Anda di halaman 1dari 51

MODUL 3

Infeksi / Inflamasi Sistem Respirasi Bagian Bawah


SKENARIO 3 : Batuk berdarah
Seorang laki-laki berusia 65 tahun datang ke Puskesmas dengan keluhan batuk berdahak sudah sejak 2 bulan yan
lalu. Keluhan tambahan yang dirasakan oleh pasien yaitu sesak napas yang terus menerus, tidak dipengaruhi oleh cuaca d
aktivitas, nyeri dada dijumpai. Dari anamnesis juga didapatkan adanya riwayat batuk produktif persisten selama 5 bula
hidung tersumbat, dan sesak napas. Dari anamnesis juga diketahui bahwa pasien bukan perokok tanpa paparan lingkung
yang signifikan. Pemeriksaan fisik pada pasien dijumpai nadi 80 x/menit, respiratory rate 28x/menit. Pada pemeriksa
auskultasi paru didapatkan crackles, tidak ada fase mengi atau ekspirasi memanjang. Pemeriksaan makroskopis sputu
didapatkan sputum 3 lapisan, yaitu mukoid, mukopurulen dan viskosa. Dokter melakukan tatalaksana awal dan selanjutn
merujuk ke poliklinik paru RS untuk dilakukan pemeriksaan penunjang berupa bronchoscopy dan Ro dada. Ha
pemeriksaan didapatkan adanya pelebaran saluran napas bawah dengan penimbunan mucous seperti honeycombsappearanc
Pemeriksaan spirometri menunjukkan penurunan ratio FEV1/FVC. Dokter mencurigai adanya infeksi di saluran nafas baw
dan berencana memberikan antibiotik sesuai dengan bakteri penyebabnya agar mencegah komplikasi. Bagaimana an
menjelaskan penyakit yang diderita pasien tersebut?
JUMP I : TERMINOLOGI
1. Batuk produktif: batuk yang menghasilkan dahak atau lendir disertai dengan cirri khas dada
terasa penuh dan berbunyi
2. Crackles: suara kresek atau berderak yg terdengar saat auskultasi, terjadi di sebagian alveoli
dengan cairan disertai pergerkan udara, muncul saat paru mengembang dan mngempis.
3. Mukoid: sputum dalam keadaan berlendir dan kental
4. Mukopurulen: sputum kental, kuning dan bewarna kehijauan
5. Viskosa: sputum yg lengket dengan viskositas tinggi
6. Bronchoscopy: prosedur kesehatan dilakukan dengan memasukkan alat bernama bronkoskop
melalui tenggorokan, laring, trakea ke dalam bronkus untuk melihat bagian toraks
(dada).Tindakan ini dapat dilakukan untuk mendiagnosis dan mengobati suatu penyakit serta
mengambil sampel jaringan atau mukus melalui tindakan yang disebut biopsi.
7. Honeycomb apperence: lesi luscent bulat multiple yang membentuk 'cluster', seringkali
dijumpai pada bagian basal paru. Gambaran kelainan radioopaque di luar paru bisa berupa efusi
pleura, massa padat, ataupun massa yang berisi cairan pada dinding toraks.

JUMP II: RM dan HIPOTESA


1. Apa hub. Jenis kelamin dan usia dengan keluhan yg dideritanya?
 Usia: semakin tua umur seseorang>semakin meningkatkan terjadinya resiko
bronloeksitasis yg tinggi
 Di penelitian Indonesia, resiko tinggi pada usisa:
 I: 44-51 th
 II: 52-59 dan 60-67 th
Laki-laki > daripada wanita

2. Apa kemungkinan penyebab keluhan batuk berdahak sejak 2 bulan lalu yg dirakan pasien?
akibat adanya infeksi dimana secara praktik bila, sputum bersifat mukoid dan
putih jernih : belum ada infeksi sekunder
sedangkan bila sputum kuning atau kehijauan atau berbau busuk berarti :
infeksi sekunder. Untuk menentukan jenis kawan lakukan pem. Mikrobiologis dimana
sputum berbau menandakan adanya infeksi bakteri ex: fusifirmis. Troponema dll
3. Apa yg menyebabkan pasien sesak terus menerus tanpa dipengaruhi cuaca dan aktivitas
serta nyeri dada?
 kerusakan dan pelebaran permanen pada bronkus dan saluran pernapasan.
Kondisi ini menyebabkan penumpukan lendir di dalam paru-paru. Gejala yang
paling sering muncul adalah batuk berdahak terus-menerus dan sesak napas.
Sistem pernapasan memiliki mekanisme perlindungan untuk menangkap
bakteri dari udara yang kita hirup dengan memproduksi mukus atau lendir.
Normalnya, mukus ini akan dialirkan keluar dari saluran pernapasan dan paru-
paru. Namun, pada penderita bronkiektasis, kerusakan yang terjadi
menyebabkan fungsi tersebut tidak berjalan baik sehingga lendir menumpuk di
dalam paru-paru.
 Bisa juga krna adanya kolabs dan destruksi pd jaringan paru yg terjadi karena
infeksi berulang.

4. Bagaimana patofisiologi yg dialami oleh pasien dan apa saja factor resikonya?
1. Traksi dari saluran respiratorik yang kolaps, penonjolan saluran respiratorik akibat
sekresi sisa, perubahan dinding bronkial akibat infeksi atau inflamasi, atau kombinasi
ketiga mekanisme tersebut.
2. Infeksi akut atau berulang, obstruksi kronis akibat kelainan kongenital, tumor, fibrosis
kistik, asma kronis, atau imunodefisiensi merupakan faktor pendukung terjadinya
bronkiektasis.
3. Jejas berulang saluran respiratorik akibat aspirasi kronis, dengan atau tanpa GER sebagai
salah satu faktor penyebab:
-Penyakit fibrosis kistik sebelumnya.
-Penyakit defisiensi sistem imun.
-Alergi terhadap jamur aspergillus, atau aspergillosis.
-Kelainan yang menyebabkan gangguan pada fungsi silia. Silia adalah
struktur rambut tipis yang ada di saluran pernapasan, berfungsi untuk
menghilangkan lendir dan mukus pada saluran pernapasan.
5. Apa interpretasi dari anamnesis dan pem. fisik Pd pasien?
 Anamnesis
- Batuk berdahak disebabkan karena adanya kelainan pada paru-paru yang menyebabkan
produksi mucus yang berlebihan, baik karena gangguan fisik, kimia, atau infeksi.
- Sesak napas yang terus menerus tanpa dipengaruhi oleh faktor eksternal yang
menandakan adanya gangguan/kelainan pada saluran pernapasan bawah yang disebabkan oleh
faktor internal.
- Nyeri dada yang dirasakan oleh pasien kemungkinan karena kurangnya pasokan O2 yang
dibutuhkan jantung. Produksi mucus yang berlebihan dapat menyebabkan berkurangnya kadar
O2 dalam darah karena udara yang berhasil masuk ke paru-paru itu berkurang jumlahnya,
apabila terjadi dalam jangka panjang diduga dapat mempengaruhi fungsi tubuh dan organ
lainnya yang menyebabkan nyeri dada.
- Hidung tersumbat diduga dapat disebabkan karena produksi mucus yang berlebihan.
Pemeriksaan Fisik
- Nadi normal
- RR nya di atas batas normal (Takipnea), tubuh pasien berusaha mengkompensasi kekurangan
O2 yang diperlukan oleh tubuh dengan cara bernapas lebih cepat.

6. Apa interpretasi dari pem. Auskultasi paru dan makroskopis sputum pd pasien?
 Untuk pemeriksaan askultasi didapatkan crackle yang merupakan suara
tambahan yg dihasilkan oleh gelembung2 udara melalui sekret jln nafas yg
tiba2 terbuka, yang sering terjadi saat proses inspirasi. Sedangkan pada
pemeriksaan sputum di lapisan mukoid didapatkan kondisi sputum dalam
keadaan berlendir dan kental. Pada lapisan mukopurulen (sputum dlm keadaan
kental dan berwarna kuning-kehijauan). Dan pada lapisan viskosa didapatkan
sputum lengket yg memiliki derajat viskositas yg tinggi.

7. Apa manfaat dilakukannya pem penunjang berupa broncoscopy dan po dada pd pasien?
Manfaat bronchoscopy
1) Menilai keadaan percabangan bronkus
2) Mengambil specimen untuk diagnostic :
o Bilasan bronkus
o Sikatan brinkus
o Biopsy porep
3) Tindakan teurapetik: untuk hilangkan benda asing dari sal. Nafas
4) Untuk mengangkat tumor dengan laser
Manfaat RO: untuk melihat apakah terjadi kelainan berupa:
 Infiltrasi, kavitas, atelektasis, efusi pleura, edema paru, penebalan pd
pleura, konsolidasi dan fibrosis.
8. Apa indikasi dilakukannya bronchoscpoy dan RO dada?
 MENGELUARKAN BENDA ASING DARI SAL. PERNAFASAN
 Penangann stenosis sal. Nafas
 Penanganan sumbatan sal. Nafas akibatr neoplasma
 Pemasnmgan stent bronkus

Untuk RO: infeksi T. respiratorius bawah, batuk berdarah, batuk kronis dll
9. Apa interpretasi dari hasil pem. Bronchoscopy, RO dada dan p[em. Spirometri pd pasien?

Bronskopi dan Ro dada

- Honeycomb appearance mengindikasikan adanya fibrosis interstitial pada paru-


paru, penyebab umum dari gambaran sarang lebah pada pencitraan ini adalah
bronkiektasis, bronkiolektasis, emfisema bulosa pada paru-paru, dan penyakit paru
interstitial
Pemeriksaan spirometri

- Penurunan rasio FEV1/FVC menandakan terjadinya penurunan fungsi paru, yang


berarti terjadi gangguan/kelainan pada paru yang menyebabkan fungsinya tidak
bisa bekerja dengan maksimal

10. Apa diagnosisi dan dd pada scenario diatas?


 Berdasarkan anamnesis & hasil pem. Penujang : terkena bronkiektasis dimana
ditemukan honeycomb apperence yg merupakan ciri khas pd BE dan juga
karena adanya 3 lapisan mukoid yg juga sering ditemukan pada keadaan
bronkiektasis.
 untuk diagnosa banding nya itu yaitu:
- hipersensitivitas pneumonitis
- abses paru
- Bronkitis
- Penyakit paru paru obstruktif kronik (PPOK)
- Penyakit refluks gastroesofagus
- Tuberkulosis paru
- ca paru
11. apa tatalaksana awal apa yg dapat dilakukan pd pasien?
Tujuan penatalaksanaan bronkiektasis adalah untuk mencegah eksaserbasi,
menurunkan gejala klinis, meningkatkan kualitas hidup, dan menghambat progresi
penyakit. Pendekatan terapi yang dilakukan adalah memperkuat sistem klirens
mukosilier, mengurangi inflamasi saluran napas, dan eradikasi infeksi bakteri.

 Klirens Saluran Pernapasan


Klirens saluran pernapasan dilakukan dengan menyingkirkan sekresi
purulen dari saluran pernapasan yang berfungsi menurunkan inflamasi dan
gejala. Klirens saluran pernapasan dapat dilakukan dengan dua teknik, yaitu
teknik fisioterapi dan agen inhalasi. Metode ini disarankan dilakukan selama
15 – 40 menit sebanyak 2-3 kali sehari.
 Teknik Fisioterapi

Terapi fisioterapi dada disarankan pada pasien dengan batuk produktif kronik.
Teknik ekspansi thoraks dengan inspirasi dalam untuk mengekspansi alveoli, diikuti
ekspirasi untuk mendorong sputum ke saluran pernapasan yang lebih besar. Teknik ini
dapat dilakukan di rumah.

