Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Urtikaria merupakan salah satu manifestasi keluhan alergi pada
kulit yang paling sering dikeluhkan oleh pasien. Keluhan urtikaria
merupakan keluhan dermatologis umum, 15-25% populasi penduduk
dalam waktu tertentu dalam hidupnya pernah mengalaminya. Kelainan
kulit ini ditandai dengan edema kulit superfisial setempat dengan ukuran
bervariasi dan sering dikelilingi oleh eritem yang disertai rasa gatal atau
panas, akibat keluarnya plasma dari pembuluh darah (Debora V & Zuraida
R, 2020).
Urtikaria merupakan gangguan yang sering dijumpai. Fakor usia,
ras, jenis kelamin, pekerjaan, lokasi geografis dan musim mempengaruhi
jenis pajanan yang akan dialami seseorang (Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin, 2019:311). Di Indonesia, prevalensi urtikaria belum diketahui
pasti. Penelitian di Palembang tahun 2007 pada 3000 remaja usia 14-19
tahun, mendapatkan prevalensi urtikaria sebesar 42,78% (Debora V &
Zuraida R, 2020).
Berdasarkan waktu, urtikaria mempunyai dua bentuk yaitu
urtikaria akut (UA) yang berlangsung kurang dari enam minggu dan
urtikaria kronik (UK) yang berlangsung lebih dari enam minggu. Urtikaria
akut sering terjadi pada anak-anak. Penyebab paling umum untuk urtikaria
akut adalah obat-obatan, vitamin, suplemen, makanan, food additive,
minuman, infeksi, kontak alergi, bahan inhalasi, transfusi darah, vaksinasi.
Urtikaria kronik biasanya penyebabnya bukan lagi karena alergi makanan.
Ada beberapa sumber yang bisa menimbulkan urtikaria kronik, yaitu
faktor nonimunologik (bahan kimia, paparan fisik, zat kolinergik, infeksi
dan penyakit infeksi) dan faktor imunologik (Debora V & Zuraida R,
2020).
Penatalaksanaan utama pada semua bentuk urtikaria adalah
pemberian antihistamin dengan pilihan utama antihistamin H1. Di

1
samping itu, secepat mungkin dapat ditemukan faktor penyebab atau
pencetus, sehingga dapat dihindari atau dihilangkan (Debora V & Zuraida
R, 2020).
Oleh karena itu perlu adanya dukungan tenaga kesehatan berupa
perorangan ataupun instansi yang membantu dalam rangka tidak hanya
tindakan kuratif, tetapi juga promotif dan preventif. Pelayanan kesehatan
primer memegang peranan penting pada penyakit urtikaria dalam hal
penegakan diagnosis pertama kali, terapi yang tepat, dan edukasi
komunitas dalam pencegahan penyakit, karena penyakit ini mudah sekali
relaps (Debora V & Zuraida R, 2020).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Urtikaria adalah reaksi vaskular pada kulit, ditandai dengan adanya
edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan,
berwarna pucat atau kemerahan, umumnya dikelilingi oleh lesi kemerahan
(flare) dan disertai rasa gatal yang berat, rasa tersengat atau tertusuk
(Aisyah S & Effendi E H, 2019:311).

2.2 Epidemiologi
Urtikaria merupakan gangguan yang sering dijumpai. Fakor usia,
ras, jenis kelamin, pekerjaan, lokasi geografis dan musim mempengaruhi
jenis pajanan yang akan dialami seseorang. (Aisyah S & Effendi E H,
2019:311).
Di Indonesia, prevalensi urtikaria belum diketahui pasti. Penelitian
di Palembang tahun 2007 pada 3000 remaja usia 14-19 tahun,
mendapatkan prevalensi urtikaria sebesar 42,78%. Sebanyak 8-20%
populasi diperkirakan pernah atau akan menderita urtikaria dalam
perjalanan hidupnya dan sebanyak 0,1% akan berkembang menjadi
urtikaria kronis spontan. Prevalensi urtikaria kronis lebih kecil
dibandingkan urtikaria akut, yaitu 1,8% pada dewasa dan berkisar antara
0,1-0,3% pada anak. Prevalensi urtikaria kronis pada dewasa berdasarkan
durasinya adalah: 6-12 minggu (52,8%), 3-6 bulan (18,5%), 7-12 bulan
(9,4%), 1-5 tahun (8,7%), >5 tahun (11,3%), (Debora V & Zuraida R,
2020).

