Anda di halaman 1dari 18

EPIDEMIOLOGI GLOBAL DAN LOKAL KECENDERUNGAN HIV/AIDS

&

ASPEK PSIKO, SOSIO, KULTURAL DAN SPIRITUAL KLIEN HIV/AIDS

VITALIANA EDWAS

(16061009)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS KATOLIK DE LA SALLE

MANADO

2019
1

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa , sehingga saya dapat
menyelesaikan Makalah ini tepat pada waktunya . Makalah ini merupakan tugas untuk
memenuhi persyaratan penilaian dari Mata Kuliah Keperawatan HIV/AIDS

Dalam tugas ini saya mencoba membahas tentang “Epidemiologi global dan
local kecenderungan HIV/AIDS dan Aspek psiko, sosio, kultural dan spiritual klien
HIV/AIDS” Dalam penulisan tugas ini masih banyak kesalahan , untuk itu sangat
dibutuhkan saran dan kritik yang dapat memotivasi saya untuk meningkatkan kualitas
tugas-tugas yang berikutnya .
1

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndromeatau Acquired Immune


Deficiency Syndrome) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang
timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV;
atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV,
dan Iain-lain).1 Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau
disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia.
Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik
ataupun mudah terkena rumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat
memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar
bisa disembuhkan.

HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak


langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan
cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan
presemmal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim
(vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntikyang terkontaminasi,
antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak
lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.Berbagai gejala AIDS umumnya tidak
akan terjadi pada orang-orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik.
Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri, virus, fungi dan parasit,
yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak
HIV. Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS. HIV mempengaruhi
hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita
kanker seperti sarkoma kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan
yang disebut limfoma.4 Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik;
seperti demam, berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar,
kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan. Infeksi oportunistik
tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan
terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.

Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae.


Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim
reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia, dan
menimbulkan kelainan patologi secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu
HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan
masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua
1

grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh
dunia adalah grup HIV-1

Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab


AIDS. Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Ciri
khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk silindris
dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi
retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan pengatur ekspresi
virus yang penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein replikasi fase awal
yaitu protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus terlibat
dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat
efisien untuk menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk
ekspresi protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip virus yang
terlepas dari nukleus. Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh makrofag,
yang dapat menginfeksi sel yang lain

Sejak ditemukan tahun 1978, secara kumulatif jumlah kasus AIDS di


Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. berdasarkan data dari Ditjen PP
& PL RI jumlah kumulatif kasus AIDS sebagai berikut :

Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia

Jumlah kumulatif kasus AIDS menurut golongan umur (cumulative AIDS cases by
age group)

Kelompok Umur Persentasi


<15 tahun 2,65%
15-19 tahun 3,05%
20-29 tahun 49,07%
30-39 tahun 30,14%
40-49 tahun 8,82%
50-59 tahun 2,655%
>60 tahun 0,51%
Tidak diketahui 3,27%

Jumlah kumulatif kasus AIDS menurut jenis kelamin (comulative AIDS cases by
sex)

Jenis Kelamin/Sex AIDS


Laki-laki/Male 28,846
Perempuan/Female 15,565
Tidak Diketahui/Unknown 7,937
Jumlah/Total 52,348
1

Jumlah kumulatif kasus AIDS menurut faktor risiko (cumulative AIDS cases by
mode of transmission)

Faktor Risiko/Mode of transmission AIDS


Heteroseksual/Heterosexual 32,719
Homo-Biseksual/Homo-Bisexual 1,274
IDU 8,407
Transfusi darah/Blood Transfusion 123
Transmisi Perinatal Trans 1,438
Tidak Diketahui/Unknown 7,954

Kasusn AIDS yang dilaporkan di Indonesia 2011-2016

Tahun Kasus AIDS yang dilaporkan


2011 8.279
2012 10.862
2013 11.741
2014 7.963
2015 7.185
2016 3.679

Jumlah Kumulatif Kasus HIV & AIDS Berdasarkan Provinsi (Cumulative HIV &
AIDS Cases by Province)

