Anda di halaman 1dari 208

i

Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan


i
Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan

STRATEGI MANAJEMEN
PENGELOLAAN RESIKO
PERUSAHAAN

Penulis
Puji Muniarty | Septina Dwi Retnandari | Tri Endi Ardiansyah P.S|
Iqbal Arraniri | Agus Yulistiyono | Robi Awaluddin | Dede Djuniardi
| Lukman Nuzul Hakim | Sukarman Purba | Sufyati HS|

Hak Cipta Buku Kemenkum dan HAM Nomor : 000244737


ii
Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan

Hak Cipta pada penulis


Hak Penerbitan pada penerbit
dilarang memperbanyak/memproduksi sebagian
atau seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis
dari pengarang dan/atau penerbit.

Kutipan pasal 72:


Sanksi pelanggaran Undang-undang Hak Cipta
(UU No. 10 Tahun 2012)

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal (49) ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1
(satu) bulan dan/(atau) denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu
juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau
dendan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang
hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dipidana dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda
paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
iii
Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan

Strategi Pengelolaan Manajemen Resiko


Perusahaan

Penulis
Puji Muniarty | Septina Dwi Retnandari | Tri Endi Ardiansyah P.S |
Iqbal Arraniri | Agus Yulistiyono | Robi Awaluddin | Dede Djuniardi
| Lukman Nuzul Hakim | Sukarman Purba | Sufyati HS|

Editor
Edison H Manurung

Desain Cover
Muhammad Iqbal Al-Ghozali

Lay Out
Team Penerbit Insania

ISBN
978-623-96449-6-3
17,6 x 25 cm; v + 201 hal

Cetakan Pertama, MARET 2021

Diterbitkan oleh:
PENERBIT INSANIA
Grup Publikasi Yayasan Insan Shoqidin Gunung Jati
Anggota IKAPI

Jl. Evakuasi, Gg. Langgar, No. 11, Kalikebat Karyamulya,


Kesambi, Cirebon Telp. 085724676697
Email: penerbit.insania@gmail.com. Web : http://insaniapublishing.com
iv
Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan

KATA PENGANTAR

Buku ini merupakan simbol semangat intelektual dalam


mengakaji ilmu manajemen yang terbit pada tahun 2021. Kontributor dari
buku ini adalah para peneliti dan dosen dari berbagai kampus di
Indonesia. Mereka memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda.
Penulisan buku ini dilandasi atas pentingnya update penelitian terbaru
tentang kajian ilmu manajemen dengan tema strategi manajemen
pengelolaan resiko perusahaan yang menjadi isu dan problematika saat
ini.
Buku ini terdiri dari 10 artikel yang dimasukan ke dalam 10 bab
di dalam buku ini. Upaya penyusunan buku ini dilakukan untuk
mendokumentasikan karya-karya yang dihasilkan para penulis sehingga
dapat bermanfaat bagi pembaca secara lebih luas. Penulisan buku juga
mengandung konsekuensi untuk membangun budaya pendidikan yang
lebih bermartabat dan berintegritas.
Sebagai penutup, tiada gading yang tak retak. Tentunya banyak
kekurangan dalam penyusunan buku ini sehingga kritik dan masukan
selalu diperlukan bagi pengembangan studi ilmu manajemen
pengelolaan resiko perusahaan ke depan. Hal-hal yang besar tentunya
berawal dari yang sederhana. Semoga tulisan-tulisan dalam buku ini
menjadi ilmu yang bermanfaat bagi pengembangan organisasi hari ini
dan esok.

Cirebon, Maret 2021

Editor
v
Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iv
DAFTAR ISI vi
BAB 1 PENTINGNYA MANAJEMEN RESIKO DALAM
PERUSAHAAN 1
Puji Muniarty
BAB 2 MODEL PENCIPTAAN NILAI PERUSAHAAN
18
Septina Dwi Retnandari
BAB 3 MANAJEMEN STRATEGIK
37
Tri Endi Ardiansyah P.S
BAB 4 IMPLEMENTASI ENTERPRISE RISK MANAJEMEN
(ERM) 81
Iqbal Arraniri
BAB 5 BALANCE SCORE CARD
97
Agus Yulistiyono
BAB 6 METODE MENGHADAPI HAMBATAN DALAM
UPAYA PERUBAHAN 114
Robi Awaluddin
BAB 7 REGULASI BASEL
126
Dede Djuniardi
BAB 8 PENGELOLAAN RESIKO SECARA TERINTEGRASI
141
Lukman Nuzul Hakim
BAB 9 GOOD CORPORATE GOVERNANCE
155
Sukarman Purba
BAB 10 RENTABILITAS DAN ASPEK PERMODALAN
176
Sufyati HS
BAB 1 PENTINGNYA MANAJEMEN RESIKO DALAM PERUSAHAAN 1

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


2 BAB 1 PENTINGNYA MANAJEMEN RESIKO DALAM PERUSAHAAN

BAB 1
PENTINGNYA MANAJEMEN RESIKO DALAM
PERUSAHAAN

A. Pengertian Risiko Dan Manajemen Resiko


Berbicara resiko pasti tidak terlepas dari sebuah kata
ketidakpastian. Apapun yang jenis aktivitas ataupun kegiatan yang
dilakukan oleh manusia pasti menimbulkan resiko. Tidak dapat
dipungkiri lagi bahwa resiko merupakan sutau bentuk ancaman
ketidakpastian maupun segala sesuatu akibat yang timbul dalam
suatu bisnis yang dapat memberikan dampak positif dan dampak
negatif yang memang faktanya tidak selalu diinginkan dalam
kehidupan manusia. Menurut Wideman dalam Mamduh (2009),
ketidakpastian yang menimbulkan kemungkinan menguntungkan
dikenal dengan istilah peluang (Opportunity), sedangkan
ketidakpastian yang menimbulkan akibat yang merugikan dikenal
dengan istilah risiko (Risk).
Pada prinsipnya kehidupan adalah sebuah resiko, namun
jika mengingingkan kehidupan yang lebih baik, kita harus berani
megambil resiko tidak ada satupun aktivitas manusia terutama
dalam hal niaga yang tidak bebas resiko. Resiko bisnis merupakan
ketidakpastian yang dihadapi oleh perusahaan dan dapat dapat
menyebabkan kerugian atau kegagalan perusahaan. Bisnis yang
mengingingkan tingkat return yang tinggi yaitu suatu bisnis yang
berada pada resiko dan modal yang tinggi. Sebagai contoh ada
beberapa individu ataupun kelompok yang berani
menginvestasikan sebagian dana pada usaha Laundry dengan
begitu resiko dan retun yang ada dalam usaha tersebut terbilang
relatif kecil berbeda jika kita menginvestasikan dana yang dimiliki
pada usaha properti dimana resiko dan return dalam usaha itu
relatif tinggi. Namun untuk tetap survive diberbagai bisnis yang
sedang digeluti maka kita perlu melakukan diversifikasi bisnis
ibarat teori portofolio mengatakan don’t put all your eggs in one basket
“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”
BAB 1 PENTINGNYA MANAJEMEN RESIKO DALAM PERUSAHAAN 3

oleh sebab itu peran manajer keuangan dalam sebuah bisnis sangat
penting setidaknya dapat meminimalisir resiko yang terjadi pada
perusahaan.
Perusahaan dalam menjalankan bisnisnya akan penuh
ketidakpastian ditambah lagi dengan sistuasi lingkungan internal
maupun eksternal turut serta memberikan dampak resiko dalam
menjalankan bisnis. Faktor tersebut sangat mempengaruhi keadaan
dan perkembangan bisnis perusahaan. Untuk menanggulangi
semua resiko yang mungkin terjadi diperlukan sebuah proses yang
biasanya disebut sebagai manajemen resiko. Menurut
Djojosoedarso (1999) manajemen resiko adalah pelaksanaan fungsi-
fungsi manajemen dalam penanggulan risiko, terutama risiko yang
dihadapi oleh oragnisasi, perusahaan, keluarga, dan masyarakat.
Jadi mencakup kegiatan merencanakan, mengorganisir, menyusun,
memimpin/mengkoordinir dan mengawasi program
penanggulangan resiko. Sedangkan menurut Fahmi (2010 : 2)
manajemen resiko adalah suatu tahapan ilmu yang telah membahas
tentang bagaimana suatu organisasi menerapkan ukuran dalam
memetakan berbagai permasalahan yang ada dengan
mempersiapkan berbagai pendekatan manajemen secara lengkap
dan sistematis. Sehingga disini dapat disimpulkan bahwa
manajemen risiko merupakan suatu proses untuk mengelola risiko
dengan mencegah atau meminimalkan akibat yang berdampak
kerugian.
Faktor penyebab terjadinya resiko yaitu bencaba (perils) dan
bahaya (hazard). Berbagai resiko yang terjadi pada perusahaan
memberikan dampak yang cukup signifikan adapun contoh
dampak yang secara langsung yang memberikan kerugian yaitu
bencana banjir, tanah longsor, gempa dan gelombang laut tinggi.
Menurut Kasidi, 2010) beberapa jenis bahaya dari sebuah resiko
sebagai berikut :
1. Bahaya Fisik (Physical Hazard) misalnya berhubungan dengan
fasilitas bangunan suatu perusahaan.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


4 BAB 1 PENTINGNYA MANAJEMEN RESIKO DALAM PERUSAHAAN

2. Bahaya Moral (Moral Hazard) misalnya sikap ketidakjujuran


atau ketidakdisiplinan.
3. Bahaya moral (Moral Hazard) misalnya sikap yang tidak hati-
hati ataupun kurangnya perhatian dari pihak-pihak terkait
dalam suatu perusahaan.
4. Bahaya karena hukum atau peraturan (Legal Hazard) misalnya
akibat mengabaikan undang-undang atau peraturan yang telah
ditetapkan.

Selain itu Mamduh Hanafi (2009), mengklasifikasikan risiko


menjadi dua yaitu :
1. Risiko Murni (Pure Risk) adalah risiko dimana kemungkinan
kerugian ada, tetapi kemungkinan keuntungan tidak ada
misalnya kecelakaan, kebakaran, kebanjiran dan lain
sebagainya.
2. Risiko Spekulatif (Speculative Risk) adalah risiko dimana kita
mengharapkan terjadinya kerugian dan juga keuntungan
misalnya usaha bisnis dan membeli saham.

Manajemen risiko merupakan desain yang sistematis yang


terintegrasi dengan kemajuan pengetahun dan teknologi tentu
memberikan manfaat dan memberikan kerugian. Tidak terlepas
dari isu risiko yang merupakan sumber problem atau kendala
dalam kegiatan operasional perusahaan maka pemilik usaha atau
top leader corporate dalam memamnage risiko yang akan terjadi
diperlukan harus memiliki strategi dan mengetahui manfaat dan
tujuan manajemen resiko yang sudah dicanangkan sebelumnya
demi melindungi keefektifan atau kelancaran usaha yang sedang
digeluti. Menurut Fahmi (2010) beberapa manfaat dari manajemen
risiko bagi perusahaan sebagai berikut :
1. Perusahaan memilih ukuran kuat sebagai pijakan dalam
mengambil setiap keputusan sehingga para manajer menjadi
lebih berhati-hati (prudent) dan selalu menempatkan ukuran-
ukuran dalam berbagai keputusan.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 1 PENTINGNYA MANAJEMEN RESIKO DALAM PERUSAHAAN 5

2. Mampu memberi arah bagi suatu perusahaan dalam melihat


pengaruh-pengaruh yang mungkin timbul baik secara jangka
pendek dan jangka panjang.
3. Mendorong para manajer dalam mengambil keputusan untuk
selalu menghindari dari pengaruh terjadinya kerugian
khususnya dari segi finansial.
4. Memungkinkan perusahaan memperoleh risiko kerugian yang
minimum.
5. Dengan adanya konsep manajemen risiko (risk management
concept) yang dirancang secara detail maka artinya perusahaan
telah membangun arah dan mekanisme secara berkelanjutan
(suistainable).

Kasidi menyatakan bahwa tujuan manajemen risiko itu


sendiri yaitu
1. Mendukung pencapaian tujuan perusahaan.
2. Memungkinkan untuk melakukan aktivitas yang memberikan
peluang yang lebih tinggi dengan mengambil risiko yang tinggi
: risiko yang tinggi diambil dengan dukungan sikap dan solusi
yang sesuai terhadap risiko.
3. Mengurangi kemungkinan kesalahan fatal.
4. Menyadari risiko dapat terjadi pada setiap aktivitas dan
tingkatan dalam organisasi sehingga setiap individu harus
mengambil dan mengelola risiko masing-masing sesuai dengan
wewenang dan tanggungjawab

Tidak terlepas dari tujuan dan manfaat dari manajemen


risiko diatas ternyata perlu kita ketahui bersama bahwa pentingnya
imanajemen risiko organisasi/perusahaan dapat dilihat dari dua
segi yaitu :
1. Seseorang sebagai anggota oragnisasi/ perusahaam, terutama
seorang manajer akan dapat mengetahui cara-cara/ metode
yang tepat untuk menhindari atau mengurangi besarnya
kerugian yang diderita perusahaan, sebagai akibat
ketidakpastian terjadinya suatu peristiwa yang merugikan.
“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”
6 BAB 1 PENTINGNYA MANAJEMEN RESIKO DALAM PERUSAHAAN

2. Seseorang sebagai pribadi :


a. Dapat menjadi seorang manajer risiko yang proffesional
dalam waktu yang relatif lebih cepat daripada yang belum
pernah mempelajarainya.
b. Dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi
manajer risiko dari perusahaan dimana yang bersangkutan
maenjadi anggota.
c. Dapat menjadi konsultan manajemen risiko, agen asusransi,
pedagang, perantara, penasehat penanaman modal,
konsultan perusahaan yang tidak mempunyai manajer
risiko dan sebagainya.
d. Dapat menjadi manajer risiko yang proffesional dari
perusahaan suransi, sehingga akan lebih meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui program asuransi yang
disusun dengan tepat.
e. Dapat lebih berrhai-hati dalam mengatur kehidupan
pribadinya sehari-hari.

B. Prinsip Dan Proses Manajemen Resiko


Pada prinsipnya manajemen risiko harus merupakan
sebagai pemahaman manajemen resiko memungkinkan pimpinan
perusahaan untuk terlibat secara efektif dalam menghadapi
ketidakpastian dengan risiko dan peluang yang berhubungan dan
meningkatkan kemampuan oragnisasi/ perusahaan untuk
memberikan nilai tambah. Dalam hal ini beberapa konsep dari
proses manajemen resiko maka Mamduh Hanafi (2009) membagi
proses manajemen resiko menjadi beberapa tahap antara lain :
1. Perencanaan
Prencanaan manajemen risiko bisa dimulai dengan
menetapkan visi, misi dan tujuan yang berkaitan dengan
manajemen risiko. Kemudian perencanaan manajemen risiko
bisa diteruskan dengan penetapan target, kebijakan dan
prosedur yang berkaitan dengan manajemenn risiko. Akan
lebih baik lagi jika visi. misi, kebijakan dan prosedur tersebutu

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 1 PENTINGNYA MANAJEMEN RESIKO DALAM PERUSAHAAN 7

dituangkan secara tertulis. Dokumen tertulis semacam itu


memudahkan pengarahan, sekaligus menegaskan dukungan
manajemen terhadap program manajemen resiko. Contoh misi
atau kebijakan dan prosedur yang berkaitan dengan
manajemen resiko dari beberapa perusahaan : Pernyataan Misi
Manajemen Risiko Goldman Sach. Misi dari departemen risiko
adalah mengumpulkan, menganalisis, memonitor, dan
mendistribusikan informasi yang berkaitan dengan risiko
pasar dari posisi perusahaan supaya traders, manajer dan
personel lain dalam organisasi dan terutama komite risiko
memahami dan membuat keputusan berdasarkan informasi
mengenai manajemen dan pengendalian risiko yang diambil.

2. Pelaksanaan
Pelaksanaan manajemen risiko meliputi aktivitas
operasional yang berkaitan dengan manajemen risiko. Proses
identifikasi dan pemngukuran risiko kemudian diteruskan
dengan pengelolaan risiko yang merupakan aktivitas
operasional yang utama dari manajemen risiko.
a. Identifikasi Risiko
Identifikasi risiko dilakukan untuk mengidentifikasi
risiko-risiko apa saja yang dihadapi oleh suatu perusahaan
dimana dalam hal ini mengidentifikasi risiko dan
mempelajari karakteristik risiko, mengukur risiko dengan
melihat seberapa besar dampak risiko tersebut terhadap
kinerja perusahaaann dan menentukan prioritas risiko.
Sebagai contoh Kompor ditaruh dekat penyimpanan
minyak tanah. Api merupakan sumber risiko, kompor
yang ditaruh dekat minyak tanah merupakan kondisi
yang meningkatkan terjadinya kecelakaan, bangunan
yang bisa terbakar merupakan eksposur yang dihadapi
perusahaan.
b. Evaluasi Dan Pengukuran Risiko

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


8 BAB 1 PENTINGNYA MANAJEMEN RESIKO DALAM PERUSAHAAN

Tujuan evaluasi risiko adalah untuk memahami


karakteristik risiko dengan lebih baik. Jika kita
memperoleh pemahaman yang lebih baik, maka risiko
akan lebih mudah dikendalikan. Evaluasi yang lebih
sistematis dilakukan untuk mengukur risiko tersebut.
Sebagai conoth kita bisa memperkirakan
c. Pengelolaan Risiko
Risiko harus dikelola, jika tidak maka
konsrkuensinya cukup serius misal kerugian yang cukup
besar. Risiko bisa dikelola dengan berbagai cara antara
lain dengan melakukan penghindaran, risiko tersebut
ditahan, malakukan diversifikasi, mentransfer risiko,
dan mengendalikan risiko dan mendanai kerugian
sendiri.

3. Pengendalian
Tahap berikutnya dari proses manajemen risiko
adalah pengendalian yang meliputi evaluasi secara periodik
pelaksanaan manajemen risiko, output pelaporan yang
dihasilkan oleh manajemen risiko dan umpan balik
(feedback). Format pelaporan manajemen risiko bervariasi
dari satu organisasi ke oraganisasi lainnya dan dari satu
organisasi ke organisasi lainnya dan dari satu kegiatan-
kegiatan lainnya.
Disisi lain Djohanputro (2008) menjelaskan beberapa
proses ataupun tahapan manajemen risiko yaitu :
1. Identifikasi Risiko
Tahap ini mengidentifikasi apa saja risiko yang
dihadapi oleh perusahaan. Langkah pertama dalam
mengidentifikasi risiko adalah melakukan analisis pihak
yang berkepentingan (stakeholders). Langkah kedua dapat
menggunakan 7S dari McKenzie yaitu shared vakue,
strategy, structure, staff, skill, sistem dan style.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 1 PENTINGNYA MANAJEMEN RESIKO DALAM PERUSAHAAN 9

2. Pengukuran Risiko
Pengukuran risiko mengacu pada dua faktor yaitu
kuantitatif dan kualitatif. Kuantitatif risiko menyangkut
berapa banyak nilai atau eksposur yang rentan terhadap
risiko. Sedangkan kualitatif menyangkut kemungkinan
suatu risiko muncul semakin tinggi kemungkinan risiko
terjadi maka semakin tinggi pula risikonya.

3. Pemetaan Risiko
Pemetaan risiko ditujukan untuk menetapkan
prioritas risiko berdasarkan kepentingannya bagi
perusahaan. Adanya prioritas dikarenakan perusahaan
meimiliki keterbatasan dalam sumber daya manusia dan
jumlah uang sehingga perusahaan perlu menetapkan mana
yang perlu dihadapi terlebih dahulu mana yang dinomor
duakan dan mana yang perlu diabaikan. Selain itu prioritas
juga ditetapkan karena tidak semua risiko memiliki dampak
pada tujuan perusahaan.

4. Pengelolaan Risiko
Pengelolaan risiko terdapat beberapa macam
diantaranya pengelolaan risiko secara konvensional
penetapan model risiko struktur oragnisasi pengeleolaan
dan lain-lain.

5. Monitor Dan Pengendalian Risiko


Fungi monitor dan pengendalian risiko yaitu (a)
Manajemen perlu memastikan bahwa pelaksanaan
pengelolaan risiko berjalan sesuai dengan rencana, (b)
Manajemen juga perlu memastikan bahwa pelaksanaan
pengelolaan risiko cukup efektif dan (c) Risiko itu sendiri
berkembang, monitor dan pengendalian bertujuan untuk
memantau perkembangan terhadap kecenderungan
berubahnya profil risiko. Perubahan ini berdampak pada

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


10 BAB 1 PENTINGNYA MANAJEMEN RESIKO DALAM PERUSAHAAN

pergeseran peta risiko yang otomatis pada perubahan


prioritas risiko.
Menurut ISO 31000 : 2009, agar manajemen risiko
menjadi lebih efektif maka perusahaan harus mematuhi
prinsip-prinsip manajemen risiko sebagai berikut :
1. Pengelolaan risiko menciptakan dan melindungi nilai
maksudnya manajemen risiko memberikan kontribusi
melalui peningkatan kemungkinan pencapaian sasaran
perusahaan secara nyata. Selain itu juga memberikan
perbaikan dalam aspek keselamatan, kesehatan kerja,
kepatuhan terhadap peraturan perundangan, perlindungan
lingkungan hidup, persepsi publik, kualitas produk,
reputasi corporate governance, efisiensi dan operasi.
2. Pengelolaan risiko merupakan nagian yang terintegrasi
dengan seluruh proses bisnis organisaso maksudnya
manajemen risiko bukan suatu aktivitas yang berdiri sendiri
namun merupakan bagian dari tanggung jawab manajemen
dan merupakan bagian proses organisasi, termasuk
prencanaan strategis dan proyek serta proses perubahan
manajemen.
3. Pengelolaan risiko merupakan bagian dari proses
pengambilan keputusan maksudnya pengelolaan risiko
membantu memberikan informasi kepada pembuat
keputusan membantu menentukan prioritas dan
menunjukkan semua risiko yang memerlukan tindakan
pengendalian.
4. Pengelolaan risiko secara ekspelisit memperhitungkan
ketidakpastian maksudnya pengelolaan risiko eksplisit
memperhitungkan ketidakpastian, memperkirakan sifat
ketidakpastian dan bagaimana harus ditangani.
5. Pengelolaan risiko dibangun melalui pendekatan yang
sistematis, terstruktur dan tepat waktu maksudnya secara
sistematis terstruktur dan tepat waktu merupakan
pendekatan pengelolaan risiko yang dapat memberikan

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 1 PENTINGNYA MANAJEMEN RESIKO DALAM PERUSAHAAN 11

kontribusi secara efisien dan konsisten. Hasilnya dapat


dibandingkan dan memberikan hasil serta perbaikan.
6. Pengelolaan risiko membutuhkan ketersediaan informasi
yang memadai maksudnya informasi dalam proses
manajemen risiko merupakan dasar sumber informasi yang
berupa data historikal, respon pemangku kepentingan,
pengalaman observasi, estimasi dan pertimbangan ahli.
Akan tetapi harus disadari bahwa semua informasi
memberikan keterbatasan yang harus dipertimbangkan
dalam mengambil keputusan baik dalam membuat model
risiko maupun perbedaan pendapat yang mungkin terjadi
diantara para ahli.
7. Penegelolaan risiko membutuhkan kustomisasi maksudnya
manajemen risiko harus diselaraskan dengan lingkungan
eksternal organisasi dan konteks internal serta prodil risiko.
8. Pengelolaan risiko mempertimbangkan faktor manusia dan
budaya maksudnya penerapan manajemen risiko
disesuaikan dengan kapabilitas organisasi persepsi dan
tujuan individu secara internal maupun eksternal di luar
organisasi yang dapat menunjang atau menghambat
pencapaian tujuan organisasi.
9. Pengelolaan risiko bersifat transparan dan inklusif
maksudnya untuk memastikan bahwa manajemen risiko
masih tetap relevan para pemamgku kepentingan dari
seluruh level oragnisasi dan pemangku kepentingan secara
efektif. Keterlibatan para pemangku kepentingan harus
dapat terwakili dengan baik dan mendapatkan kesempatan
meyampaikan pendapat dalam menentukan kriteria risiko.
10. Pengelolaan risiko bersifat dinamis, berulang dan tanggap
terhadap perubahan maksudnya ketika organisasi
mengalami perubahan dan terjadi peristiwa baru konteks
dan pemahaman risiko juga akan mengalami perubahan.
Dalam hal ini monitoring dan review berperan memberikan
kontribusi atas perubahan yang terjadi sehingga mincul

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


12 BAB 1 PENTINGNYA MANAJEMEN RESIKO DALAM PERUSAHAAN

risiko baru ada yang berubah frekuensi maupun dampaknya


dan ada risiko yang sudah tidak muncul kembali. Sehingga
manajemen risiko harus senantiasa tanggap terhadap
perubahan yang terjadi.
11. Pengelolaan rsiko dapat memfasilitasi pengembangan
berkelanjutan dari organisasi maksudnya organisasi
mengembangkan dan menerapkan perbaikan strategi
manajemen risiko serta meningkatkan kematangan
pelaksanaan manajemen risiko dari seluruh proses
bisnisnya.
Mamduh Hanafi (2009) mengungkapkan berbagai tipe-
tipe resiko dapat dinilai berdasarkan pengukuran dabn level
risiko dapat diberikan skor 1-5 dengan kerangka pengukuran
dampak sebagai berikut :

Tabel 1.1 Pengukuran Untuk Beberapa Risiko


Tipe Risiko Definisi Teknik Pengukuran
Risiko Pasar Harga pasar bergerak ke arah Value at Risk (VAR),
yang tidak menguntungkan Stress Testing
(nerugikan)
Risiko Kredit Counterparty tidak Credit rating,
membayar kewajibannya creditmetrics
(gagal bayar) ke prusahaan
Risiko Tingkat bunga berubah yang Metode pengukuran
perubahan mengakibatkan kerugian pada jangka waktu, durasi
tingkat bunga portofolio perusahaan
Risiko Kerugian yang terjadi melalui Matriks frekuensi dan
Operasional operasi perusahaan (misal signifikansi kerugian,
sistem yang gagal, serangan VAR operasional
teroris)
Risiko Kematian Manusia mengalami kematian Probabilitas kematian
dini (lebih cepat dari usia dengan tabel mortalitas
kematian wajar)
Risiko Manusia terkena penyakit Probabilitas terkena
kesehatan tertentu penyakit dengan

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 1 PENTINGNYA MANAJEMEN RESIKO DALAM PERUSAHAAN 13

menggunakan tabel
mordibilitas
Risiko teknologi Perubahan teknologi Analisis skenario
mempunyai konsenkuensi
megatif terhadap perusahaan

Tabel 1.2 Level Risiko


No Rating Dampak Keterangan
1. Sangat rendah/ tidak Dampak dapat ditangani pada tahap
signifikan kegiatan rutin. Kerugian kurang material dan
tidak mempengaruhi stakeholder.
2. Kecil Mengancam efisiensi dan efektivitas
beberapa aspek program, kerugian kurang
material dan sedikit mempengaruhi
stakeholder.
3. Menengah/ Medium Menganggu administrasi program. Kerugian
keuangan dan politis cukup besar.
4. Besar Mengancam fungsi program yang efektif dan
organisasi. Kerugian cukup besar bagi
organisasi dari segi keuangan maupun
politis.
5. Sangat Tinggi Mengancam program dan organisasi dari
segi keuangan maupun politis.

Tabel 1.3 Kerangka Pengukuran Kemungkinan


Kemungkinan Kriteria
Rating %
1 >1-10 Sangat tidak mungkin/ hampir mustahil
2 >10-30 Kecil kemungkinan, tapi tidak mustahil
3 >30-50 Kemungkinan terjadi
4 >50-90 Sering terjadi
5 >90-100 Hampir pasti terjadi

C. Sistem Manajemen Risiko


Walaupun kita sudah mengetahu beberapa bagian dari
indikator manajemen risiko yang terdiri atas identifikasi,
mengukur, memonotor, dan mengelola berbagai exposure risiko

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


14 BAB 1 PENTINGNYA MANAJEMEN RESIKO DALAM PERUSAHAAN

namun dalam penerapannya perlu disertai dengan sistem yang


jelas karena pada dasarnya proses daripada manajemen risiko itu
sendiri harus meliputi seluruh departemen atau divisi kerja. Sistem
manajemen rsiko dapat dijadikan sebagai standar yang bisa dianut
oleh organisasi. Sistem manajemen risiko yang komprehensif harus
mencakup tiga komponen yaitu
1. Lingkungan manajemenn risiko yang tepat dan kebijakan dan
prosedur yang sehat.
Tahap ini berhubungan dengan keseluruhan tujuan dan
strategis perusahaan terhadap risiko dan kebijakan-kebijakan
manajemen terhadapnya. Dalam hal ini doreksi harus
bertanggungjawab untuk menjelaskan keseluruhan tujuan,
kebijakan, dan strategi manajemen risiko harus
dikomunikasikan pada seluruh bagian perusahaan termasuk
menyepakati seluruh kebijakan perusahaan terhadap risiko,
direksipun harus meyakinkan bahwa pihak manajemen telah
mengambil langkah-langkah yang tepat untuk
mengidentifikasi, mengukur, memonitor, dan mengontrol
risiko-risiko yang terjadi.
2. Proses pengukuran, mitigasi, dan monitoring yang tepat
Dalam hal ini perusahaan harus memiliki sistem manajemen
informasi untuk mengukur, mengontrol dan melaporkan
berbagai eksposur risiko. Yang perlu dilakukan disini yaitu
melakukan pengukuran dan monitoring dengan tindakan yaitu
membuat standarisasi risiko dengan menciptakan standar
menginventaris risiko berdasarkan aset, serta membuat laporan
manajemen risiko dan laporan audit secara berkala.
3. Kontrol internal yang memadai
Tahap ini perusahaan harus memiliki kontrol internal yang
efektif mencakup proses identifikasi dam evaluasi berbagai
jenis risiko yang cukup dan terdapat sistem informasi yang
memadai untuk mendukungnya dan bagian terpenting dari
kontrol internal adalah meyakinkan bahwa tugas untuk

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 1 PENTINGNYA MANAJEMEN RESIKO DALAM PERUSAHAAN 15

mengukut memonitor, dan mengontrol risiko telah dibuat


secara terpisah.
Adapun beberapa kunci keberhasilan manajemen resiko
yaitu sebagai berikut :
1. Adanya komitmen yang kuat dari pimpinan dan seluruh
komponen/ pemangku kepentingan untuk mengenali,
memahami, mengkomunikasikan dan menerapkan prinsip-
prinsip manajemen risiko dalam prencanaan, pelaksanaan,
dan pertanggungjawaban seluruh aktivitas operasional
perusahaan.
2. Adanya kesadaran dari pimpinan dan seluruh komponen/
pemangku kepentingan satuan kerja terhadap langkah-
langkah pengelolaan risiko untuk menciptakan
kultur/budaya kerja yang efektf, efisien, transparan dan
akuntanbel.
3. Adanya supervisi, pemantauan, evaluasi dan monitoring
(SPEM) secara insidental dan terus menerus terhadap
penerapan manajemen risiko.
4. Adanya perbaikan dan pembaharuan manajemen risiko
sesuai dengan perkembangan yang ada.
5. Adanya penguatan pelaksanaan manajemen risiko berubah
hadiah dan hukuman terhadap semua karyawan.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


16 BAB 1 PENTINGNYA MANAJEMEN RESIKO DALAM PERUSAHAAN

DAFTAR PUSTAKA

Bramantyo, and Djohanputro. 2008. Manajemen Risiko Korporat. Jakarta:


PPM Manajemen.

Irham, and Fahmi. 2010. Manajemen Resiko. Bandung: Alfabeta.

Kasidi. n.d. Manajemen Resiko. Bogor: Ghana Indonesia.

Manduh, and Hanafi. n.d. Manajemen Risiko. Yogyakarta: UPP STIM


YKPN.

Soeisno, and Djojosoedarso. 1999. Prinsip-Prinsip Manajemen Resiko


Asuransi. Jakarta: PT. Salemba Empat.

Standard, International. 2009. ISO 31000 Risk Management Principles and


Guidelines. Geneva: ISO.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 1 PENTINGNYA MANAJEMEN RESIKO DALAM PERUSAHAAN 17

PROFIL PENULIS

Puji Muniarty, Lahir di


Nunggi pada tanggal 26 Nopember
1985. Menyelesaikan pendidikan S-1
dan S-2 Manajemen Konsentrasi
Manajemen Keuangan Bisnis di
Universitas Mataram. Penulis
mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi (STIE) Bima. Penulis pernah
menjadi dosen tamu di PICOMS
Internasional University College
Kuala Lumpur Malaysia. Sebagai
akademisi penulis juga terlibat dalam
Tim Penyusunan Studi Awal Masterpan Pengembangan Ekonomi
Kegiatan Koordinasi Prencanaan Pembangunan Ekonomi Kabupaten
Bima, Tim Survei Pemantauan Harga (SPH) Bank Indonesia, Tim
Penyusunan Naskah Akdemik Pemberian Insentif Dan Kemudahan
Penanaman Modal Di Kota Bima, Tim Hygiene Factor PT. PLN ULP3
Bima, Tim Konsultasi Public PT. PLN ULP3 Bima, Anggota Dewan
Pengupahan Kabupaten Bima dan Tim Juri Kompetisi Wirausaha
Muda Tingkat Kota Bima.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


18 BAB 2 MODEL PENCIPTAAN NILAI PERUSAHAAN

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 2 MODEL PENCIPTAAN NILAI PERUSAHAAN 19

BAB 2
PENCIPTAAN NILAI PERUSAHAAN

A. Konsep Perusahaan dan Rentabilitas Modal


Kata ‘usaha’ memiliki beberapa pengertian tergantung pada
bidang apa kata tersebut akan ditelaah. Dalam konteks kehidupan
sehari-hari, usaha diartikan sebagai kegiatan. Dalam bidang
ekonomi, kata ‘usaha’ memiliki pengertian ‘melakukan kegiatan
untuk menghasilkan sesuatu yang menguntungkan’. Sementara
pengertian usaha dalam Undang Undang nomer 3 tahun 1982
tentang Wajib Daftar Perusahaan adalah setiap tindakan,
perbuatan atau kegiatan apapun dalam bidang perekonomian,
yang dilakukan oleh setiap pengusaha untuk tujuan memperoleh
keuntungan dan atau laba. Kata ‘usaha’ seringkali diikuti juga oleh
kata ‘ekonomi’. Apa yang menjadi pengertian dari kata ‘usaha
ekonomi’? Usaha ekonomi adalah seluruh kegiatan yang
dikembangkan secara ekonomi yang mendatangkan laba dari hasil
menjual barang. Sampai di sini sudah dipahami arti kata ‘usaha’
dan kata ‘usaha ekonomi’.
Menyambung pengertian tersebut, ada bentukan kata
‘usaha’ yang hampir selalu dipakai dalam konteks pembicaraan
bidang ekonomi yaitu kata ‘perusahaan’. Perusahaan secara
sederhana diartikan sebagai tempat orang melakukan usaha. Pada
Undang Undang yang sama yaitu Undang Undang nomer 3 tahun
1982, disebutkan bahwa perusahaan adalah setiap bentuk usaha
yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus
menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam
wilayah Negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh
keuntungan dan atau laba. Pendapat lain mengenai arti perusahaan
adalah suatu lembaga dalam bentuk organisasi yang dioperasikan
dengan tujuan untuk menyediakan barang dan jasa bagi
masyarakat dengan motif atau insentif keuntungan. Sudah
diterima secara meluas juga, ilmu ekonomi memberi pengertian

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


20 BAB 2 MODEL PENCIPTAAN NILAI PERUSAHAAN

perusahaan dengan ‘tempat terjadinya kegiatan produksi atas


barang dan jasa atau tempat dioperasikannya atau diolahnya faktor
produksi’. Dengan adanya makna berkegiatan, maka perusahaan
memiliki beberapa unsur di dalamnya. Unsur badan usaha sebagai
tempat beraktivitas, unsur terus menerus dan bersifat tetap, unsur
diketahui publik, unsur menghasilkan keuntungan dan manfaat,
dan unsur pembukuan. Unsur yang ada pada makna perusahaan
ini berimplikasi untuk melakukan kegiatan entrepreneuring yang
intinya adalah melakukan kegiatan bisnis yang menghasilkan
keuntungan dan manfaat bagi masyarakat publik.
Konsep keuntungan atau laba bagi perusahaan adalah
mendapatkan selisih yang paling positif dari pendapatan (total
revenue) dan biaya (total cost). Laba maksimum tercapai jika
marginal revenue (MR) sama dengan marginal cost (MC); atau bila
marginal revenue (MR) bergerak turun dan marginal cost bertendensi
naik; dan bila total revenue (TR) kurang total cost (TC) ada pada
hitungan/jumlah terbesar. (Bararuallo, 2011). Namun target
keuntungan ini dinilai kurang sempurna karena belum
mempertimbangkan faktor utama yang terkait dengan dana apa
yang dipakai oleh perusahaan dalam membentuk modal usahanya.
Hal yang dibicarakan di sini adalah struktur modal perusahaan.
Bila biaya modal dari pinjaman perusahaan lebih tinggi dari laba
yang diperoleh sebelum dikurangi dengan biaya pajak, perusahaan
tidak akan sehat. Struktur modal yang optimal yaitu terjadi
perbandingan antara ekuiti dengan hutang yang memaksimalkan
harga saham perusahaan. (Bararuallo, 2011)
Kondisi yang bisa dialami oleh perusahaan adalah mendapat
laba, berada pada kondisi impas atau mengalami kerugian. Bila
memiliki laba maka perusahaan dikatakan memiliki likuiditas yang
baik yaitu perusahaan mampu mendatangkan alat-alat yang likuid
untuk menyelesaikan kewajiban hutang peusahaan. Di masa yang
panjang, kondisi ini dipastikan membuat perusahaan menjadi
solvabel yaitu saat perusahaan mengalami likuidasi. Kondisi

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 2 MODEL PENCIPTAAN NILAI PERUSAHAAN 21

terburuk dari hal ini adalah jika perusahaan tidak likuid dan tidak
solvabel.
Kondisi di mana perusahaan mampu menghasilkan laba dari
kegiatan usahanya disebut sebagai rentabilitas usaha. Berdasarkan
struktur modal yang ada, maka dikenal dua jenis rentabilitas yaitu
rentabilitas ekonomi dan rentabilitas modal sendiri. Yang
membedakan adalah jika rentabilitas ekonomi membicarakan
tentang bagaimana modal asing (lebih dimaknai dengan long-term
debt) bisa bekerja secara efisien dalam menghasilkan laba;
sementara rentabilitas modal sendiri berbicara tentang perusahaan
yang berlaba atas kekuatan modal yang dimilikinya.
Kinerja keuangan perusahaan akan sampai pada pemikiran
bagaimana tambahan dana dari luar yang akan menambah modal
usaha bisa secara sehat meningkatkan kondisi sehat sebuah usaha.
Tambahan dana ini hanya akan dilakukan bila rentabilitas modal
sendiri lebih besar dibandingkan dengan tambahan dana dari
pinjaman (debt). Dengan demikian keputusan penambahan dana
akan terkait dengan likuiditas dan solvabilitas perusahaan.

