Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PSIKOLOGI INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS


“Attention Deficit Hyperactivity (ADHD)”

KELAS D – 2018
KELOMPOK 7
Muhammad Daffa Putra Alam (201810230311220)
Rival Octarezzo (201810230311248)
Akhmad Ridho Kurniawan (201810230311251)
Muhammad Rezaldi (201810230311257)
Yazid Yugiantara Putra (201810230311273)

DOSEN PENGAMPU
Putri saraswati, M.Psi & Uun Zulfiana, M.Psi

Asisten Dosen :
Dinda Ayu Sasmi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2021
A. SEJARAH DAN PENGERTIAN
- Sejarah
Istilah ADHD merupakan istilah baru, tetapi anak yang over aktif
telah terjadi sejak lama. Seorang neurolog, Heinrich Hoffman pada tahun
1845 untuk pertama kalinya menulis mengenai perilaku yang kemudian
dikenal dengan hiperaktif dalam buku cerita anak karangannya. Dalam
literatur lain dijelaskan, ADHD pertama kali dikemukakan oleh seorang
dokter Inggris, George F. Still di dalam penelitiannya terhadap
sekelompok anak yang menunjukkan suatu ”ketidakmampuan abnormal
untuk memusatkan perhatian, gelisah, dan resah”. Ia mengemukakan
bahwa anak-anak tersebut memiliki kekurangan yang serius dalam hal
kemauan yang berasal dari bawaan biologis. Gangguan tersebut
disebabkan oleh sesuatu didalam diri anak dan bukan karena faktor
lingkungan (Baihaqi & Sugiarman, 2006: 4).
Pendapat lain menyatakan, bahwa ADHD disebabkan oleh epidemi
encephalitis (peradangan otak) yang menyebar keseluruh dunia yang
terjadi sejak 1917 – 1926. Bagi banyak anak yang bertahan hidup, hal itu
dapat menimbulkan berbagai masalah perilaku, termasuk mudah marah,
perhatian yang lemah, dan hiperaktif. Anak-anak yang mengalami
trauma kelahiran, luka dibagian otak, atau mengalami keracunan
memperlihatkan masalah perilaku yang diberi nama “brain injured
child syndrome” yang terkadang dikaitan dengan retardasi mental
(terbelakang mental) (Baihaqi & Sugiarman, 2006: 5).
Pada tahun 40 dan 50-an, istilah ini berganti menjadi „minimal brain
damage disingkat MBD atau kerusakan otak minimal dan „minimal
brain dysfunction‟ atau disfungsi minimal otak disingkat DMO
(AA Strauss dan lehtinen, 1986 dalam Baihaqi & Sugiarman, 2006: 6).
Tekanan bergeser dari etiologi menuju ungkapan perilaku, dan
hiperaktifitas menjadi ciri yang menentukan. Proses menganalisis gejala-
gejalanya sebagai cara menjelaskan sindrom tersebut diperkuat oleh
penelitian yang berpengaruh. Mereka menganggap bahwa perhatian
menjadi ciri kunci dari ADHD tersebut, bukan hiperkativitas. Sehingga
kata kunci dari ADHD adalah perhatian (Baihaqi & Sugiarman, 2006:
6).
Pada akhir tahun 50-an ADHD disebut dengan hiperkinesis yang
biasanya ditujukkan terhadap lemahnya penyaringan stimuli yang masuk
dalam otak. Pandangan ini membawa pada definisi sindrom anak
hiperaktif, yaitu gerak yang berlebihan digambarkan sebagai ciri utama
ADHD. Namun, tidak lama kemudian, dikatakan bahwa hiperaktif bukan
satu-satunya masalah, yaitu kegagalan anak dalam mengatur aktivitas
gerak yang selaras dengan situasi (Baihaqi & Sugiarman, 2006: 6).
Pada tahun 70-an, terdapat pendapat bahwa selain hiperaktif,
rendahnya perhatian dan kontrol gerak juga merupakan simtom utama
ADHD. Teori ini banyak diterima dan mempunyai pengaruh kuat
terhadap Diagnostic and Statistical Manual (DSM) dalam menggunakan
definisi ADHD (Baihaqi & Sugiarman, 2006: 6). Dalam
perkembangannya, setelah dilakukan usaha untuk merumuskan kembali
ADHD yang berulang-ulang sampai menghasilkan klasifikasi ragam
gangguan. Sekarang telah ada dalam DSM IV mengenai gangguan
ADHD (Baihaqi & Sugiarman, 2006: 7).

