4. Bagaimana patofisiologi yg dialami oleh pasien dan apa saja factor resikonya?
1. Traksi dari saluran respiratorik yang kolaps, penonjolan saluran respiratorik akibat
sekresi sisa, perubahan dinding bronkial akibat infeksi atau inflamasi, atau kombinasi
ketiga mekanisme tersebut.
2. Infeksi akut atau berulang, obstruksi kronis akibat kelainan kongenital, tumor, fibrosis
kistik, asma kronis, atau imunodefisiensi merupakan faktor pendukung terjadinya
bronkiektasis.
3. Jejas berulang saluran respiratorik akibat aspirasi kronis, dengan atau tanpa GER sebagai
salah satu faktor penyebab:
-Penyakit fibrosis kistik sebelumnya.
-Penyakit defisiensi sistem imun.
-Alergi terhadap jamur aspergillus, atau aspergillosis.
-Kelainan yang menyebabkan gangguan pada fungsi silia. Silia adalah
struktur rambut tipis yang ada di saluran pernapasan, berfungsi untuk
menghilangkan lendir dan mukus pada saluran pernapasan.
5. Apa interpretasi dari anamnesis dan pem. fisik Pd pasien?
Anamnesis
- Batuk berdahak disebabkan karena adanya kelainan pada paru-paru yang menyebabkan
produksi mucus yang berlebihan, baik karena gangguan fisik, kimia, atau infeksi.
- Sesak napas yang terus menerus tanpa dipengaruhi oleh faktor eksternal yang
menandakan adanya gangguan/kelainan pada saluran pernapasan bawah yang disebabkan oleh
faktor internal.
- Nyeri dada yang dirasakan oleh pasien kemungkinan karena kurangnya pasokan O2 yang
dibutuhkan jantung. Produksi mucus yang berlebihan dapat menyebabkan berkurangnya kadar
O2 dalam darah karena udara yang berhasil masuk ke paru-paru itu berkurang jumlahnya,
apabila terjadi dalam jangka panjang diduga dapat mempengaruhi fungsi tubuh dan organ
lainnya yang menyebabkan nyeri dada.
- Hidung tersumbat diduga dapat disebabkan karena produksi mucus yang berlebihan.
Pemeriksaan Fisik
- Nadi normal
- RR nya di atas batas normal (Takipnea), tubuh pasien berusaha mengkompensasi kekurangan
O2 yang diperlukan oleh tubuh dengan cara bernapas lebih cepat.
6. Apa interpretasi dari pem. Auskultasi paru dan makroskopis sputum pd pasien?
Untuk pemeriksaan askultasi didapatkan crackle yang merupakan suara
tambahan yg dihasilkan oleh gelembung2 udara melalui sekret jln nafas yg
tiba2 terbuka, yang sering terjadi saat proses inspirasi. Sedangkan pada
pemeriksaan sputum di lapisan mukoid didapatkan kondisi sputum dalam
keadaan berlendir dan kental. Pada lapisan mukopurulen (sputum dlm keadaan
kental dan berwarna kuning-kehijauan). Dan pada lapisan viskosa didapatkan
sputum lengket yg memiliki derajat viskositas yg tinggi.
7. Apa manfaat dilakukannya pem penunjang berupa broncoscopy dan po dada pd pasien?
Manfaat bronchoscopy
1) Menilai keadaan percabangan bronkus
2) Mengambil specimen untuk diagnostic :
o Bilasan bronkus
o Sikatan brinkus
o Biopsy porep
3) Tindakan teurapetik: untuk hilangkan benda asing dari sal. Nafas
4) Untuk mengangkat tumor dengan laser
Manfaat RO: untuk melihat apakah terjadi kelainan berupa:
Infiltrasi, kavitas, atelektasis, efusi pleura, edema paru, penebalan pd
pleura, konsolidasi dan fibrosis.
Untuk RO: infeksi T. respiratorius bawah, batuk berdarah, batuk kronis dll
9. Apa interpretasi dari hasil pem. Bronchoscopy, RO dada dan p[em. Spirometri pd pasien?
Terapi fisioterapi dada disarankan pada pasien dengan batuk produktif kronik.
Teknik ekspansi thoraks dengan inspirasi dalam untuk mengekspansi alveoli, diikuti
ekspirasi untuk mendorong sputum ke saluran pernapasan yang lebih besar. Teknik ini
dapat dilakukan di rumah.
Teknik fisioterapi lainnya dapat berupa teknik pernapasan siklus aktif, postural
drainage, serta perkusi dan vibrasi menggunakan perangkat osilasi.
Teknik Inhalasi
Inhalasi agen hiperosmolar dan mukolitik dipercaya dapat membantu
klirens mukus dan sering digunakan bersamaan dengan teknik fisioterapi.
Nebulisasi menggunakan salin hipertonik dapat menurunkan mediator
inflamasi dan meningkatkan kualitas hidup pasien bronkiektasis.
Tatalaksana awal:
Beri antimikroba
Drainase postural: mengeluarkan secret
Bronkodilator
Berikan juga antibiotic simptomatik
Pengobatan obstruksi bronkus dll
12. Antibiotik dan obat farmakologi lain apa yg sesuai untuk diberikan pd pasien?
Antibiotik
beri antibiotik lebih awal dimaksudkan untuk membatasi siklus inflamasi-infeksi yang
terjadi. Antibiotik pilihan utama yaitu flurokuinolon jenis levofloksasin atau siprofloksasin
dengan terapi minimal 7-10 hari.
Levofloksasin merupakan golongan flurokuinolon yang aktif melawan patogen
respirasi seperti:S.pneumonia, S.aureus, Moraxella catarrhalis,hemophilusinfluenza dan
P.aeroginosa
Bronkodilator dan Kortikosteroid
dapat diberikan pada BE yang memberikan gambaran bronkitis kronik serta obstruksi jalan
napas dengan memberikan inhalasi β-2agonis.
Ekspektoran dan mukolitik
ekspektoran akan merangsang sekresi dahak
dari salauran napas, sedang mukolitik adalah obat-obatan yang dapat
mengencerkan sekret yang berada pada saluran napas dengan jalan mengurangi benang-benang
mukoprotein dan mukopolisakarida sputum.
13. Bagaimana komplikasi dan prognosis penyakit yg diderita pasien?
Komplikasi:
1. Bronchitis kronik
2. Pneumonia
3. Efusi pleura : jarang terjadi
4. Abses metastasi di otak
5. Hemoptisis
6. Sinusitis
Prognosis : cukup baik, mengingat BE memiliki prognosi yg lambat
Juga tergantung dari lamanya waktu terpapar, dan juga jika semakin lama
ditatalaksana maka prognosis akan semakin buruk.
14. Bagaimana kriteria melakukan rujukan pd skenario di atas?
BE merupakan kompetisi 3A, sehingga berdasarkan SKDI pasien di rujuk ke dr.
spesialis setelah mendapatkan terapi awal.
