PENDAHULUAN
1
samping itu, secepat mungkin dapat ditemukan faktor penyebab atau
pencetus, sehingga dapat dihindari atau dihilangkan (Debora V & Zuraida
R, 2020).
Oleh karena itu perlu adanya dukungan tenaga kesehatan berupa
perorangan ataupun instansi yang membantu dalam rangka tidak hanya
tindakan kuratif, tetapi juga promotif dan preventif. Pelayanan kesehatan
primer memegang peranan penting pada penyakit urtikaria dalam hal
penegakan diagnosis pertama kali, terapi yang tepat, dan edukasi
komunitas dalam pencegahan penyakit, karena penyakit ini mudah sekali
relaps (Debora V & Zuraida R, 2020).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Urtikaria adalah reaksi vaskular pada kulit, ditandai dengan adanya
edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan,
berwarna pucat atau kemerahan, umumnya dikelilingi oleh lesi kemerahan
(flare) dan disertai rasa gatal yang berat, rasa tersengat atau tertusuk
(Aisyah S & Effendi E H, 2019:311).
2.2 Epidemiologi
Urtikaria merupakan gangguan yang sering dijumpai. Fakor usia,
ras, jenis kelamin, pekerjaan, lokasi geografis dan musim mempengaruhi
jenis pajanan yang akan dialami seseorang. (Aisyah S & Effendi E H,
2019:311).
Di Indonesia, prevalensi urtikaria belum diketahui pasti. Penelitian
di Palembang tahun 2007 pada 3000 remaja usia 14-19 tahun,
mendapatkan prevalensi urtikaria sebesar 42,78%. Sebanyak 8-20%
populasi diperkirakan pernah atau akan menderita urtikaria dalam
perjalanan hidupnya dan sebanyak 0,1% akan berkembang menjadi
urtikaria kronis spontan. Prevalensi urtikaria kronis lebih kecil
dibandingkan urtikaria akut, yaitu 1,8% pada dewasa dan berkisar antara
0,1-0,3% pada anak. Prevalensi urtikaria kronis pada dewasa berdasarkan
durasinya adalah: 6-12 minggu (52,8%), 3-6 bulan (18,5%), 7-12 bulan
(9,4%), 1-5 tahun (8,7%), >5 tahun (11,3%), (Debora V & Zuraida R,
2020).
2.3 Etiopatogenesis
2.3.1 Etiologi
3
penyakit sistemik dan keganasan, proses autoimun dan rangsangan fisik.
Lebih dari 50% urtikaria kronik adalah idiopatik (Aisyah S & Effendi E H,
2019:311).
4
dibuktikan pada gastritis, esofagitis refluks, dan peradangan empedu
(Aisyah S & Effendi E H, 2019:312).
2.3.2 Patogenesis
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler
yang meningkat akibat pelepasan histamin dari sel mast dan basofil. Sel
mast adalah sel efektor utama pada urtikaria, dan mediator lain yang turut
berperan adalah serotonin, leukotrin, prostaglandin, protease dan kinin
(Aisyah S & Effendi E H, 2019:311).
Berbagai macam mekanisme dapat menyebabkan aktivasi sel mast,
digolongkan menjadi :
1. Faktor imunologik yang terdiri atas :
a. Hipersensitivitas tipe cepat yang diperantarai IgE,
contohnya alergi obat.
b. Aktivasi komplemen jalur klasik maupun alternatif,
menghasilkan anafilatoksin (C3a, C4a dan C5a)
yang menyebabkan mediator sel mast.
2. Faktor non-imunologik yang mengakibatkan aktivasi
langsung sel mast oleh penyebab, misalnya bahan kimia
5
pelepas mediator (morfin, kodein, media radio-kontras,
aspirin, obat anti-inflamasi non-steroid, benzoat), faktor
fisik (suhu, mekanik, sinar-X, ultraviolet, efek kolinergik).
