Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS : PENANGANAN NYERI KANKER

PADA METASTATIC BONE DISEASE

Oleh:
Exaudi Caesario Parulian Sipahutar
1971061001

Pembimbing:
Dr. dr. I Putu Eka Widyadharma, M. Sc, Sp. S (K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH
DENPASAR, BALI
2021
LAPORAN KASUS : PENANGANAN NYERI KANKER
PADA METASTATIC BONE DISEASE
Exaudi Caesario Parulian Sipahutar1, I Putu Eka Widyadharma2
FK Universitas Udayana/SMF Neurologi RSUP Sanglah Denpasar, Bali

ABSTRAK
Pendahuluan: Nyeri pada penderita kanker dapat memperburuk kualitas hidup penderita dengan mempengaruhi
kondisi fisik dan emosionalnya. Manajemen nyeri kanker meliputi terapi farmakologi, diikuti tindakan operatif,
kemoterapi, dan radioterapi. Manajemen nyeri kanker yang optimal diperlukan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien kanker.
Laporan Kasus: Pasien perempuan usia 55 tahun diantar keluarga dengan keluhan nyeri pada pinggang kanan
dan kirinya sejak 6 bulan lalu, dirasakan seperti tertusuk yang menjalar ke kedua kakinya, terus-menerus dengan
intensitas berat, disertai kesemutan, rasa kebas dari paha hingga telapak kakinya. Nyeri semakin memberat bila
pasien menggerakkan kakinya (NPRS 7-8). Nyeri muncul sejak April 2020 dan memberat dalam 3 bulan
terakhir setelah pasien melakukan terapi radiasi. Pasien terdiagnosis Ca Cervix pada November 2019. Pasien
mendapatkan terapi analgetik yang adekuat dengan perawatan bersama bagian Rehabilitasi Medik, Penyakit
Dalam, Radioterapi, dan APS sehingga derajat nyeri dapat berkurang (NPRS 3-4). Namun keluhan nyeri masih
menetap hingga saat pasien dipulangkan.
Diskusi: Gejala pertama kompresi sumsum tulang belakang biasanya merupakan nyeri pada punggung dan atau
leher, lengan dan atau tungkai, yang terkadang terasa parah. Adanya jaringan kanker dapat menyebabkan
inflamasi dan perubahan metabolisme sel yang memicu kerusakan jaringan serta pelepasan sitokin yang dapat
memicu kanker. Efek massa menyebabkan kompresi, distensi, maupun iskemik jaringan yang pada akhirnya
menimbulkan nyeri. Perawatan untuk kompresi sumsum tulang belakang biasanya melibatkan terapi radiasi ke
area tempat tumor menekan pada tulang belakang.
Kata kunci: nyeri kanker, manajemen nyeri, morfin.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

ABSTRACT
Introduction: Pain in cancer patients can worsen the quality of life of the sufferer by affecting their physical
and emotional condition. Cancer pain management includes pharmacological therapy, followed by surgery,
chemotherapy, and radiotherapy. Optimal cancer pain management is necessary to improve the patient`s quality
of life.
Case Report: A 55-years-old female with complaints of pain in her waist since 6 months ago, felt like a stab
that spreads to her legs, constantly with heavy intensity, followed by tingling, numbness from the thighs to the
soles of her feet. The pain gets worse when the patient moves his legs (NPRS 7-8). Pain has appeared since
April 2020 and worsened in the last 3 months after the patient had radiation therapy. The patient was diagnosed
with Ca Cervix in November 2019. The patient received adequate analgesic therapy with joint care with the
Medic Rehabilitation, Internal Medicine, Radiotherapy, and APS so that the degree of pain could be reduced
(NPRS 3-4). However, complaints of pain persisted until the time the patient was discharged.
Discussion: The first symptom of spinal cord compression is usually pain in the back and or neck, arms and or
legs, which can sometimes be severe. The presence of cancerous tissue can cause inflammation and changes in
cell metabolism that lead to tissue damage and the release of cytokines that can trigger cancer. The mass effect
causes compression, distension, and tissue ischemia which ultimately causes pain. Treatment for spinal cord
compression usually involves radiation therapy.
Keywords: cancer pain, pain management, morphine.
I. Pendahuluan

