Anda di halaman 1dari 7

Kelompok 7 ushul fiqih

A. JAYA BHAHARUDDIN YUSUF_(20422047)


B. DHEAJENG AYU PUSPITA WATI_(20422193)
C. DIAN NOPRIANTI_(20422030)
D. SAFIRA NURMADINAH_(20422045)

Bab IV
Hukum Melakukan Sesuatu yang Belum Diketahui
Hukumnya
A. Sebab-sebab diwajibkannya seseorang mengikuti hukum
• Para ulama telah menetapkan bahwa sesungguhnya wajib atas seseorang itu untuk
mengetahui hukum tentang apa yang akan dikerjakan atau yang akan diucapkannya. Agar
perbuatan dan ucapannya ini tidak melanggar aturan agama hingga terjatuh kepada yang
haram.
• Suatu larangan mengikuti apa-apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya . Terdapat di QS. Al-Israa (17): 36 berikut:
‫ولٓئِكَ كَا نَ َع ْنهُ َم ْسئُوْ اًل‬
ٰ ُ‫ص َر َوا ْلفُؤَ ا َد ُكلُّ ا‬
َ َ‫ك بِ ٖه ِع ْل ٌم ۗ اِ َّن ال َّس ْم َع َوا ْلب‬ َ ‫َواَل تَ ْقفُ َما لَـي‬
َ ‫ْس لَـ‬

Artinya : ““Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu
akan diminta pertanggungjawabannya.”
• Al-Qasimi di dalam tafsirnya menegaskan bahwa yang dilarang di dalam ayat (QS. Al-
Israa (17): 36) itu tidak hanya perkataan saja, tetapi perbuatan juga termasuk ke dalam
kategori yang dilarang. Jika ingin amal ibadah yang dilakukan itu diterima, maka
mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengannya adalah syarat yang tidak boleh
ditinggalkan.
• Hal ini dipertegas pula oleh sahabat Nabi, Umar bin Khattab ra. Telah diriwayatkan
bahwa sesungguhnya Umar bin Khattab ra. dahulu (ketika menjadi seorang khalifah)
melarang siapa saja yang belum memahami perkara jual beli dalam tinjauan hukum Islam
untuk berjualan di pasar yang ada di wilayah Islam. Beliau (Umar bin Khattab) berkata,
“Jangan berjualan di pasar kami (pasar-pasar masyarakat Islam) kecuali orang yang telah
memahami urusan agama (Islam).”
• Jika jual beli yang sifatnya hubungan antar manusia saja dilarang bila tanpa ilmu,
apalagi ibadah yang merupakan hubungan antara hamba dengan Allah sang pencipta.
akhirat. Sebaliknya, orang yang enggan mengikuti dan menerapkan hukum syar’i dalam
kehidupan sehari-harinya akan merasakan kemudaratan,kerugian, kekalahan, kegelapan,
dan kekacauan di dunia maupun di akhirat. Tidak ada pilihan lain kecuali mengikuti dan
menerapkan setiap hukum syar’i yang telah ditentukan syariat agama Islam
B. Sebab diwajibkannya seseorang mengikuti hukum syar’i
• Hikmah yang terkandung dalam penerapan hukum syar’i ini kadang tampak,
namun kadang tidak tampak. Hal ini tentu ada maksud dan tujuan yang harusnya tidak
membuat “menurun” ibadah yang dilakukan. Karena, bila semua hikmah dari penerapan
hukum itu ditampakkan, maka bisa jadi amal ibadah seseorang itu hanya tertuju kepada
manfaat duniawi saja dan melupakan tujuan utama dari amal ibadah, yaitu kesuksesan
dunia akhirat dengan rida Allah. Bila manusia terjebak dalam keadaan beramal ibadah
untuk mencari keuntungan duniawi saja, maka dia tidak akan mendapatkan balasan di
akhirat dari amal ibadah yang dilakukannya itu kecuali neraka, walaupun di dunia dia
mendapatkan apa yang diinginkannya.
• Hal ini sebagaimana firman Allah QS. Hud (11): 15-16 berikut:
‫ْس لَهُ ْم فِ ْي ااْل ٰ ِخ َر ِة اِاَّل النَّا ُر ۖ  َو َحبِطَ َما‬ ٓ ٰ ُ‫م ْن كَا نَ يُر ْي ُد ْالح ٰيوةَ ال ُّد ْنيا و ز ْينَتَها نُوفِّ الَ ْيهم اَ ْعما لَهُم ف ْيها وهُم ف ْيها اَل يُ ْب َخسُوْ نَ ● ا‬
َ ‫ولئِكَ الَّ ِذ ْينَ لَـي‬ َ ِ ْ َ َ ِ ْ َ ِْ ِ َ َ ِ َ َ َ ِ َ
ْ‫صنَعُوْ ا فِ ْيهَا َو ٰب ِط ٌل َّما كَا نُوْ ا يَ ْع َملُو‬
َ
Artinya:
“Siapapun di antara kita yang menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya
(kenikmatannya), niscaya Kami berikan kepada mereka balasan dari amalan mereka
didunia dengan sempurna, dan mereka di dunia ini tidak akan dirugikan. Itulah orang
orang yang tidak akan memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah diakhirat itu
apa yang telah mereka usahakan (dari amal saleh) di dunia dan akan menjadi merugi apa
yang dilakukan.”
• Diantaranya perhiasan atau kenikmatan dunia adalah wanita, anak keturunan,kekayaan
dari emas, perak, kuda perang, binatang ternak, kebun, dan lainnya.
• Jika dunia adalah tujuan dari beramal ibadah, maka hal ini tidak akan keluar dari dua
kemungkinan berikut:
A).Pertama, bila amal ibadah yang dilakukan adalah murni dalam hal ibadah saja seperti
salat, puasa, dan yang lainnya. Maka amalnya ini akan menjadi fasid atau rusak dan tidak
dianggap menurut pandangan syariat agama Islam.
B).Kedua, bila amal ibadah yang dilakukan mengandung nilai ibadah dan yang lainnya
seperti manfaat untuk orang lain, silaturahmi, dan meninggalkan keharaman.
Seperti infak,zakat, silaturahmi atau berkunjung di kediaman saudara sesama muslim,
memberikan salam, dan lainnya, maka amalannya ini dianggap dan bisa menggugurkan
kewajiban, menghapus dosa dan kesalahan, namun dia tidak berhak mendapatkan balasan
pahala di akhirat.
sebab diwajibkannya seorang hamba atau manusia mengikuti dan menerapkan hukum
syar’i adalah untuk mendapatkan kemaslahatan, keuntungan, kesuksesan, kemenangan,
dan kedamaian di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya, orang yang enggan mengikuti
dan menerapkan hukum syar’i dalam kehidupan sehari-harinya akan merasakan
kemudaratan,kerugian, kekalahan, kegelapan, dan kekacauan di dunia maupun di akhirat.
Tidak ada pilihan lain kecuali mengikuti dan menerapkan setiap hukum syar’i yang telah
ditentukan syariat agama Islam

