatan satu ini.
Rhinitis vasomotor adalah peradangan pada selaput hidung akibat kondisi pembuluh darah di hidung
yang sangat sensitif. Rhinitis ini merupakan rhinitis non-alergi.
Rhinitis Alergi
Penyebab sering bersin di pagi hari yang pertama adalah mengalami rhinitis alergi. Penyakit ini
merupakan kondisi saat sistem kekebalan tubuh bereaksi secara berlebihan terhadap alergen atau
pemicu alergi. Pemicu alergi ini contohnya seperti serbuk sari, jamur, bulu hewan, atau debu tungau.
Rhinitis alergi umumnya dimulai sejak masa kanak-kanak. Kondisi ini disebabkan oleh sistem imun tubuh
yang terlalu sensitif terhadap alergen yang menempel di lapisan hidung. Kamu bisa saja terpapar alergen
sepanjang malam saat tidur, namun gejala alergi baru nampak saat bangun.
Udara Kering
Penyebab sering bersin di pagi hari juga bisa disebabkan udara di ruangan tempat tidur. Udara kering,
baik yang disebabkan oleh AC atau suhu ruangan dapat membuat lapisan di dalam hidung menjadi
kering, dan menjadi penyebab sering bersin saat bangun tidur. Lapisan lendir di dalam hidung memiliki
fungsi untuk menjaga kelembapan dan menangkap setiap benda asing yang masuk. Ketika hidung
menjadi kering, lendir hidung tidak bisa menahan benda asing yang masuk. Akibatnya, alergen tersebut
dapat masuk dengan mudah dan membuat hidung menjadi gatal hingga bersin-bersin.
Suhu udara dingin dapat menyebabkan asma dengan cara meningkatkan hipersensitivitas saluran nafas
yang menyebabkan penyempitan di saluran pernafasan dan menimbulkan gejala sesak
4) Bagaimana yang dimaksud dengan riwayat merokok dengan Indeks Brinkman sedang pada
Tn. Didi?
Riwayat merokok berhubungan dengan indeks brinkman
Jika seseorang memiliki riwayat merokok maka indeks brinkman orang tersebut cenderung sedang atau
tinggi
5) Bagaimanakah hasil laboratorium yang normal dari pemeriksaan yang dilakukan pasien?
Hemoglobin:
Laki-laki = 13,5 – 17,5 gr/dl
Perempuan = 12 – 15,5 gr/dl
Hematokrit:
Laki-laki = 38,3% - 48,6%
Perempuan = 35,5% - 44,9%
Trombosit: 150.000 – 450.000 sel per microliter darah
Leukosit: 4.500 – 11.000 sel per microliter darah
Basofil: 0 – 3 sel per microliter darah
Eosinofil: <500 sel per microliter darah
Neutrofil: 1.500 – 8.000 sel per microliter darah
Limfosit: 800 – 5.000 sel per microliter darah
Monosit: 1% – 10% dari seluruh sel darah putih
Kadar natrium: 135 – 145 miliekuivalen per liter
Kadar kalium: 3,5 – 5,5 miliekuivalen per liter
Kadar klorida: 96 – 106 miliekuivalen per liter
Kadar ureum: 7 – 20 mg/dl
Kadar kreatinin:
Laki-laki = 0,74 – 1,35 mg/dl
Perempuan = 0,59 – 1,04 mg/dl
Kadar SGOT: 8 – 45 unit per liter serum
Kadar SGPT: 7 – 56 unit per liter serum
Kadar GDS: 70 – 130 mg/dl
Albumin: 3,4 – 5,4 gg/dl
Globulin: 2 – 3,5 gr/dl
Ph darah: 7,35 – 7,45
Tekanan CO2 darah: 38 – 42 mmHg
Tekanan O2 darah: 75 – 100 mmHg
Kadar HCO3 darah: 22 – 26 mmol/L
Saturasi O2: 94% - 100%
Hbs Ag, Anti HCV, Anti HIV: negatif
BTA sputum: negatif
Kultur darah: steril
Berdasarkan waktu kerjanya, bronkodilator dibagi menjadi dua, yaitu reaksi cepat dan reaksi lambat.
Bronkodilator reaksi cepat diberikan untuk seseorang yang mengalami gejala sesak napas secara tiba-
tiba. Sedangkan bronkodilator reaksi lambat biasanya ditujukan untuk mengontrol gejala sesak napas
pada penderita penyakit paru-paru kronis atau asma.
Peringatan:
Jangan menggunakan bronkodilator bersamaan dengan obat-obatan lainnya tanpa petunjuk dari
dokter, karena dikhawatirkan dapat menyebabkan efek samping yang membahayakan.
Jika terjadi reaksi alergi atau overdosis setelah menggunakan bronkodilator, segera temui
dokter.
Ibu hamil, ibu menyusui, atau wanita yang sedang merencanakan untuk hamil, disarankan untuk
berkonsultasi kepada dokter sebelum menggunakan obat bronkodilator.
Bronkodilator tipe agonis beta-2 harus digunakan secara hati-hati oleh penderita:
Hipertiroidisme
Penyakit jantung dan pembuluh darah
Diabetes
Aritmia
Glaukoma
Penyakit liver
Epilepsi
Tukak lambung
7) Apa tujuan pemberian obat bronkodilator pada Tn Didi dan apa saja jenis obat
bronkodilator?
Tujuannya adalah untuk merelaksasi otot pernafasan dan melebarkan jalan nafas (bronkus). Dimana
obat ini Umum digunakan pada penyakit-penyakit paru seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK).
Agonis adrenergik yang digunakan untuk terapi bronkospasme, wheezing, dan obstruksi aliran udara
adalah agonis β-adrenergik. Penggunaan klinis dari agonis β-adrenergik biasanya diberikan melalui
inhaler atau nebulizer, bersifat selektif β2 dan dibagi menjadi terapi kerja pendek dan kerja panjang.
Terapi agonis β2 kerja pendek efektif untuk meredakan dengan cepat keluhan bronkospasme, wheezing
dan obstruksi aliran udara. Agonis β2 kerja panjang digunakan untuk terapi pemeliharaan untuk
memperbaiki fungsi paru dan mengurangi gejala dan risiko terjadinya serangan.
Antikolinergik umum digunakan untuk terapi pemeliharaan atau terapi kontrol dan terapi serangan akut
pada penyaki-penyakit obstruksi saluran nafas. Sistem sarat parasimpatis adalah memegang peranan
utama untuk mengatur tonus bronkomotor dan antikolinergik inhalasi bekerja pada reseptor muskarinik
pada saluran nafas untuk mengurangi tonus otot.