2.4 Gejala Klinis
Rasa gatal yang hebat hampir selalu merupakan keluhan subyektif
urtikaria, dapat juga timbul rasa terbakar atau rasa tertusuk. Secara klinis
tampak lesi urtika yaitu eritema dan edema setempat yang berbatas tegas
dengan berbagai bentuk dan ukuran. Kadang-kadang bagian tengah lesi
tampak lebih pucat. Bila terlihat urtika dengan bentuk papular, patut
dicurigai adanya gigitan serangga atau sinar ultraviolet sebagai penyebab
(Aisyah S & Effendi E H, 2019:312). Dalam perjalanannya dibedakan dua
bentuk, yang pertama yaitu urtikaria akut timbul mendadak, menghilang
dengan cepat pada umumnya mudah diobati, yang kedua urtikaria kronis
timbul berulang-ulang atau menetap lebih dari 6 minggu meskipun sudah
diobati. (Sukanto h & Pohan dkk, 2005:19)
Gambar II.1 Urtikaria regio thorakalis
6
Urtikaria ditandai dengan timbulnya peninggian pada kulit dan atau
angioedema secara mendadak. Peninggian kulit pada urtikaria harus
memenuhi kriteria di bawah ini:
1. Ditemukan edema sentral dengan ukuran bervariasi, dan bisa
disertai eritema di sekitarnya
2. Terasa gatal atau kadang-kadang sensasi terbakar
3. Umumnya dapat hilang dalam 1-24 jam, ada yang < 1 jam
(Siannoto M, 2017).
2.5 Klasifikasi
2.5.1 Berdasarkan Durasi
Urtikaria dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi dan faktor yang
menginduksi (induced vs spontaneus). Berdasarkan durasi, urtikaria
dibedakan menjadi urtikaria akut dan kronis. Urtikaria akut terjadi <6
minggu, apabila >6 minggu disebut sebagai urtikaria kronis. Klasifikasi
berdasarkan durasi penting untuk mengetahui patogenesis dan menentukan
terapi (Siannoto M, 2017).
7
2.5.2 Berdasarkan Faktor Pencetus dan Bentuk Klinis
Bentuk Klinis :
8
5. Urtikaria alergika, bila karena alergi makana, obat.
6. Urtikaria idiopati, bila tidak diketahui penyebabnya.
9
6. Uji dermografisme dan uji dengan es batu (ice cube test) untuk
mencari penyebab fisik.
7. Pemeriksaan histopatologis kulit perlu dilakukan bila terdapat
kemungkinan urtikaria sebagai gejala vaskulitis atau
mastositosis (Aisyah S & Effendi E H, 2019:312).
10
malar dan melintasi hidung, dimulai dengan makula kecil atau
papul pada wajah kemudian konsfluens dan hiperkeratolitik. Dapat
meninggalkan sikatriks atrofik, kadang-kadang hipertrofik
(Budianti & Windy Keumala , 2019:301).
Gejala klinis :
a. Nyeri dan kaku sendi
b. Ruam di kulit, sering terjadi di daerah wajah, pipi
dan hidung
c. Kelelahan yang tidak diketahui sebabnya
d. Kulit lebih sensitif terhadap sinar matahari
e. Penurunan berat badan
f. Demam tanpa sebab yang jelas
g. Pucat pada jari tangan atau jari kaki
h. Sariawan
2.7.2 Morbus Hansen
Morbus Hansen atau kusta merupakan infeksi kronis yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang dapat menyerang
saraf perifer, kulit, mukosa saluran napas bagian atas dan organ
lain kecuali susunan saraf pusat. Morbus Hansen merupakan salah
satu masalah kesehatan utama yang ada di Indonesia. Gejala
Morbus Hansen atau kusta merupakan penyakit granulomatosa
yang ditandai dengan gejala pada kulit dan gejala kerusakan saraf
(Utami Rizky A, 2019).