JUMP IV : SKEMA
JUMP VII: LO
1) Mikroorganisme dan penyebab infeksi pd system respirasi
2) Bronkitis
LO 2 Bronkitis
Akut
Definisi
Bronkitis akut merupakan istilah klinis yang menunjukkan peradangan mukosa membran
bronkus akut yang sering kali dapat sembuh sendiri (self-limited).
Manifestasi utama dari bronkitis akut berupa batuk, baik dengan atau tanpa dahak yang
berlangsung hingga 3 minggu, dimana tidak ada bukti klinis maupun radiologis yang
menunjukkan adanya penyakit pneumonia, common cold, asma akut, atau Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK) eksaserbasi akut
EPIDEMIOLOGI
Bronkitis akut umum terjadi di seluruh dunia, merupakan salah satu dari lima alasan teratas
untuk mencari perawatan medis dan sering ditemui dalam praktik klinis. Kondisi ini mencakup
sekitar 10% kunjungan poliklinik di Amerika Serikat atau 10o juta kunjungan per tahun.
Insidens bronkitis akut paling tinggi pada musim gugur dan musim dingin saat transmisi virus
pernapasan memuncak. Bronkitis lebih banyak menyerang pria daripada wanita dan tidak
didapatkan perbedaan dalam distribusi ras, namun bronkitis lebih sering terjadi pada populasi
dengan status sosial ekonomi rendah dan pada orang-orang yang tinggal di daerah perkotaan
serta industri tinggi.
Bronkitis akut ditemukan pada semua kelompok usia, namun paling sering didiagnosis pada
anak usia di bawah 5 tahun.
Etiologi
Penyebab utama bronkitis akut adalah infeksi virus, yaitu':
• Virus influenza A dan B
• Virus parainfluenza
• Respiratory Syncytial Virus (RSV)
• Coronavirus
• Adenovirus
• Rhinovirus
• Metapneumovirus
Faktor risiko
• Asap rokok (baik perokok aktif maupun pasif)
• Riwayat asma
• Polusi udara
• Debu
• Asap pembakaran
• Kontak dengan pasien bronkitis
• Daya tahan tubuh rendah
• Zat kimia (seperti pada cat tembok, atau cairan kimia lainnya)
Penegakan Diagnosis
Anamnesis
• Batuk selama lebih dari 5 hari dan dapat berlang- sung hingga 3 minggu, bisa dengan atau
tanpa dahak. Dahak berwarna jernih, kuning, atau hijau. Dapat muncul dahak purulen
• Terkadang dapat muncul demam di awal selama <3 hari
• Nyeri-nyeri otot
• Pilek dan hidung tersumbat dapat muncul di beberapa hari awal Menggigil (jarang)
• Sesak napas (jarang)
• Sakit kepala (jarang)
• Nyeri menelan (jarang)
• Nyeri dada (jarang)
Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital
• Umumnya dalam batas normal
• Frekuensi napas dapat meningkat (pada dewasa >20x/menit) (jarang)
• Demam, suhu < 38.5°C, di 3 hari awal (jarang)
Status generalis: Umumnya dalam batas normal
• Pada auskultasi paru terkadang dapat terdengar mengi (wheezing), ronki, atau ekspirasi
memanjang (jarang)
Pemeriksaan Penunjang
-Pemeriksaan Darah Lengkap
-Pemeriksaan Foto rontgen thorax(PA)
-Pmeriksaan spirometri
Diagnosis Banding
-Pneumonia
-Common Cold/Selesma
-Asma Akut
-PPOK eksaserbasi Akut
-GERD
-Gagal Jantung Kongestif
-Bronkiektasis
Pencegahan
-Tidak Merokok dan menghindari asap rokok
-Menghindari Polusi Udara,asap hasi pembakaran debu,dan zat kimia dengan memakai masker
-Mencuci tangan untuk mencegah penyebaran infeksi
-Aktivitas fisik seimbang dan makan makanan bergizi untuk menjaga daya tahan tubuh
-vaksinasi influenza atau pneumonia
Non Medikantosa
Istirahat yang cukup,minum banyak air putih,makan makanan bergizi
Medikamentosa
Karena penyebab utamanya infeksi virus,maka biasanya hanya diperlukan terapi
simptomatik.Pengobatan berfokus pada pencegahan atau kontrol terhadap batuk,yaitu dengan
pemberian antitusif(jangka pendek) dan bronkodilator(Beta 2 agonis)
-Antitusif
Deksometrophan(DMP)
Dewasa 15-30 mg per oral,maksimal 120 mg/hari dengan frekuensi 3-4 kali sehari
Anak 6-12 tahun 5-15 mg per oral,maksimal 60 mg/hari dengan frekuensi 3-4 kali sehari
Codein
Dewasa 10-20 mg per oral,maksimal 120 mg/hari dengan frekuensi 1-2 kali sehari
Anak 6-12 tahun 5-10 mg per oral,maksimal 60 mg/hari dengan frekuensi 1-2 kali sehari
-Bronkodilator(Beta 2 Agonis)
Salbutamol
Dewasa 2-4 mg per oral,maksimal 32 mg/hari dengan frekuensi 3-4 kali sehari
Anak 6-12 tahun:1-2 mg per oral dengan frekuensi 3-4 kali sehari
Analgesik/antipretik
Paracetamol
Dewasa 50-1000 mg per oral,maksimal 4000 mg/hari dengan frekuensi 3-4 kali sehari
Anak anak:10-15 mg/kgBB Per oral,maksimal 1000-2000 mg/hari dengan frekuensi 3-4 kali
sehari
Kronik
TERMINOLOGI
Bronkitis kronik adalah Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak
minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak
disebabkan penyakit lainnya.(PDPI, 2003)
Bronkitis kronis didefinisikan sebagai batuk produktif persisten selama paling sedikit 3
bulan berturut-turut pada paling sedikit 2 tahun berturut-turut. (Robin, 2007)
EPIDEMIOLOGI
Dalam sebuah studi longitudinal 30 tahun dari 1.711 pria Finlandia, kejadian kumulatif dari
bronkitis kronik adalah 42 % pada perokok aktif, 26 % pada mantan perokok , dan 22 % di
pernah perokok. Bronkitis kronik mempengaruhi sekitar 10 juta orang di Amerika Serikat ,
dan mayoritas adalah antara 44 dan 65 tahun. Beberapa 24,3 % dari individu dengan
bronkitis kronik lebih tua dari 65 tahun , dan, yang mengejutkan 31,2 % adalah antara usia
18 dan 44 tahun.
