Anda di halaman 1dari 12

ESTIMASI POTENSI KERUGIAN EKONOMI AKIBAT MASALAH GIZI

DI INDONESIA

MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah

Ekonomi Pangan

yang dibina oleh ibu Ir. Astutik Pudjirahayu, M.Si

Oleh:

Desta Ramadhanti Setio Putri

P17110181004

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG

JURUSAN GIZI

PROGRAM STUDI DIPLOMA III GIZI

November 2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan suatu bangsa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
setiap warga negara. Peningkatan kemajuan dan kesejahteraan bangsa sangat
tergantung pada kemampuan dan kualitas sumberdaya manusianya. Ukuran
kualitas sumberdaya manusia dapat dilihat pada Indeks Pembangunan Manusia
(IPM), sedangkan ukuran kesejahteraan masyarakat antara lain dapat dilihat
pada tingkat kemiskinan dan status gizi masyarakat.
Masalah gizi merupakan masalah yang kompleks yang berkaitan antara lain
dengan masalah pangan, kependudukan, tingkat pendapatan, dan kesehatan
masyarakat. Gangguan status gizi pada awal kehidupan anak akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan fisik, selain itu dapat mempengaruhi
kognitif dan produktivitas ketika anak dewasa dan mulai bekerja. Status gizi juga
merupakan salah satu peran penting dalam melaksanakan pembangunan pada
sebuah negara, terutama negara berkembang seperti Indonesia. Menurut World
Bank 2006 dalam (Yuliana, dkk, 2017), Masalah gizi akan menyebabkan
penurunan produktivitas manusia lebih dari 10% dari potensi pendapatan seumur
hidup dan kehilangan Gross Domestic Product (GDP) antara 2-3%.
Golongan yang rentang mengalami masalah gizi adalah Balita, Terpenuhinya
kebutuhan akan gizi merupakan hal yang sangat penting, terutama untuk anak
pada awal 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK) dan hal ini perlu ditangani
dengan serius. Gangguan status gizi pada awal kehidupan anak akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan fisik, selain itu dapat mempengaruhi
kognitif dan produktivitas ketika anak dewasa dan mulai bekerja.
Perbaikan gizi merupakan suatu investasi yang sangat menguntungkan.
Setidaknya ada tiga alasan suatu negara perlu melakukan intervensi di bidang
gizi. Pertama, perbaikan gizi memiliki keuntungan ekonomi (economic returns)
yang tinggi; kedua, intervensi gizi terbukti mendorong pertumbuhan ekonomi; dan
ketiga, perbaikan gizi membantu menurunkan tingkat kemiskinan melalui
perbaikan produktivitas kerja, pengurangan hari sakit, dan pengurangan biaya
pengobatan.
1.2 Rumusan Masalah
Apa dampak masalah gizi terhadap aspek sosial ekonomi?

1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui dampak masalah gizi yang ditimbulkan terhadap aspek sosial
ekonomi di indonesia

2. Tujuan Khusus
- Mengetahui estimasi potensi kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh
masalah gizi
- Mengetahui hubungan status gizi dengan tingkat ekonomi
- Mengetahui masalah gizi yang sering terjadi dan menyebabkan
kerugian ekonomi
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Masalah Gizi yang Berdampak pada Ekonomi di Indonesia


Menurut Soekirman dalam Aries dan Martianto (2006), menyebutkan bahwa
prevalensi Gizi Buruk pada balita dan anak-anak pra sekolah meski mengalami
penurunan sekitar 10% dari 37.5% pada tahun 1989 menjadi 27.5% pada tahun
2003 namun jumlah penurunan tadi sesungguhnya tidak nyata karena diketahui
bahwa prevalensi gizi buruk (< -3SD, BB/U) mengalami peningkatan dari 6.3%
pada tahun 1989 menjadi 10.5% pada tahun 1998. Hal ini menunjukkan bahwa
masalah Gizi Buruk yang merupakan masalah gizi makro, khususnya yang terjadi
pada balita adalah masalah serius yang harus segera ditanggulangi.
Dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2005
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan prevalensi gizi buruk pada balita di
Indonesia dari tahun 2000 sebesar 7,53% menjadi 8,8% pada tahun 2005.
Peningkatan juga terjadi pada prevalensi balita yang menderita gizi kurang dari
17,13% pada tahun 2000 menjadi 19,24% pada tahun 2005. Berarti terdapat
kurang lebih 28% dari total balita di seluruh Indonesia yang mengalami gizi buruk
dan gizi kurang. Berdasarkan jumlah tersebut 10% diantaranya mengalami
kematian (Yuliana, dkk, 2017).
Menurut hasil olah data Riskesdas tahun 2013, prevalensi balita kurus
(6,9%) dan sangat kurus (6,7%) dengan gambaran umum prevalensi wasting
mencapai 13,6% di Indonesia. Kasus wasting (kurus dan sangat kurus) memiliki
indikator yaitu BB/TB yang menggambarkan status gizi yang bersifat akut
sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung dalam waktu pendek, seperti
menurunnya nafsu makan karena sakit atau diare, sehingga dalam keadaan
demikian berat badan anak akan cepat turun sehingga tidak proporsional lagi
dengan tinggi badannya dan anak menjadi kurus.