No PROPINSI HIV AIDS


1 Papua 14,087 10,116
2 Jawa Timur 16,235 8,725
3 DKI Jakarta 28,790 7,477
4 Jawa Barat 10,98 4,131
5 Bali 8,059 3,985
6 Jawa Tengah 6,963 3,339
7 Sulawesi Selatan 3,764 1,703
8 Kalimantan Barat 4,135 1,699
9 Sumatra Utara 7,967 1,301
10 Banten 3,179 1,042
11 Riau 1,733 992
12 Sumatra Barat 932 952
13 Di Yogyakarta 2,179 916
14 Sulawesi Utara 2,043 798
15 Nusa Tenggara Timur 1,581 496
16 Nusa Tenggara Barat 710 456
17 Maluku 1,187 437
18 Jambi 642 437
19 Lampung 939 423
20 Kepulauan Riau 3,902 382
1

21 Kalimantan Selatan 366 334


22 Kalimantan Timur 2,199 332
23 Sumatera Selatan 1,461 322
24 Bangka Belitung 429 303
25 Sulawesi Tenggara 226 212
26 Sulawesi Tengah 308 190
27 Papua Barat 2,344 187
28 Maluku Utara 206 165
29 NAD/Aceh 131 165
30 Bengkulu 236 160
31 Kalimantan Tengan 192 97
32 Gorontalo 51 68
33 Sulawesi Barat 33 6
Jumlah Total 127,416 52,384

Hal- hal yang mendorong penulis melakukan surveliens epidemiologi penyakit


HIV/AIDS ini adalah :

 Meningkatnya jumlah kasus penyakit HIV/AIDS

Surveilens epidemiologi di gunakan untuk menilai,memonitor dan merencanakan


program kesehatan pada umumnya terutama dalam kaitan kasus yang berhubungan
dengan HIV/AIDS

Tiga kegiatan surveilens epidemiologi adalah :

 Pengumpulan data secara systematik,teratur dan terus menerus


 Pengolahan dan analisa dan interpresi data menghasilkan suatu informasi.
 Penyebaran hasil informasi tersebut kepada orang orang atau lembaga
berkepentingan.

Maslah surveilens adalah :

 Bagaimana gambaran epidemiologi kasus HIV/AIDS

2. Tujuan umum

1 Untuk mengetahui gambaran epidemiologi penyakit HIV/AIDS


2 Untuk mengetahui kecendrungan kasus HIV/AIDS
1

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. HIV/AIDS

1. Definisi HIV/AIDS
1

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome,


yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh
yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan
untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit.
AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya
berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup
dalam sel atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke
dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini
ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat virus, bakteri, parasit
maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik

2. Etiologi

Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab


AIDS. Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Ciri
khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk
silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan
untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan
pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein
replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana
produk gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya.
Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk menentukan virulensi dari infeksi
HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi protein struktural virus. Rev
membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas dari nukleus. Protein Nef
menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi sel
yang lain

3. Mekanisme Penyakit (RAP)


 Tahap Pre Patogenesis

Tahap pre patogenesis tidak terjadi pada penyakit HIV AIDS. Hal
ini karena penularan penyakit HIV terjadi secara langsung (kontak
langsung dengan penderita). HIV dapat menular dari suatu satu manusia
ke manusia lainnya melalui kontak cairan pada alat reproduksi, kontak
darah (misalnya trafusi darah, kontak luka, dll), penggunaan jarum suntik
secara bergantian dan kehamilan.

 Tahap Patogenesis

Pada fase ini virus akan menghancurkan sebagian besar atau


keseluruhan sistem imun penderita dan penderita dapat dinyatakan positif
1

mengidap AIDS. Gejala klinis pada orang dewasa ialah jika ditemukan
dua dari tiga gejala utama dan satu dari lima gejala minor. Gejala
utamanya antara lain demam berkepanjangan, penurunan berat badan
lebih dari 10% dalam kurun waktu tiga bulan, dan diare kronis selama
lebih dari satu bulan secara berulang-ulang maupun terus menerus.

Gejala minornya yaitu batuk kronis selama lebih dari 1 bulan,


munculnya Herpes zoster secara berulang-ulang, infeksi pada mulut dan
tenggorokan yang disebabkan oleh Candida albicans, bercak-bercak gatal
di seluruh tubuh, serta pembengkakan kelenjar getah bening secara
menetap di seluruh tubuh. Akibat rusaknya sistem kekebalan, penderita
menjadi mudah terserang penyakit-penyakit yang disebut penyakit
oportunitis. Penyakit yang biasa menyerang orang normal seperti flu,
diare, gatal-gatal, dan lain-lain. Bisa menjadi penyakit yang mematikan
di tubuh seorang penderita AIDS.