PATOGENESIS
Gambaran khas pada bronkitis kronis adalah hipersekresi mukus, yang dimulai
di saluran nafas besar. Meskipun faktor penyebab terpenting adalah merokok, polutan udara
lain, seperti sulfur dioksida dan nitrogen dioksida, juga berperan. Berbagai iritan ini memicu
hipersekresi kelenjar mukosa bronkus, menyebabkan hipertrofi kelenjar mukosa, dan
menyebabkan pembentukan metaplastik sel goblet penghasil musin di epitel permukaan
bronkus. Selain itu, zat tersebut juga menyebabkan peradangan dengan infiltrasi sel T
CD8+, makrofag, dan neutrofil. Berbeda dengan asma, pada bronkitis kronis eosinofil
jarang ditemukan, kecuali jika pasien mengidap bronkitis asmatik. Dipostulasikan bahwa
banyak efek iritan lingkungan pada epitel pernafasan diperantarai melalui reseptor faktor
pertumbuhan epidermis. Sebagai contoh, transkripsi gen musin MUC5AC, yang meningkat
sebagai akibat terpajan asap tembakau, baik in vitro maupun in vivo pada model
eksperimental, sebagian diperantarai oleh jalur reseptor faktor pertumbuhan epidermis.
Infeksi mikroba sering terjadi, tetapi hanya berperan sekunder, terutama dengan
mempertahankan peradangan dan memperparah gejala. (Robin, 2007)
DIAGNOSIS
1. ANAMNESIS
Keluhan dan gejala-gejala klinis Bronkitis Kronis adalah sebagai berikut:
- Batuk yang sangat produktif, purulen dan mudah memburuk dengan inhalasi iritan,
udara dingin atau infeksi
- produksi mucus dalam jumlah yang sangat banyak
- dyspnea, Sesak napas. Sesak bersifat progresif (makin berat) saat beraktifitas.
Dyspnea penyebab utama kecacatan dan kecemasan terkait dengan luas mengi
inspirasi atau ekspirasi. Pasien menggambarkan Dada sesak sering sebagai rasa
peningkatan upaya untuk bernapas
- riwayat merokok, paparan zat iritan di tempat kerja
- Adakalanya terdengar suara mengi (ngik-ngik).
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksisaluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
(Alburquerque Journal dan PDPI, 2003)
-
PEMERIKSAAN FISIK
Pada stadium awal, pasien belum ada keluhan. Pada stadium yang lebih lanjut,
didapatkan fase ekspirasi yang memanjang dan mengi. Didapatkan juga tanda-tanda
hiperinflasi seperti barrel chest dan hipersonor pada perkusi. Pasien yang dengan
obstruksi jalan nafas berat akan menggunakan otot-otot pernafasan tambahan duduk
dalam posisi tripod.Didapatkan juga sianosis pada bibir dan kuku pasien.
a) Inspeksi
Pursed lips breathing.
Barrel chest
Penggunaan otot bantu pernafasan
Hipertrofi otot bantu pernafasan
JVP meningkat
Edema tungkai bawah
Penampilan blue bloater. Gambaran khas bronchitis kronis, gemuk,
sianosis, edema tungkai dan ronki basah di basal paru. Sianosis di sentral
dan perifer.
b) Palpasi
Fremitus melemah
c) Perkusi
Hipersonor
d) Auskultasi
Suara nafas vesikuler normal atau melemah
Ronki dan mengi saat nafas biasa atau eskpirasi paksa
Eskpirasi memanjang
Bunyi jantung terdengar jauh (PDPI, 2003)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Pemeriksaan laboratorium
- Darah rutin : Hb, Ht dan leukosit boleh didapatkan meningkat (Robin. 2006)
- Analisa gas darah : hipoksia dan hiperkapnia
b) Pemeriksaan faal paru
- Spirometri : Ditemukan adanya penurunan kapasitas vital (VC) dan volume
ekspirasi kuat (FEV) serta peningkatan volume residual (RV) dengan kapasitas
paru total (TC) normal atau meningkat.
c) Radiologi
Rontgen thorax (PA/Lateral)
- Corakan bronkovaskuler meningkat
- Tram-track appearance : penebalan dinding bronkial
Diagnosis Banding
-Bronkitis kronik
-Asma
-Broenkiektasis
Terapi
Terapi non Farmakologis
Edukasi berhenti merokok
Farmakologis
Komplikasi
-Kematian
Prognosis
EPIDEMIOLOGI
Bronkiolitis merupakan penyebab tersering rawat inap pada bayi di 12 bulan pertama
kehidupannya. Sekitar 75.000-125.000 anak berusia di bawah 1 tahun di rawat inap per
tahunnya di Amerika akibat bronkiolitis. Umumnya, bronkiolitis terjadi pada anak berusia
kurang dari 2 tahun. Penelitian CDC menyebutkan laju rawat inap akibat infeksi repiratory
syncytial virus (RSV) adalah 5,2 per 1000 anak di bawah 24 bulan pada tahun 2000-2005.
FAKTOR RISIKO
Faktor risiko bronkiolitis meliputi:
• Bayi prematur <30 minggu (laju rawat inap akibat infeksi RSV adalah 18,7 dari 1000 anak,
sedangkan populasi aterm hanya 5,2 per 1000);
• Laki-laki:perempuan = 1,7:1
• Tidak mendapatkan ASI: 81% bayi kurang gizi dan 72% bayi yang gizi cukup yang terkena
bronkiolitis tidak menerima ASI eksklusif
•Tinggal di lingkungan padat penduduk
• Memiliki ibu yang masih muda
• Memiliki gangguan kardiopulmonal
• Imunodefisiensi.
ETIOLOGI
Lebih dari 50% kasus disebabkan oleh infeksi respiratory syncytial virus (RSV). Penyebab
lainnya: virus parainfluenza, adenovirus, dan Mycoplasma. Belum ada bukti yang
menunjukkan bahwa bakteri menyebabkan bronkiolitis, Bronkiolitis jarang sekali diikuti
dengan superinfeksi bakteri.
PATOFISIOLOGI
Pada bronkiolitis, adanya infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus menyebabkan respons
inflamasi akut, terjadi edema, sekresi mukus, timbunan debris seluler, dan fibrosis yang
menyebabkan penebalan dinding bronkiolus. Adanya penebalan dinding bronkiolus tersebut
menyebabkan peningkatan resistensi aliran udara pada bronkiolus, terutama pada bayi dengan
penampang saluran pernapasan yang kecil.
Resistensi pada bronkiolus akan meningkat baik pada saat inspirasi, maupun ekspirasi. Namun
radius saluran napas lebih kecil selama ekspirasi sehingga dapat terjadi air trapping dan
hiperinflasi. Jika obstruksi yang terjadi bersifat total, udara yang terperangkap di distal akan
diresorpsi den akan terjadi atelektasis. Pada saat awal, teriadi ventilation-perfusion mismatch
yangmenyebabkan hipoksemia. Namun, seiring dengan memberatnya obstruksi dan semakin
lelahnya usaha pernapasan. tubuh akan mengalami hiperkarbia.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Foto polos tidak diindikasikan secara rutin pada anak dengan bronkiolitis tanpa komplikasi.
dapat berupa hiperinflasi paru, Temuan atelektasis yang patchy.