B. Teori Struktur Modal dan Perkembangannya


Teori struktur modal (capital structure theory) adalah dasar
dari pemberian makna bagaimana unsur keuangan memberi
pengaruh pada nilai perusahaan. Teori yang dikembangkan oleh
Modigilani dan Miller pada tahun 1958. Teori yang banyak dirujuk
adalah teori Myers pada tahun 1984 dan teori Myers dan Majluf
pada tahun 1984. Dalam teorinya. Mereka menyatakan bahwa nilai
perusahaan adalah jumlah hutang (long-term debt) dengan nilai
ekuitas (equity). Pada teori struktur modal nilai perusahaan dapat
dievaluasi dengan pendekatan struktur modal, yaitu faktor yang
ada pada sisi aktiva neraca perusahaan maupun faktor yang ada
dalam struktur modal sendiri ataukah faktor lain yang berada di
luar neraca perusahaan seperti laba (earnings). (Bararuallo, 2011).
Teori struktur modal atau capital structure theory mengatakan
bahwa untuk setiap perusahaan atau investasi ada campuran

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


22 BAB 2 MODEL PENCIPTAAN NILAI PERUSAHAAN

optimal antara pembiayaan hutang dan ekuitas yang


meminimalkan WACC dan memaksimalkan nilai. Berdasarkan
teori ini, struktur modal yang optimal terjadi di mana biaya
marjinal hutang sama dengan biaya marjinal ekuitas. WACC
(Weighted Average Cost of Capital) adalah biaya modal rata-rata
tertimbang adalah perhitungan biaya modal perusahaan di mana
setiap kategori modal ditimbang secara proporsional. Semua
sumber modal, termasuk saham biasa, saham preferen, obligasi,
dan hutang jangka panjang lainnya, termasuk dalam perhitungan
WACC. WACC perusahaan meningkat seiring dengan
peningkatan pengembalian ekuitas karena peningkatan WACC
menunjukkan penurunan penilaian dan peningkatan risiko.
Di dalam teori struktur modal ada pecking order theory dan
trade-off theory. Dalam keuangan perusahaan, teori pecking order
mendalilkan bahwa biaya pembiayaan meningkat dengan
informasi asimetris. Pembiayaan berasal dari tiga sumber, dana
internal, hutang dan ekuitas baru. Perusahaan memprioritaskan
sumber pembiayaan mereka, pertama lebih memilih pembiayaan
internal, dan kemudian hutang, terakhir meningkatkan ekuitas
sebagai hal akhir yang diupayakan. Oleh sebab itu pembiayaan
internal digunakan terlebih dahulu; ketika itu habis, maka hutang
diterbitkan; dan ketika tidak lagi bijak untuk menerbitkan hutang
lagi, ekuitas diterbitkan. Teori ini menyatakan bahwa bisnis
mematuhi hierarki sumber pembiayaan dan lebih memilih
pembiayaan internal jika tersedia, dan hutang lebih disukai
daripada ekuitas jika pembiayaan eksternal diperlukan. Perlu
diingat bahwa ekuitas melibatkan orang luar ke dalam perusahaan
melalui kepemilikah saham.
Teori pecking order dipopulerkan oleh Myers dan Majluf di
mana mereka berpendapat bahwa ekuitas adalah cara yang kurang
disukai untuk meningkatkan modal karena ketika manajer
mengeluarkan ekuitas yang baru, investor percaya bahwa manajer
berpikir bahwa perusahaan dinilai terlalu tinggi dan manajer
mengambil keuntungan dari penilaian berlebihan ini. Akibatnya,

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 2 MODEL PENCIPTAAN NILAI PERUSAHAAN 23

investor akan memberikan nilai yang lebih rendah pada penerbitan


ekuitas baru tersebut.
Modigliani dan Miller lah yang mengenalkan trade-off theory
pada tahun 1963. Teori trade-off dari struktur modal adalah gagasan
bahwa perusahaan memilih berapa banyak pembiayaan hutang
dan berapa banyak pembiayaan ekuitas yang akan digunakan
dengan menyeimbangkan biaya dan manfaat. Tujuan penting dari
teori ini adalah untuk menjelaskan fakta bahwa perusahaan
biasanya dibiayai sebagian dengan hutang dan sebagian lagi
dengan ekuitas. Ini menyatakan bahwa ada keuntungan
pembiayaan dengan hutang, manfaat pajak dari hutang dan ada
biaya pembiayaan dengan hutang, biaya kesulitan keuangan
termasuk biaya kebangkrutan hutang dan biaya non-
kebangkrutan. Manfaat marjinal dari kenaikan lebih lanjut dalam
hutang menurun seiring dengan peningkatan hutang, sementara
biaya marjinal meningkat, sehingga perusahaan yang
mengoptimalkan nilai keseluruhannya akan fokus pada trade-off ini
ketika memilih berapa banyak hutang dan ekuitas yang akan
digunakan untuk pembiayaan. (Suripto, 2015).
Teori trade off mengasumsikan bahwa perusahaan memiliki
satu rasio hutang yang optimal di mana pada saat yang mencapai
kondisi tertinggi atau terendah tingkat hutangnya, maka
perusahaan akan menyesuaikan tingkat hutang aktualnya ke titik
yang optimal. Sementara, teori pecking order mengasumsikan
bahwa perusahaan mengikuti hierarki pembiayaan di mana
perusahaan meminimalkan ekuitas dan memilih hutang. Tetapi
tidak satu pun dari kedua teori ini memberikan gambaran lengkap
mengapa beberapa perusahaan lebih memilih hutang dan yang lain
lebih memilih keuangan ekuitas dalam keadaan yang berbeda.
Trade off theory berlanjut dengan teori keagenan (agency
theory) dan teori biaya kebangkrutan (tax-bancruptcy cost theory).
Menurut teori biaya keagenan, struktur modal optimal tercapai
pada saat manajer perusahaan memilih tingkat hutang dan ekuitas
yang dapat meminimumkan biaya keagenan yang muncul akibat

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


24 BAB 2 MODEL PENCIPTAAN NILAI PERUSAHAAN

konflik yang terjadi antara manajer dengan pemegang sahanm dan


antara pemegang saham dengan pemberi pinjaman (Barraruallo,
2011). Adanya konflik tersebut karena terdapat perbedaan
kepentingan antara pemilik perusahaan dengan manajemen.
Manajemen menuntut memeroleh fasilitas dalam mengoperasikan
usaha dan pemliki perusahaan menuntut manajemen
menghasilkan keuntungan baginya. Inilah yang dinamakan agency
problem. (Suripto, 2015). Problem ini menghasilkan biaya misalnya
monitoring expenses, bonding expenses, dan residual costs.
(Barraruallo, 2011). Untuk mengatasi problem biaya keagenan
dapat dilakukan dengan mengambil kebijakan
pendanaan/struktur modal yang mempertimbangkan antara biaya
agency dan kesulitan keuangan (financial distress). Melalui leverage
berpihak pada kepentingan pemilik karena leverage akan
menimbulkan kessulitan keuangan yang tentu akan mengancam
keberadaan manajemen. Jadi di sini perusahaan dihadapkan pada
2 situasi yaitu antara mengurangi biaya agency dan menghadapi
kesulitan keuangan. (Suripto, 2015).
Bankcrupt theory menyatakan bahwa keuntungan
penggunaan hutang muncul karena peranan biaya bunga sebagai
pengurang dalam perhitungan laba kena pajak perusahaan.
Perusahaan akan membayar pajak penghasilan yang lebih rendah
dibandingkan perusahaan yang menggunakan seratus persen
ekuitas dan memeroleh return on equity (ROE) lebih tinggi karena
jumlah modadl ekuitas yang ditanam lebih sedikit. Hal ini akan
berakibat pada peningkatan harga saham karena penggunaan
hutang yang akan berdampak pada meningkatnya nilai
perusahaan (Bararuallo, 2011).

C. Pengukuran Kinerja Perusahaan


Menurut Helfert, ada tiga kategori yang dipakai untuk
mengukur kinerja perusahaan (Helfert dalam Suripto, 2015), yaitu
Earning Measures dengan dasar kinerja pada keuntungan/profit,
Cash Flow Measusres dengan dasar kinerja pada arus kas operasi

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 2 MODEL PENCIPTAAN NILAI PERUSAHAAN 25

(operating cash flow) dan Value Measures dengan dasar kinerja


pada nilai kerja manajemen.
Dalam kelompok Earning Measures ada Earning Per Share
(EPS), Return on Investment (ROI), Return on Net Assets (RONA),
Return on Capital Employed (ROCE) dan Return on Equity (ROE).
Berikut penjelasan dari masing-masing dasar kinerja.
1. EPS menunjukkan berapa banyak uang yang dihasilkan
perusahaan untuk setiap sahamnya, dan merupakan metrik
yang banyak digunakan untuk memperkirakan nilai
perusahaan. EPS yang lebih tinggi menunjukkan nilai yang
lebih besar karena investor akan membayar lebih banyak untuk
saham perusahaan jika menurut mereka perusahaan memiliki
laba yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga sahamnya.
2. ROI adalah ukuran kinerja yang digunakan untuk
mengevaluasi efisiensi atau profitabilitas investasi atau
membandingkan efisiensi sejumlah investasi yang berbeda.
ROI mencoba mengukur secara langsung jumlah laba atas
investasi tertentu. Meskipun ROI adalah ukuran yang
sederhana dan langsung, ROI tidak memperhitungkan periode
penyimpanan atau berlalunya waktu, sehingga ROI dapat
kehilangan biaya peluang untuk berinvestasi di tempat lain.
3. RONA adalah ukuran kinerja keuangan yang dihitung sebagai
laba bersih dibagi jumlah aktiva tetap dan modal kerja bersih.
Laba bersih disebut juga laba bersih. Rasio RONA
menunjukkan seberapa baik perusahaan dan manajemennya
menggunakan aset yang bernilai ekonomis; hasil rasio yang
tinggi menunjukkan bahwa manajemen memeras lebih banyak
pendapatan dari setiap dana yang diinvestasikan dalam aset
perusahaan. Rasio RONA yang tinggi juga menunjukkan
bahwa manajemen sedang memaksimalkan penggunaan aset
perusahaan. Pendapatan bersih dan aset tetap dapat
disesuaikan untuk item yang tidak biasa atau tidak berulang
untuk mendapatkan hasil rasio yang dinormalisasi.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


26 BAB 2 MODEL PENCIPTAAN NILAI PERUSAHAAN

4. Return on equity (ROE) adalah ukuran kinerja keuangan yang


dihitung dengan membagi laba bersih dengan ekuitas
pemegang saham. Karena ekuitas pemegang saham sama
dengan aset perusahaan dikurangi hutangnya, ROE dianggap
sebagai pengembalian aset bersih. ROE dianggap sebagai
ukuran profitabilitas perusahaan dalam kaitannya dengan
ekuitas pemegang saham. Apakah ROE dianggap memuaskan
akan tergantung pada standar normal yang berbeda bagi tiap
industri. Sebagai jalan pintas, investor dapat
mempertimbangkan ROE yang mendekati rata-rata jangka
panjang 14% sebagai rasio yang dapat diterima dan yang
kurang dari 10% sebagai rasio yang buruk.
Dalam kelompok Cash Flow Measures ada Free Cash Flow
(FCF), Cash Return on Gross Investment (CROGI), Cash Flow Return
on Investment (CFROI), Total Shareholder Return (TSR) dan Total
Business Return (TBR). Pemahamannya ada pada penjelasan
berikut:
1. Arus kas bebas (FCF) mewakili kas yang dihasilkan
perusahaan setelah memperhitungkan arus kas keluar untuk
mendukung operasi dan memelihara aset modalnya. Tidak
seperti pendapatan atau laba bersih, arus kas bebas adalah
ukuran profitabilitas yang tidak termasuk biaya non tunai
dalam laporan laba rugi dan termasuk pengeluaran untuk
peralatan dan aset serta perubahan modal kerja dari neraca.
Pembayaran bunga dikecualikan dari definisi arus kas bebas
yang diterima secara umum. Bankir dan analis investasi yang
perlu mengevaluasi kinerja yang diharapkan perusahaan
dengan struktur modal yang berbeda akan menggunakan
variasi arus kas bebas seperti arus kas bebas untuk perusahaan
dan arus kas bebas ke ekuitas, yang disesuaikan untuk
pembayaran bunga dan pinjaman. Mirip dengan penjualan dan
pendapatan, arus kas bebas sering dievaluasi per saham untuk
mengevaluasi efek dilusi.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 2 MODEL PENCIPTAAN NILAI PERUSAHAAN 27

2. Cash Return On Gross Investment (CROGI) adalah ukuran


kinerja keuangan perusahaan yang mengukur arus kas yang
dihasilkan perusahaan dengan modal yang diinvestasikan.
CROGI dihitung dengan membagi arus kas bruto setelah pajak
dengan investasi bruto. CROGI penting karena investor ingin
menentukan seberapa efektif perusahaan menggunakan uang
yang diinvestasikannya.
3. Pengembalian investasi arus kas (CFROI) adalah metrik
penilaian yang bertindak sebagai proxy untuk pengembalian
ekonomi perusahaan. Pengembalian ini dibandingkan dengan
biaya modal, atau tingkat diskonto, untuk menentukan potensi
nilai tambah. CFROI didefinisikan sebagai pengembalian
ekonomi rata-rata dari semua proyek investasi perusahaan
pada tahun tertentu. Laba atas investasi (ROI) adalah ukuran
seberapa baik kinerja investasi.
4. Pengembalian investasi arus kas (CFROI) adalah metrik
penilaian yang melihat arus kas, relatif terhadap biaya modal
perusahaan. CFROI mengasumsikan bahwa pasar keuangan
menetapkan harga saham berdasarkan arus kas perusahaan,
bukan berdasarkan pendapatan atau metrik lainnya. CFROI
memberi investor wawasan tentang bagaimana perusahaan
bekerja secara internal, bagaimana perusahaan menghasilkan
uang tunai, membiayai operasinya, dan membelanjakan
uangnya. Metrik ini dipandang sebagai cara yang lebih bersih
dalam memandang kinerja perusahaan, dengan
menghilangkan apa yang disebut distorsi dalam hasil
keuangan perusahaan. CFROI juga memperhitungkan dampak
inflasi.
5. Total Shareholder Return (TSR) atau Total Pengembalian
Pemegang Saham adalah faktor dalam keuntungan modal dan
dividen saat mengukur pengembalian total yang dihasilkan
oleh suatu saham kepada investor. TSR adalah tingkat
pengembalian internal (IRR) dari semua arus kas ke investor
selama periode investasi. Bagaimanapun cara

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


28 BAB 2 MODEL PENCIPTAAN NILAI PERUSAHAAN

penghitungannya, TSR memiliki arti yang sama: jumlah total


yang dikembalikan kepada investor.
Ada dua cara dasar Investor menghasilkan uang dari saham,
yaitu capital gain dan pendapatan saat ini. Capital gain adalah
perubahan harga pasar saham dari saat dibeli hingga dijual
atau harga saat ini jika masih dimiliki. Pendapatan saat ini
adalah dividen yang dibayarkan oleh perusahaan dari
pendapatannya selama investor masih memiliki saham.
Saat menghitung TSR, investor harus memperhitungkan hanya
dividen yang diterima selama periode kepemilikan saham.
Misalnya, dia boleh memiliki saham pada hari pembayaran
dividen, namun dia menerima dividen hanya jika dia memiliki
saham pada hari ex-dividen. Oleh karena itu, investor perlu
mengetahui tanggal ex-dividen saham daripada tanggal
pembayaran dividen saat menghitung TSR. Dividen yang
dibayarkan mencakup pembayaran tunai yang dikembalikan
kepada pemegang saham, program pembelian kembali saham,
pembayaran dividen satu kali, dan pembayaran dividen
reguler.
Total pengembalian pemegang saham adalah keuntungan
finansial yang dihasilkan dari perubahan harga saham
ditambah dividen yang dibayarkan oleh perusahaan selama
interval yang diukur dibagi dengan harga pembelian awal
saham.
6. Total Business Return (TBR) adalah penilaian kinerja keuangan
berdasarkan margin operasi tahunan, apresiasi saham, dividen
yang dibayarkan kepada pemegang saham, dan ukuran
keuangan lainnya.
Bagian yang terakhir yaitu kelompok Value Measures yang
terdiri dari Economic Value Added (EVA), Market Value Added
(MVA), Cash Value Added (CVA), dan Stakeholder Value (SHV).
1. Economic value added (EVA) adalah ukuran kinerja keuangan
perusahaan berdasarkan sisa kekayaan yang dihitung dengan
mengurangi biaya modal dari laba operasi, disesuaikan

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 2 MODEL PENCIPTAAN NILAI PERUSAHAAN 29

dengan pajak secara tunai. EVA juga dapat disebut sebagai


laba ekonomi, karena berusaha menangkap laba ekonomi
sebenarnya dari suatu perusahaan.
EVA adalah selisih tambahan dalam Rate on Return (RoR) atau
tingkat pengembalian atas biaya modal perusahaan. Pada
dasarnya, ini digunakan untuk mengukur nilai yang
dihasilkan perusahaan dari dana yang diinvestasikan di
dalamnya. Jika EVA perusahaan negatif, itu berarti
perusahaan tidak menghasilkan nilai dari dana yang
diinvestasikan ke dalam bisnis. Sebaliknya, EVA yang positif
menunjukkan perusahaan menghasilkan nilai dari dana yang
diinvestasikan di dalamnya.
Rumus penghitungan EVA adalah:
EVA = NOPAT - (Modal yang Diinvestasikan * WACC)
Di mana:
NOPAT = Laba operasi bersih setelah pajak
Modal yang diinvestasikan = Hutang + sewa modal + ekuitas
pemegang saham
WACC = Biaya rata-rata tertimbang modal
2. Market value added (MVA) merupakan perhitungan yang
menunjukkan selisih antara nilai pasar suatu perusahaan
dengan modal yang dikontribusikan oleh semua investor, baik
pemegang obligasi maupun pemegang saham. Dengan kata
lain, ini adalah jumlah dari semua klaim modal yang dimiliki
terhadap perusahaan ditambah nilai pasar dari hutang dan
ekuitas. Ini dihitung sebagai:
MVA = V - K
Di mana MVA adalah nilai tambah pasar perusahaan, V
adalah nilai pasar perusahaan, termasuk nilai ekuitas dan
hutang perusahaan (nilai perusahaan), dan K adalah jumlah
total modal yang diinvestasikan di perusahaan.
MVA sangat erat kaitannya dengan konsep economic value
added (EVA) yang merepresentasikan net present value (NPV)
dari rangkaian nilai EVA.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


30 BAB 2 MODEL PENCIPTAAN NILAI PERUSAHAAN

3. Cash Value Added (CVA) adalah mengukur kemampuan


perusahaan untuk menghasilkan arus kas di atas dan di luar
biaya modalnya. Secara umum, CVA yang tinggi menandakan
kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan
likuid dari satu periode keuangan ke periode keuangan
lainnya.
Cara Kerja Nilai Tambah Tunai (CVA) dihitung dengan cara
berikut:
a. Secara langsung:
CVA = arus kas bruto - depresiasi ekonomi - beban modal
b. Tidak langsung:
CVA = (CFROI - biaya modal) x investasi bruto
Dimana:
CFROI adalah pengembalian arus kas atas investasi, atau
[(arus kas bruto - depresiasi ekonomi) / investasi bruto]
Depresiasi ekonomi adalah [WACC / (1 + WACC) ^ n -1]
Arus kas kotor adalah laba yang disesuaikan + beban
bunga + depresiasi
Beban modal adalah biaya modal x investasi bruto
Investasi bruto adalah aset lancar bersih + biaya awal
historis
4. Shareholder value added (SVA) adalah ukuran laba operasi
yang dihasilkan perusahaan melebihi biaya pendanaan, atau
biaya modal. Penghitungan dasarnya adalah laba operasi
bersih setelah pajak (NOPAT) dikurangi biaya modal, yang
didasarkan pada biaya modal rata-rata tertimbang
perusahaan.
Rumus SVA menggunakan NOPAT, yang didasarkan pada
laba operasi dan tidak termasuk penghematan pajak yang
dihasilkan dari penggunaan hutang. Kerugian utama dari nilai
tambah pemegang saham adalah sulitnya menghitung untuk
perusahaan swasta.
Rumus Nilai Tambah Pemegang Saham adalah:
{SVA} = {NOPAT} - {CC}

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 2 MODEL PENCIPTAAN NILAI PERUSAHAAN 31

di mana:
NOPAT = Laba operasi bersih setelah pajak
CC = Biaya modal

D. Bagaimana Menciptakan Nilai Perusahaan


Pengertian nilai perusahaan adalah “Value of the firm is the
price for which the firm can be sold, which equals the present value of
future profits” (Maurice, Thomas dalam Rustendi, 2008). Bagi
perusahaan yang menerbitkan saham di pasar modal, harga saham
yang diperjualbelikan di bursa merupakan indikator nilai
perusahaan. (Suad Husnan dalam Rustendi, 2008).
Memaksimumkan nilai pasar perusahaan sama dengan
memaksimumkan harga pasar saham. Hal ini dapat dijelaskan
secara sederhana sebagai berikut : nilai perusahaan (V = value)
adalah hutang (D = debt) ditambah modal sendiri (E = equity). Jika
diasumsikan hutang tetap, nilai perusahaan naik maka modal
sendiri naik. Naiknya modal sendiri akan meningkatkan harga per
lembar saham perusahaan. (Jensen, Myers dan Mjluf dalam
Bararuallo, 2011).

Value = Debt + Equity

Value creation dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan


(1) meningkatkan keuntungan (benefit) atau meningkatkan manfaat
yang dirasakan (perceived benefit) dan dengan (2) memperbaiki
struktur biaya. Peningkatan perolehan keuntungan dilakukan
dengan memberi peningkatan pada nilai perusahaan melaui
citra/image perusahaan dan pada produk/jasa yang dihasilkan
melalui fungsi produk atau kualitas produk. (Khasali, 2013).
Menurut Istiarni (2014) perceived benefit adalah tingkatan di mana
pengguna percaya, bahwa dengan menggunakan sesuatu produk
yang ditawarkan maka mereka akan merasakan manfaat yang
didapat dari penggunaan produk tersebut.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


32 BAB 2 MODEL PENCIPTAAN NILAI PERUSAHAAN

Terkait dengan teori struktur modal, yang menjadi


tujuannya adalah memeroleh laba sehingga akan menciptakan nilai
perusahaan. Laba yang berasal dari kinerja saham perusahaan,
kinerja aktiva perusahaan, kinerja manajemen usaha lewat
kemampuannya melakukan pembayaran deviden dan penarikan
pinjaman tunai dari bank yang akan mendukung investasi dan
selanjutnya akan meningkatkan profit usaha. (Bararuallo, 2011).
Pada teori pecking order, sinyal yang diterima oleh publik
mengenai kinerja perusahaan adalah jika sebuah perusahaan
membiayai dirinya sendiri secara internal, maka perusahaan itu
kuat. Jika perusahaan membiayai dirinya sendiri melalui hutang,
berarti manajemen yakin perusahaan dapat memenuhi kewajiban
bulanannya. Jika perusahaan membiayai dirinya sendiri dengan
menerbitkan saham baru, biasanya hal itu merupakan sinyal
negatif, karena perusahaan menganggap sahamnya dinilai terlalu
tinggi dan berusaha menghasilkan uang sebelum harga sahamnya
jatuh.
Sebagai hasil dari penerapan trade-off theory, Bajaj,
Khasiramka dan Singh (2020) dalam penelitiannya menemukan
bahwa teori trade-off mendominasi hampir seluruh perusahaan
industri untuk menjelaskan struktur modal perusahaan.

E. Faktor Intangible Sebagai Pembentuk Nilai Perusahaan


Representasi dari value creation sudah berkembang, tidak lagi
berbicara terkait hitungan angka, namun lebih pada membangun
nilai-nilai perusahaan. Suatu nilai yang tidak bisa diukur dengan
jangkauan mata namun pada rasa/nilai yang tidak berwujud
(intangible). Rasa yang diwujudkan dalam bentuk penghargaan,
penempatan pada posisi yang diakui, dan percaya. Nilai intangible
menjadi indikator yang memiliki nilai lebih dalam membentuk
nilai perusahaan.
Jika publik selalu punya dorongan untuk memilih perusahaan
yang bonafide ketika ia harus membeli sahamnya, maka ia hanya
membaca data keuangan saja. Ketika publik membaca rapot

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 2 MODEL PENCIPTAAN NILAI PERUSAHAAN 33

perusahaan - hasil kerja pengusaha, itu sama persis dengan ia


membeli seluruh pemikiran dan ide yang ada di setiap sudut yang
ada pada perusahaan. Pemikiran yang melahirkan ide ini akan
menghasilkan keluaran berupa strategi, kebijakan, sistem, aturan,
cara kerja, yang secara konsisten diterapkan dan menghasilkan
budaya. Budaya kerja yang berbuah reputasi atau image yang baik
ini lah yang sebenarnya dipilih dan dibeli oleh para investor. Yang
menjadi permasalahan adalah budaya ini harus konsisten
dijalankan.
Entrepreneuring bisa menjadi jawabannya. Dalam
entrepeneuring orang tidak mengijinkan adanya celah untuk
mundur dari bisnis, bahkan reputasi menjadi taruhannya.
Mencapai reputasi berarti memenangkan persaingan. Sebuah
kerajaan bisnis berhasil mengalahkan pesaingnya dengan
‘berpikir’. Ide yang dihasilkan di sini lah yang akan melahirkan
adanya inovasi. Ide adalah pemikiran baru yang lahir sebagai hasil
dari keinginan untuk berubah. Ketika pemikiran baru itu
diwujudkan, maka akan menghasilkan inovasi. Mengapa harus
inovasi yang menjadi penting? Karena inovasi yang pastinya
menyangkut hal yang baru, selalu bicara tentang ‘langkah yang
mendahului’, atau ’gebrakan awal’. Ketika orang belum
melakukan, pelaku inovasi sudah berpikir mendahului yang lain.
Hal ini berati inovasi adalah faktor intangible yang bisa
membentuk nilai perusahaan.
Mengenai faktor intangible ini Khasali (2013) bertolak dari
formula yang menyebutkan bahwa nilai perusahaan merupakan
hasil dari benefit dikurangi dengan cost. Ada dua faktor yang
menjadi faktor pengubah, yaitu benefit dan cost. Jika benefit
semakin tinggi maka value akan makin naik. Hal yang sama akan
dilakukan yaitu dengan menurunkan cost.

Value = Benefit - Cost

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


34 BAB 2 MODEL PENCIPTAAN NILAI PERUSAHAAN

Struktur biaya ini bisa ditekan melalui efisiensi dalam biaya


memroses produk. Efisiensi dilakukan dengan melakukan
pemangkasan biaya di mana pun perusahaan bisa lakukan. Tidak
menutup kemungkinan pula memaksimalkan output meski cost
yang diserap ada di jumlah yang maksimal. Beberapa hal yang bisa
dilakukan adalah penerapan teknologi baru. Perlu ada jaminan
bahwa percepatan waktu memproduksi barang dengan teknologi
baru tersebut membawa peningkatan yang lebih pada perolehan
pendapatan. Pemangkasan banyak biaya per unit produk memberi
kesempatan pada perusahaan mendapat laba. Upaya yang lain
adalah dengan mencari ide strategis dalam sistem kendali
produksi. Melalui evaluasi fungsi produk dengan pendekatan
persepsi pasar yang terus menerus akan meningkatkan kualitas
produk. Kualitas produk inilah yang kemudian dapat
meningkatkan value. Perceived benefit dari produk memainkan
perannya dalam membentuk trust publik untuk menerima produk
sehingga hal ini akan meningkatkan value perusahaan.
Perceived benefit bisa terjadi jika ada integrasi yang menyatu
dan mengikat pada optimum performance atas perceived benefit
produk. Khasali (2013) menyebutkan excellent product, excellent
process dan excellent people sebagai faktor penentunya. Banyak
perusahaan yang sudah memegang pangsa pasar akibat dari
terbntuknya nilai perusahaan melalui perhatian yang serius atas
ketiga faktor tersebut.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 2 MODEL PENCIPTAAN NILAI PERUSAHAAN 35

DAFTAR PUSTAKA

Abeywardhana, D.K.Y. (2017) Vol 6 No 1. Capital Structure Theory: An


Overview. Accounting and Finance Research, ISSN 1927-5994
(online).http://www.sciedu.ca/journal/index.php/afr/articl
e/view/10965/0

Acciaro, Michele. (2015) Corporate responsibility and value creation in the


port sector, International Journal of Logistics Research and
Applications, Vol. 18 No. 3, page 291-311, DOI:
10.1080/13675567.2015. 1027150.http://dx.doi.org/10.1080/
13675567.2015.1027150

Bararuallo, F. (2011) Nilai Perusahaan Konsep, Teori dan Aplikasinya.


Jakarta: Penerbit Universitas Atmajaya.

Bajaj, Y., Kashiramka, S. and Singh, S. ( 2020). Aplication of Capital


Structure Theories Review, Journal of Advanced in Management
Research. Vol. ahead-of-print No. ahead-of-print.
https://doi.org/10.1108/JAMR-01-2020-0017. Emerald
Poblishing Limited

Khasali, R. (2013) Myelin, Mobilisasi Intangibles Menjadi Kekuatan


Perubahan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Suripto, (2015). Manajemen Keuangan. Strategi Penciptaaan Nilai


Perusahaan Melalui Pendekatan Economnic Value Added.
Yogyakarta. Graha Ilmu

Undang Undang nomor 3 Tahun 1982, Daftar Wajib Perusahaan.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


36 BAB 2 MODEL PENCIPTAAN NILAI PERUSAHAAN

PROFIL PENULIS

Septina Dwi
Retnandari adalah alumni
Program S1 Administrasi Niaga
Universitas Diponegoro (1990)
dan Program S2 Ilmu
Administrasi UNTAG Semarang
(2009) dengan konsentrasi Ilmu
Administrasi Bisnis. Penulis
menjadi dosen tahun 1990 di
Program Studi Administrasi Bisnis
FISIP UNTAG Semarang. Jabatan yang ia
pernah pegang adalah menjadi Sekretaris Program Studi dan Ketua
Program Studi Administrasi Bisnis. Tahun 2013 menjadi dosen di
Program Studi Ketalaksanaan Pelayaran dan Kepelabuhanan (KPN),
Jurusan Bisnis Maritim, Politeknik Maritim Negeri Indonesia
(Polimarin) Semarang. Di Polimarin ditunjuk sebagai Kepala Pusat
Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat periode 2013-2019,
anggota di Kantor Urusan Internasional (KUI) Polimarin (2017-2020)
dan sebagai Kepala Bagian Manajemen Mutu di Lembaga Sertifikasi
Profesi (LSP) Polimarin (sejak 2020).
Mata kuliah yang diampu adalah Kewirausahaan, Akuntansi
Dasar, Akuntansi Lanjutan, Akuntansi Biaya, Kebijakan Bisnis,
Business Correspondence, Metode Penelitian, Perdagangan
Internasional, Bimbingan Karya Ilmiah dan Hukum Bisnis.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI 37

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


38 BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI

BAB 3
MANAJEMEN STRATEGIK

A. Tinjauan Umum Manajemen Strategik


Jika ditinjauan secara sosial, strategi itu sendiri sering
dikaitkan dengan yang namanya siasat, taktik, situasi lingkungan
dan gaya kepemimpinan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
strategi itu sendiri erat kaitannya dengan seni menghadapi dan
menganalisis suatu lingkungan karena berbagai faktor . Oleh
karena itu strategi pada akhirnya menuntut si pengguna strategi
untuk mengambil suatu keputusan dan langkah berdasarkan
analisis situasi ingkungan sebagai akibat dari dorongan perubahan,
pemetaan kompetisi, kekuatan daya tawar-menawar dan opsi-opsi
yang pada ujungnya mempertaruhkan eksistensi suatu organisasi,
kelompok maupun perusahaan. Manajemen strategik
mengkombinasikan aktivitas-aktivitas dari berbagai bagian
fungsional suatu bisnis untuk mencapai tujuan organisasi.
Berikut ini adalah beberapa pengertian manajemen strategi dari
beberapa ahli:
1. Menurut Muchlisin Riadi ( 2012:3) manajemen strategi adalah
seni dan ilmu untuk formulasi, implementasi dan evaluasi
keputusan-keputusan yang bersifat lintas fungsional, yang
digunakan sebagai panduan tindakan bagi fungsi SDM,
pemasaran keuangan, produksi, dan lain-lain agar organisasi
dapat mencapai tujuannya.
2. Menurut Thomas Wheelen dkk (2010:105), Manajemen strategi
adalah serangkaian dari pada keputusan manajerial dan
kegiatan-kegiatan yang menentukan keberhasilan perusahaan
dalam jangka panjang. Kegiatan tersebut terdiri dari
perumusan/perencanaan strategi, pelaksanaan/implementasi
dan evaluasi.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI 39

3. Menurut Sasongko (2018:5), Manajemen strategik adalah suatu


rangkaian proses implementasi dan eksekusi langklah dan
tindakan penting untuk meraih keunggulan bersaing di masa
mendatang.
4. Menurut Bambang Haryadi (2003:3), strategi manajemen
adalah suatu proses yang dirancang secara sistematis oleh
manajemen untuk merumuskan strategi, menjalankan strategi
dan mengevaluasi strategi dalam rangka menyediakan nilai-
nilai yang terbaik bagi seluruh pelanggan untuk mewujudkan
visi organisasi.
5. Menurut Pearch dan Robinson (1997), manajemen
strategik adalah kumpulan dan tindakan yang menghasilkan
perumusan (formulasi) dan pelaksanaan (implementasi)
rencana-rencana yang dirancang untuk mencapai sasaran-
sasaran organisasi.

B. Perkembangan Manajemen Strategik Pada Era Manajemen


Modern Di Indonesia
Memasuki awal era tahun 2000-an, ketika itu lingkungan
mendadak berubah dalam suatu era reformasi menuju system tata
kelola pemerintahan demokratis yang baik (Democratic-Good
Government Governance). Pola pemikiran itu dirumuskan dan
dilaksanakan dengan parameter prinsip supremasi otoritas politik
sipil (civilian supremacy. Sejak saat ini mulai kembali dirumuskan
mekanisme dan instrumen checks and balances serta tersedianya
perangkat instrumen untuk mengukur transparansi kebijakan yang
membuka peluang bagi akuntabilitas publik. Sejak saat itu pula
berkembang pemahaman dan pengetahuan praktis tentang
perencanaan strategis sehingga banyak pihak mulai melihat secara
terbuka dan kembali merumuskan tujuan organisasi pemerintah
sesuai yang diamanatkan UUD’45 dengan mengelaborasikan
amanat dan tuntutan reformasi secara birokratik. Hal ini pula yang
akhirnya berkembang menjadi acuan pengelolaan

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


40 BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI

bisnis/perusahaan nasional di tanah air dalam konteks tata kelola


usaha yang bersih dan transparan (Good Corporate Governance).
Hingga saat ini dalam perkembangannya pemikiran
strategis modern diwarnai dengan berkembanganya teknologi
informasi. Dimana saat ini kebutuhan akan informasi bagaikan
menjadi virus yang sangat cepat menyebar. Hampir seluruh aspek
bisnis menggantungkan sistem operasionalnya kepada
sistemotomatisasi. Dampaknya seluruh pelaku usaha di dunia saat
ini hampir tidak mengenal batas ruang, jarak dan waktu.
Kecenderungan manajemen saat ini bukan hanya merubah
paradigma pelaku usaha tetapi juga menggeser budaya organisasi
dan kaidah-kaidah bisnis (Sasongko, 2020).
Dampak lain semakin crowded-nya pertumbuhan pelaku
usaha baru sehingga semakin mempertajam kompetisi usaha.
Customer semakin disibukkan dengan ramainya tawaran memilih
produk pengganti (substitute product). Kondisi ini semakin
menciptakan pendeknya masa daur hidup produk (product life
cycle). Sementara di dunia nyata sendiri, pegeseran pola bisnis
terjadi dengan bergesernya pola dari srategi hot-marketing menjadi
cool-marketing, hard-selling menjadi soft-selling. Dimana di dunia
nyata saat ini bisnis tidak hanya mengandalkan konsep yang
tercetus dari bauran pemasaran (marketing mix) yang bertumpu
pada 4P (product, price,place & promotion,) tapi juga dengan
mengandalkan aspek manusia (people), proses dan wujud tampilan
(physical evidence).Gaya menjual dan meng-komunikasi-kan bisnis
dilakukan tidak langsung menjurus kepada interest dan
mendorong konsumen untuk action.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, keberadaan Strategi
saat ini menjadi sangat vital serta dituntut semakin flexible. Dalam
kaitan implementasi strategi, industri saat ini berorientasi bukan
hanya sekedar untuk merebut pasar dan meningkatkan nilai
perusahaan atau organisasi. Perusahaan saat ini cenderung
menerapkan strategi untuk bertahan dan memaintain pasar.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI 41

Adapun penetrasi pasar yang dilakukan dengan tujuan


pertumbuhan dan perkembangandilakukan dengan hati-hati
dengan mengikuti testimonial keberhasilan unit keja
sebelumnya.Hal ini terjadi sebagai dampak bergesernya bentuk
populasi dari citizen menjadi netizen. Hingga saat ini stratgi
bisnis/usaha dilakukan bukan hanya sekadar memenuhi needs and
wants tetapi juga emotion dan gaya hidup (life style)konsumen.
Strategi yang berkembang saat inilebih berperan sebagai suatu
metode dan alat untuk mencapai tujuan suatu organisasi.
Didalamnya mencakup pemberdayaan sumber daya, penguasaan
lapangan (analisa situasi), serta kekuatan kepemimpinan.

C. Tugas Dan Level Manajemen Strategik


Dalam konteks bisnis, manajemen strategik
menggambarkan arahan-arahan yang mengikuti lingkungan yang
dipilih dan merupakan pedoman untuk mengalokasikan sumber
daya dan usaha suatu organisasi. Pada prakteknya manajemen
strategik menuntun para CEO, manager dan executive dalam
memutuskan berbagai kendala/ masalah yang diakibatkan
beberapa situasi (Fandi Tjiptono,2012), seperti :
1. Keterbatasan sumber daya.
2. Munculnya ketidak pastian mengenai kekuatan bersaing
organisasi.
3. Komitmen manajemen terhadap sumber daya yang tidak dapat
diubah.
4. Keputusan-keputusan yang harus dikordinasikan antar bagian
sepanjang waktu.
5. Adanya ketidak pastian mengenai pengendalian inisiatif, dalam
hal ini manajemen lebih menguatamakan intuisi daripada
perhitungan yang logis.

Dalam konteks manajemen, dari hal-hal tersebut di atas


inilah yang menjadi alasan kenapa manajemen strategik
dibutuhkan pada suatu organisasi atau perusahaan. Selain untuk

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


42 BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI

mengelaborasikan seluruh sumber daya yang dimiliki perusahaan,


manajemen strategic juga menuntun para pengambil keputusan
untuk menyelaraskan langkah dan tindakan yang akan diambil
sehingga dapat memeccahkan suatu kondisi dan situasi yang
cenderung stagnan. Dalam implementasinya, peranan leadership
sangat berperan dalam menentukan apakah konsep strategis dalam
berjalan atau tidak. Di sinilah seorang pemimpin sekaligus
pengambil keputusan dalam organisasi atau perusahaan bersama
dengan tim berusaha sekuat tenaga menjalankan tugas yang
tersirat dalam suatu konteks manajemen strategik. Berikut ini
adalah uraian tugas manajemen dalam menterjemahkan konsep
strategis (Sasongko,2008) :
1. Merumuskan dan mengembangkan visi dan misi organisasi
atau perusahaan (developing vision and mission), Adapun visi dan
misi perusahaan yang akan dibangun hendaknya mengacu
pada kaidah Aktual, terkini, visioner, dan bermanfaat.
2. Menetapkan tujuan (setting objectives). Dalam menetapkan
tujuan organisasi atau perusahaan seharusnya mampu
mengelaborasikan 4 perspektif tujuan, yaitu : Tujuan yang
bertumpu pada aspek keuangan, pertumbuhan dan
perkembangan, perkembangan pasar dan konsumen serta
proses internal.
3. Merumuskan formulasi strategi (Crafting strategic formulation).
Perumusan formula strategi ini dengan merunut sejak awal
evaluasi dan analisa lingkungan, perumusan aspek teknik
strategi (perencanaan/panning, objective/goal setting, program,
action plan).
4. Implementasi konsep strategi (Implementing strategy). Dimana
seluruh konsep perencanaan, aspek teknik dapat diterjemahkan
dalam suatu langkah manajemen secara runtun dan teratur.
5. Kontroling, monitoring dan evaluasi strategis (controlling,
monitoring & evaluation, con-monev). Pada situasi ini manajemen
bertugas untuk benar-benar memastikan seluruh rangkaian

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI 43

aktivitas dan langkah manajemen telah diawasi, terkontrol dan


dapat dievaluasi secara periodik.
Sasongko (2018) mengemukakan bahwa tidak ada
implementasi rencana strategis yang berujung pada kesia-siaan.
Perusahaan yang sadar atas komitmen implementasi rencana
strategis akan mendapatkan benefit dari hal tersebut. Berikut
adalah uraian benefit atas implementasi manajemen strategic yang
baik:
1. Profitabilitas.Keunggulan ini menunjukkan bahwa seluruh
pekerjaan diselenggarakan secara efektif dan efisien, dengan
penggunaan anggaran yang hemat dan tepat, sehingga
diperoleh profit berupa tidak terjadi pemborosan.
2. Produktivitas, Keunggulan ini menunjukkan bahwa jumlah
pekerjaan (kuantitatif) yang dapat diselesaikan cenderung
meningkat. Kekeliruan atau kesalahan dalam bekerja semakin
berkurang dan kualitas hasilnya semakin tinggi, serta yang
terpenting proses dan hasil memberikan pelayanan umum
(siswa dan masyarakat) mampu memuaskan mereka.
3. Posisi daya saing (Competitive positioning), Keunggulan ini
terlihat pada eksistensi sekolah yang diterima, dihargai dan
dibutuhkan masyarakat. Sifat kompetitif ini terletak pada
produknya (mis : kualitas lulusan) yang memuaskan
masyarakat yang dilayani.
4. Keunggulan dan kemahiran Teknologi(technology literacy),
Semua tugas pokok berlangsung dengan lancar dalam arti
pelayanan umum dilaksanakan secara cepat, tepat waktu,
sesuai kualitas berdasarkan tingkat keunikan dan kompleksitas
tugas yang harus diselesaikan dengan tingkat rendah, karena
mampu mengadaptasi perkembangan dan kemajuan teknologi.
5. Keunggulan SDM, Di lingkungan organisasi pendidikan
dikembangkan budaya organisasi yang menempatkan manusia
sebagai faktor sentral, atau sumberdaya penentukeberhasilan
organisasi. Oleh karena itu SDM yang dimiliki terus
dikembangkan dan ditingkatkan pengetahuan, ketrampilan,

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


44 BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI

keahlian dan sikapnya terhadap pekerjaannya sebagai pemberi


pelayanan kepada siswa. Bersamaan dengan itu dikembangkan
pula kemampuan memecahkan masalah yang dihadapi oleh
sekolah pada masa sekarang dan untuk mengantisipasi masalah
– masalah yang timbul sebagai pengaruh globalisasi di masa
yang akan datang.
6. Iklim Kerja (work-place climate), Tolok ukur ini menunjukkan
bahwa hubungan kerja formal dan informal dikembangkan
sebagai budaya organisasi berdasarkan nilai – nilai
kemanusiaan. Di dalam budaya organisasi pendidikan, setiap
SDM sebagai individu dan anggota organisasi terwujud
hubungan formal dan hubungan informal antar personil yang
harmonis sesuai dengan posisi, wewenang dan tanggung jawab
masing – masing di dalam dan di luar jam kerja.
7. Etika Bisnis & tanggung jawab social, Tolok ukur ini
menunjukkan bahwa dalam bekerja terlaksana dan
dikembangkan etika dan tanggung jawab sosial yang tinggi,
dengan selalu mendahulukan kepentingan masyarakat, bangsa
dan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok dan/atau
organisasi. Tolok ukur keunggulan tersebut di atas sangat
penting artinya bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara sekarang dan di masa mendatang. Untuk itu
diperlukan kerjasama dan dukungan masyarakat dalam
menumbuhkembangkan organisasi dalam
mengimplementasikan Manajemen Strategik secara optimal,
agar keunggulan – keunggulan di atas dapat diwujudkan yang
hasilnya akan menguntungkan masyarakat pula.