 Tahap Inkubasi

Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang


terpapar virus HIV sampai dengan menunjukkan gejala-gejala AIDS.
Waktu yang dibutuhkan rata-rata cukup lama dan dapat mencapai kurang
lebih 12 tahun dan semasa inkubasi penderita tidak menunjukkan gejala-
gejala sakit. Selama masa inkubasi ini penderita disebut penderita HIV.
Pada fase ini terdapat masa dimana virus HIV tidak dapat tedeteksi
dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular
virus HIV.

Selama masa inkubasi penderita HIV sudah berpotensi untuk


menularkan virus HIV kepada orang lain dengan berbagai cara sesuai
pola transmisi virus HIV. Mengingat masa inkubasi yang relatif lama,
dan penderita HIV tidak menunjukkan gejala-gejala sakit, maka sangat
besar kemungkinan penularan terjadi pada fase inkubasi ini.

 Tahap Penyakit Dini

Penderita mengalami demam selama 3 sampai 6 minggu


tergantung daya tahan tubuh saat mendapat kontak virus HIV tersebut.
Setelah kondisi membaik, orang yang terkena virus HIV akan tetap sehat
dalam beberapa tahun dan perlahan kekebalan tubuhnya menurun/ lemah
1

hingga jatuh sakit karena serangan demam yang berulang. Satu cara
untuk mendapat kepastian adalah dengan menjalani uji antibody HIV
terutamanya jika seseorang merasa telah melakukan aktivitas yang
beresiko terkena virus HIV.

 Tahap Penyakit Lanjut

Pada tahap ini penderita sudah tidak bias melakukan aktivitas


apa-apa. Penderita mengalami nafas pendek, henti nafas sejenak, batuk
serta nyeri dada. Penderita mengalami jamur pada rongga mulut dan
kerongkongan. Terjadinya gangguan pada persyarafan central
mengakibatkan kurang ingatan, sakit kepala, susah berkonsentrasi, sering
tampak kebingungan dan respon anggota gerak melambat.

Pada sistem persyarafan ujung (peripheral) akan menimbulkan


nyeri dan kesemutan pada telapak tangan dan kaki, reflek tendon yang
kurang selalu mengalami tensi darah rendah dan impotent. Penderita
mengalami serangan virus cacar air (herpes simplex) atau cacar api
(herpes zoster) dan berbagai macam penyakit kulit yang menimbulkan
rasa nyeri pada jaringan kulit. Lainnya adalah mengalami infeksi
jaringan rambut pada kulit (folliculities), kulit kering berbercak-bercak.

 Tahap Post Patogenesis (Tahap Penyakit Akhir)

Fase ini merupakan fase terakhir dari perjalanan penyakit AIDS


pada tubuh penderita. Fase akhir dari penderita penyakit AIDS adalah
meninggal dunia.

4. Mekanisme Penularan Penyakit

HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial
mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu (KPA,
2007). Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu : kontak seksual, kontak
dengan darah atau sekret yang infeksius, ibu ke anak selama masa kehamilan, persalinan
dan pemberian ASI (Air Susu Ibu).

a. Seksual
Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan dari
semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama
senggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki.
Senggama berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal (anus), oral
1

(mulut) antara dua individu. Resiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal
yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV.
b. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus
HIV.
c. Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk ke
dalam tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti jarum tato atau
pada pengguna narkotik suntik secara bergantian. Bisa juga terjadi ketika
melakukan prosedur tindakan medik ataupun terjadi sebagai kecelakaan kerja
(tidak sengaja) bagi petugas kesehatan.
d. Melalui silet atau pisau, pencukur jenggot secara bergantian hendaknya
dihindarkan karena dapat menularkan virus HIV kecuali benda-benda tersebut
disterilkan sepenuhnya sebelum digunakan.
e. Melalui transplantasi organ pengidap HIV.
f. Penularan dari ibu ke anak.
g. Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya saat ia dikandung,
dilahirkan dan sesudah lahir melalui ASI.

5. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak bervariasi dari asimtomatis sampai
penyakit berat yang dinamakan AIDS. AIDS pada anak terutama terjadi pada umur
muda karena sebagian besar (>80%) AIDS pada anak akibat transmisi vertikal dari ibu
ke anak. Lima puluh persen kasus AIDS anak berumur < l tahun dan 82% berumur <3
tahun. Meskipun demikian ada juga bayi yang terinfeksi HIV secara vertikal belum
memperlihatkan gejala AIDS pada umur 10 tahun.