2.3 Etiopatogenesis
2.3.1 Etiologi

Penyebab urtikaria sangat beragam, diantaranya: obat,


makanan dan food additive, infeksi, cacing dan parasit, proses inflamasi,

3
penyakit sistemik dan keganasan, proses autoimun dan rangsangan fisik.
Lebih dari 50% urtikaria kronik adalah idiopatik (Aisyah S & Effendi E H,
2019:311).

Obat merupakan penyebab tersering urtikaria akut dan dapat


menimbulkan urtikaria secara imunologik maupun non-imunologik. Jenis
obat yang sering menimbulkan urtikaria adalah penisilin dan derivatnya,
sulfonamid analgesik, aspirin dan obat anti-inflamasi non-steroid lain,
narkotik (kodein dan morfin), dan alkohol (Aisyah S & Effendi E H,
2019:311).

Makanan juga merupakan penyebab urtikaria akut dan jenis


makanan yang sering dihubungkan dengan urtikari adalah cokelat,
makanan laut, telur, susu, kacang-kacangan, tomat, stroberi, keju dan
bawang. Sebagian kecil (<10%) urtikaria kronis dsebabkan oleh food
additives misalnya ragi, salisilat, asam sitrat, asam benzoat, sulfit dan
pewarna makanan (Aisyah S & Effendi E H, 2019:312).

Urtikaria akut dapat timbul akibat infeksi saluran napas atas


terutama infeksi streptokokus. Infeksi tonsil, gigi, sinus, kandung empedu,
prostat ginal dan saluran kemih dapat menyebabkan urtikaria akut maupun
kronis. Infeksi virus dan infeksi Jamur pada kulit termasuk keadaan yang
dapat menimbulkan urtikaria. Infestasi parasit dan infestasi cacing, giardia
dan amuba perlu dipertimbangkan sebagai penyebab urtikaria di negara
berkembang. Pada negara tropis dianjurkan untuk menambahkan obat
cacing pada pasien urtikaria tanpa mempertimbangkan ada tidaknya
eosinophilia. Tungau debu rumah merupakan alergen yang sering dijumpa
dan sensitivitas terhadap tungau debu rumah telah terbukti pada pasien
urtikaria kronis (Aisyah S & Effendi E H, 2019:312).

Saat ini telah diketahui bahwa proses inflamasi kronis akibat


berbagai penyakit juga dapat menimbulkan urtikaria. Hal tersebut

4
dibuktikan pada gastritis, esofagitis refluks, dan peradangan empedu
(Aisyah S & Effendi E H, 2019:312).

Urtikaria kronis juga dapat berhubungan dengan penyakit sistemik


dan keganasan misalnya keadaan hipertiroid maupun hipotiroid, penyakit
Hodgkin dan leukemia limfositik kronis. Pada 25% -54% pasien urtikaria
kronik Idiopatik, dijumpai adanya autoantibodi fungsional terhadap
reseptor IgE pada sel mast (Fc3R1) atau terhadap IgE yang dapat
menimbulkan pelepasan mediator dari sel mast, dan dikenal sebagai
urtikaria autoimun (Aisyah S & Effendi E H, 2019:312).

Berbagai rangsangan fisik dapat menimbulkan urtikaria di


antaranya suhu (panas dan dingin), sinar matahari, radiasi dan tekanan
mekanis (dermografisme dan delayed pressure urticaria). Jenis urtikaria
ini sering disebut urtikaria fisik, dan sebagian ahli memisahkannya dalam
golongan tersendiri (Aisyah S & Effendi E H, 2019:312).

2.3.2 Patogenesis
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler
yang meningkat akibat pelepasan histamin dari sel mast dan basofil. Sel
mast adalah sel efektor utama pada urtikaria, dan mediator lain yang turut
berperan adalah serotonin, leukotrin, prostaglandin, protease dan kinin
(Aisyah S & Effendi E H, 2019:311).
Berbagai macam mekanisme dapat menyebabkan aktivasi sel mast,
digolongkan menjadi :
1. Faktor imunologik yang terdiri atas :
a. Hipersensitivitas tipe cepat yang diperantarai IgE,
contohnya alergi obat.
b. Aktivasi komplemen jalur klasik maupun alternatif,
menghasilkan anafilatoksin (C3a, C4a dan C5a)
yang menyebabkan mediator sel mast.
2. Faktor non-imunologik yang mengakibatkan aktivasi
langsung sel mast oleh penyebab, misalnya bahan kimia