Istilah Attention Deficit Disorder (ADD) pertama sekali diperkenalkan


pada tahun 19980an dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder (DSM) III edisi ketiga yang menjadi panduan psikiatris. Ada
tahun 1994 istilah tersebut diganti Attentions Deficit Hyperactivity
Disordern(ADHD) merupakan gangguan perilaku yang paling banyak
didiagnosis pada anak-anak dan remaja. Gejala intinya meliputi tingkat
aktivitas dan impulsivitas yang tidak sesuai perkembangan serta
kemampuang mengumpulkan perhatian terganggu (Konofal et al., 2008).
- Pengertian
Attention deficit hyperactive disorder (ADHD) merupakan salah satu
jenis kondisi berkebutuhan khusus yang termasuk dalam gangguan
perilaku. ADHD adalah gangguan perkembangan dalam peningkatan
aktivitas motorik anak-anak hingga menyebabkan aktivitas anak-anak
yang cenderung berlebihan (Baihaqi dan Sugiarmin, 2006).
Attention-Deficit/Hyperactive Disorder atau ADHD adalah nama yang
diberikan untuk anak-anak, remaja, dan beberapa orang dewasa, yang
kurang mampu meperhatikan, mudah dikacaukan, dengan over aktif, dan
juga impulsif. ADHD adalah suatu gangguan neurobiologi, dan bukan
penyakit yang mempunyai penyebab yang spesifik. Banyak macam faktor
yang disebut sebagai penyebab ADHD (Millichap, 2013:1). Sejalan
dengan itu, Baihaqi dan Sugiarman (2006: 2) juga didefinisikan secara
umum bahwa, ADHD adalah kondisi anak-anak yang memperlihatkan
ciri-ciri atau gejala kurang konsentrasi, hiperaktif dan impulsif yang dapat
menyebabkan ketidakseimbangan sebagian besar aktivitas hidup mereka.
Pengertian itu didukung oleh Peters dan Douglas (dalam Rusmawati &
Dewi, 2011:75) yang mendiskripsikan “attention deficit hyperactivity
disorder” (ADHD), sebagai gangguan yang menyebabkan individu
memiliki kecenderungan untuk mengalami masalah pemusatan perhatian,
kontrol diri, dan kebutuhan untuk selalu mencari stimulasi.
Sedangkan menurut Barkley (2006 dalam Rusmawati & Dewi,
2011:75) ADHD adalah hambatan untuk mengatur dan mempertahankan
perilaku sesuai peraturan dan akibat dari perilaku itu sendiri. Gangguan
tersebut berdampak pada munculnya masalah untuk menghambat,
mengawali, maupun mempertahankan respon pada suatu situasi.
Selanjutnya Baihaqi & Sugiarman (2006: 3) mengungkapkan bahwa
ADHD merupakan suatu gangguan kronis (menahun) yang dapat dimulai
pada masa bayi dan dapat berlanjut sampai dengan dewasa. Gangguan
anak ADHD dapat berpengaruh negatif terhadap kehidupan anak di
sekolah, di rumah, di dalam komunitasnya. Sedangkan menurut DSM-IV
(APA 1994) secara khas menggambarkan bahwa ADHD merupakan
kesatuan dari tiga rangkaian kurangnya perhatian, hiperaktif dan juga
impulsif (Kutscher, 2005:41).
Pengertian itu didukung oleh hasil observasi yang dipimpin Russell
Barkley dan kawan-kawan (dalam Kutscher, 2005:43) yang
menggambarkan ADHD sebagai ketidakmampuan untuk menghambat,
bukan ketidakmampuan memperhatikan dalam diri mereka. Anak ADHD
yang tidak mampu melakukan pengereman, maka mereka :
a) Tidak mampu menahan gangguan : kurang memperhatikan
b) Tidak mampu mengontrol pemikiran : Impulsif
c) Tidak mampu mengontrol tindakan seperti gangguan atau
:pikiran Hiperaktif.
DSM-IV (APA 2000, dalam Lovecky, 2004:45) menggambarkan
ADHD sebagai gangguan yang dapat dideteksi sebelum anak usia 7 tahun,
namun dalam prakteknya banyak orang yang tidak mendiagnosis hal ini
sampai dengan usianya bertambah. ADHD dibagi menjadi 3 subtipe: tipe
predominan tidak adanya perhatian, tipe predominan hiperaktif/impulsif,
dan tipe kombinasi yang ditandai oleh tidak adanya perhatian dan
hiperaktivitas-impulsivitas tingkat tinggi (APA, 2000 dalam Nevid,
Rathus & Greene, 2005:160).
Taraf kecerdasan anak ADHD pada umumnya bervariasi dari di
bawah rata-rata maupun lebih tinggi. Anak dengan ADHD cenderung
memiliki skor rendah pada subtes WISC dari peringkat terendah, yaitu
object assembly, picture arrangement, information, comprehension, digit
span, dan block design. Subtes-subtes tersebut mencerminkan berbagai
keterbatasan yang dialami dalam hal visual motor coordination, visual
perception, organization, visual-spatial relationship and field dependence,
sequence ability, planning ability, effects of uncertainty, and social
sensitivity. Dengan berbagai keterbatasan tersebut anak dengan ADHD
mengalami masalah perilaku, sosial, kognitif, akademik, dan emosional,
serta mengalami hambatan dalam mengaktualisasikan potensi
kecerdasannya (Ferdinand, 2007: 14).
Aktivitas dan kegelisahan pada anak ADHD menghambat kemampuan
mereka di sekolah. Mereka tampak tidak dapat duduk dengan tenang,
mereka gelisah dan bergerak-gerak di kursi, mengganggu kegiatan anak
lain, mudah marah dan dapat melakukan perilaku yang berbahaya seperti
berlari ke jalan tanpa melihat keadaan dijalan terlebih dahulu (Nevid J.F.
dkk, 2003: 160). Berdasarkan dari beberapa pendapat diatas peneliti dapat
mengambil kesimpulan bahwa ADHD adalah salah satu gangguan
pemusatan perhatian, hiperaktif serta impulsifitas yang dapat dideteksi
sejak usia dini.
B. PREVALENSI
Dalam Data Diagnotic and Statistic Manual (DSM V) dinyatakan
bahwa prevalensi anak ADHD (terutama anak usia 12 tahun) berkisar antara
3-7%. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Nasional (BPSN),
prevalensi anak dengan ADHD tahun 2007 terdapat 8,3 juta anak dari 82 juta
anak Indonesia yang di antaranya adalah anak berkebutuhan khusus.
C. PENYEBAB
- Menurut dugaan terdapat hubungan genetik dan dan faktor neourologikal
yang memainkan peran penting dalam penyebab terjadinya ADHD.
- Faktor etilogi dari ADHD laqin yang dikatakan memiliki kontribusi dalam
menyebabkan ADHD adalah sebagai berikut :
1. Faktor Biologi
Diet, kontaminasi rokok dan alkohol, merokok saat hamil, dan
berat bayi lahir rendah (BBLR) dipercaya dapat mengarahkan
kepada gejala ADHD. Namun bukan termasuk penyebab utama
dari ADHD. Kehamilan dan komplikasi saat melahirkan
merupakan predisposisi terhadap ADHD.
2. Faktor Psikologis
Konflik kronis dalam keluarga, kohesi keluarga menurun, dan
paparan terhadap psikopatologi orang tua (terutama ibu) bvanyak
di temukan pada keluarga ADHD dibvandingkan ditemukan pada
keluarga normal. Saat ini masih belum jelas apakah paparan
kekerasan saat masih kecil merupakan factor resiko dari ADHD.
3. Faktor Genetik
Genetik sangat dipercayai memainkan peran penting terhadap
terjadinya ADHD. Berdasarkan dari beberapa penelitian yang
telah dilakukan, terjadinya ADHD adalah sebesar 77%.