Gejala klinis yang terlihat adalah akibat adanya infeksi oleh mikroorganisme
yang ada di lingkungan anak. Oleh karena itu, manifestasinya pun berupa manifestasi
nonspesifik berupa gagal tumbuh, berat badan menurun, anemia, panas berulang,
limfadenopati, dan hepatosplenomegali. Gejala yang menjurus kemungkinan adanya
infeksi HIV adalah adanya infeksi oportunistik, yaitu infeksi dengan kuman, parasit,
jamur, atau protozoa yang lazimnya tidak memberikan penyakit pada anak normal.
Karena adanya penurunan fungsi imun, terutama imunitas selular, maka anak akan
menjadi sakit bila terpajan pada organisme tersebut, yang biasanya lebih lama, lebih
berat serta sering berulang. Penyakit tersebut antara lain kandidiasis mulut yang dapat
menyebar ke esofagus, radang paru karena Pneumocystis carinii, radang paru karena
mikobakterium atipik, atau toksoplasmosis otak. Bila anak terserang Mycobacterium
tuberculosis, penyakitnya akan berjalan berat dengan kelainan luas pada paru dan otak.
Anak sering juga menderita diare berulang.

6. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan


1

Program pencegahan penularan dan penyebaran HIV lebih dipusatkan pada


pendidikan masyarakat mengenai cara-cara penularan HIV. Dengan demikian,
masyarakat (terutama kelompok perilaku resiko tinggi) dapat mengubah kebiasaan
hidup mereka sehingga tidak mudah terjangkit HIV. Dan upaya-upaya yang dapat
dilakukan untuk menghindari HIV/AIDS adalah sebagai berikut :

a. Membiasakan Diri dengan Perilaku Seks yang Sehat

Sebagian besar penularan HIV terjadi melalui hubungan seksual. Oleh karena
itu, membiasakan diri dengan perilaku seks yang sehat dapat menjauhkan diri
dari penularan HIV. Misalnya, dengan tidak berhubungan seks di luar nikah,
tidak berganti-ganti pasangan, dan menggunakan pengaman (terutama pada
kelompok perilaku beresiko tinggi) sewaktu melakukan aktivitas seksual.

b. Menggunakan Jarum Suntik dan Alat-alat Medis yang Steril

Para tenaga medis hendaknya memperhatikan alat-alat kesehatan yang mereka


gunakan. Jarum suntik yang digunakan harus terjamin sterilitasnya dan
sebaiknya hanya sekali pakai. Jadi, setiap kali menyuntik pasien, seorang tenaga
medis harus memakai jarum suntik yang haru. Hal ini dimaksudkan untuk
mencegah penularan HIV melalui jarum suntik. Selain itu, penggunaan sarung
tangan lateks setiap kontak dengan cairan tubuh juga dapat memperkecil peluang
penularan HIV.

c. Menjauhi Segala Bentuk Penggunaan Narkoba

Para pangguna narkoba sangat rentan tertular HIV, terutama pengguna narkoba
suntik. Fakta menunjukkan bahwa penyebaran HIV di kalangan pengguna
narkoba suntik tiga sampai lima kali lebih cepat dibanding perilaku resiko
lainnya.

d. Tidak Terima Transfusi Darah dari Orang yang Mengidap HIV

Pemeriksaan medis yang ketat pada setiap transfusi darah dapat mencegah
penularan HIV. Sebelum transfusi darah berlangsung, para ahli kesehatan
sebaiknya melakukan tes HIV untuk memastikan bahwa darah yang akan
didonorkan bebas dari HIV.

e. Menganjurkan Wanita Pengidap HIV untuk Tidak Hamil

Meskipun hamil adalah hak setiap wanita, namun bagi wanita pengidap HIV
dianjurkan untuk tidak hamil. Sebab, wanita hamil pengidap HIV dapat
1

menularkan virus kepada janin yang dikandungnya. Jika ingin hamil, sebaiknya
mereka selalu berkonsultasi.

Program penanggulangan HIV/AIDS yaitu lewat jalur pendidikan mempunyai


arti yang sangat strategis karena besarnya populasi remaja di jalur sekolah dan
secara politis kelompok ini adalah aset dan penerus bangsa. Salah satu kelompok
sasaran remaja yang paling mudah dijangkau adalah remaja di lingkungan
sekolah (closed community) (Muninjaya, 1998).