2.2 Estimasi Potensi Kerugian Ekonomi Akibat Masalah Gizi di Indonesia


Cukup banyak masalah gizi di Indonesia salah satunya adalah wasting.
Wasting adalah kondisi dimana seseorang mengalami gizi kurang akut yang
ditunjukan dengan berat badan balita yang tidak optimal atau sesuai dengan
dengan tinggi badannya atau dapat ditandai dengan nilai z-score lebih dari -2SD.
Berikut merupakan Prevalensi Balita Wasting di Indonesia Tahun 2013.
Tabel 1. Prevalensi Balita Wasting di Indonesia Tahun 2013
Prevalensi Jumlah Balita
No Provinsi
Wasting (%) Wasting
1. Aceh 16,0 89.544
2. Sumatera Utara 17,1 56.670
3. Sumatera Barat 14,9 18.957
4. Riau 18,0 216.754
5. Jambi 15,7 28.386
6. Sumatera Selatatan 14,4 38.711
7. Bengkulu 15,4 143.329
8. Lampung 13,9 15.103
9. Kep. Bangka Belitung 10,9 35.251
10. Kepulauan Riau 10,6 458.303
11. DKI Jakarta 11,5 319.405
12. Jawa Barat 11,1 330.727
13. Jawa Tengah 11,8 57.969
14. D.I. Yogyakarta 7,6 31.044
15. Jawa Timur 11,5 28.020
16. Banten 13,7 55.610
17. Bali 8,5 18.257
18. Nusa Tenggara Barat 14,2 113.874
19. Nusa Tenggara Timur 16,8 32.732
20. Kalimantan Barat 19,3 26.149
21. Kalimantan Tengah 12,9 65.609
22. Kalimantan Selatan 13,6 84.200
23. Kalimantan Timur 13,7 45.037
24. Sulawesi Utara 10,9 10.069
25. Sulawesi Tengah 10,3 72.034
26. Sulawesi Selatan 12,1 17.105
27. Sulawesi Tenggara 13,5 112.299
28. Gorontalo 14,4 42.395
29 Sulawesi Barat 11,9 34.987
30. Maluku 16,6 34.586
31. Maluku Utara 13,6 109.275
32. Papua Barat 17,1 93.516
33. Papua 15,2 238.634
Indonesia 13,6 3.259.721
*Hasil olah data mikro (Riskesdas 2013) oleh peneliti; Sumber: BPS 2013,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2013