D. KARAKTERISTIK PSIKOLOGIS DAN PERILAKU


Gejala dari ADHD tipe lalai yang paling sering adalah individu mudah
diganggu, sulit untuk mempertahankan perhatian, dan berkelanjutan.
Sedangkan gejala ADHD tipe hiperatif-implusif adalah individu sering
berkata tanpa berfikir terlebih dahulu, suka menyela dan mengganggu, serta
gelisah.
Anak-anak remaja, dan orang dewasa dengan ADHD tipe lalai lebih
banyak diderita oleh wanita dibandingkan pria dan memiliki lebih sedikit
masalahg emosi dan perilaku dibandingkan dengan tipe lainnya. Namun
remaja dengan ADHD tipe lali ini memiliki penurunan akademik yang lebih
besar dibandingkan dengan remaja dengan tipe ADHD hiperaktif-implusif.
Orang dewasa dengan tipe ADHD gabungan memiliki tingkat
perkembangan ke gangguang perilaku, gangguan bipolar, dan psikosis yang
lebih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang memiliki tipe lalai
dan hiperaktif-implusif. Individu dengan tipe ADHD tipe gabungan juga
memiliki lebih banyak gangguan kejiwaan dan penyalah gunaan obat-obatan
dan hal ini merupakan gangguan yang paling umum terjadi.
E. IDENTIFIKASI DAN ASESMEN
ADHD merupakan suatu gangguan yang kompleks berkaitan dengan
pengendalian diri dalam berbagai variasi gangguan tingkah laku. Variasi
gangguan ini seperti dikatakan oleh Lauer (1992) bahwa secara umum
gangguan pemusatan perhatian berkaitan dengan gangguan tingkah laku dan
aktivitas kognitif, seperti misalnya berpikir, mengingat, menggambar,
merangkum, mengorganisasikan dan lain-lain.
Berikut ciri ADHD, dimana ciri-ciri ini muncul pada masa kanak-
kanak awal, bersifat menahun, dan tidak diakibatkan oleh kelainan fisik yang
lain, mental, maupun emosional. Ciri utama individu dengan gangguan
pemusatan perhatian meliputi: gangguan pemusatan perhatian (inattention),
gangguan pengendalian diri (impulsifitas), dan gangguan dengan aktivitas
yang berlebihan (hiperaktivitas).