Teknik fisioterapi lainnya dapat berupa teknik pernapasan siklus aktif, postural
drainage, serta perkusi dan vibrasi menggunakan perangkat osilasi.

 Teknik Inhalasi
Inhalasi agen hiperosmolar dan mukolitik dipercaya dapat membantu
klirens mukus dan sering digunakan bersamaan dengan teknik fisioterapi.
Nebulisasi menggunakan salin hipertonik dapat menurunkan mediator
inflamasi dan meningkatkan kualitas hidup pasien bronkiektasis.

Penggunaan nebulisasi agen mukolitik, seperti N-asetilsistein dan karbosistein


sering kali dilakukan pada praktik klinis, namun sampai sekarang belum ditemukan
bukti ilmiah terkait efikasinya

Tatalaksana awal:
 Beri antimikroba
 Drainase postural: mengeluarkan secret
 Bronkodilator
 Berikan juga antibiotic simptomatik
 Pengobatan obstruksi bronkus dll

12. Antibiotik dan obat farmakologi lain apa yg sesuai untuk diberikan pd pasien?
 Antibiotik
beri antibiotik lebih awal dimaksudkan untuk membatasi siklus inflamasi-infeksi yang
terjadi. Antibiotik pilihan utama  yaitu flurokuinolon jenis levofloksasin atau siprofloksasin
dengan terapi minimal 7-10 hari.
Levofloksasin merupakan golongan flurokuinolon yang aktif melawan patogen
respirasi seperti:S.pneumonia, S.aureus, Moraxella catarrhalis,hemophilusinfluenza dan
P.aeroginosa
 Bronkodilator dan Kortikosteroid
dapat diberikan pada BE yang memberikan gambaran bronkitis kronik serta obstruksi jalan
napas dengan memberikan inhalasi β-2agonis.
 Ekspektoran dan mukolitik 
ekspektoran akan merangsang  sekresi dahak
dari salauran napas, sedang mukolitik adalah obat-obatan yang dapat
mengencerkan sekret yang berada pada saluran napas dengan jalan mengurangi benang-benang
mukoprotein dan mukopolisakarida sputum.
13. Bagaimana komplikasi dan prognosis penyakit yg diderita pasien?
Komplikasi:
1. Bronchitis kronik
2. Pneumonia
3. Efusi pleura : jarang terjadi
4. Abses metastasi di otak
5. Hemoptisis
6. Sinusitis
Prognosis : cukup baik, mengingat BE memiliki prognosi yg lambat
Juga tergantung dari lamanya waktu terpapar, dan juga jika semakin lama
ditatalaksana maka prognosis akan semakin buruk.
14. Bagaimana kriteria melakukan rujukan pd skenario di atas?
BE merupakan kompetisi 3A, sehingga berdasarkan SKDI pasien di rujuk ke dr.
spesialis setelah mendapatkan terapi awal.

JUMP IV : SKEMA
JUMP VII: LO
1) Mikroorganisme dan penyebab infeksi pd system respirasi

2) Bronkitis

 Akut (Epidemiologi, etiologi, patofisio dan pathogenesis, factor


resiko, manifestasi klinis, klasifikasi, pem. Fisik dan
penunjang, tatalaksana, rujukan, komplikasi dan prognosis)
 kronis (Epidemiologi, etiologi, patofisio dan pathogenesis,
factor resiko, manifestasi klinis, klasifikasi, pem. Fisik dan
penunjang, tatalaksana, rujukan, komplikasi dan prognosis)

3) Bronkiolitis dan bronkiektasis


 Epidemiologi, etiologi, patofisio dan pathogenesis,factor resiko,
manifestasi klinis, klasifikasi, anamnesis, pem. Fisik dan
penunjang, tatalaksana, rujukan, komplikasi dan prognosis
4) Radang paru-paru
1. Efusi pleura
2. Abses paru
3. pneumonia
 Epidemiologi, etiologi, patofisio dan pathogenesis, factor
resiko, manifestasi klinis, anamnesis, pem. Fisik dan
penunjang, tatalaksana, rujukan, komplikasi dan prognosis
5) Pertusis dan pneumoconiosis
 Epidemiologi, etiologi, patofisio dan pathogenesis, manifestasi
klinis, pem. Fisik dan penunjang, tatalaksana, rujukan,
komplikasi dan prognosis
LO 1 Mikroorganisme dan penyebab infeksi pd system respirasi
Infeksi saluran napas bawah merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus,
jamur, dan protozoa yang menyerang saluran napas bagian bawah, seperti bronkus, bronkiolus,
dan parenkim paru. Sebagian besar infeksi ini disebabkan oleh bakteri.
Secara umum, semua bakteri patogen harus mempunyai kemampuan tertentu selaras
dengan patogenesis penyakit, yaitu masuk ke dalam pejamu, bertahan pada pintu masuk sel
pejamu, evasi atau sirkumvensi terhadap mekanisme pertahanan tubuh, menimbulkan gejala
klinis, dan keluar dari pejamu untuk melanjutkan siklus infeksi berikutnya. Proses terjadinya
penyakit infeksi merupakan resultan fungsi faktor virulensi yang bersifat mosaik serta
merupakan bagian integral dari respon tubuh pejamu yang juga bersifat mosaik.
Epidemiologi
Dari data SEAMIC Health Statistics 2001, influenza dan pneumonia merupakan
penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di
Singapura, nomor 6 di Thailand, dan nomor 3 di Vietnam.
Laporan WHO tahun 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat
penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut, termasuk pneumonia dan influenza.
Insidens infeksi saluran napas bawah khususnya pneumonia komunitas di Amerika Serikat
adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun, dan merupakan penyebab kematian utama akibat
infeksi pada orang dewasa di negara tersebut. Angka kematian akibat pneumonia di Amerika
adalah sekitar 15%.
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001 menyebutkan bahwa
penyakit infeksi saluran napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di
Indonesia. Di SMF Paru RSUP Persahabatan tahun 2001, infeksi juga merupakan penyakit
paru utama. Lima puluh delapan persen di antara pasien rawat jalan adalah kasus infeksi, dan
11.6% di antaranya kasus nontuberkulosis. Pada pasien rawat inap, 58.8% kasus infeksi dan
14.6% di antaranya infeksi nontuberkulosis. Di RSUP H. Adam Malik Medan, 53.8% kasus
infeksi dan 28.6% di antaranya infeksi nontuberkulosis. Di RSUD Dr.Soetomo Surabaya
didapatkan sekitar 180 pneumonia komunitas dengan angka kematian antara 20-35%.
Etiologi
Infeksi saluran napas bawah dapat disebabkan oleh berbagai macam organisme, yaitu
bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Namun penyebab yang paling sering adalah bakteri, di
antaranya adalah bakteri gram positif dan negatif.1 Berdasarkan responnya terhadap pewarnaan
Gram, bakteri dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu bakteri gram positif dan bakteri gram
negatif. Bakteri gram positif merupakan bakteri yang dapat mempertahankan warna gentian
ungu dan iodium (lugol) setelah dicuci sejenak dengan alkohol atau aseton. Bakteri gram
negatif tidak dapat mempertahankan warna kompleks gentian ungu dan iodin dan menjadi
transparan setelah dicuci dengan alkohol. Akan tetapi, dapat diwarnai dengan warna yang
berlawanan, yaitu safranin yang berwarna merah. Oleh karena itu, pada mikroskop cahaya,
bakteri gram negatif terlihat ungu sedangkan bakteri gram negatif terlihat merah.