Mengidap kanker tidak selalu berarti pasien akan merasakan nyeri. Tetapi jika pasien
sudah mengeluhkan sakit, pasien perlu melaporkan kondisi ini kepada tim perawatan
kesehatan untuk memastikan terapi pereda nyeri adalah bagian dari perawatan pasien. Ada
berbagai macam pengobatan, cara mengkonsumsi obat yang berbeda, dan metode non
farmakologis yang dapat membantu meredakan nyerinya.4
Pasien dengan kanker memiliki keluhan yang bermacam-macam, gangguan fungsi
fisik dan psikologis, dan berbagai permasalahan yang dapat memperburuk kualitas hidup
mereka. Jika tidak dikontrol dengan baik, nyeri dapat memiliki pengaruh yang buruk pada
pasien maupun keluarganya. Pentingnya pengelolaan nyeri sebagai bagian dari perawatan
rutin pada kanker telah ditekankan secara luas oleh WHO, organisasi profesional
internasional dan nasional, dan instansi pemerintahan. Prevalensi nyeri kronis berkisar antara
30-50% pada pasien dengan kanker yang menjalani terapi aktif untuk tumor solid dan
sekitar 70-90% pada penyakit tahap lanjut.1

II. LAPORAN KASUS

Tanggal: 27-1-2021
ANAMNESIS:
Pasien perempuan usia 55 tahun, suku Bali, kinan datang diantar keluarga dengan keluhan
nyeri pada pinggang kanan dan kirinya sejak 6 bulan yang lalu. Nyeri dirasakan seperti
tertusuk-tusuk yang menjalar hingga ke kedua kakinya. Nyeri dirasakan terus-menerus
dengan intensitas berat. Nyeri ini membuat pasien tidak dapat beraktivitas. Pasien juga
merasakan kesemutan, rasa kebas dari bagian paha hingga ke telapak kakinya. Nyeri akan
semakin memberat bila pasien menggerakkan kakinya. Nyeri berkurang dengan
mengkonsumsi obat analgetik (Parasetamol + MST, pregabalin) dan akan muncul kembali
bila efek obat sudah hilang. Dikatakan nyeri ini muncul pertama kali sejak April 2020 dan
semakin memberat dalam 3 bulan terakhir setelah pasien melakukan terapi radiasi. Pasien
sudah terdiagnosis Ca Cervix pada November 2019 dan dilakukan tindakan operasi
histerektomi radikal pada saat itu. Pada April 2020 pasien sempat direncanakan untuk
mendapatkan terapi kemoterapi, namun karena kondisi pasien saat itu tidak memungkinkan
untuk dilakukan tindakan, maka kemoterapi pun ditunda. Pasien mengakui mengalami
penurunan berat badan signifikan (-+ 20kg dalam 1 tahun terakhir). Pasien juga didiagnosis
mengalami gagal ginjal dan sudah dilakukan cuci darah rutin 2x/minggu. Keluhan kelemahan
separuh tubuh, bibir mencong, suara pelo, kesemutan separuh tubuh, demam, nyeri kepala,
pandangan double/kabur, mual, muntah disangkal.
Riwayat penyakit dahulu : pasien didiagnosis Ca Cervix stadium II pada November 2019 dan
telah dilakukan tindakan operasi histerektomi radikal pada saat itu. Pasien kemudian
mendapatkan tindakan radiasi sudah sebanyak 30x sejak November 2020.
Pasien juga didiagnosis mengalami gagal ginjal pada April 2020 dan rutin cuci darah
2x/minggu hingga saat ini.
Riwayat penyakit keluarga : tidak ada anggota keluarga dengan sakit yang sama dengan
pasien.
Riwayat pengobatan : cuci darah rutin 2x/minggu sejak April 2020, Gabapentin 1x300 mg,
parasetamol 1x1000 mg, MST 3x15 mg k/p
Riwayat sosial : pasien sudah pensiun. konsumsi rokok dan alkohol disangkal. Menikah satu
kali, penggunaan obat-obatan terlarang disangkal, tato tidak ada.

STATUS PRESENT
Tekanan Darah: 130/70 mmHg
Nadi: 88 kali per menit
Suhu: 36.4 C
Respirasi: 20 kali per menit
NPRS: 7-8/10 (pinggang hingga ke kaki)

KLINIS NEUROLOGIS
GCS E4V5M6
Tanda rangsang meningeal (-)
Paresis nervus kranialis (-)
Motorik: tenaga : paraparesis flaccid grade
5555 5555
4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+

Normal Normal Tonus:


menurun menurun

Tropik: Normal Normal


Normal Normal
Refleks patologis -/-
Parastesia dan nyeri sesuai dermatome L3-L4, L4-L5
TSA menurun
Laseque +/-
Kontralaseque +/-
Braccard +/- Siccard +/-