• Pemeriksaan laboratorium: leukosit dan hitung jenis biasanya normal.
• Analisis gas darah tidak rutin dilakukan, tetapi pada pasien distres pernapasan berat dan
kemungkinan gagal napas dapat ditemukan hiperkarbia akibat air trapping.
DIAGNOSIS
Diagnosis dipertimbangkan pada anak yang berusia di bawah 2 tahun dan dapat ditegakkan
secara klinis.
DIAGNOSIS BANDING
• Asma: reversibel dengan bronkodilator
• Pneumonia: terdapat demam, batuk, sesak, laboratorium terdapat leukositosis, foto polos
terdapat infiltrat
• Laringotrakeomalasia
• Aspirasi benda asing: ada riwayat tersedak, variasi regional dalam aerasi
KOMPLIKASI
• Apnea: insidensi bervariasi dari 1,2% hingga 23.3%.
• Gagal napas: diperkirakan sekitar 2,9-5,3 kematian akibat gagal napas per 100.000 anak di
bawah 12 bulan.
• Dehidrasi.
• Pneumonia aspirasi.
KRITERIA RUJUKAN
setelah penanganan kegawatdaruratan, pasien bronkiolitis harus dirujuk ke spesialis anak.
PROGNOSIS
Bayi dengan bronkiolitis akut memiliki risiko untuk gangguan pernapasan yang berat pada 48-
72 jam pertama setelah awitan batuk dan sesak. Laju fatalitas kasus <1%, kematian terjadi
akibat apnea, henti napas, dan dehidrasi berat. Selain itu, setelah masa kritis ini, gejala
umumnya masih tetap akan ada, dengan median durasi gejala pada pasien rawat jalan adalah 14
hari. Rawat inap hanya dibutuhkan pada <2% kasus, sebagian besar pada anak berusia <6
bulan.
Bronkiektasis
DEFINISI
Bronkiektasis (BE) merupakan dilatasi bronkus yang bersifat abnormal dan permanen. Dilatasi, dapat
bersifat lokal atau difus, akan mudah mengalami infeksi bronkial dengan gejala batuk dan produksi
sputum.
EPIDEMIOLOGI
Belum ada data mengenai prevalensi BE di Indonesia. Data dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan prevalensi BE dari tahun 2000-2007 dengan angka kejadian per tahun adalah
8,74%. Prevalensi meningkat seiring pertambahan usia dengan prevalensi tertinggi pada usia 80-84
tahun. BE tertinggi pada ras Asia dengan tingkat survival dari BE dalam 4 tahun adalah 84-90%.
ETIOLOGI
Etiologi infeksi misalnya Haemophilus influenzae, Pseudomonas aureginosa, Staphylococcus aureus,
dan Moraxella catarrhalis.
PATOGENESIS
Patogenesis dari BE dikenal sebagai hipotesis vicious cycle
Patogenesis ini bersifat memiliki siklus yaitu infeksi bakteri menyebabkan kerusakan jalan napas dan
mengganggu mucous clearance yang juga akan mempermudah terjadinya infeksi.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Radiologi: Foto toraks merupakan lini pertama dalam diagnosis BE, dengan gambaran khas adalah
honeycomb appearance. Namun, gambaran ini tidak selalu muncul sehingga hasil normal pada Rontgen
tidak menyingkirkan kemungkinan BE. Pada CT scan resolusi tinggi terdapat gambaran dilatasi dinding
bronkus (diameter lumen bronkus lebih besar dibanding arteri pulmoner).
• Hematologi rutin guna mengidentifikasi infeksi dan inflamasi (CRP dan LED).
• Bronkoskopi tidak dapat melihat ektasis, tetapi kadang dibutuhkan untuk pengeluaran sputum dan
apabila terjadi hemoptisis untuk melihat sumber perdarahan.
• Lainnya: kultur sputum (membantu menegakkan etiologi infeksi), imunoglobulin A, E, G, dan M
(membantu menegakkan etiologi defisiensi immunoglobulin), antibody ANA/RA (rheumatoid artritis,
sindrom Sjorgen), cystic fibrosis sweat test (cystic fibrosis), dan sebagainya.
DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosis BE berdasarkan temuan klinis dan didukung pemeriksaan penunjang.
Umumnya eksaserbasi disebabkan H. influenza dan dapat diberikan antibiotik beta laktam (amoxicillin
PO 3x500 mg selama 14 hari). Apabila pemberian antibiotik tidak menunjukkan perbaikan, perlu
dipikirkan etiologi P. aureginosa dan dapat diberikan terapi kuinolon (ciprofloxacin PO 2x500 mg
selama 14 hari). Sebelum memulai terapi antibiotik, sputum perlu diambil untuk dikultur. Pasien
dengan riwayat eksaserbasi >3 kali per tahun dapat dipertimbangkan memperoleh terapi antibiotik
jangka panjang.
Edukasi yang dapat diberikan berupa perjalanan penyakit yang tidak dapat sembuh, tetapi dapat
terkontrol serta peran infeksi dalam menyebabkan eksaserbasi penyakit. Edukasi lain yang penting
mencakup:
• Mengenali gejala eksaserbasi
• Berhenti merokok dan menghindari pajanan rokok
• Mendapat vaksin cacar, rubella, influenza, pneumokok
• Edukasi mengenai airway clearance (dengan teknik active cycle of breathing technique- bernapas
biasa yang diikuti 3-5 kali napas dalam lalu napas biasa kembali lalu mengeluarkan napas melalui
mulut) yang dapat dibantu dengan pemberian bronkodilator dan fisioterapi dada
• Melakukan aktivitas fisik secara teratur
• Menjaga cairan tubuh
KOMPLIKASI
Dapat terjadi infeksi berulang.
KRITERIA RUJUKAN
Pasien dirujuk ke dokter spesialis setelah mendapatkan terapi awal.
PROGNOSIS
BE memiliki prognosis yang cukup baik mengingat bahwa BE merupakan penyakit yang bersifat
progresif lambat. Survival pada pasien BE dalam 13 tahun adalah 70,3%. Airway cleareance yang rutin
serta pengenalan tanda eksaserbasi akut yang baik dapat meningkatkan survival pada pasien.
LO 4 Radang paru-paru
Efusi Pleura
DEFINISI
Efusi pleura merupakan suatu kondisi berlebihnya cairan di rongga pleura. Pada kondisi
fisiologis, jumlah cairan dalam rongga pleura ini adalah sekitar 0,1 mL/kg. Namun, pada
kondisi patologis, jumlah cairan dalam rongga pleura berlebih sehingga menimbulkan
manifestasi klinis.