Bakteri Gram Positif


Hal yang mendasari perbedaan respon bakteri terhadap pewarnaan gram adalah
komponen dinding selnya. Bakteri gram positif mempunyai komponen dinding sel yang
meliputi lapisan peptidoglikan yang terdiri atas rangka Nasetilglukosamin dan asam N-
asetilmuramat yang sama pada setiap spesies, dan rantai samping tetrapeptida yang bervariasi
pada setiap spesies. Pada bakteri gram positif, rantai sampingnya berupa L-lisin pada posisi 3
dan asam diaminofilik atau asam amino lainnya pada posisi yang sama.
Komponen dinding sel lainnya yang terdapat pada bakteri gram positif adalah asam
teikoat dan teikuronat. Asam teikoat dan teikuronat merupakan polimer kapsuler yang terdiri
dari residu gliserofosfat atau ribitol fosfat. Polialkohol ini dihubungkan dengan ikatan
fosfodiester dan biasanya mempunyai gula lain yang terikat bersamanya. Karena struktur
tersebut bermuatan negatif, asam teikoat berperan dalam memberikan muatan negatif pada
permukaan bakteri. Struktur lainnya adalah polisakarida seperti manosa, arabinosa, ramnosa,
asam glukoronat, dll.
Bakteri gram positif penyebab infeksi saluran napas bawah antara lain Streptococcus
pneumoniae, Staphylococcus aureus, Chlamydia pneumoniae, dan Legionella pneumophila.
Organisme-organisme ini merupakan penyebab infeksi saluran napas bawah yang biasanya
didapat dari komunitas seperti community acquired pneumonia (CAP).
Bakteri Gram Negatif
Bakteri gram negatif mempunyai struktur yang sedikit berbeda dengan bakteri gram
positif. Perbedaan tersebut terletak pada ketebalan peptidoglikan dan struktur lain yang hanya
dimiliki oleh bakteri gram negatif seperti lipoprotein, membran luar, dan lipopolisakarida.
Membran luarnya terdiri atas lapisan lipid bilayer. Bagian dalamnya mempunyai
struktur yang sama dengan membran biologis lainnya, tetapi bagian luarnya mempunyai
struktur yang berbeda yang terdiri atas lipopolisakarida. Keunikan dari membran luar ini
adalah dapat mengeksklusi molekul dan dapat melindungi diri dari substansi yang berbahaya
bagi bakteri seperti garam empedu.
Membran luar ini juga dapat mengeksklusi molekul hidrofilik dengan baik. Akan tetapi,
membran luar mempunyai kanal khusus yang terdiri atas molekul protein yang disebut porin.
Porin, protein yang dikode oleh gen tertentu, memungkinkan terjadinya difusi pasif molekul
hidrofilik yang memiliki berat molekul rendah seperti gula, asam amino, dan ion-ion tertentu.
Molekul antibiotik yang besar menembus membran luar dengan lambat. Hal inilah yang
menyebabkan banyak bakteri gram negatif yang resisten terhadap beberapa antibiotik.
Struktur lain yang melengkapi membran luar bakteri gram negatif adalah
lipopolisakarida (LPS). Lipopolisakarida pada bakteri gram negatif terdiri atas kompleks
glikolipid yang disebut dengan lipid A. Lipid A tertanam pada membran luar bagian luar.
Lipopolisakarida berguna untuk menjalankan fungsi protein membran luar lainnya.
Lipopolisakarida disebut juga endotoksin dari bakteri gram negatif karena ia terikat kuat pada
permukaan sel dan akan dilepaskan hanya jika sel tersebut mengalami lisis. Saat LPS terlepas
menjadi lipid A dan polisakarida, semua toksisitas berkaitan dengan bentuk awalnya.
Molekul lain yang terdapat pada dinding sel bakteri gram negatif adalah lipoprotein
yang berikatan silang dengan membran luar dan lapisan peptidoglikan. Fungsinya adalah untuk
menstabilisasi membran luar dan lapisan peptidoglikan.
Beberapa bakteri gram negatif penyebab infeksi saluran napas bawah antara lain
Klebsiella pneumoniae ss pneumonia, Klebsiella oxytoca, Pseudomonas aeruginosa,
Pseudomonas fluorescens, Pseudomonas putida, Moraxella catarrhalis, Enterobacter aerogenes,
Proteus, Serratia marcecens, dan Citrobacter freundii. Organisme-organisme ini menyebabkan
infeksi saluran napas bawah yang didapat dari rumah sakit (infeksi nosokomial) seperti
hospitalized acquired pneumonia (HAP). Akan tetapi akhir-akhir ini laporan dari berbagai kota
di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak pasien
pneumonia komunitas adalah bakteri gram negatif. Berikut ini adalah beberapa contoh bakteri
gram negatif yang menginfeksi saluran napas bawah.
a. Klebsiella pneumoniae ss pneumonia
Klebsiella pneumoniae merupakan salah satu spesies pada bakteri kelompok bakteri
Enterobacteriaceae. Bakteri ini berada dalam sistem pernafasan dan tinja kurang lebih pada 5%
individu normal. Hal tersebut menyebabkan sebuah proporsi kecil (kira-kira 1%) dari radang
paru-paru. Bakteri ini biasanya menyebabkan infeksi pada orang-orang yang
imunokompromais seperti alkoholis, diabetes mellitus, dan penyakit paru kronik.
Klebsiella pneumoniae ss pneumonia adalah bakteri gram negatif berbentuk batang
yang tidak dapat melakukan pergerakan (nonmotil). Berdasarkan kebutuhannya akan oksigen,
bakteri ini termasuk anaerob fakultatif. Patogenesitasnya ditentukan oleh antigen O, yaitu
lipopolisakarida yang terdapat pada sembilan varietas; dan antigen K, yaitu polisakarida yang
dikelilingi oleh kapsul dengan lebih dari 80 varietas.
Infeksi Klebsiella pneumoniae dapat diobati dengan antibiotik, khususnya antibiotik
yang mengandung cincin beta laktam, seperti golongan penisilin dan sefalosporin. Akan tetapi
beberapa strain dari bakteri ini mampu memproduksi enzim ESBL (extended spectrum beta-
lactamase) yang dapat melumpuhkan beberapa kerja antibiotik, seperti beta laktam
aminoglikosida, dan trimetoprim-sulfametoksazol. Aktivitas ini diatur oleh gen ampC, gen
yang terdapat dalam plasmid, yang mengalami mutasi pada beberapa strain K. pneumoniae.
Distribusi strain resistensi ini berbeda pada setiap sepsimen. Sekitar 1 sampai 6% isolat K.
pneumoniae yang berasal dari nasofaring memproduksi enzim ESBL, 8.3% dari tinja, 8.5%
dari urin, dan 16.6% dari saluran napas. Berikut ini adalah gambar Klebsiella pneumoniae.
Klebsiella pneumoniae ss pneumonia dapat menimbulkan konsolidasi hemoragik
intensif pada paru-paru, bronkitis kronik, infeksi sekunder, dan pneumonia lobaris. Pneumonia
yang disebabkan oleh bakteri ini dapat bersifat pneumonia komunitas maupun pneumonia
nosokomial. Kadangkadang menyebabkan infeksi sistem saluran kemih dan bakteremia dengan
luka yang melemahkan pasien.
b. Pseudomonas aeruginosa
Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri berbentuk batang berukuran 0.6 x 2 µm.
Bakteri ini bersifat aerob obligat yang tumbuh dengan mudah pada banyak jens media
pembiakan karena memiliki kebutuhan fungsi yang sangat sederhana dan mempunyai distribusi
penyebaran yang luas dan biasanya tampak di lingkungan yang lembap.
Pseudomonas aeruginosa membentuk kolonisasi pada manusia normal dan bersifat
saprofitik dan biasanya memproduksi gula dan bau seperti corn taco. Beberapa spesies dari
Pseudomonas dapat melisiskan darah. Banyak strain dari P. aeruginosa yang memproduksi
pigmen piosianin dan pioverdin yang dapat memberikan warna biru dan hijau pada agar,
namun ada juga beberapa strain yang memproduksi pigmen piomelanin yang memberikan
warna hitam.
Patogenesitas Pseudomonas aeruginosa ditentukan oleh beberapa hal, yang pertama
adalah alginat. Alginat adalah eksopolisakarida yang merupakan polimer dari asam glukoronat
dan mannuronat berbentuk gel kental di sekeliling bakteri. Alginat memungkinkan P.
aeruginosa untuk membentuk biofilm, yaitu kumpulan koloni sel-sel mikroba yang menempel
pada ssuatu permukaan, misalnya kateter intravena atau jaringan paru. Alginat dapat
melindungi bakteri dari pertahanan tubuh inang, seperti limfosit, fagosit, silia di saluran
pernapasan, antibodi, dan komplemen.
Ke dua adalah pili (fimbriae). Pili menjulur dari permukaan sel dan berperan untuk
membantu perlekatan pada sel epitel inang. Ke tiga adalah lipopolisakarida. Lipopolisakarida
yang terdapat dalam banyak imunotipe merupakan salah satu faktor virulensi dan juga
melindungi sel dari pertahanan tubuh inang. Ke empat adalah enzim-enzim yang
dihasilkannya, yaitu elastase, protease, dan dua hemolisin, fosfolipase C yang tidak tahan
panas, dan rhamnolipid.
Strain Pseudomonas aeruginosa umumnya peka terhadap penisilin antipseudomonas
seperti karbenisilin, tikarsilin, piperasilin, mexlosilin, dan azlosilin; sefalosporin generasi ke
tiga seperti sefoperazon, sefotaksim, dan seftazidim; dan aminoglikosida seperti gentamisin,
tobramisin, dan amikasin; juga senyawa karbokuinolon berfluor seperti siprofloksasin;
aztreonam, dan monopenem. Akan tetapi beberapa strain P. aeruginosa memproduksi broadly
specific multi-drug efflux systems, seperti MexABOprM dan MexXy-OprM. Produk ini
membuat P. aeruginosa resisten terhadap berbagai jenis antibiotik seperti beta laktam,
aminoglikosida, dan kuinolon jika diberikan sebagai terapi tunggal.
Beberapa spesies P. aeruginosa mempunyai baik endotoksin maupun eksotoksin.
Bakteri ini dapat menginfeksi saluran napas (menyebabkan pneumonia nekrotikans), saluran
kemih, telinga luar, dan dapat menyebabkan infeksi sistemik yang berat.
Infeksi yang telah terbentuk akibat P. aeruginosa sulit diobati karena P. aeruginosa
sering resisten terhadap banyak antibiotik. Karena angka keberhasilan pengobatan cukup
rendah dan bakteri cepat membentuk resistensi bila digunakan hanya satu jenis antibiotik,
pengobatan terhadap infeksi P. aeruginosa sebaiknya dilakukan dengan kombinasi antibiotik,
yaitu kombinasi antara aminoglikosida dengan penisilin antipseudomonas. Uji kepekaan
terhadap antibiotik dilakukan sebagai pedoman pemilihan regimen yang efektif. Pengobatan
harus selalu diberikan secara intravena dalam dosis tinggi.
c. Enterobacter aerogenes
Organisme ini mempunyai kapsul kecil, dapat ditemukan dalam bentuk bebas di alam,
seperti halnya di saluran cerna. Bakteri ini menyebabkan infeksi saluran napas, saluran kemih
dan sepsis
Mekanisme resistensi Enterobacter aerogenes terhadap antibiotik khususnya beta
laktam adalah terjadinya mutasi gen ampD pada bakteri sehingga E. aerogenes berubah
menjadi high-level-expressing betalactamase (HLBL). Ekspresi enzim ini dipengaruhi oleh
paparan antibiotik beta laktam spektrum luas lainnya dalam jangka waktu yang lama. Selain itu
terdapat pula beberapa strain E. aerogenes yang mengalami mutasi sehingga dapat
memproduksi SVH-derived extended pectrum beta lactamase seperti SVH-4 dan SVH-5 yang
membuat bakteri ini menjadi resisten terhadap seftazidime, aztreonam,
trimetoprimsulfametoksazol, dan gentamisin.
d. Moraxella catarrhalis
Moraxella catarrhalis merupakan flora normal pada 40-50% anak usia sekolah. M.
catarrhalis dapat menyebabkan bronkitis, pneumonia, sinusitis, otitis media, dan konjungtivitis.
Bakteri ini juga dapat menyebabkan infeksi pada pasien yang imunokompromais.
e. Proteus
Spesies proteus menyebabkan infeksi pada manusia ketika bakteri meninggalkan
saluran usus. Mereka ditemukan dalam infeksi sistem saluran kemih dan menyebabkan
bakteremia, pneumonia, dan lesi fokal pada pasien yang lemah atau mereka yang menerima
transfusi melalui pembuluh darah. Proteus mirabilis menyebabkan infeksi sistem saluran kemih
dan infeksi lain. Proteus vulgaris dan Morganella morganii merupakan patogen nosokomial.

LO 2 Bronkitis
Akut
Definisi
Bronkitis akut merupakan istilah klinis yang menunjukkan peradangan mukosa membran
bronkus akut yang sering kali dapat sembuh sendiri (self-limited).

Manifestasi utama dari bronkitis akut berupa batuk, baik dengan atau tanpa dahak yang
berlangsung hingga 3 minggu, dimana tidak ada bukti klinis maupun radiologis yang
menunjukkan adanya penyakit pneumonia, common cold, asma akut, atau Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK) eksaserbasi akut

EPIDEMIOLOGI
Bronkitis akut umum terjadi di seluruh dunia, merupakan salah satu dari lima alasan teratas
untuk mencari perawatan medis dan sering ditemui dalam praktik klinis. Kondisi ini mencakup
sekitar 10% kunjungan poliklinik di Amerika Serikat atau 10o juta kunjungan per tahun.
Insidens bronkitis akut paling tinggi pada musim gugur dan musim dingin saat transmisi virus
pernapasan memuncak. Bronkitis lebih banyak menyerang pria daripada wanita dan tidak
didapatkan perbedaan dalam distribusi ras, namun bronkitis lebih sering terjadi pada populasi
dengan status sosial ekonomi rendah dan pada orang-orang yang tinggal di daerah perkotaan
serta industri tinggi.
Bronkitis akut ditemukan pada semua kelompok usia, namun paling sering didiagnosis pada
anak usia di bawah 5 tahun.
Etiologi
Penyebab utama bronkitis akut adalah infeksi virus, yaitu':
• Virus influenza A dan B
• Virus parainfluenza
• Respiratory Syncytial Virus (RSV)
• Coronavirus
• Adenovirus
• Rhinovirus
• Metapneumovirus

Di beberapa kasus (<10%), dapat disebabkan oleh bakteri atipikal, seperti:


• Bordetella pertussis
• Chlamydia penuemoniae
• Mycoplasma pneumoniae
• Bordetella parapertussis

Faktor risiko
• Asap rokok (baik perokok aktif maupun pasif)
• Riwayat asma
• Polusi udara
• Debu
• Asap pembakaran
• Kontak dengan pasien bronkitis
• Daya tahan tubuh rendah
• Zat kimia (seperti pada cat tembok, atau cairan kimia lainnya)

Usia Penderita
Dapat mengenai semua usia
Penegakan Diagnosis
Anamnesis
• Batuk selama lebih dari 5 hari dan dapat berlang- sung hingga 3 minggu, bisa dengan atau
tanpa dahak. Dahak berwarna jernih, kuning, atau hijau. Dapat muncul dahak purulen
• Terkadang dapat muncul demam di awal selama <3 hari
• Nyeri-nyeri otot
• Pilek dan hidung tersumbat dapat muncul di beberapa hari awal Menggigil (jarang)
• Sesak napas (jarang)
• Sakit kepala (jarang)
• Nyeri menelan (jarang)
• Nyeri dada (jarang)