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah Lengkap 27 Januari 2021
Parameter Hasil Rujukan Keterangan
WBC 7,09 4.1 – 11.0 103/µL Normal
NE% 75,11 50-70% Normal
LY% 9,87 25 – 40 % Menurun
MO% 12,29 2.0 – 8.0 Meningkat
EO% 0,89 2,0 – 4.0 Normal
BA% 1.84 0.0 – 1.0 Normal
RBC 2,42 4,0-5,2 103/µL Menurun
HGB 6,89 13.2 – 17.3 g/dL Menurun
HCT 22,77 40 -52 % Menurun
MCV 94,29 36-46 % Normal
MCH 28,52 26-34 % Normal
MCHC 30,25 31-36 g/dl Menurun
PLT 419,4 150 – 440 103/µL Normal
NLR 7,61 <=3,13 Meningkat
LED 134,7 <20 mm/jam Meningkat
PPT 13 10,8-14,4 detik Normal
APTT 30,6 24-36 detik Normal
INR 0,91 0,9-1,1 Normal
SGOT 11,1 11-27 U/L Normal
SGPT 7,3 11-34 U/L menurun
Albumin 3,6 3,4-4,8 g/dl Normal
GDS 74 70-140 mg/dL Normal
Bun 56 8-23 mg/dL Meningkat
Cr 4,68 0.5-0,9 mg/dL Meningkat
e-LFG 9,63 >= 90 Menurun
Na 129 136-145 mmol/L Menurun
K 5,87 3.5-5.1 mmol/L Meningkat
Klorida 95 94-110 mmol/L Normal
Ig-G, Ig-M SARS CoV-2 NON REAKTIF

2. FOTO THORAX AP 27 Januari 2021


Kesan :
Cor tak tampak kelainan
Pneumonia suspek pneumonic type pulmonary metastase
Fibrotik pada zona bawah paru kanan curiga post inflamasi
Obs. Opasitas berbentuk oval batas tegas yang terproyeksi pada costae 8 posterior kiri

3. Rontgen C.V Lumbosacral AP 22 Januari 2021


Kesimpulan:
- anterior wedge compression pada corpus VL 3 dengan Lost of Height sebesar 19,09%
- penyempitan disertai sclerosis end plate pada spatium intervertebralis VL 2-3; suspek
kelainan pada discus; mungkin annular tear dd/ HNP
- paralumbal muscle spasme

4. Rontgen C.V Thoracolumbal AP 27 Januari 2021


Kesan:
Anterolisthesis ringan C.V L-3 terhadap C.V L-4
Destruksi pedikel C.V L-4 kanan
Penyempitan celah spatium intervertebralis L3-4
Spondylosis lumbalis
Paralumbalis muscle spasme
5. ENMG 10/9/2020:
- Polineuropati tipe campuran
- Lesi diatas thoracal XII dan dibawah cervical VII

DIAGNOSIS
Myelopati Kompresi et causa Metastatic Bone Disease + cancer pain, Ca servix stadium II A,
CKD stage V on HD regular

TERAPI
Saraf:
- Infus NaCl 0,9% 20 tetes per menit
- Parasetamol 1000 mg tiap 8 jam p.o
- Gabapentin 300 mg tiap 12 jam p.o
- Amitriptilin 25 mg tiap 24 jam p.o (malam)
- MST 15 mg tiap 12 jam p.o
Interna:
- Diet CKD 1800 kkal/hari, protein 60 gram/hari
- Asam folat 2 mg tiap 24 jam p.o
- CaCO3 500 mg tiap 8 jam
- HD regular 2x/minggu
- Transfuse PRC 1 kolf/hari  target Hb >= 10 gr/dl
Rehab Medik (1/2/2021):
- Pasang TLSO
Radioterapi (29/1/2021):
- CT simulasi
- Radiasi paliatif meta tulang
APS (27/1/2021):
- Morfin PCA, 1 mg/ml, max dose 4 mg

FOLLOW UP
 31/1/2021:
S: nyeri pinggang (+) terutama saat pasien menggerakkan kakinya
O: STATUS PRESENT
Tekanan Darah: 110/70 mmHg
Nadi: 80 kali per menit
Suhu: 36 C
Respirasi: 18 kali per menit
NPRS: diam: 3-4/10
bergerak: 5-6/10 (pinggang hingga ke kaki)
KLINIS NEUROLOGIS
GCS E4V5M6
Tanda rangsang meningeal (-)
Paresis nervus kranialis (-)
Motorik: tenaga : paraparesis flaccid grade
5555 5555
4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+

Normal Normal Tonus:


menurun menurun

Tropik: Normal Normal


Normal Normal

Refleks patologis -/-


Parastesia dan nyeri sesuai dermatome L3-L4, L4-L5
TSA menurun
Laseque +/- Kontralaseque +/-
Braccard +/- Siccard +/-

 5/2/2021:
S: nyeri pinggang (+) membaik
O: STATUS PRESENT
Tekanan Darah: 120/80 mmHg
Nadi: 80 kali per menit
Suhu: 36,8 C
Respirasi: 20 kali per menit
NPRS: diam: 1/10
bergerak: 3-4/10 (pinggang hingga ke kaki)