5
pelepas mediator (morfin, kodein, media radio-kontras,
aspirin, obat anti-inflamasi non-steroid, benzoat), faktor
fisik (suhu, mekanik, sinar-X, ultraviolet, efek kolinergik).
2.4 Gejala Klinis
Rasa gatal yang hebat hampir selalu merupakan keluhan subyektif
urtikaria, dapat juga timbul rasa terbakar atau rasa tertusuk. Secara klinis
tampak lesi urtika yaitu eritema dan edema setempat yang berbatas tegas
dengan berbagai bentuk dan ukuran. Kadang-kadang bagian tengah lesi
tampak lebih pucat. Bila terlihat urtika dengan bentuk papular, patut
dicurigai adanya gigitan serangga atau sinar ultraviolet sebagai penyebab
(Aisyah S & Effendi E H, 2019:312). Dalam perjalanannya dibedakan dua
bentuk, yang pertama yaitu urtikaria akut timbul mendadak, menghilang
dengan cepat pada umumnya mudah diobati, yang kedua urtikaria kronis
timbul berulang-ulang atau menetap lebih dari 6 minggu meskipun sudah
diobati. (Sukanto h & Pohan dkk, 2005:19)
Gambar II.1 Urtikaria regio thorakalis

(Tampak urtikaria yaitu edema setempat yang tersebar, berwarna


kemerahan, besar, bentuknya bervariasi.)

Sumber : : e-book Atlas Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi 2

6
Urtikaria ditandai dengan timbulnya peninggian pada kulit dan atau
angioedema secara mendadak. Peninggian kulit pada urtikaria harus
memenuhi kriteria di bawah ini:
1. Ditemukan edema sentral dengan ukuran bervariasi, dan bisa
disertai eritema di sekitarnya
2. Terasa gatal atau kadang-kadang sensasi terbakar
3. Umumnya dapat hilang dalam 1-24 jam, ada yang < 1 jam
(Siannoto M, 2017).

Gambar II.2 Urtikaria pada tangan

Sumber : (Siannoto M, 2017).

2.5 Klasifikasi
2.5.1 Berdasarkan Durasi
Urtikaria dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi dan faktor yang
menginduksi (induced vs spontaneus). Berdasarkan durasi, urtikaria
dibedakan menjadi urtikaria akut dan kronis. Urtikaria akut terjadi <6
minggu, apabila >6 minggu disebut sebagai urtikaria kronis. Klasifikasi
berdasarkan durasi penting untuk mengetahui patogenesis dan menentukan
terapi (Siannoto M, 2017).

7
2.5.2 Berdasarkan Faktor Pencetus dan Bentuk Klinis

Tabel II.1 Klasifikasi Urtikaria Berdasarkan Faktor Pencetus


Sumber : (Siannoto M, 2017)

Bentuk Klinis :

(Sukanto H & Pohan dkk, 2005:19)

1. Angiodema (Giant Urtikaria, Quinke’s edema) bila


urtikaria besar-besar disertai edema pada palpebra,
genetalia, bibir
2. Urtikaria kolinerik bila urtikaria berbentuk kecil-kecil
tersebar dan sangat gatal.
3. Urtikaria dermografik (Urtikaria Fisik) bila timbul akibat
tekanan berbentuk linier sesuai dengan bagian tekanan,
goresan, atau goresan. Tes demografisnya positif ( digaruk,
digores akan keluar urtika).
4. Urtikaria dingin timbul beberapa menit sampai beberapa
jam setelah terpapar hawa dingin, gejalanya bisa ringan
sampai berat (disertai hipotensi, hilangnya kesadaran dan
sesak nafas).

8
5. Urtikaria alergika, bila karena alergi makana, obat.
6. Urtikaria idiopati, bila tidak diketahui penyebabnya.

Gamabar II.3 Urtikaria Demografi (Urtikaria Fisik)


(Regio Ektrimitas Superior tampak urtika berbentuk linier
sesuai dengan goresan, tes dermografisme positif)
Sumber : e-book Atlas Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi 2
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada urtikaria terutama ditujukan untuk
mencari penyebab atau pemicu urtikaria. Adapun pemeriksaan yang perlu
dilakukan adalah :
1. Pemeriksaan darah, urin dan feses rutin untuk menilai ada
tidaknya infeksi yang tersembunyi, infestasi, atau kelainan alat
dalam.
2. Pemeriksaan IgE total dan eosinofil untuk mencari
kemungkinan kaitannya dengan faktor atopi.
3. Pemeriksaan gigi, THT dan usapan genitalia interna wanita
untuk mencari fokus infeksi.
4. Uji tusuk kulit/tes goresan terhadap berbagai makanan dan
inhalan.
5. Uji serum autolog dilakukan pada pasien urtikaria kronis untuk
membuktikan adanya urtika autoimun.