Kondisi seperti gagal jantung yaitu terjadi peningkatan tekanan hidrostatik interstisial serta
pada sindrom nefrotik yaitu terjadi penurunan tekanan onkotik kapiler menyebabkan timbulnya
efusi pleura. Proses inflamasi dan keganasan juga dapat menyebabkan peningkatan
permeabilitas membran pleura yang juga menyebabkan timbulnya efusi pleura.
KLASIFIKASI
Efusi pleura dibedakan menjadi dua untuk mempersempit diagnosis banding:
• Eksudatif: kandungan protein pada efusi pleura eksudatif lebih banyak. Pada efusi
pleuraeksudatif, faktor lokal yang mempengaruhi pembentukan dan absorbsi dari cairan pleura
terganggu. Penyebab utama adalah pneumonia bakterialis, keganasan, infeksi virus, penyakit
jaringan ikat, dan sebagainya.
•Transudatif: timbul akibat gangguan faktor sistemik yang berperan dalam pembentukan dan
absorbsi dari cairan pleura. Penyebab tersering meliputi: gagal jantung, sirosis, sindrom
nefrotik, emboli paru, hipoalbumin, hipotiroid, dan lain-lain.
Kriteria Light dapat digunakan untuk membedakan eksudat atau transudat. Apabila minimal
satu kategori terpenuhi, efusi tersebut merupakan eksudatif: Protein cairan pleura/protein
serum
LDH cairan pleura/LDH serum > 0,6
LDH cairan pleura > 2/3 batas atas dari nilai 0,5 normal LDH
GEJALA DAN TANDA
Keluhan sesak yang diperberat apabila berbaring menghadap salah satu sisi, batuk, nyeri dada
pleuritik, demam, penurunan berat badan, dan sebagainya. Pada pemeriksaan fisis dapat
diperoleh inspeksi toraks tertinggal, perkusi redup yang mengikuti garis lengkung dari medial
bawah ke lateral atas (garis Ellis-Damoiseau), fremitus taktil yang menurun, dan penurunan
suara nafas pada auskultasi. Gejala dan tanda yang menyertai efusi pleura juga dapat
memberikan gambaran etiologinya.Terkadang pemeriksaan fisis tidak dapat menunjukkan
kelainan terutama apabila efusi pleura < 300 mL.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto toraks dapat mengkonfirmasi adanya kecurigaan efusi pleura. Gambaran khas adalah
gambaran meniscus sign atau penumpulan sudut kostofrenikus. Pemeriksaan foto polos
sebaiknya dilakukan secara PA dan lateral untuk membantu mengidentifikasi etiologi. Foto
dengan posisi lateral dekubitus juga dapat dilakukan terutama pada efusi pleura minimal.
• USG toraks, terutama digunakan untuk melakukan memandu prosedur torakosentesis.
• CT scan, digunakan pada kasus yang meragukan. CT scan lebih baik dalam mengidentifikasi
efusi pleura minimal dan dapat membedakan efusi pleura dengan penebalan pleura.
• Pemeriksaan Cairan Pleura,Secara makroskopis, cairan pleura dapat memberikan petunjuk
mengenai etiologi dari efusi pleura: anchovy brown fluid yang menunjukkan kemungkinan
abses amoeba, cairan seperti susu yang menunjukkan kemungkinan terjadinya kilotoraks,
makanan mengindikasikan ruptur esofagus, dan sebagainya.
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala yang didukung hasil pemeriksan
penunjang.
KOMPLIKASI
Efusi masif menyebabkan distres pernapasan berat.
KRITERIA RUJUKAN
Pasien dengan kecurigaan efusi harus dirujuk ke layanan sekunder karena tindakan diagnostik
dan terapi tidak tersedia di layanan primer.
PROGNOSIS
Prognosis dari efusi pleura sangat bergantung dari etiologi yang mendasari. Kesintasan 1 tahun
pada efusi pleura dengan keganasan adalah sekitar 20%, gagal jantung 50%, gagal ginjal 45%,
dan infeksi 80%.
Abses Pleura
PENDAHULUAN
Abses paru adalah suatu penyakit jaringan paru yang didefinisikan sebagai proses nekrosis dari
jaringan paru dan terbentuknya kavitas yang berisi debris nekrotik atau cairan yang berasal dari
infeksi bakteri . Pengertian lain yaitu suatu infeksi paru nekrotik akibat proses supurasi yang
ditandai dengan adanya pus yang mengisi kavitas yang disebabkan oleh mikroorganisme
piogenik . Istilah necrotizing pneumonia sering digunakan untuk menjelaskan proses patologi
yang mirip dengan kavitas kecil yang multipel ( diameter < 2cm ) di area yang berdekatan pada
paru . Abses paru sering ditemukan pada era antibiotik belum banyak digunakan.
KLASIFIKASI
Dibagi atas
1.Abses Paru Primer>Bila abses terjadi akibat aspirasi atau pneumonia
2.Abses paru sekunder>Bila terjadi akibat infeksi kepada orang yang sebelumnya mengalami
kondisi seperti obstruksi akibat neoplasma saluran nafas,broenkiektasis,dan komplikasi operasi
intrathorax
Berdasarkan waktu
Akut=bila kurang dari 1 bulan
Kronik=bila lebih dari 1 bulan
EPIDEMIOLOGI
Frekuensi abses paru yang terjadi di masyarakat umum Amerika Serikat tidak diketahui .
Abses paru lebih sering terjadi pada laki - laki dibanding perempuan dan umumnya terjadi
pada umur tua karena terdapat peningkatan insiden penyakit periodontal dan peningkatan
prevalensi disfagi dan aspirasi , namun pada daerah urban dengan tingginya prevalensi
alkoholism dilaporkan abses paru rata - rata terjadi pada umur 41 tahun . Kemajuan ilmu
kedokteran saat ini menyebabkan angka kejadian abses paru menurun ( jarang ditemukan )
karena adanya penurunan risiko terjadinya abses paru seperti teknik operasi dan anestesi yang
lebih baik dan penggunaan antibiotika lebih dini , kecuali pada kondisi kondis yang
memudahkan terjadinya aspirasi dan pada populasi immunocompromised . Karena angka
harapan hidup yang lebih baik pada pasien HIV maka pada tahun tahun belakangan ini kasus
abses paru tampak mengalami peningkatan lagi .