Pemeriksaan Fisik

Tanda Vital
• Umumnya dalam batas normal
• Frekuensi napas dapat meningkat (pada dewasa >20x/menit) (jarang)
• Demam, suhu < 38.5°C, di 3 hari awal (jarang)

Status generalis: Umumnya dalam batas normal


• Pada auskultasi paru terkadang dapat terdengar mengi (wheezing), ronki, atau ekspirasi
memanjang (jarang)

Pemeriksaan Penunjang
-Pemeriksaan Darah Lengkap
-Pemeriksaan Foto rontgen thorax(PA)
-Pmeriksaan spirometri

Diagnosis Banding
-Pneumonia
-Common Cold/Selesma
-Asma Akut
-PPOK eksaserbasi Akut
-GERD
-Gagal Jantung Kongestif
-Bronkiektasis

Pencegahan
-Tidak Merokok dan menghindari asap rokok
-Menghindari Polusi Udara,asap hasi pembakaran debu,dan zat kimia dengan memakai masker
-Mencuci tangan untuk mencegah penyebaran infeksi
-Aktivitas fisik seimbang dan makan makanan bergizi untuk menjaga daya tahan tubuh
-vaksinasi influenza atau pneumonia

Non Medikantosa
Istirahat yang cukup,minum banyak air putih,makan makanan bergizi

Medikamentosa
Karena penyebab utamanya infeksi virus,maka biasanya hanya diperlukan terapi
simptomatik.Pengobatan berfokus pada pencegahan atau kontrol terhadap batuk,yaitu dengan
pemberian antitusif(jangka pendek) dan bronkodilator(Beta 2 agonis)

-Antitusif
Deksometrophan(DMP)
Dewasa 15-30 mg per oral,maksimal 120 mg/hari dengan frekuensi 3-4 kali sehari
Anak 6-12 tahun 5-15 mg per oral,maksimal 60 mg/hari dengan frekuensi 3-4 kali sehari

Codein
Dewasa 10-20 mg per oral,maksimal 120 mg/hari dengan frekuensi 1-2 kali sehari
Anak 6-12 tahun 5-10 mg per oral,maksimal 60 mg/hari dengan frekuensi 1-2 kali sehari

-Expetorant dan mukolitik


Guaifenesin/GG
Dewasa 200-400 mg per oral,maksimal 2.4g/hari dengan frekuensi 3-4 kali sehari
Anak anak 6-12 tahun:100-200 mg per oral,maksimal 1.2g/hari dengan frekuensi 3-4 kali
sehari

Ambroxol
Dewasa 30 mg per oral,maksimal 120 mg/hari dengan frekuensi 2-3 kali sehari
Anak 6-12 tahun 15 mg per oral dengan frekuensi 2-3 kali sehari

-Bronkodilator(Beta 2 Agonis)
Salbutamol
Dewasa 2-4 mg per oral,maksimal 32 mg/hari dengan frekuensi 3-4 kali sehari
Anak 6-12 tahun:1-2 mg per oral dengan frekuensi 3-4 kali sehari

Analgesik/antipretik
Paracetamol
Dewasa 50-1000 mg per oral,maksimal 4000 mg/hari dengan frekuensi 3-4 kali sehari
Anak anak:10-15 mg/kgBB Per oral,maksimal 1000-2000 mg/hari dengan frekuensi 3-4 kali
sehari
Kronik
TERMINOLOGI

Bronkitis kronik adalah Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak
minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak
disebabkan penyakit lainnya.(PDPI, 2003)

Bronkitis kronis didefinisikan sebagai batuk produktif persisten selama paling sedikit 3
bulan berturut-turut pada paling sedikit 2 tahun berturut-turut. (Robin, 2007)

EPIDEMIOLOGI
Dalam sebuah studi longitudinal 30 tahun dari 1.711 pria Finlandia, kejadian kumulatif dari
bronkitis kronik adalah 42 % pada perokok aktif, 26 % pada mantan perokok , dan 22 % di
pernah perokok. Bronkitis kronik mempengaruhi sekitar 10 juta orang di Amerika Serikat ,
dan mayoritas adalah antara 44 dan 65 tahun. Beberapa 24,3 % dari individu dengan
bronkitis kronik lebih tua dari 65 tahun , dan, yang mengejutkan 31,2 % adalah antara usia
18 dan 44 tahun.

Etiologi dan Faktor risiko

Penyebab utama bronkitis kronik adalah merokok.Faktor risiko utamanya adalah merokok.
risiko potensial lainnya termasuk eksposur inhalasi untuk bahan bakar biomassa, debu, dan
asap kimia. Potensi risiko lain Faktor untuk CB adalah adanya gastroesophageal reflux,
mungkin dengan aspirasi paru direfluks isi lambung memproduksi cedera asam - diinduksi
dan infeksi atau neurally dimediasi bronkokonstriksi refleks sekunder iritasi kerongkongan
mukosa. (American Journal Of Respiratory And Critical Care Medicine, 2013)

PATOGENESIS
Gambaran khas pada bronkitis kronis adalah hipersekresi mukus, yang dimulai
di saluran nafas besar. Meskipun faktor penyebab terpenting adalah merokok, polutan udara
lain, seperti sulfur dioksida dan nitrogen dioksida, juga berperan. Berbagai iritan ini memicu
hipersekresi kelenjar mukosa bronkus, menyebabkan hipertrofi kelenjar mukosa, dan
menyebabkan pembentukan metaplastik sel goblet penghasil musin di epitel permukaan
bronkus. Selain itu, zat tersebut juga menyebabkan peradangan dengan infiltrasi sel T
CD8+, makrofag, dan neutrofil. Berbeda dengan asma, pada bronkitis kronis eosinofil
jarang ditemukan, kecuali jika pasien mengidap bronkitis asmatik. Dipostulasikan bahwa
banyak efek iritan lingkungan pada epitel pernafasan diperantarai melalui reseptor faktor
pertumbuhan epidermis. Sebagai contoh, transkripsi gen musin MUC5AC, yang meningkat
sebagai akibat terpajan asap tembakau, baik in vitro maupun in vivo pada model
eksperimental, sebagian diperantarai oleh jalur reseptor faktor pertumbuhan epidermis.
Infeksi mikroba sering terjadi, tetapi hanya berperan sekunder, terutama dengan
mempertahankan peradangan dan memperparah gejala. (Robin, 2007)
DIAGNOSIS
1. ANAMNESIS
Keluhan dan gejala-gejala klinis Bronkitis Kronis adalah sebagai berikut:
- Batuk yang sangat produktif, purulen dan mudah memburuk dengan inhalasi iritan,
udara dingin atau infeksi
- produksi mucus dalam jumlah yang sangat banyak
- dyspnea, Sesak napas. Sesak bersifat progresif (makin berat) saat beraktifitas.
Dyspnea penyebab utama kecacatan dan kecemasan terkait dengan luas mengi
inspirasi atau ekspirasi. Pasien menggambarkan Dada sesak sering sebagai rasa
peningkatan upaya untuk bernapas
- riwayat merokok, paparan zat iritan di tempat kerja
- Adakalanya terdengar suara mengi (ngik-ngik).
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksisaluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
(Alburquerque Journal dan PDPI, 2003)
PEMERIKSAAN FISIK
Pada stadium awal, pasien belum ada keluhan. Pada stadium yang lebih lanjut,
didapatkan fase ekspirasi yang memanjang dan mengi. Didapatkan juga tanda-tanda
hiperinflasi seperti barrel chest dan hipersonor pada perkusi. Pasien yang dengan
obstruksi jalan nafas berat akan menggunakan otot-otot pernafasan tambahan duduk
dalam posisi tripod.Didapatkan juga sianosis pada bibir dan kuku pasien.
a) Inspeksi
 Pursed lips breathing.
 Barrel chest
 Penggunaan otot bantu pernafasan
 Hipertrofi otot bantu pernafasan
 JVP meningkat
 Edema tungkai bawah
 Penampilan blue bloater. Gambaran khas bronchitis kronis, gemuk,
sianosis, edema tungkai dan ronki basah di basal paru. Sianosis di sentral
dan perifer.
b) Palpasi
Fremitus melemah
c) Perkusi
Hipersonor
d) Auskultasi
 Suara nafas vesikuler normal atau melemah
 Ronki dan mengi saat nafas biasa atau eskpirasi paksa
 Eskpirasi memanjang
 Bunyi jantung terdengar jauh (PDPI, 2003)
PEMERIKSAAN PENUNJANG

a) Pemeriksaan laboratorium
- Darah rutin : Hb, Ht dan leukosit boleh didapatkan meningkat (Robin. 2006)
- Analisa gas darah : hipoksia dan hiperkapnia
b) Pemeriksaan faal paru
- Spirometri : Ditemukan adanya penurunan kapasitas vital (VC) dan volume
ekspirasi kuat (FEV) serta peningkatan volume residual (RV) dengan kapasitas
paru total (TC) normal atau meningkat.
c) Radiologi
Rontgen thorax (PA/Lateral)
- Corakan bronkovaskuler meningkat
- Tram-track appearance : penebalan dinding bronkial
Diagnosis Banding
-Bronkitis kronik
-Asma
-Broenkiektasis

Terapi
Terapi non Farmakologis
Edukasi berhenti merokok
Farmakologis

Komplikasi

-Penurunan fungsi paru

-Kematian

Prognosis
Bronkitis Kronik menyebabkan kualitas penurunan hidup

LO 3 Bronkiolitis dan bronkiektasis


Bronhiolitis
DEFINISI
Bronkiolitis merupakan penyakit obstruksi akibat inflamasi akut pada bronkiolus. Penyakt ini
biasanya disebabkan oleh infeksi virus pada saluran napas bawah bayi atau anak.

EPIDEMIOLOGI
Bronkiolitis merupakan penyebab tersering rawat inap pada bayi di 12 bulan pertama
kehidupannya. Sekitar 75.000-125.000 anak berusia di bawah 1 tahun di rawat inap per
tahunnya di Amerika akibat bronkiolitis. Umumnya, bronkiolitis terjadi pada anak berusia
kurang dari 2 tahun. Penelitian CDC menyebutkan laju rawat inap akibat infeksi repiratory
syncytial virus (RSV) adalah 5,2 per 1000 anak di bawah 24 bulan pada tahun 2000-2005.

FAKTOR RISIKO
Faktor risiko bronkiolitis meliputi:
• Bayi prematur <30 minggu (laju rawat inap akibat infeksi RSV adalah 18,7 dari 1000 anak,
sedangkan populasi aterm hanya 5,2 per 1000);
• Laki-laki:perempuan = 1,7:1
• Tidak mendapatkan ASI: 81% bayi kurang gizi dan 72% bayi yang gizi cukup yang terkena
bronkiolitis tidak menerima ASI eksklusif
•Tinggal di lingkungan padat penduduk
• Memiliki ibu yang masih muda
• Memiliki gangguan kardiopulmonal
• Imunodefisiensi.

ETIOLOGI
Lebih dari 50% kasus disebabkan oleh infeksi respiratory syncytial virus (RSV). Penyebab
lainnya: virus parainfluenza, adenovirus, dan Mycoplasma. Belum ada bukti yang
menunjukkan bahwa bakteri menyebabkan bronkiolitis, Bronkiolitis jarang sekali diikuti
dengan superinfeksi bakteri.
PATOFISIOLOGI
Pada bronkiolitis, adanya infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus menyebabkan respons
inflamasi akut, terjadi edema, sekresi mukus, timbunan debris seluler, dan fibrosis yang
menyebabkan penebalan dinding bronkiolus. Adanya penebalan dinding bronkiolus tersebut
menyebabkan peningkatan resistensi aliran udara pada bronkiolus, terutama pada bayi dengan
penampang saluran pernapasan yang kecil.