C. Cara mengetahui hukum dari suatu perbuatan


Di antara usaha yang bisa dilakukan untuk mengetahui hukum dari suatu perbuatan
adalah sebagai berikut;
1.Kondisi ketika seseorang itu mampu berijtihad atau mampu merumuskan suatu
keputusa hukum dari dalil Al-Qur’an atau sunah, biasanya disebut dengan mujtahid atau
mufti. Tentu tidak setiap orang adalah mujtahid atau mufti yang mampu mengeluarkan
hukum dari suatu dalil, mengingat syarat yang tidak sedikit yang harus dipenuhi oleh
seorang mujtahid. Di antara syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang mujtahid
adalah ;
a. Menguasai ilmu bahasa Arab secara mendalam hingga cabang-cabang dari
pembahasan ilmu bahasa Arab.
b. Memahami ilmu ushul fiqh dengan baik. Karena ilmu ushul fiqh adalah pondasi
sekaligus tiang dari sebuah ijtihad.
c. Mengetahui dan memahami ayat-ayat ahkam yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Salah
satu ulama yang menyusun kitab tafsir tentang ayat-ayat ahkam adalah Muhammad Ali
as-Shabuni.
d. Mengetahui dan memahami hadis ahkam secara bahasa maupun secara syariat atau
istilah
e. Mengetahui permasalahan-permasalahan yang telah menjadi ijmak ulama, hingga dia
tidak mengeluarkan sebuah fatwa yang akhirnya bertentangan dengan fatwa ualma
terdahulu.
f. Mengetahui dan memahami qiyas atau analogi serta syarat-syarat seorang mujtahid
lainnya yang tentunya bukan ruang kita untuk membahasnya disini.
g. Kondisi ketika seseorang itu tidak mampu mengeluarkan ijtihad, atau bahasa lainnya
adalah bukan seorang mujtahid atau mufti (awam). Maka yang harus dilakukannya adalah
bertanya kepada ulama yang ada di sekitar tempatnya tinggal atau ulama yang bisa
dihubunginya. Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. An-Nahl (16): 43,
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu kecuali orang-orang lelaki yang Kami
beri wahyu kepada mereka. Maka bertanyalah kamu kepada ahli zikir (ulama) jika kamu
tidak mengetahui.”
• Sahabat Nabi, Ibnu Abbas berpendapat bahwa ahli zikir adalah orang yang memiliki
ilmu syar’i dan orang yang memahami Al-Qur’an. Ahli zikir juga dipahami sebagai
ulama menurut ulama tafsir yang lain.
Di dalam ayat lain Allah berfirman, “Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara
mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi
peringatan kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya
D. Adab murid kepada guru atau adab penanya kepada yang ditanya
Bertanya pada para ulama merupakan kewajiban untuk mendapatkan hukum dari
suatu perbuatan yang akan dilakukan. Bertanya kepada seorang ulama tidak sama
dengan kita bertanya kepada orang biasa, tentu ada adab-adab yang harus dipenuhi agar
proses bertanya berjalan dengan baik dan mendapatkan hasil berupa jawaban yang baik.
Berikut ini adalah beberapa adab yang harus dipenuhi seorang awam yang hendak
bertanya:
- orang awam hendaknya menjaga beberapa aspek adab, diantaranya adalah:
memberikan salam penghormatan kepadanya, duduk didepannya, tidak menunjuk
dengan tangan kearah mukanya, tidak bertanya terlalu banyak, jangan mendesaknya