Terdapat tiga subtipe dari reseptor muskarinik yang ditemukan pada saluran nafas manusia. Reseptor
muskarinik 2 (M2) terdapat pada sel postganglion dan bertanggung jawab untuk membatasi produksi
asetilkolin dan melindungi dari terjadinya bronkokonstriksi. M2 bukanlah target dari antikolinergik.
Reseptor muskarinik 1 (M1) dan muskarinik 3 (M3) bertanggung jawab untuk terjadinya
bronkokonstriksi dan produksi mukus dan merupakan target kerja dari obat antikolinergik inhalasi.
Asetilkolin berikatan dengan M1 dan M3 dan menyebabkan kontraksi otot polos melalui peningkatan
cyclic guanosine monophosphate (cGMP) atau oleh aktivasi dari protein G.
Terdapat dua antikolinergik inhalasi yang secara khusus disetujui untuk terapi penyakit obstruksi saluran
nafas yaitu :
a. Ipratropium
Ipratropium diklasifikasikan sebagai antikolinergik kerja pendek yang biasanya sering digunakan untuk
terapi PPOK (sebagai terapi serangan akut dan pemeliharaan) dan asma (terapi serangan akut).
b. Tiotropium
Tiotropium diklasifikasikan sebagai antikolinergik kerja panjang yang dapat diberikan sebagai terapi
pemeliharaan pada penyakit PPOK.
INDIKASI SPIROMETRI
- Diagnostik : evaluasi pasien yang mempunyai gejala, tanda, atau hasil laboratorium yang abnormal;
skrining individu yang mempunyai risiko penyakit paru; mengukur efek fungsi paru pada individu yang
mempunyai penyakit paru; menilai risiko preoperasi; menentukan prognosis penyakit yang berkaitan
dengan respirasi dan menilai status kesehatan sebelum memulai program latihan.
- Kesehatan masyarakat survei epidemiologis (skrining penyakit obstruktif dan restriktif) menetapkan
standar nilai normal dan penelitian klinis.
Merokok merupakan resiko utama terjadinya Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Sejumlah zat iritan
yang ada didalam rokok menstimulasi produksi mukus berlebih, batuk, merusak fungsi silia,
menyebabkan inflamasi, serta kerusakan bronkiolus dan dinding alveolus. Faktor resiko lain termasuk
polusi udara, perokok pasif, riwayat infeksi saluran nafas saat anak-anak, dan keturunan. Paparan
terhadap beberapa polusi industri tempat kerja juga dapat meningkatkan resiko terjadinya
Menurut Irwan (2016) etiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) sebagai berikut :
a. Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab utama. Prevalansi terjadinya gangguan sistem
pernafasan dan penurunan faal paru lebih tinggi terjadi pada perokok. Usia mulai merokok, jumlah
bungkus pertahun, dan perokok aktif berhubungan dengan angka kematian. Dalam pencatatan riwayat
merokok perlu diperhatikan :
1) Riwayat merokok
a) Perokok aktif
b) Perokok pasif
c) Bebas perokok
2) Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok
yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
a) Ringan : 0-200
b) Sedang : 200-600
c) Berat : >600
3) Derajat berat merokok berdasarkan banyak rokok yang dihisap perhari dibagi menjadi 2 klasifikasi
yaitu :
f. Usia
Patofisiologi
kronis, emfisema, dan asma. Menurut Black (2014), patologi penyakit tersebut adalah :
b. Emfisema
c. Asma
-Berhenti Merokok
-Terapi farmakologis dapat mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan beratnya eksaserbasi
dan memperbaiki status kesehatan dan toleransi aktivitas.
-Regimen terapi farmakologis sesuai dengan pasien spesifik, tergantung beratnya gejala, risiko
eksaserbasi, availabilitas obat dan respon pasien.
-Semua pasien dengan napas pendek ketika berjalan harus diberikan rehabilitasi yang akan
memperbaiki gejala, kualitas hidup, kualitas fisik dan emosional pasien dalam kehidupannya
sehari-hari.
Terapi farmakologi
A. Bronkodilator
Bronkodilator adalah pengobatan yang berguna untuk meningkatkan FEV 1 atau mengubah variable
spirometri dengan cara mempengaruhi tonus otot polos pada jalan napas.
-Antikolinergik
Obat yang termasuk pada golongan ini adalah ipratropium, oxitropium dan tiopropium bromide. Efek
utamanya adalah memblokade efek asetilkolin pada reseptor muskarinik. Efek bronkodilator dari short
acing anticholinergic inhalasi lebih lama dibanding short acting B 2 agonist. Tiopropium memiliki waktu
kerja lebih dari 24 jam. Aksi kerjanya dapat mengurangi eksaserbasi dan hospitalisasi, memperbaiki
gejala dan status kesehatan (Evidence A), serta memperbaiki efektivitas rehabilitasi pulmonal (Evidence
B). Efek samping yang bisa timbul akibat penggunaan antikolinergik adalah mulut kering. Meskipun bisa
menimbulkan gejala pada prostat tapi tidak ada data yang dapat membuktikan hubungan kausatif
antara gejala prostat dan penggunaan obat tersebut.
B. Methylxanthine
Contoh obat yang tergolong methylxanthine adalah teofilin. Obat ini dilaporkan berperan dalam
perubahan otot-otot inspirasi. Namun obat ini tidak direkomendasikan jika obat lain tersedia.
C. Kortikosteroid
Kortikosteroid inhalasi yang diberikan secara regular dapat memperbaiki gejala, fungsi paru, kualitas
hidup serta mengurangi frekuensi eksaserbasi pada pasien dengan FEV1 <60% predikei
D. Phosphodiesterase-4 inhibitor
Mekanisme dari obat ini adalah untuk mengurangi inflamasi dengan menghambat
pemecahanintraselular C-AMP. Tetapi, penggunaan obat ini memiliki efek samping seperti mual,
menurunnya nafsu makan, sakit perut, diare, gangguan tidur dan sakit kepala.
- Vaksin: vaksin pneumococcus direkomendasikan untuk pada pasien PPOK usia > 65 tahun
- Alpha-1 Augmentation therapy: Terapi ini ditujukan bagi pasienusia muda dengan defisiensi alpha-1
antitripsin herediter berat. Terapi ini sangat mahal, dan tidak tersedia di hampir semua negara dan tidak
direkomendasikan Luntuk dengan defisiensi alpha-1 antitripsin.