Resistensi pada bronkiolus akan meningkat baik pada saat inspirasi, maupun ekspirasi. Namun
radius saluran napas lebih kecil selama ekspirasi sehingga dapat terjadi air trapping dan
hiperinflasi. Jika obstruksi yang terjadi bersifat total, udara yang terperangkap di distal akan
diresorpsi den akan terjadi atelektasis. Pada saat awal, teriadi ventilation-perfusion mismatch
yangmenyebabkan hipoksemia. Namun, seiring dengan memberatnya obstruksi dan semakin
lelahnya usaha pernapasan. tubuh akan mengalami hiperkarbia.

GEJALA DAN TANDA


Gejala awal berupa gejala infeksi virus yairu pilek ringan,faringitis,batuk kering,konjungtivitid
ringan,dan demam.Satu sampai dua hari setelah gejala awal muncul,timbul batuk yang disertai
sesak nafas,selanjutnya diikuti mengi,merintih,batuk batuk hingga muntah,rewel,dan
penurunan nafsu makan

PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Foto polos tidak diindikasikan secara rutin pada anak dengan bronkiolitis tanpa komplikasi.
dapat berupa hiperinflasi paru, Temuan atelektasis yang patchy.
• Pemeriksaan laboratorium: leukosit dan hitung jenis biasanya normal.
• Analisis gas darah tidak rutin dilakukan, tetapi pada pasien distres pernapasan berat dan
kemungkinan gagal napas dapat ditemukan hiperkarbia akibat air trapping.

DIAGNOSIS
Diagnosis dipertimbangkan pada anak yang berusia di bawah 2 tahun dan dapat ditegakkan
secara klinis.
DIAGNOSIS BANDING
• Asma: reversibel dengan bronkodilator
• Pneumonia: terdapat demam, batuk, sesak, laboratorium terdapat leukositosis, foto polos
terdapat infiltrat
• Laringotrakeomalasia
• Aspirasi benda asing: ada riwayat tersedak, variasi regional dalam aerasi

TERAPI DAN PENCEGAHAN


Bronkiolitis tidak memerlukan pengobatan spesifik. Pasien dengan klinis ringan dapat
menjalani rawat jalan, sedangkan pasien dengan klinis berat harus rawat inap. Berdasarkan
penelitian, pemberian albuterol, epinefrin, antibiotik, dan kortikosteroid sistemik tidak
bermanfaat. .
• Pemberian terapi oksigen dapat dipertimbangkan jika saturasi <90%. Oksigen diberikan
melalui nasal kanul, 1-2 L/menit.
• Pada pasien rawat inap, dapat diberikan nebulisasi salin hipertonik (NaCI 3%).
• Nutrisi dan hidrasi melalui selang nasogastrik/intravena jika tidak dapat secara oral.
• Berdasarkan penelitian, pemberian fisioterapi dada tidak bermanfaat.

KOMPLIKASI
• Apnea: insidensi bervariasi dari 1,2% hingga 23.3%.
• Gagal napas: diperkirakan sekitar 2,9-5,3 kematian akibat gagal napas per 100.000 anak di
bawah 12 bulan.
• Dehidrasi.
• Pneumonia aspirasi.

KRITERIA RUJUKAN
setelah penanganan kegawatdaruratan, pasien bronkiolitis harus dirujuk ke spesialis anak.

PROGNOSIS
Bayi dengan bronkiolitis akut memiliki risiko untuk gangguan pernapasan yang berat pada 48-
72 jam pertama setelah awitan batuk dan sesak. Laju fatalitas kasus <1%, kematian terjadi
akibat apnea, henti napas, dan dehidrasi berat. Selain itu, setelah masa kritis ini, gejala
umumnya masih tetap akan ada, dengan median durasi gejala pada pasien rawat jalan adalah 14
hari. Rawat inap hanya dibutuhkan pada <2% kasus, sebagian besar pada anak berusia <6
bulan.

Bronkiektasis
DEFINISI
Bronkiektasis (BE) merupakan dilatasi bronkus yang bersifat abnormal dan permanen. Dilatasi, dapat
bersifat lokal atau difus, akan mudah mengalami infeksi bronkial dengan gejala batuk dan produksi
sputum.

EPIDEMIOLOGI
Belum ada data mengenai prevalensi BE di Indonesia. Data dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan prevalensi BE dari tahun 2000-2007 dengan angka kejadian per tahun adalah
8,74%. Prevalensi meningkat seiring pertambahan usia dengan prevalensi tertinggi pada usia 80-84
tahun. BE tertinggi pada ras Asia dengan tingkat survival dari BE dalam 4 tahun adalah 84-90%.

ETIOLOGI
Etiologi infeksi misalnya Haemophilus influenzae, Pseudomonas aureginosa, Staphylococcus aureus,
dan Moraxella catarrhalis.

PATOGENESIS
Patogenesis dari BE dikenal sebagai hipotesis vicious cycle (Gambar 113.1).
Patogenesis ini bersifat memiliki siklus yaitu infeksi bakteri menyebabkan kerusakan jalan napas dan
mengganggu mucous clearance yang juga akan mempermudah terjadinya infeksi.

GEJALA DAN TANDA


• Anamnesis: BE ditandai dengan batuk produktif kronis yang dapat disertai gejala seperti sesak,
mengi, hemoptisis, nyeri pleuritik, lemas, penurunan BB, dan mialgia. Sputum yang dihasilkan bersifat
khas yaitu sputum 3 lapis (buih, mukoid, dan purulen). Pada <10% pasien, dapat terjadi BE yang tidak
menghasilkan sputum (dry BE) jika lesi terdapat di bagian apeks.
• Pemeriksaan Fisis: jari tabuh, ronki basah kasar (tersering pada bagian basal paru), dan mengi pada
auskultasi mengarahkan diagnosis BE.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Radiologi: Foto toraks merupakan lini pertama dalam diagnosis BE, dengan gambaran khas adalah
honeycomb appearance. Namun, gambaran ini tidak selalu muncul sehingga hasil normal pada Rontgen
tidak menyingkirkan kemungkinan BE. Pada CT scan resolusi tinggi terdapat gambaran dilatasi dinding
bronkus (diameter lumen bronkus lebih besar dibanding arteri pulmoner).

• Hematologi rutin guna mengidentifikasi infeksi dan inflamasi (CRP dan LED).
• Bronkoskopi tidak dapat melihat ektasis, tetapi kadang dibutuhkan untuk pengeluaran sputum dan
apabila terjadi hemoptisis untuk melihat sumber perdarahan.
• Lainnya: kultur sputum (membantu menegakkan etiologi infeksi), imunoglobulin A, E, G, dan M
(membantu menegakkan etiologi defisiensi immunoglobulin), antibody ANA/RA (rheumatoid artritis,
sindrom Sjorgen), cystic fibrosis sweat test (cystic fibrosis), dan sebagainya (Gambar 113.2).
DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosis BE berdasarkan temuan klinis dan didukung pemeriksaan penunjang.

TERAPI DAN PENCEGAHAN


Kerusakan paru pada BE bersifat permanen sehingga tata laksana bersifat bukan untuk mengobati tetapi
untuk mengurangi gejala dan progresivitas penyakit.
Prinsip tata laksana BE meliputi:
• Mencari etiologi dan memberi tata laksana sesuai dengan etiologi
• Edukasi pasien
• Antibiotik
• Pembedahan
• Tata laksana komplikasi.
Tata laksana awal adalah memberikan edukasi penyakit dan pemberian antibiotik awal. Pemberian
antibiotik terutama diberikan pada pasien dengan eksaserbasi akut. Terdapat 3 kriteria eksaserbasi BE
yang membutuhkan terapi antibiotik:
• Peningkatan frekuensi batuk, mengi, dan sesak
• Peningkatan purulensi dari sputum
• Peningkatan volume sputum dan viskositas

Umumnya eksaserbasi disebabkan H. influenza dan dapat diberikan antibiotik beta laktam (amoxicillin
PO 3x500 mg selama 14 hari). Apabila pemberian antibiotik tidak menunjukkan perbaikan, perlu
dipikirkan etiologi P. aureginosa dan dapat diberikan terapi kuinolon (ciprofloxacin PO 2x500 mg
selama 14 hari). Sebelum memulai terapi antibiotik, sputum perlu diambil untuk dikultur. Pasien
dengan riwayat eksaserbasi >3 kali per tahun dapat dipertimbangkan memperoleh terapi antibiotik
jangka panjang.

Edukasi yang dapat diberikan berupa perjalanan penyakit yang tidak dapat sembuh, tetapi dapat
terkontrol serta peran infeksi dalam menyebabkan eksaserbasi penyakit. Edukasi lain yang penting
mencakup:
• Mengenali gejala eksaserbasi
• Berhenti merokok dan menghindari pajanan rokok
• Mendapat vaksin cacar, rubella, influenza, pneumokok
• Edukasi mengenai airway clearance (dengan teknik active cycle of breathing technique- bernapas
biasa yang diikuti 3-5 kali napas dalam lalu napas biasa kembali lalu mengeluarkan napas melalui
mulut) yang dapat dibantu dengan pemberian bronkodilator dan fisioterapi dada (Gambar 113.3)
• Melakukan aktivitas fisik secara teratur
• Menjaga cairan tubuh

KOMPLIKASI
Dapat terjadi infeksi berulang.

KRITERIA RUJUKAN
Pasien dirujuk ke dokter spesialis setelah mendapatkan terapi awal.

PROGNOSIS
BE memiliki prognosis yang cukup baik mengingat bahwa BE merupakan penyakit yang bersifat
progresif lambat. Survival pada pasien BE dalam 13 tahun adalah 70,3%. Airway cleareance yang rutin
serta pengenalan tanda eksaserbasi akut yang baik dapat meningkatkan survival pada pasien.

LO 4 Radang paru-paru
Efusi Pleura
DEFINISI
Efusi pleura merupakan suatu kondisi berlebihnya cairan di rongga pleura. Pada kondisi
fisiologis, jumlah cairan dalam rongga pleura ini adalah sekitar 0,1 mL/kg. Namun, pada
kondisi patologis, jumlah cairan dalam rongga pleura berlebih sehingga menimbulkan
manifestasi klinis.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Jumlah cairan dalam pleura sangat bergantung dari tekanan onkotik dan hidrostatik (Hukum
Starling). Ketidakseimbangan salah satu komponen tekanan ini akan berakibat pada munculnya
efusi pleura.

Kondisi seperti gagal jantung yaitu terjadi peningkatan tekanan hidrostatik interstisial serta
pada sindrom nefrotik yaitu terjadi penurunan tekanan onkotik kapiler menyebabkan timbulnya
efusi pleura. Proses inflamasi dan keganasan juga dapat menyebabkan peningkatan
permeabilitas membran pleura yang juga menyebabkan timbulnya efusi pleura.

KLASIFIKASI
Efusi pleura dibedakan menjadi dua untuk mempersempit diagnosis banding:
• Eksudatif: kandungan protein pada efusi pleura eksudatif lebih banyak. Pada efusi
pleuraeksudatif, faktor lokal yang mempengaruhi pembentukan dan absorbsi dari cairan pleura
terganggu. Penyebab utama adalah pneumonia bakterialis, keganasan, infeksi virus, penyakit
jaringan ikat, dan sebagainya.
•Transudatif: timbul akibat gangguan faktor sistemik yang berperan dalam pembentukan dan
absorbsi dari cairan pleura. Penyebab tersering meliputi: gagal jantung, sirosis, sindrom
nefrotik, emboli paru, hipoalbumin, hipotiroid, dan lain-lain.