KLINIS NEUROLOGIS
GCS E4V5M6
Tanda rangsang meningeal (-)
Paresis nervus kranialis (-)
Motorik: tenaga : paraparesis flaccid grade
5555 5555
4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+
Normal Normal Tonus:
menurun menurun

Tropik: Normal Normal


Normal Normal

Refleks patologis -/-


Parastesia dan nyeri sesuai dermatome L3-L4, L4-L5
TSA menurun
Laseque +/- Kontralaseque +/-
Braccard +/- Siccard +/-

III. Diskusi

1. Definisi
International association for the study of pain mendefinisikan nyeri sebagai perasaan
yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang dihubungkan dengan kerusakan
jaringan secara nyata atau potensi kerusakan jaringan. Nyeri merupakan persepsi dari
nosiseptif dan seperti persepsi yang lain, ini dipengaruhi oleh interaksi antara aktivitas pada
jalur sensorineural dan variasi dari faktor psikologi dan perilaku. Meskipun proses psikologi
dapat secara kuat mempengaruhi ekspresi dan akibat dari nyeri, faktor organik yang
mengakibatkan aktivitas pada jalur sensorineural kelihatannya menjadi penyebab utama pada
penderita kanker.5
Sindrom nyeri kanker merupakan kumpulan kondisi klinis yang menyebabkan nyeri
pada pasien kanker. Sekitar setengah dari pasien yang memiliki kanker pada semua stadium
memiliki gejala nyeri, dan hampir 70% pasien pada kondisi terminal atau metastasis memiliki
nyeri. Nyeri derajat sedang sampai berat juga dirasakan hampir 40% pasien yang mengalami
nyeri kanker. Hal ini dapat memperburuk kondisi fisik dan emosional penderita kanker. 2
Manajemen nyeri kanker yang optimal sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien kanker.3

2. Patofisiologi
Kanker itu sendiri seringkali menyebabkan timbulnya rasa nyeri. Jumlah nyeri yang
diderita bergantung pada berbagai faktor, termasuk jenis kanker, stadiumnya (luasnya),
masalah kesehatan lain yang mungkin dialami, dan ambang nyeri pasien (toleransi terhadap
nyeri). Orang dengan kanker stadium lanjut lebih mungkin mengalami nyeri. Tindakan
operasi, perawatan, atau pemeriksaan kanker juga dapat menyebabkan timbulnya rasa nyeri.
Pasien mungkin juga mengalami nyeri yang tidak ada hubungannya dengan kanker ataupun
pengobatannya, seperti keluhan sakit kepala, ketegangan otot, dan nyeri atau keluhan lainnya.4
Nyeri kanker pada dasarnya melibatkan jaras neurotransmisi yang serupa dengan nyeri
non-kanker, namun interaksi dari berbagai faktor lain dapat mempengaruhi persepsi nyeri
pasien kanker. Adanya jaringan kanker dapat menyebabkan inflamasi dan perubahan
metabolisme sel yang memicu kerusakan jaringan serta pelepasan sitokin yang dapat memicu
kanker. Efek massa menyebabkan kompresi, distensi, maupun iskemik jaringan yang pada
akhirnya menimbulkan nyeri. Terapi kuratif kanker seperti kemo/radioterapi ataupun operasi
juga dapat menimbulkan nyeri. Pasien yang terdiagnosis kanker memiliki beban psikologis,
sosial, spiritual yang signifikan sehingga berpotensi mempengaruhi persepsi nyeri.6
Berdasarkan mekanisme yang mendasarinya, nyeri kanker dapat dibagi menjadi nyeri
nosiseptif somatik, nosiseptif visceral, dan nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif somatik
memiliki karakteristik seperti tertekan, berdenyut, serta memiliki lokasi dan batas yang tegas.
Nyeri ini disebabkan adanya mediator inflamasi perifer maupun sentral sehingga terjadi
sensitisasi aferen primer yang menginervasi organ somatis. Nyeri nosiseptif visceral dicirikan
dengan rasa nyeri tumpul, dalam, seperti diperas, dan batas lokasi nyeri yang tidak jelas.
Nyeri ini terjadi karena adanya stimulus kimiawi, inflamasi, iskemik, kompresi, dan distensi
pada organ visceral. Nyeri neuropatik memiliki ciri yang khas berupa sensasi terbakar,
tersetrum, tertusuk, tersayat, kebas, atau kesemutan yang distribusinya mengikuti anatomi
sistem saraf yang terkait. Nyeri ini terjadi karena adanya kerusakan pada sistem
somatosensoris sentral ataupun perifer.7
Nyeri kanker juga dapat diklasifikasikan berdasarkan waktu terjadinya menjadi nyeri
kanker akut atau kronis yang masing-masing dapat berkaitan dengan kanker itu sendiri, terapi
kanker, ataupun prosedur/intervensi yang dilakukan. Nyeri akut biasanya memiliki etiologi
yang mudah diketahui. Nyeri akut yang terkait kanker misalnya fraktur patologis, ruptur
karsinoma hepar, perforasi organ intestinal, atau vena cava obstruction syndrome. Nyeri akut
terkait terapi atau prosedur diagnostik antara lain acute radiation plexopathy, post lumbar
puncture headache, nyeri pasca biopsi, atau nyeri pasca operasi/tindakan intervensi. Nyeri
kronis akibat kanker sebagian besar terkait dengan massa tumor beserta efeknya. Contoh
kondisi ini antara lain tumor-related bone pain karena metastasis tulang, nyeri punggung
karena metastatic cord compression, nyeri visceral terkait tumor (misal: hepatic distension
syndrome, peritoneal carcinomatiosis), atau metastasis leptomeningeal. Beberapa kondisi
yang menyebabkan nyeri kanker merupakan kondisi kegawatan yang memerlukan
penanganan segera seperti perdarahan intratumor pada karsinoma hepatoselular, obstruksi
maupun perforasi organ intestinal, atau fraktur patologis yang dapat disertai gejala defisit
neurologis akut misalnya pada fraktur vertebra. Kondisi ini menunjukkan bahwa pendekatan
pada sindrom nyeri kanker selain berfokus pada aspek nyeri juga perlu menilai proses
etiologi yang mendasari nyeri pada penderita kanker.