Keimanan dan ketaqwaan yang lemah serta tertekannya jiwa menyebabkan


remaja berusaha untuk melarikan diri dari kenyataan hidup dan ingin diterima
dalam lingkungan atau kelompok tertentu. Oleh karena itu diperlukan
peningkatan keimanan dan ketaqwaan melalui ajaran-ajaran agama. Sebagian
masyarakat Indonesia menggangap bahwa seks masih merupakan hal yang tabu.
Termasuk diantaranya dalam pembicaraan, pemberian informasi dan pendidikan
seks. Akibatnya jalur informasi yang benar dan mendidik sulit dikembangkan

Cara-cara mengurangi resiko penularan AIDS antara lain melalui seks aman
yaitu dengan melakukan hubungan seks tanpa melakukan penetrasi penis ke
dalam vagina, anus, ataupun mulut.

B. SURVEILENS EPIDEMIOLOGI

Surveilens epidemiologi adalah salah stau strategi epidemiologi yang dilakukan


dengan melakukan kegiatan secara rutin, terus menerus dan sistematis dalam
mengumpulkan data , menganalisa data dan menginterpresikannya yang
mungkin akan menghasilkan informasi yang biasa atau luar biasa dengan tujuan
memantau, menilai dan merencanakan pelayanan/program kesehatan.

Kegunaan surveilens epidemiologi ;

 Mengetahui dan melengkapi gambaran epidemiologi suatu penyakit


 Menentukan penyakit mana yang di prioritaskan untuk di obati.
 Untuk meramalkan terjadinya wabah.
 Untuk menilai dan memantau pelaksanakan program pemberantasan
penyakit
 Mengetahui jangkauan dari pelayanan kesehatan

C. INDIKATOR

Indikator yang di gunakan adalah


1

 Proposi
 Case Fatality Rate
 Incidence Rate

ASPEK PSIKO, SOSIO, KULTURAL DAN SPIRITUAL KLIEN HIV/AIDS

1. ASPEK PSIKOLOGIS
Respons adaptasi psikologis terhadap stresor menurut Potter & Perry (2005)
dalam Nursalam dkk (2014) menguraikan lima tahap reaksi emosi seseorang
terhadap stresor yakni, pengingkaran, marah, tawa menawa, depresi, dan,
menerima.
Tahapan psikologis Tindakan yang dibutuhkan
Tahap pengingkaran - Mengidentifikasi terhadap penyakit pasien
(denial) - Mendorong pasien untuk mengekpresikan
perasaaan takut menghadapi kematian dan
mengeluarkan keluh kesahnya
Tahap kemarahan (anger) - Memberikan kesempatan mengekspresikan
marahnya
- Memahami kemarahan pasien
Tahap tawar menawar - Mendorong pasien agar mau mendiskusikan
(bergaining) perasaan kehilangan dan takut menghadapi
penyakit pasien
- Mendorong pasien untuk menggunakan
kelebihan (positif) yang ada pada dirinya.
Tahap depresi - Memberikan dukungan dan perhatian
- Mendorong pasien untuk melakukan aktivitas
sehari-hari sesuai kondisi.
- Membantu menghilangkan rasa bersalah, bila
perlu mendatangkan pemuka agama.
Tahap menerima - Memotivasi pasien untuk mau berdoa dan
sembahyang
- Memberikan bimbingan keagamaan sesuai
keyakinan pasien.

2. ASPEK SOSIAL

Respons adaptif sosial individu yang menghadapi stressor tertentu menurut


Stewart (1997) dalam Nursalam dkk (2014) dibedakan dalam 3 aspek yang antara
lain:
1