Dari uraian diatas, implementasi manajemen strategik


mendorong suatu organisasi untuk ber-methamorpfisis menjadi
lebih baik. Manajemen strategik juga benar-benar dirasakan
perannya sebagai sarana dalam mengkomunikasikan gagasan,
kreativitas, prakarsa, inovasi dan informasi baru serta cara
merespon perubahan dan perkembangan lingkungan operasional,

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI 45

nasional dan global, pada semua pihak sesuai dengan wewenang


dan tanggung jawabnya. Dengan demikian akan memudahkan
dalam menyepakati perubahan atau pengembangan strategi yang
akan dilaksanakan, sesuai dengan atau tanpa merubah keunggulan
yang akan diwujudkan oleh organisasi.
Dalam suatu tinjauan manajemen strategi, pada umumnya
mempunyai 3 (tiga) tingkatan strategi (Freddy Rangkuti, 2006).
Adapun tingkatan tersebut adalah :
1. Strategi Korporasi
Strategi korporasi adalah strategi yang disusun dalam
bisnis dimana perusahaan akan bersaing dengan cara
mengubah distincte competence menjadi competitive
advantage. Masalah yang cukup penting dari strategi ini
adalah menentukan startegi apa yang akandikembangkan,
bisnis apa yang ingin dipertahankan dan bisnis apa yang
ingin dilepaskan

2. Strategi Bisnis
Perusahaan yang menghasilkan berbagai jenis produk
akanbersaing diberbagai tingkatan bisnis atau pasar. Dengan
demikian strategi bisnis dapat ditekankan pada Strategic
business Units (SBU). Pada prinsipnya Strategic Business
Units (SBU) memiliki karakteristik sebagai berikut,yaitu:
menghasilkan misi dan strategi, menghasilkan produk atau
jasa yang berkaitan dengan misi dan strategi, menghasilkan
produk atau jasa secara spesifik, bersaing dengan pesaing
yang telah diketahui dengan jelas. Strategi bisnis pada
umumnya menekankan pada peningkatan margin laba dari
produk dan penjualan, dan harus mengintegrasikan berbagai
aktivitas fungsi, sehingga tujuan tingkat divisi dapat dicapai.
3. Strategi Fungsional
Strategi fungsional ini lebih bersifat operasional
karena langsung diimplementasikan oleh fungsi-fungsi
manajemen yang ada dibawah tanggung jawabnya, seperti

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


46 BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI

fungsi manajemen produksi / operasional,fungsi manajemen


pemasaran, fungsi manajemen keuangan, fungsi manajemen
sumber daya manusia.

Gambar 3.1 Tingkatan/level Strategi


Sumber : Sasongko (2011), Marketing Strategy

Selanjutnya Strategi perusahaan diklasifikasikan


berdasarkan jenis perusahaan/institusi. Strategi perusahaan
diklasifikasikan atas dasar tingatan tugas antar lain strategi
utama/induk (Grand Strategy) yang akan dijabarkan menjadi
strategi turunan (Generic Strategy). Selanjutnya akan dijabarkan
menjadi stretegi fungsional (Fuctional Strategy).

Gambar 3.2 Diferensiasi Strategi


Sumber : Sasongko (2018), Manajemen Stratejik

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI 47

D. Peran Manajemen Strategik Dalam Organisasi Komersil Dan


Non-komersil
Manajemen strategik membantu perusahaan untuk
menghadapi perubahan-perubahan yang tidak siap diantisiapasi
oleh perusahaan dalam kondisi sekarang. Krisis ekonomi global
adalah kendala utama yang sering diabaikan oleh semua
perusahaan ketika situasi ekonomi sedang baik dan
menguntungkan, namun ketika situasi berubah terbalik maka
peran manajemen strategi menjadi sangat penting dan diperlukan.
Akan sangat terlambat bagi perusahaan untuk menerapkan
manajemen strategi ketika perusahaan sudah diambang masalah
besar. Karena waktu tidak bisa diprediksi dan situasi tidak bisa kita
perkirakan. Manajemen Strategik membantu organisasi
mengumpulkan, menganalisis, dan mengatur informasi. Mereka
melacak tren industri dan kompetitif, mengembangkan model
peramalan dan skenario analisis, evaluasi kinerja perusahaan dan
divisi, spot baru peluang pasar, ancaman mengidentifikasi bisnis,
kreatif dan mengembangkan rencana aksi.
Beberapa alasan utama tentang pentingnya peranan strategi
manajemen bagi perusahaan atau organisasi, yaitu:
1. Memberi arah jangka panjang yang akan dituju.
2. Membantu perusahaan atau organisasi beradaptasi pada
perubahan-perubahan yang terjadi.
3. Membuat suatu perusahaan atau organisasi menjadi lebih aktif.
4. Mengidentifikasi keunggulan komparatif suatu perusahaan
atau organisasi dalam lingkungan yang semakin beresiko.
5. Aktivitas yang tumpang tindih akan dikurangi.
6. Keengganan untuk berubah dari karyawan lama dapat
dikurangi.
7. Keterlibatan karyawan dalam perubahan strategi akan lebih
memotivasi mereka pada tahap pelaksanaannya.
8. Kegiatan pembuatan strategi akan mempertinggi kemampuan
perusahaan atau organisasi tersebut untuk mencegah
munculnya masalah di masa mendatang.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


48 BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI

Dengan manajemen strategi diharapkan visi dan misi


perusahaan dapat dikelola sehingga dapat diimplementasikan
dengan mengintegrasikan semua keputusan dan tindakan dalam
organisasi rincian. Manajemen Strategik yang dilakukan pada
sektor pemerintah merupakan upaya pemilihan strategi yang
dilakukan pemerintah untuk mencapai tujuan di masa depan
dengan menganalisis situasi dan kondisi negara di masa sekarang
dan masa depan (Nurhidayat dan Paramita, 2013). Dalam
penyelenggaraan pemerintah, terdapat perbedaan pengelolaan
dengan sektor privat. Perbedaan ini terutama disebabkan adanya
perbedaan karakteristik. Menurut Antoni dan Young (2003)
karakteristik organisasi nonprofit adalah ketiadaan ukuran laba,
adanya pertimbangan pajak dan hukum,kecenderungan menjadi
organisasi jasa, kendala yang lebih besar pada tujuan dan
sasaran,kurang tergantung pada klien untuk dukungan keuangan,
dominasi profesional, perbedaan dalam tata kelola, pentingnya
pengaruh politik, dan tradisi pengendalian manajemen yang
kurang. Dari karakteristik tersebut, ketiadaan motif laba
merupakan ciri yang utama pada organisasi sektor publik.
Manajemen Strategi Sektor Pemerintah berbeda
dengan manajemen strategi dalam dunia bisnis atau perusahaan
komersil. Perusahaan komersil memiliki sasaran atau tujuan yang
berfokus pada kepentingan pemegang saham atau kelompok-
kelompok tertentu. Perusahaan komersil dipimpin oleh suatu
dewan direksi. Dengan demikian, penetapan strategi pada suatu
perusahaan komersil lebih mudah dilakukan. Berbeda dengan
pemerintah, dimana tujuannya adalah kepuasan masyarakat
secara keseluruhan, bukan kelompok. Pada pemerintahan terdapat
pembagian wewenang di setiap instansi, sehingga pembuatan
keputusan lebih sulit. Dalam pemerintahan juga tidak terdapat
suatu ukuran yang cukup untuk menilai kinerja. Aplikasi dari
manajemen strategis pada organisasi sektor publik terdiri dari
komponen yang sama dengan sektor privat diantaranya

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI 49

pernyataan misi, pengamatan lingkungan, pengamatan organisasi,


sasaran dan implementasi, dan telaah dan monitoring
implementasi.
Menurut Bryson pada organisasi sektor publik menekankan
pada pentingnya proses perumusan strategi yang terdiri dari
delapan langkah interaktif yaitu perjanjian awal diantara
pembuatan keputusan, identifikasi mandat yang dihadapi
organisasi pemerintah, klarifikasimisi dan nilai organisasi,
identifikasi peluang eksternal dan ancaman yang dihadapi
organisasi, identifikasi kekuatan internal dan kelemahan
organisasi, identifikasi isu strategis, pengembangan strategi, dan
gambaran organisasi di masa mendatang. Manfaat yang diperoleh
dengan penerapan manajemen/perencanaan strategis pada
organisasi sektor publik diantaranya adalah: Membantu organisasi
pemerintah berpikir secara strategis, Mengklarifikasi arah
mendatang, Meningkatkan kinerja, Membangun tim kerja dan
keahlian, Memudahkan interface administrasi politik dengan
membangun hubungan kerjasama antara pejabat terpilih dan
manajer public.
Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional disusun sebagai
penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan Negara
Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam bentuk visi,
misi dan arah pembangunan nasional. Dengan demikian, dokumen
ini lebih bersifat visioner dan hanya memuat hal-hal yang
mendasar, sehingga memberi keleluasaan yang cukup bagi
penyusunan rencana jangka menengah dan tahunannya. RPJP
Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya
Pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


50 BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan


ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial dalam bentuk rumusan visi, misi dan
arah Pembangunan Nasional.
RPJP menjadi pedoman dalam penyusunan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) nasional yang memuat
visi, misi, dan program Presiden. Pentahapan rencana
pembangunan nasional disusun dalam masing-masing periode
RPJM Nasional sesuai dengan visi, misi, dan program Presiden
yang dipilih secara langsung oleh rakyat. RPJM Nasional memuat
strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program
kementerian/lembaga dan lintas kementerian/lembaga,
kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi
makro yang mencakup gambaran perekonomian secara
menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja
yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang
bersifat indikatif. RPJM sebagaimana tersebut di atas dijabarkan ke
dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang merupakan rencana
pembangunan tahunan nasional, yang memuat prioritas
pembangunan nasional, rancangan kerangka ekonomi makro yang
mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk
arah kebijakan fiskal, serta program kementerian/lembaga, lintas
kementerian/lembaga kewilayahan dalam bentuk kerangka
regulasi dan pendanaan yang bersifat indikatif.
Indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif
yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu kegiatan yang
telah ditetapkan. Indikator kinerja kegiatan yang akan ditetapkan
dikategorikan ke dalam kelompok:
1. Masukan (Inputs) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar
pelaksanaan kegiatan dan program dapat berjalan atau dalam
rangka menghasilkan output, misalnya sumber daya manusia,
dana, material, waktu, teknologi, dan sebagainya.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI 51

2. Keluaran (Outputs) adalah segala sesuatu berupa produk/jasa


(fisik dan/atau non fisik) sebagai hasil langsung dari
pelaksanaan suatu kegiatan dan program berdasarkan
masukan yang digunakan.
3. Hasil (Outcomes) adalah segala sesuatu yang mencerminkan
berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka
menengah. Outcomes merupakan ukuran seberapa jauh setiap
produk jasa dapat memenuhi kebutuhan dan harapan
masyarakat.
4. Manfaat (Benefits) adalah kegunaan suatu keluaran (outputs)
yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Dapat berupa
tersedianya fasilitas yang dapat diakses oleh publik.
5. Dampak (Impacts) adalah ukuran tingkat pengaruh sosial,
ekonomi, lingkungan atau kepentingan umum lainnya yang
dimulai oleh capaian kinerja setiap indikator dalam suatu
kegiatan. Indikator-indikator tersebut secara langsung atau
tidak langsung dapat mengindikasikan sejauh mana
keberhasilan pencapaian sasaran.

Dalam hubungan ini, penetapan indikator kinerja kegiatan


merupakan proses identifikasi, pengembangan, seleksi dan
konsultasi tentang indikator kinerja atau ukuran kinerja atau
ukuran keberhasilan kegiatan dan program-program instansi.
Setelah program atau kegiatan dilaksanakan dan dinilai dengan
indikator kinerja, langkah selanjutnya dalam manajemen strategis
pemerintah secara umum adalah pembuatan laporan, baik laporan
keuangan atau laporan kinerja.

E. Kerangka Manajemen Strategik berdasarkan Analisis Situasi


Manajemen strategik dapat dikatakan suatu proses atau
rangkaian kegiatan pengambilan keputusan yang bersifat
komprehensif dan fundamental. Dimana didalamnya terdapat
penetapan langkah, taktik dan carauntuk melaksanakannya.
Manajemen strategik sejatinya dirumuskan dan dibentuk oleh

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


52 BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI

pengambil keputusan (Decision maker) untuk dapat


diimplementasikan oleh seluruh jajaran di dalam suatu organisasi.
Dalam kajian strategi, terdapat 2 (dua) konsep dasar strategi yang
sekiranya konsep tersebut menjadi acuan dasar bagi organisasi
dalam tipe strategi. Konsep dasar tersebut adalah sebagai berikut:
1. Distintinctive Competence, yaitu tindakan dan langkah yang
dipilih oleh organisasi atau perusahaan agar dapat melakukan
kegiatan lebih baik dibandingkan dengan pesaingnya. Menurut
Fredy Rangkuti (2006) yang dikutip dari Sasongko (2018),
distintinctive competence dapat diidentifikasi dalam suatu
organisasi atau perusahaan meliputi aspek: Kehalian tenaga
kerja (labor expertise) dan Kemampuan sumber daya (resource
ability). Keahlian SDM yang tinggi muncul dari kemampuan
membentuk fungsi khusus yang lebih efektif dibandingkan
pesaing. Dengan memberdayakan hasil riset dan penelusuran
pasar, perusahaan dapat mengetahui secara tepat semua
keinginan konsumen sehingga dapat merumuskan konsep
strategi bisnis yang lebih baik dibandingkan pesaing.Untuk
menemukan distintinctive competence, perusahaan harus
mentabulasi seluruh aspek yangada diperusahaan dan
mengukur kekluatan dari setiap aspek dengan
membandingkan hal serupa yang ada di perushaan atau
organisasi lain. Dalam upaya menemukan distintinctive
competence, sangat memungkinkan akan muncul potensi dari
salah satu aspek yang mana hal tersebut justru dianggap tidak
memiliki nilai atau sudah ditinggalkan namun pernah
digunakan oleh perusahaan di masa sebelumnya.
2. Competitive Advantage, yaitu suatu hal spesifik yang telah
dikembangkan oleh perusahaan atau organisasi agar lebih
unggul jika dibandingkan dengan pesaingnya. Keunggulan
bersaing muncul karena bergesernya pilihan konsumen atau
penguna jasa terhadap suatu produk tertentu dari berbagai
tawaran produk sejenis. Menurut Michael Porter (1985) yang

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI 53

dikutip oleh Sasongko (2018), ada 3 (tiga) aspek strategi yang


dapat dilakukan agar organisasi dapat memperoleh
keunggulan bersaing, yaitu: Strategi biaya yang unggul (Cost
Leadership), Differensiasi, dan Focus. Hingga saat ini perilaku
konsumen masih menempatkan pilihan atas harga pada posisi
tertinggi pada hierarki transaksi bisnis/marketing. Perusahaan
akan lebih cepat meraih keunggulan bersaing melalui
penawaran harga yang lebih terjangkau oleh konsumen (cost to
buy). Perusahaan ketika melakukan strategi differensiasi
umumnya lebih kepada men-derivasi berbagai kekuatan yang
dimiliki kemudian meng-endorse kekuatan-kekuatan tersebut.
Di sisi lain, perusahaan yang melakukan strategi focus untuk
meraih keunggulan bersaing dengan menitik beratkan kepada
segmentasi, positioning dan targeting sehingga strategi yang
dilakukukan lebih memfokuskan kepada segmen,posisi dan
target yang benar-benar dipilih. Untuk meriah keunggulan
bersaing, perusahaam umumnya melakukan ketigas aspek
strategi tersebut dengan menciptakan pola yang saling
berkaitan atau berhubungan.

Gambar 3.3 Aspek Pembentuk Competitive Advantage


Sumber : Sasongko (2018), Manajemen Srategik

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


54 BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI

Di dalam industri, sejak dini setiap perusahaan atau


organisasi dihadapkan dengan 3 (tiga) faktor. Ketiga faktor ini
harus menjadi acuan kerangka pikir para CEO, Manajer dan
Executive sebelum menyusun formulasi strategi yang tepat bagi
perusahaan dengan pendekatan kekinian. Adapun ketiga faktor
dimaksud adalah :Concept, Context, Concern. Ketiga faktor tersebut
memiliki keterkaitan yang kuat dan saling berhubungan
(W.Bernard : 2013). Pada tingkatan korporasi, ketiga faktor
tersebut menjadi instrument dasar dalam kaitan pengambilan
keputusan manajemen.
Menurut Sasongko (2018), Konsep strategi dirumuskan
berdasarkan paradigma manajemen dalam memandang suatu
permasalahan.Paradigma itu pula yang berpengaruh kepada
kecepatan reaksi manajemen dalam menemukan alternatif
pemecahan masalah dalam pengambilan keputusan. Di samping
itu, kejelian manajemen perusahaan dalam memandang
kelayakan usaha dan industri akan berdampak kepada perilaku
perusahaan ketika mempersepsikan pasar. Perilaku peusahaan
akan berdampak kepada gaya (style) manajemen dalam
mengasumsikan daya tawar, menghadapi dinamika
pertumbuhan pendatang baru dan membentuk gaya manajemen
dalam memposisikan konsumen dan kompetitor. Dari gaya
manajemen tersebut akan menentukan type strategi yang dipilih
manajemn dan membentuk inovasi juga kreasi manajemen dalam
menghasilkan output yang akan disuguhkan kepada konsumen.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI 55

Gambar 3.4 Segitiga Hubungan 3C


Sumber : W. Bernard (2003), Stratgic Management

Kesolidan manajemen dalam mengelola paradigma,


perilaku perusahaan, dan gaya manajemen serta keluwesan dalam
melahirkan budaya perusahaan akan berpengaruh kepada
pembentukan konteks. Dalam merumuskan konteks sebagai
bagian dari pertimbangan pada saat menyusun formulasi strategi,
perusahaan dituntut fleksible dalam mencermati situasi
lingkungan dan perubahannya. Di situasi lingkungan inilah
perusahaan dituntut untuk memainkan seni manajemennya
ketika bersentuhan para pelaku pasar.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


56 BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI

Gambar 3.5 Kerangka Pemikiran Konsep Strategi


Sumber W. Bernard ( 2013), Strategic Management

Pada saat bersentuhan dengan market player akan banyak


terjadi berbagai kemungkinan, hal ini yang berpotensi memicu
munculnya resiko pada bisnis. Manajemen perusahaan harus jeli
memainkan seni terutama ketika melakukan pendekatan pada
permainan pasar (Market Gaming Approach).

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI 57

Gambar 3.6 kerangka Pikir pembentukan Konteks


Sumber : W. Bernard (2013), Strategic Management

Di dalam melakukan pendekatan terhadap permainan


pasar, terdapat 5 aspek yang menuntut perusahaan untuk
berakselerasi dengan kelima aspek itu. Kelima aspek tersebut
adalah :
1. Patern, merupakan cermin pola manajemen dalam memandang
perilaku pasar dan perubahannya. Pola ini pula yang pada
akhirnya akan bermenentukan langkah strategis yang dipilih
perusahaan dalam pengimplementasian konsep strategi.
2. Position, adalah gambaran posisi perusahaan atas pemetaan
(maping) dengan membandingkan dengan perusahaan sejenis,
variasi produk dan market share.
3. Plan, perencanaan yang dikembangkan oleh perusahaan akan
menentukan kualitas manajemen dalam meraih tujuan
perusahaan. Perencanaan yang disusun dengan
memperhatikan penentuan tujuan (objective setting), evaluasi
dan kajian capaian di masa lampau dan progres ke kinian.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


58 BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI

4. Ploy, merupakan bentuk permainan yang digeluti saat ini.


Permainan pasar kekinian merupakan interprestasi perusahaan
dalam menempatkan posisi. Bagi perusahaan yang berpredikat
pemimpin pasar (market leader) tentunya akan memiliki peta
dan arah permainan yang berbeda dengan market challenger
ataupun market follower.
5. Prospective, adalah cerminan perusahaan dalam memandang ke
depan atas bisnis yang berjalaan saat ini. Keberadaan studi
kelayakan dalam suatu bisnis sangat berperan sebagai panduan
awal dalam men-set up perusahaan dalam mmencapai tujuan.
Disisi lain Aspek situasi factor internal dan eksternal sangat
berperan dalam menciptakan keunggulan dimasa mendatang.

Konteks yang telah disusun akan mendorong perusahaan


untuk mempertahankan komitmen dalam men-deliver konsep
strateginya. Dalam membentuk komitmen , umumnya
perusahana dihadapkan dengan 2 (dua) hal, yaitu :
pertama,kendala di level operasional perusahaan. Dimana beberapa
sub-organisasi di dalam perusahaan umumnya memiliki persepsi
masing-masing walaupun di setiap lini sub-organisasi tersebut
telah terdoktrin untuk sepakat untuk bersama-sama mencapai
tujuan perusahaan.Kedua, kendala pemberdayaan sumber daya
pada saat implementasi konsep strategi. Dimana di setiap alur
implementasi umunya berpotensi ditemukan kendala atas
kepiawaian sumber daya dalam mengoperasionalkan konsep
strategi, di tambah lagi dengan kebutuhan dana sebagai factor
pendukung utama keberhasilan implementasi konsep strategi.
Komitmen yang terbentuk baik dari setiap lini operasional
perusahaan beserta seluruh turunan sub-organisasi yang ada
didalamnya, ditambah lagi dengan komitmen dari Top
Management untuk serius dalam memberikan support penuh
dalam implementasi konsep strategi akan membentuk konsen
(concern)perusahaan. Dari ketiga aspek yang terbentuk di dalam
segitiga “C” atau 3C’s Triangles akan membentuk suatu kekuatan

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI 59

perusahaan dalam menciptakan keuanggulan bisnis serta akan


memberikan kekuatan perusahaan dalam menyikapi situasi faktor
internal dan situasi faktor eksternal bisnis.

Gambar 3.7 Kerangka Pikir Pembentukan Concern


Sumber : W. Bernard (2004), Strategic Management

Dinamika usaha telah melahirkan situasi lingkungan bisnis


yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu: situasi lingkungan bisis
internal atau disebut kuga situasi factor internal dan situasi
lingkingan bisnis eksternal atau situasi faktor eksternal. Dalam hal
ini faktor Internal adalah hal-hal yang bersifat cerminan terkini
perusahaan ketika memandang dua aspek dari dalam (internal)
perusahaan. Kedua sapek tersebut adalah kekuatan (Strength) dan
kelemahan (weakness).Kekuatan adalah hal-hal positif yang
dimiliki perusahaan atau organisasi, sehingga jika hal ini
dioptimalkan oleh perusahaan maka aka menambah daya tawar
perusahaan.Kelemahan adalah hal-hal negatif yang terbentuk
pada suatu perusahaan. Hal ini, jika tidak di manage dengan baik
maka akan memperlemah daya tawar perusahaan sehingga akan
memperlambat langkah strategis. Secara umum kedua aspek ini

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


60 BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI

terbentuk sebagai dampak dari kapabilitas dan sumber daya


dalam mengelola perusahaan. Dengan kata lain, aspek kekuatan
dan kelemahan terbentuk dari seberapa optimal perusahaan
memberdayakan seluruh komponen dan sumber daya yang
dimiliki dalam mengelola organisasi dan seperti apa manajemen
perusahaan mengoptimalkan gaya manajemen dan budaya
perusahaan (corporate culture) ketika bersentuhan dengan pasar.

Gambar 3.8 Kerangka Pembentukan Analisis SWOT


Sumber : Sasongko (2018), Manajemen Stratejik

Faktor Eksternal adalah hal-hal yang bersifat cerminan


terkini perusahaan ketika menyesuaikan diri terhadap lingkungan
bisnis di luar (eksternal) perusahaan.Dimana ada dua aspek yang
mempengaruhi perusahaan ketika menyesuaikan diri dengan
lingkungan.Kedua aspek tersebut adalah peluang (opportunity)
dan ancaman/tantangan (threat).Peluang adalah suatu
kesempatan yang tercipta secara alami sebagai akibat respon
pasar, perilaku konsumen, dan besar-kecilnya pilihan konsumen
atas tawaran produk pengganti. Peluang jka dimanfaatkan dengan
cermat oleh perusahaan tentunya akan mempercepat perusahaan

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI 61

dalam upaya mencapai tujuan dan memperbesar market share.


Ancaman/tantangan adalah suatu kondisi yang dihadapi oleh
perusahaan sebagai dampak dari pergeseran pasar
yangdipengaruhi oleh pergeseran budaya dan perilaku konsumen
serta beberapa kondisi yang tercipta di luar dari prediksi
manajemen perusahaan. Jika perusahaan dapat menghadapi dan
mensiasati ancaman dengan cermat maka akan mendorong
perusahaan untuk bertahan (survive), namun jika sebaliknya maka
perusahaan terus mengalami perlambatan dan penurunan (decline)
sehingga bedampak kepada eksistensi perusahaan. Selain
pengaruh dari pergeseran pasar, perilaku konsumen dan pilihan
produk pengganti, faktor eksternal umumnya terbentuk sebagai
akibat dinamika lingkungan yang di pengaruhi oleh
perkembangan teknologi, fluktuasi informasi yang cepat,
kepastian hukum, sosial & budaya, kondisi perekonomian, dan isu
keamanan yang berlaku didalam suatu kawasan/wilayah.
Menurut Bramantyo. D (2004) yang dijabarkan oleh
Sasongko (2018), dalam praktek manajemen praktis situasi faktor
internal dan eksternal menjadi bagian penting untuk
dianalisis.Dari keempat aspek factor internal dan eksternal yang
terdiri dari kekuatan (strength - S), kelemahan (weakness-W),
peluang (opportunity-O) dan ancaman (threat-T), rumusan aspek-
aspek tersebut dikenal dengan nama SWOT . Hasil dari analisis
keempat aspek ini disebut SWOT analysis . Hasil analisis
SWOTnantinya yang menjadi acuan/tonggak dasar perusahaan
dalam merumuskan konsep strategis.Dalam menganalisis dan
memetakan faktor internal dan eksternal, manajemen perusahaan
tidak dapat memetakan dan mencetuskan sendiri hal-hal yang
tercantum di dalam keempat aspek tersebut.Manajemen
perusahaan dengan melibatkan beberapa unsur yang ada di
dalamnya harus menghimpun bahan pemikiran(brainstorming)
untuk memetakan hal-hal yang dimiliki perusahaan kemudian
dengan membandingkan hal serupa dengan perusahaan sejenis

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


62 BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI

yang berada di lingkungan bisnis yang serupa (benchmark) hingga


nantinya tercantum di dalam keempat aspek SWOT itu.
Michael Porter (1985) yang dijabarkan oleh Sasongko
(2018) mengatakan bahwa terdapat aspek pembanding pada
kekuatan persaingan pasaryang timbul akibat berkembangnya
pelaku usaha/bisnis baru (new entrance) dengan rumpun bisnis,
berkembangkan kekuatan daya tawar menawar konsumen
(bargaining power of buyer), daya tawar menaran supplier
(bargaining power of supplier) serta bervariasinya pemikirian untuk
memutuskan pilihan produk pengganti (choose of substitute
product). Kondisi tersebut berdampak kepadaperkembangan dan
pergeseran pola pikir,gaya kepemimpinan organisasi, seni dan
inovasi penciptaan suatu produk hingga semakin pendeknya
durasi suatu produk. Bertemunya kondisi tersebut dalam suatu
wadah (market) telah memunculkan suatu arena kompetisi yang
ketat.
Pada akhirnya organisasi atau perusahaan dihadapkan
dengan dua pilihan bertahan/maju atau tenggelam. Pilihan
tersebut metuntut untuk meningkatkan kreasi, inovasi serta
melahirkan suatu keunggulan bersaing (competitive advantage).
Kompetisi yang terjadi memunculkan daya saing berkaitan
dengan pemahaman mekanisme pasar, kecepatan dan ketepatan
penyampaian produk (barang dan jasa) yang mampu menciptakan
nilai tambah. Dalam konsep pasar sempurna terdapat tiga elemen
utama. Ketiga elemen utama itu adalah perusahaan sendiri
(company), konsumen (customer) dan pesaing (competitor).
Bertemunya ketiga pelaku pasar ini akan menjadi kendala di level
operasional (business) Dalam konsep ini, konsumen menepati
derajat tertinggi karena konsumen sebagai end-user dari produk
yang ditawarkan oleh perusahaan maupun kompetitor.
Konsumen juga memiliki daya tawar yang tinggi
sehingga mendorong terbentuknya kelompok potensial dan
perilaku konsumen.Perilaku konsumen memiliki pengaruh yang

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI 63

kuat atas terjadinya pergeseran pasar. Oleh karena itu perusahaan


maupun kompetitor sebagai penyedia produk yang homogen
dituntut untuk menyesuaikan diri dalam menciptakan produk
yang selaras dengan keinginan dan kebutuhan konsumen (needs
& wants).

Gambar 3.9 Kekuatan Persaingan Industri


Sumber : Michael Porter (1985) dalam W.Bernard (2013) Strategic Management

Dalam upaya menciptakan suatu keuanggulan kompetitif,


ketiga elemen di atas kerap di kaitkan dengan analisis faktor
internal dan eksternal(SWOT) juga sering dikaitkan dengan
elemet faktor persaingan bisnis (Michael Porter, 1985).

BUSINESS ENVIRONMENT

Gambar 3.10 Hubungan Pelaku Pasar


Sumber : W. Bernard ( 2013), Strategic Manajement

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


64 BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI

Ketika ketiga element utama pasar bertemu dengan aspek


analisis situasi factor internal dan eksternal, maka akan
membentuk perubahan (change). Perubahan secara alami akan
membentuk posisioning, daya tarik pasar pasar, perilaku hingga
bergesernya needs & wants. Bagi penyedia produk ( company&
competitor). Perubahan-perubahan tersebut akan menciptakan
tantangan (challenge). Dimana munculnya tantangan akan menjadi
stimulus bagi perusahaan untuk menciptakan keunggulan
bersaing (competitive advantage).
Dengan meleburnya Change yang diderivasi dari analisis
SWOT dan Challengeyang terderivasi dari faktor kekuatan
bersaing, selanjutnya ini menjadi elemen baru sehingga
menciptakan lima kekuatan elemen pasar sempurna. Selanjutnya
keunggulan bersaing mendorong lahirnya tindakan dinamis
untuk memberi respon pada perubahan (Mintzberg &Steiner,
dalam Fredy Rangkuty : 2006). Tindakan dinamis yang diciptakan
oleh manajemen perusahaan akan mendorong terbentuknya alat
untuk memberikan motivasi kekuatan bagi stakeholder agar
perusahaan dapat menjawab perubahan perilaku konsumen dan
daya tarik pasar.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI 65

Gambar 3.11 Lima Elemen Pasar Pada Lingkungan Bisnis


Sumber : Sasongko (2016), Business Advantage,Video Tutorial

Dalam upaya menciptakan keungulan bersing, perusahaan


dituntut untuk peka dalam memahami pergeseran daya tarik pasar
dan perubahan perilaku konsumen hingga nantinya memiliki
posisioning yang tepat dan pengaruh pasar yang kuat . Oleh
karenanya kejelian perusahaan dalam memilah sumber daya
(resource) yang memiliki potensi komparatif (comparative resource)
yang tidak dimiliki oleh pesaing, atau sumber daya yang memiliki
potensi homogen atau memiliki kesamaan dengan pesaing
(competitive resource) atau sumber daya yang justru bernilai lebih
rendah dari pesaing (inferior resource)sangat menentukan kekuatan
perusahaan. Selanjutnya perusahaan dituntut untuk memiliki
kompetensi inti untuk menciptaakan uniqeness. Untuk
mendapatkan kompetensi inti, perusahaan harus memiliki tiga
aspek , yaitu :
1. Nilai Bagi Pelanggan (customer perceived value), adalah skill
yang dimiliki perusahaan yang memmungknkan perusahaan

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


66 BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI

menampilkan manfaat secara fundamental kepada pelanggan.


Beberapa hal yang harus dipertegas dan dianalisis oleh
perusahaan adalah seberapa besar hasrat (desire) pelanggan
untuk memutuskan membeli dengan meskipun dengan harga
tinggi
2. Differensiasi Bersaing (competitor differensiasi), adalah
kemampuan spesifik perusahaan yang berbeda dengan
pesaing. Differensiasi bersaing ini umumnya menjadi suatu ciri
khas yang dimiliki perusahaan. Suatu perusahaan tentunya
memiliki satu ciri khas yang tidak dapat diikuti atau ditiru oleh
pelanggan. Jika hal tersebut dapat ditemukan pada pesaing
maka hal itu sudah tidak dapat dikatakan lagi sebagai
differensiasi bersaing.

Dapat Diperluas (extendability), Hal ini mengingat bahwa


suatu kompetensi inti diciptaka untuk menjawab eksistensi
perusahaan hingga di masa mendatang. Kompetensi ini harusnya
bersifat fleksibel karena harus menjawab fluktuasi perubahan
perilaku konsumen. Oleh karena itu kompetensi inti harus dapat
diperluas sesuai dengan keinginan konsumen di masa mendatang.
Jika perusahaan tidak dapat mengakselerasikan kompetensi inti
dengan keinginan konsumen, maka daur hidup produk akan
sangat singkat sehingga produk yang dihasilkan akan cepat
menjadi produk usang.
F. Analisis Strategik Pada Lingkungan Bisnis
Menurut Bernard.W (2013) Manajemen Strategik memiliki
5 (lima) dimensi atau beberapa yang bersifat multidimensional.
Kelima dimensi dimaksud adalah dimensi waktu, dimensi
lingkungan, dimensi pendayagunaan sumber daya, dimensi
manajemen puncak, dimensi multi-bidang
Manajemen perusahaan/Organisasi yang baik adalah
manajemen yang menempatkan konsep strategi dengan
melibatkan seluruh sub-organisasi dan seluruh bidang yang ada di

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI 67

perusahaan.Dengan demikian strategi harus menyentuk ke


selueurh bidang dan seluruh aspek dan disesuaikan dengan bobot
arah kebijakan strategi perusahaan dengan pendekatan
kekinian.Dengan begitu perusahaan akan dapat menyusun
Strategic Action Plan dengan baik dan mendapat dukungan serta
komitmen dari seluruh anggota tim yang ada di dalamnya.
G. Analisis kasus Bisnis
Menurut Boulton (1984) dan Fredy Rangkuti (2006:14) yang
dijabarkan oleh Sasongko (2018), kegiatan paling penting dalam
proses analisis adalah memahami seluruh aliran informasi dan data
yang terdapat dalam suatu kasus (case). Jika hal tersebut sudah
dikuasai maka dengan demikian manajemen perusahaan tidak
akan menemukan kesulitan dalam menganalisis isue yang
berkembang, hingga mengambil keputusan dalam memecahkan
masalah tersebut. Proses untuk melaksanakan analisis kasus dapat
dengan mengidentifikasi titik simpul kasus dari beberapa kejadian
yang ditemui. Pokok permasalahan kasus harus teridentifikasi
dengan cermat dan dapat diinterprestasikan sehingga para pelaku
pengambilan keputusan dapat menyimpulkan kasus dengan
cermat dan dapat segera merumuskan metode serta langkah yang
tepat serta efektif.
Beberapa kelemahan CEO, Manajer dan Executive dalam
memecahkan permasalahan stragis adalah dengan tergesa-gesa
menyimpulkan suatu kasus tanpa melalui proses identifikasi yang
mendalam dan mengkompilasikan informasi secara pintas dan
tidak lengkap. Secara umum ada 3 (tiga) hal pokok dalam
menyikapi dan memahami keselurusahn informasi dan data pada
suatu kasus yaitu :
1. Memahami dan menguasi secara detail informasi dan data yang
ada.
2. Identifikasi simpul pokok dari tiap kejadian.
3. Melakukan perekaman data berdasarkan runut kejadian .

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


68 BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI

ANALISIS SITUASI DIMENSI STRATEGI PERUSAHAAN

Mendapatkan
JABARAN KONSEP
informasi dan data
STRATEGI
Atas analisis PERUSAHAAN
situasi

Evaluasi dan analisis


Faktor Internal (
Kekuatan &
kelemahan)

Evaluasi analisis
Pemahaman faktor eksternal (
informasi Peluang & ancaman)
Identifikasi data
Perekeman data
Analisis masalah
dan faktor
prnghambat
lainnya

Cari alternatif Pengambilan


pemecahan keputusan dan
masalah eksekusi strategi

Gambar 3.12 Alur Diagram Analisis Kasus


Sumber : Sasongko (2018), Manajemen Strategik

Selanjutnya dapat dikembangkan menjadi suatu kerangka


analisis kasus. Dalam hal ini kerangka analisis kasus dapat
dijabarkan ke dalam empat tahap yaitu :
1. Tahap Pertama, pahami dan dapatkan informasi dan data atas
analisis situasi dengan seksama.
2. Tahap kedua, memahami informasi dan data, identifikasi
simpul permaslahan dari setiap kejadian dan perekaman yang
terjadi.
3. Tahap ketiga, cermati dan bandingkan kembali dengan tinjauan
analisis situasi faktor internal dan eksternal.
4. Tahap keempat, Analisis masalah dan penghambat lainnya,
serta rancang formula pengambila keputusan.
5. Tahap kelima, Cari alternatif pemecahan masalah dan
kembangkan beberapa alternatif lain.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI 69

6. Tahap keenam, Pengambilan keputusan dan eksekusi strategi


dengan pendekatam kekinian.

Dalam analisis kasus, pemahaman hubungan sebab-akibat


antar tiap entitas/kejadian yang terjadi. Menurut Irfan (2019),
manajemen perusahaan perlu memahami keterkaitan semua
informasi yang ada sebelum melakukan analisis yang lebih lanjut.
Arahan informasi dimaksud adalah sebagai upaya memahami
permasalahan yang ada dengan mengurai beberapa hal. Beberapa
hal dimaksud sebaiknya dengan menggunakan pendekatan
kekinian.

H. Analisis Pasar
Dalam melakukan analisis ekonomi, perusahaan umumnya
melakukan pendekatan pasar dengan membandingkan analisis
ekonomi pesaing pada industri sejenis (Fandy Tjiptono: 2012). Pada
saat analisis menggunakan pendekatan pasar, selanjutnya analisis
ini berkembang menjadi analisis strategi pemasaran. Di sisi lain
perusahaan memperkirakan pengaruh setiap peluang pemasaran
terhadap kemungkinan mendapatkan laba. Analisis ekonomi
terdiri atas analisis terhadap komitmen yang diperlukan. Beberapa
faktor yang menjadi kunci analisis adalah faktor internal
perusahaan , faktor eksternal perusahaan, analisis pasar, analisis
ekonomi secara mikro dan membandingkan dengan sasaran tujuan
dan formulasi strategi yang terbentuk.
Analisis pasar dilakukan dengan menggunakan pendekatan
evalusasi skema Segmentasi, Konsep produk, Perilaku Pembelian
yang terdiri dari analisis pilihan tempat pembelian, kebutuhan
informasi, kebutuhan akan jaminan, dan kebutuhan akan
pelayanan. Di samping itu ukuran pasar, kecenderungan pasar,
pertimbangan aspek hukum, posisi pasar pesaing, faktor
perdagangan, analisis biaya/marjin, penjualan kembali,dukungan
yang diperlukan dan komitmen yang bertentangan memberikan
kontribusi data dan informasi yang relevan dan menjadi

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


70 BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI

pembanding atas ketepatan implementasi konsep stratategi yang


dilakukan perusahaan.
Sementara analisis ekonomi dengan mengambil data dan
informasi yang bersifat mikro yang terdiri dari : level komitmen
manajemen yang diperlukan, tingkat BEP ( break evenr point –
tingkat pulang pokok) dan pengaruhnya terhadap laba. Hal lain
yang memberi kontribusi data dan informasi adalah penilaian
resiko / laba yang terdiri dari berbagai evaluasi yaitu:
kemungkinan kanibalisasi antar group usaha, antisipasi
kemungkinan kehilangan pelanggan, faktor kontigensi, laba
potensial dengan melihat tingkat profitabilitas, pangsa pasar dan
peluang pasar baru. Analisis ekonomi mikro tersebut dapat
menjadi salah satu acuan pengambilan keputusan setelah
dilakukan benchmarking terhadap faktor ekonomi pesaing.