Gejala yang umum terjadi :
a. Kelainan kulit dan organ lain
1. Hipopigmentasi ataupun eritema
2. Bercak mati rasa
3. Bercak tidak gatal
4. Kulit mengkilap atau kering bersisik
5. Tidak berkeringat atau berambut
6. Lepuh tidak nyeri
11
7. Facies leonina (gejala infiltrat yang difus di muka)
dan madarosis (penipisan alis mata bagian lateral)
b. Kelainan saraf tepi
1. Sensorik : hipoestesi atau anastesi (rasa kesemutan,
tertusuk-tusuk dan nyeri).
2. Motorik : kelemahan otot, di daerah ekstrimitas
atas/bawah, muka dan otot mata.
3. Autonom : menyerang persarafan kelenjar keringat
sehingga lesi terserang tampak lebih kering.
4. Adanya cacat (deformitas) dan luka yang sulit
sembuh.
(Wisnu I Made & Dailli S E dkk, 2019:87).
12
dianggap sebagai eksim basah (Martodiharjo S & Suyoso S dkk.,
2005:87).
2.8 Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan pada pelayanan Tingkat Pertama
dilakukan dengan first-line therapy, yaitu memberikan edukasi pasien
tentang penyakit urtikaria (penyebab dan prognosis) dan terapi
farmakologis sederhana (Paduan Praktik Klinis Primer, 2017:344).
2.8.1 Urtikaria Akut
Atasi keadaan akut terutama pada angioderma karena dapat
terjadi obstruksi saluran nafas. Penanganan dapat dilakukan di Unit
Gawat Darurat bersama-sama dengan atau dikonsultasikan ke
dokter spesialis THT (Paduan Praktik Klinis Primer, 2017:344).
Bila disertai obstruksi saluran nafas, diindikasikan
pemberian epinefrin subkutan yang dilanjutkan dengan pemberian
kortikosteroid prednison 60-80 mg/hari selama 3 hari, dosis
diturunkan 5-10 mg/hari (Paduan Praktik Klinis Primer, 2017:344).
13
b. Pemberian farmakoterapi dengan :
Asian consensus guidelines yang diajukan oleh AADV
pada tahun 2011 untuk pengelolaan urtikaria kronik dengan
menggunakan antihistamin H1 non-sedasi, yaitu :
1. Antihistamin H1 non-sedasi (AH1-ns), bila gejala
menetap setelah 2 minggu.
2. AH1-ns dengan dosis ditingkatkan sampai 4x, bila
gejala menetap setelah 1-4 minggu.
3. AH1 sedasi atau AH1-ns golongan lain + antagonis
leukotrien, bila terjadi eksaserbasi gejala, tambahkan
kortikosteroid sistemik 3-7 hari.
4. Bila gejala menetap setelah 1-4 minggu, tambahkan
siklosporin A, AH2, dapson, omalizumab.
5. Eksaserbasi diatasi dengan kortikosteroid sistemik 3-7
hari.
14
- Loratadine 10 mg/dosis, sehari 1 kali
- Cetrizinne 10 mg/dosis sehari 1 kali
2. Kobinasi antihistamin H1 dan H2
- Tablet cemetidine 200-400 mg, sehari 2-4 kali atau
800 mg sehari 1 kali waktu tidur malam
3. Kortikosteroid
- Prednison
Dewasa : 5-10 mg/dosis, sehari 3 kali
Anak : 1 mg/kgBB/hari
- Dexamethason
Dewasa : 0,5-1 mg/dosis, sehari 3 kali
Anak :0,1 g/kgBB/hari
4. Adrenalin
injeksi sub kutis, untuk yang akut dan sangat luas dengan
gejala angiodema, sesak, urtikaria seluruh tubuh dan
urtikaria yang tebal.
- Dewasa : 0,3-0,5 ml/kali, dapat di ulang 15-10 menit
kmudian
- Anak : 0,2-0,3 ml/kali (BB<35kg)
5. Tablet Epedrin HCL
pengganti injeksi adrenalin
- Dewasa : 0,5 tablet sehari 2 kali minum selama 3 hari
- Anak : 0,2-0,3 mg/kgBB/hari, sehari 2-3 kali
15
dengan mempertimbangkan ukuran tubuh pasien. Bila gejala
menetap setelah 1-4 minggu, dianjurkan penggunaan terapi lini
ketiga, yaitu mengubah jenis antihistamin menjadi AH1 sedasi
atau AH1-ns golongan lain, ditambah dengan antagonis
leukotrien, misalnya zafirlukast atau montelukast (Aisyah S &
Effendi E H, 2019:313).