- Antibiotik: Penggunaannya untuk mengobati infeksi bakterial yang mencetuskan eksaserbasi pasien
PPOK yang tidak ada hubungannya
- Narkotik (morfin)
- Lain-lain:Terapi herbal dan metode lain seperti akupuntur dan hemopati) juga tidak ada yang efektif
bagi pengobatan PPOK
1. Rehabilitasi
2. Konseling nutrisi
3. Edukasi
Terapi Lain
4. Terapi Oksigen
1. Ventilatory Support
2. Surgical Treatment ( Lung Volume Reduction Surgery (LVRS). Bronchoscopic Lung Volume Reduction
(BLVR). Lung Transplantation, Bullectomy
14) Apa saja faktor resiko yang dapat menyebabkan ppok dan apa saja komplikasinya?
Penyebab PPOK:
Asap rokok, asap kendaraan brmotor, asap pabrik, asap dapur kayu, polusi udara, perokok pasif, riwayat
infeksi saluran nafas saat anak-anak, dan keturunan.
Selain merokok, faktor paparan lain yang dapat menyebabkan terjadinya Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) adalah polusi udara hasil rumah tangga seperti asap dapur, terutama pada dapur ventilasi buruk
dan terkena terutama adalah kaum perempuan. Selain asap dapur, debu dan iritan lain seperti asap
kendaraan bermotor juga diduga menjadi penyebab karena partikel-partikel yang dikandung dapat
menyebabkan kerja paru menjadi lebih berat, meskipun dalam jumlah yang relatif kecil
Komplikasi PPOK:
Biasanya muncul pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Hal tersebut sebagai akibat
terganggunya mekanisme pertahanan normal paru dan penurunan imunitas. Oleh karena status
pernafasan sudah terganggu, infeksi biasanya akan mengakibatkan gagal nafas akut dan harus segera
mendapatkan perawatan di rumah sakit (Black, 2014).
b. Pneumothoraks Spontan
Pneumothoraks spontan dapat terjadi akibat pecahnya belb(kantong udara dalam alveoli) pada
penderita emfisema. Pecahnya belb itu dapat menyebabkan pneumothoraks tertutup dan
membutuhkan pemasangan selang dada (chest tube) untuk membantu paru
c. Dypsnea
Seperti asma, bronchitis obstruktif kronis, dan emfisema dapat memburuk pada malam hari. Pasien
sering mengeluh sesak nafas yang bahkan muncul saat tidur (one set dyspnea) dan mengakibatkan
pasien sering terbangun dan susah tidur kembali di waktu dini hari. Selama tidur terjadi penurunan
tonus otot pernafasan sehingga menyebabkan hipoventilasi dan resistensi jalan nafas meningkat, dan
akhirnya pasien menjadi hipoksemia (Black, 2014).
d. Hipoksemia
Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan tingkat PO2<55 mmHg dengan nilai saturasi O2<85%. Pada
awalnya pasien akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada
tahap lanjut akan timbul gejala seperti sianosis (Permatasari, 2016).
e. Asidosis Respiratori
Asidosis respiratori timbul akibat peningkatan nilai PCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara lain,
nyeri kepala, fatigue,letargi, dizziness, dan takipnea. Asidosis respiratori yang tidak ditangani dengan
tepat dapat mengakibatkan dypsnea, psikosis, halusinasi, serta ketidaknormalan tingkah laku bahkan
koma. Hiperkapnia yang berlangsung lama atau kronik pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) akan menyebabkan gangguan tidur, amnesia, perubahan tingkah laku, gangguan koordinasi dan
bahkan tremor (Hartono, 2013).
f. Kor Pulmonale
Kor pulmonale (yang disebut pula gagal jantung kanan) merupakan keadaan tarhadap hipertrofi dan
dilatasi ventrikel kanan, yang dapat terjadi akibat komplikasi sekunder karena penyakit pada struktur
atau fungsi paru-paru atau system pembuluh darah. Keadaan ini bisa terjadi pada stadium akhir
berbagai gangguan kronik yang mengenai paru-paru, pembuluh darah pulmoner, dinding dada dan
pusat kendali pernafasan. Kor pulmonale tidak terjadi pada gangguan yang berasal dari penyakit jantung
kongenital atau pada gangguan yang mengenai jantung sebelah kiri (Hartono, 2013).
Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita pascatuberculosis dengan lesi
paru yang minimal.
Pneumotoraks
• Gagal jantung kronik
• Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis, destroyed lung.
Skema
Sistem respirasi bawah
Epidemiologi, Etiologi,
Patofisiologi,patogenesis, dan Manifestasi
faktor resiko Klinis
Tatalaksana Komprehensif
(Farmakologi dan Nonfarmakologi)
Learning Objective
1. PPOK (Etiologi, patofisiologi, pathogenesis, penatalaksanaan, pemeriksaan fisik, farmakologi
obat-obatan)
2. Asma bronkial (Etiologi, patofisiologi, pathogenesis, penatalaksanaan, pemeriksaan fisik,
farmakologi obat-obatan)
3. Obstruksi benda asing (Etiologi, patofisiologi, pathogenesis, penatalaksanaan, pemeriksaan fisik,
farmakologi obat-obatan)
4. bronkhiektasis (Etiologi, patofisiologi, pathogenesis, penatalaksanaan, pemeriksaan fisik,
farmakologi obat-obatan)
5. emfisema (Etiologi, patofisiologi, pathogenesis, penatalaksanaan, pemeriksaan fisik, farmakologi
obat-obatan)
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi PPOK meningkat tajam seiring meningkatnya umur, dengan prevalensi tertinggi pada
kelompok usia 60-an. Prevalensinya jauh lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita. Penelitian tahun
2013 pada perokok >40 tahun menunjukkan prevalensi PPOK di DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat
adalah 5,4% di perkotaan dan 7,2% di pedesaan.
FAKTOR RISIKO
• Lingkungan: pajanan okupasional, asap rokok, polusi udara di dalam ruangan (seperti penggunaan
bahan bakar biomassa untuk memasak di rumah berventilasi buruk), dan polusi udara di luar
ruangan (efeknya minimal)
• Genetik: misalnya defisiensi alpha-1 antitrypsin herediter
• Tumbuh-kembang: gangguan tumbuh-kembang paru yang dipengaruhi oleh berat badan lahir dan
riwayat infeksi saluran napas saat anak,
• Usia dan jenis kelamin
• Status sosioekonomi
• Komorbiditas: asma dan hipereaktivitas saluran napas
Pajanan asap rokok dan partikel berbahaya lainnya ke saluran napas menyebabkan inflamasi saluran
napas. Inflamasi ini memicu datangnya neutrofil ke bronkiolus dan alveolus sehingga terjadi peningkatan
enzim neutrophil elastase dan matrix metalloproteinase yang mendegradasi elastin. Akibatnya, paru
kehilangan elastisitasnya, sementara compliance paru meningkat. Dengan demikian, volume residu paru
meningkat, terjadi air trapping (hilangnya elastisitas menyebabkan saluran udara tidak dapat terbuka
saat ekspirasi), dan gangguan difusi gas (akibat kerusakan dinding alveolus).