ketika dia sedang malas, jangan membantunya jika menjawab kecuali diminta, jangan
berghibah didekatnya, jika ia keliru maka terimalah alasannya, dll
- menghormatinya dengan cara mengangkat kedudukannya. Seperti menyampaikan
pujian yang pantas kepadanya sebelum melontarkan pertanyaan atau menyampaikan
kekurangan diri sendiri didepannya. Jika allah saja memuliakan dan mengangkat derajat
para ulama mengapa seorang awam tidak mengetahui ini dan tidak memberikan
penghormatan kepada ulama
- orang awam hendaknya tidak bertanya kepada seorang ulama ketika dia sedang
gundah, sedih, marah dan sibuk. Karena hal ini akan menyebabkan ulama tersebut tidak
focus ketika memberikan jawaban dan cenderung jawaban yang diberkan tidak
maksimal.
- Sebagian ulama berpendapat bahwa orang awam hendaknya tidak menanyakan
tentang dalil dari jawaban yang disampaikan oleh ulama, karena bisa saja ulama tersebut
lupa dalilnya dan terkesan tidak ada rasa percaya dari seorang awam kepada ulama.

Adab-adab ini penting untuk diketahui dan harus diamalkan agar mendapatkan berkah.

E. kepada siapa harusnya orang awam bertanya


Tidak semua orang awam tau kepada siapa harus bertanya dan tidak semua orang layak
untuk dijadikan tempat bertanya. misalkan saja urusan duniawi, kita tidak boleh bertanya
kepada yang bukan ahlinya apalagi dalam masalah akhirat yang dampaknya didunia dan
diakhirat. seperti bertanya kedokteran kepada ahli perikanan tentu jawaban yang
diberikan akan sangat relative dan tidak meiliki standar kebenaran yang baku. kurangnya
perhatian para dai panggung untuk menyampaikan hal ini kepada umat juga menjadi
penyebab orang awam tidak tau harus bertanya kepada siapa. Sebagai solusinya adalah
ada beberapa syarat yang harus dimiliki ulama untuk dijadkan tempat bertanya:
- Hendaknya orang awam bertanya kepada seorang ulama yang mengetahui ilmu
secara luas dan mendalam seperti permasalahan ibadah dan muamalah maka harusnya hal
seperti ini ditanyakan kepada ahli fiqh yang memiliki ilmu yang luas dalam hal tersebut.
Dan juga permasalahan hadist nabi hendaknya ditanyakan kepada ulama hadist juga
permasalahan tafsir al-quran hendaknya ditanyakan kepada ulama tafsir yang memang
focus mendalami hal tersebut
-Hendaknya orang awam bertanya kepada seorang ulama yang telah ditetapkan menjadi
mufti atau tempat bertanya dalam masalah agama disuatu kota atau Negara.
-Hendaknya orang awam bertanya kepada ulama yang dijadikan rujukan ulama lainnya.
Jika para ulama mempercayai seorang ulama untuk dijadikan rujukan maka orang awam
bisa menjadikan ulama tersebut sebagai tempat bertanya dalam masalah keseharian yang
belumdiketahui hukumnya.
-Hendaknya orang awam bertanya kepada ulama yang telah tersebar luas di masyarakat
sebagai ulama yang dijadikan tempat bertanya oleh orang banyak. Ulama seperti ini
setidaknya lebih menyelamatkan daripada bertanya kepada ulama yang tidak jelas
keilmuannya.
-Hendaknya orang awam bertanya kepada seorang ulama yang karakter dan
kepribadiannya menunjukkan bahwa dirinya adalah tempat yang baik untuk bertanya. Hal
ini bisa kita lihat dari