9
6. Uji dermografisme dan uji dengan es batu (ice cube test) untuk
mencari penyebab fisik.
7. Pemeriksaan histopatologis kulit perlu dilakukan bila terdapat
kemungkinan urtikaria sebagai gejala vaskulitis atau
mastositosis (Aisyah S & Effendi E H, 2019:312).

Gambar II.4 Pemeriksaan Prick tes atau Uji Tusuk Kulit


Sumber : Sehatq.com. Diakses melaluli
https://www.sehatq.com/tindakan-medis/skin-prick-test, 20
Desember 2020

2.7 Differential Diagnosa


2.7.1 Sistemik Lupus Erythematosus
Lupus Eritrmatosus sitemik (SLE) adalah penyakit
autoimun heterogen yang dapat mengenai sistem organ yang
berbeda (nonspesifik organ) sehingga dapat menimbulkan
manifestasi klinis yang bervariasi. Diagnosis SLE didasarkan pada
karakteristik temuan klinis sistem organ yang terkena seperti kulit,
persendian, ginjal, dan sistem saraf pusat (Nurrlita D & Barus B
dkk, 2019).
Gejala SLE pada kulit biasanya ditemukan di wajah berupa
lesi malar atau butterfly rash. Gambaran khas berupa lesi
eritematosa yang simetris dan konfluens, serta edeme pada area

10
malar dan melintasi hidung, dimulai dengan makula kecil atau
papul pada wajah kemudian konsfluens dan hiperkeratolitik. Dapat
meninggalkan sikatriks atrofik, kadang-kadang hipertrofik
(Budianti & Windy Keumala , 2019:301).
Gejala klinis :
a. Nyeri dan kaku sendi
b. Ruam di kulit, sering terjadi di daerah wajah, pipi
dan hidung
c. Kelelahan yang tidak diketahui sebabnya
d. Kulit lebih sensitif terhadap sinar matahari
e. Penurunan berat badan
f. Demam tanpa sebab yang jelas
g. Pucat pada jari tangan atau jari kaki
h. Sariawan
2.7.2 Morbus Hansen
Morbus Hansen atau kusta merupakan infeksi kronis yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang dapat menyerang
saraf perifer, kulit, mukosa saluran napas bagian atas dan organ
lain kecuali susunan saraf pusat. Morbus Hansen merupakan salah
satu masalah kesehatan utama yang ada di Indonesia. Gejala
Morbus Hansen atau kusta merupakan penyakit granulomatosa
yang ditandai dengan gejala pada kulit dan gejala kerusakan saraf
(Utami Rizky A, 2019).
Gejala yang umum terjadi :
a. Kelainan kulit dan organ lain
1. Hipopigmentasi ataupun eritema
2. Bercak mati rasa
3. Bercak tidak gatal
4. Kulit mengkilap atau kering bersisik
5. Tidak berkeringat atau berambut
6. Lepuh tidak nyeri

11
7. Facies leonina (gejala infiltrat yang difus di muka)
dan madarosis (penipisan alis mata bagian lateral)
b. Kelainan saraf tepi
1. Sensorik : hipoestesi atau anastesi (rasa kesemutan,
tertusuk-tusuk dan nyeri).
2. Motorik : kelemahan otot, di daerah ekstrimitas
atas/bawah, muka dan otot mata.
3. Autonom : menyerang persarafan kelenjar keringat
sehingga lesi terserang tampak lebih kering.
4. Adanya cacat (deformitas) dan luka yang sulit
sembuh.
(Wisnu I Made & Dailli S E dkk, 2019:87).