ETIOLOGI
Abses paru dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme yaitu : Kelompok bakteri anaerob
merupakan etiologi terbanyak abses paru ( bisa mencapai 89 % ) terutama pada orang
immunocompetent dan biasanya diakibatkan oleh pneumonia aspirasi
-Bacteriodes melaninogenus
-Bacteriodes fragilis
-Peptostreptococcus species
-Bacillus intermedius
-Prevotella melaninogenica
-Fusobacterium nucleatum
-Microaerophilic streptococcus
-Clostridium perfringens
-Clostridium barati
Bakteri anaerobik meliputi 89 % penyebab abses paru dan 85 - 100 % dari spesimen yang
didapat melalui aspirasi transtrakheal . Kelompok bakteri aerob , predominan pada orang
dengan immunocompromised : Gram positif : sekunder oleh sebab selain aspirasi
-Staphylococcus aureus
-Streptococcus microaerophilic
-Streptococcus pyogenes
-Streptococcus pneumonia
-Streptococcus viridans
-Streptococcus milleri
Patofisiologi
Kejadian abses paru yang paling sering adalah sebagai komplikasi pneumonia aspirasi yang
disebabkan oleh mikroorganisme anaerob . Penderita abses paru biasanya menderita penyakit
periodontitis dengan higiene mulut yang buruk . Faktor risiko abses paru adalah penderita
epilepsi , pemabuk , orang yang mempunyai refleks tekak ( gag reflex ) yang buruk . Abses
paru juga dapat terjadi akibat emboli yang berasal dari endokarditis .
Gambaran klinis
Penyakit ini merupakan infeksi berat disertai demam dan gejala sistemik. Terdapat sputum
dalam jumlah besar dan purulen serta tidak dapat dikendalikan bila suatu abses memiliki jalan
ke luar ke saluran pernapasan. Terdapat penurunan berat badan drastis dan jari tabuh, sehingga
penting untuk dibedakan dari karsinoma bronkial kavitasi. Tanda klinis lokal pada dada bisa
minimal atau didapatkan tanda-tanda konsolidasi dan bunyi gesekan pleura (pleural rub) bila
terdapat peradangan pleura.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai kelainan seperti nyeri tekan lokal, tanda-tanda
konsolidasi seperti redup pada perkusi, suara bronchial dengan ronki basah atau krepitasi di
tempat abses, mungkin ditambah dengan tanda-tanda efusi pleura
Apabila abses luas dan letaknya dekat dengan dinding kadang-kadang terdengar suara amforik,
usara nafas bronchial atau amforik terjadi bila kavitasnya besar dank arena bronkus masih tetap
dalam keadaan terbuka disertai oleh adanya konsolidasi sekitar abses dan drainase abses yang
baik.
Apabila abses paru letaknya dekat pleura dan pecah akan terjadi piotoraks (empiema toraks)
sehingga pada pemeriksaan fisik ditemukan pergerakan dinding dada tertinggal di tempat lesi,
fremitus vocal menghilang, perkusi redup/pekak, bunyi nafas menghilang, dan terdapat tanda-
tanda pendorongan mediastinum terutama pendorongan jantung kearah kontralateral tempat
lesi
Pemeriksaan laboratorium
a. Pada pemeriksaan darah rutin. Ditentukan leukositosis, meningkat lebih dari 12.000/mm3
(90% kasus) bahkan pernah dilaporkan peningkatan sampai dengan 32.700/mm3. Laju endap
darah ditemukan meningkat > 58 mm / 1 jam. Pada hitung jenis sel darah putih didapatkan
pergeseran shit to the left.
b. Pemeriksaan sputum dengan pengecatan gram tahan asam dan KOH merupakan
pemeriksaan awal untuk menentukan pemilihan antibiotik secara tepat.(1)
c. Pemeriksaan kultur bakteri dan test kepekaan antibiotikan merupakan cara terbaik dalam
menegakkan diagnosa klinis dan etiologis
Radiologi
Gambaran radiografi yang spesifik berupa kavitas yang bentuknya iregular dengan air-fluid
level di dalamnya. Abses paru akibat pneumonia aspirasi biasanya terletak pada segmen
posterior lobus atas atau segmen superior lobus bawah paru kanan.
Diagnosis Banding
1.Karsinoma Bronkogenik yang mengalami kavitasi
2.Tb paru atau infeksi jamur
3.Empiema
4.Hematom paru
5.Pneumokoniosis
6.Hiatus Hernia
Penatalaksaaan
Pasien abses paru memerlukan istirahat yang cukup.Bila abses paru pada foto dada
menunjukkan diameter 4 cm atau lebih sebaiknya dirawat inap.Posisi berbaring pasien
hendaknya miring dengan paru yang terkena abses paru berada di atas supaya gravitasi
drainase lebih baik.
Pada pasien rawat inap diberikan clindamisin 600 mg IV setiap 8 jam dilanjutkan dengan 150-
300 mg per oral 4 kali sehari hasilnya bisa diliat setelah 3-4 hari.
Prognosis
Abses paru masih merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Angka
kematian Abses paru berkisar antara 15-20% merupakan penurunan bila dibandingkan dengan
era pre antibiotika yang berkisar antara 30- 40%.
Pneumonia
DEFINISI
Pneumonia merupakan peradangan akut parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang
mencakup bronkiolus respiratorius, yang menimbulkan konsolidasi paru yang terkena dan
pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin.
ETIOLOGI
EPIDEMIOLOGI
Infeksi saluran napas bawah termasuk pneumonia komunitas menduduki urutan ke-3 dari 30
penyebab kematian tersering di dunia. Di Indonesia, pneumonia termasuk dalam 10 besar
penyakit rawat inap di rumah sakit. Prevalensi pneumonia pada balita di Indonesia tahun 2013
adalah 4,5%. Insiden pneumonia pada anak di bawah <5 tahun adalah 10-20 kasus/100
anak/tahun di negara berkembang dan 2-4 kasus/100 anak/tahun di negara maju.
FAKTOR RISIKO
• Merokok
• Infeksi virus
• Gangguan menelan/disfagia
• Gangguan kesadaran dan ingatan misalnya stroka dan demensia
• Penyakit paru kronis (12,6% pasien dengan PPOK mengalami setidaknya 1 episode
pneumonia dalam jangka 3 tahun)
• Penggunaan kortikosteroid inhalasi
• Diabetes melitus (25,9% pasien pneumonia juga mengalami diabetes. Diabetes berasosiasi
dengan peningkatan lama rawat dan mortalitas pasien)
• Penyakit yang menurunkan daya tahan tubuh
• Penyakit hati kronis
• Penyakit jantung
• Hidup di rumah jompo
• Alkoholisme
PATOFISIOLOGI
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Foto toraks: gambaran infiltrat, konsolidasi lobus, atau kavitas. Proyeksi yang dibutuhkan
adalah posteroanterior (PA) dan lateral.
• CT scan: dikerjakan jika secara klinis mendukung ke arah pneumonia namun foto toraksnya
negatif.
• Laboratorium: DPL, hitung jenis, LED, glukosa darah, ureum, kreatinin, AST, ALT, analisis
gas darah, dan elektrolit. Umumnya terdapat leukositosis (biasanya 15.000-30.000/mm')
dengan hitung jenis shift to the left. Leukopenia juga dapat ditemukan (prognosis buruk).
• Mikrobiologi: untuk pasien pneumonia komunitas rawat jalan, sifatnya opsional. Pada pasien
rawat inap, untuk mencari etiologi spesifik dan melihat pola resistensi (Tabel 111.4).