Kriteria Light dapat digunakan untuk membedakan eksudat atau transudat. Apabila minimal
satu kategori terpenuhi, efusi tersebut merupakan eksudatif: Protein cairan pleura/protein
serum
LDH cairan pleura/LDH serum > 0,6
LDH cairan pleura > 2/3 batas atas dari nilai 0,5 normal LDH

GEJALA DAN TANDA


Keluhan sesak yang diperberat apabila berbaring menghadap salah satu sisi, batuk, nyeri dada
pleuritik, demam, penurunan berat badan, dan sebagainya. Pada pemeriksaan fisis dapat
diperoleh inspeksi toraks tertinggal, perkusi redup yang mengikuti garis lengkung dari medial
bawah ke lateral atas (garis Ellis-Damoiseau), fremitus taktil yang menurun, dan penurunan
suara nafas pada auskultasi. Gejala dan tanda yang menyertai efusi pleura juga dapat
memberikan gambaran etiologinya.Terkadang pemeriksaan fisis tidak dapat menunjukkan
kelainan terutama apabila efusi pleura < 300 mL.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto toraks dapat mengkonfirmasi adanya kecurigaan efusi pleura. Gambaran khas adalah
gambaran meniscus sign atau penumpulan sudut kostofrenikus. Pemeriksaan foto polos
sebaiknya dilakukan secara PA dan lateral untuk membantu mengidentifikasi etiologi. Foto
dengan posisi lateral dekubitus juga dapat dilakukan terutama pada efusi pleura minimal.
• USG toraks, terutama digunakan untuk melakukan memandu prosedur torakosentesis.
• CT scan, digunakan pada kasus yang meragukan. CT scan lebih baik dalam mengidentifikasi
efusi pleura minimal dan dapat membedakan efusi pleura dengan penebalan pleura.
• Pemeriksaan Cairan Pleura,Secara makroskopis, cairan pleura dapat memberikan petunjuk
mengenai etiologi dari efusi pleura: anchovy brown fluid yang menunjukkan kemungkinan
abses amoeba, cairan seperti susu yang menunjukkan kemungkinan terjadinya kilotoraks,
makanan mengindikasikan ruptur esofagus, dan sebagainya.

DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala yang didukung hasil pemeriksan
penunjang.

TERAPI DAN PENCEGAHAN


Pungsi pleura dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis (terutama pada efusi unilateral dan
tidak disarankan pada efusi bilateral) atau penatalaksanaan, terutama pada kegawatan atau
paliatif Tata laksana lainnya adalah dengan mengatasi etiologi dari efusi pleura, yaitu:
• Gagal jantung Efusi pleura yang disebabkan oleh gagal jantung biasanya akan berkurang
setelah pemberian loop diuretic (furosemide PO 2x40 mg). Pungsi pleura dapat diberikan
apabila dengan diuretik efusi tidak berkurang.
• Empiema Pemasangan chest tube dan WSD ditambah antibiotik. Pilihan antibiotik empiris
adalah golongan penisilin, penisilin + penghambat beta lactamase, metronidazole, atau
sefalosporin.
• Pleuritis TB
Ditandai dengan tingginya kadar biomarker tuberkulosis pada cairan efusi(adenosin)
deaminase > 40 IU/L). Tata laksana yang dapat diberikan adalah pemberian OAT selama 9
bulan.
• Hematotoraks/Kilotoraks
Tata laksana dari hematotoraks/kilotoraks adalah dengan pemasangan chest tube dan WSD.
Apabila paru tidak mengembang, dapat dilakukan pleurodesis.
• Keganasan
Mengobati sesuai jenis keganasan dan dilakukan torakosentesis untuk mengurangi gejala, dapat
juga dilakukan pleurodesis.

KOMPLIKASI
Efusi masif menyebabkan distres pernapasan berat.

KRITERIA RUJUKAN
Pasien dengan kecurigaan efusi harus dirujuk ke layanan sekunder karena tindakan diagnostik
dan terapi tidak tersedia di layanan primer.

PROGNOSIS
Prognosis dari efusi pleura sangat bergantung dari etiologi yang mendasari. Kesintasan 1 tahun
pada efusi pleura dengan keganasan adalah sekitar 20%, gagal jantung 50%, gagal ginjal 45%,
dan infeksi 80%.

Abses Pleura
PENDAHULUAN
Abses paru adalah suatu penyakit jaringan paru yang didefinisikan sebagai proses nekrosis dari
jaringan paru dan terbentuknya kavitas yang berisi debris nekrotik atau cairan yang berasal dari
infeksi bakteri . Pengertian lain yaitu suatu infeksi paru nekrotik akibat proses supurasi yang
ditandai dengan adanya pus yang mengisi kavitas yang disebabkan oleh mikroorganisme
piogenik . Istilah necrotizing pneumonia sering digunakan untuk menjelaskan proses patologi
yang mirip dengan kavitas kecil yang multipel ( diameter < 2cm ) di area yang berdekatan pada
paru . Abses paru sering ditemukan pada era antibiotik belum banyak digunakan.

KLASIFIKASI
Dibagi atas
1.Abses Paru Primer>Bila abses terjadi akibat aspirasi atau pneumonia
2.Abses paru sekunder>Bila terjadi akibat infeksi kepada orang yang sebelumnya mengalami
kondisi seperti obstruksi akibat neoplasma saluran nafas,broenkiektasis,dan komplikasi operasi
intrathorax

Berdasarkan waktu
Akut=bila kurang dari 1 bulan
Kronik=bila lebih dari 1 bulan

EPIDEMIOLOGI
Frekuensi abses paru yang terjadi di masyarakat umum Amerika Serikat tidak diketahui .
Abses paru lebih sering terjadi pada laki - laki dibanding perempuan dan umumnya terjadi
pada umur tua karena terdapat peningkatan insiden penyakit periodontal dan peningkatan
prevalensi disfagi dan aspirasi , namun pada daerah urban dengan tingginya prevalensi
alkoholism dilaporkan abses paru rata - rata terjadi pada umur 41 tahun . Kemajuan ilmu
kedokteran saat ini menyebabkan angka kejadian abses paru menurun ( jarang ditemukan )
karena adanya penurunan risiko terjadinya abses paru seperti teknik operasi dan anestesi yang
lebih baik dan penggunaan antibiotika lebih dini , kecuali pada kondisi kondis yang
memudahkan terjadinya aspirasi dan pada populasi immunocompromised . Karena angka
harapan hidup yang lebih baik pada pasien HIV maka pada tahun tahun belakangan ini kasus
abses paru tampak mengalami peningkatan lagi .

ETIOLOGI
Abses paru dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme yaitu : Kelompok bakteri anaerob
merupakan etiologi terbanyak abses paru ( bisa mencapai 89 % ) terutama pada orang
immunocompetent dan biasanya diakibatkan oleh pneumonia aspirasi
-Bacteriodes melaninogenus
-Bacteriodes fragilis
-Peptostreptococcus species
-Bacillus intermedius
-Prevotella melaninogenica
-Fusobacterium nucleatum
-Microaerophilic streptococcus
-Clostridium perfringens
-Clostridium barati

Bakteri anaerobik meliputi 89 % penyebab abses paru dan 85 - 100 % dari spesimen yang
didapat melalui aspirasi transtrakheal . Kelompok bakteri aerob , predominan pada orang
dengan immunocompromised : Gram positif : sekunder oleh sebab selain aspirasi

-Staphylococcus aureus
-Streptococcus microaerophilic
-Streptococcus pyogenes
-Streptococcus pneumonia
-Streptococcus viridans
-Streptococcus milleri
Patofisiologi
Kejadian abses paru yang paling sering adalah sebagai komplikasi pneumonia aspirasi yang
disebabkan oleh mikroorganisme anaerob . Penderita abses paru biasanya menderita penyakit
periodontitis dengan higiene mulut yang buruk . Faktor risiko abses paru adalah penderita
epilepsi , pemabuk , orang yang mempunyai refleks tekak ( gag reflex ) yang buruk . Abses
paru juga dapat terjadi akibat emboli yang berasal dari endokarditis .

Gambaran klinis
Penyakit ini merupakan infeksi berat disertai demam dan gejala sistemik. Terdapat sputum
dalam jumlah besar dan purulen serta tidak dapat dikendalikan bila suatu abses memiliki jalan
ke luar ke saluran pernapasan. Terdapat penurunan berat badan drastis dan jari tabuh, sehingga
penting untuk dibedakan dari karsinoma bronkial kavitasi. Tanda klinis lokal pada dada bisa
minimal atau didapatkan tanda-tanda konsolidasi dan bunyi gesekan pleura (pleural rub) bila
terdapat peradangan pleura.

Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai kelainan seperti nyeri tekan lokal, tanda-tanda
konsolidasi seperti redup pada perkusi, suara bronchial dengan ronki basah atau krepitasi di
tempat abses, mungkin ditambah dengan tanda-tanda efusi pleura
Apabila abses luas dan letaknya dekat dengan dinding kadang-kadang terdengar suara amforik,
usara nafas bronchial atau amforik terjadi bila kavitasnya besar dank arena bronkus masih tetap
dalam keadaan terbuka disertai oleh adanya konsolidasi sekitar abses dan drainase abses yang
baik.
Apabila abses paru letaknya dekat pleura dan pecah akan terjadi piotoraks (empiema toraks)
sehingga pada pemeriksaan fisik ditemukan pergerakan dinding dada tertinggal di tempat lesi,
fremitus vocal menghilang, perkusi redup/pekak, bunyi nafas menghilang, dan terdapat tanda-
tanda pendorongan mediastinum terutama pendorongan jantung kearah kontralateral tempat
lesi

Pemeriksaan laboratorium
a. Pada pemeriksaan darah rutin. Ditentukan leukositosis, meningkat lebih dari 12.000/mm3
(90% kasus) bahkan pernah dilaporkan peningkatan sampai dengan 32.700/mm3. Laju endap
darah ditemukan meningkat > 58 mm / 1 jam. Pada hitung jenis sel darah putih didapatkan
pergeseran shit to the left.
b. Pemeriksaan sputum dengan pengecatan gram tahan asam dan KOH merupakan
pemeriksaan awal untuk menentukan pemilihan antibiotik secara tepat.(1)
c. Pemeriksaan kultur bakteri dan test kepekaan antibiotikan merupakan cara terbaik dalam
menegakkan diagnosa klinis dan etiologis

Radiologi
Gambaran radiografi yang spesifik berupa kavitas yang bentuknya iregular dengan air-fluid
level di dalamnya. Abses paru akibat pneumonia aspirasi biasanya terletak pada segmen
posterior lobus atas atau segmen superior lobus bawah paru kanan.

Diagnosis Banding
1.Karsinoma Bronkogenik yang mengalami kavitasi
2.Tb paru atau infeksi jamur
3.Empiema
4.Hematom paru
5.Pneumokoniosis
6.Hiatus Hernia

Penatalaksaaan
Pasien abses paru memerlukan istirahat yang cukup.Bila abses paru pada foto dada
menunjukkan diameter 4 cm atau lebih sebaiknya dirawat inap.Posisi berbaring pasien
hendaknya miring dengan paru yang terkena abses paru berada di atas supaya gravitasi
drainase lebih baik.
Pada pasien rawat inap diberikan clindamisin 600 mg IV setiap 8 jam dilanjutkan dengan 150-
300 mg per oral 4 kali sehari hasilnya bisa diliat setelah 3-4 hari.