Dapat dijelaskan sebagai berikut:


a. Inatensi
Yang dimaksud adalah bahwa sebagai individu penyandang gangguan
ini tampak mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatiannya. Mereka
sangat mudah teralihkan oleh rangsangan yang tiba-tiba diterima oleh alat
inderanya atau oleh perasaan yang timbul pada saat itu. Dengan demikian
mereka hanya mampu mempertahankan suatu aktivitas atau tugas dalam
jangka waktu yang pendek, sehingga akan mempengaruhi proses penerimaan
informasi dari lingkungannya.
b. Impulsifitas
Yang dimaksud adalah suatu gangguan perilaku berupa tindakan yang
tidak disertai dengan pemikiran. Mereka sangat dikuasai oleh perasaannya
sehingga sangat cepat bereaksi. Mereka sulit untuk memberi prioritas
kegiatan, sulit untuk mempertimbangkan atau memikirkan terlebih dahulu
perilaku yang akan ditampilkannya. Perilaku ini biasanya menyulitkan yang
bersangkutan maupun lingkungannya.
c. Hiperaktivitas
Yang dimaksud adalah suatu gerakan yang berlebuhan melebihi
gerakan yang dilakukan secara umum anak seusianya. Biasanya sejak bayi
mereka banyak bergerak dan sulit untuk ditenangkan. Jika dibandingkan
dengan individu yang aktif tapi produktif, perilaku hiperaktif tampak tidak
bertujuan. Mereka tidak mampu mengontrol dan melakukan koordinasi dalam
aktivitas motoriknya, sehingga tidak dapat dibedakan gerakan yang penting
dan tidak penting. Gerakannya dilakukan terus menerus tanpa lelah, sehingga
kesulitan untuk memusatkan perhatian.
Pedoman Identifikasi
Untuk melakukan identifikasi ADHD dapat digunakan pedoman yang
di keluarkan oleh American Psychiatric Association, yang menerapkan
kriteria untuk menentukan gangguan pemusatan perhatian dengan mengacu
kepada DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 4th
edition tahun 2005) sebagai berikut:
1. Kurang Perhatian
Pada kriteria ini, anak ADHD paling sedikit mengalami enam atau
lebih dari gejala-gejala berikutnya, dan berlangsung selama paling sedikit
6 bulan sampai suatu tingkatan yang maladaptif dan tidak konsisten
dengan tingkat perkembangan.
a) seringkali gagal memerhatikan baik-baik terhadap sesuatu yang detail
atau membuat kesalahan yang sembrono dalam pekerjaan sekolah clan
kegiatankegiatan lainnya,
b) seringkali mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian terhadap
tugas-tugas atau kegiatan bermain,
c) seringkali tidak mendengarkan jika diajak bicara secara langsung,
d) seringkali tidak mengikuti baik-baik instruksi clan gagal dalam
menyelesaikan pekerjaan sekolah, pekerjaan,atau tugas di tempat kerja
(bukan disebabkan karena perilaku melawan atau kegagalan untuk
mengerti instruksi),
e) seringkali mengalami kesulitan dalam menjalankan tugas dan
kegiatan,
f) seringkali kehilangan barangf benda penting untuk tugas-tugas clan
kegiatan, misalnya kehilangan permainan;kehilangan tugas
sekolah;kehilangan pensil, buku, dan alat tulis lain,
g) seringkali menghindari, tidak menyukai atau enggan untuk
melaksanakan tugas-tugas yang membutuhkan usaha mental yang
didukung, seperti menyelesaikan pekerjaan sekolah atau pekerjaan
rumah,
h) seringkali bingung/terganggu oleh rangsangan dari luar, dan
i) seringkali cepat lupa dalam menyelesaikan kegiatan sehari-hari.
2. Hiperaktivitas Impulsifitas
Paling sedikit enam atau lebih dari gejala-gejala hiperaktivitas
impulsifitas berikutnya bertahan selama paling sedikit 6 bulan sampai dengan
tingkatan yang maladaptif dan tidak dengan tingkat perkembangan.
Hiperaktivitas
a) seringkali gelisah dengan tangan atau kaki mereka, dan sering
menggeliat di kursi,
b) sering meninggalkan tempat duduk di dalam kelas atau dalam situasi
lainnya di mana diharapkan agar anak tetap duduk
c) sering berlarian atau naik-naik secara berlebihan dalam situasi di mana
hal ini tidak tepat. (Pada masa remaja atau dewasa terbatas pada
perasaan gelisah yang subjektif),
d) sering mengalami kesulitan dalam bermain atau terlibat dalam
kegiatan senggang secara tenang,
e) sering 'bergerak' atau bertindak seolah-olah 'dikendalikan oleh motor',
dan sering berbicara berlebihan.
Impulsivitas
a) Mereka sering memberi jawaban sebelum pertanyaan selesal.
b) Mereka sering mengalami kesulitan menanti giliran.
c) Mereka sering menginterupsi atau mengganggu orang lain, misalnya