Penanda biologis: pemeriksaan C-reactive protein (CRP) dan prokalsitonin (PCT) untuk
diagnosis dan menilai prognosis pneumonia. Tidak rutin dilakukan.
DIAGNOSIS
Diagnosis pneumonia pada orang dewasa ditegakkan melalui gambaran klinis yang sesuai
gambaran radiologis berupa infiltrat/air bronchogram. Diagnosis pneumonia pada anak
merupakan diagnosis klinis, tidak perlu foto toraks untuk menegakkan diagnosis pneumonia
pada anak
DIAGNOSIS BANDING
• Bronkitis akut: tidak sesak, tidak ada ronkhi basah kasar, presentasi ringan, sering berkaitan
dengan infeksi virus saluran napas atas. Dari foto toraks tidak ditemukan konsolidasi.
• Gagal jantung kongestif: ditemukan edema perifer, kardiomegali, hipotensi.
• Eksaserbasi PPOK: peningkatan dahak, batuk, dan sesak pada pasien dengan latar belakang
PPOK. Pasien merupakan perokok. Foto polos menunjukkan hiperinflasi.
• Tuberkulosis (TB): biasanya bersifat kronis dengan gejala konsitusional, ada kontak pasien
TB. Pada foto polos dapat ditemukan kavitasi.
• Bronkiolitis: pada anak terdengar suara napas tambahan berupa mengi, dada hipersonor, dan
gambaran hiperinflasi paru pada foto toraks.
KLASIFIKASI
Berdasarkan klinis dan epidemiologi, pneumonia dibedakan atas
(1) pneumonia komunitas,
(2) pneumonia didapat di rumah sakit, dan
(3) pneumonia akibat pemakaian ventilator. Pneumonia didapat di rumah sakit terjadi 48 jam
atau lebih setelah pasien masuk ke rumah sakit dan tidak sedang dalam masa inkubasi saat
pasien mulai masuk rumah sakit.
Klasifikasi pneumonia pada anak, berdasarkan WHO yang menggunakan kriteria klinis untuk
diagnosis pneumonia pada daerah dengan keterbatasan sarana:
• Pneumonia dengan napas cepat: napas cepat (250 kali/menit pada usia 2 bulan hingga 1
tahun, (240 kali/menit pada usia 1-5 tahun)
• Pneumonia dengan retraksi: terdapat retraksi dengan atau tanpa napas cepat
• Pneumonia berat: tidak dapat makan/minum, kejang, letargis, malnutrisi berat
TERAPI DAN PENCEGAHAN
Terapi awal berupa oksigen, antipiretik, dan antibiotik empirik berdasarkan epidemiologi
kemudian disesuaikan berdasarkan hasil kultur. Lama terapi umumnya selama 7-10 hari,
minimal diberikan 5 hari dengan periode bebas demam 48-72 jam. Pada infeksi M.
pneumoniae dan C. pneumoniae, antibiotik diberikan selama 10-14 hari. Pasien dengan terapi
steroid jangka panjang, antibiotik diberikan selama 14 hari atau lebih. Penting untuk edukasi
berhenti merokok, etika batuk, serta vaksinasi pneumococcus dan influenza sebagai
pencegahan.
Pada anak, antibiotik diberikan berdasarkan gejala klinisnya:
• Pneumonia dengan pernapasan cepat
Dapat rawat jalan Amoksisilin PO 2x40 mg/KgBB/kali (80 mg/ kg/hari) selama 5 hari. Pada
area dengan prevalensi HIV rendah, berikan amoksisilin selama 3 hari.
• Alternatif antibiotik: koamoksiklav, azitromisin, eritromisin.
KOMPLIKASI
• Pneumonia ekstrapulmonal, 10% kasus terjadi meningitis, artritis, endokarditis, perikarditis,
peritonitis, atau empiema.
• Gagal jantung: insidens pada pasien pneumonia komunitas di rawat inap adalah 14,1%
• Efusi pleura: terjadi pada 57% pasien yang di rawat inap akibat pneumonia dan 2-12% pasien
anak dengan pneumonia.
•Acute respiratory distress syndrome (ARDS).
• Pneumotoraks: terjadi pada 1% pasien anak dengan pneumonia.
KRITERIA RUJUKAN
Rujukan ke ahli respirologi dapat dilakukan jika skor CURB-65 >2, saturasi oksigen <92%,
memiliki komorbiditas yang signifikan, dan pasien dengan pneumonia berat. Anak dengan
saturasi oksigen <92% harus dirujuk ke rumah sakit untuk penilaian dan tata laksana lebih
lanjut.
PROGNOSIS
Prognosis ditentukan oleh 3 faktor utama: usia pasien, kesehatan secara umum (ada tidaknya
komorbiditas), dan setting terapi antibiotik. Laju mortalitas pada pasien rawat jalan adalah
<1%, sementara pasien rawat inap bervariasi dari 5-15%, meningkat menjadi 20-50% pada
pasien ICU.
EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan data dari WHO, kasus pertusis pada tahun 2008 mencapai 16 juta kasus.
Sekitar 95% terjadi di negara berkembang, menyebabkan 195.000 kematian.
FAKTOR RISIKO
Riwayat vaksinasi tidak lengkap
• Tinggal serumah/kontak erat dengan penderita pertusis (100% pada individu yang
rentan, 80% pada individu yang sudah vaksinasi atau pernah terinfeksi).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Darah perifer lengkap: leukositosis (15.000- 100.000 sel/mm), limfositosis absolut
• Antibodi IgG terhadap toksin pertusis (akhir fase kataral atau paroksismal)
• Diagnosis definitif: kultur swab nasofaring pade media Bordet-Gengou dengan media
transpor Regan-Lowe (fase kataral atau paroksisma
• PCR dari spesimen nasofaring (fase kataral atau paroksismal).
DIAGNOSIS
Diagnosis pertusis dapat ditegakkan secara klinis (batuk >2 minggu dengan gejala
batuk rejan, paroksismal, atau posttusive vomiting memiliki sensitivitas 81% dan
spesifisitas 58%).
DIAGNOSIS BANDING
Infeksi Adenovirus: demam, nyeri tenggorok, konjungtivitis; .
Infeksi Mycoplasma: demam, nyeri kepala, ronki basah pada auskultasi paru.
KOMPLIKASI
• Infeksi sekunder berupa pneumonia (25%);
• Kejang (4%) dan ensefalopati (1%) akibat hipoksia;
• Dehidrasi akibat muntah.
KRITERIA RUJUKAN
Pertusis pada usia <6 bulan atau dengan komplikasi merupakan indikasi rawat. Bila
terdapat komplikasi dapat dirujuk ke dokter spesialis anak.