F. Sikap orang awam ketika terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama


Argumentasi kalangan awam dan “baru ngaji”, ketika dikatakan ada khilaf ulama dalam
suatu perkara, salah satunya adalah, “Kan Nabinya satu, masa bisa beda
pemahamannya?”
Orang-orang seperti ini tentu tak pernah belajar, bahwa salah satu contoh yang sangat
masyhur dalam kitab-kitab Tarikh Tasyri’ (sejarah hukum Islam, ed) atau Pengantar
Fiqih, adalah perbedaan pendapat shahabat terhadap perintah Nabi, “Janganlah salah
seorang dari kalian shalat ‘Ashar, kecuali di (perkampungan) Bani Quraizhah”.
Sebagian shahabat memahami perintah ini secara zhahirnya (tekstual, ed), yaitu tidak
boleh shalat ‘Ashar, kecuali di perkampungan Bani Quraizhah. Akhirnya, karena mereka
baru sampai di Bani Quraizhah pada malam hari, mereka baru mengerjakan shalat ‘Ashar
di malam hari, di luar waktu normalnya.
Sedangkan sebagian shahabat lain memahami makna yang tersirat dari perintah ini,
yaitu agar mereka bersegera menuju Bani Quraizhah, hingga bisa sampai di sana pada
waktu ‘Ashar. Namun karena mereka tidak mampu mencapainya di waktu ‘Ashar,
mereka memilih shalat ‘Ashar di perjalanan, pada waktunya.
G. Sikap orang awam ketika seorang mufti atau ulama merubah pendapatnya
karena masalah ikhtilaf (perbedaan Persoalan khilafiyah(perbedaan pendapat)
dalam pelaksanaan syariat dan ilmu fiqih bukanlah hal baru dalam Islam. Banyak di
antara umat muslim sering berbeda pendapat bahkan berdebat hanya).
Belajar ilmu fiqih tentu saja kita akan mendapatkan begitu banyak pendapat para
ulama yang berbeda-beda. Perbedaan pendapat itu kadang tidak hanya terjadi di antara 4
mazhab saja, tapi juga terjadi di dalam satu mazhab itu sendiri.
Sebagai contoh ketika kita membaca Kitab Kifayatul Akhyar dalam Mazhab
Syafi'imaka akan kita temukan adanya beberapa perbedaan pendapat antara ulama
sesama Mazhab Syafi'i.Bukankah kita sepakat bahwa kita harus kembali kepada Al-
Qur'andan As-Sunnah. Bukankah seluruh ulama yang ada juga semuanya memakai Al-
Qur'an dan As-Sunnah.
Bahkan mungkin bisa bingung dengan ungkapan-ungkapan yang ada dalam kitab fiqih
seperti ungkapan qoola Abu Hanifah, qoola Malik, qoola Syafi’i, qoola Ahmad bin
Hanbal, qoola Nawawi dan lain-lain. Kenapa tidak langsung saja menyebut menurut Al-
Qur'an dan As-Sunnah adalah begini.
Bagi orang yang sudah belajar dan mendalami ilmu fiqih maka akan mengetahui
bahwa ilmu fiqih itu adalah ilmu yang didasari atas dalil-dalil syar'i. Dalil-dalil syar'i itu
bukan hanya Al-Qur'an dan as-Sunnah saja.Dalil-dalil fiqih yang disepakati ulama di
antaranya adalah Al-Quran, Al-Hadis, Al-Ijma' dan Al-Qiyas. Adapun dalil yang
diperselisihkan ulama di antaranya ada dalil Maslahah Mursalah, Saddu adz-Dzariah,
istishab, amalu ahlil madinah, istihsan, urf dan syar’u man qoblana. Sehingga dengan
banyaknya dalil yang ada ini bisa menyebabkan adanya perbedaan pendapat di antara
para ulama.
H. Sikap Orang Awam jika tidak ada Mujtahid atau Mufti
Sikap Muslim Awam ketika Mendapati Keragaman Fatwa Ulama — Dalam khazanah
ilmu Islam, banyak dijumpai keragaman pendapat antar ulama dalam satu permasalahan
yang sama. Ulama sepakat, bahwa keragaman pendapat—dalam makna ikhtilaf, yakni
keragaman pendapat yang dibangun di atas dalil, adalah bentuk rahmat Allah ‘azza
wajalla kepada hamba-Nya.
Banyak sekali keragaman pendapat yang dapat kita jumpai di sekitar. Dalam bab shalat
saja, dijumpai barangkali lebih dari seratus persoalan di mana para ulama saling berbeda
pendapat. Ada ulama yang berpendapat sedekap setelah rukuk itu tidak ada contohnya
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga dihukumi bid’ah, sementara ulama lain
berpendapat sedekap setelah rukuk itu adalah gerakan yang masyru’, disyariatkan.
Muslim awam tidak memiliki kapabilitas untuk berijtihad atau berfatwa. Ia tidak
memiliki kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari dalil-dalil syar’i. Satu-satunya
jalan untuk dapat mengetahui hukum dari persoalan baru yang ia hadapi adalah dengan
bertanya kepada seorang ulama atau mufti.
I. Hukum orang awam bertaqlid kepada ulama yang serampangan
Ulama yang serampangan di sini maksudnya adalah para ulama yang terlalu
memudah-mudahkan permasalahan. Misalnya, ada ulama yang ditanya tentang suatu
hukum, dia langsung menjawab sesuai dengan pendapatnya (akalnya) tanpa melihat
kepada dalil nas dan pendapat para sahabat dan pembahasan ulama terdahulu tentang
permasalahan yang ada.
J. Hukum orang awam mengambil yang mudah-mudah ketika terjadi
Menyikapi ‘‘ikhtilaf “ di kalangan ahli hukum Islam tidak bisa dipungkiri dan
dihindarkan. Mau tidak mau, suka tidak suka umat Islam akan merasakan dan
mengalaminya. Kesiapan ilmu pengetahuan dan mental sangat diperlukan agar bias
bersikap bijak ketika hidup di dalam lingkaran perbedaan pendapat yang semakin hari
semakin bertambah.
Lalu bagaimana seharusnya orang awam menyikapi hal ini?
Para ulama menyebutkan adanya ijmak yang melarang orang awam untuk mengambil
dan mengamalkan pendapat yang mudah-mudah ketika terjadi perbedaan pendapat
di kalangan ulama. Artinya, orang awam tidak boleh mengambil dan mengamalkan
pendapat yang mudah dan ringan menurutnya.