2.7.3 Pemfigoid Bulosa


Pemfigoid bulosa (PB) adalah suatu kelainan kulit berupa
bulla subpidermal yang berhubungan dengan adanya auto antibodi
terhadap basement membrane zone, yaitu protein hemidesmosom
BP180 (BPA2) dan BP230 (BPA1). memiliki distribusi simetris
terutama pada permukaan fleksor ekstremitas bawah, paha bagian
dalam, dan abdomen. Lesi tidak melibatkan mukosa dan tidak
melibatkan daerah leher dan kepala (Dewi Christina C, 2018).
Gejala awal pemfigoid bulosa adalah urtikaria, lesi papular
hingga muncul erupsi bula luas yang gatal dan nyeri pada lesi
yang erosi. Kelainan kulit ini lebih sering terbentuk pada daerah
lipatan, seperti ketiak, selangkangan, atau perut. Setelah beberapa
minggu atau beberapa bulan, pada permukaan kulit tersebut,
muncul luka lepuh yang berisi cairan bening atau cairan yang
bercampur darah. Lepuhan ini tidak mudah robek hanya karena
sentuhan. Bila luka lepuh robek atau pecah, akan terasa sakit,
namun tidak akan menimbulkan bekas luka. Gejala ini sering

12
dianggap sebagai eksim basah (Martodiharjo S & Suyoso S dkk.,
2005:87).

2.8 Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan pada pelayanan Tingkat Pertama
dilakukan dengan first-line therapy, yaitu memberikan edukasi pasien
tentang penyakit urtikaria (penyebab dan prognosis) dan terapi
farmakologis sederhana (Paduan Praktik Klinis Primer, 2017:344).
2.8.1 Urtikaria Akut
Atasi keadaan akut terutama pada angioderma karena dapat
terjadi obstruksi saluran nafas. Penanganan dapat dilakukan di Unit
Gawat Darurat bersama-sama dengan atau dikonsultasikan ke
dokter spesialis THT (Paduan Praktik Klinis Primer, 2017:344).
Bila disertai obstruksi saluran nafas, diindikasikan
pemberian epinefrin subkutan yang dilanjutkan dengan pemberian
kortikosteroid prednison 60-80 mg/hari selama 3 hari, dosis
diturunkan 5-10 mg/hari (Paduan Praktik Klinis Primer, 2017:344).

2.8.2 Urtikaria Kronik


a. Edukasi Pasien tentang penyebab dan prognosis urtikaria,
seperti :
1. Kondisi yang terlalu panas, stres, alkohol, dan agen
fisik.
2. Penggunaan antibiotik penisilin, aspirin, NSAID, dan
ACE inhibitor.
3. Agen lain yang diperkirakan dapat menyebabkan
urtikaria.
(Paduan Praktik Klinis Primer, 2017:344).

13
b. Pemberian farmakoterapi dengan :
Asian consensus guidelines yang diajukan oleh AADV
pada tahun 2011 untuk pengelolaan urtikaria kronik dengan
menggunakan antihistamin H1 non-sedasi, yaitu :
1. Antihistamin H1 non-sedasi (AH1-ns), bila gejala
menetap setelah 2 minggu.
2. AH1-ns dengan dosis ditingkatkan sampai 4x, bila
gejala menetap setelah 1-4 minggu.
3. AH1 sedasi atau AH1-ns golongan lain + antagonis
leukotrien, bila terjadi eksaserbasi gejala, tambahkan
kortikosteroid sistemik 3-7 hari.
4. Bila gejala menetap setelah 1-4 minggu, tambahkan
siklosporin A, AH2, dapson, omalizumab.
5. Eksaserbasi diatasi dengan kortikosteroid sistemik 3-7
hari.

c. Obat yang digunakan antara lain :


(Sukanto H & Pohan SS dkk., PDT 2005:19)
1. Antihistamin H1
- Diphenidrammin HCL
Dewasa : 10-20 mg/dosis, sehari 3-4 kali
Anak : 0,5 mg/kg/dosis, sehari 3-4 kali
- Chlorpeniramin maleat
Dewasa : 3-4 mg/dosis, sehari 3 kali
Anak :0,09 mmg/kg/dosis, sehari 3 kali
- Hydroxyzine HCL
Dewasa : 25 mg/dosis, sehari 3-4 kali
Anak : 0,5 mg mg/kg/dosis, sehari 3 kali
- Cyproheptadine HCL
Dewasa : 4 mg/dosis, sehari 3-4 kali

