Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

Ruptur uteri merupakan kondisi kegawatdaruratan obstetri, dimana

dinding uteri terpisah dengan jaringan serosa, disertai ekstrusi bagian fetus atau

cairan amnion ke kavum peritoneum. Penyakit ini bersifat fatal bagi ibu dan janin

bila penatalaksanaan terlambat. Namun, ruptur uteri merupakan penyakit yang

dapat dicegah melalui antenatal care yang baik dengan tenaga kesehatan yang

kompeten.

Saat ini ruptur uteri diperkirakan terjadi pada 0,05% kelahiran di seluruh

dunia, dengan insidensi ruptur uteri sekitar 5,3 per 10.000 persalinan. Insidensi

ruptur uteri lebih banyak pada negara berkembang dan negara berpendapatan

menengah dan rendah dibandingkan negara maju. Insidensi pada negara maju

sekitar 74 dari 10.000 persalinan, sedangkan di negara berkembang ditemukan 1

kasus dari 106 persalinan. Adanya bekas sectio caesarea juga meningkatkan risiko

terjadi ruptur uteri sebanyak 8 kali lipat.

Penyebab ruptur uteri secara persis masih belum diketahui, namun terdapat

beberapa faktor risiko seperti riwayat sectio caesarea atau sikatriks pada uteri,

grande multipara, penggunaan oxytocin dan misoprostol, placenta percreta, dan

malpresentasi.
Diagnosis ruptur uteri memiliki tantangan sendiri, karena penyakit ini

memiliki fitur klinis yang tidak spesifik, dan waktu deteksi dan penatalaksanaan

penting untuk mencegah terjadi morbiditas dan mortalitas. Pasien dengan ruptur

uteri dapat datang dengan temuan bradikardia fetus saja, atau disertai tanda gawat

janin, partus tidak maju, nyeri perut, dan perdarahan pervaginam.

Penatalaksanaan ruptur uteri dimulai dari stabilisasi kondisi umum pasien.

Bila pasien ditemukan dalam kondisi syok, maka perlu dilakukan resusitasi

terlebih dahulu. Setelah kondisi pasien stabil, maka pasien segera dibawa ke ruang

operasi. Prosedur operasi yang dapat dilakukan yaitu repair ruptur, serta

histerektomi subtotal dan total.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Ruptur uteri adalah robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau persalinan

pada saat umur kehamilan lebih dari 28 minggu. Ruptur uteri merupakan kondisi

kegawatdaruratan obstetri, yaitu terlepasnya dinding uteri dengan jaringan serosa,

disertai ekstrusi bagian fetus atau cairan amnion ke kavum peritoneum.

Epidemiologi
Saat ini ruptur uteri diperkirakan terjadi pada 0,05% kelahiran di seluruh dunia,

dengan insidensi ruptur uteri sekitar 5,3 per 10.000 persalinan. Tinjauan

sistematik WHO menunjukkan bahwa prevalensi ruptur uteri pada pasien dengan

riwayat sectio caesaria berkisar 1%.

Insidensi ruptur uteri lebih banyak pada negara berkembang dan negara

berpendapatan menengah dan rendah dibandingkan negara maju. Berdasarkan

beberapa studi, diketahui bahwa angka insidensi pada negara maju sekitar 74 dari

10.000 persalinan, sedangkan di negara berkembang ditemukan 1 kasus dari 106

persalinan. Adanya bekas sectio caesarea juga meningkatkan risiko terjadi ruptur

uteri sebanyak 8 kali lipat.


Etiologi
Terdapat berbagai kondisi medis dikaitkan sebagai etiologi ruptur uteri. Beberapa

faktor risiko terjadi ruptur uteri antara lain kondisi uterus, kondisi kehamilan,

kondisi persalinan, penanganan obstetrik, dan trauma.

Ruptur uteri dapat terjadi secara spontan (non-violent), keadaan tersebut

dapat dicetuskan beberapa kondisi yang menyebabkan persalinan tidak maju.

Persalinan yang tidak maju ini dapat terjadi karena adanya rintangan misalnya

panggul sempit, hidrosefalus, makrosomia, janin dalam letak lintang, presentasi

bokong, hamil ganda dan tumor pada jalan lahir.

Tabel 1. Etiologi ruptur uteri

Ruptur uteri traumatika (violent) disebabkan faktor trauma pada uterus

yang meliputi kecelakaan dan tindakan. Kecelakaan sebagai faktor trauma pada

uterus berarti tidak berkaitan dengan proses kehamilan dan persalinan misalnya

trauma pada abdomen. Sedangkan tindakan berarti berhubungan dengan proses


kehamilan dan persalinan misalnya versi ekstraksi, ekstraksi forcep, alat-alat

embriotomi, manual plasenta, dan ekspresi/dorongan.

Patofisiologi
Patofisiologi ruptur uteri merupakan suatu kondisi pemisahan jaringan uterus

dengan jaringan serosa secara spontan atau karena penyebab iatrogenik dan

traumatik. Hal ini menyebabkan isi rahim keluar dari rongga uteri dan masuk ke

rongga peritoneum. Ketika ada robekan, darah dan isi dari rahim akan mengisi

ruang peritoneum sehingga menyebabkan aliran darah ke fetal menjadi terganggu.