Selain itu, proses inflamasi turut menyebabkan saluran napas kecil menyempit (karena hipersekresi
mukus dan disfungsi silier) serta fibrosis dan penebalan dinding bronkiolus (karena peningkatan stres
oksidatif, mediator inflamasi, dan sitokin).
DIAGNOSIS
Diagnosis PPOK ditentukan berdasarkan faktor risiko, gejala dan dikonfirmasi dengan spirometri, yaitu
FEV1/FVC <0,7 dan FEV1 <80% nilai prediksi yang tidak sepenuhnya reversibel setelah pemberian
bronkodilator inhalasi. Selain itu, tidak ada kemungkinan etiologi lain untuk gejala pernapasan dan
keterbatasan aliran udara yang dialami pasien.
KLASIFIKASI
Setelah diagnosis PPOK ditegakkan, lakukan penilaian hambatan saluran napas menggunakan
persentase FEV1 terhadap FEV1 prediksi untuk menentukan klasifikasi GOLD 1, 2, 3, dan 4. Kemudian,
lakukan penilaian gejala atau risiko eksaserbasi untuk menentukan grup A, B, C, dan D (lihat Gambar
115.1).
Penentuan skor COPD Assessment Test (CAT) dan Modified Medical Research Council (mMRM) dapat
dilihat di Tabel 115.2 dan 115.3.
PPOK EKSASERBASI Kriteria PPOK eksaserbasi berdasarkan 3 gejala kardinal yaitu sputum berubah
warna, sputum semakin banyak, dan sesak memberat. PPOK eksaserbasi akut diklasifikasikan sebagai
berikut:
DIAGNOSIS BANDING
Asma: lebih sering pada usia muda, gejala bervariasi dari hari ke hari, gejala sering timbul pada
malam/menjelang pagi, ada reversibilitas, dan ada riwayat atopi.
• Bronkiektasis: gejala batuk lebih menonjol dan produksi sputum mukopurulen setiap hari.
• Gagal jantung: ada ronki basah halus di basal, disertai gambaran kardiomegali dan edema paru
pada rontgen toraks.
• Tuberkulosis paru: diagnosis banding sekaligus faktor risiko PPOK. Rontgen toraks
menunjukkan infiltrat paru.
• Bronkiolitis obliterans: awitan saat usia muda, bukan perokok, dan riwayat artritis reumatoid.
Manajemen PPOK harus sesuai dengan klasifikasi penyakit dan keadaan saat ini (stabil atau sedang
eksaserbasi). Sediaan dan dosis obat PPOK dapat dilihat pada Tabel 115.4.
• Grup A: berikan bronkodilator (kerja pendek/ panjang), evaluasi efeknya, kemudian lanjutkan atau
coba kelas bronkodilator alternatif.
• Grup B: beri bronkodilator kerja panjang, yaitu long acting bronchodilator (LABA) atau long acting
muscarinic antagonist (LAMA). Jika gejala tetap ada, berikan LAMA + LABA.
• Grup C: beri bronkodilator kerja panjang, LAMA lebih direkomendasikan pada grup ini. Jika gejala
tetap ada, berikan LAMA + LABA atau LABA + ICS.
• Grup D: inisiasi dengan LAMA, tetapi pada CAT >20, boleh diberikan LAMA + LABA.
• Alternatif LABA + ICS, terutama bermanfaat pada pasien dengan eosinofil absolut >300 sel/ ul atau
riwayat asma.
• Triple therapy LAMA + LABA + ICS bila tidak respons kombinasi dua obat.
Jika gejala masih berat atau eksaserbasi berulang, pertimbangkan azitromisin jika pasien dulunya
perokok, roflumilast jika FEV1 <50% prediksi dan pasien memiliki bronkitis kronis,
Selain itu, pasien juga direkomendasikan untuk vaksinasi pneumokokus dan influenza rutin karena
mengurangi angka eksaserbasi secara signifikan.
Terapi oksigen jangka panjang dapat dikerjakan pada pasien tertentu. Intervensi dan pembedahan juga
dapat dikerjakan di layanan rujukan, yaitu:
• Bullectomy
• Reduksi volume paru secara operasi (LVRS) atau bronkoskopi (BLVR)
• Lung volume reduction coil
• Vapor ablation
• Transplantasi paru
Penilaian awal derajat eksaserbasi: derajat sesak, pernapasan paradoksal, kesadaran, sianosis,
dan tanda vital.
Pemeriksaan penunjang: analisis gas darah, rontgen toraks, EKG, dan darah perifer lengkap.
Pemberian oksigen: dititrasi dengan target saturasi 88-92%. Lakukan analisis gas darah 30-60
menit setelah oksigen diberikan.
Pertimbangkan intubasi dan pemasangan ventilator pada PPOK eksaserbasi yang mengancam
jiwa.
Bronkodilator: inhalasi SABA dengan/tanpa antikolinergik kerja singkat.
Lini kedua: methylxanthine IV (aminofilin)
Bolus 6-8 mg/KgBB dalam 20 menit
Lanjutkan dengan rumatan 1 mg/kgBB/jam
Target kadar serum 10-20 pg/mL, idealnya kadar serum diukur 1-2 jam setelah bolus awal.
direkomendasikan pada
Terapi ini tidak panduan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) karena
efek samping.
Kortikosteroid sistemik: prednison PO 40 mg per hari selama 5 hari atau metilprednisolon 32 mg.
Jika dalam bentuk IV, berikan metilprednisolon 3x30 mg sampai bisa disulih ke sediaan oral.
Antibiotik: diindikasikan pada pasien PPOK eksaserbasi yang mempunyai semua gejala kardinal;
dua dari tiga gejala kardinal yang salah satunya adalah bertambahnya purulensi sputum; atau
membutuhkan ventilasi mekanik.
Pilihan antibiotik disesuaikan pola mikroba dan resistensi setempat
Antibiotik dapat berupa golongan beta-laktam dan inhibitor beta-laktamase (ko-amoksiklav PO
2x875 mg selama 5 hari), kuinolon (levofloxacin PO 1x500 mg selama 5 hari) atau makrolid
(azitromisin 500 mg pada hari pertama diikuti 250 mg/hari selama 4 hari).
KOMPLIKASI
KRITERIA RUJUKAN
Pasien PPOK harus dirujuk ke ahli paru atau spesialis penyakit dalam untuk evaluasi dan inisiasi tata
laksana lanjutan. Selanjutnya pasien dapat dirujuk balik setelah selesai dan terapi dilanjutkan di
fasyankes yang merujuk.