Dari Tabel diatas menunjukkan bahwa Lima provinsi yang memiliki


prevalensi wasting tertinggi yaitu Provinsi Kalimantan Barat, Riau, Papua Barat,
Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Timur.
Tabel 2. Estimasi Potensi Kerugian Ekonomi Karena Wasting
Potensi Kerugian
%PDRB
Ekonomi
No Provinsi
2% (Milyar 9% (Milyar
2% 9%
Rupiah) Rupiah)
1. Aceh 18 80 0,02 0,09
2. Sumatera Utara 21 92 0,01 0,02
3. Sumatera Barat 19 86 0,02 0,07
4. Riau 32 142 0,01 0,04
5. Jambi 32 143 0,04 0,19
6. Sumatera Selatatan 89 400 0,05 0,22
7. Bengkulu 10 44 0,04 0,16
8. Lampung 26 117 0,02 0,07
Kep. Bangka 2 10 0,01 0,03
9.
Belitung
10. Kepulauan Riau 1 4 0,00 0,00
11. DKI Jakarta 8 37 0,00 0,00
12. Jawa Barat 112 504 0,01 0,05
13. Jawa Tengah 142 638 0,03 0,11
14. D.I. Yogyakarta 7 30 0,01 0,05
15. Jawa Timur 109 490 0,01 0,04
16. Banten 10 45 0,00 0,02
17. Bali 19 84 0,02 0,09
Nusa Tenggara 23 105 0,04 0,19
18.
Barat
Nusa Tenggara 20 88 0,05 0,22
19.
Timur
20. Kalimantan Barat 43 195 0,05 0,23
21. Kalimantan Tengah 7 33 0,01 0,05
22. Kalimantan Selatan 7 30 0,01 0,04
23. Kalimantan Timur 67 300 0,02 0,11
24. Sulawesi Utara 12 54 0,02 0,10
25. Sulawesi Tengah 1 6 0,00 0,01
26. Sulawesi Selatan 75 339 0,04 0,18
27. Sulawesi Tenggara 22 100 0,05 0,25
28. Gorontalo 8 35 0,07 0,30
29 Sulawesi Barat 39 178 0,24 1,10
30. Maluku 7 31 0,05 0,24
31. Maluku Utara 50 225 0,65 2,92
32. Papua Barat - - - -
33. Papua 4 17 0,00 0,02
Indonesia 1.042 4.687 0,01 0,06
Keterangan: PDRB atas dasar harga berlaku tanpa migas; Sumber: Data
sekunder (olah) 2013
Dari Tabel 2 diatas menunjukkan bahwa, Besar rata-rata potensi ekonomi
yang hilang akibat masalah wasting pada balita di 32 provinsi di Indonesia ketika
dewasa dan mengalami kehilangan produktivitas sebesar 2% adalah Rp 32
miliar, sedangkan jika penurunan produktivitas sebesar 9% adalah Rp 142 miliar.
Data ini diolah memperhitungkan estimasi kerugian ekonomi yang disebabkan
oleh rendahnya produktivitas akibat masalah wasting, sehingga secara tidak
langsung menyebabkan masalah ekonomi bagi pemerintah.
Rentang tertinggi kehilangan potensi ekonomi karena wasting sebesar Rp
142 miliar – Rp 638 miliar di Provinsi Jawa Tengah atau persentase penurunan
produktivitas terhadap PDRB provinsinya sekitar 0,03% pada penurunan
produktivitas 2% dan 0,1% penurunan produktivitas 9%. Sedangkan rentang
terendah sekitar Rp 1 miliar – Rp 4 miliar di Provinsi Kepulauan Riau pada
penurunan produktivitas 2% dan 9% atau 0,001% dan 0,004% terhadap PDRB
provinsinya.
Besar potensi ekonomi yang hilang akibat masalah wasting pada balita
secara nasional, ketika dewasa dan mengalami kehilangan produktivitas sebesar
2% adalah Rp 1.042 miliar, sedangkan jika penurunan produktivitas sebesar 9%
adalah Rp 4.687 miliar. Jika nilai-nilai ini dilihat dalam persentase terhadap PDB
Indonesia maka besarnya potensi ekonomi yang hilang akibat penurunan
produktivitas 2% secara nasional adalah 0,01% dan pada penurunan
produktivitas sebesar 9% mencapai 0,06% dari total PDB Indonesia.
Dalam penelitian milik Arie dan Martianto (2006), Besarnya potensi ekonomi
yang hilang akibat Gizi Buruk pada balita dengan penurunan produktivitas 2%
secara nasional mencapai Rp 4.239 milyar. Jika nilai-nilai tersebut diubah dalam
persentase terhadap PDB Indonesia maka besarnya mencapai 0.27%. Pada
penurunan produktivitas 9%, besarnya potensi ekonomi yang hilang akibat Gizi
Buruk pada balita secara nasional mencapai Rp 19.076 milyar atau 1.21% dari
total PDB Indonesia. Secara nasional, besarnya estimasi potensi ekonomi yang
hilang akibat gizi buruk pada balita ini adalah antara Rp 4.239 milyar – Rp 19.076
milyar atau 0.27%-1.21% dari total PDB Indonesia.
Menurut Renyoet dan Nal (2019), Secara umum dapat dikatakan bahwa
peningkatan ekonomi sebagai dampak dari menurunnya masalah gizi kurang
dapat dilihat dari dua sisi, yaitu pertama berkurangnya biaya yang berkaitan
dengan kesakitan dan kematian, serta di sisi lain akan meningkatkan
produktivitas. Negara berkembang membutuhkan sumber daya manusia yang
berkualitas dan memiliki nilai produktif yang tinggi dan pencapaian pembangunan
manusia ini diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