3. Nyeri Akibat Kanker Itu Sendiri


Nyeri akibat kanker bisa disebabkan oleh tumor yang menekan saraf, tulang, atau
organ.
Kompresi sumsum tulang belakang: Ketika tumor menyebar ke tulang belakang, tumor
dapat menekan saraf sumsum tulang belakang. Ini disebut kompresi sumsum tulang belakang.
Gejala pertama kompresi sumsum tulang belakang biasanya merupakan nyeri punggung dan /
atau leher, dan terkadang terasa parah. Nyeri, mati rasa, atau kelemahan juga bisa terjadi di
lengan atau tungkai. Batuk, bersin, atau gerakan lain sering kali membuat nyeri terasa
semakin parah. Jika pasien mengalami rasa sakit seperti ini, dapat dianggap sebagai keadaan
darurat dan harus segera mendapatkan bantuan. Kompresi tulang belakang harus segera
ditangani agar pasien tidak kehilangan kendali terhadap fungsi kandung kemih atau usus
ataupun mengalami kelumpuhan. Jika pasien segera dirawat karena gejala kompresi setelah
dimulainya rasa sakit, pasien biasanya dapat menghindari permasalahan yang serius.
Perawatan untuk kompresi sumsum tulang belakang biasanya melibatkan terapi radiasi ke
area tempat tumor menekan pada tulang belakang dan steroid digunakan untuk mengecilkan
tumor. Atau pasien mungkin perlu menjalani operasi untuk mengangkat tumor yang menekan
tulang belakang, yang kemudian dapat diikuti dengan radiasi.4
Nyeri tulang: Jenis nyeri ini dapat terjadi saat kanker mulai atau menyebar ke tulang.
Pengobatan mungkin ditujukan untuk mengendalikan kanker, atau dapat berfokus melindungi
tulang yang terkena. Radiasi eksternal dapat digunakan untuk mengobati tulang yang
melemah. Kadang-kadang obat radioaktif diberikan pada daerah tulang yang terkena untuk
membantu membuatnya menjadi lebih kuat. Bifosfonat adalah obat yang dapat membantu
tulang yang melemah menjadi lebih kuat dan membantu menjaga tulang agar tidak patah. Ini
adalah contoh dari pengobatan yang ditujukan untuk menghentikan penyebab nyeri tulang.
Pasien mungkin masih membutuhkan obat pereda nyeri, tetapi terkadang pengobatan ini
sendiri, dapat sangat mengurangi rasa sakit. Nyeri tulang juga bisa terjadi sebagai efek
samping dari penggunaan obat-obatan yang dikenal sebagai growth factor drugs or colony-
stimulating factors (CSFs). Obat ini dapat diberikan untuk membantu mencegah penurunan
jumlah sel darah putih (WBC) setelah pengobatan. Obat CSF membantu tubuh menghasilkan
lebih banyak sel darah putih yang dibuat di sumsum tulang. Karena aktivitas sumsum tulang
lebih tinggi dengan obat ini, nyeri tulang dapat terjadi.4