PROGNOSIS
Beberapa faktor merupakan indikator prognostik PPOK, di antaranya FEV1, tingkat respons jalan napas,
indeks massa tubuh (IMT) rendah, infeksi HIV, penurunan kapasitas olahraga, peningkatan kadar c-
reactive protein (CRP),Jenis kelamin laki-laki,dan adanya emsifema pada pemeriksaan CT
LO 2 Asma Bronchial (Etiologi, patofisiologi, penatalaksanaan,
pemeriksaan fisik, farmakologi obat-obatan)
DEFINISI
Asma merupakan inflamasi kronis saluran napas yang berhubungan dengan hiperreaktivitas bronkus,
sehingga menyebabkan episode berupa mengi, sesak napas, rasa berat di dada dan batuk terutama pada
malam atau dini hari; episode perburukan tersebut berkaitan dengan luasnya peradangan, variabilitas,
dan beratnya obstruksi jalan napas. Obstruksi ini bersifat reversibel, baik secara spontan maupun
dengan pengobatan.
EPIDEMIOLOGI
Asma cukup sering ditemukan, mengenai 1-18% populasi di negara yang berbeda. Riset Kesehatan Dasar
tahun 2013 menunjukkan angka prevalensi penyakit asma pada semua umur di Indonesia adalah 4,5%.
Penelitian menggunakan kuesioner ISAAC di Indonesia menunjukkan prevalensi asma pada anak usia 6-7
tahun mencapai 3-8%, sedangkan usia 13-14 tahun sebesar 2,6-24,4%. Serangan asma di tahun
sebelumnya dialami oleh 63,1% pasien yang didiagnosis asma.
Faktor resiko
• Faktor pejamu:
• Gen yang berasosiasi dengan asma antara lain ADAM 33, dipeptidyl peptidase 10, dan PHD
finger protein 11. Kontribusi genetik dalam asma bervariasi, antara 35-95%
• Poliposis nasal (20-60% pasien rinosinusitis kronik dengan polip nasal memiliki asma,
dibandingkan dengan 5-10% pada populasi umum)
• Obesitas (laju obesitas pada pasien asma adalah 38,8%, dibandingkan pada pasien tanpa
asma yakni 26,8%)
• Refluks gastroesofagus
• Faktor lingkungan, seperti infeksi virus, infeksi bakteri, pajanan alergen, pajanan okupasi,
bahan kimia dalam makanan, dan aspirin.
PATOFISIOLOGI
Pada asma, terjadi inflamasi kronis yang melibatkan berbagai sel inflamasi seperti sel mast, eosinofil,
limfosit T (terutama sel Th2), sel dendritik, makrofag, dan neutrofil. Tidak hanya sel inflamasi, tetapi sel
pada struktur jalan napas juga terlibat seperti epitel jalan napas, otot polos, endotel, fibroblas, dan
serabut saraf di jalan napas. Berbagai mediator inflamasi terlibat pada proses ini, antara lain sisteinil
leukotrien, histamin, NO, dan berbagai sitokin.
Akibat interaksi kompleks ini, terjadi beberapa perubahan pada saluran napas yang menyebabkan
obstruksi, diantaranya :
• Bronkokontriksi, yakni kontraksi otot polos bronkus. Kondisi ini merupakan dasar reversibilitas
pada asma.
• Edema dinding saluran napas
• Hipersekresi mukus
• Penebalan dinding jalan napas, akibat terjadinya airway remodelling yang terdiri atas deposisi
kolagen di bawah membran basal, fibrosis subepitel, dan peningkatan massa otot polos. Oleh
karena adanya proses ini, asma tidak sepenuhnya reversibel.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Spirometri merupakan pemeriksaan faal paru yang wajib dilakukan. Dikatakan terjadi
obstruksi jika rasio FEV1/FVC < 0,75-0,8. Bila didapatkan ada obstruksi, dapat dinilai
reversibilitas dengan spirometri salbutamol 200-400 ug. Peningkatan FEV1 12% dan 200 mL
mengindikasikan sifat reversibel. Pada anak: FEV1 < 80% nilai prediksi, FEV1/FVC setelah
inhalasi bronkodilator <90%, uji reversibilitas: peningkatan FEV1 >12%
Arus puncak ekspirasi (APE): mengukur reversibilitas dan variabilitas untuk mendiagnosis
asma.
Reversibilitas: peningkatan APE minimal 60 mL/menit atau 20% dibandingkan APE sebelum
pemberian bronkodilator (sensitivitas 57% dan spesifisitas 68% pada pasien berusia dibawah
60 tahun).
variabilitas: pasien diminta untuk mengukur APE pagi dan malam selama beberapa hari
(biasanya 2 minggu), kemudian dihitung variasi diurnalnya dan rata-rata selama 2 minggu
Variasi diurnal >10% (dewasa) tersebut. atau > 13% (anak) mengindikasikan adanya variabilitas
yang lebih dari normal yang mendukung diagnosis asma. Variasi diurnal dihitung dengan cara
[(APE APE terendah)/rata-rata dari APE tertinggi tertinggi dan terendah] x 100. APE tertinggi
disini adalah yang diukur di malam hari, dan APE terendah adalah yang diukur di pagi hari.
• Foto toraks, dapat mengeksklusi abnormalitas struktural pada anak yang mengalami mengi
atau batuk. Kondisi yang dapat dieksklusi misalnya gangguan struktural (emfisema lobaris
kongenital, cincin vaskular), infeksi kronik seperti tuberkulosis, dan benda asing yang
terinhalasi.
• Pemeriksaan tambahan lainnya: uji provokasi bronkus, uji alergi, pemeriksaan IgE spesifik Uji
provokasi exercise pada anak: penurunan FEV1 >20% atau PEFR >15%
• Percobaan terapi, yakni anak diberikan inhalasi SABA selama 35 hari, dapat ditambah ICS.
Perbaikan klinis yang bermakna saat diberikan terapi, dan perburukan ketika terapi
dihentikan, mendukung diagnosis asma. Dikerjakan pada anak yang belum dapat spirometri.
DIAGNOSIS
Diagnosis asma dewasa dilakukan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisis yang menunjang diagnosis
asma,dikonfirmasi dengan hasil spirometri atau APE dengan uji reversibilitas. Selain itu, harus
disingkirkan pula alternatif diagnosis lainnya.