14
- Loratadine 10 mg/dosis, sehari 1 kali
- Cetrizinne 10 mg/dosis sehari 1 kali
2. Kobinasi antihistamin H1 dan H2
- Tablet cemetidine 200-400 mg, sehari 2-4 kali atau
800 mg sehari 1 kali waktu tidur malam
3. Kortikosteroid
- Prednison
Dewasa : 5-10 mg/dosis, sehari 3 kali
Anak : 1 mg/kgBB/hari
- Dexamethason
Dewasa : 0,5-1 mg/dosis, sehari 3 kali
Anak :0,1 g/kgBB/hari
4. Adrenalin
injeksi sub kutis, untuk yang akut dan sangat luas dengan
gejala angiodema, sesak, urtikaria seluruh tubuh dan
urtikaria yang tebal.
- Dewasa : 0,3-0,5 ml/kali, dapat di ulang 15-10 menit
kmudian
- Anak : 0,2-0,3 ml/kali (BB<35kg)
5. Tablet Epedrin HCL
pengganti injeksi adrenalin
- Dewasa : 0,5 tablet sehari 2 kali minum selama 3 hari
- Anak : 0,2-0,3 mg/kgBB/hari, sehari 2-3 kali

Terapi lini pertama untuk urtikaria adalah antihistamin


H1 generasi baru (non-sedasi) yang dikonsumsi secara teratur,
bukan hanya digunakan ketika lesi muncul. Pemberian
antihistamin tersebut harus mempertimbangkan usia, status
kehamilan, status kesehatan dan respons individu. Bila gejala
menetap setelah 2 minggu, diberikan terapi lini kedua, yaitu
dosis AH1-ns dinaikkan, dapat mencapai 4 kali dosis biasa,

15
dengan mempertimbangkan ukuran tubuh pasien. Bila gejala
menetap setelah 1-4 minggu, dianjurkan penggunaan terapi lini
ketiga, yaitu mengubah jenis antihistamin menjadi AH1 sedasi
atau AH1-ns golongan lain, ditambah dengan antagonis
leukotrien, misalnya zafirlukast atau montelukast (Aisyah S &
Effendi E H, 2019:313).

Dalam terapi lini ketiga ini, bila muncul eksaserbasi


lesi, dapat diberikan kortikosteroid sistemik (dosis 10-30 mg
prednison) selama 3-7 hari. Bila gejala menetap setelah 1-4
minggu, dianjurkan pemberian terapi lini keempat, yaitu
penambahan antihistamin H2 dan imunoterapi. Imunoterapi
dapat berupa siklosporin A, omalizumab, imunoglobulin
intravena (IVIG), plasmaferesis, takrolimus oral, metotreksat,
hikroksiklorokuin dan dapson. Eksaserbasi lesi yang terjadi
selama terapi lini keempat, diatasi dengan pemberian
kortikosteroid sistemik (prednison 10-30 mg) selama 3-7 hari
(Aisyah S & Effendi E H, 2019:313).

16
Gambar III.2 Algoritma Terapi Urtikaria

Sumber : Siannoto M, 2017.

Dalam tatalaksana urtikaria, selain terapi sistemik, juga dianjutkan


untuk pemberian terapi topikal untuk mengurangi gatal, berupa bedak
kocok atau losio yang mengandung menthol 0.5-1% atau kalamin (Aisyah
S & Effendi E H, 2019:313).

2.9 Prognosis
Prognosis urtikaria akut umumnya baik, bisa hilang dalam 24 jam.
Urtikaria akut hampir tidak pernah menimbulkan kematian, kecuali bila
disertai angioderma saluran nafas bagian atas. Pada anak-anak, 20-30%
urtikaria akut akan berkembang menjadi urtikaria kronis dan angka
hospitalisasi meningkat 3 kali lipat pada usia 0-4 tahun. Prognosis
urtikaria kronis lebih bervariasi. Sebanyak 30-50% remisi spontan, 20%
dalam 5 tahun, dan 20% akan menetap setelah 5 tahun (Siannoto M,
2017).

17
BAB III

RINGKASAN

Urtikaria merupakan salah satu manifestasi keluhan alergi pada kulit yang
paling sering dikeluhkan oleh pasien. Kelainan kulit ini ditandai dengan edema
kulit superfisial setempat dengan ukuran bervariasi dan sering dikelilingi oleh
eritem yang disertai rasa gatal atau panas, akibat keluarnya plasma dari pembuluh
darah. Early diagnosis pada urtikaria bisa ditegakkan dengan melakukan
anamnesa dan pemeriksaan fisik yang kuat dan mendalam.