Prognosis
Abses paru masih merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Angka
kematian Abses paru berkisar antara 15-20% merupakan penurunan bila dibandingkan dengan
era pre antibiotika yang berkisar antara 30- 40%.
Pneumonia
DEFINISI
Pneumonia merupakan peradangan akut parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang
mencakup bronkiolus respiratorius, yang menimbulkan konsolidasi paru yang terkena dan
pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin.

ETIOLOGI

EPIDEMIOLOGI
Infeksi saluran napas bawah termasuk pneumonia komunitas menduduki urutan ke-3 dari 30
penyebab kematian tersering di dunia. Di Indonesia, pneumonia termasuk dalam 10 besar
penyakit rawat inap di rumah sakit.
Prevalensi pneumonia pada balita di Indonesia tahun 2013 adalah 4,5%. Insiden pneumonia
pada anak di bawah <5 tahun adalah 10-20 kasus/100 anak/tahun di negara berkembang dan 2-
4 kasus/100 anak/tahun di negara maju.

FAKTOR RISIKO
• Merokok
• Infeksi virus
• Gangguan menelan/disfagia
• Gangguan kesadaran dan ingatan misalnya stroka dan demensia
• Penyakit paru kronis (12,6% pasien dengan PPOK mengalami setidaknya 1 episode
pneumonia dalam jangka 3 tahun)
• Penggunaan kortikosteroid inhalasi
• Diabetes melitus (25,9% pasien pneumonia juga mengalami diabetes. Diabetes berasosiasi
dengan peningkatan lama rawat dan mortalitas pasien)
• Penyakit yang menurunkan daya tahan tubuh
• Penyakit hati kronis
• Penyakit jantung
• Hidup di rumah jompo
• Alkoholisme

PATOFISIOLOGI
GEJALA DAN TANDA
-Sesak nafas,demam mengigil
-Batuk dapat kering maupun produktif,mukoid atau purulen
-nyeri pleuritik
-Gejala GI pada 20% seperti mual,muntah dan diare
Pada pemeriksaan didapatkan Takikardi,takipnea,febris
Palpasi:fremitus taktil meningkat/menurun
Auskultasi:Rhonki basah kasar,suara nafas bronkial,pleural frinction rub

PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Foto toraks: gambaran infiltrat, konsolidasi lobus, atau kavitas. Proyeksi yang dibutuhkan
adalah posteroanterior (PA) dan lateral.
• CT scan: dikerjakan jika secara klinis mendukung ke arah pneumonia namun foto toraksnya
negatif.
• Laboratorium: DPL, hitung jenis, LED, glukosa darah, ureum, kreatinin, AST, ALT, analisis
gas darah, dan elektrolit. Umumnya terdapat leukositosis (biasanya 15.000-30.000/mm')
dengan hitung jenis shift to the left. Leukopenia juga dapat ditemukan (prognosis buruk).
• Mikrobiologi: untuk pasien pneumonia komunitas rawat jalan, sifatnya opsional. Pada pasien
rawat inap, untuk mencari etiologi spesifik dan melihat pola resistensi (Tabel 111.4).
Penanda biologis: pemeriksaan C-reactive protein (CRP) dan prokalsitonin (PCT) untuk
diagnosis dan menilai prognosis pneumonia. Tidak rutin dilakukan.

DIAGNOSIS
Diagnosis pneumonia pada orang dewasa ditegakkan melalui gambaran klinis yang sesuai
gambaran radiologis berupa infiltrat/air bronchogram. Diagnosis pneumonia pada anak
merupakan diagnosis klinis, tidak perlu foto toraks untuk menegakkan diagnosis pneumonia
pada anak

DIAGNOSIS BANDING
• Bronkitis akut: tidak sesak, tidak ada ronkhi basah kasar, presentasi ringan, sering berkaitan
dengan infeksi virus saluran napas atas. Dari foto toraks tidak ditemukan konsolidasi.
• Gagal jantung kongestif: ditemukan edema perifer, kardiomegali, hipotensi.
• Eksaserbasi PPOK: peningkatan dahak, batuk, dan sesak pada pasien dengan latar belakang
PPOK. Pasien merupakan perokok. Foto polos menunjukkan hiperinflasi.
• Tuberkulosis (TB): biasanya bersifat kronis dengan gejala konsitusional, ada kontak pasien
TB. Pada foto polos dapat ditemukan kavitasi.
• Bronkiolitis: pada anak terdengar suara napas tambahan berupa mengi, dada hipersonor, dan
gambaran hiperinflasi paru pada foto toraks.

KLASIFIKASI
Berdasarkan klinis dan epidemiologi, pneumonia dibedakan atas
(1) pneumonia komunitas,
(2) pneumonia didapat di rumah sakit, dan
(3) pneumonia akibat pemakaian ventilator. Pneumonia didapat di rumah sakit terjadi 48 jam
atau lebih setelah pasien masuk ke rumah sakit dan tidak sedang dalam masa inkubasi saat
pasien mulai masuk rumah sakit.

Berdasarkan distribusi anatominya, pneumonia dibedakan menjadi pneumonia lobaris dan


bronkopneumonia.

Klasifikasi pneumonia pada anak, berdasarkan WHO yang menggunakan kriteria klinis untuk
diagnosis pneumonia pada daerah dengan keterbatasan sarana:
• Pneumonia dengan napas cepat: napas cepat (250 kali/menit pada usia 2 bulan hingga 1
tahun, (240 kali/menit pada usia 1-5 tahun)
• Pneumonia dengan retraksi: terdapat retraksi dengan atau tanpa napas cepat
• Pneumonia berat: tidak dapat makan/minum, kejang, letargis, malnutrisi berat

TERAPI DAN PENCEGAHAN


Terapi awal berupa oksigen, antipiretik, dan antibiotik empirik berdasarkan epidemiologi
kemudian disesuaikan berdasarkan hasil kultur. Lama terapi umumnya selama 7-10 hari,
minimal diberikan 5 hari dengan periode bebas demam 48-72 jam. Pada infeksi M.
pneumoniae dan C. pneumoniae, antibiotik diberikan selama 10-14 hari. Pasien dengan terapi
steroid jangka panjang, antibiotik diberikan selama 14 hari atau lebih. Penting untuk edukasi
berhenti merokok, etika batuk, serta vaksinasi pneumococcus dan influenza sebagai
pencegahan.

Pada anak, antibiotik diberikan berdasarkan gejala klinisnya:

• Pneumonia dengan pernapasan cepat


Dapat rawat jalan Amoksisilin PO 2x40 mg/KgBB/kali (80 mg/ kg/hari) selama 5 hari. Pada
area dengan prevalensi HIV rendah, berikan amoksisilin selama 3 hari.
• Alternatif antibiotik: koamoksiklav, azitromisin, eritromisin.

Pneumonia dengan retraksi


• Rawat inap bila ada indikasi atau dapat rawat jalan dengan edukasi caregiver
• Amoksisilin PO 2x40 mg/kgBB/kali (80 mg/kg/ hari) selama 5 hari atau •Antibiotik intravena
bila tidak dapat minum obat per oral.

Pneumonia sangat berat (dengan tanda bahaya)


•Rawat inap
•Ampisilin IV 50-100 mg/kgBB/hari setiap 6 jam
selama minimal 5 hari, DAN
•Usia < 2 bulan: gentamisin 1x7,5 mg/KgBB IM selama minimal 5 hari
•Usia >2 bulan: dapat kombinasi dengan kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari setiap 6 jam •Jika
gagal, dapat menggunakan seftriakson sebagai pengobatan lini kedua, dengan dosis 1x50
mg/kgBB IV

Manajemen nonfarmakologis pada anak dengan pneumonia berat:


• Berikan oksigen dengan target saturasi >95%
• Suction jika ada sekret kental di tenggorokan yang tidak dapat dikeluarkan
• Penuhi kebutuhan cairan rumatan sesuai umur, anjurkan ASI dan cairan oral.
• Pada anak dengan distres pernapasan berat, pemberian makanan per oral sebaiknya dihindari.
Berikan melalui nasogastric tube atau intravena.
• Fisioterapi dada tidak bermanfaat pada anak sehingga tidak direkomendasikan.

KOMPLIKASI
• Pneumonia ekstrapulmonal, 10% kasus terjadi meningitis, artritis, endokarditis, perikarditis,
peritonitis, atau empiema.
• Gagal jantung: insidens pada pasien pneumonia komunitas di rawat inap adalah 14,1%
• Efusi pleura: terjadi pada 57% pasien yang di rawat inap akibat pneumonia dan 2-12% pasien
anak dengan pneumonia.
•Acute respiratory distress syndrome (ARDS).
• Pneumotoraks: terjadi pada 1% pasien anak dengan pneumonia.

KRITERIA RUJUKAN
Rujukan ke ahli respirologi dapat dilakukan jika skor CURB-65 >2, saturasi oksigen <92%,
memiliki komorbiditas yang signifikan, dan pasien dengan pneumonia berat. Anak dengan
saturasi oksigen <92% harus dirujuk ke rumah sakit untuk penilaian dan tata laksana lebih
lanjut.

PROGNOSIS
Prognosis ditentukan oleh 3 faktor utama: usia pasien, kesehatan secara umum (ada tidaknya
komorbiditas), dan setting terapi antibiotik. Laju mortalitas pada pasien rawat jalan adalah
<1%, sementara pasien rawat inap bervariasi dari 5-15%, meningkat menjadi 20-50% pada
pasien ICU.

LO 5 Pertusis dan pneumoconiosis


Pertusiss
DEFINISI
Penyakit infeksi akut akibat bakteri Bordetella pertussis. Pertusis disebut juga
whooping cough, batuk rejan, batuk seratus hari.
EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan data dari WHO, kasus pertusis pada tahun 2008 mencapai 16 juta kasus.
Sekitar 95% terjadi di negara berkembang, menyebabkan 195.000 kematian.

ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


.pertussis adalah bakteri kokobasil gram negatif. Bakteri ini memproduksi toksin
pertusis (PT),filamentous hemagglutinin (FHA), aglutinogen,pertactin, adenilat siklase,
dan sitotoksin trakeal. Transmisi melalui droplet, bakteri masuk melalui aluran napas,
dan menempel pada silia epitel respiratorik kemudian menghasilkan toksin. Toksin
melumpuhkan silia dan menyebabkan respon inflamasi sehingga menyebabkan
gangguan bersihan sekret saluran pernapasan. Pada pertusis terjadi respons imun berupa
limfositosis namun terdapat gangguan kemotaksis. Masa inkubasi umumnya 7-10 hari,
dapat memanjang hingga 21 hari. Perjalanan penyakit dibagi ke dalam 3 stadium:
• Stadium kataral (1-2 minggu): awitan mendadak dari gejala rhinorrhea, bersin,
demam ringan batuk ringan. Pada stadium ini risiko penularan sangat tinggi.
• Stadium paroksismal (2-6 minggu): terjadi kesulitan mengeluarkan mukus dari
saluran napas sehingga terjadi batuk paroksismal keras, cepat, terus-menerus bahkan
anak dapat tampak sianotik. Serangan batuk diawali dengan inspirasi panjang (high-
pitched whoop), dapat diakhiri dengan muntah (posttusive vomiting) atau kelelahan.
• Stadium konvalesens (2-3 minggu hingga bebe- rapa bulan): batuk berkurang secara
bertahap.

FAKTOR RISIKO
Riwayat vaksinasi tidak lengkap
• Tinggal serumah/kontak erat dengan penderita pertusis (100% pada individu yang
rentan, 80% pada individu yang sudah vaksinasi atau pernah terinfeksi).