2.3 Strategi Pangan dan Gizi Nasional


Menurut Redaksi Sehat Negeriku Kemenkes (2106), Betapa pentingnya
investasi gizi untuk pembangunan manusia tercermin dari penelitian yang
dilakukan panel ahli yang terdiri atas para ekonom terkemuka dunia, dan
dituangkan dalam The Copenhagen Consensus 2012. Para ekonom tersebut 
menemukan bahwa  cara paling cerdas mengalokasikan uang  untuk
menghadapi  10 tantangan utama dunia adalah melakukan investasi untuk
perbaikan status gizi penduduk. Panel ahli tersebut mengidentifikasi bahwa gizi
dapat membantu memutus lingkaran kemiskinan dan meningkatkan PDB negara
2 hingga 3 persen per tahun. Dengan menginvestasi $1 pada gizi dapat
memberikan hasil $30 dalam bentuk peningkatan kesehatan, pendidikan dan
produktivitas ekonomi.
Dalam Rancangan Aksi Gizi dan Pangan (2011), strategi yang dilakukan di
tingkat nasional antara lain:
1. Perbaikan Gizi Masyarakat
Diutamakan kepada kelompok rawan yaitu ibu pra hamil, ibu hamil, dan anak
melalui peningkatkan ketersediaan dan jangkauan pelayanan kesehatan
berkelanjutan difokuskan pada intervensi gizi efektif pada ibu pra-hamil, ibu
hamil, bayi, dan anak baduta. Salah satu contoh yaitu pemberian PMT
merupakan salah satu program pemerintah terhadap perbaikan gizi pada balita.
Dan berikut merupakan salah satu contoh rincian data mengenai besarnya
biaya PMT untuk anak/balita gizi buruk serta persentasenya terhadap nilai
potensi ekonomi yang hilang menurut provinsi yang terjadi pada tahun 2003
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rincian Biaya PMT untuk Balita Gizi Buruk Tahun 2003

Sumber : Arie dan Martianto (2006)


Dari tabel diatas menunjukkan rincian biaya PMT untuk balita dari Hasil
SUSENAS tahun 2003 menunjukkan bahwa di seluruh wilayah Indonesia
terdapat 1.570.955 balita yang mengalami gizi buruk. Jika dirinci, maka
diketahui bahwa prevalensi gizi buruk yang tertinggi terdapat di provinsi
Gorontalo yaitu sebesar 21,48% atau sebanyak 19.698 balita dari 91.706 balita
sedangkan yang terendah di provinsi Jambi yaitu sebesar 2,75% atau
sebanyak 6.713 balita.
Provinsi yang memerlukan biaya paling tinggi untuk hal ini adalah Provinsi
Jawa Barat yaitu sebesar Rp 6.25 milyar per tahun. Adapun provinsi yang
memerlukan biaya paling rendah adalah Provinsi Jambi yaitu sebesar Rp 0.23
milyar per tahun. diketahui bahwa secara nasi onal besarnya biaya yang
diperlukan untuk kegiatan PMT bagi anak/balita gizi buruk adalah Rp 52.66
milyar per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa biaya penanggulangan jauh lebih
rendah jika dibanding kan dengan besarnya kerugian ekonomi yang akan timbul
jika tidak dilakukan upaya penanggulangan.

2. Peningkatan Aksesibilitas Pangan


Melalui peningkatkan ketersediaan dan aksesibilitas pangan yang difokuskan
pada keluarga rawan pangan dan miskin. Mempertahankan pola konsumsi
pangan lokal yang didaerah dan kelompok masyarakat tertentu telah beragam
terutama untuk makanan pokok, pengembangan aspek kuliner dan daya terima
konsumen, melalui berbagai pendidikan gizi, penyuluhan, dan kampanye gizi
untuk meningkatkan citra pangan lokal, serta peningkatan pendapatan dan
pendidikan umum (Rencana Aksi Pangan dan Gizi, 2006-2010).