1. Stigma sosial memperparah depresi dan pandangan yang negatif tentang harga
diri individu
2. Diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV, misalnya penolakan bekerja
dan hidup serumah juga akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan.
3. Terjadinya waktu yang lama terhadap respons psikologis mulai penolakan,
marah-marah, tawar menawar, dan depresi berakibat terhadap keterlambatan
upaya pencegahan dan pengobatan. Adanya dukungan sosial yang baik dari
keluarga, teman, maupun tenaga kesehatan dapat meningkatkan kualitas hidup
ODHA. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Payuk, dkk (2012) tentang
hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup ODHA di daerah kerja
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Jumpandang Baru, Makasar.
Bentuk dukungan sosial terutama kepada ODHA menurut Nurbani & Zulkaida
(2012) antara lain emotional support, informational support, instrumental or
tangible support, dan companionship support, dukungan tersebut berdampak
positif pada kehidupan ODHA. Untuk kesehatan, ODHA menjadi lebih
memperhatikan kesehatannya. Adapun dampak sosial, ODHA menjadi
lebih banyak teman, merasa dirinya berarti, serta ODHA diikutsertakan
dalam kegiatan kelompok. Selain dampak tersebut, ada pula dampak
perkerjaan yang dapat mengoptimalkan kemampuannya, menjadikan
kemampuan ODHA bertambah, ODHA dapat mengevaluasi pekerjaan-nya
serta mendapatkan informasi yang dibutuhkan, sehingga ODHA dapat
membantu dalam memberikan informasi mengenai akses kesehatan kepada
kelompok anggota dukungan.
a. Jenis dukungan sosial
1) Dukungan emosional, mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan
perhatian terhadap orang yang bersangkutan
2) Dukungan penghargaan, terjadi lewat ungkapan hormat/penghargaan
positif untuk orang tersebut.
3) Dukungan Instrumental, mencakup bantuan langsung, misalnya memberi
pinjaman uang kepada orang yang membutuhkan, dll.
4) Dukungan informatif, mencakup pemberian nasihat, saran, pengerahuan,
dan informasi serta petunjuk.
b. Dampak bagi lingkungan
1) Menurunnya produktivitas masyarakat
Salah satu masalah sosial yang dihadapi ODHA adalah menurunnya
produktivitas mereka. Daya tahan tubuh yang melemah, dan angka
harapan hidup yang menurun, membuat daya produktivitas ODHA tidak
lagi sama seperti orang pada umumnya. Hal ini menyebabkan kebanyakan
dari mereka kehilangan kesempatan kerja ataupun pekerjaan tetapnya
semula. Hal ini juga berpengaruh terhadap permasalahan dalam aspek
ekonomi yang mereka dihadapi.
2) Mengganggu terhadap program pengentasan kemiskinan
1

Berkaitan dengan point yang pertama, ketika ODHA mengalami


penurunan produktivitas, mereka akan kehilangan pekerjaan mereka dan
mulai menggantungkan hidupnya kepada keluarganya ataupun orang lain.
Tanpa disadari hal ini akan menganggu terhadap program pemerintah
dalam mengentaskan kemiskinan.
3) Meningkatnya angka pengangguran
Meningkatnya angka pengangguran ini juga merupakan salah satu dampak
sosial yang ditimbulkan HIV/AIDS. Daya tahan tubuh yang melemah,
antibody yang rentan dan ketergantungan kepada obat membuat ODHA
merasa di diskriminasi dalam hal pekerjaan, sehingga mereka susah untuk
mencari pekerjaan yang sesuai.
4) Mempengaruhi pola hubungan sosial di masyarakat
Pola hubungan sosial di masyarakat akan berubah ketika masyarakat
memberikan stigma negatif kepada ODHA dan mulai mengucilkan
ODHA. Hal ini bukan saja terjadi pada diri ODHA namun berdampak juga
pada keluarga ODHA yang terkadang ikut dikucilkan oleh masyarakat
sekitar.
5) Meningkatkan kesenjangan pendapatan/kesenjangan sosial
Kesenjangan sosial dapat terjadi ketika masyarakat di sekitar tempat
ODHA tinggal mulai memperlakukan beda atau mendiskriminasi,
memberi stigma negatif dan mengkucilkan ODHA.
6) Munculnya reaksi negatif dalam bentuk; deportasi, stigmatisasi,
diskriminasi dan isolasi, tindakan kekerasan terhadap para pengidap HIV
dan penderita AIDS.
c. Intervensi yang diberikan pada sistem pendukung adalah
1) Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan
2) Menegaskan tentang pentingnya pasien bagi orang lain
3) Mendorong agar pasien mengungkapkan perasaan negatif
4) Memberikan umpan balik terhadap perilakunya
5) Meberi rasa percaya dan keyakinan
6) Memberikan informasi yang diperlukan
7) Berperan sebagai advokat
8) Memberi dukungan moral, material (khususnya keluarga) dan spiritual