Gambar 3.13 Model Perumusan Analisis Pasar


Sumber: Fandi Tjiptono (2012), Bedah Strategi marketing

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI 71

I. Analisis Ukuran Kinerja


Pada saat perusahaan sudah mulai berkembang atau dalam
masa disrupsi , manajemen perusahaan mulai menyadari peran
penting atas kinerja dari tiap-tiap unit atau bagian. Pada saat itu
pula keberhasilan strategi manajemen tidak hanya dilihat dari
hasil pencapaian dari perspektif keuangan belaka. Keberhasilan
strategi manajemen diukur dari pencapaian beberapa perspektif
termasuk dari perspektif keuangan (financial). Ukuran kinerja
dimaksud adalah dengan mengkolaborasi kerangka kerja yang
terintegrasi.
Menurut David Permenter (2011), Ukuran kinerja dalam
suatu perumusan strategi menuju perusahaan berbasis MBO
(management by objective) terdiri dari 6 (enam) aspek perspektif yang
disebut dengan model Balanced Scorecard (BSC), dimana perspektif
di dalamya terdiri dari perspektif keuangan (financial), perspektif
pelanggan (customer), perspektif proses internal (Internal process),
perspektif pembelajaran dan pertumbuhan (Growth & learning),
kepuasan karyawan (employee satisfaction) dan lingkungan atau
komunitas (community). Dalam kaitan penetapan ukuran kinerja
strategis, perusahaan beserta individu di dalamnya dituntut
memiliki komitmen dan membuat laporan rutin kejadian
harian/mingguan/bulanan dan seterusnya sesuai dengan
kebutuhan. Laporan tersebut harus memuat dua hal yaitu :
acuan/rencana strategis yang akan dicapai dan hasil/realisasi
pencapaian laporan tersebut akan lebih bernilai jika di dalamnya
dicantumkan hal-hal yang menjadi kendala pencapaian dan solusi
yng telah dicapai serta informasi persentase pencapai kinerja secara
periodik tersebut.
Dalam menentukan acuan sasaran kinerja berdasarkan
keenam perspektif tersebut kekuatan visi dan misi sangat
menentukan dalam upaya penciptaan sasaran kinerja. Dalam hal
ini kembali kesolidan manajemen puncak bersama seluruh elemen
yang terlibat di dalam perusahaan diuji dalam merumusakan
visi/misi dan tujuan perusahaan. Perusahaan harus memiliki

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


72 BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI

paradigma yang kuat dan konsep strategi yang baik. Konsep


strategi tersebut perlu dihubungkan dengan keenam perspektif
indikator kinerja yang disebut di atas. Dalam implementasinya,
sangat memungkinkan terdapat salah satu perspektif yang tidak
tercakup. Jika hal ini terjadi maka manajemen perusahaan perlu
melakukan peninjauan kembali. Biasanya, perusahaan hanya
mampu menerapkan beberapa konsep strategi dalam waktu yang
sama.
Penentuan faktor kunci keberhasilan pada suatu perusahaan
memang tidak gampang, hal ini membutuhkan waktu dan energi
yang cukup besar. Namun jika dapat dirumuskan, Kunci
keberhasilan dapat mengidentifikasi hal-hal yang menentukan
sehat dan kapabilitas suatu perusahaan.

Gambar 3.14 Skema Pembentukan Ukuran Kinerja


Sumber : David Permenter (2011), Key Performance Indicator

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI 73

Ukuran kinerja dirumuskan dengan mempertimbangkan


berbagi temuan aspek terkini dan juga input yang bersumber dari
berbagai element dalam suatu organisasi atau perusahaan. Dengan
mengkolaborasikan berbagai temuan tesebut, perusahaan
memnetapkan skala prioritas yang akan ditetapkan. Selanjutnya
manajemen perusahaan menempatkan skala pada masing masing
perspektif. Skala yang telah ditetapkan tersebut nantinya akan
diberi bobot selanjutnya di setiap perspektif memiliki berbagai
atribut yang menjadi bahan evaluasi secara parsial. Dengan
demikian tercipta tebaran perspektif ukuran kinerja yang
disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan organisasi. Tebaran
ukuran kinerja itu yang kerap disebut Indikator keberhasil kinerja
atau Key Performance Indicator (KPI).

J. Formulasi Dan Implementasi Strategik Yang berkelanjutan


Perumusan strategi atau formulasi strategi merupakan
proses penyusunan langkah-langkah ke depan yang dimaksudkan
untuk membangun visi dan misi organisasi, menetapkan tujuan
strategis dan keuangan perusahaan, serta merancang strategi
untuk mencapai tujuan tersebut dalam rangka menyediakan
customer value terbaik. Morton (1996) yang dijabarkan dalam
Suhardi (2012) mengatakan bahwa ada keterikatan yang saling
menunjang antara Struktur Organisasi & Budaya Perusahaan,
Teknologi, Peran Individu, Struktur Organisasi dan Proses
Manajemen yang dipengaruhi oleh Lingkungan Sosio-Ekonomis
External dan Lingkungan Teknologi External dalam metodologi
pembentukan Strategi Formulasi seperti digambarkan dalam
gambar berikut:

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


74 BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI

Gambar 3.15 formulas Strategi Model Morton


Sumber : Morton (1996) dalam Suhardi (2012), Formulasi Strategi

Untuk itu, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan


perusahaan sebagai berikut:
1. Identifikasi lingkungan yang akan dimasuki oleh perusahaan
pada masa depan. Tentukan misi perusahaan untuk mencapai
visi yang dicita-citakan dalam lingkungan tersebut.
2. Lakukan analisis lingkungan intern dan ekstern untuk
mengukur kekuatan dan kelemahan serta peluang dan
ancaman yang akan dihadapi perusahaan dalam menjalani misi
dan meraih keunggulan bersaing (competitive advantage).
3. Rumuskan faktor-faktor penting ukuran keberhasilan (key
succes factors) sesuai dengan perubahan lingkungan yang
dihadapi.
Dari hal-hal yang dikemukakan di atas, para strategic planner
dan manajemen perusahaan dituntut untuk menetulan tujuan dan
target yang terukur dan teridentifikasi serta dapat dievaluasi.
Dalam tahap ini penyusun strategi harus melakukan analisis
terhadap opsi yang dimiliki perusahaan dengan
mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki dengan fakta
ekstern yang dihadapi. Tentukan strategic option yang paling
dikehendaki diantara opsi yang ada sesuai dengan misi organisasi.
Tentukan tujuan yang bersifat jangka panjang dan strategi utama
untuk mencapai opsi yang paling dikehendaki. Tentukan target
tahunan dan strategi jangka pendek yang sesuai dengan tujuan

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI 75

jangka panjang dan strategi utama. Pada gambar berikut adalah


jabaran paradigm penyusunan formulasi strategi.

Gambar 3.16 Alur Paradigma Penyusunan Formulas Strategi


Sumber : Sasongko (2018), Manajemen Stratejik

Dari pandangan yang dikemukakan oleh Morton di atas


selanjutkan dapat dikemukakan berbagai pengembangan
pandangan. Salah satu inti penting dari perumusan formulasi
strategi adalah komitmen manajemen dan seluruh tim player di
dalamnya untuk bersungguh-sungguh menjalankannya sebagai
bagian dari penerapan langkah strategis yang menyuluruh dalam
konteks melibatkan (involve) seluruh partisan. Berikut ini adalah
langkah-langkah perumusan formulasi strategi yang
dikembangkan dari pandangan Morton, sebagai berikut :
1. Langkah 1, tetapkan terlebih dahulu penyataan Visi dan Misi
perusahaan.
2. Langkah 2, Identifikasi dan analisis faktor situasi internal dan
eksternal perusahaan.
3. Langkah 3, tetapkan Tujuan/Objective atau goal perusahaan,
4. Langkah 4, Rumuskan apa yang menjadi program-program
yang cocok dan sejalan dengan pernyataan tujuan perusahaan,
Deskripsikan Target perusahaan, dan buatkan kebijakan serta

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


76 BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI

aturan main yang tepat untuk mendukung pencapaian tujuan


perusahaan.
5. Langkah 5, Susunlah rencana kerja strategis (Strategic action
plan) yang sudah dikembangkan dari poin-poin sebelumnya.
6. Langkah 6, Implementasi langkah keja strategis.
7. Langkah 7, Lakukan langkah monitor, kontroling dan evaluasi
atas implementasi Strategic action plan berserta tools atau
kelengkapan yang digunakan dalam rangka tersebut.
Langkah-langkah di atas kemudian dirunut menjadi satu
alur yang menjadi kerangka model alur perumusan formulasi
strategi. Pada model alur tersebut memperlihatkan gambaran
proses perumusan. Lebih lanjut alur proses dimaksud dapat dilihat
pada gambar berikut.

Gambar 3.17 Model Alur Penyusunan Formulas Strategi


Sumber : Bernard.W (2013), Strategic Management

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI 77

Dalam kaitan untuk menciptakan daya saing (competitive


force), perusahaan harus mampu menjabarkan hal-hal pokok yang
dapat mendorong terciptanya daya saing saing dimaksud. Penting
dicatat bagi para CEO, Manager, Executive bahwa ada beberapa
aspek yang harus diperhatikan di dalam penciptaan daya saing
dalam rangka perkembangan yang berkelanjutan (sustainable
development), yaitu:
1. Corporate Culture
2. SOP
3. Leadership
4. Standar Kualitas dan pelayanan
5. Continuous Improvement
6. Etika Bisnis/ keteladanan
7. Komitmen
Dalam perjalanannya, banyak perusahaan/Organisasi yang
menghadapi permasalahan yang besar dan menimbulkan
kompleksitas permasaahan. Pada kondisi ini umumnya formulasi
srategik dirumuskan dengan menyesuaikan sumber daya pada
bentuk aset dan waktu yang memungkinkan untuk melakukan
manuver perbaikan. Misalnya, jika organisasi masih bisa
memperbaiki performance perusahaan karena masih mempunyai
produk unggulan, reputasi yang memadai, dan masih ada asset-
aset kurang produktif yang dapat ditingkatkan produktivitasnya.
Namun jika manajemen pperusahaan menterjemahkan kondisi
yang dihadapi akkibat kompleks nya permasalahan sebagai suatu
krisis, maka formulasi strategic dirumuskan dengan mendekatan
manajemen krisis Bernard. W (2013). Manajemaen krisis biasanya
dilakukan oleh perusahaan yang sudah dideklarasikan memasuki
masa krisis, yaitu saat perusahaan sudah mulai kehabisan darah,
energi ( reputasi dan motivasi ) . Pada tahap ini perusahaan sudah
benar-benar berada pada posisi berbahaya dan eksistensinya
diragukan. Ciri-ciri perusahaan yang berada dalam krisis adalah
sebagai berikut:

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


78 BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI

1. Keadaan fisik tak terurus dan hampir tidak pernh dilakukan


peremajaan pada setiap aspek.
2. Munculnya demotivasi SDM akibat minimnya pola
pemeliharaan pegawai
3. Berkembangnya Situasi konflik horizontal yang tidak kunjung
ada penyelesaian.
4. Hapir tidak adanya figure manajemen yang dapat dijadikan
teladan dan energy baru perusahaan/organisasi
5. Meningkatnya keresahan pegawai karena dibayang-bayangi
Situasi yang tidak menentu.
6. Lemahnya aspek hukum yang memayungi seluruh aspek
perusahaan.
7. Bagian Keuangan, tidak terkendalinya control sistem keuangan
dan simpang siurnya arus kas bahkan hampir nol potensi
pemasukan keuangan.

Adakalanya ketika penerapan formulasi strategi tersebut


kontradiktif sehingga manajemen perusahaan dikacaukan dengan
kombinasi tindakan, baik dilakukan dengan kesadaran, maupun
kebingungan manajemen . Aktivitas yang dilakukan dalam
turnaround sebagian besar dilakukan pula dalam Situasi yang
tidak menentu, pada tahapan ini dibutuhkan seorang pemimpin
yang memeiliki kemampuan untuk mengahadapi stakeholder yang
mulai marah , tidak percaya dan merasa paling tahu serta dapat
bernegoisasi dengan pemberi pinjaman , serta memperbaiki citra
perusahaan . Apapun yang dilakukann , kapanpun akan dilakukan
, manajemen akan selalu perlu mengupayakan prisnip -prinsip
going concern antara lain :
1. Biaya produksi yang efisien
2. Kualitas barang yang memenuhi keinginan pasar
3. Revenue dari penjualan yang terus menrus tumbuh
4. Citra perusahaan,produk ,merek , yang dijaga secara positif
5. Meningkatkan kualitas SDM dan tingkat produktivitasnya

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI 79

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman & Sanusi. (2015) Manajemen Strategi. Bandung: CV


PustakaSetia.
Bernard,W. (2013) Strategic Management, Modul Perkuliahan Pasca
Sarjana. Jakarta : Sekolah Tinggi Manajemen Labora
Djohanputro, Bramantyo (2014), Restrukturisasi Perusahaan Berbasis Nilai.
Jakarta : PPM Publishing
Fahmi, Irham. (2017) Etika Bisnis: Teori Kasus, dan Solusi. Bandung:
Alfabeta
Hasibuan, Malayu S.P. (2012) Organisasi Dan Motivasi Dasar Peningkatan
Produktifitas. Jakarta: Bumi Aksara.
Kartajaya, Hermawan. (2019) Citizen 4.0, Menjejakkan Prinsip-Prinsip
Pemasaran Humanis Di Era Digital. Jakarta : Gramedia
Kotler, Philip & Kevin Lane keller. (2018) Manajemen Pemasaran Edisi Ke-
13 . Jakarta: Erlangga.
Parmenter, David . (2011) Key Perpormance Indikator, Pengembangan
Implementasi Dan Penggunaan. Jakarta : Kompas Gramedia
Sasongko, Tri (2018) Manajemen Stratejik, Modul Perkuliahan Fakultas
Ekonomi Dan Bisnis. Tangerang : Universitas Muhammadiyah
Tangerang (UMT)
Syahrial, Muhammad (2012) Manajemen Islami Meraih Sukses Sebagai
Pengusaha. Jakarta : Lentera Ilmu Cendekia
Tjiptono, Fandy & Gregorius Chandra. (2017) Pemasaran Strategik Edisi 3.
Yogyakarta: Andi

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


80 BAB 3 MANAJEMEN STRATEGI

PROFIL PENULIS

Tri Endi Ardiansyah. P.S, Bsc, SE,


MM, pria berdarah Melayu-Jawa ini kerap
dijuluki sebagai “Father Tri”. Selama ini
beliau aktif dalam memberikan workshop,
training dan seminar pada bidang strategi
bisnis dan marketing. Di samping itu,
selama 15 tahun terakhir beliau juga aktif
mengajar terutama pada bidang Pemasaran,
Manajemen Stratejik, Komunikasi Bisnis,
Enterpreneurship, Leadership dan Sistem
Informasi Manajemen di beberapa perguruan
tinggi. Terakhir beliau sebagai Dosen tetap pada
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Tangerang.
Dalam perjalanan hidupnya, beliau memulai karirnya sebagai Pilot
penerbangan komersil di beberapa maskapai penerbangan. Di luar karir
penerbangannya, beliau pernah menjabat sebagai Managing Director PT.
WTT Anyworld Express Cargo (2007). Sebagai Executive Officer For
Marketing & PR pada LP3I Group ( hingga 2018). Saat Ini beliau sebagai CEO
pada PT. Wabi Trikara Tama, perusahaan yang bergerak pada bidang
perdagangan dan agribisnis. Beliau juga aktif di Organisasi diantaranya :
KADIN, Ikatan Dosen Republik Indonesia (IDRI), Himpunan Penyelenggara
Pelatihan Dan Kursus Indonesia (HIPKI), Asosiasi Pengusaha Mikro Dan
Industri Daur Ulang Indonesia ( APMIDI), dan beliau juga pernah aktif di
Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 4 MPLEMENTASI ENTERPRISE RISK MANAJEMEN (ERM) 81

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


82 BAB 4 IMPLEMENTASI ENTERPRISE RISK MANAJEMEN (ERM)

BAB 4
Implementasi Enterprise Risk Manajemen (ERM)

A. Pendahuluan
Memahami apa yang mendorong pengembangan nilai dan
apa yang menghancurkannya penting untuk memberikan panduan
strategis bagi perusahaan. Akibatnya, mengejar peluang
membutuhkan pemahaman tentang risiko yang harus diambil serta
risiko yang harus dihindari. Akibatnya, setiap pertumbuhan bisnis
memerlukan penilaian dan penerimaan risiko. Kemampuan
perusahaan untuk berkembang dalam menghadapi risiko
sementara juga bereaksi terhadap insiden yang tidak direncanakan,
baik atau buruk, adalah ukuran utama daya saingnya. Eksposur
risiko, di sisi lain, meningkat, menjadi lebih bernuansa, beragam,
dan dinamis.
Perkembangan pesat dalam teknologi, kecepatan
komunikasi, globalisasi industri, dan laju perubahan di dalam
pasar semuanya berkontribusi terhadap hal ini. Jika dibandingkan
dengan sepuluh tahun yang lalu, bisnis saat ini bekerja di dunia
yang sangat berbeda. Bahaya juga bisa datang dari dalam
perusahaan saat berusaha untuk ekspansi. Akuisisi, investasi di
pasar negara berkembang, reformasi organisasi besar, proses kunci
outsourcing, program pengeluaran modal besar, dan
pengembangan produk baru secara substansial adalah contoh
strategi pertumbuhan yang dapat meningkatkan eksposur risiko
perusahaan.
Oleh karena jenis risikonya beragam, maka manajemen
risiko memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif. Dewan
direksi terkadang ditekan oleh pemangku kepentingan dan
regulator untuk menangani risiko secara lebih komprehensif, ketat,
dan sistematis. Perusahaan yang menganggap manajemen risiko

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 4 MPLEMENTASI ENTERPRISE RISK MANAJEMEN (ERM) 83

hanya sebagai masalah kepatuhan semata maka akan berisiko


mengalami kehancuran neraca.
Perubahan sifat risiko dan standar untuk manajemennya
telah menempatkan praktik kerja sebelumnya di bawah tekanan.
Penilaian risiko secara historis telah tersegmentasi dan dilakukan
baik dalam entitas swasta maupun publik. Hal ini disebabkan oleh
berbagai faktor, termasuk cara pikiran kita berfungsi saat
menyelesaikan masalah, struktur badan usaha, dan evolusi praktik
manajemen risiko.
Ada keinginan kuat untuk membagi risiko ke dalam
kategori yang berbeda dan saling eksklusif, yang tampaknya
merupakan fungsi dari cara kita membagi masalah untuk
menanganinya, kebutuhan untuk menetapkan tugas dalam
struktur organisasi yang mapan, dan anggapan yang mendasari
bahwa efek dari kejadian yang tidak terduga akan terbatas pada
satu wilayah. Faktanya, insiden yang tidak dapat diprediksi
tampaknya berdampak pada banyak area bisnis, dan keterkaitan
antara risiko dalam kategori risiko organisasi, keuangan, dan
teknologi telah diabaikan, seringkali dengan hasil yang
menghancurkan.
Enterprise Risk Management (ERM) lahir dari rasa
ketidakmampuan dalam mengelola risiko. ERM, juga dikenal
sebagai manajemen risiko bisnis strategis, dipandang sebagai
bentuk penanganan risiko dan peluang yang lebih komprehensif,
serta sebagai respons terhadap tekanan bisnis tersebut. ERM
diciptakan untuk membantu bisnis berkinerja lebih baik. Ini adalah
metode yang relatif baru di mana risiko ditangani melalui seluruh
perusahaan dengan cara yang terstruktur dan tersinkronisasi
(Maiti and Bidinger, 1981).
Pendekatannya lebih tentang pendewasaan, pengembangan
berkelanjutan, dan evolusi dari profesi manajemen risiko dan
implementasinya secara terstruktur dan disiplin daripada tentang
terobosan berani dalam pemikiran. Ini tentang memahami saling
ketergantungan risiko, seperti bagaimana risiko materialisasi di

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


84 BAB 4 IMPLEMENTASI ENTERPRISE RISK MANAJEMEN (ERM)

satu bidang bisnis akan memperburuk efek risiko di bidang lain.


Hasilnya, ini juga tentang bagaimana strategi pengurangan risiko
dapat mengatasi berbagai ancaman di berbagai industri.

B. Pengertian Risiko (Risk) dan Enterprise Risk Management (ERM)


Belum ada konsep Enterprise Risk Management (ERM) yang
diterima secara universal. Manajemen risiko dijelaskan oleh ISO
31000 dan Guide 73 sebagai "kegiatan terkoordinasi untuk
mengarahkan dan memantau risiko organisasi." Kebutuhan entitas
keuangan dan non-keuangan untuk memandu dan memantau
risiko di luar bahaya dan peristiwa operasi konvensional telah
menimbulkan manajemen risiko perusahaan atau perusahaan
secara keseluruhan. Berbagai metode manajemen risiko telah lama
digunakan oleh lembaga keuangan (dan beberapa bisnis lain)
untuk memandu dan memantau risiko keuangan, kredit, dan
pasar.
Manajemen risiko di seluruh dunia telah dijelaskan sebagai
metode untuk membawa arah dan kendali semua jenis risiko di
bawah satu payung, memungkinkan semua risiko kritis untuk
dideteksi, dipandu, dan dikelola. Untuk tujuan ini, semakin banyak
perusahaan yang menempatkan aktivitas manajemen risiko (ERM)
mereka di tingkat eksekutif dan menghubungkan upaya
manajemen risiko dengan risiko kritis yang dapat memengaruhi
tujuan dan sasaran strategis organisasi. Istilah "mencangkokkan
manajemen risiko ke dalam strategi" telah digunakan untuk
menggambarkan pergeseran penekanan ini.
Tidak seperti risiko bahaya, yang hanya memperhitungkan
kemungkinan kegagalan, ERM juga mempertimbangkan efek
positif dari ancaman strategi yang berkinerja lebih baik yang dapat
terjadi dari insiden, keadaan, atau peluang yang tidak terduga.
Meskipun pendekatan manajemen risiko organisasi dan keuangan
konvensional sering dipertahankan dalam implementasi ERM
karena dapat diandalkan, perusahaan menemukan bahwa jenis

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 4 MPLEMENTASI ENTERPRISE RISK MANAJEMEN (ERM) 85

risiko lain (beberapa di antaranya tidak diantisipasi) memerlukan


strategi manajemen risiko khusus yang tidak memiliki metode
perlakuan atau kontrol tradisional.
Berikut ini adalah daftar pilihan kata-kata utama dari
alternatif definisi ISO 31000 dan Guide73: 2009 (Sataloff, Johns and
Kost, no date) (Crouhy, Galai and Mark, 2014), yang mungkin akan
berguna bagi pembaca buku ini,:
1. Manajemen Risiko Perusahaan: Tidak ditentukan oleh Guide 73.
2. Peristiwa: Terjadinya atau perubahan kumpulan keadaan
tertentu.
3. Paparan: Sejauh mana perusahaan dan / atau pemangku
kepentingan dipengaruhi oleh suatu insiden Istilah "bahaya"
mengacu pada sumber potensi kerusakan.
4. Ketahanan: Kemampuan organisasi untuk beradaptasi dalam
dunia yang dinamis dan berkembang.
5. Risiko: Dampak ketidakpastian pada tujuan.
6. Risk Appetite: Jumlah dan jenis risiko yang dapat diambil atau
dipertahankan oleh perusahaan.
7. Sikap Risiko: Cara organisasi menilai risiko dan kemudian
memutuskan apakah akan mengejar, menyimpan, mengambil,
atau menghindarinya.
8. Manajemen Risiko: Praktik manajemen risiko terkoordinasi
yang memandu dan mengatur organisasi.
9. Kerangka Manajemen Risiko: Komponen yang memberikan
dasar dan pengaturan organisasi untuk perencanaan,
penerapan, pelacakan, pemutakhiran, dan terus meningkatkan
manajemen risiko di seluruh perusahaan.
10. Rencana Manajemen Risiko: Skema dalam sistem manajemen
risiko yang menentukan strategi manajemen risiko, elemen
manajemen, dan alat yang akan digunakan.
11. Proses Manajemen Risiko: Mengkomunikasikan, menasihati,
mendefinisikan konteks, dan mengenali, menilai, mengukur,
menangani, melacak, dan memutakhirkan risiko semuanya

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


86 BAB 4 IMPLEMENTASI ENTERPRISE RISK MANAJEMEN (ERM)

memerlukan implementasi sistematis dari kebijakan, prosedur,


dan praktik manajemen.
12. Pemilik Risiko: Seseorang atau lembaga yang bertanggung
jawab dan memiliki kewenangan untuk menangani risiko.
13. Toleransi Risiko: Kesediaan perusahaan atau pemangku
kepentingan untuk menanggung risiko setelah perlakuan risiko
untuk mencapai tujuannya.
Bagi orang yang berbeda, risiko dapat memiliki arti yang
berbeda. Peluang, ketidakpastian, ancaman, risiko, dan bahaya
adalah semua konotasi yang muncul di benak kita saat mendengar
istilah tersebut. Risiko kehilangan, penyakit, atau kejadian negatif
lainnya adalah salah satu konotasi ini. Mengingat efek negatifnya,
tampaknya masuk akal untuk menyimpulkan bahwa ancaman
harus diminimalkan atau dihindari sama sekali. Selama beberapa
tahun, manajer risiko telah menggunakan istilah negatif ini. Tujuan
manajemen risiko adalah untuk menjaga risiko agar tidak
menghalangi tujuan perusahaan. Model risiko dibuat untuk
mengukur kerugian yang diantisipasi, kerugian tak terduga, dan
skenario terburuk untuk tujuan ini.
Di sisi lain, memiliki sisi positif dan negatif dalam dunia
bisnis. Tidak akan ada potensi pengembalian jika tidak ada risiko.
Akibatnya, definisi risiko yang tepat harus memperhitungkan
penyebab (variabel atau faktor yang tidak diketahui) dan
konsekuensi (penyimpangan positif dan negatif dari hasil yang
diharapkan).
Alhasil, inilah upaya untuk mendefinisikan Risiko/Risk:
Risiko adalah variabel yang dapat memicu penyimpangan dari
hasil yang diharapkan, yang dapat berdampak pada pencapaian
tujuan bisnis dan kinerja perusahaan secara keseluruhan (Lam,
2017).
Untuk memahami sepenuhnya deskripsi ini, pertama-tama
kita harus mendefinisikan tujuh konsep fundamental utama.
Sangat penting untuk tidak menggabungkan semua ini dengan

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 4 MPLEMENTASI ENTERPRISE RISK MANAJEMEN (ERM) 87

risiko, tetapi untuk memahami bagaimana pengaruhnya terhadap


profil risiko perusahaan secara keseluruhan (Lam, 2017) (Fraser,
Simkins and Narvaez, 2013):
1. Eksposur
Jumlah keseluruhan kerugian ekonomi yang dapat
disebabkan oleh kecelakaan dikenal sebagai eksposur risiko.
Kerugian ini dapat berupa kerugian moneter atau reputasi. Jika
semua variabel lain tetap konstan, risiko yang terkait dengan
kejadian tersebut akan meningkat saat eksposur meningkat.

2. Volatilitas
Volatilitas adalah ukuran ketidakpastian atau kisaran
hasil yang mungkin dicapai. Volatilitas didefinisikan sebagai
besarnya potensi naik atau turun risiko.

3. Probabilitas
Semakin besar risiko yang ditimbulkan oleh suatu kasus,
semakin besar kemungkinannya — dengan kata lain, semakin
besar peluangnya. Perubahan suku bunga dan default kartu
kredit sangat umum sehingga bisnis harus mempersiapkannya
sebagai hal yang biasa.

4. Severity
Tidak seperti keterpaparan, yang dicirikan dalam
skenario kasus terburuk, tingkat keparahan didefinisikan
sebagai jumlah kerusakan yang mungkin terjadi.

5. Horizon Waktu
Periode eksposur risiko, atau berapa lama waktu yang
dibutuhkan untuk membatalkan konsekuensi dari suatu
keputusan atau insiden, disebut sebagai time horizon. Semakin
tinggi kemungkinan eksposur, semakin lama itu berlangsung.

6. Korelasi
Cara ancaman dalam sebuah perusahaan dibandingkan
satu sama lain disebut sebagai korelasi. Dua risiko dikatakan

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


88 BAB 4 IMPLEMENTASI ENTERPRISE RISK MANAJEMEN (ERM)

berkorelasi tinggi jika berperilaku serupa — yaitu jika risiko


meningkat karena alasan yang sama atau dengan jumlah yang
sama.

7. Modal
Perusahaan menyimpan uang karena dua alasan utama:
Pertama, untuk memenuhi kebutuhan kas seperti akuisisi dan
pengeluaran. Kedua, untuk menutupi kerugian yang tidak
terduga akibat eksposur risiko.

ERM harus didefinisikan dalam pengertian apa adanya,


bagaimana fungsinya, tujuan utamanya, dan komponen
utamanya. Berdasarkan parameter ini, ERM dapat dijelaskan
sebagai berikut:
ERM adalah mekanisme terintegrasi dan berkelanjutan
untuk mengelola risiko di seluruh perusahaan, seperti risiko
strategis, keuangan, operasional, peraturan, dan reputasi, untuk
mengurangi varians kinerja yang tidak terduga dan meningkatkan
nilai intrinsik perusahaan. Dengan menangani kriteria mendasar
dalam tata kelola dan strategi (termasuk selera risiko), analisis
risiko, manajemen risiko, serta pemantauan dan pelaporan,
mekanisme ini memberdayakan dewan dan manajemen untuk
membuat keputusan risiko / pengembalian yang lebih tepat (Lam,
2017).
Mari kita bahas uraian ini lebih detail. Pertama dan
terpenting, ERM adalah kerangka kerja manajemen yang berfokus
pada pendekatan terintegrasi dan berkelanjutan, yang mencakup
mengenali saling ketergantungan risiko dan menerapkan strategi
terintegrasi. Kedua, ERM bertujuan untuk mengurangi varian
keluaran yang tidak diantisipasi (aplikasi defensif) sementara juga
nilai perusahaan intrinsik (aplikasi ofensif). Seperti yang
dinyatakan sebelumnya, manajemen risiko adalah tentang
mengoptimalkan trade-off risiko / pengembalian daripada
meminimalkan atau menghilangkan risiko (kurva lonceng).

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 4 MPLEMENTASI ENTERPRISE RISK MANAJEMEN (ERM) 89

Ketiga, perangkat lunak ERM membantu dewan dan manajemen


membuat pilihan berdasarkan informasi. Keputusan dewan dapat
mencakup penetapan selera risiko, sumber daya, dan kebijakan
dividen, serta pengambilan keputusan strategis.
Alokasi modal dan sumber daya, pelanggan dan
manajemen persediaan, harga, dan transfer risiko adalah contoh
keputusan manajemen. Terakhir, tata kelola dan regulasi
(termasuk selera risiko), analisis risiko, manajemen risiko, serta
pemantauan dan pelaporan adalah semua komponen inti ERMin.
Keempat elemen ini membentuk arsitektur ERM yang seimbang
dan terintegrasi.

C. Tujuan Perusahaan dan Manajemen Risiko


Memahami mengapa organisasi terlibat dalam ERM,
kebutuhan dan sifat program ERM, dan bagaimana organisasi
mendefinisikan ERM adalah bagian dari membangun makna.
Karena semua manajemen risiko dikaitkan dengan risiko penting
dalam rencana, penetapan strategi selalu menjadi langkah pertama
bagi perusahaan (Commission, 2004) (Rita et al., 2018).
ERM (Enterprise-wide Risk Management) didasarkan pada
premis bahwa semua pemain di lingkungan politik, ekonomi, dan
sosial menyadari risiko yang timbul dalam lingkup pengaruh
mereka atau manifestasi risiko terhadap perusahaan yang pertama
kali muncul di bawah pengawasan mereka. Manajemen risiko
adalah inti dari misi manajemen, tetapi juga merupakan alat
penting yang dapat sangat memengaruhi dan memungkinkan
efisiensi yang optimal. Akibatnya, setiap spesialis harus dilengkapi
dengan kumpulan alat manajemen risiko yang dapat diakses dan
andal (Lam, 2017).
Karena setiap perusahaan memiliki budaya risiko, baik
secara desain atau default, sangat penting untuk melakukan upaya
bersama untuk merancang budaya risiko yang efisien dan
memasukkannya ke dalam budaya perusahaan yang diinginkan.
Hasil yang sempurna bagi setiap manajer adalah mampu menjadi

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


90 BAB 4 IMPLEMENTASI ENTERPRISE RISK MANAJEMEN (ERM)

"pemilik risiko" dan manajer risiko. Akibatnya, rahasia dari


"manajemen risiko yang baik" adalah memasukkan kompetensi
manajemen risiko ke dalam budaya organisasi saat ini, sehingga
meningkatkan kemungkinan pencapaian tujuan organisasi.
Manajemen risiko adalah pendekatan dasar untuk
mengelola organisasi dengan tujuan memaksimalkan efisiensi
ketika menghadapi ketidakpastian atau risiko, termasuk ancaman
dan peluang. Keuntungan, pengembangan, layanan publik, tujuan
politik, pemilihan ulang, dan tujuan lain yang telah ditentukan
sebelumnya mendorong semua organisasi.
Sebagai anggota C-suite, misi khusus profesional
manajemen risiko adalah untuk mengusulkan sistem dan prosedur
manajemen risiko, serta untuk memastikan bahwa semua manajer
(dan pemilik risiko) siap untuk menanggapi dan meminimalkan
efek dari kemungkinan internal atau titik perpecahan eksternal
pada siklus hidup perusahaan.
Manajemen risiko dimaksudkan untuk membantu
menyempurnakan tujuan yang berkelanjutan dengan melakukan
tinjauan mendalam terhadap lingkungan internal dan eksternal
organisasi. Penilaian risiko harus dimasukkan di semua tingkatan
dalam pelaksanaan rencana agar dapat secara sistematis meninjau
dan menganalisis skenario yang menjadi dasarnya, untuk
memperhitungkan risiko dengan benar dan mematuhi nilai-nilai
etika.

D. Manajemen Risiko dan Keberhasilan Perusahaan


Laporan tahunan yang berisi data ERM membantu investor
dalam mengambil keputusan investasi. ERM adalah komponen
kerangka manajemen risiko perusahaan yang menawarkan sinyal
keputusan kepada investor. Untuk meminimalkan asimetri
informasi di antara mereka, ERM dan hasil keuangan
menyebabkan transisi tanda dan informasi dari manajer yang
terinformasi dengan baik ke pemegang saham yang kurang

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 4 MPLEMENTASI ENTERPRISE RISK MANAJEMEN (ERM) 91

informasi. Sinyal kinerja keuangan yang positif dan ERM pada


gilirannya dapat meningkatkan nilai perusahaan (Nasr et al., 2019).
ERM adalah mekanisme dimana risiko perusahaan (seperti
risiko keuangan, risiko suku bunga, risiko hukum, risiko kredit,
dan sebagainya) dinilai dan ditangani dalam konteks yang
terstruktur dan strategis, sebagaimana didefinisikan dalam teori
manajemen risiko perusahaan. ERM merupakan paradigma
mendasar dan sistematis yang telah berkembang dari pendekatan
manajemen risiko konvensional menjadi pendekatan yang lebih
holistik dan terintegrasi. Jumlah studi empiris tentang ERM kecil,
dan dapat dibagi menjadi tiga kategori: klasifikasi ERM, studi
tentang faktor-faktor yang menyebabkan adopsi ERM, dan
evaluasi konsekuensi ERM.
Karena masalah kolaborasi, pengelolaan terpisah dari
berbagai unit risiko akan secara signifikan mengurangi kinerja
sistem. Meskipun demikian, banyak orang beranggapan bahwa,
karena pandangannya yang holistik dan luas, perusahaan yang
mengadopsi kerangka ERM dapat secara efektif mencegah biaya
manajemen risiko di berbagai departemen. Alhasil, implementasi
ERM bisa disamakan dengan pembentukan nilai. Dua indikator
kinerja organisasi digunakan dalam analisis ini. Pengembalian
ekuitas (ROE) dihitung dengan membagi laba bersih dengan nilai
buku saham.
Metrik ini adalah prediktor jangka pendek dari kinerja
perusahaan dan tidak secara akurat mencerminkan kesuksesan
jangka panjang organisasi. Rasio Q Tobin, di sisi lain, adalah
ukuran seberapa baik aset organisasi dihargai di pasar, seperti yang
disarankan oleh Pemenang Nobel Ekonomi Universitas Yale, James
Tobin. Ketika nilai saham perusahaan melebihi nilai asetnya, itu
berarti asetnya digunakan secara efisien. Nilai saham melebihi nilai
sekarang dalam situasi ini ..
Ketika rasio Q Tobin lebih besar dari 1, hal ini terjadi. Jika
nilai pasar perusahaan kurang dari nilai asetnya — yaitu, jika rasio

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


92 BAB 4 IMPLEMENTASI ENTERPRISE RISK MANAJEMEN (ERM)

Q Tobin kurang dari satu — perusahaan gagal memanfaatkan


asetnya dengan baik.
ROE dan ROA merupakan dua instrumen akuntansi yang
sering digunakan untuk menilai hasil keuangan internal
perusahaan. Rasio Tobin's Q, di sisi lain, digunakan untuk menilai
efisiensi keuangan eksternal perusahaan.
Sejauh ini, kami berasumsi bahwa penerapan ERM akan
meningkatkan nilai perusahaan, dan profitabilitas akan
meningkatkan nilai perusahaan. Kemudian menurut hipotesis
kami, terdapat hubungan antara implementasi ERM dengan hasil
keuangan perusahaan. Beberapa penelitian telah meneliti
hubungan ini, tetapi temuan mereka yang bertentangan belum
menghasilkan konsensus.

E. Pelaksanaan Proses Manajemen Risiko Perusahaan


Mengikuti definisi tujuan perusahaan, tiga langkah berikut
membantu dalam memastikan bahwa prioritas strategis suatu
entitas dan, dengan perluasan, misinya terpenuhi (Lam, 2017) .
Langkah 1 - Penilaian Risiko: Mulailah dengan membuat
daftar semua eksposur organisasi, yaitu segala sesuatu yang
mungkin berpengaruh pada tujuan intinya, kemudian buat profil
risiko, matriks risiko, dan daftar risiko yang mencakup elemen-
elemen berikut: Identifikasi: modal "berisiko", serta kejadian atau
perubahan yang tidak terduga atau perubahan dalam keadaan
yang mungkin memiliki pengaruh signifikan terhadap jumlahnya.
Analisis: efek dan probabilitas dalam kaitannya dengan
tujuan dan dengan tidak adanya perlakuan (kontrol) (risiko kotor
atau asli);
Evaluasi: efek dan probabilitas, dengan mempertimbangkan
strategi pengobatan yang sudah ada (risiko residual).
Langkah 2 - Perlakuan Risiko: terdiri dari semua tindakan
untuk memitigasi risiko. Sejauh menyangkut pengurangan risiko,
seluruh rangkaian mekanisme harus dievaluasi,

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 4 MPLEMENTASI ENTERPRISE RISK MANAJEMEN (ERM) 93

Pengalihan risiko dan penghindaran risiko melampaui


batas-batas konvensional pengalihan risiko asuransi. Rentang
tindakan yang tersedia mencakup semua fungsi utama organisasi:
pemasaran, manufaktur, pengadaan, hukum, dan sebagainya.
Tujuannya adalah untuk menempatkan semua instrumen yang
akan memungkinkan efek dan kemungkinan ancaman dikurangi
ke tingkat yang dapat dikelola (toleransi risiko). Penting untuk
dipahami bahwa ancaman ini dan tanggapannya terkait dengan
misi inti manajemen: stabilitas dan pengoptimalan operasional.
Dalam hal pembiayaan risiko, seluruh spektrum mekanisme
harus dinilai di tingkat kantor pusat untuk memperkuat kebijakan
keuangan organisasi dengan "rencana sumber daya keuangan yang
luar biasa." Untuk mitigasi risiko di tahap organisasi, untuk
pendanaan di tingkat C-suite, dan dalam semua situasi yang
didukung oleh spesialis manajemen risiko, prosedur berikut harus
diikuti:
Menentukan semua instrumen yang efektif untuk
memitigasi risiko ini;
Buat garis besar strategi mitigasi terbaik untuk mencapai
tujuan (di tingkat organisasi untuk pengurangan risiko; tingkat
eksekutif untuk pembiayaan risiko) dan dapatkan persetujuan dari
individu yang bertanggung jawab dan bertanggung jawab atas
eksposur (pemilik risiko).
Individu yang bertanggung jawab dan bertanggung jawab
atas pengelolaan eksposur ini harus menerapkan taktik yang telah
disepakati ke dalam tindakan (pemilik risiko).
Langkah 3 - Pantau dan Kaji Ulang: Langkah ini mencakup
pencatatan hasil untuk memastikan bahwa rencana dan strategi
dilaksanakan dengan benar, serta efektivitas dan signifikansinya.
Dalam proses ini, perusahaan memantau dan secara tidak langsung
memperhatikan kepentingan eksekutif dan dewan dalam
keberhasilan program manajemen risiko.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


94 BAB 4 IMPLEMENTASI ENTERPRISE RISK MANAJEMEN (ERM)

Gambar 4.1 The risk management process


(Sumber : Sataloff, Johns and Kost, no date)

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 4 MPLEMENTASI ENTERPRISE RISK MANAJEMEN (ERM) 95

DAFTAR PUSTAKA

Commission, C. of S. O. of the T. (2004) ‘Enterprise Risk Management —


Integrated Framework Executive Summary’, New York,
3(September), pp. 1–16. Available at:
http://www.coso.org/documents/COSO_ERM_ExecutiveSummary.
pdf.

Crouhy, M., Galai, D. and Mark, R. (2014) The Esentials of Risk Management.

Fraser, J. R. S., Simkins, B. J. and Narvaez, K. (2013) ‘Implementing


Enterprise Risk Management; Case Studies and Best Practices’,
Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), pp. 1689–
1699.

Lam, J. (2017) Implementing Enterprise Risk Management, Implementing


Enterprise Risk Management. doi: 10.1002/9781118922415.

Maiti and Bidinger (1981) 済無No Title No Title, Journal of Chemical


Information and Modeling.

