Anda di halaman 1dari 10

Kongenital hyper bilirubinia

A. Definisi
Kelainan kongenital merupakan kelainan morfologik dalam pertumbuhan struktur
bayi yang dijumpai sejak bayi lahir selain itu pengertian lain tentang kelainan sejak
lahir adalah defek lahir yang dapat berwujud dalam bentuk berbagai gangguan
tumbuh kembang bayi baru lahir (Markum, 2002). Hiperbilirubinemia adalah keadaan
dimana terjadi peningkatan kadar bilirubin dalam darah >5mg/dL, yang secara klinis
ditandai oleh adanya ikterus, dengan faktor penyebab fisiologik dan non-fisiologik.
Menurut Prawirohardjo (2005), meliputi :
1. Hiperbilirubin fisiologi

a. Timbulnya pada hari kedua atau ketiga.

b. Kadar bilirubin indirek sesudah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg%


pada neonatus cukup bulan dan 10 mg% pada neonatus kurang bulan.

c. Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%.

d. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tak melebihi 1 mg%.

e. Hiperbilirubinmenghilang pada 10 hari pertama.

f. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologik.

2. Hiperbilirubin patologis.

a. Hiperbilirubin yang terjadi pada 24 jam pertama setelah lahir apabila


kadar bilirubin meningkat melebihi 15 mg%.

b. Peningkatan kadar bilirubin 5 mg % atau lebih setiap 24 jam.

c. Hiperbilirubinklinis yang menetap setelah bayi berusia > 8 hari atau 14


hari.

d. Hiperbilirubinyang disertai proses hemolisis.