3. ASPEK KULTURAL
Berlangsungnya perubahan nilai budaya tersebut disebabkan oleh tindakan
diskriminasi dari masyarakat umum terhadap penderita HIV/AIDS, serta
pengabaian nilai-nilai dari kebudayaan itu sendiri. Perilaku seksual yang salah
satunya dapat menjadi faktor utama tingginya penyebaran HIV/AIDS dari bidang
budaya. Ditemukan beberapa budaya tradisional yang ternyata meluruskan jalan
1

bagi perilaku seksual yang salah ini. Meskipun kini tidak lagi nampak, budaya
tersebut pernah berpengaruh kuat dalam kehidupan masyarakat. Seperti budaya
di salah satu daerah di provinsi Jawa Barat, kebanyakan orangtua menganggap
bila memiliki anak perempuan, dia adalah aset keluarga. Menurut mereka, jika
anak perempuan menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) di luar negeri akan
meningkatkan penghasilan keluarga. Dan bagi keluarga yang anak wanitanya
menjadi PSK, sebagian warga wilayah Pantura tersebut bisa menjadi orang kaya
di kampungnya. Hal tersebut merupakan permasalahan HIV/AIDS dalam aspek
budaya, dan budaya adat seperti ini seharusnya dihapuskan.

4. ASPEK SPIRITUAL

Respons Adaptif Spiritual dikembangkan dari konsep konsep Ronaldson (2000)


dalam Nursalam dkk (2014). Respons adaptif spiritual, meliputi: Menguatkan
harapan yang realistis kepada pasien terhadap kesembuhan
Harapan merupakan salah satu unsur yang penting dalam dukungan sosial.
Orang bijak mengatakan “hidup tanpa harapan, akan membuat orang putus asa
dan bunuh diri”. Perawat harus meyakinkan kepada pasien bahwa sekecil apapun
kesembuhan, misalnya akan memberikan ketenangan dan keyakinan pasien
untuk berobat.
1. Ketabahan hati

Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan dan ketabahan hati dalam


menghadapi cobaan. Individu yang mempunyai kepribadian yang kuat, akan
tabah dalam menghadapi setiap cobaan. Individu tersebut biasanya mempunyai
keteguhan hati dalam menentukan kehidupannya. Ketabahan hati sangat
dianjurkan kepada PHIV. Perawat dapat menguatkan diri pasien dengan
memberikan contoh nyata dan atau mengutip kitab suci atau pendapat orang
bijak; bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan kepada umatNYA, melebihi
kemampuannya (Al. Baqarah, 286). Pasien harus diyakinkan bahwa semua
cobaan yang diberikan pasti mengandung hikmah, yang sangat penting dalam
kehidupannya.

2. Pandai mengambil hikmah

Peran perawat dalam hal ini adalah mengingatkan dan mengajarkan kepada
pasien untuk selalu berfikiran positif terhadap semua cobaan yang dialaminya.
Dibalik semua cobaan yang dialami pasien, pasti ada maksud dari Sang
Pencipta. Pasien harus difasilitasi untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang
Pencipta dengan jalan melakukan ibadah secara terus menerus. Sehingga pasien
diharapkan memperoleh suatu ketenangan selama sakit.
1

DAFTAR PUSTAKA

Depkes. (2014). Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI Situasi dan Analisis
HIV AIDS. Diakses pada tanggal 22 Maret 2019 dari
(http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/Infodatin
%20AIDS.pdf).

Depkes. (2016). Petunjuk Teknis Program Pengendalian HIV AIDS dan PMS Di Fasilitas
Tingkat Pertama. Diakses pada tanggal 22 Maret 2019 dari
(http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/4__Pedoman_Fasyankes_Primer_ok.pdf).

Kemenkes RI. 2017. Laporan situasi perkembangan HIV-AIDS & PIMS di Indonesia
Januari- Desember 2017. Diakses pada tanggal 22 Maret 2019 dari
(http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/Laporan_HIV_AIDS_TW_4_Tahun_201
7__1_.pdf).

Lindayani, L., & Maryam, N. N. A. 2017. Tinjauan sistematis: Efektifitas Palliative Home
Care untuk Pasien dengan HIV/AIDS. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 5(1).

Payuk, I., Arsin, A.A., Abdullah, A.Z. 2012. Hubungan dukungan sosial
dengan kualitas hidup orang dengan HIV/ AIDS di Puskesmas Jumpang Baru
Makassar

Anda mungkin juga menyukai