Nasr, A. K. et al. (2019) ‘How enterprise risk management (ERM) can affect
on short-term and long-term firm performance: Evidence from the
Iranian banking system’, Entrepreneurship and Sustainability Issues,
7(2), pp. 1387–1403. doi: 10.9770/jesi.2019.7.2(41).

Rita, M. R. et al. (2018) ‘How entrepreneurs anticipate the future market: An


initial approach of a future market anticipation model for small
businesses’, Journal of Small Business Strategy, 28(1), pp. 49–65.

Sataloff, R. T., Johns, M. M. and Kost, K. M. (no date) No 主観的健康感を


中心とした在宅高齢者における 健康関連指標に関する共分散
構造分析Title.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


96 BAB 4 IMPLEMENTASI ENTERPRISE RISK MANAJEMEN (ERM)

PROFIL PENULIS

Iqbal Arraniri, S.E.I.,M.M. dilahirkan


di Bandung pada Tanggal 01
September 1980 dari pasangan orang
tua Ayah H. Endang Aly Sujana, S.Ag.
(Alm), dan Ibu Sobiroh, S.Ag. (Alm).
Berkat doa, motivasi, kerja keras dari
kedua orang tua akhirnya bisa
menyelesaikan study S1 Ekonomi
Islam di Sekolah Tinggi Ilmu Syariah
(STIS) Tahun 2003 dan S2 Magister
Manajemen di Universitas Islam
Indonesia (UII) Tahun 2007. Beliau
mulai mengajar menjadi dosen di
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi PASIM
Sukabumi, Tahun 2007 - 2015. Tahun
2016 sampai sekarang menjadi dosen
S1 Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas
Kuningan (UNIKU) dengan Scopus Author ID : 57220068452 dan Sinta
Author ID : 6011590. Karir Dosennya pada Periode 2017-2020 pernah
menjabat sebagai Sekretaris Prodi Manajemen Jenjang Pendidikan S1,
dan di Tahun 2021 - sekarang ini diberikan amanah baru menjadi
Kepala Kantor Urusan Internasional, Kerjsama dan Humas (KUIKH).
Baginya mengajar, merupakan hobi yang utama. Semoga dengan aktif
melakukan penulisan buku, Jurnal Ilmiah dan melakukan Pengabdian
Masyarakat bisa memberikan kontribusi bagi kemajuan Program Studi
Manajemen Khususnya dan Universitas Kuningan sebagai Green
Campus kebanggan bersama semakin Jaya aamiin.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 5 BALANCE SCORE CARD 97

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


98 BAB 5 BALANCE SCORE CARD

BAB 5
BALANCE SCORE CARD

A. Definisi, Konsep dan Perspektifnya


Balanced Score Card adalah metode pengukuran hasil kerja
yang digunakan perusahaan atau biasa disebut dengan strategi
menajemen. Balanced Score Card dikembangkan oleh Drs. Robert
Kaplan dari Harvard Business School dan David Norton pada awal
tahun 1990. Balance Score Card berasal dari dua suku kata, Balanced
yang artinya berimbang dan Score Card yang artinya kartu skor.

Gambar 5.1 Balanced Score Card

Pada awalnya Balanced Scorecard atau disingkat BSC


digunakan untuk memperbaiki sistem pengukuran kinerja
eksekutif. Dengan BSC perusahaan jadi lebih tahu sejauh mana
pergerakan dan perkembangan yang telah dicapai. Dengan adanya
BSC sangat membantu perusahaan untuk memberikan pandangan
menyeluruh mengenai kinerja perusahaan. Agar kinerja lebih
efektif dan efisien, dibutuhkan sebuah informasi akurat yang
mewakili sistem kerja yang dilakukan.
Balanced Scorecard memberi perusahaan elemen yang
dibutuhkan untuk berpindah dari paradigma ‘selalu tentang

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 5 BALANCE SCORE CARD 99

finansial’ menuju model baru yang mana hasil Balanced


Scorecard menjadi titik awal untuk review, mempertanyakan, dan
belajar tentang strategi yang dimiliki. Balanced Scorecard akan
menerjemahkan visi dan strategi ke dalam serangkaian ukuran
koheren dalam empat perspektif yang berimbang.
Balanced Scorecard menurut (Kaplan dan Norton dalam
Sipayung, 2009) menyatakan bahwa:“Suatu kerangka kerja untuk
mengintegrasikan berbagai ukuran yang diturunkan dari strategi
perusahaan, yaitu ukuran kinerja finansial masa depan, yang
meliputi perspektif pelanggan, proses bisnis internal, dan
pembelajaran dan pertumbuhan, diturunkan dari proses
penerjemahan strategi perusahaan yang dilaksanakan secara
eksplisit dan ketat kedalam berbagai tujuan dan ukuran yang
nyata”
Sedangkan menurut (Mulyadi, 2015:140)3 Balanced Scorecard
adalah: Metode alternatif yang digunakan perusahaan untuk
mengatur kinerja perusahaan secara lebih komperehensif, tidak
hanya terbatas pada kinerja keuangan, namun meluas ke kinerja
nonkeuangan, seperti perspektif pelanggan, proses bisnis internal,
serta pembelajaran dan pertumbuhan.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan
bahwa Balanced Scorecard merupakan suatu alat pengukuran kerja
yang terdiri dari empat perspektif untuk menilai kinerja
perusahaan dari segi keuangan dan non keuangan.

B. Fungsi Balanced Score Card


Pada awalnya BSC hanya digunakan untuk memperbaiki
sistem pengukuran keuangan. Kemudian meluas dan digunakan
untuk mengukur empat presfektif yaitu keuangan, pelanggan,
proses bisnis internal serta pembelajaran dan pertumbuhan.
Selain itu balanced Score Card memiliki fungsi sebagai
berikut:
1. Sebagai alat ukur perusahaan apakah visi dan misi yang dianut
telah tercapai.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


100 BAB 5 BALANCE SCORE CARD

2. Sebagai alat ukur keunggulan kompetitif yang dimiliki


perusahaan.
3. Sebagai panduan strategis untuk menjalankan bisnis.
4. Alat analisis efektifitas strategi yang telah digunakan.
5. Memberikan gambaran kepada perusahaan terkait SWOT yang
dimiliki.
6. Sebagai alat key performance indicator perusahaan.
7. Sebagai feedback terhadap shareholder perusahaan.

Balanced Score Card (BSC) bisa dikatakan sebagai alat ukur


yang paling sederhana dalam perusahaan sehingga banyak
kelemahan-kelemahannya. Salah satu kelemahannya adalah
informasi yang disajikan terbatas dan kurang akurasi. sehingga
tidak bisa melihat faktor-faktor lain yang bisa mempengaruhi
performa perusahaan. Misalnya saja saat terjadi krisis, kebijakan
pemerintah, atau kejadian di momen-momen tertentu. Namun
begitu, perusahaan tetap harus memiliki acuan pengukuran
seperti Balanced Score Card, karena di dalamnya terdapat empat
perspektif utama yang memang menjadi poin penting dalam
bisnis. Apa itu 4 perspektifnya?

C. Perspektif Balanced Score Card


Dalam balanced scorecard terdapat empat perspektif, yaitu
perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses
bisnis internal, serta perspektif pembelajaran dan pertumbuhan.
Keempat perspektif tersebut diuraikan dengan sebagai berikut:

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 5 BALANCE SCORE CARD 101

Gambar 1. Empat Perspektif Balanced Score Card

1. Perspektif Keuangan (Financial perspective)


Dalam Balance Score Card perspektif keuangan
merupakan perspektif yang tidak bisa diabaikan. Pengukuran
kinerja keuangan menunjukan apakah perencanaan,
implementasi dan pelaksanaan serta strategi memberikan
perbaikan mendasar. Perbaikan tersebut dapat berupa gross
operating income, return on investement atau economic value-
added. BSC dapat menjelaskan lebih lanjut tentang pencapaian

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


102 BAB 5 BALANCE SCORE CARD

visi yang berperan di dalam mewujudkan pertambahan


kekayaan sebagai berikut :
a. Peningkatan kepuasa customer melalui peningkatan revenue
b. Peningkatan produktifitas dan komitment karyawan
melalui cost effectiveness sehingga terjad peningkatan laba
c. Peningkatan kemampuan perasahaan untuk
menghasilkan financial returns dengan mengurangi modal
yang digunakan atau melakukan investasi dalam proyek
yang menghasilkan return yang tinggi
Pada prinsipnya balanced Score Card harus ada
keseimbangan antara perspektif keuangan dan perspektif non
keuangan. Perspektif keuangan tidak bisa bekerja tanpa adanya
perspektif non-keuangan misalnya saja laba yang diperoleh
perusahaan karena produk tersebut memiliki nilai manfaat bagi
konsumen atau bisa saja karena faktor SDM dan proses bisnis
dari perusahaan tersebut.
Pengukuran perspektif keuangan bisa dilakukan dengan
analisis rasio keuangan. Misalnya dengan menganalisis tren
keuangan, common size value antara perusahaan dan pesaing,
dan rasio keunagan seperti; rasio liabilitas, rasio aktivitas, rasio
hutang, rasio keuntungan, dan rasio solvabilitas.
Perspektif keuangan juga berguna seberapa perusahaan
atau bisnis Anda memiliki daya tarik kepada para investor. Bisa
dikatakan perspektif yang satu ini sangat penting dan menjadi
dasar ukur kesehatan bisnis Anda. Kunci perspektif
keuangan: keuntungan, tren pertumbuhan, economic value-
added, return of equity and investment, dan arus kas.
Pengukuran dalam perspektif keuangan nantinya akan
menunjukkan apakah perencanaan dan pelaksanaan strategi
memberikan perbaikan yang mendasar bagi peningkatan laba
perusahaan, serta dalam pencapaian tujuan yang dicapai
dalam penerapan perspektif keuangan. Menurut (Nugrahayu,
2015)4 balanced scorecard tetap menggunakan perspektif

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 5 BALANCE SCORE CARD 103

finansial, karena ukuran finansial memberikan petunjuk


apakah strategi perusahaan, implementasi, dan
pelaksanaannya memberikan kontribusi atau tidak kepada
peningkatan laba perusahaan. Untuk mengukur kinerja
keuangan suatu perusahaan diperlukan perhitungan rasio-
rasio keuangan sebagai bahan pertimbangan.

2. Perspektif Pelanggan (Customer perspective)


Dalam Balance Score Card perspektif Pelanggan yang
mempertimbangan dari sudut pandang pelanggan yaitu
bagaimana perusahaan harus bersikap terhadap pelanggan.
Seiring dengan semakin ketatnya persaingan bisnis antar
perusahaan, maka perusahaan harus mampu memahami
kebutuhan pelanggannya.
Disaat suatu perusahaan tidak mampu untuk memahami
pelanggannya, maka akan memudahkan pesaing untuk
menyerang dan merebut pasar, sehingga kita harus
menciptakan produk atau jasa yang bernilai lebih bagi
pelanggan. Dengan menciptakan sesuatu hal yang baru
dengan harapan mampu memberikan kepuasan kepada pihak
pelanggan.
Menurut (Rudianto, 2013:241)5 dalam perspektif
pelanggan Balanced Scorecard, para manajer mengidentifikasi
pelanggan dan segmen pasar dimana unit bisnis tersebut akan
bersaing dan berbagai ukuran kinerja unit bisnis dalam
sasaran.
Dalam perspektif pelanggan, perusahaan perlu terlebih
dahulu menentukan segmen pasar dan pelanggan yang menjadi
target. Selanjutnya, manajer harus menentukan alat ukur yang
terbaik untuk mengukur kinerja dari tiap unit operasi dalam
upaya mencapai target finansial. Apabila suatu unit bisnis ingin
mencapai kinerja keuangan yang besar dalam jangka panjang,
mereka harus menciptakan dan menyajikan suatu produk baru
atau jasa yang bernilai lebih baik kepada pelanggan.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


104 BAB 5 BALANCE SCORE CARD

Tolak ukur pelanggan dibedakan dalam dua kelompok


yaitu core measurement group (kelompok inti) dan customer value
proposition (kelompok penunjang). Kelompok inti atau core
meansurement terdiri dari:
a. Pangsa pasar atau market share
b. Tingkat perolehan pelanggan baru atau customer acqutition
c. Kemampuan perusahaan mempertahankan para pelanggan
lama atau customer retention
d. Tingkat kepuasan pelanggan atau customer satisfaction
e. Tingkat profitabilitas pelanggan atau customer profitability
Sedangkan kelompok penunjang ini dibagi menjadi
tiga kelompok yaitu:
a. Atribut-atribut produk (harga, mutu, fungsi)
b. Hubungan dengan pelanggan
c. Citra dan reputasi
Kunci perspektif konsumen: Kepuasan, retensi, akuisisi,
nilai manfaat, dan market share konsumen

3. Perspektif Proses Bisnis Internal (Internal bisnis perspective)


Menurut (Khusna, 2017)6 perspektif proses bisnis
internal ini menuntut manajer dalam mengidentifikasi
berbagai proses internal yang sangat penting untuk mencapai
tujuan pelanggan dan tujuan finansial perusahaan. Dalam
perspektif ini, manajer melakukan identifikasi berbagai proses
yang berhubungan dengan perusahaan dan juga pelanggan.
Selain itu manajer juga akan mengetahui sejauhmana bisnis
yang telah mereka jalankan. Menurut (Yuwono dalam
Solichah, 2015) membagi proses bisnis internal ke dalam
proses sebagai berikut:
a. Proses Inovasi, Proses ini dalam unit bisnis menggali
pemahaman tentang kebutuhan dari pelanggan dan
menciptakan produk atau jasa yang mereka butuhkan.
b. Proses Operasi, proses operasi yakni proses untuk
membuat dan menyampaikan produk atau jasa.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 5 BALANCE SCORE CARD 105

c. Proses Pelayanan Purna Jual, proses ini merupakan jasa


pelayanan pada pelanggan setelah penjualan produk atau
jasa tersebut dilakukan.
Perspektif proses bisnis internal menampilkan proses
kritis yang memungkinkan unit bisnis untuk memberi value
proposition yang mampu menarik dan mempertahankan
pelanggannya di segmen pasar yang diinginkan dan
memuaskan para pemegang saham. Tiap perusahaan
mempunyai proses dan nilai yang unik bagi pelanggannya.
Secara umum, hal tersebut terbagi menjadi 3 prinsip dasar
prespektif proses bisnis internal, yaitu:
a. Proses inovasi
Proses inovasi adalah bagian terpenting dalam
keseluruhan proses produksi. Tapi ada juga perusahaan
yang menempatkan inovasi di luar proses produksi. Dalam
proses inovasi itu sendiri terdiri atas dua komponen,
yaitu: identifikasi keinginan pelanggan, dan melakukan
proses perancangan produk yang sesuai dengan keinginan
pelanggan. Bila hasil inovasi dari perusahaan tidak sesuai
dengan keinginan pelanggan, maka produk tidak akan
mendapat tanggapan positif dari pelanggan. Hal tersebut
tidak memberi tambahan pendapatan bagi perusahaan.
Intinya proses inovasi harus bisa memberikan nilai yang
diinginkan konsumen
b. Proses operasi
Proses operasi adalah aktivitas yang dilakukan
perusahaan. Proses operasi dilihat dari perencanaan,
pembentukan bahan mentah hingga menjadi produk jadi,
proses marketing, hingga proses transaksi antara
perusahaan dan pembeli. Proses operasi menekankan
kepada penyampaian produk kepada pelanggan secara
efekktif dan efisien. Proses ini, berdasarkan fakta menjadi
fokus utama dari sistem pengukuran kinerja sebagian besar
organisasi.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


106 BAB 5 BALANCE SCORE CARD

c. Pelayanan Purna Jual


Layanan purna jual merupakan layanan yang
diberikan oleh perusahaan atau bisnis kepada konsumen
sebagai jaminan mutu produk yang telah dibeli oleh
konsumen. Banyak bentuk layanan purna jual misalnya
layanan konsultasi, perbaikan, perawatan, hingga garansi.

4. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan (Learning dan


growth perspective)
Menurut (Khusna, 2016)7 perspektif pembelajaran dan
pertumbuhan ini merupakan fondasi keberhasilan bagi sumber
daya manusia pada organisasi dengan tetap memperhatikan
faktor sistem dan organisasi. Perspektif ini lebih menekankan
pada sumber daya manusia dalam perusahaan dengan
mengadakan pelatihan bagi karyawannya, peningkatan
kemampuan sistem informasi, dan membuat prosedur yang
baik serta perbaikan rutinitas pekerjaan.
Perspektif ini menyediakan infrastruktur bagi
tercapainya ketiga perspektif sebelumnya serta untuk
menghasilkan pertumbuhan dan perbaikan jangka panjang.
Penting bagi suatu badan usaha saat melakukan investasi tidak
hanya pada peralatan untuk menghasilkan produk atau jasa,
tetapi juga melakukan investasi pada infrastruktur, yaitu:
sumber daya manusia, sistem dan prosedur. Tolak ukur kinerja
keuangan, pelanggan, dan proses bisnis internal bisa menjadi
pemicu kesenjangan yang besar antara kemampuan yang ada
dari manusia, sistem, dan prosedur. Untuk memperkecil
kesenjangan itu, maka suatu perusahaan harus melakukan
investasi dalam bentuk reskilling karyawan, yaitu:
meningkatkan kemampuan sistem dan teknologi informasi,
serta menata ulang prosedur yang ada.
Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan mencakup 3 prinsip
kapabilitas yang terkait dengan kondisi intemal perusahaan,
yaitu:

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 5 BALANCE SCORE CARD 107

a. Kapabilitas pekerja
Kapabilitas pekerja adalah merupakan bagian
kontribusi pekerja pada perusahaan. Sehubungan dengan
kapabilitas pekerja, ada 3 hal yang harus diperhatikan oleh
manajemen:
1) Kepuasan pekerja.
Kepuasan pekerja merupakan prakondisi untuk
meningkatkan produktivitas, tanggungjawab, kualitas,
dan pelayanan kepada konsumen. Unsur yang dapat
diukur dalam kepuasan pekerja adalah keterlibatan
pekerja dalam mengambil keputusan, pengakuan,
akses untuk mendapatkan informasi, dorongan untuk
bekerja kreatif, dan menggunakan inisiatif, serta
dukungan dari atasan.
2) Retensi pekerja.
Retensi pekerja adalah kemampuan untuk
mempertahankan pekerja terbaik dalam perusahaan. Di
mana kita mengetahui pekerja merupakan investasi
jangka panjang bagi perusahaan. Jadi, keluarnya
seorang pekerja yang bukan karena keinginan
perusahaan merupakan loss pada intellectual capital dari
perusahaan. Retensi pekerja diukur dengan persentase
turnover di perusahaan.
3) Produktivitas pekerja.
Produktivitas pekerja merupakan hasil dari
pengaruh keseluruhan dari peningkatan keahlian dan
moral, inovasi, proses internal, dan kepuasan
pelanggan. Tujuannya adalah untuk menghubungkan
output yang dihasilkan oleh pekerja dengan jumlah
pekerja yang seharusnya untuk menghasilkan output
tersebut.
b. Kapabilitas sistem informasi
Adapun yang menjadi tolak ukur untuk
kapabilitas sistem inforaiasi adalah tingkat ketersediaan

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


108 BAB 5 BALANCE SCORE CARD

informasi, tingkat ketepatan informasi yang tersedia,


serta jangka waktu untuk memperoleh informasi yang
dibutuhkan
c. Iklim Organisasi
Iklim organisasi merupakan salah satu pendorong
timbulnya motivasi, dan pemberdayaan adalah penting
untuk menciptakan pekerja yang berinisiatif. Adapun
yang menjadi tolak ukur hal tersebut di atas adalah
jumlah saran yang diberikan pekerja.
Intinya dalam perspektif pembelajaran dan
pertumbuhan, balanced Score Card lebih menekankan
pada aspek organisasi. Bagaimana perusahaan bisa
memanfaatkan sumber daya manusia yang ada menjadi
faktor keunggulan kompetitif.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 5 BALANCE SCORE CARD 109

DAFTAR PUSTAKA

Khusna,dkk.2017.Analisis Kinerja Perusahaan Dengan Menggunakan


Metode Balanced Scorecard Guna Menilai Kesehatan Usaha BUMN
(Studi PT.PG. Rajawali I Unit PG.Krebet Baru Malang.Jurnal
Administrasi Bisnis.Vol.35 : 86-95.

Moeheriono.2012.Pengukuran Kinerja Berbasis Kompetensi.Jakarta: Raja


Grafindo Persada.

Mulyadi.2015. Balance Scorecard;Sistem Terpadu Pengelolaan Kinerja


Personel Berbasis Balance Scorecard, Cetakan Ketiga:Penerbit
Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN,Yogyakarta.

Nugrahayu, Erika Ributari.2015. Penerapan Metode Balanced Scorecard


Sebagai Tolak Ukur Pengukuran Kinerja Perusahaan. Jurnal Ilmu
dan Riset Akuntansi.Vol.(4): 1- 10.

Rudianto.2013.Akuntansi Manajemen Informasi Untuk Pengambilan


Keputusan Strategis.Jakarta:Erlangga.

Sipayung,F.2009.Balanced Scorecard:Pengukuran Kinerja Perusahaan


dan Sistem Manajemen Strategis.Jurnal Manajemen Bisnis.Vol.2(1) :
7-14.

Solichah, Ami Dhatul.2015. Analisis Balance Scorecard Sebagai Sarana


Pengukuran Kinerja Perusahaan.Jurnal Administrasi Bisnis. Vol
(27): 1-10.

Suta, Purwanta, dan Asti Dwiastuti.2017.Pengukuran Kinerja Dengan


Pendekatan Balance Scorecard Pada Kantor Pusat PT. Bank
Pembangunan Daerah Bali.Jurnal Bisnis dan
Kewirausahaan.Vol.12(1) : 32-41.

Tahaka, Yanne Christiani.2013. Penerapan Balanced Scorecard Sebagai


Alat ukur Kinerja Pada PT. Bank Sulut.Jurnal EMBA. Vol(1):402-
413.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


110 BAB 5 BALANCE SCORE CARD

Wahyuni, Sri.2011. Analisis Balanced Scorecard sebagai Alat Pengukuran


Kinerja pada PT. Semen Bosowa. Jurusan Akuntansi, Fakultas
Ekonomi, Universitas Hasanuddin, Makassar.

https://www.jurnal.id/id/blog/balanced-scorecard/

Balanced Scorecard Step: Maximizing Performance and Maintaining Results,


Edition 2, By Paul N Riven Dally, Alqili Laury, H., Matondang, N., &
Tryana Sembiring, M. (2020). The balanced scorecard in the
integration of corporate strategic planning and performance: A
literature review. IOP Conference Series:

Materials Science and Engineering. https://doi.org/10.1088/1757-


899X/801/1/012135 Balanced Scorecard: Is It Worth It Enough?
Literature Review. (2020).

Journal of Asian Accounting Perspectives.


https://doi.org/10.22452/ajap.vol13no1.4

Benková, E., Gallo, P., Balogová, B., & Nemec, J. (2020). Factors that
influence the use of the Balanced Scorecard in measuring company
performance. Sustainability (Switzerland).
https://doi.org/10.3390/su12031178

Bošković, A., & Krstić, A. (2020).


Using the Combined Balanced Scorecard and Data Envelopment
Analysis in the Banking Industry. Business Systems Research.
https://doi.org/10.2478/bsrj-2020-0001 Dlamini, WB, Migiro, S., &
Tefera, O. (2020). Use of the Balanced Scorecard for hotel and tourism
growth of small and medium enterprises in ESwatini (Formerly
Swaziland): A proposed conceptual framework. African Journal of
Hospitality, Tourism and Leisure.

Frederico, GF, Garza-Reyes, JA, Kumar, A., & Kumar, V. (2020). Supply
chain performance measurement in the Industry 4.0 era: a balanced
scorecard approach. International Journal of Productivity and
Performance Management. https://doi.org/10.1108/IJPPM-08-2019-
0400 Guix, M., & Font, X. (2020).

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 5 BALANCE SCORE CARD 111

Materiality Balanced Scorecard: A framework for stakeholder-led integration


of sustainable hospitality management and reporting. International
Journal of Hospitality Management.
https://doi.org/10.1016/j.ijhm.2020.102634

Dadang. 2010. Balance Scorecard: An Approach in School-Based


Management Implementation. Bandung: Rosda. Efferin, Sujoko et al.
2008.

Integrated Performance Management System Balance Scorecard with Six


Sigma for Business and Government Organizations. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. Kaplan, Robert S and Norton, David P.
2000.

Balance Scorecard: Putting Strategy into Action. Jakarta: Erlangga. Cashmere.


2012. Financial Statement Analysis. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. Mahsun, M. 2006.

Public Sector Performance Measurement. First Edition. Yogyakarta: BPFE


Moeheriono. 2010.

Competency Based Performance Measurement. Bogor: Ghalia Indonesia.


Mulyadi. 2009. Integrated System for Personnel Performance
Management Based on Balance Scorecard. Yogyakarta: UPP-STIM
YKPN. Sugiyono. 2016.

Combination Research Methods (Mix Methods). Bandung: Alfabeta.


Sujarweni, V.W. 2015.

Business and Economic Research Methodology. Yogyakarta: New library


press. Wibowo. 2014.

Martunis, A., Dalimunthe, R., Amalia, K., Juanita, J., Syahputra, H., Adam,
M., & Masyudi, M. (2020). Adaptation of the balanced scorecard
model to measure the performance of departments at Dr Zainoel
Abidin Regional Hospital, Banda Aceh. Journal of Modeling in
Management. https://doi.org/10.1108/JM2-09-2018-0149

Rafiq, M., Zhang, XP, Yuan, J., Naz, S., & Maqbool, S. (2020). Impact of the
Balanced Scorecard as a strategic management system tool to enhance

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


112 BAB 5 BALANCE SCORE CARD

sustainable development: Measure mediation of organizational


performance through PLS-Smart. Sustainability (Switzerland).
https://doi.org/10.3390/su12041365

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 5 BALANCE SCORE CARD 113

PROFIL PENULIS

AGUS YULISTIYONO Adalah


seorang praktisi sejati lahir di
Kabupaten Blitar Provinsi Jawa Timur
10 Juli 1973 yang berkiprah di dunia
usaha dan terjun langsung ke
persaingan dunia bisnis yang sangat
kompetitif dan penuh tantangan. Ia
seorang pekerja keras yang belajar
langsung di lapangan dan dalam
ketatnya persaingan dunia usaha telah
menyelesaikan progam pemagangan
IMM Japan di Khosin Kabushiki Kaisha
di Hashimotodai Kanagawa dan Tokyo
Kogyo Daigaku di Ookayama Meguro City
Tokyo Japan tahun 2000. Pernah menagani SDM
di salah satu Perusahan Adisas di Indonesia dengan jumlah karyawan lebih
dari 12.000 orang dan melakukan kegiatan wirausaha dibidang perlengkapan
peralatan fire fighting atau alat-alat pemadam kebakaran. Menyelesaikan
Sarjana Ekonomi tahun 2011, Pasca Sarjana tahun 2014 dan sedang dalam
proses menyelesaikan Program Doktor Bisnis Administrasi Philipine Womens
University (PWU) di Manila. Selain itu penulis juga aktif sebagai Dosen tetap di
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Tangerang
denganNIDN : 0410077302 Asisten Ahli MENDIKBUD RI No :
534/LL4/KP/2020 Anggota Asosiai Dosen Indonesia No : 2912080 Asesor
Sertifikasi Profesi BNSP No. Reg. MET. 000.001440
Selain itu penulis juga kompeten dibidang Manejemen Sumber Daya
Manusia BNSP No. Reg. SDM. 1809 00228 2020, kompeten dibidang
Pelaksanaan Pemasaran BNSP No. Reg. IKM 908 02165 2019, kompeten
dibidang Metodologi Pelatihan BNSP No. Reg. FIT. 444 02431 2020, kompeten
dibidang Penulisan Buku Nonfiksi BNSP No. Reg. KOM. 1446.00750 2020,
kompeten dibidang Operator Komputer Muda BNSP No. Reg. ICT 294
0001441 2020

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


114 BAB 6 METODE MENGHADAPI HAMBATAN DALAM UPAYA …………….

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 6 METODE MENGHADAPI HAMBATAN DALAM UPAYA ……… 115

BAB 6
METODE MENGHADAPI HAMBATAN DALAM
UPAYA PERUBAHAN

Pandemi Covid – 19 yang awal mula menyebar dari daratan


China pada awal tahun 2020 telah membawa perubahan yang sangat
signifikan bagi kehidupan umat manusia mulai dari perubahan pola
pikir, gaya hidup hingga pada perubahan pola perilaku bisnis di
dunia. Perubahan ini dikarenakan hampir seluruh sektor dalam bisnis
mengalami kemunduran secara drastis terutama pada bisnis
pariwisata, perhotelan hingga industri kuliner, banyak dari bisnis
tersebut mengalami kebangkrutan sehingga mau tidak mau para
pelaku bisnis harus melakukan adaptasi terhadap kondisi ini agar roda
bisnis terus berputas meskipun dalam kondisi yang serba terbatas dan
penuh ketidakpastian diakibatkan pandemic Covid – 19 ini.
Di sisi lain, persaingan global yang makin ketat juga teknologi
yang berkembang pesat membawakan model bisnis yang lebih cepat
dan efisien, kondisi perekonomian yang mengalami penurunan secara
tajam akibat dari pandemic covid – 19 dan perubahan-perubahan
fluktiatif lainnya telah memicu perubahan pada lingkungan di
organisasi bisnis secara internal dan eksternal. Selanjutnya berbicara
perubahan adalah tentang suatu keniscayaan dalam kehidupan,
pandemic covid – 19 dan perkembangan teknologi yang sangat cepat
dewasa ini sangat memberikan dampak dalam perkembangan bisnis,
sikap adaptif dan mengubah pola bisnis untuk bertahan adalah suatu
keniscayaan, organisasi tidak dapat mengendalikan lingkungan
eksternal di sekitarnya, sebaliknya organisasi harus selalu adaptif
terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya terutama di masa covid
– 19 saat ini.
Dalam menghadapi perubahan tersebut, perusahaan harus
lebih kompetitif dan lebih fleksibel. Organisasi harus meninggalkan
kebijakan dan praktek manajemen yang sifatnya hirarki dan

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


116 BAB 6 METODE MENGHADAPI HAMBATAN DALAM UPAYA …………….

fungsional, dan bergeser pada praktek-praktek baru di bidang


manajemen yang lebih fleksibel (Darsono, 2002).
Contoh dari perubahan dalam organisasi bisnis tersebut adalah
hotel yang mengubah model bisnisnya menjadi kantor yang
disewakan untuk menutupi kerugian dari biaya operasional, suatu
maskapai penerbangan di thailand mengubah model bisnisnya untuk
menjual makanan di pinggir jalan, sementara itu AirAsia
mengembangkan bisnis akikah, juga banyak dari pebisnis kuliner
mengubah model bisnisnya menjadi menjual produk makanan frozen
food dan menggunakan system delivery, perubahan dalam contoh
kasus tersebut dilakukan agar roda bisnis terus berputa meskipun
pada tekanan ekonomi yang cukup berat.
Namun dalam proses transformasi perubahannya, tidak semua
berjalan lancer namun terdapat pula hambatan-hambatan yang terjadi
dari dalam organisasi bisnis itu sendiri, hambatan tersebut
diantaranya adalah sebagai berikut:

A. Hambatan dalam Proses Perubahan


Proses perubahan dalam organisasi dalam kondisi
ketidakpastian ini seperti ini mutlak untuk dilakukan, namun
upaya perubahan dalam organisasi tersebuts kerap kali terkendala
oleh adanya penolakan dari orang-orang di dalam organisasi
(Kotter, 1997).
1. tidak adanya pemahaman akan kebutuhan untuk berubah
2. tidak kondusifnya lingkungan perubahan
3. perubahan yang akan dilakukan bertentangan dengan nilai-
nilai dasar organisasi
4. kesalahan dalam memahami perubahan dan implikasi-
implikasinya
5. adanya pemahaman bahwa perubahan yang akan dilakukan
merupakan bukan pilihan yang terbaik bagi organisasi
6. tidak adanya keyakinan bagi orang-orang yang mengajukan
rencana perubahan
7. adanya ketidakadilan dalam menjalankan proses perubahan.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 6 METODE MENGHADAPI HAMBATAN DALAM UPAYA ……… 117

Munculnya sikap penolakan terhadap upaya perubahan yang


dilakukan dapat terjadi karena informasi tentang pentingnya
perubahan dalam suatu organisasi bisnis dan dampak negatif jika
tidak melakukan perubahan dengan segera sangat minim
diterima oleh berbagai pihak sehingga menimbulkan penolakan.
Dalam prakteknya, ada beberapa bentuk dari penolakan yang
ditemukan di lapangan, penolakan bisa terjadi dalam bentuk yang
tampak dan dengan jelas terlihat atau secara eksplisit dan segera
misalnya ada karyawan atau manajemen yang mengajukan protes
keberatan, adanya ancaman mogok dari pihak yang tidak setuju
terhadap perubahan, melakukan aksi demonstrasi dengan
eskalasi yang lebih besar atau aksi penolakan sejenisnya.
Penolakan juga dapat terjadi dengan tersirat (implicit) dengan
proses yang lambat laun misalnya kondisi loyalitas karyawan
atau manajemen pada organisasi yang semakin menurun atau
berkurang, timbulnya demotivasi dalam kerja, terjadi kesalahan
kerja meningkat secara signifikan, tingkat kedisiplinan dan
kehadiran karyawan dalam bekerja yang menurun dan lain-lain.
B. Kunci Sukses Mengelola Perubahan
Perubahan yang cepat dalam lingkungan merupakan
kekuatan eksternal yang mengakibatkan transformasi dalam
sebuah organisasi. Pada dasarnya, tujuan utama dari transformasi
tersebut adalah mengubah struktur organisasi agar menjadi lebih
fleksibel dan mampu bersaing, dengan tingkat structural yang
sedikit, serta jumlah manajer dan karyawan yang lebih kecil
(Darsono, 2002).
Elemen organisasi yang sering menolak untuk berubah
diakibatkan karena mereka tidak mengerti dan memahami tentang
apa yang sesungguhnya sedang terjadi, penerapan strategi
perubahan akan berhasil bergantung pada keahlian pimpinan dan
manajer untuk mengembangkan suasana internal organisasi yang
tenang dan kondusif dalam upaya membangun budaya
perubahan kea rah yang lebih baik sesuai dengan tujuan.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


118 BAB 6 METODE MENGHADAPI HAMBATAN DALAM UPAYA …………….

Perubahan harus dipandang oleh manajer dan karyawan sebagai


peluang dan bukannya ancaman bagi karyawan (Sugandi, 2013)
Perubahan dapat bermula dari individu dan
menularkannya pada rekannya pada suatu organisasi, perubahan
dapat berjalan dan berlaku jika individu tersebut memiliki inisiatif
yang lahir dari kesadaran akan pentingnya suatu perubahan itu
sendiri. Seseorang yang melahirkan gagasan perubahan akan
memulai dan mungkin memimpin proses perubahan tersebut dan
akan ada upaya untuk mengajak anggota lain melakukan
perubahan. Hal ini memungkinkan perubahan dapat diakui
sebagai suatu keharusan oleh seluruh anggota organisasi. Tetapi
sebuah keinginan pasti akan menimbulkan penolakan terhadap
perubahan, bila keinginan dan kebutuhan untuk berubah tersebut
kuat maka penolakan tersebut akan diupayakan untuk dieliminasi
secepat mungkin.
Menurut (Fred R. David, 2011) untuk menerapkan
perubahan, sedikitnya ada tiga strategi yang bisa digunakan
sebagai pilihan bagi pemimpin organisasi, tiga strategi itu antara
lain pertama strategi perubahan secara paksa, ke dua strategi
perubahan secara edukatif atau melalui jalur Pendidikan dan
terakhir strategi perubahan rasional dengan urgensi demi
kepentingan sendiri.
Strategi yang pertama, strategi perubahan paksa (force
change strategy) memiliki contoh pemimpin atau manajer
mengeluarkan perintah dan kewajiban untuk menjalankan
perintah proses perubahan, keunggulan strategi ini terletak pada
kecepatannya, namun sisi negatifnya adalah rendahnya tingkat
komitmen dan tingginya resistensi dari berbagai macam elemen
internal organisasi.
Ke dua, strategi perubahan edukatif (educative change
strategy) adalah strategi yang menggunakan informasi dan
Pendidikan untuk meyakinkan orang akan perlunya perubahan,
kelemahan strategi perubahan edukatif adalah dalam proses
penerapannya akan menjadi lambat dan sulit, namun strategi ini

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 6 METODE MENGHADAPI HAMBATAN DALAM UPAYA ……… 119

menghasilkan komitmen yang lebih tinggi dan resistensi yang


lebih sedikit daripada strategi perubahan paksa, hal ini
dikarenakan pemahaman terhadap perubahan datang dari diri
sendiri yang teredukasi. Terakhir strategi perubahan rasional demi
kepentingan sendiri (rational or self interest change strategy)
adalah pilihan strategi yang berusaha untuk meyakinkan individu
bahwa perubahan itu perlu dan harus dilakukan demi keuntungan
dan kemajuan dalam mencapai kepentingan diri mereka sendiri.
Sementara itu, Kotter, Penulis Buku Leading Change 8
Langkah Perubahan (Kotter, 1995) Untuk membangun
kondusifitas dalam upaya perubahan organisasi ke arah yang
lebih baik lagi di masa depan sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan berdasarkan kondisi eksternal bisnis yang penuh
tantangan dan ketidakpastian, Langkah Langkah dalam
membangun proses transformasi perubahan tersebut diantaranya:
Menciptakan Rasa Urgensi (Create a sense of urgency),
Membangun Koalisi yang kuat (Build a guiding coalition),
Menciptakan Visi Perubahan (Create a Vision for Change),
Mengomunikasikan Visi Perubahan (Communicating the Vision),
Menghilangkan Rintangan (Removing Obstacles), Menciptakan
Sasaran Jangka Pendek (Creating Short-Term Wins), Membina
Perubahan yang telah diciptakan (Build on the Change),
Kukuhkan Perubahan ke dalam Budaya (Anchor the Changes in
Corporate Culture), berikut adalah penjelasannya.

1. Menciptakan Rasa Urgensi untuk Berubah (Create a sense of


urgency)
Langkah pertama dalam Kotter’s 8 Step Change Model
ini adalah menciptakan kebutuhan mendesak atau
menciptakan rasa urgensi atas perlunya suatu perubahan. Jika
kita dapat menciptakan lingkungan dimana setiap individu
didalam organisasi menyadari masalah yang ada dan dapat
melihat solusi yang dapat memecahkan permasalahan yang
terjadi, maka dukungan untuk perubahan akan meningkat. Ini

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


120 BAB 6 METODE MENGHADAPI HAMBATAN DALAM UPAYA …………….

juga akan memicu motivasi awal untuk membuat semua


individu dalam organisasi bergerak bergerak Bersama dalam
mendukung perubahan.
Menurut Kotter, langkah ini adalah langkah persiapan
dan sekitar 75% manajemen perusahaan harus terlibat dalam
perubahan ini agar tingkat keberhasilan perubahan ini
menjadi lebih tinggi. Langkah pertama ini menekankan
pentingnya untuk mempersiapkan diri sebelum terjun ke
proses perubahan. Langkah ini menciptakan ‘kebutuhan’
untuk perubahan, tidak hanya ‘keinginan’ untuk berubah. Hal
ini sangat penting karena perubahan membutuhkan
dukungan dan kekompakan semua bagian dari organisasi
untuk menciptakan kesuksesan perubahan yang terjadi
kemudian.
Contohnya urgensi perusahaan atau organisasi untuk
menggunakan internet dan social media sebagai media iklan,
jika tidak menggunakan iklan di internet dan social media
maka pelanggan akan terus berkurang karena sekarang
mayoritas competitor dan pelanggan menggunakan internet
sebagai bagian dari gaya hidup dalam kehidupan sehari-hari.

2. Membangun Koalisi yang kuat (Build a guiding coalition)


Setelah Langkah pertama dilalui, yaitu menciptakan rasa
urgensi dan menumbuhkan kebutuhan untuk perubahan,
langkah selanjutnya adalah kita perlu meyakinkan orang lain
dalam organisasi untuk bersama melakukan perubahan
tersebut. Maka dari itu, kita dapat membangun koalisi untuk
membantu mengarahkan orang lain untuk melakukan
perubahan yang sama. Proses iniIni membutuhkan
kepemimpinan yang kuat dan komitmen yang tinggi serta
dukungan yang nyata dari orang-orang kunci (key person)
dalam organisasi kita. Koalisi yang dibangun harus terdiri dari
berbagai latar belakang ekonomi, keterampilan, pengalaman,
pengetahuan, keahlian, unit kerja, serta posisi jabatan bahkan

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 6 METODE MENGHADAPI HAMBATAN DALAM UPAYA ……… 121

orang yang berasal dari bidang bisnis yang lain untuk Bersama
memaksimalkan efektivitas dalam upaya meraih perubahan
kea rah yang lebih baik. Koalisi dapat membantu kita
menyebarkan pesan ke seluruh organisasi, mendelegasikan
tugas dan memastikan adanya dukungan untuk perubahan di
seluruh elemen organisasi. Anggota organisasi yang turut serta
berkolaborasi harus saling saling melengkapi dan dapat
memotivasi satu sama lain untuk bersama bekerja lebih keras
dan cerdas sehingga tingkat keberhasilan dalam upaya
perubahan ini tercapai dengan maksimal.