4. Terapi
a. Prinsip terapi pada sindrom nyeri kanker antara lain:
 Penggunaan analgesik untuk tatalaksana nyeri baik untuk jangka pendek maupun
jangka panjang
 Tatalaksana etiologi yang mendasari nyeri kanker baik berupa radioterapi, operasi,
kemoterapi, atau terapi yang dapat memodifikasi perjalanan kanker yang mendasari
nyeri
 Tatalaksana nonfarmakologi dan rehabilitasi medis secara optimal termasuk
manajemen faktor komorbiditas.8
b. Prinsip tatalaksana analgesik
 Melibatkan pasien secara aktif (mampu menyampaikan nyeri yang dialami,
efektivitas, efek samping, serta menginformasikan pada pasien mengenai potensi
munculnya nyeri)
 Menggunakan analgesik secara rutin guna mengontrol baseline pain
 Memilih rute pemberian oral sebagai pilihan utama kecuali terdapat kontraindikasi
atau tidak dapat ditoleransi
 Menilai adanya peningkatan nyeri mendadak (breaktrough pain) dan memberikan
terapi analgetik rescue yang optimal.8
Pendekatan tatalaksana nyeri kanker berdasarkan World Health Organization (WHO)
step ladder menggunakan 3 tahapan pendekatan berdasarkan intensitas nyeri, yaitu (1) untuk
nyeri ringan menggunakan non-opioid (parasetamol atau NSAID), (2) untuk nyeri derajat
sedang menggunakan opioid lemah, dan (3) nyeri berat menggunakan opioid kuat.
Tatalaksana non-opioid dapat dikombinasikan dengan obat pada tahap 2 maupun 3 guna
meningkatkan efek analgesik dan mengurangi kebutuhan dosis dan efek samping opioid.
Terapi adjuvant dapat diberikan pada semua tahap dengan tujuan meningkatkan efek
analgesik serta mengurangi rasa takut dan kecemasan yang menyertai nyeri. Beberapa
panduan tatalaksana nyeri kanker mulai menghilangkan tahap 2 dari step ladder WHO
dengan mengganti opioid lemah dengan morfin oral dosis rendah.
o Nyeri ringan: parasetamol dan NSAID adalah pilihan pada nyeri kanker intensitas
ringan
o Nyeri sedang: Opioid lemah merupakan bagian dari WHO step ladder untuk
tatalaksana nyeri sedang, seperti tramadol dan codeine. Obat ini dapat diberikan
secara tunggal atau dalam kombinasi dengan golongan non opioid seperti parasetamol
dan NSAID. Pengaturan dosis obat perlu dipertimbangkan saat dikombinasikan
dengan parasetamol karena risiko hepatotoksik. Kombinasi tramadol dosis 37,5 mg
dan parasetamol 325 mg dapat memberikan potensi analgesik yang optimal serta
risiko hepatotoksik yang rendah. Beberapa sumber menyatakan bahwa peningkatan
dosis kombinasi tidak banyak meningkatkan potensi analgesik namun dapat
meningkatkan risiko hepatotoksik.8
Tatalaksana tahap 2 pada WHO step ladder saat ini banyak mendapat
perhatian karena kurangnya data yang menunjukkan efektivitas analgesik pada nyeri
kanker. Beberapa sumber mulai meninggalkan tahap ini dengan memberikan opioid
kuat dosis rendah pada nyeri sedang.8
o Nyeri berat: opioid kuat merupakan pilihan utama dalam tatalaksana nyeri berat. Hal
yang perlu dipertimbangkan antara lain pemilihan jenis opioid serta rute pemberian,
titrasi dosis, tatalaksana breakthrough pain, tatalaksana pasien yang tidak respon
dengan opioid, serta penanganan efek samping opioid.8
Pilihan utama opioid untuk pasien dengan nyeri berat adalah morfin. Opioid
short-acting lain seperti oxycodone dan hydromorphone dapat dipertimbangkan. Rute
pemberian yang utama adalah secara oral, namun pemberian intravena dapat
dipertimbangkan jika nyeri sangat berat dan diperlukan penurunan intensitas nyeri
segera. Nyeri yang cukup sering atau kontinyu perlu mendapatkan morfin secara
reguler. Beberapa pilihan bagi pasien opioid naïve dengan nyeri berat seperti
immediate – release morfin 5-10 mg tiap 3-4 jam, oxycodone 2,5-5 mg setiap 3-4.
Titrasi dosis dapat dilakukan sesuai dengan respon pasien. Metode untuk titrasi dosis
dapat dengan cara secara bertahap menaikkan total dosis harian sampai 30-100%, atau
menggunakan dosis rescue yang sudah diberikan sebelumnya sebagai bahan
petimbangan kenaikan dosis reguler selanjutnya. Dosis absolut opioid sangat
bervariasi tergantung keseimbangan antara efek analgesik dan efek samping. Jika
pasien butuh banyak pemberian morfin atau masih mengalami nyeri menganggu tidur,
perubahan ke sediaan oral long-acting modified release morphin, oxycodone, atau
transdermal fentanyl dapat meningkatkan respon analgetik serta kenyamanan pasien
dengan mempertimbangkan dosis equianalgesic setiap obat.8
Pasien yang mengalami breakthrough pain perlu mendapatkan rescue dose di
luar dosis reguler yang sudah didapatkan. Secara umum short-acting immediate
release opioid seperti morphin digunakan sebagai pengobatan breakthrough pain.
Dosis yang diperlukan bersifat individual namun dapat berkisar antara 5-15% dari
kebutuhan basal harian opioid pasien. Kondisi breakthrough pain perlu dievaluasi
apakah merupakan nyeri akibat tindakan/gerakan spesifik, end-of-dose failure karena
dosis/ interval opioid reguler yang mencukupi, atau akibat hal lainnya.8
Nyeri yang tidak terkontrol (poor responsive) dengan dosis optimal opioid
reguler maupun rescue dose perlu dievaluasi kembali, termasuk kemungkinan adanya
komponen neuropatik yang belum tertangani. Salah satu strategi untuk kondisi poor
responsive adalah rotasi opioid. Rotasi dilakukan dengan mengganti dengan jenis
opioid lain dengan mempertimbangkan dosis equianalgesic yang diperlukan untuk
mencegah efek withdrawal (bila dosis terlalu rendah) atau toksisitas (bila dosis terlalu
tinggi).8
Tatalaksana efek samping opioid harus disiapkan pada penggunaan opioid.
Efek samping paling sering adalah konstipasi, sehingga perlu secara rutin meresepkan
laksatif pada pengguna opioid. Psikosimultan seperti methylphenidate kadang
diperlukan untuk mengatasi efek sedasi. Antiemetik juga perlu disiapkan bagi pasien
yang mengalami mual dan muntah.8