Urtikaria secara umum dibagi menjadi dua, yaitu urtikaria akut dan kronik.
Klasifikasi ini berdasarkan perjalanannya. Urtikaria akut terjadi <6 minggu
terdapat eritrema meninggi lebar-lebar dan bisa disertai angiodema. Apabila >6
minggu berulang atau menetap meskipun telah diobati disebut sebagai urtikaria
kronis. klasifikasi penting untuk mengetahui patogenesis dan menentukan terapi.

Penatalaksanaan urtikaria dibedakan antara akut dan kronik. Pada urtikaria


akut, atasi keadaan akut terutama pada angioderma karena dapat terjadi obstruksi
saluran nafas. Diindikasikan pemberian epinefrin subkutan injeksi dosis dewasa
0,3-0,5 ml/kali bisa diulang 15-30 menit, dosis anak 0,1-0,3 ml/kali (BB<35kg),
yang dilanjutkan dengan pemberian kortikosteroid prednison 60-80 mg/hari
selama 3 hari, dosis diturunkan 5-10 mg/hari. Jika gejala yang timbul ringan bisa
menggunakan terapi topikal untuk mengurangi gatal, berupa bedak kocok atau
losio yang mengandung menthol 0.5-1% atau kalamin.

Sedangkan pada urtikaria kronik, melakukan edukasi dengan menghindari


faktor pencetus sebagai penyebab yang dapat menimbulkan urtikaria, sedangakan
pada farmakoterapi lini pertama yang digunakan adalah antihistamin H1 generasi
baru (non-sedasi) yang dikonsumsi secara teratur, bukan hanya digunakan ketika
lesi muncul, contoh antihistamin 1 generai II ada Loratadine dosis 1 x 10 mg atau
Cetirizine 1 x 10 mg. Bila gejala menetap setelah 2 minggu, diberikan terapi lini
kedua, yaitu dosis AH1-ns dinaikkan, dapat mencapai 4 kali dosis biasa, dengan
mempertimbangkan ukuran tubuh pasien. Dalam terapi lini ketiga ini, bila muncul

18
eksaserbasi lesi, dapat diberikan kortikosteroid sistemik prednison dosis 10-30
mg selama 3-7 hari. lini keempat, yaitu penambahan antihistamin H2 dan
imunoterapi, dapat berupa siklosporin A, omalizumab, imunoglobulin intravena
(IVIG), plasmaferesis, takrolimus oral, metotreksat, hikroksiklorokuin dan
dapson. Eksaserbasi lesi yang terjadi selama terapi lini keempat, diatasi dengan
pemberian kortikosteroid sistemik (prednison 10-30 mg) selama 3-7 hari.

19
DAFTAR PUSTAKA

Aisyah S dan Effendi E H. 2019. Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 7. Hal 311-314.

Budianti, Windy Keumala. 2019. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta :
FKUI. Edisi 7. Hal 300-303.

Debora V, dan Zuraida R. 2020. Penatalaksanaan Holistik pada Remaja Laki-


Laki dengan Urtikaria Kronik Tanpa Angioedema et causa Rangsangan
Fisik. Lampung : Medula.

Dewi Christina Cintia. 2018. Pemfigoid Bullosa pada Pasien Lanjut Usia dengan
Stroke Iskemik. Jakarta.

Martodiharjo Sunarko, Suyoso Sunarso, Ervianti Evi. 2005. Pedoan Diagnosis


dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Surabaya :
Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo. Edisi 3. Hal 87-88.

Nurlita Dessy, Barus Bachtera Awal, Anggraini Indira Dwi, Wahyudo Riyan.
2019. Neuropskiatrik Sistemik Lupus Eritematosus. Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung.

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. 2017. Paduan Praktik Klinis bagi
Dokter di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. Jakarta Pusat.

Siannoto M. 2017. Diagnosis dan Tatalaksana Urtikaria. Madiun.

Sukanto Hari, Pohan Sahat Saut, Hutomo Mursidi M., 2005, Pedoman Diagnosis
Dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kulit Dan Kelamin. Surabaya. Rumah Sakit
Umum Dokter Soetomo. Edisi 3. Hal 19-22.

Utami Rizky Aria, Anggraeni Indria Dwi, Hamzah Syafei Muhamad. 2019. Kasus
Morbus Hansen Tipe Lepramatosa dengan Neuritis Akut dan Cacat
Derajat Dua. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Wisnu I Made & Dailli S E dkk. 2019. Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. 2019.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 7. Hal 87-102.

20
21

Anda mungkin juga menyukai