3. Menciptakan Visi Perubahan (Create a Vision for Change)


Keuntungan dari proses transformasi perubahan
mungkin dipahami sangat rumit dan sering sulit untuk
dimengerti atau dipahami oleh semua anggota organisasi
terutama anggota-anggota organisasi yang berada di bagian
paling bawah dalam organisasi. Oleh karenanya, menciptakan
suatu Visi yang mudah dipahami dan mencakup hal penting
dari keseluruhan tujuan akan perubahan adalah cara yang
sangat efektif dan bermanfaat untuk mendapatkan dukungan
dari seluruh organisasi. Selain harus mudah dimengerti dan
sederhana, Visi juga harus dapat menjadi inspirasi agar dampak
yang diinginkannya tersebut mencapai tingkat yang maksimal.

4. Mengomunikasikan Visi Perubahan (Communicating the


Vision)
Hal yang vital dalam proses tranformasi perubahan
dalam suatu organisasi adalah pola komunikasi yang baik, visi
Perubahan yang telah diciptakan harus dapat dikomunikasikan
ke seluruh organisasi tanpa terkecuali agar dapat menghimpun
dukungan dari semua anggota organisasi bahkan dari yang
paling bawah sekalipun. Visi Perubahan ini tidak hanya harus
dikomunikasikan saat adanya rapat formal saja, namun harus
dibicarakan di setiap kegiatan dan kesempatan agar dalam
bawah sadar seseorang memahami pentingnya perubahan

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


122 BAB 6 METODE MENGHADAPI HAMBATAN DALAM UPAYA …………….

tersebut sehingga menciptakan peluang yang lebih besar


berhasilnya proses perubahan tersebut.

5. Menghilangkan Rintangan (Removing Obstacles)


Empat langkah pertama yang sudah disebutkan di atas
sangat penting dalam membangun budaya perubahan dan
kekuatan inisiatif suatu perubahan yang akan dilakukan.
Selanjutnya adalah mencari dan mengetahui masalah atau
hambatan apa yang kemungkinan akan menghalangi proses
perubahan dalam organisasi. Rintangan atau hambatan tersebut
dapat datang dari pribadi anggota organisasi yang berasal dari
berbagai macam tingkatan kerja, perundang-undangan dan
budaya. Pimpinan harus dapat mengidentifikasikasi sedini
mungkin dan menggunakan sumber daya yang tersedia untuk
menghilangkan masalah dan rintangan akan perubahan
tersebut tanpa harus menganggu kegiatan-kegiatan lainnya
dalam organisasi.

6. Menciptakan Sasaran Jangka Pendek (Creating Short-Term


Wins)
Proses perubahan tidak bisa tercipta dengan simsalabim
dan instan, namun memerlukan proses yang Panjang dan
waktu untuk mendapatkan hasil maksimal, sehingga akan
mengakibatkan menunurnnya atau bahkan hilangnya
komitmen dan dukungan menurunnya semangat untuk
merubah apabila proses perubahan tersebut berlangsung dalam
jangka waktu yang lama. Hal ini dikarenakan sebagian anggota
organisasi akan menganggap usaha yang telah mereka lakukan
tersebut adalah sia-sia apabila tidak dapat melihat keberhasilan
atau kemenangan akan suatu perubahan dalam waktu yang
cepat. Oleh karena itu, untuk menumbuhkan semangat dan
mempertahankan dukungan akan perubahan ini, kita harus
menunjukan keuntungan dan menciptakan sasaran
keberhasilan untuk jangka waktu pendek. Sasaran jangka
pendek juga merupakan alat yang berguna untuk memotivasi

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 6 METODE MENGHADAPI HAMBATAN DALAM UPAYA ……… 123

dan sebagai arahan terhadap kegiatan perubahan kita.


Keberhasilan atau kemenangan jangka pendek ini dapat
digunakan untuk menilai investasi yang telah kita keluarkan
dan untuk menginspirasi dan memotivasi kembali anggota
organisasi atau karyawan perusahaan untuk terus mendukung
visi perubahan.

7. Membina Perubahan yang telah diciptakan (Build on the


Change)
Banyak proses perubahan yang berakhir gagal karena
rasa puas diri dan kesuksesan yang dinyatakan terlalu dini.
Oleh karena itu, Kotter berpendapat bahwa sangat penting
untuk mempertahankan dan memperkuat terus perubahan
tersebut meskipun telah mencapai suatu perubahan yang
diinginkan. Tetaplah menetapkan tujuan dan menganalis apa
yang dapat dilakukan dengan lebih baik untuk peningkatan
yang berkelanjutan.

8. Kukuhkan Perubahan ke dalam Budaya (Anchor the Changes


in Corporate Culture)
Budaya merupakan hal yang sangat melekat dalam
kehidupan manusia, karena dengan hanya mengubah proses
dan kebiasaan saja tidak cukup untuk menanamkan perubahan
ke seluruh laposan organisasi. Namun, perubahan harus
menjadi bagian dari inti organisasi atau core value agar
perubahan dapat memberikan efek manfaat yang lama atau
everlasting. Mempertahankan para senior dalam perubahan
dan mendorong karyawan baru untuk mengadopsi perubahan
akan membantu mempromosikan perubahan hingga ke seluruh
organisasi.
Menyusun visi, misi dan core value yang baru pada
akhirnya sangat diperlukan untuk memberikan proses
perubahan yang simultan dan maksimal dalam organisasi,
kemudian merawatnya dengan mengimplementasikan budaya-
budaya core value yang baru dalam kehidupan berorganisasi

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


124 BAB 6 METODE MENGHADAPI HAMBATAN DALAM UPAYA …………….

setiap hari agari proses perubahan tidak luput oleh waktu dan
dapat mengakar menjadi budaya organisasi yang baru dengan
target perubahan yang sudah ditentukan. Sehingga organisasi
dapat dengan optimis menghadapi tantangan yang sangat
dinamis terutama pada saat pandemic covid-19 dan tranformasi
teknologi yang begitu pesat menuju society 5.0 karena
organisasi telah mampu beradaptasi dengan proses perubahan
yang dapat diterima oleh seluruh elemen organisasi yang
berjalan dengan optimal.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 6 METODE MENGHADAPI HAMBATAN DALAM UPAYA ……… 125

DAFTAR PUSTAKA

Darsono, L. I. (2002). Transformasi Organisasional Dan Msdm:


Hambatan Dan Implikasinya Pada Rekrutmen Dan Seleksi. Jurnal
Manajemen Dan Kewirausahaan (Journal of Management and
Entrepreneurship), 4(2), 77–90.
https://doi.org/10.9744/jmk.4.2.pp.77-90

Fred R. David. (2011). Strategic Management; Concepts and Cases. In


The Journal of the Operational Research Society. Prentice Hall.
https://doi.org/10.2307/2584115

Kotter. (1995). Leading Change; Kotter. ‫ثبثبثب‬, 73(‫)ثقثقثق ثق‬, 59–67.

Sugandi, L. (2013). Dampak Implementasi Change Management pada


Organisasi. ComTech: Computer, Mathematics and Engineering
Applications, 4(1), 313.
https://doi.org/10.21512/comtech.v4i1.2743

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


126 BAB 6 METODE MENGHADAPI HAMBATAN DALAM UPAYA ………

PROFIL PENULIS

H. Robi Awaluddin,
S.Pd., M.M. yang akrab disapa
Kang Robi Pertama kali melihat
dunia pada tanggal 31 Oktober
1990. Mengenyam Pendidikan
dasar hingga menengah di kota
kesayangannya Kuningan, Jawa
Barat. Kang Robi kemudian
melanjutkan Pendidikan Jenjang
S1 di Universitas Pendidikan
Indonesia pada program studi
Pendidikan Ekonomi, pada saat kuliah S1, Kang Robi melanjutkan
aktivitas keorganisasiannya setelah di SMAN 1 Garawangi Kuningan
aktif sebagai ketua Ikatan Remaja Masjid dan Pengurus OSIS, lalu
Ketika kuliah aktif pada organisasi kemahasiswaan seperti pernah
diberikan amanah sebagai Direktur Unit Kegiatan Mahasiswa
Lembaga Penelitian dan Pengkajian Intelektual Mahasiswa (Leppim
UPI), Menteri Pendidikan BEM Republik Mahasiswa UPI, Ketua
Umum / ra’is A’am Keluarga Besar Pesantren Mahasiswa Daarut
Tauhiid Bandung Pimpinan KH. Abdullah Gymnastiar. Kang Robi lalu
melanjutkan studi S2 pada program Pascasarjana Manajemen dan
Bisnis, Sekolah Bisnis Institut Pertanian Bogor atau IPB University,
selain aktif di organisasi, Penulis juga pernah mendapatkan beasiswa
seperti beasiswa penelitian mahasiswa dan beasiswa lainnya, juga
pernah menjadi finalis pada PIMNAS 2012 di Unhas Makassar. Penulis
kini aktif sebagai dosen di Universitas Kuningan dengan aktivitas
tambahan sebagai konsultan bisnis, selain aktif melakukan tri dharma
perguruan tinggi, penulis juga memiliki hobi menulis, Robi juga
memiliki channel youtube dengan nama Robi Awaluddin Official, dan
web blog smartbis.id, pada dua kanal ini Ini Robi biasanya berbagi
seputar edukasi dalam bidang bisnis, manajemen dan kewirausahaan.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 7 REGULASI BASEL 127

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


128 BAB 7 REGULASI BASEL

BAB 7
REGULASI BASEL

A. Pendahuluan
Bank merupakan entitas perusahaan yang istimewa karena
aturan dan pengelolaannya yang sangat ketat. Pemerintah
mengatur, mengawasi dan mengendalikan sektor perbankan
karena industi ini berkaitan dengan situasi perekonomian. Bahkan
pengaturan perbankan merujuk pada standar peraturan yang
berlaku secara internasional. Bank merupakan perantara keuangan
terpenting disemua negara, karena perannya sebagai penjamin
likuiditas, pemantau keuangan dan produsen informasi (Santos,
2000)
Regulasi Basel merupakan standar perbankan yang
dikeluarkan oleh Basel Committee on Banking Supervision yang
merupakan bagian dari Bank for International Settlements (BIS)
yang mengeluarkan dan menetapkan standar standar pengaturan
perbankan dan forum kerjasama terkait pengawasan perbankan.
BCBS beranggotakan 45 bank sentral dan otoritas pengawasan
bank di 29 negara (OJK, 2020).
Periode tahun 1970-1980, regulasi keuangan dan perbankan
yang dilakukan oleh pemerintah lebih berfokus pada:
1. Pemberian izin untuk mendirikan lembaga keuangan
2. Pembatasan yang tegas mengenai aktifitas yang diperbolehkan
dan tidak diperbolehkan pada masing masing institusi
keuangan
3. Definisi dari rasio rasio pada neraca dan persyaratan giro wajib
minimum atau menjaga tingkat aktiva yang harus disediakan
dalam obligasi pemerintah
Pada periode tersebut regulasi yang berlaku lebih
memperlihatkan peran otoritas Bank Sentral dalam industry
keuangan, sehingga jika terjadi masalah pada pelaku industry
keuangan, maka masalah itu akan kembali kepada Bank Sentral

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 7 REGULASI BASEL 129

sebagai lender of the last resort. Perkembangan yang kemudian


terjadi dalam pasar keuangan dan liberalisasi keuangan, peran
regulasi bank sentral semakin melemah. Hal tersebut disebabkan
perbankan mengandalkan peran Bank Sentral sebagai lender of the
last resort jika mengalami masalah likuiditas.
Struktur organisasi Basel Committee dapat dilihat dalam
gambar berikut,

Sumber: https://www.bis.org/bcbs/organ_and_gov.htm?m=3%7C14%7C573%7C73

Gambar 7.1 Struktur organisasi Basel Committee

Tujuan utama dari pengaturan kehati-hatian adalah untuk


memastikan bahwa aset bank memiliki likuiditas yang cukup
untuk memenuhi setiap pengurangan dalam penyetoran ulang,
dan untuk mencegah pengurangan tersebut sejak awal (Dow,
1996). Dorongan untuk mendapatkan kebutuhan bank dari peran
intermediasi, penyediaan layanan likuiditas, pemantauan dan

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


130 BAB 7 REGULASI BASEL

informasi, dapat menyebabkan kemungkinan meningkatnya krisis


sistemik dan peningkatan biaya yang substansial. Keterkaiatan
yang tinggi dan potensi eksposure membuat bank sangat rentan
terhadap segala jenis kegagalan, sehingga bahaya reaksi berantai
yang merusak mendorong gagasan untuk penjaminan bank
(Ferreira et al, 2019).
Pada perkembangan selanjutnya, pada periode decade
1970an, pendekatan pengawasan dengan prinsip kehati-hatian
(prudential supervisory) mulai dipertimbangkan dalam melakukan
regulasi. Basel Accords mengacu pada seperangkat peraturan
pengawasan perbankan yang ditetapkan oleh Komite Basel untuk
Pengawasan Perbankan (Basel Committee for Banking Supervisory
(BCBS)). Mereka dikembangkan antara tahun 1980 sampai 2011,
serta mengalami beberapa modifikasi selama bertahun-tahun.
Basel Accords dibentuk dengan tujuan untuk menciptakan
kerangka peraturan internasional untuk mengelola risiko kredit
dan risiko pasar. Fungsi utamanya adalah memastikan bahwa
bank memiliki cadangan kas yang cukup untuk memenuhi
kewajiban keuangan mereka dan bertahan dalam kesulitan
keuangan dan ekonomi. Basel Accords juga bertujuan untuk
memperkuat tata kelola perusahaan, manajemen risiko, dan
transparansi. Peraturan tersebut dianggap sebagai seperangkat
peraturan terlengkap yang mengatur sistem perbankan
internasional.
Sampai dengan tahun 2021, terdapat tiga bentuk Basel
Accords dapat dipecah menjadi Basel I, Basel II, dan Basel III.
Kesepakatan Basel menetapkan tujuan utama permodalan bank,
ukuran tingkat risiko terkait permodalan bank, aturan terkait
modal minimum yang harus dimiliki untuk mencakup
pengukuran analisa dan risiko, pengawasan dan disiplin pasar.

B. Basel I
Dikenal sebagai Basel Capital Accord, dibentuk pada tahun
1988. Basel I dibentuk sebagai tanggapan atas pertumbuhan jumlah

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 7 REGULASI BASEL 131

bank yang beroperasi secara internasional dan peningkatan


integrasi dan interdependensi pasar keuangan. Regulator di
beberapa negara khawatir, bahwa bank internasional tidak
membawa cadangan kas yang cukup. Karena pasar keuangan
internasional sangat terintegrasi pada saat itu, kegagalan satu bank
besar dapat menyebabkan krisis di banyak negara. Selain itu, juga
dilatarbelakangi oleh kekuatiran atas krisis utang negara Amerika
Latin (Brazil, Argentina dan Mexico) pada awal 1980an yang dapat
meningkatkan risiko perbankan internasional (OJK, 2020).
Basel 1 mengacu pada standar permodalan bank sebagai
berikut (Ferreira et al., 2019):
1. Modal terdiri atas modal inti dan modal pelengkap
2. Penentuan bobot risiko asset bank, masing masing: 0% risiko 0,
20% risiko rendah, 50% risiko menengah, 100% risiko tinggi,
serta menetapkan asset yang termasuk dalam masing masing
kategori risiko.
3. Kecukupan modal (capital adequacy), tingkat minimum yang
harus dijaga bank antara modal dan asset tertimbang menurut
risiko. Minimal 8% jika merupakan rasio modal total (modal inti
dan modal pelengkap) terhadap asset tertimbang menurut
risiko, atau 4% jika merupakan rasio antara modal inti terhadap
asset tertimbang menurut risiko.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


132 BAB 7 REGULASI BASEL

Sumber: https://www.ojk.go.id/id/kanal/perbankan/implementasi-basel/Pages/Road-
Map.aspx
Gambar 7.2 Basel I

Basel I diberlakukan di negara-negara G10 pada tahun 1992,


tetapi lebih dari 100 negara menerapkan peraturan ini dengan
sedikit penyesuaian. Ketentuan tersebut bertujuan untuk
meningkatkan stabilitas sistem keuangan dengan menetapkan
GWM (Giro Wajib Minimum) bank internasional. Hal ini juga
memberikan kerangka kerja untuk mengelola risiko kredit melalui
pembobotan risiko aset yang berbeda. Menurut Basel I, aset
diklasifikasikan ke dalam empat kategori berdasarkan bobot risiko:
1. 0% untuk aset bebas risiko (uang tunai, obligasi treasury)
2. 20% untuk pinjaman ke bank lain atau sekuritas dengan
peringkat kredit tertinggi
3. 50% untuk hipotek perumahan
4. 100% untuk hutang perusahaan
Bank dengan operasi internasional yang signifikan
diharuskan memiliki 8% dari aset tertimbang menurut risiko
sebagai cadangan kas. Bank internasional dipandu untuk
mengalokasikan modal untuk investasi berisiko rendah. Bank juga
diberikan insentif untuk berinvestasi pada hutang negara dan
hipotek perumahan daripada hutang perusahaan.
“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”
BAB 7 REGULASI BASEL 133

C. Basel II
Merupakan perpanjangan dari Basel I, diperkenalkan pada
tahun 2004. Basel II mencakup penambahan peraturan baru dan
berpusat pada peningkatan tiga masalah utama - persyaratan
modal minimum, mekanisme pengawasan dan transparansi, dan
disiplin pasar. Basel II menciptakan kerangka kerja manajemen
risiko yang lebih komprehensif. Itu dilakukan dengan membuat
ukuran standar untuk risiko kredit, operasional, dan pasar. Bank
wajib menggunakan langkah-langkah ini untuk menentukan
persyaratan modal minimum mereka. Basel II dilatarbelakangi
perubahan yang terjadi pada industry perbankan dan pasar
keuangan termasuk krisis keuangan yang terjadi di Asia Tenggara
dan Asia Selatan tahun 1997-1998.
Batasan utama Basel I adalah bahwa persyaratan modal
minimum ditentukan hanya dengan melihat risiko kredit. Ini
memberikan sistem manajemen risiko parsial, karena risiko
operasional dan pasar diabaikan. Basel II membuat ukuran standar
untuk mengukur risiko operasional. Ini juga berfokus pada nilai
pasar, bukan nilai buku, ketika melihat eksposur kredit. Selain itu,
memperkuat mekanisme pengawasan dan transparansi pasar
dengan mengembangkan persyaratan pengungkapan untuk
mengawasi peraturan. Akhirnya, memastikan bahwa pelaku pasar
memperoleh akses yang lebih baik ke informasi.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


134 BAB 7 REGULASI BASEL

Sumber: https://www.ojk.go.id/id/kanal/perbankan/implementasi-basel/Pages/Road-
Map.aspx
Gambar 7.3 Tiga Pilar Basel II

Basel II didasarkan pada tiga pilar yang saling menguatkan,


yaitu:
1. Kebutuhan modal minimum. Rasio kecukupan modal harus
minimal 8%, dihitung sebagai rasio antara modal dan asset yang
diberi bobot menurut tiga risiko yaitu risiko kredit, risiko pasar
dan risiko operasional.
2. Pengawasan aktivitas bank yang meliputi, penilaian kinerja
internal atas modal sendiri, pengawasan oleh otoritas keuangan
terhadap penilaian yang dilakukan bank, peningkatan
komunikasi pengawasan, intervensi untuk mencegah
penurunan modal.
3. Disiplin pasar yang memerlukan persyaratan pelaporan yang
lebih rinci oleh Bank Sentral dan public mengenai struktur
kepemilikan, eksposure risiko dan kecukupan modal hingga
profil risiko.

D. Basel III
Basel III merupakan standar terbaru dari Basel Accord dan
merupakan standar peraturan global yang ditetapkan mengenai

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 7 REGULASI BASEL 135

kecukupan modal, risiko likuiditas pasar dan stress testing yang


berfokus pada stabilitas sistim keuangan.
Krisis Keuangan Global tahun 2008 mengungkap kelemahan
sistem keuangan internasional dan mendorong terciptanya Basel
III. Peraturan Basel III dibuat pada November 2010 setelah krisis
keuangan. Penerapannya terus-menerus tertunda dalam beberapa
tahun terakhir dan diperkirakan akan terjadi pada Januari 2022.
Basel III mengidentifikasi alasan utama yang menyebabkan krisis
keuangan. Ini termasuk tata kelola perusahaan dan manajemen
likuiditas yang buruk, struktur permodalan yang terlalu tinggi
karena kurangnya batasan peraturan, dan insentif yang tidak
selaras di Basel I dan II.
Basel III juga memasukkan persyaratan cadangan modal
baru dan langkah-langkah countercyclical untuk meningkatkan
cadangan dalam periode ekspansi kredit dan untuk melonggarkan
persyaratan selama periode pengurangan pinjaman. Di bawah
aturan barunya, bank dikategorikan ke dalam kelompok yang
berbeda berdasarkan ukuran dan kepentingan keseluruhannya
bagi perekonomian. Bank yang lebih besar dikenakan persyaratan
cadangan yang lebih tinggi karena peran mereka yang lebih besar
bagi perekonomian.

Sumber:https://www.ojk.go.id/id/kanal/perbankan/implementasi-basel/Pages/Road-
Map.aspx
Gambar 7.4 Basel III

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


136 BAB 7 REGULASI BASEL

Basel Accords sangat penting untuk berfungsinya pasar


keuangan internasional. Mereka tidak pernah bisa konstan dan
perlu terus diperbarui berdasarkan kondisi pasar saat ini dan
pelajaran yang didapat dari masa lalu.
Reformasi Basel III sekarang telah diintegrasikan ke dalam
Kerangka Kerja Basel konsolidasi, yang terdiri dari semua standar
saat ini dan yang akan datang dari Komite Basel tentang
Pengawasan Perbankan.
Basel III adalah serangkaian langkah yang disepakati secara
internasional yang dikembangkan oleh Komite Basel tentang
Pengawasan Perbankan dalam menanggapi krisis keuangan tahun
2007-2009. Langkah tersebut bertujuan untuk memperkuat
regulasi, pengawasan dan manajemen risiko perbankan. Seperti
semua standar Komite Basel, standar Basel III adalah persyaratan
minimum yang berlaku untuk bank aktif internasional. Anggota
berkomitmen untuk menerapkan dan menerapkan standar di
yurisdiksi mereka dalam kerangka waktu yang ditetapkan oleh
Komite.
Basel III adalah seperangkat langkah reformasi
komprehensif dalam regulasi kehati-hatian perbankan yang
dikembangkan oleh Basel Committee on Banking Supervision,
untuk memperkuat regulasi, pengawasan dan manajemen risiko
sektor perbankan. Langkah-langkah ini bertujuan untuk:
1. Meningkatkan kemampuan sektor perbankan untuk
menyerap guncangan yang timbul dari tekanan keuangan dan
ekonomi, apapun sumbernya;
2. Meningkatkan manajemen risiko dan tata kelola;
3. Memperkuat transparansi dan pengungkapan bank.
Perjanjian Basel III didukung oleh G20 pada November
2010 dan terdiri dari beberapa pembaruan berurutan (OJK, 2020):
1. Basel III: Kerangka peraturan global untuk bank dan sistem
perbankan yang lebih tangguh (versi revisi Juni 2011)
2. Rasio Cakupan Likuiditas (Januari 2013)
3. Rasio Pendanaan Stabil Bersih (Oktober 2014)

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 7 REGULASI BASEL 137

4. Basel III: Finalisasi reformasi pasca krisis (Desember 2017)


5. Persyaratan modal minimum untuk risiko pasar (Januari 2016,
revisi Januari 2019)
Basel III memperkenalkan aturan baru yang telah
disempurnakan yang dirancang untuk meningkatkan konsistensi,
transparansi dan kualitas basis modal. Dua rasio likuiditas baru
juga diperkenalkan yaitu Net Stable Funding Ratio (NSFR) yaitu
likuiditas jangka panjang bank dan Liquidity Coverage Ratio (LCR)
yang merupakan likuiditas jangka pendek bank. Standar ini
meminta bank untuk meningkatkan asset likuid berkualitas tinggi
dan memperoleh pendanaan relative stabil, untuk memastikan
bahwa bank sudah sesuai dengan prinsip manajemen risiko
likuiditas (Ferreira et al., 2019)
Penerapan standar Basel secara penuh, adopsi yang tepat
waktu dan konsisten serta implementasinya sangat penting untuk
meningkatkan ketahanan sistem perbankan global, mendorong
kepercayaan pada rasio kehati-hatian, mendorong lingkungan
peraturan yang dapat diprediksi dan transparan untuk bank yang
beroperasi internasional. Komite Basel, Kelompok Gubernur Bank
Sentral dan Kepala Otoritas Pengawasan, ditetapkan sebagai
prioritas tinggi dalam implementasi penuh dan efektif dari
standar Basel yang disepakati secara global. Komite memonitor
dan menilai tiga dimensi - ketepatan waktu, konsistensi dan hasil
- secara teratur.
RCAP (Regulatory Consistency Assessment Programme)
merupakan Program Penilaian Konsistensi Regulasi yang
dibentuk oleh Komite Basel yang komprehensif pada tahun 2012
untuk memantau dan menilai adopsi dan implementasi standar
Basel, sambil mendorong lingkungan peraturan yang dapat
diprediksi dan transparan untuk bank yang aktif secara
internasional.
RCAP terdiri dari dua alur kerja yang berbeda tetapi saling
melengkapi:

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


138 BAB 7 REGULASI BASEL

1. Pemantauan
Transposisi standar regulasi Basel III menjadi regulasi
domestik dipantau setiap setengah tahun berdasarkan
informasi yang diberikan oleh masing-masing yurisdiksi
anggota. Anggota Komite Basel mengawasi setiap kemajuan
dalam mengadopsi standar Basel III.

2. Penilaian
Komite mengevaluasi konsistensi dan kelengkapan
standar yang diadopsi, termasuk signifikansi dari setiap
penyimpangan dari kerangka peraturan Basel III. Penilaian
konsistensi ini dilakukan berdasarkan yurisdiksi dan tematik:
a. Penilaian yurisdiksi (konsistensi) meninjau sejauh mana
peraturan domestik selaras dengan persyaratan Basel
minimum yang disetujui oleh Komite dan membantu
mengidentifikasi kesenjangan material dalam peraturan
tersebut.
b. Penilaian tindak lanjut meringkas tindakan yang diambil
atau direncanakan oleh anggota untuk menangani temuan
yang diidentifikasi dalam penilaian yurisdiksi.
c. Penilaian tematik (hasil) memeriksa penerapan persyaratan
Basel di tingkat bank individu dan berupaya memastikan
bahwa rasio kehati-hatian dihitung secara konsisten oleh
bank di seluruh yurisdiksi untuk meningkatkan
komparabilitas di seluruh hasil.

E. Penutup
Sebagai sebuah standar peraturan yang diterapkan secara
global, regulasi Basel menarik perhatian untuk diteliti dampaknya
terhadap perbankan. Penelitian yang dilakukan Siljeström (2013)
pada perbankan di 16 negara OECD dengan periode tahun 1992
sampai dengan 2009, mengevaluasi apakah peningkatan capital
requirement berdampak negative terhadap profitabilitas. Temuan
dalam penelitian ini menunjukan bahwa modal Tier 1 dan asset
tertimbang menurut risiko berpengaruh negative terhadap

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 7 REGULASI BASEL 139

profitabulitas bank, sedangkan buffer modal berpengaruh atau


memberikan efek positif terhadap profitabilitas.
Industri perbankan merupakan industry yang sangat
kompleks dan berdampak terhadap perekonomian. Oleh karena itu
perlu ada peran pengawasan yang ketat agar tidak timbul masalah.
Permasalahan pengawasan inilah yang menyebabkan munculnya
peraturan peraturan yang membatasi bank. Kompleksitas regulasi
akan mahal dan sulit penerapannya dan ini menjadi factor yang
harus dipertimbangkan dalam membahas perbaikan regulasi Basel.
Siljeström (2013) menyebutkan diperlukan penelitian lebih
lanjut tentang topic regulasi dalam industry perbankan mencakup
studi lebih lanjut mengenai cara mengukur risiko atau
memprediksi kerugian jumlah optimal modal yang harus dimiliki
bank perunit risiko, pengawasan, manajemen dan sebagainya.
Untuk menjaga kepercayaan di pasar keuangan, hal ini menjadi
penting untuk kelangsungan stabilitas keuangan global.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


140 BAB 7 REGULASI BASEL

DAFTAR PUSTAKA

Dow, S. C. (1996). Why the Banking System Should be Regulated. Te


Economic Journal, 106(436), 698–707.

Ferreira, C., Jenkinson, N., & Wilson, C. (2019). From Basel I to Basel
III. IMF Working Papers, 19(127), 66–70.
https://doi.org/10.5089/9781498315227.001

Santos, J. A. . (2000). Bank capital regulation in contemporary banking


theory: a review of the literatur. B I S Working Paper, Bank for
International Settlements.

Siljeström, A.-K. (2013). The effect of Basel regulation on banking


profitability : A cross-country study on 16 OECD countries. KTH
Industrial Engineering and Management Stockholm.

Website:

https://www.ojk.go.id/id/kanal/perbankan/implementasi-
basel/Pages/Road-Map.aspx diakses tanggal 27 Februari 2021

https://www.bis.org/bcbs/organ_and_gov.htm?m=3%7C14%7C573
%7C73 diakses tanggal 27 Februari 2021

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 7 REGULASI BASEL 141

PROFIL PENULIS

Dede Djuniardi, lahir di Jakarta pada


tanggal 14 Juni 1970. Pendidikan dasar
ditempuh di SD 03 Pademangan Timur,
kemudian SMPN 42 Jakarta dan SMAN 13
Tanjung Priok Jakarta Utara. Gelar Sarjana
Ekonomi (S1) diraih tahun 1996 dan
Magister Manajemen (S2) di raih tahun 1999
dari Sekolah Tinggi Manajemen LABORA
Jakarta. Selanjutnya menempuh pendidikan
Doktor (S3) dalam Ilmu Manajemen di
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta lulus tahun 2020.
Pengalaman bekerja pada beberapa perusahaan dan menjadi
konsultan pengembangan sektor riil dan UMKM di KPw BI Cirebon
dari tahun 2008-2013. Karir struktural di Universitas Kuningan sebagai
Kaprodi Manajemen (2004-2008), Dekan Fakultas Ekonomi (2012-
2016), Kepala Pusat Kewirausahaan (2017-2021) dan Kepala Program
Magister Manajemen (2021-2026). Berkarir sebagai dosen pada
program studi Manajemen di Universitas Kuningan sejak tahun 2004
sampai sekarang. Mengampu mata kuliah keuangan seperti
Manajemen Keuangan, Studi Kelayakan Bisnis dan Penganggaran
Perusahaan. Menulis pada beberapa buku seperti Lending Model bagi
Petani Tebu Rakyat, Modul Studi Kelayakan Bisnis. Selain itu, aktif
sebagai pengurus Kadin Kab. Kuningan dan Pengurus Pusat Ok Oce
Andalan juga Instruktur pada berbagai pelatihan UMKM. Beberapa
penelitian mandiri dan kolaborasi dengan instansi telah menghasilkan
karya yang dipublikasikan.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


142 BAB 7 REGULASI BASEL

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 8 PENGELOLAAN MANAJEMEN RISIKO SECARA TERINTEGRASI 143

BAB 8
PENGELOLAAN MANAJEMEN RISIKO SECARA
TERINTEGRASI

A. Pengertian Manajemen Risiko


Didalam kehidupan sehari-hari kita sering dihadapi dengan
kejadian atau peristiwa yang terkadang membuat kita dihadapi 2
hal, ada kemungkinan itu sejalan dengan apa yang telah kita
rencanakan atau sebaliknya kemungkinan penyimpangan yang
dapat merugikan kita. Ketidakpastian yang terjadi dan berpotensi
merugikan itu dapat kita sebut dengan risiko.
Dalam menghadapi suatu potensi terjadinya suatu
peluangnya risiko, maka kita perlu adanya antisipasi dengan suatu
metode atau cara agar risiko yang terjadi tidak berdampak besar
bahkan bisa kita kendalikan. Disinilah peran dari suatu manajemen
risiko yang dapat diterapkan untuk mengatasi hal-hal tersebut.
Begitu juga dengan perusahaan didalam menjalankan suatu
perkembangan bisnisnya sering dihadapi dengan adanya suatu
risiko yang muncul cukup beragam dan bisa kapan saja dating
yang dapat mengancam kegiatan perusahaan tersebut. Sehingga
peran dari seorang manager risiko harus cepat dan tepat dalam
menyusun strategi untuk mencegah dan menangani suatu potensi
risiko.
Pengertian dari suatu manajemen risiko itu sendiri adalah
proses indentifikasi, analisis, pengendalian serta evaluasi dalam
upaya menghindari atau meminimalkan risiko yang akan terjadi
didalam kehidupan atau dalam suatu bisnis perusahaan
(Mulyawan, S. 2015).
Dengan pengertian dan proses suatu manajemen risiko
diharapkan bisinis perusahaan dapat berjalan dengan baik dan
mampu bertahan walau dihadapkan dengan berbagai risiko dan
kompetitor. Coba bayangkan jika perusahaan tidak dapat

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


144 BAB 8 PENGELOLAAN MANAJEMEN RISIKO SECARA TERINTEGRASI

melakukan kelola risiko dengan baik, tentunya akan berpengaruh


terhadap kinerja perusahaan.

B. Tujuan Manajemen Risiko


Tujuan penerapan manajemen risiko semata-mata
menghindari dan meminimalisir risiko yang akan muncul atau
dihadapi perusahan. Adapun beberapa tujuan lain adalah :

1. Sebagai Peringatan Kewaspadaan


Segala risiko yang berbahaya akan dideteksi sedini
mungkin agar tidak membahayakan dan meluas. Maka,
manajemen risiko bisa dijadikan peringatan untuk hal tersebut.
Diharapkan perusahaan beserta karyawan waspada dan hati-
hati dalam bekerja jangan sampai terjadi hal yang tidak
diinginkan. Bisa dibayangkan jika tidak ada kontrol dan
mitigasi atas risiko tersebut perusahaan akan kurang waspada
dan mudah terjatuh karena tidak memperhitungkan risiko yang
ada.

2. Meningkatkan Kinerja Perusahaan


Membantu mengembangkan kinerja perusahaan dengan
menyediakan informasi level risiko yang disebutkan risk map.
Pemetaan dalam risk map berguna dalam pembuatan strategi
dan perbaikan secara holistik.

3. Sosialisasi Manajemen Risiko


Bagaimanapun juga, tujuan manajemen risiko harus
disampaikan dan disosialisasikan kepada seluruh lapisan
perusahaan guna memberi pemahaman akan risiko dan
pentingnya menjalankannya.

4. Mendorong Manajemen Agar Proaktif


Seluruh manajemen tiap divisi akan lebih peka terhadap
risiko dan proaktif dalam menghadapi dan mengurangi risiko
berdasarkan keunggulan yang dimiliki tiap-tiap manajemen.
“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”
BAB 8 PENGELOLAAN MANAJEMEN RISIKO SECARA TERINTEGRASI 145

C. Faktor penyebab terjadinya risiko dan tipe risiko


Ada beberapa faktor penyebab terjadinya risiko adalah
bencana (Perils) dan Bahaya (Hazards). Contoh dari faktor bencana
adalah banjir, tanah longsor, gempa, gelombang laut tinggi
merupakan risiko secara langsung menimbulkan kerugian.
Sementara bahaya terbagi beberapa jenis diantaranya :

1. Bahaya fisik (Physical hazard) misalnya berhubungan dengan


fasilitas bangunan suatu perusahaan
2. Bahaya moral (Moral hazard) misalnya sikap ketidakjujuran atau
ketidakdisiplinan
3. Bahaya morale (Morale hazard) misalnya sikap yang tidak hati-
hati ataupun kurangnya perhatian dari pihak-pihak terkait
dalam suatu perusahaan.
4. Bahaya karena hukum atau peraturan (legal hazard) misalnya
akibat mengabaikan undang-undang atau peraturan yang telah
ditetapkan. (Kasidi, K. 2010)

Mamduh Hanafi (2009) mengklasifikasikan risiko menjadi


dua yaitu :

1. Risiko murni (Pure risk) adalah risiko dimana kemungkinan


kerugian ada, tetapi kemungkinan kerugian ada, tetapi
kemungkinan keuntungan tidak ada. Contoh : kecelakaan,
kebakaran, kebanjiran, dan sebagainya.
2. Risiko Spekulatif adalah risiko dimana kita mengharapkan
terjadinya kerugian dan juga keuntungan. Contoh : usaha
bisnis, membeli saham

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


146 BAB 8 PENGELOLAAN MANAJEMEN RISIKO SECARA TERINTEGRASI

Sumber : Mamduh Hanafi (2009)

Gambar 8.1 Kategori Risiko

Disamping kategori murni dan spekulatif, risiko juga dapat


dibedakan antara risiko yang dinamis dan statis. Resiko statis
muncul dari kondisi keseimbangan tertentu. Contoh : risiko
terkena petir merupakan risiko yang muncul dari kondisi alam
tertentu. Karakteristik risiko ini praktis tidak berubah dari waktu
ke waktu. Risiko dinamis muncul dari perubahan kondisi tertentu.
Contoh : perubahan kondisi masyarakat semakin kritis, sadar akan
haknya, maka risiko hukum (Legal Risk) yang muncul karena
masyarakat lebih berani mengajukan gugatan hukum (Sue)
terhadap perusahaan akan semakin besar.
Risiko bisa bersifat subyektif dan obyektif. Risiko subyektif
berkaitan dengan persepsi seorang terhadap risiko. Dengan kata
lain, kondisi mental seseorang menentukan kesimpulan tinggi
rendahnya risiko tertentu. Contoh : untuk standar deviasi (Risk)
pasar yang sama 25%, dua orang dengan kepribadian berbeda
akan mempunyai cara pandang yang berbeda. Orang yang risk
averse menganggap risiko investasi dipasar modal terlalu tinggi.
Sementara bagi orang agresif (Risk Seeker), risiko investasi dipasar
modal dianggap tidak terlalu tinggi. Risiko obyektif adalah risiko

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 8 PENGELOLAAN MANAJEMEN RISIKO SECARA TERINTEGRASI 147

yang didasarkan pada observasi parameter yang obyektif


(Manduh 2009)

D. Proses Manajemen Risiko


Manajemen menurut Nickels and McHugh (1997) adalah
sebuah kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan tujuan
organisasi melalui serangkaian kegiatan berupa perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian orang-orang
serta sumber daya organisasi lainnya.
Berdasarkan pengertian tersebut diatas, maka Mamduh
Hanafi (2009) membagi proses manajemen risiko menjadi
beberapa tahap, antara lain :

1. Perencanaan
Perencanaan manajemen risiko bisa dimulai dengan
menetapkan visi, misi, dan tujuan yang berkaitan dengan
manajemen risiko. Kemudian perencanaan manajemen risiko
bisa diteruskan dengan penetapan target, kebijakan, dan
prosedur tersebut dituangkan secara tertulis. Dokumen tertulis
semacam itu memudahkan pengarahan, sekaligus menegaskan
dukungan manajemen terhadap program manajemen risiko.

Gambar 8.2 Organisasi Manajemen Risiko


2. Pelaksanaan Sumber : Robert Tampubolon (2009)

Pelaksanaan manajemen risiko meliputi aktivitas


operasional yang berkaitan dengan manajemen risiko. Proses

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


148 BAB 8 PENGELOLAAN MANAJEMEN RISIKO SECARA TERINTEGRASI

indentifikasi, Analisis dan pengukuran risiko kemudian


diteruskan dengan manajemen (pengelolaan) risiko yang
merupakan aktivitas operasional yang utama dari manajemen
risiko.
a. Indentifikasi Risiko
Indentifikasi risiko adalah proses menemukan,
mengenali dan mencatat risiko apa saja yang dihadapi oleh
suatu organisasi. Tujuan dari identifikasi risiko adalah untuk
mengidentifikasi hal-hal, kejadian-kejadian atau situasi yang
mungkin terjadi yang dapat mempengaruhi pencapaian
tujuan oraganisasi termasuk penyebab dan sumber risiko,
deskripsi kejadian risiko dan dampaknya terhadap tujuan
organisasi. Organisasi harus menerapkan metode dan teknik
identifikasi risiko dan teknik yang sesuai dengan tujuan,
kapabilitas, dan karakter risiko yang dihadapi. Identifikasi
risiko harus dilakukan berdasarkan Informasi yang relevan
dan terbaru sertamelibatkan orang-orang yang memiliki
kemampuandan pengetahuan yang sesuai.

b. Analisis Risiko
Analisis risiko adalah proses mengembangkan
pemahaman terhadap suatu risiko. Analisis risiko
memberikan masukan untuk proses evaluasi risiko dan dalam
mengambil keputusan apakah suatu risiko risiko perlu
dikendalikan danmemilih strategi dan metode pengendalian
yang tepat. Analisis risiko merupakan bagian dari tahap
assessmen risiko dalam proses manajemen risiko dan
dilakukan terhadap risiko-risiko yang telah diidentifikasi
dalam proses identifikasi risiko. Posisi analisis risiko dalam
proses manajemen risiko berdasarkan ISO 31000 adalah
sebagai berikut :

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 8 PENGELOLAAN MANAJEMEN RISIKO SECARA TERINTEGRASI 149

Gambar 7.3
Posisi Analisis Risiko dalam Proses Manajemen Risiko

Analisis risiko mencakup analisis terhadappenyebab dan


sumber risiko, dampak positif atau negatif dari suatu risiko,
dan kemungkinan suatu risikodapat terjadi. Faktor-faktor
yang mempengaruhi dampakdankemungkinan kejadian
risiko harus diidentifikasi. Efisiensi dan efektifitas
pengendalian risiko yang telah diterapkan sebelumnya juga
harus dipertimbangkan. Keterkaitan yang mungkin terjadi di
antara risiko-risiko yang telah diidentifikasi juga perlu
dipertimbangkan. Ada beberapa Teknik dalam analisis risiko
yaitu :
1) Brainstorming
Brainstorming dilakukan dengan mendorong
diskusi bebas antara orang-orang yang memiliki
pengetahuan dan keahlian untuk mengidentifikasi,
menganalisis dan mengetahui opsi-opsi
penangananrisiko. Teknik ini perlu difasilitasi dengan
efektif untuk dapat menstimulasi diskusi, mengarahkan

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


150 BAB 8 PENGELOLAAN MANAJEMEN RISIKO SECARA TERINTEGRASI

diskusi kearah yang tepat dan menangkap isu-isu yang


muncul dalam diskusi. Brainstorming dapat dilakukan
secara formal ataupun informal. Brainstorming formal
dilakukan dengan lebih terstruktur dan peserta
diharapkan sudah mempersiapkan diri terlebih dahulu
dan memiliki tujuan dan hasil yang jelas. Brainstorming
informal lebih tidak terstruktur dan biasa terjadi secara
alami.