memotong pembicaraan atau permainan
3. Beberapa gejala hiperaktivitas impulsifitas atau kurang perhatian yang
menyebabkan gangguan muncul sebelum anak berusia 7 tahun.
4. Ada suatu gangguan di dua atau lebih seting/situasi.
5. Harus ada gangguan yang secara klinis, signifikan di dalam fungsi sosia!,
akademik, atau pekerjaan.
6. Gejala-gejala tidak terjadi selama berlakunya PDD, skizofrenia, atau
gangguan psikotik lainnya, dan tidak dijelaskan dengan lebih baik oleh
gangguan mental lainnya.
Prosedur Identifikasi
Untuk melakukan identifikasi yang tepat, perlu memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
Pertama perspektif orang tua meliputi beberapa hal, yaitu
a) wawancara yang teliti, seperti tinjauan ciri-ciri, riwayat
perkembangan,ciri-ciri depresi orang tua, pengaruh-pengarh lain dari
ciri yang muncul pada anak terhadap oang tua,
b) lembar cek perilaku anak (Conner’s Rating Scale),
c) pertanyaan situasi rumah,
d) formulir riwayat perkembangan, dan
e) survei penyesuaian perkawinan menggunkan instrumen temuan dari
Locke-Wallace.
Kedua perspetif anak meliputi beberapa hal, yaitu
a) wawancara,
b) pemeriksaan IQ,
c) tes prestasi,
d) kajian tentang keadaan sekolah,
e) observasi interaksi orang tua dan anak.
Ketiga perspektif sekolah meliputi beberapa hal, yaitu
a) diskusi dengan orang tua,
b) observasi ruang kelas,
c) formulir penilaian guru atau Conner’s Rating Scale, dan
d) Rating Scale perilaku dengan instrumen Kendall-Wilcox
Selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah pengaruh ADHD terhadap
anak itu sendiri dan orang-orang yang berada di lingkungannya. Meskipun
kelihatannya sederhana, namun pengaruh ADHD dapat dilihat dalam tiga
bidang utama, yaitu aspek pendidikan, perilaku, dan sosial anak.
Gambaran ADHD ini dapat diterangkan lebih rinci sebagai berikut:
1. Perhatian yang pendek
Individu dengan gangguan ini mengalami kesulitan untuk memusatkan
perhatian dan cenderung melamun, kurang motivasi, sulit mengikuti instruksi.
Mereka sering menunda atau menangguhkan tugas yang diberikan dan
kesulitan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan karena cepat berpindah
ke topik lain.
2. Menurunnya daya ingat jangka pendek.
Individu ini mengalami kesulitan dalam mengingat informasi yang
baru didapat untuk jangka wakyu yang pendek. Keadaan ini dapat
mempengaruhi kegiatan belajar, karena anak cenderung tidak dapat merespon
dengan baik setiap instruksi. Dengan demikian mereka juga mengalami
kesulitan dalam mempelajari simbol-simbol, seperti warna dan alphabet.
3. Gangguan motorik dan koordinasi.
Masalah perkembangan individu ini mempengaruhi keterampilan
motorik kasar dan halus atau koordinasi mata dan tangan. Dalam keterampilan
motorik kasar, mereka mengalami kesulitan dalam keseimbangan melompat,
berlari, atau naik sepeda. Dalam keterampilan motorik halus, seperti
mengancingkan baju, memakai tali sepatu, menggunting, mewarnai, dan
tulisannya sulit dibaca. Dalam koordinasi mata-tangan seperti melempar bola,
menangkap bola, menendang, maka gerakan-gerakannya cenderung terburu-
buru. Hal ini tampak juga ketika mengikuti kegiatan olah raga, gerakan-
gerakannya tampak kurang terampil.
4. Gangguan dalam mengatur atau mengorganisir kegiatan.
Gangguan dalam hal ini seringkali nampak ketika anak mengatur
kamarnya. Mereka kelihatannya kesulitan, demikian juga dalam kegiatan
sehari-hari lainnya. Hal ini nampak juga ketika anak mengikuti ulangan atau
ujian. Mereka kurang dapat memperhatikan atau menimbang jawaban yang
tepat, sehingga seringkali memperoleh nilai yang kurang dari rata-rata
kelasnya.
5. Terdapat gangguan impulsivitas.
Individu dengan gangguan ini sering bertindak sebelum berpikir.
Mereka tidak memikirkan terlebih dahulu apa akibatnya bila melakukan suatu
perbuatan. Sebagai contoh ketika menyeberang jalan tanpa melihat dulu ke
kiri dan ke kanan. Sering memanjat. melompat dari ketinggian yang
berbahaya untuk ukurannya. menyalakan api, dan lain sebagainya..
Kecenderungannya, individu seakan-akan menempatkan dirinya dalam suatu
kondisi yang mempunyai resiko tinggi, bahkan seringkali berbahaya bagi
orang lain. Impulsivitas ini muncul pula dalam bentuk verbal. Mereka