PROGNOSIS
Prognosis lebih buruk pada usia lebih muda, terutama akibat ensefalopati dan
pneumonia hingga menyebabkan kematian. Pertusis dapat menimbulkan sekuele berupa
wheezing saat dewasa.
Pneumoconiasis
Definisi
Istilah pneumokoniosis berasal dari bahasa yunani yaitu "pneumo" berarti paru dan
"konis" berarti debu. Terminologi pneumokoniosis pertama kali digunakan untuk
menggambarkan penyakit paru yang berhubungan dengan inhalasi debu mineral.
Pneumokoniosis digunakan untuk menyatakan berbagai keadaan berikut:
1. Kelainan yang terjadi akibat pajanan debu anorganik seperti silika (silikosis), asbes
(asbestosis) dan timah (stannosis)
2.Kelainan yang terjadi akibat pekerjaan seperti pneumokoniosis batubara
3. Kelainan yang ditimbulkan oleh debu organik seperti kapas (bisinosis)
Epidemiologi
Data prevalensi pneumokoniosis bervariasi pada tiap negara di dunia. Data SWORD di Inggris
tahun 1990-1998 menunjukkan kasus pneumokoniosis sebesar 10%. Di Kanada, kasus
pneumokoniosis pada tahun 1992-1993 sebesar 10%, sedangkan data di Afrika Selatan tahun
1996- 1999 sebesar 61%.Jumlah kasus kumulatif pneumokoniosis di Cina dari tahun 1949-
2001 mencapai 569 129 dan sampai tahun 2008 mencapai 10 963 kasus. Di Amerika Serikat,
kematian akibat pneumokoniosis tahun 1968-2004 mengalami penurunan, pada tahun 2004
ditemukan sebanyak 2531 kasus kematian.data di di Indonesia belum ada
Patogenesis pneumokoniosis
dimulai dari respons makrofag alveolar terhadap debu yang masuk ke unit respirasi paru.
Terjadi fagositosis debu oleh makrofag dan proses selanjutnya sangat tergantung pada sifat
toksisitas partikel debu. Reaksi jaringan terhadap debu bervariasi menurut aktivitas biologi
debu. Jika pajanan terhadap debu anorganik cukup lama maka timbul reaksi inflamasi awal.
Gambaran utama inflamasi ini adalah pengumpulan sel di saluran napas bawah. Alveolitis
dapat melibatkan bronkiolus bahkan saluran napas besar karena dapat menimbulkan luka dan
fibrosis pada unit alveolar yang secara klinis tidak diketahui. Sebagian debu seperti debu
batubara tampak relatif inert dan menumpuk dalam jumlah relatif banyak di paru dengan reaksi
jaringan yang minimal.Debu inert akan tetap berada di makrofag sampai terjadi kematian oleh
makrofag karena umurnya, selanjutnya debu akan keluar dan difagositosis lagi oleh makrofag
lainnya, makrofag dengan debu di dalamnya dapat bermigrasi ke jaringan limfoid atau ke
bronkiolus dan dikeluarkan melalui saluran nafas
Diagnosis
Diagnosis pneumokoniosis tidak dapat ditegakkan hanya dengan gejala klinis. Ada tiga kriteria
mayor yang dapat membantu untuk diagnosis pneumokoniosis. Pertama, pajanan yang
signifikan dengan debu mineral yang dicurigai dapat menyebabkan pneumokoniosis dan
disertai dengan periode laten yang mendukung. Oleh karena itu, diperlukan anamnesis yang
teliti mengenai kadar debu di lingkungan kerja, lama pajanan dan penggunaan alat pelindung
diri serta kadang diperlukan pemeriksaan kadar debu di lingkungan kerja. Gejala seringkali
timbul sebelum kelainan radiologis seperti batuk produktif yang menetap dan atau sesak napas
saat aktivitas yang mungkin timbul 10-20 tahun setelah pajanan. Kedua, gambaran spesifik
penyakit terutama pada kelainan radiologi dapat membantu menentukan jenis pneumokoniosis.
Gejala dan tanda gangguan respirasi serta abnormalitas faal paru sering ditemukan pada
pneumokoniosis tetapi tidak spesifik untuk mendiagnosis pneumokoniosis. Ketiga, tidak dapat
dibuktikan ada penyakit lain yang menyerupai pneumokoniosis. Pneumokoniosis kemungkinan
mirip dengan penyakit interstisial paru difus seperti sarkoidosis, idiophatic pulmonary fibrosis
(IPF) atau inter- stitial lung disease (ILD) yang berhubungan dengan penyakit kolagen
vaskular. Beberapa pemeriksaan penunjang diperlukan untuk membantu dalam diagnosis
pneumokoniosis yaitu pemeriksaan radiologi, pemeriksaan faal paru dan analisis debu
penyebab.
Pemeriksaan Radiologi
• Foto Toraks
Pada pneumokoniosis digunakan klasifikasi standar menurut International Labour Organization
(ILO) untuk interpretasi gambaran radiologi kelainan parenkim difus yang terjadi. Klasifikasi
ini digunakan untuk keperluan epidemiologik penyakit paru akibat kerja dan mungkin untuk
mem- bantu interpretasi klinis.Perselubungan pada pneumokoniosis dibagi dua golongan yaitu
perselubungan halus dan kasar.
• Computed Tomography (CT)
scan Computed tomography (CT) scan bukan merupakan bagian dari klasifikasi
pneumokoniosis secara radiologi. Pemeriksaan CT mungkin sangat bermanfaat secara indi-
vidual untuk memperkirakan beratnya fibrosis interstisial yang terjadi, menilai luasnya
emfisema dan perubahan pleura atau menilai ada tidaknya nekrosis atau abses yang bersamaam
dengan gambaran operasi yang ditemukan. High resolution CT (HRCT) lebih sensitif
dibanding radiologi konvensional untuk evaluasi abnormalitas parenkim pada asbestosis,
silikosis dan pneumokoniosis lainnya. Gambaran paling sering HRCT pada pneumokoniosis
adalah nodular sentrilobular atau high attenuation pada area percabangan seperti gambaran lesi
bronkiolar. Fibrosis interstisial mungkin bermanifestasi bronkiektasis traksi, sarang
tawon/honey comb atau hyperattenuation. Gambaran HRCT yang khas pada silikosis,
pneumokoniosis batubara dan asbestosis adalah terdapat opasitas halus (small nodular
opacities) yang predominan pada zona paru atas (upper zone). Gambaran opasitas halus pada
HRCT ada 2 karakteristik (1) ill-defined fine branching lines dan (2) well-defined discrete
nodules. Asbestosis menunjukkan gambaran garis penebalan interlobular dan intralobular,
opasitas subpleura atau curvilinier dan honey comb, predominan terdistribusi pada basal parual
paru. Gambaran HRCT pada jenis pneumokoniosis lainnya bervariasi dan tidak spesifik,
masing-masing mempunyai karakteristik sendiri.