5. Manajemen Intervensi Nyeri


Manajemen intervensi nyeri dapat dipertimbangkan pada pasien yang tidak berespon
terhadap terapi sebelumnya serta terdapat fasilitas yang mendukung. Beberapa pilihan antara
lain : 8,9,10
 Neurolytic block baik pada ganglion simpatis (terutama untuk nyeri visceral
atau nyeri somatik yang berkaitan dengan sistem simpatis/sympatheic-
maintaned pain) maupun saraf somatik.
 Prosedur augmentasi vertebral seperti vertebroplasti atau kifoplasti pada kasus
fraktur patologis vertebra
 Neuraxial infusion baik intratechal maupun epidural
 Spinal card simulation

6. Tatalaksana Etiologi yang Mendasari Nyeri Kanker


Tatalaksana etiologi yang mendasari nyeri perlu dilakukan secara bersamaan dengan
manajemen analgesik pasien nyeri kanker. Kerja sama dengan disiplin ilmu lain sangat
diperlukan baik berupa tatalaksana operatif, kemoterapi, dan radioterapi. Contoh nyeri kanker
yang sering ditemukan adalah nyeri tulang akibat metastasis yang sebagian besar
memerlukan radioterapi. Pada beberapa kasus metastasis ke tulang vertebra juga diperlukan
pertimbangan operasi terutama bila terdapat instabilitas spinal yang ditandai dengan adanya
nyeri dengan gerakan, adanya deformitas/subluksasi, retropulsi fragmen tulang, keterlibatan
sendi facet bilateral, atau adanya kompresi korpus vertebra >50%. Penilaian instabilitas
spinal juga dapat dihitung dengan Spine Instability Neoplastic Score (SINS).8,9