3. Peningkatan Pengawasan Mutu dan Keamanan Pangan


Melalui peningkatkan pengawasan keamanan pangan yang difokuskan pada
makanan jajanan yang memenuhi syarat dan produk industri rumah tangga
(PIRT) tersertifikasi.

4. Peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)


Melalui peningkatkan pemberdayaan masyarakat dan peran pimpinan formal
serta non formal terutama dalam perubahan perilaku atau budaya konsumsi
pangan yang difokuskan pada penganekaragaman konsumsi pangan berbasis
sumber daya lokal, perilaku hidup bersih dan sehat, serta merevitalisasi
posyandu.

5. Penguatan Kelembagaan Pangan dan Gizi


Melalui penguatan kelembagaan pangan dan gizi di tingkat nasional,
provinsi, dan kabupaten dan kota yang mempunyai kewenangan merumuskan
kebijakan dan program bidang pangan dan gizi, termasuk sumber daya serta
penelitian dan pengembangan.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa, Masalah gizi di indonesia banyak dialami oleh
kelompok rawan yaitu balita. Masalah gizi yang berpotensi mengalami kerugian
ekonomi adalah gizi buruk dan gizi kurang (Wasting) yang terjadi pada periode
tahun 2006-2013. Wasting atau gizi kurang pada balita berdampak pada
timbulnya potensi kerugian ekonomi. Secara nasional berdasarkan estimasi
potensi kerugian ekonomi akibat wasting pada anak balita tahun 2013 sebesar
Rp 1.042 miliar – Rp 4.687 miliar atau 0,01% - 0,06% dari total PDB Indonesia.
Besar rata-rata potensi ekonomi yang hilang di 32 provinsi yang ada di Indonesia
sekitar Rp 32 miliar - Rp 142 miliar. Sedangkan gizi buruk yang terjadi pada
tahun 2006 secara nasional, besarnya estimasi potensi ekonomi yang hilang
pada balita adalah antara 0.27%- 1.21% dari PDB Indonesia atau nilainya antara
Rp 4.24 triliun – Rp 19.08 triliun. Strategi penanggulangan yang dilakukan adalah
dengan pemberian PMT kepada balita. Rata-rata biaya program PMT di setiap
provinsi di Indonesia tahun 2003 sebesar Rp 1.62 milyar. Secara nasional, biaya
yang diperlukan untuk kegiatan PMT balita gizi buruk mengacu pada perhitungan
Baltusen adalah Rp 52.66 milyar per tahun.

3.2 Saran
Perlu dilakukan peningkatan ekonomi di Indonesia untuk menurunkan
dampak dari masalah gizi terutama masalah gizi kurang dan gizi buruk, karena
masih banyak masalah gizi terutama pada kelompok rawan, yaitu balita.
DAFTAR PUSTAKA

Aries dan Martianto. 2006. Estimasi Kerugian Ekonomi Akibat Status Gizi Buruk
dan Biaya Penanggulangannya pada Balita di Berbagai Provinsi di
Indonesia. Jurnal Gizi dan Pangan. Vol 1 (2): 26-33
Bappenas. 2006. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010.
Bappenas: Jakarta
Bappenas. 2011. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015.
Bappenas: Jakarta
Renyoet dan Nal. 2019. Estimasi Potensi Kerugian Ekonomi Akibat Wasting
Pada Balita di Indonesia. Jurnal Gizi dan Pangan. Vol 7 (2): 127-132
Sehat Negeriku. 2016. Bonus Demografi dan Investasi pada Pembangunan
Kesehatan dan Gizi. (http://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/blog
/20161028/2318577/bonus-demografi-dan-investasi-pada-pembangunan-
kesehatan-dab-gizi/), diakses pada 13 November 2020
Yuliana, dkk. 2017. Estimasi Kerugian Ekonomi Akibat Gizi Buruk pada Balita di
Berbagai Kabupaten/Kota di Luar Pulau Jawa dan Bali. Jurnal Argipa .Vol 2
(1): 32-44

Anda mungkin juga menyukai