Tugas TM 1
Dosen Pengampu :
Prof. Dr. dr. Suharyo Hadisaputro, Sp.PD-KPTI
Oleh :
KELAS A
Rahmah Diani Safitri
P1337424720022
Jawaban :
1. Data kasus HIV AIDS di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Seperti pada
gambar di bawah ini, terlihat bahwa selama sebelas tahun terakhir jumlah kasus HIV di
Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2019, yaitu sebanyak 50.282 kasus.
Berdasarkan data WHO tahun 2019, terdapat 78% infeksi HIV baru di regional Asia
Pasifik. Untuk kasus AIDS tertinggi selama sebelas tahun terakhir pada tahun 2013, yaitu
12.214 kasus.
Berdasarkan data Ditjen P2P yang bersumber dari Sistem Informasi HIV, AIDS,
dan tahun 2019, laporan triwulan 4 menyebutkan bahwa kasus HIV dan AIDS pada laki-
laki lebih tinggi dari perempuan. Kasus HIV tahun 2019 sebanyak 64,50% adalah laki-
laki, sedangkan kasus AIDS sebesar 68,60% pengidapnya adalah laki-laki. Hal ini
sejalan dengan hasil laporan HIV berdasarkan jenis kelamin sejak tahun 2008-2019,
dimana persentase penderita laki-laki selalu lebih tinggi dari perempuan.
2. Sejak Covid-19 jadi pandemi dunia HIV/AIDS pun seakan tenggelam padahal
penyebarannya tetap terjadi, terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar
nikah dengan pengidap HIV/AIDS dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom.
Selain itu faktor risiko lain adalah transfusi darah yang tidak diskrining HIV, jarum suntik
yang dipakai bergiliran seperti pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan
berbahaya), serta melalui air susu ibu (ASI) perempuan yang mengidap HIV/AIDS.
Estimasi jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia sebanyak 640.443, tapi yang bisa
dideteksi sejak tahun 1987 sd. 31 Maret 2020 hanya 511.955 atau 79,94 persen. Itu
artinya ada 128.499 Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang tidak terdeteksi. Odha yang
tidak terdeteksi ini jadi mata rantai penularan HIV/AIDS di masyarakat karena mereka
tidak menyadari dirinya mengidap HIV/AIDS. Ini terjadi karena tidak ada tanda, gejala
atau ciri-ciri yang khas pada fisik Odha dan tidak ada pula keluhan kesehatan yang khas
HIV/AIDS.
Kasus yang tidak terdeteksi jadi masalah besar karena tanpa mereka sadari mereka
jadi mata rantai penularan HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual
tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Pada tahap awal orang-orang yang tertular HIV
yang terdeteksi melalui tes HIV, misalnya dengan reagen ELISA, berada pada masa HIV-
positif. Orang-orang dalam kondisi HIV-positif tidak menunjukkan gejala-gejala yang
khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan. Tapi, biarpun tidak ada gejala pengidap
HIV (HIV-positif) sudah bisa menularkan HIV ke orang lain, terutama melalui hubungan
seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Pada laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 29 Mei 2020, tentang Perkembangan
HIV/AIDS dan Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) Triwulan I Tahun 2020 jumlah
kasus HIV secara nasional sebanyak 388.724. AIDS bukan penyakit tapi kondisi
seseorang yang HIV-positif yang secara statistik terjadi pada rentang waktu antara 5-15
tahun setelah tertular HIV. Pada masa AIDS kondisi kekebalan tubuh pengidap
HIV/AIDS sangat rendah sehingga mudah tertular atau terinfeksi berbagai macam
penyakit.
Ketika HIV masuk ke dalam tubuh virus itu akan menggandakan diri (replikasi) di
sel-sel darah putih manusia. Sel darah putih dijadikan sebagai ‘pabrik’ sehingga rusak.
Virus yang baru diproduksi mencari sel darah putih yang lain untuk menggandakan diri.
Begitu seterusnya sehingga banyak sel darah putih yang rusak.
Replikasi HIV setiap hari bisa mencapai miliaran sehingga jumlah sel darah putih
yang rusak pun miliaran setiap hari. Ketika banyak sel darah putih yang rusak itulah yang
disebut masa AIDS.
3. Ditjen P2P (Sistem Informasi HIV/AIDS dan IMS (SIHA), Laporan Tahun 2019
cenderung fluktuatif, data kasus HIV AIDS di Indonesia terus meningkat dari tahun ke
tahun. Terlihat bahwa selama sebelas tahun terakhir jumlah kasus HIV di Indonesia
mencapai puncaknya pada tahun 2019, yaitu sebanyak 50.282 kasus. Berdasarkan data
WHO tahun 2019, terdapat 78% infeksi HIV baru di regional Asia Pasifik. Untuk kasus
AIDS tertinggi selama sebelas tahun terakhir pada tahun 2013, yaitu 12.214 kasus.