2) Wawancara Terstruktur atau Semi-Terstruktur


Dalam wawancara terstruktur, pewawancara akan
menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sudah
disiapkan sebelumnya yang mendorong narasumber
untuk melihat suatu situasi dari sudut pandang baru dan
mengidentifikasi risiko dari sudut pandang tersebut.
Wawancara semi-terstruktur dilakukan dengan cara
serupa namun dapat melibatkan diskusi dan dan
eksplorasi lebih lanjut.

3) Teknik Delphi
Teknik Delphi bertujuan untuk memperoleh
konsensus pendapat dari orang-orang yang pakar di
bidangnya. Perbedaan utama Teknik Delphidari
brainstormingadalah setiap pakar memberikan opininya
secara individu dan anonim namun dapat melihat
pandangan pakar lain selama Delphidilakukan.Teknik
Delphidapat dilakukan di tahapan manapun dalam
manajemen risiko di mana diperlukan konsesus opini dari
pakar-pakardi bidangnya.

4) Checklist
Checklistadalah daftar bahaya, risiko atau
kegagalan yang dibuat berdasarkan pengalaman, baik
melalui penilaian risiko terdahuluatau informasi
historikal. Checklist dapat digunakan untuk melakukan

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 8 PENGELOLAAN MANAJEMEN RISIKO SECARA TERINTEGRASI 151

identifikasi risiko atau menilai efektivitas pengendalian


risiko. Checklist juga digunakan bermanfaat untuk
memeriksa apakah semua aspek telah tercakup setelah
teknik lain dilakukan untuk mengidentifikasi risiko baru.
c. Evaluasi dan Pengukuran Risiko
Tujuan evaluasi risiko adalah untuk memahami
karakteristik risiko dengan lebih baik. Jika kita memperoleh
pemahaman yang lebih baik, maka risiko akan lebih baik,
maka risiko akan lebih mudah dikendalikan. Evaluasi yang
lebih sistematis dilakukan untuk mengukur risiko tersebut.
Sebagai contoh kita bisa memperkirakan probabilitas
(kemungkinan) risiko atau suatu kejadian buruk terjadi.
Dengan probabilitas tersebut kita berusaha mengukur risiko.
Misalkan ada risiko perusahaan terkena jatuhan meteor atau
komet, ini merupakan probabilitas sangat jarang terjadi atau
risiko ini sangat kecil terjadi dapat kita beri nilai 0,00001, oleh
karena itu risiko tersebut tidak perlu terlalu diperhatikan.
Contoh lainnya risiko kebakaran dengan kita beri nilai
probabilitas misalkan 0,6. Karena probabilitasnya yang tinggi
maka risiko kebakaran perlu diperhatikan ekstra.

d. Pengelolaan Risiko
Risiko harus dikelola dengan baik, jika tidak maka
konsekuensinya bisa cukup serius misalnya kerugian yang
cukup besar, Risiko bisa dikelola dengan berbagai cara antara
lain dengan melakukan penghindaran, risiko tersebut ditahan,
melakukan diversifikasi, mentransfer risiko, dan
mengendalikan risiko dan mendanai kerugian sendiri.
1) Penghindaran
Cara paling mudah dan aman untuk mengelola
risiko adalah menghindar. Tetapi cara semacam ini
mungkin tidak optimal. Contoh : jika kita ingin
memperoleh keuntungan dari bisnis, maka mau tidak mau
kita harus keluar dan menghadapi risiko tersebut.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


152 BAB 8 PENGELOLAAN MANAJEMEN RISIKO SECARA TERINTEGRASI

2) Ditahan (Risk Retention)


Dalam beberapa situasi, akan lebih baik jika
perusahaan menghadapi sendiri risiko tersebut. Jika risiko
tersebut benar-benar terjadi, maka perusahaan harus
menyediakan dana untuk menanggung risiko tersebut.
Risiko yang ditahan bisa didanai dan bisa juga tidak
didanai.

e. Transfer Risiko
Alternatif lain dari manajemen risiko adalah
memindahkan risiko ke pihak lain. Pihak lain tersebut
biasanya mempunyai kemampuan yang lebih baik untuk
mengendalikan risiko, baik karena skala ekonomi yang lebih
baik karena skala ekonomi yang lebih baik. Risiko transfer bisa
dilakukan melalui beberapa cara yaitu Asuransi, Headging,
Incorporated, dan lain-lain.

2. Pengendalian
Tahap selanjutnya dari manajemen risiko adalah
pengendalian yang meliputi evaluasi secara periodik
pelaksanaan manajemen risiko, output pelaporan yang
dihasilkan oleh manajemen risiko dan umpan balik (feedback).
Format pelaporan manajemen risiko bervariasi dari satu
organisasi ke organisasi lainnya dan dari satu kegiatan ke
kegiatan lainnya. Pengendalian risiko dilakuakan untuk
mencegah atau menurunkan probabilitas terjadinya risiko atau
kejadian yang tidak kita inginkan. Untuk risiko yang tidak bisa
dihindari, organisasi perlu melakukan pengendalian risiko.
Dengan menggunakan dua dimensi yaitu probabilitas dan
severity. Pengendalian risiko bertujuan untuk mengurangi
probabilitas munculnya kejadian, mengurangi tingkat keseriusan
(Saverity) atau keduannya. Pengendalian risiko merupakan
permasalahan yang sering dilupakan disebabkan peluang
terjadinya risiko tidak dapat langsung diamati secara jelas. Oleh
sebab itu diperlukan penerapan manajemen risiko dalam

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 8 PENGELOLAAN MANAJEMEN RISIKO SECARA TERINTEGRASI 153

menjalankan suatu aktivitas usaha, karena sejak aktivitas


tersebut dimulai maka elemen risiko-risiko pun akan
muncul. Manajemen risiko merupakan suatu kegiatan untuk
mengenali risiko yang dihadapi oleh sebuah entitas bisnis dan
bagaimana mengontrol risiko tersebut.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


154 BAB 8 PENGELOLAAN MANAJEMEN RISIKO SECARA TERINTEGRASI

DAFTAR PUSTAKA

Kasidi, K. (2010) Manajemen Risiko. Bogor: Ghana Indonesia.

Mamduh M.Hanafi (2009) Manajemen Risiko. Yogyakarta. UPP STIM


YKPN

Mulyawan, S. (2015) Manajemen Risiko. Bandung: Pustaka Setia

International Organization for Standardization. (2018). ISO 31000, Risk


Management

Robert Tumpobolon (2006) Risk Management. Jakarta: PT Elex Media


Komputindo.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 8 PENGELOLAAN RESIKO SECARA TERINTEGRASI 155

PROFIL PENULIS

Lukman Nuzul Hakim,


S.Kom.,M.M. Lahir di Bandar Lampung,
pada tanggal 23 April 1989, Jenjang
pendidikan dasar di SD Negeri 6 Gedong
Air, SLTP Negeri 7 Bandar Lampung,
SMA Negeri 16 Bandar Lampung Jurusan
IPA, Melanjutkan kuliah mulai dari
jenjang Diploma III Akademi Pariwisata
Satu Nusa Bandar Lampung, kemudian
melanjutkan Studi ke Strata I Jurusan
Sistem Informasi di Sekalah Tinggi Ilmu
Komputer Satu Nusa Bandar Lampung.
Tidak berhenti pada jenjang Strata I,
Penulis bersemangat melanjutkan pendidikan hingga Strata II dengan gelar
Magister Manajemen di Salah Satu Universitas ternama dikota Bandar
Lampung, Universitas Bandar Lampung (UBL). Penulis merupakan anak
pertama dari pasangan Bapak Suyadi, S.E.,M.M dan Ibu Handayani. Status
Penulis sudah menikah dan mempunyai 2 orang Putra. Penulis berkarir di
dunia Pendidikan mengajar di STIE Muhammadiyah Kalianda (Homebase)
dan SMK Satu Nusa 2 Bandar Lampung. Penulis selain mengajar (Dosen
Tetap) pada perguruan tinggi nya, penulis juga mengelola Jurnal kampus,
Website Kampus, Aplikasi Pelaporan dan Database Dosen Kampus pada
SISTER Ristekdikti. Penulis sudah memiliki publikasi artikel ilmiah
International dan National yang dapat dilihat di akun Google Schoolar
penulis. Untuk profil lebih lengkapnya silahkan kunjungi laman website
penulis di alamat url : https://lukmannuzulhakim.online

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


156 BAB 9 GOOD CORPORATE GOVERNANCE

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 9 GOOD CORPORATE GOVERNANCE 157

BAB 9
GOOD CORPORATE GOVERNANCE

A. Pendahuluan
Good Corporate Governance merupakan salah satu prinsip di
dalam hukum perusahaan yang mengarahkan, mengendalikan,
mengelola bisnis dan akuntabilitas perusahaan dengan tujuan
utama dapat meningkatkan kinerja perusahaan dan mempertinggi
nilai saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan
kepentingan stakeholders. Good Corporate Governance mulai
berkembang di Indonesia pada tahun 1998 pada saat terjadi krisis
ekonomi. Pada masa persaingan global yang semakin kompetitif,
perusahaan dituntut harus mampu bersaing secara sehat dan
professional. Perusahaan harus memiliki strategi untuk dapat
mempertahankan kelangsungan usaha perusahaan tersebut,
sehingga setiap perusahaan perlu terus meningkatkan kerja
kerasnya agar dapat mengambil manfaat dari penerapan tata kelola
perusahaan yang baik (Good Corporate Governance).
Pengelolaan perusahaan dengan menerapkan Good Corporate
Governance yang benar, pasti akan memberikan dampak yang
signifikan bagi perusahaan. Penerapan Good Corporate Governance
akan meningkatkan kinerja perusahaan dan merupakan kunci
sukses bagi perusahaan untuk memperoleh keuntungan dalam
jangka panjang sehingga dapat bersaing dengan baik dalam bisnis
global (Suryanto, & Refianto, 2019). Ini berarti bahwa penerapan
Good Corporate Governance dalam bisnis perusahaan diharapkan
akan dapat meningkatkan nilai, melindungi kepentingan
stakeholders, dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap
perusahaan tersebut. Hasil penelitian telah membuktikan secara
empiris bahwa penerapan Good Corporate Governance akan
mempengaruhi kinerja perusahaan secara positif (Sakai & Asaoka
2003).

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


158 BAB 9 GOOD CORPORATE GOVERNANCE

Prinsip dari Good Corporate Governance ini merupakan suatu


sistem yang mengatur, mengelola dan mengawasi dalam proses
pengendalian usaha agar dapat berjalan secara berkesinambungan
(sustainable), teratur guna menaikkan nilai saham, sebagai bentuk
pertanggungjawaban kepada stakeholders tanpa mengabaikan
kepentingan stakeholders (Zahrowati & Saputra, 2020).
B. Pengertian Good Corporate Governance
Setiap perusahaan akan berupaya untuk menciptakan/
mengkondisikan agar perusahaan tersebut dapat dikelola dengan
baik, sehingga untuk mewujudkan dengan menerapkan konsep
good corporate governance. Semakin kompleks aktivitas suatu
perusahaan maka akan meningkatkan kebutuhan praktek tata
kelola usaha yang baik (Good Corporate Governance). Good Corporate
Governance adalah sistem yang mengatur dan mengendalikan
perusahaan serta menciptakan nilai tambah (value added) untuk
semua stakeholders (Wulandari, 2006). Pernyataan yang sama
dikemukakan Efendi (2009) yang mengartikan Good Corporate
Governance sebagai seperangkat sistem yang mengatur dan
mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value
added) bagi para Pemangku kepentingan.
Good Corporate Governance adalah prinsip yang mengarahkan
dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan
antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan
pertanggungjawabannya kepada para shareholder (Tyas, 2020).
Sedangkan, Syakhroza (2003) mendefinisikan Good Corporate
Governance sebagai suatu mekanisme tata kelola organisasi secara
baik dalam melakukan pengelolaan sumberdaya organisasi secara
efisien, efektif, ekonomis maupun produktif dengan prinsip-
prinsip terbuka, akuntabilitas, pertanggungjawaban, independen,
dan adil dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
Berdasarkan pernyataan tersebut, mengisyaratkan bahwa
good corporate governance akan dapat mendorong terbentuknya pola
kerja manajemen yang bersih, transparan, dan profesional karena

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 9 GOOD CORPORATE GOVERNANCE 159

merupakan suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan


perusahaan/organisasi untuk meningkatkan kinerja organisasi/
perusahaan serta menciptakan value added (nilai tambah) untuk
semua stakeholders. Artinya, melalui penerapan Good Corporate
Governance diharapkan pengelolaan perusahaan dilakukan dengan
manajemen yang baik akan berjalan secara efisien.
Wibowo (2010) menyatakan Good Corporate Governance secara
definitif merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan
perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value added) untuk
semua pemangku kepentingan yang mengendalikan dan
mengkoordinasikan berbagai partisipan dalam menjalankan bisnis
perusahaan sehingga jalannya bisnis perusahaan tersebut dapat
memfasilitasi perusahaan untuk:
1. Menunjukkan akuntabilitas dan tanggung jawab;
2. Menjamin adanya keseimbangan di antara berbagai
kepentingan dari pemangku kepentingan (memberikan
perlakuan yang adil bagi seluruh pemangku kepentingan),
termasuk menghargai hak dari pemegang saham untuk
memperoleh informasi dengan benar (akurat) dan tepat pada
waktunya;
3. Melakukan pengungkapan dan transparan dalam setiap
informasi (seperti informasi tentang kinerja perusahaan,
kepemilikan, maupun pemangku kepentingan), termasuk juga
transparan dalam membuat suatu keputusan.
C. Tujuan dan Manfaat Good Corporate Governance
Good Corporate Governance merupakan proses dan struktur
yang digunakan untuk mengarahkan dan mengelola bisnis dan
akuntabilitas perusahaan dengan tujuan utama mempertinggi nilai
saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan
kepentingan stakeholders lain. Supriyadi (2017) menyatakan
tujuan dari Good Corporate Governance adalah untuk menciptakan
nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders).

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


160 BAB 9 GOOD CORPORATE GOVERNANCE

Aldridge (2005), menyatakan bahwa ada 5 (lima) tujuan


utama dari pelaksanaan Good Corporate Governance, yaitu :
1. Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham;
2. Melindungi hak dan kepentingan para anggota stakeholders
non-pemegang saham;
3. Meningkatkan nilai perusahaan dan para pemegang saham;
4. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja dewan pengurus
atau board of directors dan manajemen perusahaan;
5. Meningkatkan mutu hubungan board of directors dengan
manajemen senior perusahaan.
Forum for Corporate Governance In Indonesia yang disampaikan
oleh Zahrowati & Saputra (2020) bahwa manfaat diberlakukan
Good Corporate Governance adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses
pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan
efisiensi operasional perusahaan serta lebih meningkatkan
pelayanan kepada stakeholders;
2. Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih
murah sehingga dapat lebih meningkatkan nilai perusahaan;
3. Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan
karena sekaligus akan meningkatkan shareholders value dan
dividen;
4. Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan
modalnya di Indonesia
Menurut Hery (2010), perusahaan yang menerapkan Good
Corporate Governance akan memberikan manfaat, sebagai berikut:
1. Good Corporate Governance secara tidak langsung akan dapat
mendorong pemanfaatan sumber daya perusahaan ke arah
yang lebih efektif dan efisien, yang pada gilirannya akan turut
membantu terciptanya pertumbuhan atau perkembangan
ekonomi nasional;
2. Good Corporate Governance dapat membantu perusahaan dan
perekonomian nasional, dalam hal ini menarik modal investor
dengan biaya yang lebih rendah melalui perbaikan

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 9 GOOD CORPORATE GOVERNANCE 161

kepercayaan investor dan kreditur domestik maupun


internasional;
3. Membantu pengelolaan perusahaan dalam menjamin bahwa
perusahaan telah taat pada ketentuan, hukum, dan peraturan;
4. Membangun manajemen dan corporate board dalam
pemantauan penggunaan aset perusahaan;
5. Mengurangi korupsi.
Berdasarkan pendapat tersebut, dengan melaksanakan good
corporate governance diharapkan akan melindungi kepentingan
pemegang saham dan pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan
perusahaan agar perusahaan dapat melaksanakan kegiatannya
dengan efektif dan efisien sehingga dapat meningkatkan nilai
saham dan kepercayaan publik terhadap perusahaan.
D. Peran Good Corporate Governance
Perusahaan yang melaksanakan good corporate governance
dengan integritas yang tinggi akan memiliki daya tahan untuk
menghadapi ancaman dari internal dan eksternal perusahaan. Good
Corporate Governance berperan untuk mengatasi krisis dan menjaga
perusahaan untuk tetap berada dalam kendali manajemen yang
kuat dan disiplin. Melalui implementasi Good Corporate Governance
perusahaan akan berperan menciptakan pertumbuhan bisnis
sesuai target dan rencana, yang dilakukan secara profesional,
beretika dan bermoral tinggi, dengan memanfaatkan semua
kekuatan manusia korporasi bersatu padu untuk meningkatkan
kualitas perusahaan menjadi lebih kuat dan lebih sehat
(Dharmawan, 2016).
Daniri (2005) menyatakan pentingnya good corporate
governance diterapkan dapat suatu organisasi atau perusahaan
disebabkan dua alasan, yaitu: Pertama, Good Corporate Governance
merupakan salah satu kunci sukses perusahaan untuk tumbuh dan
menguntungkan dalam jangka panjang, sekaligus memenangkan
persaingan bisnis global. Kedua, krisis ekonomi di kawasan Asia
dan Amerika Latin yang diyakini muncul karena kegagalan

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


162 BAB 9 GOOD CORPORATE GOVERNANCE

penerapan Good Corporate Governance. Berdasarkan pernyataan


tersebut, dapat dinyatakan Good Corporate Governance memiliki
nilai-nilai positif untuk menjaga konsistensi serta profesionalisme
perusahaan dalam melakukan berbagai macam tindakan guna
menuju kearah peningkatan kinerja.
Secara teoritis, peran dari praktik good corporate governance
dapat meningkatkan nilai perusahaan, meningkatkan kinerja
keuangan, mengurangi risiko yang mungkin dilakukan oleh dewan
dengan keputusan-keputusan yang menguntungkan diri sendiri,
dan secara umum meningkatkan kepercayaan investor (Newel &
Wilson, 2002).
Berdasarkan pernyataan tersebut, peran dari Good Corporate
Governance bagi perusahaan akan dapat memberikan keuntungan
melalui peningkatan kinerja sehingga perusahaan memiliki daya
tahan yang kuat untuk dapat bersaing secara global.
E. Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance
Good Corporate Governance adalah tata kelola yang baik yang
merupakan struktur yang terdiri dari pemegang saham, komisaris,
manajer, dan stakeholder, yang menyusun tujuan perusahaan dan
sarana untuk mencapai tujuan dan mengawasi kinerja. Good
Corporate Governance adalah suatu tata kelola yang baik dari suatu
lembaga atau perusahaan yang menerapkan prinsip-prinsip
transparency, accountability, responsibility, independency, dan fairness
(Islami,2020).
Kaihatu (2006) menyatakan ada lima prinsip-prinsip dasar
dari good corporate governance yaitu:
1. Transparency (keterbukaan informasi), yaitu keterbukaan dalam
melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan
dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan
mengenai perusahaan;
2. Accountability (akuntabilitas), yaitu kejelasan fungsi, struktur,
sistem, dan pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga
pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif;

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 9 GOOD CORPORATE GOVERNANCE 163

3. Responsibility (pertanggungjawaban), yaitu kesesuaian


(kepatuhan) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip
korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang
berlaku;
4. Independency (kemandirian), yaitu suatu keadaan di mana
perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan
kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manajemen
yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundangan-
undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang
sehat;
5. Fairness (kesetaraan/keadilan), yaitu perlakuan yang adil dan
setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul
berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang
berlaku.
The Organization for Economic and Development (OECD) yang
disampaikan oleh Nuryan (2016) menjelaskan ada lima prinsip-
prinsip Good Corporate Governance, yaitu:
1. Hak pemegang saham dan perlindungannya;
2. Peran karyawan dan pihak yang berkepentingan;
3. Pengungkapan yang akurat dan tepat waktu serta transparansi;
4. Tanggung jawab dewan komisaris maupun direksi terhadap
perusahaan;
5. Perlakuan yang setara, transparansi, akuntabilitas, dan
responsibilitas.
Sedangkan, Sedarmayanti (2012) menyatakan prinsip-
prinsip good corporate governance meliputi:
1. Fairness (kewajaran), yaitu perlakuan yang sama terhadap
pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing,
dengan keterbukaan informasi yang penting serta melarang
pembagian untuk pihak sendiri dan perdagangan saham oleh
orang dalam;
2. Disclosure dan transparency (transparansi), yaitu hak pemegang
saham dalam pengambilan keputusan mengenai perubahan
mendasar atas perusahaan;

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


164 BAB 9 GOOD CORPORATE GOVERNANCE

3. Accountability (akuntabilitas), yaitu pengawasan yang efektif


berdasarkan keseimbangan kekuasaan antara manajer,
pemegang saham, dewan komisaris, dan auditor merupakan
bentuk pertanggungjawaban manajemen kepada perusahaan
dan pemegang saham;
4. Responsibility (responsibilitas), yaitu kerja sama yang aktif
antara perusahaan dan pemegang kepentingan dalam
menciptakan kekayaan, lapangan kerja, dan perusahaan yang
sehat dari aspek keuangan.
Zarkasyi (2008) menyatakan bahwa prinsip-prinsip dalam
Good Corporate Governance, yaitu:
1. Transparansi, yaitu diartikan sebagai keterbukaan informasi.
Artinya, perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi
yang cukup, akurat, tepat waktu kepada segenap
stakeholdernya;
2. Akuntabilitas, yaitu adanya kejelasan fungsi, struktur, sistem
dan pertanggungjawaban elemen perusahaan;
3. Tanggung Jawab, yaitu bentuk pertanggungjawaban
perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan
yang berlaku, meliputi masalah pajak, hubungan industrial,
kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan
hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama
masyarakat;
4. Kemandirian, yaitu perusahaan dikelola secara profesional
tanpa ada benturan kepentingan dan tanpa tekanan atau
intervensi dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan
peraturan-peraturan yang berlaku.
Shaw (2004) menyatakan ada empat komponen utama yang
merupakan prinsip-prinsip Good Corporate Governance yang sangat
diperlukan dalam konsep Good Corporate Governance, yaitu fairness,
transparency, accountability, dan responsibility. Keempat komponen
tersebut penting karena penerapan prinsip good corporate governance
secara konsisten terbukti dapat meningkatkan kualitas laporan
keuangan dan juga dapat menjadi penghambat aktivitas rekayasa

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 9 GOOD CORPORATE GOVERNANCE 165

kinerja yang mengakibatkan laporan keuangan tidak


menggambarkan nilai fundamental perusahaan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dinyatakan bila prinsip-
prinsip dari Good Corporate Governance dapat dilaksanakan dengan
baik, maka akan memberikan kemajuan terhadap kinerja keuangan
perusahaan tersebut. Artinya, semakin baik corporate governance
yang dimiliki suatu perusahaan maka diharapkan semakin baik
pula kinerja dari perusahaan tersebut. Hal ini didukung
pernyataan Chtourou, Bedard, dan Courteau (2001) menyatakan
penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance yang
konsisten akan menghalangi kemungkinan dilakukannya rekayasa
kinerja (earnings management) yang mengakibatkan nilai
fundamental perusahaan tidak tergambar dalam laporan
keuangannya.
Wibowo (2010) menyatakan bahwa jika prinsip good corporate
governance ini dilaksanakan secara sungguh-sungguh, bisa
dipastikan perusahaan akan memiliki landasan yang kokoh dalam
menjalankan bisnisnya. Secara eksternal, perusahaan akan lebih
dipercaya investor, nilai pasar sahamnya akan terus meningkat,
mitra kerja tidak akan ragu mengembangkan hubungan bisnis
lebih luas lagi, para pemasok memiliki pegangan yang jelas dan
terpercaya serta yakin akan diperlakukan secara adil sehingga
menciptakan efisiensi bagi perusahaan dan para kreditur memiliki
kepercayaan tinggi untuk mengucurkan kreditnya yang
diperlukan untuk perluasan usaha. Secara internal, suasana kerja
menjadi lebih kondusif, perusahaan sudah menerapkan sistem
pengelolaan perusahaan sesuai dengan pembagian peran masing-
masing, di tingkat direksi, komisaris, komite-komite, dan
terciptanya keseimbangan kekuatan di antara struktur internal
perusahaan (direksi, komisaris, komite audit, dan lain sebagainya)
sehingga pengambilan keputusan bisa lebih
dipertanggungjawabkan (accountable), hati-hati dan bijaksana
(prudent).

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


166 BAB 9 GOOD CORPORATE GOVERNANCE

F. Penerapan Good Corporate Governance


Penerapan Good Corporate Governance akan mendatangkan
banyak manfaat dan keuntungan bagi perusahaan, yaitu tidak
hanya melindungi kepentingan para investor saja tetapi akan
dapat terkait dengan pihak-pihak lain yang mempunyai
hubungan langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan.
Selain itu, penerapan Good Corporate Governance dalam perusahaan
diharapkan dapat memastikan manajemen dalam perusahaan
berjalan dengan baik, dengan memastikan bahwa proses
pengelolaan manajemen berjalan secara efisien. Penerapan Good
Corporate Governance semakin menumbuhkan kepercayaan kepada
masyarakat dan meningkatkan kinerja dalam
mengimplementasikan good corporate governance. Artinya,
penerapan Good Corporate Governance diharapkan akan dapat
mengarahkan dan mengendalikan jalannya perusahaan agar ideal
menuju keberhasilan usaha dan akuntabilitas usaha (Toha, 2007).
Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa bila Good Corporate
Governance dapat diterapkan dengan baik, maka akan dapat
meningkatkan keberhasilan dengan memperoleh keuntungan bagi
perusahaan sehingga diharapkan dapat bersaing dalam bisnis
global.
Daniri (2005) menyatakan penerapan Good Corporate
Governance sangat penting dilakukan pada perusahaan disebabkan
dua alasan, yaitu:
1. Good Corporate Governance merupakan salah satu kunci sukses
perusahaan untuk tumbuh dan menguntungkan dalam jangka
panjang, sekaligus memenangkan persaingan bisnis global,
dan
2. Krisis ekonomi di kawasan Asia dan Amerika Latin yang
diyakini muncul karena kegagalan penerapan Good Corporate
Governance.
Untuk mewujudkan Good Corporate Governance dapat
diterapkan di perusahaan dengan baik, sangat diperlukan
kemauan dan komitmen dari seluruh komponen yang terlibat

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 9 GOOD CORPORATE GOVERNANCE 167

dalam perusahaan, khususnya pengambil kebijakan untuk dapat


membuat konsep Good Corporate Governance dalam bentuk
peraturan yang wajib untuk dilaksanakan. Esensi pentingnya
diterapkan good corporate governance adalah untuk meningkatkan
kinerja perusahaan melalui supervisi atau pemantauan kinerja
manajemen dan adanya akuntabilitas manajemen terhadap
pemangku kepentingan lainnya, berdasarkan kerangka aturan dan
peraturan yang berlaku (Kaihatu, 2006).
Dwiridotjahjono (2009) menyatakan bahwa keuntungan yang
diperoleh dengan penerapan Good Corporate Governance, antara lain:
1. Penerapan Good Corporate Governance pada perusahaan akan
dapat meminimalkan agency cost, yaitu biaya yang timbul
sebagai akibat dari pendelegasian kewenangan kepada
manajemen, termasuk biaya penggunaan sumber daya
perusahaan oleh manajemen untuk kepentingan pribadi
maupun untuk pengawasan terhadap perilaku manajemen itu
sendiri;
2. Perusahaan dapat meminimalkan cost of capital, yaitu biaya
modal yang harus ditanggung bila perusahaan mengajukan
pinjaman kepada kreditur sebagai dampak dari pengelolaan
perusahaan secara baik dan sehat sehingga menciptakan suatu
referensi positif bagi para kreditur;
3. Dengan penerapan Good Corporate Governance proses
pengambilan keputusan akan berlangsung secara lebih baik
sehingga akan menghasilkan keputusan yang optimal, dapat
meningkatkan efisiensi serta terciptanya budaya kerja yang
lebih sehat sehingga sangat berpengaruh positif terhadap
peningkatan kinerja perusahaan;
4. Penerapan Good Corporate Governance akan memungkinkan
dihindarinya atau diminimalkannya tindakan penyalahgunaan
wewenang oleh pihak direksi dalam pengelolaan perusahaan.
sehingga akan menekan kemungkinan kerugian bagi
perusahaan maupun pihak berkepentingan lainnya;

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


168 BAB 9 GOOD CORPORATE GOVERNANCE

5. Nilai perusahaan dimata investor akan meningkat sebagai


akibat dari meningkatnya kepercayaan terhadap pengelolaan
perusahaan tempat mereka berinvestasi, sehingga akan dapat
memudahkan perusahaan mengakses tambahan dana yang
diperlukan untuk berbagai keperluan perusahaan, terutama
untuk tujuan ekspansi;
6. Bagi para pemegang saham, dengan adanya peningkatan
kinerja maka akan menaikkan nilai saham dan nilai dividen
yang akan diterima. Bagi negara, hal ini juga akan menaikkan
jumlah pajak yang akan dibayarkan oleh perusahaan sehingga
dapat meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak.
7. Dalam praktik Good Corporate Governance karyawan
ditempatkan sebagai salah satu stakeholders yang dikelola
dengan baik oleh perusahaan sehingga motivasi dan kepuasan
kerja karyawan akan meningkat dan akan dapat meningkatkan
produktivitas dan rasa memiliki (sense of belonging) terhadap
perusahaan.
8. Penerapan Good Corporate Governance akan meningkatkan
kepercayaan para stakeholders kepada perusahaan sehingga
citra positif perusahaan akan naik;
9. Penerapan Good Corporate Governance yang konsisten akan
dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan perusahaan,
sehingga tidak melakukan rekayasa terhadap laporan
keuangan, karena adanya kewajiban untuk mematuhi berbagai
aturan dan prinsip akuntansi yang berlaku dan penyajian
informasi secara transparan.
G. Pedoman dan Kendala dalam Implementasi Good Corporate
Governance
Dalam implementasi konsep Good Corporate Governance
diperlukan pedoman yang mengatur atau mengelola seluruh
kegiatan perusahaan dan manajemen perusahaan agar bisnis
perusahaan dapat meningkatkan nilai, melindungi kepentingan
stakeholders, dan menjaga kepercayaan.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 9 GOOD CORPORATE GOVERNANCE 169

Sutedi (2011) menyampaikan pedoman agar tercipta Good


Corporate Governance dalam suatu perusahaan yang dikembangkan
oleh The Organization for Economic and Development (OECD), sebagai
berikut:
1. Perlindungan terhadap hak-hak dalam corporate governance
harus mampu melindungi hak-hak para pemegang saham,
termasuk pemegang saham minoritas. Hak-hak tersebut
mencakup hal-hal dasar pemegang saham, yaitu:
a. Hak untuk memperoleh jaminan keamanan atas metode
pendaftaran kepemilikan;
b. Hak untuk mengalihkan dan dalam memindahtangankan
kepemilikan saham;
c. Hak untuk memperoleh informasi yang relevan tentang
perusahaan secara berkala dan teratur;
d. Hak untuk ikut berpartisipasi dan memberikan suara dalam
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS);
e. Hak untuk memilih anggota dewan komisaris dan direksi;
f. Hak untuk memperoleh pembagian laba (profit)
perusahaan.
2. Perlakuan yang setara terhadap seluruh pemegang saham (the
equitable treatment of shareholders), termasuk pemegang saham
minoritas dan asing. Selain itu, mengharuskan anggota dewan
komisaris untuk terbuka agar menghindari benturan atau
konflik kepentingan (conflict of interest).
3. Peranan Pemangku kepentingan berkaitan dengan perusahaan
(the role of stakeholders), yaitu harus memberikan pengakuan
terhadap hak-hak Pemangku kepentingan, sebagaimana
ditentukan oleh undang-undang dan mendorong kerja sama
yang aktif antara perusahaan dengan Pemangku kepentingan
dalam rangka menciptakan lapangan kerja, kesejahteraan, serta
kesinambungan usaha (going concern).
4. Pengungkapan dan transparansi (disclosure and transparency),
yaitu harus menjamin adanya pengungkapan yang tepat waktu
dan akurat yang mencakup informasi mengenai kondisi

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


170 BAB 9 GOOD CORPORATE GOVERNANCE

keuangan, kinerja, kepemilikan, dan pengelolaan perusahaan.


Informasi yang diungkapkan harus disusun, diaudit, dan
disajikan sesuai dengan standar yang berkualitas tinggi serta
meminta auditor eksternal (KAP) melakukan audit yang
bersifat independen atas laporan keuangan;
5. Tanggung jawab dewan komisaris atau direksi (the
responsibilities of the board), yaitu harus menjamin adanya
pedoman strategis perusahaan, pengawasan yang efektif
terhadap manajemen oleh dewan komisaris terhadap
perusahaan dan pemegang saham.
Tantangan terkini yang dihadapi dalam penerapan good
corporate governance adalah masih belum dipahaminya secara luas
prinsip-prinsip dan praktek Good Corporate Governance oleh
komunitas bisnis dan publik pada umumnya (Daniri, 2005).
Sedangkan, Wibowo (2010) menyatakan kendala yang dihadapi
oleh perusahaan-perusahaan dalam implementasi Good Corporate
Governance dapat dibagi tiga, yaitu
1. Kendala internal, yaitu meliputi kurangnya komitmen dari
pimpinan dan karyawan perusahaan, rendahnya tingkat
pemahaman dari pimpinan dan karyawan perusahaan tentang
Good Corporate Governance.
2. Kendala eksternal, yaitu dalam pelaksanaan corporate
governance sangat terkait dengan perangkat hukum, aturan dan
penegakan hukum (law-enforcement);
3. Kendala yang berasal dari struktur kepemilikan, yaitu yang
berasal persentase kepemilikan dalam saham. Kepemilikan
terhadap perusahaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
kepemilikan yang terkonsentrasi, yaitu saat suatu perusahaan
dimiliki secara dominan oleh seseorang atau sekelompok
orang saja dan kepemilikan yang menyebar, yaitu saat suatu
perusahaan dimiliki oleh pemegang saham yang banyak
dengan jumlah saham yang kecil-kecil.
Dwiridotjahjono (2009) menyatakan dalam implementasi good
corporate governance dipengaruhi oleh berbagai komponen yang ada

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 9 GOOD CORPORATE GOVERNANCE 171

di sekelilingnya. Komponen-komponen yang menjadi kendala


yang dihadapi dalam penerapan Good Corporate Governance di
Indonesia.
1. Kendala hukum, yaitu corporate governance haruslah menjamin
perlakuan yang sama dan perlindungan atas hak-hak semua
pemegang saham dari berbagai kemungkinan
penyalahgunaan (abuses) oleh pihak-pihak tertentu. Dalam
sistem hukum telah diatur mekanismenya, tetapi karena masih
lemahnya penegakan hukum dan praktik pengadilan
(judiciary) maka efektivitasnya menjadi terbatas.
2. Kendala budaya, yaitu praktik corporate governance merupakan
suatu bentuk kepatuhan (conformance) terhadap peraturan atau
ketentuan dan bukannya sebagai suatu sistem diperlukan oleh
perusahaan untuk meningkatkan kinerja. Hal ini
mengakibatkan aplikasi Good Corporate Governance tidak
sepenuh hati dilaksanakan, sehingga efektivitasnya menjadi
berkurang. Selain itu, masih lemahnya praktik pengungkapan
dan keterbukaan serta tidak efektifnya mekanisme
pengungkapan dan kedisiplinan di pasar modal.
3. Kendala politik, yaitu kendala ini terutama terkait dengan
perusahaan-perusahaan BUMN, yaitu perusahaan yang
dimiliki negara. Pemisahan antara kepentingan bisnis dan
kepentingan pemerintah maupun lembaga negara yang lain
sering sulit dilakukan sehingga berakibat berbagai keputusan
bisnis di BUMN sangat diintervensi oleh pemerintah.
4. Kendala lingkungan bisnis, yaitu masih banyaknya
perusahaan-perusahaan (meskipun berbentuk perseroan)
terutama dimiliki oleh keluarga (family-owned), sehingga
penerapan Good Corporate Governance dapat saja melenceng
dari praktik yang seharusnya karena pertimbangan dan
kepentingan keluarga;
5. Kendala lainnya, yaitu penyedia dana pinjaman bank di
Indonesia belum melakukan fungsi monitoring secara efektif,
selama proses penilaian terhadap proposal pinjaman yang

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


172 BAB 9 GOOD CORPORATE GOVERNANCE

diajukan, sehingga banyak kasus-kasus disetujuinya proposal


kredit yang tidak/kurang feasible sehingga pada akhirnya
menimbulkan masalah dalam pengembaliannya kemudian
(kredit macet).

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 9 GOOD CORPORATE GOVERNANCE 173

DAFTAR PUSTAKA

Aldridge, J. E,. (2005). Good Corporate Governance. Alih Bahasa Siswanto


Sutojo. Jakarta: Damar Mulia Pustaka

Chtourou, S. M., Bedard, J., & Courteau, L. (2001). Corporate


Governance And Earnings Management. Social Science Research
Network, 4(418), 1-39.

Daniri, M. A. (2005). Good Corporate Governance: Konsep dan


Penerapannya Dalam Konteks Indonesia. Jakarta: Ray Indonesia.

Dharmawan, A. (2016) . Peran Good Corporate Governance Terhadap


Keberlangsungan Perusahaan. Tersedia [online].
https://www.jtanzilco.com/blog/detail/540/slug/peran-
good-corporate-governance-terhadap-keberlangsungan-
perusahaan. Diakses, 4 Oktober 2016.

Dwiridotjahjono, J. (2009). Penerapan Good Corporate Governance:


Manfaat Dan Tantangan Serta Kesempatan Bagi Perusahaan
Publik Di Indonesia. Jurnal Administrasi Bisnis, 5(2), 101-112.

Effendi, M. A. (2009). The Power Of Good Corporate Governance: Teori dan


Implementasi. Jakarta: Salemba Empat.

Hery. (2010). Potret Profesi Audit Internal (Di Perusahaan Swasta &
BUMN Terkemuka). Bandung: Alfabeta.

Islami, Nungky Wanodyatama. (2020). “Menjadi BUMN Ber-Good


Corporate Governance Terbaik.” Jasa Tirta I. Diakses Januari
10, 2020. http://bumn.go.id/jasatirta1/berita/687.

Kaihatu, T. S. (2006). Good Corporate Governance Dan Penerapannya


Di Indonesia. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan (Journal of
Management and Entrepreneurship), 8(1), 1-9.

Newell, R., & Wilson, G. (2002). A Premium for Good Governance.


McKinsey Quarterly, 3(2), 20-23.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


174 BAB 9 GOOD CORPORATE GOVERNANCE

Nuryan, I. (2016). Strategy Development and Implementation of Good


Corporate Governance (GCG) on Bumn and Bumd in
Indonesia. AdBispreneur: Jurnal Pemikiran dan Penelitian
Administrasi Bisnis dan Kewirausahaan, 1(2), 145-152.

Sakai, H., & Asaoka, H. (2003). The Japanese corporate governance


system and firm performance: toward sustainable growth.
Research Center for Policy and Economy, Mitsubishi Research
Institute, Inc Jan, 1-37.

Sedarmayanti. (2012). Good Governance: Kepemerintahan Yang Baik


Bagian Pertama Edisi Revisi, Bandung: CV. Mandar Maju.

Shaw, J. C. (2004). Corporate governance and risk: A systems approach (Vol.


248). New Jersey: John Wiley & Sons.

Supriyadi, T. (2017). ‘Pengaruh Mekanisme Good Corporate


Governance Terhadap Ketepatan Waktu Penyampaian
Laporan Keuangan (Studi Pada Perusahaan Manufaktur Sub
Sektor Makanan dan Minuman Yang Terdaftar Di Bursa Efek
Indonesia 2011-2015)’. Doctoral dissertation. Bandung: Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Unpas Bandung.

Suryanto, A., & Refianto, R. (2019). Analisis Pengaruh Penerapan Good


Corporate Governance terhadap Kinerja Keuangan. Jurnal Bina
Manajemen, 8(1), 1-33.