GEJALA DAN TANDA


Demam,sianotik,pendarahan konjungtiva,Rhinorrhea,bersin,Batuk paroksimal dan
muntah
PEMERIKSAAN PENUNJANG

• Darah perifer lengkap: leukositosis (15.000- 100.000 sel/mm), limfositosis absolut


• Antibodi IgG terhadap toksin pertusis (akhir fase kataral atau paroksismal)
• Diagnosis definitif: kultur swab nasofaring pade media Bordet-Gengou dengan media
transpor Regan-Lowe (fase kataral atau paroksisma
• PCR dari spesimen nasofaring (fase kataral atau paroksismal).

DIAGNOSIS
Diagnosis pertusis dapat ditegakkan secara klinis (batuk >2 minggu dengan gejala
batuk rejan, paroksismal, atau posttusive vomiting memiliki sensitivitas 81% dan
spesifisitas 58%).

DIAGNOSIS BANDING
Infeksi Adenovirus: demam, nyeri tenggorok, konjungtivitis; .
Infeksi Mycoplasma: demam, nyeri kepala, ronki basah pada auskultasi paru.

TERAPI DAN PENCEGAHAN


• Isolasi selama 4 minggu;
Terapi suportif: oksigen, cairan, dan nutrisi sesuai kebutuhan;
• Observasi ketat terutama pada bayi untuk melihat tanda hipoksia; Farmakologi
Kortikosteroid, B-adrenergik: belum terdapat bukti ilmiah untuk pertusis.
• Antibiotik untuk terapi dan profilaksis pada kontak erat.
Usia dibawah 1 bulan:Azitromisin 10 mg/kgBB/hari selama 5 hari
Usia diatas 6 bulan Hari 1:10 mg/kg/BB/hari 2-5:5 mg/kgBB/hari(Maksimal 250 mg)
Remaja Hari 1:500 mg
Hari 2-5:250 mg
Pencegahan: vaksinasi (DTPW/whole cell atau DTPA/acellular pada usia 2, 3, 4 bulan,
ulangan pada usia 18 bulan dan 5 tahun);
KOMPLIKASI
• Infeksi sekunder berupa pneumonia (25%);
• Kejang (4%) dan ensefalopati (1%) akibat hipoksia;
• Dehidrasi akibat muntah.

KRITERIA RUJUKAN
Pertusis pada usia <6 bulan atau dengan komplikasi merupakan indikasi rawat. Bila
terdapat komplikasi dapat dirujuk ke dokter spesialis anak.

PROGNOSIS
Prognosis lebih buruk pada usia lebih muda, terutama akibat ensefalopati dan
pneumonia hingga menyebabkan kematian. Pertusis dapat menimbulkan sekuele berupa
wheezing saat dewasa.

Pneumoconiasis
Definisi
Istilah pneumokoniosis berasal dari bahasa yunani yaitu "pneumo" berarti paru dan
"konis" berarti debu. Terminologi pneumokoniosis pertama kali digunakan untuk
menggambarkan penyakit paru yang berhubungan dengan inhalasi debu mineral.
Pneumokoniosis digunakan untuk menyatakan berbagai keadaan berikut:
1. Kelainan yang terjadi akibat pajanan debu anorganik seperti silika (silikosis), asbes
(asbestosis) dan timah (stannosis)
2.Kelainan yang terjadi akibat pekerjaan seperti pneumokoniosis batubara
3. Kelainan yang ditimbulkan oleh debu organik seperti kapas (bisinosis)

Epidemiologi
Data prevalensi pneumokoniosis bervariasi pada tiap negara di dunia. Data SWORD di Inggris
tahun 1990-1998 menunjukkan kasus pneumokoniosis sebesar 10%. Di Kanada, kasus
pneumokoniosis pada tahun 1992-1993 sebesar 10%, sedangkan data di Afrika Selatan tahun
1996- 1999 sebesar 61%.Jumlah kasus kumulatif pneumokoniosis di Cina dari tahun 1949-
2001 mencapai 569 129 dan sampai tahun 2008 mencapai 10 963 kasus. Di Amerika Serikat,
kematian akibat pneumokoniosis tahun 1968-2004 mengalami penurunan, pada tahun 2004
ditemukan sebanyak 2531 kasus kematian.data di di Indonesia belum ada

Patogenesis pneumokoniosis
dimulai dari respons makrofag alveolar terhadap debu yang masuk ke unit respirasi paru.
Terjadi fagositosis debu oleh makrofag dan proses selanjutnya sangat tergantung pada sifat
toksisitas partikel debu. Reaksi jaringan terhadap debu bervariasi menurut aktivitas biologi
debu. Jika pajanan terhadap debu anorganik cukup lama maka timbul reaksi inflamasi awal.
Gambaran utama inflamasi ini adalah pengumpulan sel di saluran napas bawah. Alveolitis
dapat melibatkan bronkiolus bahkan saluran napas besar karena dapat menimbulkan luka dan
fibrosis pada unit alveolar yang secara klinis tidak diketahui. Sebagian debu seperti debu
batubara tampak relatif inert dan menumpuk dalam jumlah relatif banyak di paru dengan reaksi
jaringan yang minimal.Debu inert akan tetap berada di makrofag sampai terjadi kematian oleh
makrofag karena umurnya, selanjutnya debu akan keluar dan difagositosis lagi oleh makrofag
lainnya, makrofag dengan debu di dalamnya dapat bermigrasi ke jaringan limfoid atau ke
bronkiolus dan dikeluarkan melalui saluran nafas
Diagnosis
Diagnosis pneumokoniosis tidak dapat ditegakkan hanya dengan gejala klinis. Ada tiga kriteria
mayor yang dapat membantu untuk diagnosis pneumokoniosis. Pertama, pajanan yang
signifikan dengan debu mineral yang dicurigai dapat menyebabkan pneumokoniosis dan
disertai dengan periode laten yang mendukung. Oleh karena itu, diperlukan anamnesis yang
teliti mengenai kadar debu di lingkungan kerja, lama pajanan dan penggunaan alat pelindung
diri serta kadang diperlukan pemeriksaan kadar debu di lingkungan kerja. Gejala seringkali
timbul sebelum kelainan radiologis seperti batuk produktif yang menetap dan atau sesak napas
saat aktivitas yang mungkin timbul 10-20 tahun setelah pajanan. Kedua, gambaran spesifik
penyakit terutama pada kelainan radiologi dapat membantu menentukan jenis pneumokoniosis.
Gejala dan tanda gangguan respirasi serta abnormalitas faal paru sering ditemukan pada
pneumokoniosis tetapi tidak spesifik untuk mendiagnosis pneumokoniosis. Ketiga, tidak dapat
dibuktikan ada penyakit lain yang menyerupai pneumokoniosis. Pneumokoniosis kemungkinan
mirip dengan penyakit interstisial paru difus seperti sarkoidosis, idiophatic pulmonary fibrosis
(IPF) atau inter- stitial lung disease (ILD) yang berhubungan dengan penyakit kolagen
vaskular. Beberapa pemeriksaan penunjang diperlukan untuk membantu dalam diagnosis
pneumokoniosis yaitu pemeriksaan radiologi, pemeriksaan faal paru dan analisis debu
penyebab.
Pemeriksaan Radiologi
• Foto Toraks
Pada pneumokoniosis digunakan klasifikasi standar menurut International Labour Organization
(ILO) untuk interpretasi gambaran radiologi kelainan parenkim difus yang terjadi. Klasifikasi
ini digunakan untuk keperluan epidemiologik penyakit paru akibat kerja dan mungkin untuk
mem- bantu interpretasi klinis.Perselubungan pada pneumokoniosis dibagi dua golongan yaitu
perselubungan halus dan kasar.
• Computed Tomography (CT) scan Computed tomography (CT) scan bukan merupakan
bagian dari klasifikasi pneumokoniosis secara radiologi. Pemeriksaan CT mungkin sangat
bermanfaat secara indi- vidual untuk memperkirakan beratnya fibrosis interstisial yang terjadi,
menilai luasnya emfisema dan perubahan pleura atau menilai ada tidaknya nekrosis atau abses
yang bersamaam dengan gambaran operasi yang ditemukan. High resolution CT (HRCT) lebih
sensitif dibanding radiologi konvensional untuk evaluasi abnormalitas parenkim pada
asbestosis, silikosis dan pneumokoniosis lainnya. Gambaran paling sering HRCT pada
pneumokoniosis adalah nodular sentrilobular atau high attenuation pada area percabangan
seperti gambaran lesi bronkiolar. Fibrosis interstisial mungkin bermanifestasi bronkiektasis
traksi, sarang tawon/honey comb atau hyperattenuation. Gambaran HRCT yang khas pada
silikosis, pneumokoniosis batubara dan asbestosis adalah terdapat opasitas halus (small nodular
opacities) yang predominan pada zona paru atas (upper zone). Gambaran opasitas halus pada
HRCT ada 2 karakteristik (1) ill-defined fine branching lines dan (2) well-defined discrete
nodules. Asbestosis menunjukkan gambaran garis penebalan interlobular dan intralobular,
opasitas subpleura atau curvilinier dan honey comb, predominan terdistribusi pada basal parual
paru. Gambaran HRCT pada jenis pneumokoniosis lainnya bervariasi dan tidak spesifik,
masing-masing mempunyai karakteristik sendiri.

Pemeriksaan Faal Paru


Pemeriksaan faal paru diperlukan untuk 2 tujuan yaitu studi epidemiologi pekerja yang
terpajan debu dan diagnosis penyakit paru akibat kerja. Pemeriksaan faal paru memerlukan
pemeriksaan volume paru dengan spirometri dan pemeriksaan kapasitas difusi (DLco), namun
tidak selalu tersedia. Pemeriksaan faal paru juga diperlukan untuk menilai hendaya yang telah
terjadi." Pada pneumokoniosis dapat ditemukan nilai faal paru normal atau bisa juga terjadi
obstruksi, restriksi ataupun campuran.' Sebagian besar penyakit paru difus yang disebabkan
debu mineral berhubungan dengan kelainan restriksi karena terjadi fibrosis di parenkim paru.
Pada kasus dengan fibrosis interstisial yang luas umumnya terjadi penurunan kapasitas
difusi.Inflamasi, fibrosis dan distorsi pada saluran napas dengan konsekuensi terjadi obstruksi
saluran napas dapat ditemukan pada beberapa kondisi. Karena tingginya prevalensi perokok
pada populasi pekerja industri, sering sulit dibedakan apakah obstruksi yang terjadi karena efek
debu terinhalasi atau efek rokok.
Tata Laksana Pneumokoniosis
tidak akan mengalami regresi, menghilang ataupun berkurang progresivitasnya hanya dengan
menjauhi pajanan. Tata laksana medis umumnya terbatas hanya pengobatan simptomatik.Tidak
ada pengobatan yang efektif yang dapat menginduksi regresi kelainan ataupun menghentikan
progresivitas pneumokoniosis. Pencegahan merupakan tindakan yang paling penting. Regulasi
dalam pekerjaan dan kontrol pajanan debu telah dilakukan sejak lama terutama di negara
industri dan terus dilakukan dengan perbaikan-perbaikan. Pada bentuk pneumokoniosis
subakut dengan manfaat yang didapat untuk efek jangka panjangnya terutama jika bahan
penyebab masih ada di paru. Menjaga kesehatan dapat dilakukan nseperti berhenti merokok,
pengobatan adekuat dilakukan bila dicurigai terdapat penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
dan pencegahan infeksi dengan vaksinasi dapat diper- timbangkan.

Anda mungkin juga menyukai