e. Hiperbilirubin yang disertai berat lahir kurang dan 2000 gram, masa
gestasi kurang dari 36 minggu, asfiksia, hipoksia, infeksi.
B. Patofisiologi
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan .
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin
pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan
penghancuran Eritrosit, Polisitemia. Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga
dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila
kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain
yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan
gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi
misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu, Bilirubin ini akan bersifat
toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin
Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini
memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat
menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus.
Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan
timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar
Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan
neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi
terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia.
C. Etiologi
Pada keadaan normal kadar bilirubin indirek pada tali pusat 1-3 mg/dL dan
meningkat kurang dari 5 mg/dL/24 jam sehingga biasanya baru tampak pada hari
kedua dan hari ketiga dan memuncak pada hari kedua sampai ke empat dengan kadar
5-6 mg/dL dan turun tiga sampai kelima dan turun kurang dari 2 mg/dL pada hari ke
lima sampai ke tujuh. Ikterus yang berhubungan dengan ini disebut sebagai ikterus
fisiologis. Ikterus dipertimbangkan non fisiologis bila timbul dalam 24 jam pertama
kehidupan , kadar bilirubin meningkat lebih dari 0.5 mg/dL/jam, ikterus yang
menetapsetelah 8 hari pada bayi aterm atau 14 hari pada bayi preterm.
18Hiperbilirubinemia menyebabkan neonatus terlihat berwarna kuning, keadaan ini
timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin ( 4Z , 15Z bilirubin IX alpha ) yang
berwarna ikterus pada sklera dan kulit. 2Isomer bilirubin ini berasal dari degradasi
heme yang merupakan komponen hemoglobin mamalia..
D. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada hiperbilirubinemia meliputi pemeriksaan kondisi
umum, tanda-tanda vital, pemeriksaan fisik abdomen, dan pemeriksaan neurologi
yang berkaitan dengan ensefalopati. Status nutrisi pasien penting karena wasting
dapat terjadi pada pasien dengan kanker atau sirosis hepatis. Peningkatan kadar
bilirubin paling awal dapat dideteksi pada sklera, di mana sklera akan tampak ikterik
pada kadar bilirubin serum 3 mg/dL. Dengan peningkatan bilirubin serum yang
semakin tinggi, dapat dilakukan pemeriksaan pada bagian bawah lidah, dan akhirnya
kulit.
Pembesaran limfonodus supraklavikula kiri atau limfonodus periumbilikal
dilakukan untuk mendeteksi kemungkinan keganasan abdominal. Pada pemeriksaan
fisik abdomen, dilakukan evaluasi adanya hepatomegali, splenomegali, nyeri kuadran
kanan atas, dan ascites. Murphy’s sign dapat ditemukan pada kolesistitis.Pemeriksaan
fisik lain dilakukan untuk mengevaluasi tanda-tanda penyakit hepar kronik, yaitu
spider angiomata, kontraktur Dupuytren, ginekomastia, hematoma, dan eritema
palmar. Hiperbilirubinemia juga menyebabkan perubahan warna urin menjadi seperti
teh.
E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada hiperbilirubinemia terdiri dari pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan radiologi.
Hasil pemeriksaan laboratorium dapat mengarahkan penyebab
hiperbilirubinemia pada pola kolestatik atau intrahepatik.  Bila hasilnya mengarah
pada kelainan kolestatik, maka langkah selanjutnya adalah untuk menentukan apakah
kolestasis terjadi secara intrahepatik atau ekstrahepatik.  Pemeriksaan ultrasonografi
dapat dilakukan untuk menemukan dilatasi traktus biliaris, yang menandakan adanya
proses ekstrahepatik. Pemeriksaan menggunakan CT scan, magnetic resonance
cholangiopancreatography (MRCP), endoscopic retrograde
cholangiopancreatography (ERCP), dan endoscopic ultrasound (EUS) lebih akurat
dibandingkan ultrasonografi untuk menilai koledokolitiasis distal dan caput pankreas.
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dalam mengevaluasi hiperbilirubinemia terdiri dari
pemeriksaan darah lengkap, bilirubin total, bilirubin direk, bilirubin indirek,
alanin transaminase (ALT), aspartat transaminase (AST), alkali fosfatase
(ALP), gamma glutamyl-transferase (GGT), waktu protrombin, international
normalized ratio (INR), hemostasis, albumin, dan protein. Selain itu perlu
dipertimbangkan juga pemeriksaan serologi hepatitis, antimitochondrial
antibody (AMA), IgG4, dan biopsi hepar.
a. Bilirubin Serum
Kadar referensi bilirubin serum total pada dewasa adalah 0,3-1,0
mg/dL. Kadar bilirubin indirek adalah 0,2-0,8 mg/dL dan bilirubin
direk adalah 0,1-0,3 mg/dL. Pola peningkatan kadar bilirubin baik
total, direk, ataupun indirek dapat membantu mendiagnosis penyebab
hiperbilirubinemia.
b. Fungsi Hepar:
Pemeriksaan fungsi hepar terdiri dari pemeriksaan ALT, AST, ALP,
dan GGT. Pemeriksaan ini dapat membantu menentukan penyebab
hiperbilirubinemia
c. Fungsi Sintesis Hepar:
Fungsi sintesis hepar dapat diukur dengan pemeriksaan albumin dan
waktu protrombin. Albumin secara normal disintesis oleh hepar
sebanyak 15g per hari. Penurunan produksi albumin dapat terjadi pada
gangguan fungsi hepar, toksin, atau stres. Hipoalbuminemia
menggambarkan kondisi kronis, seperti kanker atau sirosis.
Waktu protrombin mengukur konversi protrombin menjadi trombin
menggunakan faktor koagulasi II, V, VII, dan X yang disintesis hepar.
Pada gangguan hepar, produksi faktor koagulasi menurun sehingga
memperpanjang waktu protrombin. Perpanjangan waktu protrombin
dapat menggambarkan juga defisiensi vitamin K karena ikterus yang
lama, malabsorbsi vitamin K, dan koagulasi intravaskular diseminata.
Bila waktu protrombin tidak mengalami perbaikan dengan pemberian
vitamin K, maka kemungkinan penyebabnya adalah cedera
hepatoseluler.

2. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada hiperbilirubinemia terutama dilakukan untuk
mengevaluasi pola kolestatik. Pola kolestatik dapat dibedakan menjadi
intrahepatik dan ekstrahepatik. Pemeriksaan awal dapat dilakukan dengan
ultrasonografi untuk mengevaluasi dilatasi bilier. Ultrasonografi memiliki
keterbatasan seperti penurunan sensitivitas pada pasien obesitas dan adanya
gas pada usus. Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP)
merupakan baku emas untuk mendiagnosis sumber kolestasis ekstrahepatik,
namun magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) lebih aman
dan noninvasif dengan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik.
Abses Hati