Sutedi, A. (2011). Good Corporate Governance. Jakarta: Sinar Grafika.

Syakhroza, A. (2003). Best Practices Corporate Governance dalam


Konteks Kondisi Lokal Perbankan Indonesia. Manajemen
Usahawan, (06), Vol. XXXII, 13-20

Toha, S. (2007). Penelitian Masalah Hukum Tentang Penerapan Good


Corporate Governance pada Dunia Usaha. Badan Pembinaan
Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 9 GOOD CORPORATE GOVERNANCE 175

Tyas, N. S. (2020). Analisis Penerapan Good Corporate Governance


Pada Perusahaan Keluarga PT. X. Jurnal Ekonomi Manajemen
Sistem Informasi, 1(3), 248-260.

Wibowo, E. (2010). Implementasi Good Corporate Governance di


Indonesia. Jurnal ekonomi dan Kewirausahaan, 10(2), 129-138.

Wulandari, N. (2006). Pengaruh Indikator Mekanisme Corporate


Governance terhadap Kinerja Perusahaan Publik di Indonesia.
Fokus Ekonomi: Jurnal Ilmiah Ekonomi, 1(2), 120-136.

Zahrowati, Z., & Saputra, I. (2020). Strategi Penerapan Prinsip Good


Corporate Governance dalam Pengelolaan Perusahaan Daerah
Di Kota Kendari. Halu Oleo Law Review, 4(1), 125-144.

Zarkasyi, M. W (2008). Good Corporate Governance. Bandung: Alfabeta.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


176 BAB 9 GOOD CORPORATE GOVERNANCE

PROFIL PENULIS

Dr. Sukarman Purba, ST, M.


Pd, dilahirkan di Kota Pematang
Siantar pada tanggal 23 Mei 1962.
Pendidikan yang diikuti, lulus dari
pendidikan S1 Jurusan Pendidikan
Teknik Elektro IKIP Medan Tahun
1986, S1 Teknik Elektro UISU Medan
Tahun 2000, pendidikan S2 Jurusan
Pendidikan Teknologi Kejuruan dari
IKIP Jakarta Tahun 1992, dan
pendidikan S3 Jurusan Manajemen
Pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta Tahun 2008.
Kesehariannya mengajar pada Universitas Negeri Medan. Aktif
menulis Media Sosial, Menulis Buku Referensi yang ditulis secara
kolaborasi. Selain itu, aktif menulis pada jurnal dan melakukan
penelitian dalam bidang manajemen, pendidikan, sosial dan
pariwisata. Dalam bidang organisasi profesi, sebagai pengurus pada
Asosiasi Profesi Ikatan Sarjana Manajemen dan Administrasi
Pendidikan Indonesia (ISMAPI) Pusat dan Daerah Sumatera Utara,
Pengurus Organisasi kemasyarakatan HMSI Sumatera Utara, PMS
Kota Medan dan IKA S3 Manajemen Pendidikan UNJ Wilayah
Sumatera Utara.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 10 RENTABILITAS DAN ASPEK PERMODALAN 177

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


178 BAB 10 RENTABILITAS DAN ASPEK PERMODALAN

BAB 10
RENTABILITAS DAN ASPEK PERMODALAN

A. Rentabilitas
Secara umum, tolak ukur keberhasilan sebuah
perusahaan seringkali didasarkan atas keuntungan atau laba besar
yang diperoleh oleh perusahaan. Masing-masing perusahaan
tentunya memiliki target laba yang akan dicapai dalam suatu
periode tertentu. Untuk mengetahui tingkat efektivitas dan
efisiensi suatu perusahaan dalam menjalankan kegiatan
operasional perusahaan dapat dihitung dengan menggunakan
rasio rentabilitas.
1. Pengertian Rentabilitas
Rentabilitas didefinisikan sebagai kemampuan
perusahaan untuk menghasilkan laba selama periode tertentu
yang dinyatakan dalam persentase terhadap modal yang
digunakan untuk laba tersebut (Padangaran, 2013).
Rentabilitas suatu perusahaan menunjukkan
perbandingan antara laba dengan aktiva atau modal yang
menghasilkan laba tersebut. Dengan demikian rentabilitas
merupakan kemampuan suatu perusahaan untuk
menghasilkan keuntungan atau laba selama periode tertentu,
dan secara umum dirumuskan sebagai berikut:

𝐿
× 100%
𝑀

Dimana L adalah jumlah laba yang diperoleh selama


periode tertentu dan M adalah modal yang digunakan untuk
menghasilkan laba tersebut.
2. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi rasio rentabilitas
a. Biaya modal
b. Volume penjualan

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 10 RENTABILITAS DAN ASPEK PERMODALAN 179

c. Efisiensi manajemen terutama dalam menekan biaya


d. Produktivitas tenaga kerja

3. Jenis Rasio Rentabilitas


Ada dua jenis rasio rentabilitas berdasarkan sumber
modalnya yaitu:
a. Rasio Rentabilitas Ekonomi
Rentabilitas ekonomi adalah perbandingan antara laba
usaha dengan modal sendiri dan modal pinjaman yang
dipergunakan untuk menghasilkan laba tersebut dan
dinyatakan dalam persentase. Sering juga rentabilitas ekonomi
dimaksudkan sebagai kemampuan suatu perusahaan dengan
seluruh modal yang bekerja didalamnya untuk menghasilkan
laba.
Modal yang diperhitungkan untuk mengukur
rentabilitas ekonomi hanyalah modal yang bekerja di dalam
perusahaan. Dengan demikian maka modal yang ditanamkan
dalam efek (kecuali perusahaan-perusahaan kredit) tidak
diperhitungkan dalam menghitung rentabilitas ekonomi.
Demikian pula laba yang diperhitungkan untuk
menghitung rentabilitas ekonomi hanyalah laba yang berasal
dari operasinya perusahaan, yaitu yang disebut laba usaha (net
operating income). Dengan demikian, maka yang diperoleh dari
usaha-usaha di luar perusahaan atau dari efek (misalnya
dividen, coupun, dan lain-lain) tidak diperhitungkan dalam
menghitung rentabilitas ekonomi.
Rasio rentabilitas ekonomi dapat dirumuskan sebagai berikut:

𝐿𝑎𝑏𝑎
Rasio rentabilitas ekonomi = × 100%
𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙

b. Rasio Rentabilitas modal sendiri

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


180 BAB 10 RENTABILITAS DAN ASPEK PERMODALAN

Rentabilitas modal sendiri atau sering dinamakan


rentabilitas usaha adalah perbandingan antara jumlah laba
yan tersedia bagi pemilik modal sendiri di satu pihak dengan
jumlah modal sendiri yang menghasilkan laba tersebut di lain
pihak. Dengan kata lain, rentabilitas modal sendiri merupakan
kemampuan suatu perusahaan untuk dapat menghasilkan
laba yang berasal dari modal keuangan milik pribadi tidak
dari modal asing.
Laba yang dapat digunakan untuk menghitung
rentabilitas modal sendiri merupakan laba bersih setelah
dikurangi dengan bunga dan pajak perseroan atau Earning
After Taxes (EAT) dan dirumuskan :

𝐸𝐴𝑇
Rasio Rentabilitas Modal Sendiri = × 100%
𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙 𝑠𝑒𝑛𝑑𝑖𝑟𝑖

Rentabilitas ekonomis dan rentabilitas modal sendiri


memilik keterkaitan yang saling mempengaruhi dalam setiap
keputusan manajemen perusahaan.

4. Hubungan antara Rentabilitas Ekonomi dengan Rentabilitas


Modal Sendiri
Pengaruh dari perubahan rentabilitas ekonomi terhadap
rentabilitas modal sendiri pada berbagai tingkat penggunaan
modal asing; secara teoritis dapatlah dikatakan bahwa makin
tingginya rentabilitas ekonomis (dengan tingkat bunga tetap),
penggunaan modal pinjaman yang lebih besar akan
mengakibatkan kenaikan rentabilitas modal sendiri. Dengan
kata lain dapatlah dikatakan bahwa dalam keadaan yang
demikian suatu perusahaan yang menggunakan modal
pinajaman lebih besar akan memperoleh kenaikan rentabilitas
modal sendiri yang lebih besar daripada perusahaan lain yang
mempunyai jumlah modal pinjaman yang lebih kecil.
Sebaliknya, dalam situasi ekonomi yang memburuk
dimana rentabilitas ekonomi perusahaan pada umumnya
“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”
BAB 10 RENTABILITAS DAN ASPEK PERMODALAN 181

menurun, perusahaan yang mempunyai modal asing yang


besar akan mengalami penurunan rentabilitas modal sendiri
yang lebih besar daripada perusahaan lain yang mempunyai
jumlah modal pinjaman yang lebih sedikit.

5. Hubungan antara Rasio Utang dengan Rentabilitas Modal


Sendiri
Besarnya rentabilitas modal sendiri selain dipengaruhi
oleh rentabilitas ekonomi juga dipengaruhi oleh rasio utang.
Pengaruh rentabilitas ekonomi terhadap rentabilitas modal
sendiri selalu positif, artinya semakin besar rentabilitas
ekonomi selalu mengakibatkan semakin besarnya rentabilitas
modal sendiri, ceteris paribus, yaitu kalau faktor-faktor lainnya
tetap tidak berubah, misalnya tingkat bunga, tingkat pajak dan
rasio utang-modal sendiri. Pengaruh rasio utang terhadap
rentabilitas modal sendiri dapat positif, dapat negatif ataupun
dapat tidak mempunyai pengaruh sama sekali.
Hubungan antara rasio utang dengan rentabilitas modal
sendiri selain terdapat hubungan antar perusahaan, hubungan
rasio utang dengan rentabilitas modal sendiri juga dapat dilihat
didalam perusahaan itu sendiri.

6. Pengukuran Rentabilitas
Untuk menghitung rasio rentabilitas, terdapat lima jenis
perhitungan yang dapat digunakan, diantaranya:
a. Profit Margin
Merupakan untuk menghitung kemampuan
perusahaan menghasilkan laba atau profit dalam tingkat
penjualan tertentu. Profit margin menganalisis dengan
melakukan perbandingan net operating income dengan net
sales dalam bentuk persen, atau dapat dirumuskan:

𝐿𝑎𝑏𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ
𝑃𝑟𝑜𝑓𝑖𝑡 𝑀𝑎𝑟𝑔𝑖𝑛 = × 100%
𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


182 BAB 10 RENTABILITAS DAN ASPEK PERMODALAN

Rasio ini merupakan salah satu jenis rasio yang


sangat penting dalam analisis rasio keuangan perusahaan.
Semakin besar nilai rasio yang didapat mengindikasikan
kondisi perusahaan semakin baik.
Besar kecilnya rasio profit margin pada setiap
transaksi sales ditentukan oleh 2 faktor, yaitu net sales dan
laba usaha. Besar kecilnya laba usaha atau net operating
income tergantung kepada pendapatan dari sales dan
besarnya biaya usaha (operating expenses). Dengan jumlah
operating expenses tertentu profit margin dapat diperbesar
dengan memperbesar sales, atau dengan jumlah sales
tertentu profit margin dapat diperbesar dengan menekan
atau memperkecil operating expenses-nya. Ada 2 (dua)
alternatif dalam usaha untuk memperbesar profit margin,
yaitu:
1) Dengan menambah biaya usaha (operating expenses)
sampai tingkat tertentu diusahakan tercapainya
tambahan sales yang sebesar-besarnya, atau dengan
kata lain, tambahan sales harus lebih besar daripada
tambahan operating expenses. Perubahan besarnya sales
dapat disebabkan karena perubahan harga penjualan
per unit apabila volume sales dalam unit sudah tertentu
(tetap), atau disebabkan karena bertambahnya luas
penjualan dalam unit kalau tingkat harga penjualan per
unit produk sudah tertentu. Dengan demikian dapatlah
dikatakan bahwa pengertian menaikkan tingkat sales
disini dapat berarti memperbesar pendapatan dari sales
dengan jalan:
2) Memperbesar volume sales unit pada tingkat harga
penjualan tertentu, atau
3) Menaikkan harga penjualan per unit produk pada luas
sales dalam unit tertentu.
4) Dengan mengurangi pendapatan dari sales sampai
tingkat tertentu, diusahakan adanya pengurangan

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 10 RENTABILITAS DAN ASPEK PERMODALAN 183

operating expenses yang sebesar-besarnya, atau dengan


kata lain mengurangi biaya usaha relatif lebih besar
daripada berkurangnya pendapatan dari sales.
Meskipun jumlah sales selama periode tertentu
berkurang, tetapi oleh karena disertai dengan
berkurangnya operating expenses yang lebih sebanding
maka akibatnya ialah bahwa profit margin-nya semakin
besar.

b. Gross Profit Margin (Marjin Laba Kotor)


Gross profit margin merupakan rasio yang mengukur
efisiensi pengendalian harga pokok atau biaya
produksinya, mengindikasikan kemampuan perusahaan
untuk berproduksi secara efisien.
Perhitungan gross profit margin didapatkan dengan terlebih
dahulu mengetahui nilai operating revenue dan
nilai operating expense. Gross profit margin merupakan
perbandingan pendapatan laba kotor yang diperoleh oleh
perusahaan dengan besarnya jumlah penjualan pada
periode yang sama. Rumusnya adalah

𝐿𝑎𝑏𝑎 𝐾𝑜𝑡𝑜𝑟
𝐺𝑟𝑜𝑠𝑠 𝑃𝑟𝑜𝑓𝑡 𝑀𝑎𝑟𝑔𝑖𝑛 = × 100%
𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ

Kondisi keuangan atau aktivitas perusahaan terlihat


semakin baik apabila nilai gross profit margin yang
dihasilkan semakin besar.

c. Net Profit Margin (Marjin Laba Bersih)


Net Profit Margin (NPM) merupakan ukuran dari
profitabilitas perusahaan dari penjualan setelah
memperhitungkan semua biaya dan pajak penghasilan.
Margin laba merupakan indikator strategi pendapatan
harga suatu perusahaan dan seberapa baik pengendalian
biaya. Rasio ini membandingkan laba bersih yang diperoleh
“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”
184 BAB 10 RENTABILITAS DAN ASPEK PERMODALAN

perusahaan dari hasil penjualan terhadap efisiensi dari


seluruh kegiatan operasional perusahaan. Dirumuskan
sebagai berikut:

𝐿𝑎𝑏𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ
𝑁𝑒𝑡 𝑃𝑟𝑜𝑓𝑡 𝑀𝑎𝑟𝑔𝑖𝑛 =
𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ

Apabila nilai rasio yang dihasilkan semakin rendah


maka penjualan juga rendah berdasarkan tingkat biaya
tertentu atau terdapat kemungkinan lainnya yaitu biaya
yang dikeluarkan perusahaan pada tingkat penjualan
tertentu terlalu tinggi, sedangkan semakin tinggi
rasio NPM-nya, memperlihatkan semakin tingginya
kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dalam
tingkat penjualan tertentu

d. Return on Investment (ROI)


Laba atas investasi yang dihitung berdasarkan hasil
pembagian dari pendapatan yang dihasilkan dengan
besaran modal yang ditanam. (ROI) merupakan tingkat
pengembalian perbandingan antara laba bersih setelah
pajak dengan total aktiva. Return on investment (ROI) adalah
merupakan rasio yang mengukur kemampuan perusahaan
secara keseluruhan didalam menghasilkan keuntungan
dengan jumlah keseluruhan aktiva yang tersedia didalam
perusahaan
ROI memperlihatkan kemampuan dari perusahaan
dalam menghasilkan keuntungan berupa laba bersih
setelah dikenakan pajak (EAT) agar dapat menutupi biaya
untuk investasi yang telah dikeluarkan. Dapat dirumuskan
sebagai berikut:

𝐿𝑎𝑏𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ 𝑆𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘


𝑅𝑒𝑡𝑢𝑟𝑛 𝑜𝑛 𝐼𝑛𝑣𝑒𝑠𝑡𝑚𝑒𝑛𝑡 = × 100%
𝐼𝑛𝑣𝑒𝑠𝑡𝑎𝑠𝑖

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 10 RENTABILITAS DAN ASPEK PERMODALAN 185

Semakin besar nilai rasio ini, maka kinerja


perusahaan semakin baik.

1) Kegunaan dan Kelemahan Analisa ROI


Kegunaan dari Analisa ROI adalah:
a) Selain dapat memberikaninformasi terkait tentang
profitabilitas bisnis,analisis ROI juga dapat
mengukur efisiensi penggunaan modalkerja,
produksi hungga penjualan perusahaan. Apabila
perusahaan sudah menjalankan kegiatan akuntansi
yang baik maka management dengan
menggunakan teknik analisa ROI dapat mengukur
efisiensi penggunaan modal yang bekerja, efisiensi
produksi dan efisiensi bagian penjualan. Apabila
suatu perusahaan pada suatu periode telah
mencapai “operating assets turnover” sesuai
dengan standard atau target yang ditetapkan, tetapi
ternyata ROI-nya masih dibawah standard target,
maka perhatian management dapat dicurahkan
pada usaha peningkatan efisiensi di sektor
produksi dan penjualan. Sebaliknya apabila profit
margin telah mencapai target atau standard yang
telah ditetapkan, sedangkan operating assets
turnover masih dibawah target, maka perhatian
management dapat dicurahkan untuk perbaikan
kebijaksanaan investasi baik dalam modal kerja
maupun aktiva tetap. Rendahnya operating assets
turnover ini mungkin disebabkan karena kesalahan
dalam politik pembelian bahan mentah, sehingga
jumlah bahan mentah yang dibeli terlalu besar
menumpuk di gudang. Mungkin kesalahan terletak
dalam politik penjualan kreditnya dimana banyak
pihutang yang belum dapat diterima.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


186 BAB 10 RENTABILITAS DAN ASPEK PERMODALAN

b) Apabila perusahaan dapat mempunyai data


industri sehingga dapat diperoleh rasio industri,
maka dengan analisa ROI ini dapat dibandingkan
efisiensi penggunaan modal pada perusahaannya
dengan perusahaan lain yang sejenis, sehingga
dapat diketahui apakah perusahaannya berada di
bawah, sama, atau di atas rata-ratanya.
c) Analisa ROI-pun dapat digunakan untuk
mengukur efisiensi kegiatan operasional dilakukan
dengan mengalokasikan semua biaya dan modal ke
dalam bagian yang bersangkutan. Pentingnya
mengukur rate of return pada tingkat bagian dalam
perusahaan untuk dapat membandingkan efisiensi
suatu bagian dengan bagian yang lain di dalam
perusahaan yang bersangkutan.
d) Analisa ROI juga dapat digunakan untuk
mengukur profitabilitas dari masing-masing
produk yang dihasilkan oleh perusahaan. Dengan
menggunakan “product cost system” yang baik,
modal dan biaya dapat dialokasikan kepada
berbagai produk yang dihasilkan oleh perusahaan
yang bersangkutan, sehingga dengan demikian
akan dapat dihitung profitabilitas dari masing-
masing produk. Dengan demikian, maka
management akan mengetahui produk mana yang
mempunyai “profit potential” di dalam longrun.
e) ROI juga bermanfaat untuk keperluan perencanaan
dan juga sebagai dasar untuk pengambilan
keputusan untuk melakukan expansi. Misalnya
perusahaan dapat menentukan bahwa ROI sebesar
30% sebagai target yang harus dicapai oleh
perlengkapan/ mesin-mesin baru. Dengan
memproyeksikan penjualan dan biaya, perusahaan
akan dapat mengestimasikan besarnya ROI yang

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 10 RENTABILITAS DAN ASPEK PERMODALAN 187

akan dapat dicapai dengan expansi yang akan


dijalankan.

Adapun kelemahan analisa ROI, diantaranya:


a) Salah satu kelemahan yang prinsipil adalah
kesukarannya dalam membandingkan rate of return
suatu perusahaan dengan perusahaan lain yang
sejenis, mengingat bahwa kadang-kadang praktek
akuntansi yang digunakan oleh masing-masing
perusahaan tersebut adalah berbeda-beda.
b) Analisa ROI memiliki kelemahan di mana analisis
initidak memasukkan unsur biaya modal
kedalamperhitungannya. ROI yang tinggi belum
dapat dinilia efektif sebelum dibandingkan dengan
biaya modalnya.
c) Dengan menggunakan analisa rate of return atau
return on investement saja tidak akan dapat
digunakan untuk mengadakan perbandingan
antara dua perusahaan atau lebih dengan
mendapatkan kesimpulan yang memuaskan,
misalnya membandingkan antara perusahaan ABC
dengan perusahaan XYZ dengan data sebagai
berikut:

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


188 BAB 10 RENTABILITAS DAN ASPEK PERMODALAN

Tabel 10. 1 Membandingkan Antara Perusahaan ABC


dengan Perusahaan XYZ

Perusahaan ABC Perusahaan XYZ


Penjualan Netto Rp 116.000.000,- Rp 761.000.000,-
Keuntungan
Rp 7.300.000,- Rp 114.000.000,-
(Income)
Aktiva yang
Rp 103.000.000,- Rp 2.978.000.000,-
digunakan
Profit Margin 6,3% 15%
Tingkat Perputaran
1,13% 0,26%
Aktiva
Return on
7,12% 3,9%
Investment (ROI)

Rate of return diperoleh dari dua ratio yang masing-


masing mengandung unsur penjualan, dimana penganalisa
tidak mengetahui sebab terjadinya perubahan dalam
penjualan tersebut dan apa akibat adanya perubahan
tersebut, misalnya kalau penjualan naik apakah profitnya
juga akan naik? Untuk menaikkan tingkat penjualan apakah
aktivanya juga harus dinaikkan? Masalah lain yang
dihadapi dalam analisa return on investment ini adalah
mengenai profit (Apakah laba sebelum dikurangi pajak
ataukah sesudah pajak?) dan mengenai pengertian aktiva
(Apakah aktiva yang digunakan untuk operasi saja, apakah
seluruh aktiva yang dimiliki perusahaan, nilai bukunya
ataukah harga perolehannya dan lain sebagainya).

e. Return on Assets (ROA)


Merupakan salah satu rasio profitabilitas, yang
mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan
keuntungan pada masa lampau kemudian diproyeksikan di
masa yang akan dating.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 10 RENTABILITAS DAN ASPEK PERMODALAN 189

Dalam analisis laporan keuangan, rasio ini paling


sering disoroti, karena mampu menunjukkan keberhasilan
perusahaan menghasilkan keuntungan. ROA mampu
mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan
keuntungan pada masa lampau untuk kemudian
diproyeksikan di masa yang akan datang. Assets atau
aktiva yang dimaksud adalah keseluruhan harta
perusahaan, yang diperoleh dari modal sendiri maupun
dari modal asing yang telah diubah perusahaan menjadi
aktiva-aktiva perusahaan yang digunakan untuk
kelangsungan hidup perusahaan.
Return on Asset (ROA) juga digunakan untuk menilai
sejauh mana investasi yang telah ditanamkan mampu
memberikan pengembalian keuntungan sesuai dengan
yang diharapkan. Dan investasi tersebut sebenarnya sama
dengan asset perusahaan yang ditanamkan atau ditetapkan
(Fahmi, 2013).
Return on Assets dapat dihitung dengan rumus:

𝑅𝑒𝑡𝑢𝑟𝑛 𝑜𝑛 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡
𝐿𝑎𝑏𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ 𝑆𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 (𝑁𝑒𝑡 𝐼𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒)
=
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎
× 100%

Semakin besar nilai ROA maka semakin baik


produktivitas asset dalam memperoleh keuntungan bersih.
ROI ini akan meningkatkan daya tarik perusahaan kepada
investor. Peningkatan daya tarik perusahaan menjadikan
perusahaan tersebut semakin diminati oleh investor yang
akan berdampak pada harga saham dari perusahaan.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


190 BAB 10 RENTABILITAS DAN ASPEK PERMODALAN

Kelebihan dan Kelemahan Return on Assets


2) Kelebihan ROA diantaranya sebagai berikut:
a) ROA mudah dihitung dan dipahami.
b) Manajemen menitikberatkan perhatiannya pada
perolehan laba yang maksimal.
c) Sebagai tolok ukur prestasi perusahaan dalam
memanfaatkan assetsnya yang dimiliki perusahaan
untuk mencapai keuntungan.
d) Mendorong tercapainya tujuan perusahaan.
e) Sebagai alat mengevaluasi atas penerapan
kebijakan-kebijakan manajemen.
3) Di samping beberapa kelebihan ROA di atas, ROA juga
mempunyai kelemahan di antaranya:
a) ROI tidak dapat digunakan sebagai dasar
perbandingan antara perushaan bila terdapat
perbedaan-perbedaan dalam penerapan itu sejenis.
b) Adanya fluktuatif nilai uang akan mempengaruhi
nilai opereting aset dan profit margin.

f. Return on Equity (ROE)


Adalah rasio untuk mengukur laba bersih sesudah
pajak dengan modal sendiri (Kasmir, 2015: 204). Rasio ini
menunjukkan kemampuan perusahaan untuk
menghasilkan laba atas modal sendiri. Semakin tinggi rasio
ini, semakin baik, posisi pemilik perusahaan semakin kuat.
Rasio yang paling penting adalah pengembalian atas
ekuitas (return on equity), yang merupakan laba bersih bagi
pemegang saham di bagi dengan total ekuitas pemegang
saham (Brigham & Houston, 2011:133).
Kemampuan perusahaan untuk mengelola
modalnya sendiri dengan efektif dari investasi pemilik
modal terlihat dalam rasio ini.
Dirumuskan sebagai berikut:

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 10 RENTABILITAS DAN ASPEK PERMODALAN 191

𝐿𝑎𝑏𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ 𝑆𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘


𝑅𝑒𝑡𝑢𝑟𝑛 𝑜𝑛 𝐸𝑞𝑢𝑖𝑡𝑦 = × 100%
𝐸𝑘𝑢𝑖𝑡𝑎𝑠

Menurut Kasmir (2015:198) penggunaan rasio ROE


bermanfaat untuk:
1) Mengetahui besarnya laba bersih sesudah pajak dengan
modal sendiri.
2) Mengetahui produktivitas dari sesuluh dan perusahaan
yang digunakan baik modal pinjaman maupun modal
sendiri
3) Untuk mengetahui efisiensi penggunaan modal sendiri
maupun pinjaman.

Sementara itu, menurut Kasmir (2015:197), tujuan


penggunaan rasio Return on Equity bagi perusahaan maupun
pihak luar perusahaan, yaitu:
1) Untuk menilai besarnya laba bersih sesudah pajak
dengan modal sendiri.
2) Untuk mengukur produktivitas seluruh dana
perusahaan yang digunakan baik pinjaman maupun
modal sendiri.
3) Untuk mengukur produktivitas dari seluruh dana
perusahaan yang digunakan baik modal sendiri maupun
pinjaman.

6. Aspek Permodalan
Modal merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan
dari kegiatan bisnis/usaha, investasi, dan berbagai kegiatan yang
bertujuan untuk mendapatkan keuntungan atau penghasilan.
Inti dasar dari suatu perusahaan agar dapat terus
menjalankan kegiatan usahanya adalah dengan adanya modal
usaha. Modal merupakan salah satu faktor terpenting dari
kegiatan perusahaan. Modal digunakan untuk menjalankan
“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”
192 BAB 10 RENTABILITAS DAN ASPEK PERMODALAN

kegiatan usaha, ataupun untuk dapat mengembangkan usaha


maupun memperluas pangsa pasar.

1. Pengertian Modal
Modal merupakan salah satu bagian terpenting dari
kegiatan perusahaan. Bagi perusahaan yang baru berdiri atau
mulai menjalankan usahanya, modal digunakan untuk dapat
menjalankan kegiatan usaha.
Beberapa ahli dibidang ilmu ekonomi memberikan
penjelasan mengenai definisi modal, di antaranya adalah:
a. Brigham (2006)
Modal adalah uang atau kekayaan yang dibutuhkan
untuk menghasilkan barang dan jasa.
b. Bambang Riyanto (2001)
Menurut Bambang Riyanto, pengertian modal
adalah hasil produksi yang digunakan kembali untuk
memproduksi lebih lanjut. Dalam perkembangannya,
modal ditekankan pada nilai, daya beli, atau pun kekuasaan
menggunakan yang ada dalam barang-barang modal.
c. Bakker (1974)
Modal adalah, baik yang berupa barang konkret
yang masih ada dalam rumah tangga perusahaan yang
terdapat dalam neraca sebelah debet maupun berupa biaya
daya beli/nilai tukar dari barang-barang itu yang tercatat di
sebelah kredit.
d. Polak (1950)
Modal adalah sebagai kekuasaan untuk
menggunakan barang modal, sehingga modal terdapat
dalam neraca kredit. Adapun barang yang dimaksud
dengan barang modal adalah barang yang ada dalam
perusahaan yang belum digunakan, jadi terdapat di neraca
sebelah kredit.
e. Lawrence J. Gitman (1997: 482)

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 10 RENTABILITAS DAN ASPEK PERMODALAN 193

Modal merupakan dana yang diperlukan untuk


kegiatan usaha yang bersifat jangka panjang dari suatu
perusahaan. Dalam hal ini modal yang diperhitungkan
adalah hutang jangka panjang dan ekuitas yang berada
pada posisi kanan neraca perusahaan tidak termasuk
kewajiban lancar.

f. Moekijat (2000: 63)


Pengertian modal adalah seluruh hal yang dimiliki
oleh pihak perusahaan yang meliputi uang tunai, kredit,
hak dalam membuat, dan menjual sesuatu dalam bentuk
paten, berbagai mesin, dan properti.

Berdasarkan beberapa pendapat mengenai definisi


modal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian
modal, adalah baik aset dalam bentuk barang-barang atau dana
maupun pinjaman dalam bentuk hutang jangka pendek , jangka
panjang dan ekuitas yang dapat dijadikan sebagai pondasi
dalam menjalankan usaha atau bisnis dengan tujuan dapat
mengatur dan membangun usaha yang lebih baik.

2. Jenis Modal
a. Jenis Modal Berdasarkan Sumbernya
Berdasarkan sumbernya modal dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu sumber modal internal dan modal
eksternal.
1) Modal Internal
Modal yang berasal dari sumber internal adalah
modal yang dibentuk atau dihasilkan sendiri didalam
perusahaan. Menurut Ching F Lee dan Joseph E. Finnerty
bahwa kebutuhan dana diperoleh dari dana internal
melibatkan tingkat arus kas dari penghasilan dan

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


194 BAB 10 RENTABILITAS DAN ASPEK PERMODALAN

penyusutan beban ditahan dihasilkan oleh perusahaan


(1990: 395).
Sumber modal intern disebut dengan internal
financing yang berupa laba yang ditahan (retained net profit)
dan akumulasi penyusutan barang-barang tetap (fixed
asset) yang terkait dengan jalannya usaha (accumulated
depreciations).
Besarnya laba ditahan, selain tergantung pada
besarnya laba yang diperoleh selama periode tertentu
dalam menjalankan usaha, juga tergantung kepada
“deviden policy” dan “plowing-back policy” yang dijalankan
oleh perusahaan yang bersangkutan. Akumulasi
penyusutan di dapat dari sejumlah dana yang di tahan
atau di simpan untuk mengganti aktivas tetap yang akan
diperbaharui atau penyusutan yang harus di perbaharui.
Besarnya jumlah akumulasi dana penyusutan yang
dibentuk dari depresiasi setiap tahunnya, tergantung dari
metode yang digunakan oleh masing-masing perusahaan
itu sendiri, semakin besar jumlah akumulasi penyusutan
itu berarti juga semakin besar pula sumber intern dari
dana yang dihasilkan dalam perusahaan tersebut.
Dengan kata lain, modal internal merupakan modal
yang didapatkan dari kekayaan seseorang atau
perusahaan itu sendiri, biasanya dari hasil penjualan.
Beberapa yang termasuk dalam modal sendiri, antara lain:
gedung, kendaraan, saham, laba yang diinvestasikan
kembali, dan lain sebagainya.
2) Modal Eksternal
Sumber modal eksternal adalah sumber dana yang
berasal dari luar perusahaan atau dana yang diperoleh
dari para kreditur ataupun dari pemegang saham yang
dapat ambil bagian dalam perusahaan. Menurut Chang F.
Lee dan Joseph E. Finnerty selain dari internal financing

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 10 RENTABILITAS DAN ASPEK PERMODALAN 195

juga didapat dari external financing yang pengertiannya


adalah: “Penawaran pembiayaan eksternal dengan jumlah
yang baru jangka panjang dan jangka pendek detekuitas
baru yang dikeluarkan oleh perusahaan sebagai sumber
dana (1990: 395)”.
Cara pembelanjaan dalam upaya pemenuhan
kebutuhan dalam usaha ini, sering juga di sebut
pembelanjaan dari luar perusahaan atau eksternal
financing. Dana yang berasal dari sumber eksternal adalah
dana para kreditur ataupun pemilik, peserta maupun
pengambil bagian dalam perusahaan.
Modal yang di dapat dari para kreditur
merupakan hutang bagi perusahaan yang bersangkutan
dan modal ini disebut juga sebagai modal asing atau
pinjaman. Bentuk pembelanjaan atau dana penggunaan
usaha yang menggunakan dana dari pinjaman tersebut
disebut juga pembelanjaan dengan hutang (debt financing).
Dana yang di dapat dari pemilik langsung,
peserta didalam perusahaan adalah dana yang akan tetap
ditanamkan didalam perusahaan tersebut dan akan
menjadi modal sendiri. Bentuk pembelanjaan dengan
menggunakan dana yang berasal dari pemilik atau calon
pemilik ini disebut pembelanjaan sendiri (equity financing).
Sumber dana eksternal dapat diperoleh dari supplier,
bank-bank dan pasar modal.

b. Jenis Modal Berdasarkan Pemiliknya


1) Modal Perseorangan
Jenis modal perseorangan adalah modal yang
berasal dari seseorang yang memiliki fungsi untuk
memudahkan berbagai aktivitas dan memberikan laba
kepada pemiliknya, seperti: deposito, properti pribadi

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


196 BAB 10 RENTABILITAS DAN ASPEK PERMODALAN

(gedung, kendaraan, dan lainnya), saham, dan lain


sebagainya.
2) Modal Sosial
Jenis modal sosial adalah modal yang dimiliki oleh
masyarakat dimana modal tersebut memberikan
keuntungan bagi masyarakat secara umum dalam
melakukan kegiatan produksi. Beberapa contoh modal
sosial, yaitu: jalan raya, jembatan, pelabuhan, pasar, dan
lain sebagainya.
c. Jenis Modal Berdasarkan Wujudnya
Jenis-jenis modal juga dibedakan berdasarkan
bentuknya yaitu modal konkret (modal aktif) dan modal
abstrak (modal pasif). Berikut penjelasan mengenai modal
konkret dan modal abstrak.

1) Modal Konkret (Modal Aktif)


Modal konkret adalah modal aktif yang berarti dapat
diliht secara kasat mata atau berwujud. Beberapa yang
termasuk dalam modal konkret seperti: bahan baku,
gedung/ tempat usaha, mesin, kendaraan, gudang, dan
bentuk sarana prasarana lainnya.
2) Modal Abstrak (Modal Pasif)
Modal abstrak adalah kebalikan dari modal konkret
dimana tidak dapat terlihat secara kasat mata. Meskipun
begitu, modal ini juga penting untuk keberlangsungan
perusahaan.Beberapa yang termasuk dalam modal
abstrak antara lain: pengetahuan, skill tenaga kerja, hak
cipta, hal pendirian usaha, koneksi, nama baik
perusahaan, dan lain sebagainya.

d. Jenis Modal Berdasarkan Sifatnya


Berdasarkan sifatnya, modal dapat dibedakan menjadi
dua jenis, yaitu:
1) Modal Tetap

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 10 RENTABILITAS DAN ASPEK PERMODALAN 197

Modal tetap (fixed capital) adalah modal yang dapat


digunakan untuk kegiatan produksi dalam jangka waktu
yang lama, atau beberapa kali proses produksi. Beberapa
yang termasuk dalam modal tetap, yaitu: tanah, gedung,
mesin-mesin, kendaraan, komputer, dan lain sebagainya
2) Modal Lancar
Modal lancar (variable capital) adalah modal yang
habis terpakai dalam satu kali proses produksi. Beberapa
yang termasuk dalam modal lancar, antara lain: bahan
baku, bahan bakar, dan lain sebagainya

3. Pentingnya Modal dalam Perusahaan


Modal atau dana sangat penting bagi perusahaan karena
merupakan unsur utama dalam sistem keuangan perusahaan
untuk melakukan kegiatan operasional, dimana perusahaan
harus mempunyai sejumlah dana seperti yang dikemukakan oleh
Bambang Riyanto (2001: 5) yang antara lain digunakan untuk:
a. Meningkatkan jumlah aktiva perusahaan
b. Penurunan jumlah perusahaan
c. Kompensasi kerugian
d. Pembayaran dividen tunai
e. Pembelian kembali saham-saham perusahaan

4. Manfaat Modal
Ketersediaan modal adalah untuk membantu
memproduksi barang baru yang dibutuhkan manusia dengan
tujuan dijual untuk memperoleh keuntungan.Berikut ini adalah
beberapa manfaat modal bagi sebuah perusahaan:

a. Mempermudah pendirian perusahaan baru


b. Mendorong pertumbuhan ekonomi negara
c. Memperluas produksi dan menyediakan lapangan kerja
bagi angkatan kerja yang berkembang

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


198 BAB 10 RENTABILITAS DAN ASPEK PERMODALAN

d. Membantu perkembangan perusahaan, perusahaan yang


sedang mengadakan ekspansi membutuhkan dana yang
besar.
e. Membantu membiayai penemuan tekniologi baru atau
membantu mengubah pengetahuan yang ada tentang
eksploitasi komersial melalui desain inovatif baru
f. Membantu meningkatkan produktivitas per kapita, karena
persediaan modal dalam suatu perekonomian berkaitan
erat dengan kemungkinan-kemungkinan yang
mempengaruhi perubahan dalam skala teknologi produksi.
g. Meningkatkan iklim investasi

7. Hubungan Rentabilitas dengan Modal Dalam Perusahaan


Rentabilitas merupakan kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan laba, baik dengan menggunakan data eksternal
maupun dengan data internal selama periode tertentu, juga
bertujuan untuk mengukur tingkat efektifitas manajemen dalam
menjalankan operasional perusahaannya. Dalam praktiknya
untuk menutupi kekurangan akan kebutuhan dana, perusahaan
memiliki beberapa pilihan sumber dana yang dapat digunakan.
Pemilihan sumber dana ini tergantung dari tujuan, syarat-syarat,
keuntungan dan kemampuan perusahaan. Sumber dana yang
digunakan dalam perusahaan bersumber dari internal dan
eksternal perusahaan.
Dalam hubungannya antara rentabilitas dengan modal dalam
perusahaan, seperti yang sudah dijelaskan pada sub bab dimuka
bahwa jika ingin melihat kemampuan perusahaan menghasilkan
laba dengan seluruh modal yang dimiliki perusahaan ( pinjaman
dan modal sendiri) yaitu dengan mengukur tingkat penghasilan
(return) perusahaan dengan seluruh modal yang dimiliki yang
disebut dengan rentabilitas ekonomi dan sebaliknya jika ingin
melihat kemampuan perusahaan dengan hanya modal sendiri
yang dimiliki oleh perusahaan maka yang diukur adalah laba

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 10 RENTABILITAS DAN ASPEK PERMODALAN 199

yang dihasilkan dengan ekuitas atau modal sendiri yang berada di


posisi passiva pada neraca (balance sheet) disebut dengan
rentabilitas modal sendiri.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


200 BAB 10 RENTABILITAS DAN ASPEK PERMODALAN

DAFTAR PUSTAKA

Bakker, O. (1974). Bedrijfshuishoudkunde, deel I, 4e druk. Purmerend.

Brigham, E. F., dan Houston, J. F. (2011). Dasar – Dasar Manajemen


Keuangan Terjemahan. Edisi 10. Jakarta: Salemba Empat.

Fahmi, I. (2013). Analisis Laporan Keuangan. Bandung: Alfabeta.

Gitman, L. J. (1997). Principles of Managerial Finance. 8th Edition. Boston:


Addison Wisley Longman.

Kasmir (2015). Analisis Laporan Keuangan. Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada.

Lee, C. F., dan Finnerty, J. E. (1990). Corporate Finance: Theory, Method


and Applications. San Diego: Harcourt Brace Jovanovich.

Moekijat. (2000). Kamus Manajemen. Bandung: CV. Mandar Maju.

Munawir. (2004). Analisa Laporan Keuangan. Edisi Ke-Empat.


Yogyakarta: Liberty.

Padangaran, AM. (2013). Analisis Kuantitatif (Pembiayaan Perusahaan


Pertanian). Bogor: IPB Press.

Polak, N. J. (1950). Enige Grondslagen voor de Financiering der


Onderneming. Haarlem: De Erfen F. Bohn N. V

Riyanto, B. (2001). Dasar – Dasar Pembelanjaan Perusahaan. Yogyakarta:


BPPE.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


BAB 10 RENTABILITAS DAN ASPEK PERMODALAN 201

BIODATA PENULIS

Dr. Sufyati HS, SE,MM, Dosen Tetap


Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Nasional. Menyelesaikan
Pendidikan akhirnya di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Selain
mengajar di FEB Unas juga di
Program Magister Manajemen
Universitas Terbuka dan FEB
Universitas Pembangunan Nasional
Veteran Jakarta.

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”


202 BAB 10 RENTABILITAS DAN ASPEK PERMODALAN

“Strategi Manajemen Pengelolaan Resiko Perusahaan”

Anda mungkin juga menyukai