7. Tatalaksana Nonfarmakologi dan Rehabilitatif


Beberapa pendekatan seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dan terapi
rehabilitatif dan membantu meningkatkan respon terapi, mengatasi komorbiditas terutama
kondisi psikososial, serta memperbaiki kualitas hidup pasien. Edukasi terhadap keluarga juga
sangat diperlukan.11
Cognitive Behavior Theraphy memiliki beberapa prinsip antara lain :
 Edukasi pasien mengenai kondisi serta rencana terapi yang rasional, termasuk
hubungan antara pikiran dan prilaku dengan persepsi nyeri yang dirasakan
 Melatih perilaku yang adaptif terhadap kondisi yang dialami misalnya seperti
relaksasi sederhana saat mengalami kondisi yang memicu kecemasan,
mengoptimalkan aktivitas harian sehingga mengurangi potensi depresi/frustasi
 Melatih kemampuan kognitif untuk menghindari pemikiran negatif/maladaptive
(unhelpfull tought) dan menggantinya dengan pikiran positif terhadap kondisi kanker
atau nyeri yang dialami
Intervensi rehabilitatif bertujuan untuk mengoptimalkan performa fungsional dan
mengontrol gejala yang dialami pasien. Konsultasi dengan ahli rehabilitasi medis merupakan
bagian dari manajemen integratif pada nyeri kanker. Beberapa intervensi dapat
dipertimbangkan sesuai dengan kebutuhan, seperti latihan fisik dan positioning, penggunaan
ortosis atau alat bantu lainnya, serta modalitas fisik seperti Transcutaneous electrical nerve
stimulation (TENS), atau stimulasi ultrasound.8,9

8. Edukasi
Pasien dan keluarga perlu mendapatkan penjelasan yang efektif mengenai hal-hal berikut:
 Pentingnya peran aktif pasien dalam penilaian nyeri secara komprehensif
 Pentingnya manajemen nyeri yang optimal terhadap survival dan peningkatan
kualitas hidup pasien
 Kondisi yang mendasari nyeri dan kaitannya dengan kanker ataupun terapinya
 Rencana serta sasaran manajemen nyeri kanker
 Perilaku dan kemampuan kognitif yang adaptif untuk meningkatkan efektivitas
terapi
 Terapi suportif dan rehabilitatif yang bermanfaat

9. Prognosis
Secara umum kondisi nyeri turut serta menentukan prognosis pasien kanker.
Manajemen nyeri yang optimal turut berperan dalam meningkatkan survival dan peningkatan
kualitas hidup pasien.3

IV. Kesimpulan
Nyeri derajat sedang sampai berat dapat memperburuk kondisi fisik dan emosional
penderita kanker. Manajemen nyeri kanker yang optimal sangat diperlukan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien kanker. Pasien yang mengalami breakthrough pain perlu
mendapatkan rescue dose di luar dosis reguler yang sudah didapatkannya. Secara umum
short-acting immediate release opioid seperti morfin digunakan sebagai obat breakthrough
pain. Selain itu kerja sama dengan disiplin ilmu lain juga sangat diperlukan baik berupa
tatalaksana operatif, kemoterapi, dan radioterapi.
V. Daftar Pustaka
1. Kresnoadi E. Cancer Pain Management. The Jurnal Kedokteran. 2012;1(1).
2. Van Den Beuken-van Everdingen MHJ, Hochstenbach LMJ, Joosten EAJ, Tjan-
Heijnen VCG, Janssen DJA. Update on Prevalence of Pain in Patients With Cancer:
Systematic Review and Meta-Analysis. J Pain Symptom Manage.2016;51 (6): 1070-
1090.e9. DOI: 10.1016/j.jpainsymman.2015.12.340.
3. Puetzler J, Feldmann RE, Brascher AK, Gerhardt A, Benrath J. Improvements in
health-related quality of life by comprehensive cancer pain therapy: A pilot study
with breast cancer outpatients under palliative chemotherapy. Oncol Res Treat. 2014;
37(9): 456-462. DOI: 10.1159/000365537.
4. The American Cancer Society medical and editorial content team. Cancer Pain.
American Cancer Society. 2019.
5. Supriana N, Kodrat H, Gondhowiardjo S. Radiasi Paliatif pada Nyeri Kanker.
Radioterapi & Onkologi Indonesia: Journal of the Indonesian Radiation Oncology
Society. 2010;1 (2): p.73-78.
6. The British Pain Society. Pathophysiology of cancer pain and opioid tolerance. In:
Cancer Pain Management. 2010: 15-24.
7. Paice JA, Ferrel B. The Management of Cancer Pain. 2011;61(3): 157-182. DOI:
10.3322/caac.20112.
8. Fallon M, Giusti R, Aielli F, et al. Management of cancer pain in adults patients:
ESMO Clinical Practice Guidelinest. Ann Oncol. 2018;29(Supplement_4):iv166-
iv191. DOI: 10.1093/annonc/mdy152.
9. National Comprehensive Cancer Network. Adult Cancer Pain. NCCN Clin Pract
Guidel Oncol. 2019.
10. Miguel R. Interventional Treatment of Cancer Pain: The Fourth Step in the World
Health Organization Analgesic Ladder? Cancer Control. 2000;7(2):149-156.
11. Syrjala KL, Jensen MP, Mendoza ME, et al. Psychological and Behavioral
Approaches to Cancer Pain Management. J Clin Oncol. 2014;32(16):1703-1712.
DOI: 10.1200/JCO.2013.54.4825.

Anda mungkin juga menyukai