A. Definisi
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh suat
mikroorganisme yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan
adanya pembentukan pus hati sebagai proses invasi dan multiplikasi yang masuk
secara langsung dari cedera pembuluh darah atau sistem ductus biliaris. Abses hati
terbagi 2, yaitu abses hati amuba (AHA) dan abses hati piogenik (AHP). AHA merupakan
salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah
tropik /subtropik, termasuk Indonesia. Abses hati amuba disebabkan oleh protozoa
Entamoeba hystolitica, yang mana endemik di negaranegara tropis atau yang sedang
berkembang. Sedangkan AHP merupakan kasus yang relatif jarang.
B. Patofisiologi
Hati menerima darah dari sirkulasi sistemik dan system portal. Peningkatan
infeksi meningkat seiring dengan banyaknya paparan bakteri. Namun, sel-sel kupfer
melapisi sinusoid hati dan membersihkan bakteri dengan sangat efisien sehingga
infeksi jarang terjadi. Beberapa proses telah dihubungkan dengan proses abses hepar
di bawah ini. Apendisitis dulu menjadi penyebab utama abses hepar karena diagnosis
dan penangangan yang lambat, namun sekarang diagnosis dan penanganannya lebih
baik dan cepat sehingga frekuensi menjadi penyebab abses hepar menurun menjadi
10%. Penyakit saluran empedu sekarang menjadi sumber paling umum dari asbes
hepar piogenik. Obstruksi aliran empedu memungkinkan proliferasi bakteri. Penyakit
batu empedu, keganasan obstruktif yang mempengaruhi saluran empedu, striktur, dan
penyakit kongenital empedu yang bisa memicu kondisi abses hepar. Abses hepar dari
sumber biliaris biasanya multipel abses. Infeksi organ pada sistim portal dapat
menyebabkan trombloflebitis septik lokal yang dapat menyebabkan abses hepar.
Emboli septik dilepaskan ke sirkulasi portal dan terperangkap oleh sinusoid hepatika
sehingga menjadi nidus pembentukan mikroabses, mikroabses ini awalnya ganda
kemudian menyatu menjadi lesi soliter. Pembentukan mikroabses juga dapat
disebabkan oleh penyebaran organisme secara hematogen yang berhubungan dengan
bakterimia sistemik seperti endocarditis dan pielonefritis, beberapa kasus juga
dilaporkan pada anak-anak yang mengalami defek imunitas seperti penyakit
granulomatosa kronis dan leukemia. Sekirar 4% abses hepar terjadi akibat
pembentukan fistula antara infeksi intra abdominal lokal. Meskipun kemajuan dalam
pencitraan diagnostik, penyebab kriptogenik menyebabkan proporsi kasus yang
signifikan, lesi kriptogenik biasanya bersifat soliter. Trauma penetrasi hepar dapat
meninokulasi organisme langsung ke parenkim hati yang menyebabkan abses hepar
piogenik. Trauma non penetrasi hepar juga dapat menjadi pendahulu  abses hepar
piogenik dengan menyebabkan nekrosis hepatik lokal, perdarahan intrahepatik, dan
kebocoran empedu. Lingkungan jaringan yang dihasilkan memungkinkan
pertumbuhan bakteri yang dapat menyebabkan abses hepar piogenik, lesi ini biasanya
bersifat soliter. Abses hepar piogenik dilaporkan sebagai infeksi sekunder dari abse
hepar amoebik, rongga kistik hidatid, dan tumor hari metastatik, dan primer. Abses
hepat piogenik juga merupakan komplikasi dari transplantasi hati, embolisasi arteri
hepatic dalam pengobatan karsinoma hepatosellular, dan menelan benda asing yang
mengakibatkan menembus parenkim hepar. Trauma dan infeksi sekunder merupakan
sebagian kecil dari abses hepar. Lobus hepar yang kanan lebih sering terkena daripada
lobus hepar kiri dengan perbandingan 2:1. Keterlibatan bilateral terlihat pada 5%
kasus. Faktor predileksi untuk lobus kanan dapat dihubungkan dengan anatomi karena
menerima darah dari vena mesenterika superior dan vena porta, sedangkan lobus kiri
menerima darah dari mesenterika inferior dan drainase limpa. Lobus kanan juga
mengandung jaringan yang lebih padat dari kanalikuli bilier dan secara keseluruhan
menyumbang lebih banyak massa di hepar.
C. Etiologi
Abses hati piogenik dapat ter/adi melalui in0eksi yang berasal dari vena porta yaitu
infeksi pel!is atau gastro intestinal, bisa menyebabkan piel0lebitis porta atau emboli
septik saluran empedu yang merupaka sumber infeksi yang tersering. Kolangitis
septik dapat menyebabkan penyumbatan saluran empedu seperti juga batu
empedu, kanker, striktur saluran empedu ataupun anomali saluran empedu
kongenital.I n f e k s i l a n g s u n g s e p e r t i l u k a p e n e t r a s i a t a u k e c e l a k a n
l a l u l i n t a s . S e p t i k e m i a a t a u  bakterimia akibat infeksi di tempat lain dan
kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada orang lanjut usia
D. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan demam dan nyeri hepatomegali
adalah tanda yang paling umum. Massa yang teraba tidak selalu ada. Nyeri
midepigastric dengan atau tanpa massa yang teraba menunjukkan keterlibatan lobus
hati kiri. Penurunan bunyi napas di zona paru basilar kanan dengan tanda-tanda
atelektasis dan efusi pada pemeriksaan fisik atau radiologis mungkin ada. Sebuah
gesekan-gesekan pleura (friction rib) atau hati dapat dikaitkan dengan iritasi
diafragma atau peradangan kapsul Glisson. Penyakit kuning dapat ditemukan pada
sebanyak 25% kasus dan biasanya berhubungan dengan penyakit saluran empedu atau
adanya beberapa abses. Gejala abses hati yang paling sering ialah sebagai berikut.
1. Demam
2. Panas dingin
3. Nyeri kuadran kanan atas
4. Anorexia
5. Rasa tidak enak