16
Gambar III.2 Algoritma Terapi Urtikaria
2.9 Prognosis
Prognosis urtikaria akut umumnya baik, bisa hilang dalam 24 jam.
Urtikaria akut hampir tidak pernah menimbulkan kematian, kecuali bila
disertai angioderma saluran nafas bagian atas. Pada anak-anak, 20-30%
urtikaria akut akan berkembang menjadi urtikaria kronis dan angka
hospitalisasi meningkat 3 kali lipat pada usia 0-4 tahun. Prognosis
urtikaria kronis lebih bervariasi. Sebanyak 30-50% remisi spontan, 20%
dalam 5 tahun, dan 20% akan menetap setelah 5 tahun (Siannoto M,
2017).
17
BAB III
RINGKASAN
Urtikaria merupakan salah satu manifestasi keluhan alergi pada kulit yang
paling sering dikeluhkan oleh pasien. Kelainan kulit ini ditandai dengan edema
kulit superfisial setempat dengan ukuran bervariasi dan sering dikelilingi oleh
eritem yang disertai rasa gatal atau panas, akibat keluarnya plasma dari pembuluh
darah. Early diagnosis pada urtikaria bisa ditegakkan dengan melakukan
anamnesa dan pemeriksaan fisik yang kuat dan mendalam.
Urtikaria secara umum dibagi menjadi dua, yaitu urtikaria akut dan kronik.
Klasifikasi ini berdasarkan perjalanannya. Urtikaria akut terjadi <6 minggu
terdapat eritrema meninggi lebar-lebar dan bisa disertai angiodema. Apabila >6
minggu berulang atau menetap meskipun telah diobati disebut sebagai urtikaria
kronis. klasifikasi penting untuk mengetahui patogenesis dan menentukan terapi.
18
eksaserbasi lesi, dapat diberikan kortikosteroid sistemik prednison dosis 10-30
mg selama 3-7 hari. lini keempat, yaitu penambahan antihistamin H2 dan
imunoterapi, dapat berupa siklosporin A, omalizumab, imunoglobulin intravena
(IVIG), plasmaferesis, takrolimus oral, metotreksat, hikroksiklorokuin dan
dapson. Eksaserbasi lesi yang terjadi selama terapi lini keempat, diatasi dengan
pemberian kortikosteroid sistemik (prednison 10-30 mg) selama 3-7 hari.
19
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah S dan Effendi E H. 2019. Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 7. Hal 311-314.
Budianti, Windy Keumala. 2019. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta :
FKUI. Edisi 7. Hal 300-303.
Dewi Christina Cintia. 2018. Pemfigoid Bullosa pada Pasien Lanjut Usia dengan
Stroke Iskemik. Jakarta.
Nurlita Dessy, Barus Bachtera Awal, Anggraini Indira Dwi, Wahyudo Riyan.
2019. Neuropskiatrik Sistemik Lupus Eritematosus. Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung.
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. 2017. Paduan Praktik Klinis bagi
Dokter di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. Jakarta Pusat.
Sukanto Hari, Pohan Sahat Saut, Hutomo Mursidi M., 2005, Pedoman Diagnosis
Dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kulit Dan Kelamin. Surabaya. Rumah Sakit
Umum Dokter Soetomo. Edisi 3. Hal 19-22.
Utami Rizky Aria, Anggraeni Indria Dwi, Hamzah Syafei Muhamad. 2019. Kasus
Morbus Hansen Tipe Lepramatosa dengan Neuritis Akut dan Cacat
Derajat Dua. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
Wisnu I Made & Dailli S E dkk. 2019. Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. 2019.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 7. Hal 87-102.
20
21