berbicara tanpa berpikir lebih dahulu, tidak memperhitungkarn bagaimana
perasaan orang lain yang mendengarkan, apakah akar. menyinggung atau
menyakitkan hati. Bentuk lain dari impulsivita_ adalah anak seperti tidak
sabaran, kurang mampu untuk menuna: keinginan, menginterupsi
pembicaraan orang lain. Cepat marah jika orang lain melakukan sesuatu di
luar keinginannya.
6. Kesulitan untuk menyesuaikan diri.
Individu dengan gangguan ini sering mempunyai masalah dalam
penyesuaian diri terhadap semua hal yang baru, misalnya sekolah, guru,
rumah, baju baru. Mereka lebih menyukai lingkungan yang sudah dikenal
dengan baik, tidak mudah berubah, dan bersifat kekeluargaan. Keadaan ini
dapat menyebabkan mereka lebih cepat menjadi putus asa. Seringkali apa
yang sudah menjadi kebiasaan sejak kecil akan berlanjut terus sampai dewasa.
7. Gangguan memiliki ketidakstabilan emosi, baik watak maupun suasana hati.
Individu dengan gangguan ini menampakkan pula perilaku sangat
labil dalam menentukan derajat suasana hati dari sedih ke gembira. Stimulus
yang menyenangkan akan menyebabkan kegembiraan yang berlebihan,
sedang rangsang yang tidak menyenangkan akan memunculkan kemarahan
yang besar. Anak seringkali marah hanya disebabkan oleh faktor pemicu yang
sepele. Mereka juga cenderung mengalami masalah untuk merasakan
kegembiraan. Pada masa remaja kurang merasakan perasaan kehilangan
semangat atau tidak berdaya. Selain itu pada gangguan ini konsep diri yang
dimiliki sangat rendah. Kebanyakan mereka menolak untuk bermain dengan
teman seusianya, mereka lebih suka bermain dengan yang lebih mudah
usianya. Keadaan ini menunjukkan pertanda awal dari harga diri yang rendah.
Apabila dikemudian hari mereka tidak menunjukkan kemajuan di sekolah
atau tidak dapat mengembangkan keterampilan sosial, akan menimbulkan
perasaan citra diri yang negatif yang membuat rasa harga dirinya semakin
menurun.
F. PERTIMBANGAN PENDIDIKAN
Anak ADHD seperti anak pada umumnya membutuhkan
pengembangan diri yaitu melalui belajar. Karena hambatan yang dialaminya
pemenuhan kebutuhan akan belajar pada anak ADHD tidak semulus pada
anak umumnya. Tanpa bantuan yang dirancang secara khusus akan sulit bagi
anak untuk bisa belajar secara optimal. Ia akan kesulitan mengoptimalkan
potensi yang dimilikinya. Padahal secara umum potensi kecerdasannya relatif
baik, bahkan sama seperti anak pada umumnya.
Untuk memenuhi kebutuhan belajar anak ADHD tidaklah mudah,
dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan yang lebih. Dan yang paling
mendasar adalah ketangguhan , kesungguhan , dan kesabaran dalam
membantu anak belajar yang memang lain dari yang lain. Oleh karena itu
penting terutama bagi orang tua dan guru bekerjasama dan mencari cara-cara
terbaik untuk dapat memilih berbagai strategi pembelajaran yang sesuai bagi
anak.
Kegagalan dalam belajar pada anak ADHD lebih disebabkan karena
anak mengalami kesulitan mengendalikan diri. Dorongan-dorongan
emosional yang muncul seperti ke luar dari tempat duduk, tindakan
impulsivitas, yang tanpa bisa dikendalikan sangat merugikan diri anak sendiri
dan orang lain. Keadaan ini sering mengganggu lingkungan belajar di kelas,
sehingga anak dijauhi atau diasingkan oleh teman-temannya.
Untuk belajar anak butuh lingkungan yang tenang, kondusif, dan
terkendali. Pengelolaan kelas dengan memperhatikan keberagaman peserta
didik, jika dapat diterapkan secara konsisten dan konsekuen akan dapat
membantu menciptakan suasana yang memungkinkan semua anak dapat
belajar.
Oleh karena itu anak ADHD pengaturan kegiatan yang terjadwal tidak
hanya dalam pengendlian diri tetapi juga pengaturan di dalam memenuhi
kebutuhan belajar. Pengaturan belajar yang konsisten tetapi fleksibel dapat
diterapkan dalam pengaturan kelas, pembelajaran, dan ketika pemberian
tugas.
G. INTERVENSI
Sensori integrasi merupakan pendekatan treatment yang secara klinis
bertujuan agar memberikan kesempatan anak yang memiliki kesulitan belajar
tertentu untuk mencapai potensi maksimalnya. Meskipun demikian, harus
diapresiasi bahwa konsep ini hanya hipotesa dan saat ini harus dibuktikan.
Fisher dkk (1991) memperkuatnya dan merujuk pada hipotesis fersus fakta ,
mereka berpendapat kebutuhan untuk penelitian empiris untuk menyediakan