Berdasarkan Ditjen P2P (Sistem Informasi HIV/AIDS dan IMS (SIHA), Laporan
Tahun 2019, lima provinsi dengan jumlah kasus HIV terbanyak adalah Jawa Timur, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Papua, dimana pada tahun 2017 kasus HIV
terbanyak juga dimiliki oleh kelima provinsi tersebut. Sedangkan, diketahui bahwa
provinsi dengan jumlah kasus AIDS terbanyak adalah Jawa Tengah, Papua, Jawa Timur,
DKI Jakarta, dan Kepulauan Riau. Kasus AIDS di Jawa Tengah adalah sekitar 22% dari
total kasus di Indonesia. Tren kasus HIV dan AIDS tertinggi dari tahun 2017 sampai
dengan 2019 masih sama, yaitu sebagian besar di pulau Jawa. Berdasarkan data Ditjen
P2P yang bersumber dari Sistem Informasi HIV, AIDS, dan IMS (SIHA) tahun 2019,
laporan triwulan 4 menyebutkan bahwa kasus HIV dan AIDS pada laki-laki lebih tinggi
dari perempuan. Kasus HIV tahun 2019 sebanyak 64,50% adalah laki-laki, sedangkan
kasus AIDS sebesar 68,60% pengidapnya adalah laki-laki. Hal ini sejalan dengan hasil
laporan HIV berdasarkan jenis kelamin sejak tahun 2008-2019, dimana persentase
penderita laki-laki selalu lebih tinggi dari perempuan. Berdasarkan data SIHA mengenai
jumlah infeksi HIV tahun 2010-2019 yang dilaporkan menurut kelompok umur,
kelompok umur 25-49 tahun atau usia produktif merupakan umur dengan jumlah
penderita infeksi HIV terbanyak setiap tahunnya. Case Fatility Rate (CFR) merupakan
jumlah kematian dalam bentuk persen, dibandingkan dengan jumlah kasus dalam suatu
penyakit tertentu. CFR AIDS di Indonesia sejak tahun 2005 sampai tahun 2019 terus
mengalami penurunan. Hal ini dapat disebabkan karena upaya pengobatan AIDS di
Indonesia telah berhasil menurunkan angka kematian akibat AIDS. sepuluh provinsi
dengan kasus AIDS terbanyak adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI Jakarta,
Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Kepulauan Riau, Bali, Sumatera Barat,
dan Kalimantan Barat. proporsi kasus AIDS yang dilaporkan menurut faktor risiko.
Ternyata faktor risiko AIDS terbesar adalah heteroseks (70%) dan homoseks (22%).
Berdasarkan laporan SIHA tahun 2019, menurut kelompok berisiko, LSL (Lelaki Seks
Lelaki) menempati peringkat ketiga untuk persentase HIV positif yang melakukan tes
HIV, yaitu sebesar 8,75%. Peringkat kedua adalah pelanggan PS (Pekerja Seks) sebesar
10,57%, dan peringkat pertama adalah Sero Discordant (salah satu pasangan memiliki
HIV, sementara yang lain tidak) sebesar 92,19%.
4. Intervesi untuk menurunkan angka kasus HIV/AIDS di Indonesia, ada rumus ABCDE
yang selama ini disosialisasikan sebagai cara pencegahan HIV/AIDS.
a. A (abstinace) adalah tidak berhubungan seks di luar nikah. Sarsanto mengatakan
edukasi mengenai HIV/AIDS dan kesehatan reproduksi dilakukan mulai dari siswa
siswi SMP.
b. B (be faithful) adalah saling setia pada pasangan. Sarsanto menjelaskan, banyak pria
yang suka "jajan" di luar dan tidak menggunakan kondom sehingga dapat membawa
virus saat pulang ke rumah. HIV kemudian bisa menular ke istri di rumah saat
berhubungan seksual. Untuk itu, setia pada pasangan atau tidak bergonta-ganti
pasangan berhubungan seks juga menjadi kunci pencegahan HIV.
c. C (condom), yaitu penggunaan kondom saat berhubungan seksual. Penggunaan
kondom ini dinilai sangat efektif mencegah penularan HIV. Sarsanto
mengungkapkan, Thailand sukses menurunkan angka HIV karena melakukan
kampanye membagikan kondom gratis. "Kondom itu satu-satunya yang efektif
mencegah penularan dalam hubungan seks," kata Sarsanto. Namun, di Indonesia
kampanye menggunakan kondom bisa menimbulkan kontroversial, seperti yang
pernah dialami mantan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi.
d. D (don't use drugs) atau tidak memakai narkoba. Kasus penularan HIV juga banyak
terjadi pada pengguna napza suntik secara bergantian.
e. E (equipment) yang artinya menggunakan peralatan steril.
HIV belum dapat disembuhkan, sehingga mencegah agar tidak menjadi HIV positif
sangatlah menguntungkan dibanding mengatasi masalah yang muncul setelah menjadi
positif. Jika telah positif HIV, untuk mempertahankan kualitas hidup yang baik, maka
pada tingkat tertentu harus mengkonsumsi ARV. ARV adalah obat yang harus diminum
seumur hidup. Dengan demikian biaya ekonomi yang harus ditanggung untuk
menyediakan obat agar dapat diminum secara teratur harus ditanggung seumur hidup
pula. Bagi orang yang masih berstatus negatif, intervensi utama yang perlu dilakukan
adalah paparan mengenai pencegahan dan pemeliharaan perilaku positif agar status
negatif dapat dipertahankan. Bagi orang yang berperilaku risiko tinggi namun masih
negatif, maka perlu segera melakukan tes HIV dan sangat disarankan mengikuti konseling
paska tes dengan tujuan untuk membuat perencanaan lanjut berkaitan dengan hasil tes
tersebut. Perencanaan dalam proses konseling sangat penting untuk menekankan upaya
perubahan atau mempertahankan perilaku positif bagi klien, maupun akses pengobatan
yang diperlukan. Bagi orang yang telah berstatus HIV positif hingga sakit terminal,
sangat dibutuhkan konseling lanjutan dalam rangka mengubah maupun mempertahankan
perilaku positif. Sepanjang fase ini dukungan psikososial, rohani dan ekonomi juga sangat
penting dalam rangka meningkatkan kualitas hidup. Dalam hal ini pihak terkait seperti
pemerintah, ilmuwan, akademisi, pekerja sosial, serta semua komponen masyarakat yang
terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam penanggulangan Napza maupun
HIV/AIDS diharapkan dapat mengembangkan ide atau program intervensi untuk
menyelesaikan masalah ini secara bersama-sama.