DIAGNOSIS BANDING
Disfungsi korda vokalis: terdapat sesak napas dan mengi inspiratorik (stridor)
-Chronic upper airway cough syndrome: bersin, hidung gatal dan tersumbat, sering mendehem untuk
membersihkan tenggorokan
-Disfungsi korda vokalis: sesak dan stridor Bronkiektasis: batuk produktif, infeksi rekuren Fibrosis kistik:
batuk dan produksi mukus berlebih
Infeksi virus pada saluran napas yang rekuren: gejala didominasi oleh batuk, hidung tersumbat dan
rinorrhea selama <10 hari, mengi ringan, tidak ada gejala antar infeksi
• Refluks gastroesofageal: batuk saat makan, infeksi paru rekuren, mudah muntah setelah makan besar,
respons yang buruk terhadap pengobatan asma
• Aspirasi benda asing: episode batuk yang tiba- tiba dan berat, disertai stridor saat makan atau
bermain, temuan paru yang fokal berlebih
Infeksi virus pada saluran napas yang rekuren: gejala didominasi oleh batuk, hidung tersumbat dan
rinorrhea selama <10 hari, mengi ringan, tidak ada gejala antar infeksi
• Refluks gastroesofageal: batuk saat makan, infeksi paru rekuren, mudah muntah setelah makan besar,
respons yang buruk terhadap pengobatan asma
• Aspirasi benda asing: episode batuk yang tiba- tiba dan berat, disertai stridor saat makan atau
bermain, temuan paru yang fokal.
KLASIFIKASI
Asma dapat di klasifikasikan berdasarkan derajat dan status kontrol (Tabel 107.3 dan 107.4).
TERAPI DEWASA DAN PENCEGAHAN ASMA
Farmakologis
Tujuan terapi asma adalah membuat gejala pasien terkontrol, minimalkan risiko eksaserbasi di masa
depan, dan minimalisasi hambatan aliran udara dengan efek samping pengobatan minimal.
Terapi farmakologis pada asma dapat dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan fungsinya, yaitu:
• Controller: terapi maintenance yang rutin, bertujuan untuk menurunkan inflamasi saluran napas,
mengontrol gejala, dan menurunkan risiko eksaserbasi dan penurunan fungsi paru.
•Terapi add-on untuk pasien asma berat: diberikan iika pasien memiliki gejala persisten dan/atau
eksaserbasi meskipun sudah diberikan controller dosis tinggi dan faktor risiko sudah dimodifikasi.
Global Initiative for Asthma (GINA) telah mengeluarkan panduan baru tahun 2019 yang mengubah ini,
semua pasien harus diberikan reliever dan controller. Praktik paradigma pemilihan obat. Saat hanya
memberikan SABA sebagai obat tunggal tanpa adanya reliever tidak direkomendasikan. Selain itu, saat
ini ICS-formoterol telah menjadi lini pertama reliever (selain fungsi sebagai controller), dengan SABA
sebagai alternatif.
Terapi inisial yang diberikan untuk pasien yang belum memiliki riwayat pengobaan asma sebelumnya
dapat dilihat pada Tabel 107.5.
Respons pasien harus dinilai. Jika selama 12 minggu masih belum terkontrol dan tidak ada masalah
lainnya (seperti cara penggunaan obat salah, kepatuhan, komorbid, pencetus) maka pengobatan dapat
naik ke tahap berikutnya.
Untuk menentukan pasien harus memulai pengobatan dari tahap yang mana, dapat dilakukan penilaian
sebagai berikut:
•Tahap 1: jika gejala asma sangat jarang. Obat menggunakan ICS-formoterol sebagai controller dan lini
pertama reliever. Obat diberikan sesuai kebutuhan.
dosis rendah
• Tahap 2: umumnya digunakan pada asma intermiten, dengan ICS setiap hari (lini pertama) atau ICS-
formoterol/SABA sesuai kebutuhan.
• Tahap 3: umumnya diberikan pada asma persisten ringan. Jika masih belum terkontrol, sebaiknya
dirujuk ke dokter spesialis yang ahli dalam penanganan asma.
Tahap 4: merupakan pindahan dari tahap sebelumnya yaitu tahap 3, artinya tidak boleh langsung ke
tahap 4 dari penilaian awal.
• Tahap 5: jika pasien dalam tahap 4 masih belum terkontrol, masih ada keterbatasan aktivitas dan
sering eksaserbasi, dapat naik ke tahap 5.
Jika asma sudah terkontrol paling tidak selama 3 bulan, turunkan intensitas terapi secara bertahap
(stepping down). Stepping down tahap 5 hanya dikerjakan oleh dokter spesialis.
Pada tahap 4 dan 3, dosis komponen ICS dan ICS- LABA dapat diturunkan sebanyak 50% setiap 3 bulan,
bertahap sampai dosis terendah. Jika dalam ICS dosis terendah dan asma tetap terkontrol, turunkan
frekuensi ICS-LABA menjadi sekali sehari.
Anjurkan pasien untuk kontrol ke dokter dalam 1-3 bulan setelah kunjungan pertama dan setiap 3-12
bulan untuk pertemuan selanjutnya. Setelah eksaserbasi, disarankan kontrol 1 minggu setelahnya.
Nonfarmakologis
• Menjaga nutrisi tetap baik dan aktivitas fisik rutin Menghindari polusi udara di dalam/di luar rumah
Eksaserbasi asma merupakan episode perburukan gejala yang progresif. Eksaserbasi biasanya dicetuskan
akibat pajanan agen eksternal (misal infeksi, polen, atau polusi) dan/atau kepatuhan yang rendah
terhadap penggunaan controller. Beratnya eksaserbasi bervariasi dari yang ringan sampai yang berat
dan mengancam jiwa (lihat Tabel 107.10).
• Penilaian derajat eksaserbasi, bila serangan berat segera persiapkan rujuk bila pasien datang di
layanan primer.
• Pemberian oksigen dengan target saturasi 93-95% (pada anak 94-98%). Konsul untuk kemungkinan
intubasi dan ICU pada pasien serangan berat.
-Inhalasi SABA dengan dosis adekuat, dimulai dengan 2-4 puff setiap 20 menit dalam 1 jam pertama atau
nebulisasi SABA.
-Glukokortikoid sistemik diberikan pada seluruh kasus kecuali yang sangat ringan dan langsung
perbaikan dengan SABA. Rute oral dan IV sama efektifnya.
•Magnesium sulfat dapat diberikan pada pasien yang tidak merespon terhadap bronkodilator dan
glukokortikoid sistemik, dengan dosis 2 gram IV, dihabiskan dalam 20 menit.
KOMPLIKASI
• Airway remodelling, akibat inflamasi yang persisten, sehingga terjadi obstruksi jalan napas yang
irreversibel. Obstruksi ini mirip PPOK dan dapat semakin parah, menyebabkan keterbatasan aktivitas
pasien.