dasar teori sensori integrasi sedang direfisi dan dimodifikasi sebagai
pengetahuan baru (Wilson,1998:1).
Terapi integrasi sensori, juga dikenal sebagai SI terapi, adalah suatu
metode perlakuan yang diberikan pada anak-anak yang mempunyai
permasalahan dalam memproses stimuli sensori, disebut gangguan integrasi
sensori. Terapi ini fokus untuk meningkatkan kapasitas anak untuk
mengintegrasikan input dari sensori. Maka dari itu, sangat penting untuk
memberi perlakuan pada anak yang mengalami tipe gangguan ini dengan
jalan positif (Horowitz & Rost, 2007:4). Terapi SI dapat bermanfaat pada
permasalahan seperti kesulitan belajar, permasalahan motorik, dyspraxia,
kesulitan tingkah laku, gangguan kecemasan, autism, hemiplegia (Otot kejang
terutama pada satu sisi badan), dan whiplash (Horowitz & Rost, 2007:4).
Terapi SI menggunakan suatu pendekatan neurofisiologik untuk
penerapan dan dapat mengurangi hiperaktivitas dan permasalahan perhatian.
Ini merupakan langkah pertama yang diminati orang tua serta pada mereka
yang tidak menginginkan anaknya mengkonsumsi obat- obatan. Terapi SI
melihat perilaku hiperaktif sebagai suatu masalah pengolahan informasi di
dalam sistem nervous pada anak. Mereka menerapkan model bersifat
neurofisiologi pada treatment yang diberikan berupa okupasi, fisik, dan terapi
wicara. Terapis yang profesional pada umumnya menggunakan alat ukur yang
dikembangkan terutama untuk anak-anak oleh Ayres (Horowitz &
Rost,2007:5).
Prosedur treatment integrasi sensori membantu dalam mengontrol
input sensori yang terintegrasi dalam level otak yang menghasilkan
penambahan output gerakan. Treatment juga memfasilitasi fungsi area otak
lainnya termasuk dalam pembelajaran, koordinasi, berbicara, bahasa penerima
dan ekspresi serta perilaku. Harus dicatat ini merupakan model yang
sederhana kombinasi yang lebih rumit sangat mungkin, misalnya dimana
input sensori efisien tetapi tahap lain tidak (Wilson, 1998:2).
SI bukan tentang pengajaran keterampilan baru kepada anak,
melainkan membantu otak anak mengembangkan proses yang menjadi dasar
untuk keterampilan hidup. Terapi SI menggunakan metode mainan dan
eksplorasi murni yang bisa diberikan oleh terapis okupasi, terapis wicara dan
juga terapis fisik. Ketika terapi berlangsung anak aktif dalam permainan.
Permainan ini ditentukan oleh anak, sehingga peran terapis adalah sebagai
fasilitator anak. Ketika seorang anak benar-benar kacau dan tidak mampu
membuat keputusan, barulah terapis membantunya dalam menentukan pilihan
dengan mengacu pada dorongan agar anak mampu menentukan pilihan
(Horowitz & Rost,2007 : 89).
Anak dengan gangguan SI tidak dapat beradaptasi secara optimal, hal
ini disebabkan karena fungsi neurologisnya tidak mengembangkan proses
untuk mengintegrasikan input sensorik dari lingkungannya. Individu ini
membutuhkan lingkungan yang khusus disiapkan untuk memenuhi kebutuhan
neurologisnya (Ayres, 1979). Jika lingkungan disiapkan dengan benar (sesuai
dengan kebutuhannya), maka individu tersebut dapat mengintegrasikan input
yang diterima dan berespon secara tepat (adaptif).
Interaksi anak dengan lingkungan sangat membantu dalam
perkembangan otaknya. Seorang anak yang normal, tidak perlu mengikuti
terapi karena lingkungan menyediakan semua kebutuhan untuk
perkembangan fungsi neurologisnya. Lain halnya anak dengan kebutuhan
khusus (ASD/Autism spectrum disorder, ADHD, minimal brain dysfunction),
mereka memerlukan perlakukan khusus agar mereka dapat merespon input
yang ada di sekitarnya dengan tepat.
Terapi okupasi dengan pendekatan SI menggunakan pendekatan
bermain dengan anak, karena dunia bermain adalah dunia terdekat untuk
dapat menggambarkan perilaku anak. Di dalam ruang terapi, disediakan
berbagai macam input untuk dapat diolah , input yang tersedia: input
proprioseptif berupa perlengkapan main, yaitu luncuran, “prosotan”, input
vestibular, berupa berbagai macam bentuk ayunan, trampolin. Input taktil
(kulit) diwakili oleh bermacam-macam tektrus permukaan lantai, kain, dll
(Gunadi, 2008:7).
Dalam sebuah pidato yang disampaikan oleh Gunadi (2008)
diungkapkan ciri-ciri dari terapi sensori integrasi adalah:
a. Anak merasakan dan terlibat dengan input yang ada di sekitarnya