K. Hukum orang awam bermazhab


Ada banyak mazhab fikih dalam percaturan umat Islam dari zaman dahulu hingga
hari ini. Yang terkenal tentu empat mazhab, Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan
HambaliBermazhab di sini maksudnya adalah orang awam yang hanya melazimi atau
terus-terusan menggunakan satu mazhab saja dalam setiap praktik ibadah dan
aktivitas hariannya. Mungkin hanya mengikuti mazhab Syafi’iyah saja, karena
mayoritas muslim di Indonesia bermazhab Syafi’iyah. Atau mungkin mazhab yang
lain seperti Hanafiyah, Malikiyah, dan Hambali yang sesuai menurut pengamatan dan
pengeta-huannya. Apakah hal ini dibenarakan atau bagaimana?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak ada keharusan bagi orang awam untuk
melazimi satu mazhab saja.Karena orang awam tidak memiliki kemampuan untuk
memahami istilah-istilah yang digunakan oleh mazhab tersebut. Maka seyogyanya
orang awam bukan mengikuti satu mazhab saja, tapi bertanya kepada ulama(mufti)
yang ada pada masa itu. Selain
Jika ada pertanyaan, para ulama masih saja menulis berdasarkan mazhab-
mazhab tertentu, seperti kitab mazhab Hanafiyah, kitab mazhab Malikiyah, kitab
mazhab Safi’iyah, dan kitab mazhab Hanabalah. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Jawabannya adalah, tulisan-tulisan para ulama ini hanya untuk kepentingan ilmiah
dan kemudahan belajar saja, bukan untuk beramal dengannya. Karena belajar dengan
seperti itu akan memudahkan seorang penuntut ilmu menguasai suatu ilmu dengan
maksimal.

Anda mungkin juga menyukai