Batuk atau cegukan karena iritasi diafragmatik. Nyeri bahu kanan mungkin
ada karena referred pain. Abses hepar dengan lesi soliter biasanya terjadi
penurunan berat badan dan anemia penyakit kronis. Dengan gejala seperti itu,
keganasan sering merupakan pertimbangan awal. Demam yang tidak diketahui
asalnya sering dapat menjadi diagnosis awal pada kasus indolen. Beberapa abses
biasanya menghasilkan presentasi yang lebih akut, dengan gejala dan tanda
toksisitas sistemik.

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang mungkin membantu menegakkan
diagnosis abses hepar ialah sebagai berikut:
a. Darah lengkap: untuk mengindentifikasi anemia penyakit kronis atau
leukositosis neutrofilik.
b. Faal hepar: untuk mengindentifikasi hipoalbumin, elevasi alkalin
fosfatase, kadar transaminase, dan kada bilirubin.
c. Kultur darah: untuk mengidentifikasi penyebab abses hepar.
d. Enzim immunoassay: untuk mengidentifikasi E histolytica.
2. Pemeriksaan Radiologi
Beberapa pemeriksaan radiologi yang mungkin membantu dalam
menegakkan diagnosis ialah sebagai berikut.
a. CT-Scan dengan kontras: memiliki sensitivitas 95-100%, lesi pada
evaluasi CT-Scan ialah area demarkasi dengan baik hypodense ke
parenkim hati di sekitarnya, lebih unggul untuk mendeteksi lesi
kurang dari 1 cm, dan karakteristik CT-Scan mungkin lebih bisa
mendeteksi dengan massa abses tunggal, keterlibatan unilobar,
penampilan padat, berhubungan dengan tromboflebitis, dan
penampilan hematogen.
b. USG: memiliki sensitivitas 80-90%, lesi pada USG menunjukkan
massa hipoekoik dengan batas tidak ireguler, dan memiliki
keunggulan portable.
c. Radionuclide Scanning: Memanfaatkan gallium, taknesium, dan
indium dengan masing-masing sensitivitas gallium 50-80%,
taknesium 80%, dan indium 90%. Radiofarmaka memiliki
keunggulan berbagai jalur pengambilan, transportasi, dan eksresi
sehingga efektif dalam mengevaluasi penyakit hati.
d. Foto thorak: untuk mengevaluasi adanya atelectasis basilar, elevasi
hemidiafragma kanan, dan efusi pleura. Kejadian tersebut hadir pada
sekitar 50% kasus pada abses hepar.
Daftar Pustaka :
Martin CR, Cloherty JP. (2004) Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty JP, Stark
AR, eds. Manualof neonatal care; edisi ke- 5.Boston :Lippincott Williams &
Wilkins
Stevry Mathindas, Rocky Wilar, Audrey Wahani. 2013. Hiperbilirubinemia Pada
Neonatus. Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi.Manado.
Stevry Mathindas.Rocky Wilar.Audrey Wahani.2016. HIPERBILIRUBINEMIA PADA
NEONATUS. Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam
Ratulangi Manado. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi Manado
Firman, Kemas., Bisanto, Julfina., M, Yuridyah Prianti. 2005. Abses Hati Pada Anak.
Sari Pediatri, Vol. 7, No. 1

Anda mungkin juga menyukai