(sensory enriched)
b. Fungsi dari terapis adalah sebagai fasilitator dan anak yang
menentukan arah / keinginannya. Prinsip ini yang membedakan
terapi sensory integration dengan pendekatan terapi kaum
behavioris (Applied Behavior Analysis / ABA). Pada terapi ABA,
kurikulum terapi ditetapkan oleh terapis (teacher-directed and
controlled), anak digambarkan sebagai sosok yang pasif (Murphy,
1997)
c. Tidak boleh memaksakan kehendak, karena fungsi terapis hanya
sebagai fasilitator, anak yang menentukan
d. Just the right challenge: tingkat kesulitan harus selangkah lebih
maju dibandingkan kemampuan anak sekarang. Tantangan yang
diberikan tidak terlalu sulit tapi juga memiliki kemungkinan gagal
e. FUN, arti kata FUN ini adalah permainan harus menyenangkan
dari sudut pandang anak, bukan dari sudut pandang terapis
Beberapa teknik yang digunakan dalam terapi okupasi dengan pendekatan SI:
a. Wilbarger protocol
b. MORE (Motor, Oral Respiratory and Eye coordination)
c. Listening therapeutic
d. Sensory base activity
H. TRANSISI MENUJU TAHAP DEWASA
Orang dewasa dengan tipe ADHD gabungan memiliki tingkat
perkembangan ke gangguan perilaku, gangguan bipolar, dan psikosis yang
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang memiliki tipe lalai dan
hiperaktif-impulsif. Individu dengan ADHD tipe gabungan juga memiliki
lebih banyak gangguan kejiwaan dan penyalahgunaan obat-obatan dan hal ini
merupakan gangguan yang paling umum terjadi.
Studi pada orang dewasa dengan ADHD seringkali ditemukan riwayat
individu yang meninggalkan sekolah lebih awal. Penelitian pada remaja
menunjukkan bahwa individu dengan ADHD cenderung berkinerja buruk
selama di sekolah. Oleh karena itu, prospek menuju perguruan tinggi pun
terlihat suram. Namun, sejumlah kecil literatur menunjukkan bahwa beberapa
individu dengan ADHD berhasil mengatasi gejala mereka dan melanjutkan
pendidikan mereka ke tingkat perguruan tinggi
Mengingat dampak yang signifikan dari gejala ADHD pada prestasi
akademik, individu dengan kelainan ini yang mampu lulus dari sekolah
menengah atas dan masuk ke tingkat univeritas, dapat mewakili subpopulasi
individu yang berbeda dengan ADHD pada umumnya. Pada subpopulasi ini
terlihat bahwa remaja dan orang dewasa dengan ADHD cenderung memiliki
kemampuan kognitif yang lebih tinggi, catatan keberhasilan akademis yang
lebih besar sebelum kuliah, dan menunjukkan kemampuan kompensasi yang
lebih adaptif.
Namun sebenarnya, mahasiswa dengan ADHD menghadapi tantangan
yang signifikan untuk mencapai tingkat kesuksesan akademis yang mereka
dapatkan. Jadi, terlepas dari kenyataan bahwa subpopulasi ini dapat mewakili
segmen ADHD yang berbeda dari populasi umum individu dengan ADHD
yang memiliki fungsi kognitif tinggi, mereka cenderung mengalami kesulitan
dalam akademik dan fungsi sosial di lingkungan perguruan tinggi nantinya.
Mahasiswa dengan ADHD mengakui bahwa mereka mengalami
kesulitan dalam berhubungan dengan orang tua atau teman sebanyanya. Hal
ini menyebabkan tingkat keterampilan sosial, penyesuaian sosial, dan tingkat
kepercayaan diri yang lebih rendah juga. Terlebih diketahui bahwa mahasiswa
dengan ADHD tidak memiliki dukungan yang cukup dari orang disekitarnya,
dimana dapat mengganggu penyesuaian diri mereka selama di tingkat
perguruan tinggi
DAFTAR PUSTAKA

Aprilia, E., & Oktaria, D. (2017). Kemampuan Akademik Penderita Attention Deficit–Hyperactivity
Disorder (ADHD) pada Tingkat Perguruan Tinggi. Jurnal Majority, 7(1), 164-168.

Cheifia Krissanti Sasono, N. (2018). Hubungan Antara Temperamen Anak dengan Faktor Risiko
Attention Deficit/Hyperactivity Disorder pada Anak Sekolah Dasar (Doctoral dissertation, Universitas
Airlangga).

Selekta, M. C. (2013). Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) Pada Anak Usia 2 Tahun. Jurnal
Medula, 1(03), 19-25.

Sugiarmin, M. (2007). Bahan Ajar Anak dengan ADHD. Bandung: PLB.

Yasri, H. T. (2014). Efektifitas terapi sensori integrasi terhadap penurunan perilaku hiperaktif anak
ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorder) di Pusat Terapi Fajar Mulia Ponorogo (Doctoral
dissertation, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim).

Anda mungkin juga menyukai