• Disfonia akibat penggunaan ICS, terjadi spasme otot laring yang menyebabkan suara yang tidak normal
(insidensi bervariasi dari 5-58%)
• Kandidiasis esofagus akibat penggunaan ICS (pada pasien dengan ICS dosis tinggi, prevalensinya adalah
5,7%)
POPULASI KHUSUS
Pada kehamilan, sepertiga pasien dapat mengalami perburukan gejala. Eksaserbasi sering terjadi di
trimester kedua. Prinsip manajemen asma pada kehamilan tidak berbeda.
KRITERIA RUJUKAN
Pasien dirujuk ke dokter spesialis bila kesulitan konfirmasi diagnosis asma, eksaserbasi sering, efek
samping pengobatan sulit ditoleransi, atau gejala tidak terkontrol pada fase 3 atau lebih. Pasien asma
eksaserbasi sedang-berat segera dirujuk ke UGD.
PROGNOSIS
•Asma pada anak dengan usia sekolah akan hilang sendiri saat dewasa pada 75% kasus. Anak yang
mengalami asma dapat mengalami penurunan fungsi paru yang persisten hingga dewasa, diantaranya
penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC.
• Orang dewasa dengan asma lebih kecil kemungkinannya dibanding anak untuk mengalami remisi total
dari gejala asma, tetapi risiko untuk mengalami deteriorasi klinis yang progresif sifatnya kecil. Asma
tanpa adanya komorbiditas lainnya tidak menurunkan angka harapan hidup
LO 3 Obstruksi Benda Asing (Etiologi, patofisiologi,
penatalaksanaan, pemeriksaan fisik, Farmakologi obat-obatan)
benda asing di dalam suatu organ ialah benda yang berasal dari luar tubuh atau dari dalam tubuh yang
dalam keadaan normal tidak ada.
Epidemiologi
Benda asing di laring dan trakea lebih sering terjadi pada anak, karena usia 2-4 tahun cenderung
memasukan benda-benda yang ditemukannya dan dijangkaunya kedalam lubang hidung, mulut, atau di
masukan oleh anak lain
Faktor personal, seperti umur, jenis kelamin, pekerjaan, kondisi sosial, tempat tinggal.
Faktor kegagalan mekanisme proteksi normal, misal keadaan tidur, kesadaran menurun,
alkoholisme, dan epilepsi.
Faktor fisik yaitu kelainan dan penyakit neurologik.
Proses menelan surgical misal tindakan bedah , ekstraksi gigi, dan gigi molar yang belum
tumbuh pada anak umur <4tahun.
Faktor kejiwaan, misal emosi dan gangguan psikis.
Faktor ukuran dan bentuk serta sifat benda asing.Faktor kecerobohan,
Patogenesis
Diagnosis
Anamnesis:
- palpasi
Gejala sumbatan benda asing di saluran nafas tergantung pada lokasi benda asing, derajat
sumbatan, bentuk dan ukuran benda asing.
Stadium pertama :
gejala stadium permulaan diikuti oleh interval asimtomatik hal ini terjadi karena benda
asing tersangkut,
reflek-reflek akan melemah dan gejala rangsangan akut menghilang.
Stadium ketiga :
telah terjadi gejala komplikasi dengan obstruksi, erosi atau infeksi sebagai akibat reaksi
terhadap benda asing.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologi
Video fluoroskopi
Bronkogram
Pemeriksaan laboratorium
Penalatalaksanaaan
Benda asing di hidung > ektrasi benda asing dengan Haak(+) infeksi hidung/sinus AB
sistemik 5-7 hari
Benda asing di laring
Sumbatan parsial laringoskop, ektraksi benda asing dengan cunam ( anastesia/analgesia)
Bronkiektasis (BE) merupakan dilatasi bronkus yang bersifat abnormal dan permanen. Dilatasi, dapat
bersifat lokal atau difus, akan mudah mengalami infeksi bronkial dengan gejala batuk dan produksi
sputum.
EPIDEMIOLOGI
Belum ada data mengenai prevalensi BE di Indonesia. Data dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan prevalensi BE dari tahun 2000-2007 dengan angka kejadian per tahun adalah 8,74%.
Prevalensi meningkat seiring pertambahan usia dengan prevalensi tertinggi pada usia 80-84 tahun. BE
tertinggi pada ras Asia dengan tingkat survival dari BE dalam 4 tahun adalah 84-90%.
ETIOLOGI
Etiologi infeksi misalnya Haemophilus influenzae, Pseudomonas aureginosa, Staphylococcus aureus, dan
Moraxella catarrhalis.
PATOGENESIS
• Anamnesis: BE ditandai dengan batuk produktif kronis yang dapat disertai gejala seperti sesak, mengi,
hemoptisis, nyeri pleuritik, lemas, penurunan BB, dan mialgia. Sputum yang dihasilkan bersifat khas
yaitu sputum 3 lapis (buih, mukoid, dan purulen). Pada <10% pasien, dapat terjadi BE yang tidak
menghasilkan sputum (dry BE) jika lesi terdapat di bagian apeks.
• Pemeriksaan Fisis: jari tabuh, ronki basah kasar (tersering pada bagian basal paru), dan mengi pada
auskultasi mengarahkan diagnosis BE.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Radiologi: Foto toraks merupakan lini pertama dalam diagnosis BE, dengan gambaran khas adalah
honeycomb appearance. Namun, gambaran ini tidak selalu muncul sehingga hasil normal pada Rontgen
tidak menyingkirkan kemungkinan BE. Pada CT scan resolusi tinggi terdapat gambaran dilatasi dinding
bronkus (diameter lumen bronkus lebih besar dibanding arteri pulmoner).
• Hematologi rutin guna mengidentifikasi infeksi dan inflamasi (CRP dan LED).
• Bronkoskopi tidak dapat melihat ektasis, tetapi kadang dibutuhkan untuk pengeluaran sputum dan
apabila terjadi hemoptisis untuk melihat sumber perdarahan.
Kerusakan paru pada BE bersifat permanen sehingga tata laksana bersifat bukan untuk mengobati tetapi
untuk mengurangi gejala dan progresivitas penyakit.
• Edukasi pasien
• Antibiotik
• Pembedahan
Umumnya eksaserbasi disebabkan H. influenza dan dapat diberikan antibiotik beta laktam (amoxicillin
PO 3x500 mg selama 14 hari). Apabila pemberian antibiotik tidak menunjukkan perbaikan, perlu
dipikirkan etiologi P. aureginosa dan dapat diberikan terapi kuinolon (ciprofloxacin PO 2x500 mg selama
14 hari). Sebelum memulai terapi antibiotik, sputum perlu diambil untuk dikultur. Pasien dengan riwayat
eksaserbasi >3 kali per tahun dapat dipertimbangkan memperoleh terapi antibiotik jangka panjang.
Edukasi yang dapat diberikan berupa perjalanan penyakit yang tidak dapat sembuh, tetapi dapat
terkontrol serta peran infeksi dalam menyebabkan eksaserbasi penyakit. Edukasi lain yang penting
mencakup:
• Edukasi mengenai airway clearance (dengan teknik active cycle of breathing technique- bernapas biasa
yang diikuti 3-5 kali napas dalam lalu napas biasa kembali lalu mengeluarkan napas melalui mulut) yang
dapat dibantu dengan pemberian bronkodilator dan fisioterapi dada (Gambar 113.3)
• Melakukan aktivitas fisik secara teratur
KOMPLIKASI
PROGNOSIS
BE memiliki prognosis yang cukup baik mengingat bahwa BE merupakan penyakit yang bersifat progresif
lambat. Survival pada pasien BE dalam 13 tahun adalah 70,3%. Airway cleareance yang rutin serta
pengenalan tanda eksaserbasi akut yang baik dapat meningkatkan survival pada pasien.
LO 5 Emfisema (Etiologi, patofisiologi, penatalaksanaan,
pemeriksaan fisik, Farmakologi obat-obatan)
1. Definisi
Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh pelebaran ruang udara di
dalam paru-paru disertai destruksi jaringan. Sesuai dengan definisi tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa tidak termasuk emfisema jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa
disertai adanya destruksi jaringan. Namun, keadaan tersebut hanya sebagai 'overinflation'.
2. Patogenesis
Terdapat empat perubahan patologik yang dapat timbul pada pasien emfisema, yaitu:
a. Hilangnya elastisitas paru-paru. Protease (enzim paru-paru) mengubah atau merusak alveoli dan
saluran napas kecil dengan cara merusak serabut elastin. Sebagai akibatnya, kantung alveolus
kehilangan elastisitasnya dan jalan napas kecil menjadi kolaps atau menyempit. Beberapa alveoli
menjadi rusak dan yang lainnya kemungkinan menjadi membesar.
b. Hiperinflasi paru-paru Pembesaran alveoli sehingga paru-paru sulit untuk dapat kembali ke posisi
istirahat normal selama ekspirasi.
c. Terbentuknya bullae Dinding alveolus membengkak dan berhubungan untuk membentuk suatu
bullae (ruang tempat udara di antara parenkim paru-paru) yang dapat dilihat pada pemeriksaan
X-ray.
d. Kolapsnya jalan napas kecil dan udara terperangkap Ketika pasien berusaha untuk ekshalasi
secara kuat, tekanan positif intratoraks akan menyebabkan kolapsnya jalan napas.
a. Emfisema sentriolobular Merupakan tipe yang sering muncul dan memperlihatkan kerusakan
bronkhiolus, biasanya pada daerah paru-paru atas. Inflamasi merambah sampai bronkhiolus
tetapi biasanya kantung alveolus tetap bersisa.
b. Emfisema panlobular (panacinar) Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan umumnya juga
merusak paru-paru bagian bawah. Tipe ini sering disebut centriacinar emfisema, sering kali
timbul pada perokok. Panacinar timbul pada orang tua dan pasien dengan defisiensi enzim alpha-
antitripsin.
c. Emfisema paraseptal Merusak alveoli lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi blebs
(udara dalam alveoli) sepanjang perifer paru-paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab
dari pneumotorak spontan. Pada keadaan lanjut, terjadi peningkatan dyspnea dan infeksi
pulmoner dan sering kali timbul Cor Pulmonal (CHF bagian kanan).
4. Patofisiologi
Emfisema merupakan kelainan di mana terjadi kerusakan pada dinding alveolus yang akan
menyebabkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan udara akan terganggu akibat dari
perubahan ini. Kesulitan selama ekspirasi pada emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi
dinding (septum) di antara alveoli, jalan napas kolaps sebagian, dan kehilangan elastisitas untuk
mengerut atau recoil. Pada saat alveoli dan septum kolaps, udara akan tertahan di antara ruang alveolus
(disebut blebs) dan di antara parenkim paru-paru (disebut bullae). Proses ini akan menyebabkan
peningkatan ventilatory pada 'dead space atau area yang tidak mengalami pertukaran gas atau darah.
Kerja napas meningkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi jaringan paru-paru untuk melakukan
pertukaran O, dan CO,. Emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler paru-paru, selanjutnya terjadi
penurunan perfusi O, dan penurunan ventilasi. Emfisema masih dianggap normal jika sesuai dengan
usia, tetapi jika hal ini timbul pada pasien yang berusia muda biasanya berhubungan dengan bronkhitis
kronis dan merokok.
6. Manifestasi Klinik
a. Penampilan Umum Kurus, warna kulit pucat, dan flattened hemidiafragma Tidak ada tanda CHF
(Congestive Heart Failure) kanan dengan edema dependen pada stadium akhir.
b. Usia 65-75 tahun.
c. Pengkajian fisik
- Napas pendek persisten dengan peningkatan dispnea.
- Infeksi sistem respirasi.
- Pada auskultasi terdapat penurunan suara napas meskipun dengan napas dalam.
- Wheezing ekspirasi tidak ditemukan dengan jelas.
- Jarang produksi sputum dan batuk.
d. Pemeriksaan jantung -Tidak terjadi pembesaran jantung. Cor pulmonal timbul pada stadium
akhir. Hematokrit < 60%
e. Riwayat merokok Biasanya terdapat riwayat merokok, tapi tidak selalu ada.
7. Manajemen Medis
Penatalaksanaan utama pada pasien dengan emfisema adalah untuk meningkatkan kualitas hidup,
memperlambat perkembangan proses penyakit, dan mengobati obstruksi saluran napas yang berguna
untuk mengatasi hipoksia. Pendekatan terapi mencakup: Pemberian terapi untuk meningkatkan ventilasi
dan menurunkan kerja
a. napas.
b. Mencegah dan mengobati infeksi.
c. Teknik terapi fisik untuk memperbaiki dan meningkatkan ventilasi paru- paru.
d. Memelihara kondisi lingkungan yang memungkinkan untuk memfasilitasi pernapasan.
e. Dukungan psikologis.
f. Pendidikan kesehatan pasien dan rehabilitasi
a. Bronkodilator
b. Terapi aerosol
a. Pengobatan infeksi
b. Kortikosteroid
c. Oksigenasi