Pada kehamilan 28 minggu isthmus uteri berubah menjadi segmen bawah

rahim, dan saat kehamilan aterm segmen bawah rahim berada 1-2 cm di atas

simfisis. Saat persalinan kala I dan awal kala II maka batas antara segmen bawah

rahim dan segmen atas rahim dinamakan lingkaran retraksi fisiologis. Saat

persalinan kala II apabila bagian terbawah tidak mengalami kemajuan sementara

segmen atas rahim terus berkontraksi dan makin menebal, maka segmen bawah

rahim semakin tertarik ke atas dan menjadi tipis sehingga batas antara segmen

bawah rahim dan segmen atas rahim akan naik ke atas. Apabila batas tersebut

sudah melampaui pertengahan antara pusat dan simfisis maka lingkaran retraksi

fisiologis menjadi retraksi patologis (Bandl Ring). Apabila persalinan tetap tidak

ada kemajuan, segmen bawah uterus makin lama makin teregang sehingga

akhirnya pada suatu saat regangan yang terus bertambah ini melampaui batas

kekuatan jaringan miometrium sehingga terjadilah ruptur uteri.


Gambar 2.1. A, Uterus dalam persalinan normal pada tahap awal pertama, dan B, pada tahap
kedua. Segmen pasif berasal dari segmen bawah rahim (isthmus) dan serviks, dan cincin retraksi
fisiologis berasal dari os internal anatomis. C, Uterus dalam persalinan abnormal pada distosia
stadium kedua. Cincin retraksi patologis (Bandl) yang terbentuk dalam kondisi abnormal
berkembang dari cincin fisiologis.

Klasifikasi
Ruptur uterus diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu ruptur komplit ketika

semua lapisan dinding uterus terpisah, atau inkomplit saat otot uterus terpisah

namun peritoneum viseral masih utuh. Ruptur inkomplit juga sering disebut

sebagai dehiscence uterus. Angka morbiditas dan mortalitas jauh lebih tinggi pada

ruptur komplit. Faktor risiko terbesar untuk kedua bentuk ruptur adalah riwayat

operasi sesar sebelumnya. Dalam tinjauan terhadap semua kasus ruptur uteri di

Nova Scotia antara 1988 hingga 1997, Kieser dan Baskett (2002) melaporkan

bahwa 92 persen terjadi pada wanita dengan riwayat sesar sebelumnya. Holmgren

dkk., (2012) menjelaskan 42 kasus ruptur pada wanita dengan histerotomi

sebelumnya. Dari jumlah tersebut, 36 kasus sedang dalam proses persalinan pada

saat ruptur terjadi.


Diagnosis
Diagnosis ruptur uteri merupakan tantangan bagi dokter, karena gejala klinis

ruptur uteri kadang tidak spesifik. Diagnosis definitif ruptur uteri hanya dapat

ditegakkan pada saat operasi.

Anamnesis

Ruptur uteri bisa bersifat asimtomatis. Sebelum terjadi ruptur, pasien umumnya

mengeluhkan gelisah dan nyeri pada perut bagian bawah. Pasien juga dapat

mengeluhkan perdarahan pervaginam atau rasa seperti akan melahirkan. Jika

sudah terjadi ruptur, pasien umumnya merasakan lega yang diikuti dengan

hilangnya rasa kontraksi pada uterus. Pasien juga bisa tidak merasakan gerakan

janin. Apabila perdarahan sangat masif, maka pasien akan mengeluhkan gejala

syok seperti pusing, pingsan, atau keringat dingin. Selain itu, perlu diketahui

adanya riwayat partus yang lama atau macet, riwayat partus dengan manipulasi

oleh penolong, riwayat multiparitas, riwayat operasi pada uterus (misalnya seksio

sesaria. enukleasi mioma atau miomektomi, histerektomi, histeritomi, dan

histerorafi).

Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan bradikardia pada fetus, tanpa gejala penyerta

lainnya. Sebelum terjadi ruptur bisa didapatkan adanya takikardia dan kontraksi

uterus tetanik. Apabila dilakukan pemeriksaan Leopold, bagian janin mungkin

sulit teraba. Pada beberapa pasien, misalnya dengan partus terhambat, dapat

ditemukan Bandl’s ring, yang merupakan cincin retraksi patologis yang terbentuk

karena penipisan segmen bawah uterus dengan penebalan dan retraksi segmen

atas uterus.
Setelah terjadi ruptur, dapat ditemukan gawat janin dan partus tidak maju.

Pada perabaan uterus, kontur uterus akan sulit diidentifikasi. Bisa teraba lebih dari

satu benjolan, dimana yang satu adalah uterus yang berkontraksi dan beretraksi,

sedangkan benjolan lainnya adalah bagian dari janin yang keluar ke kavum

peritoneum. Perdarahan akibat ruptur bisa sangat masif sehingga pasien dapat

memiliki tanda syok seperti hipotensi, penurunan kesadaran, atau akral dingin.

Pemeriksaan penunjang

Pada ruptur uteri, pemeriksaan penunjang tidak boleh menyebabkan penundaan

penanganan pasien. Salah satu pemeriksaan yang bisa dilakukan adalah

cardiotocograph. Hasil cardiotocograph abnormal dapat ditemukan pada 55-87%

kasus ruptur uteri, dimana bradikardia adalah temuan tersering. Tidak ada pola

kontraksi uterus tertentu yang patognomonik terhadap ruptur uteri. Selain itu,

pemeriksaan darah berupa hemoglobin dan golongan darah dibutuhkan untuk

mempersiapkan transfusi.

Gambar 2.2 Deteksi detak jantung janin pada wanita dengan ruptur uteri selama persalinan saat
mengejan. Terjadinya ruptur menstimulasi reflex push, setelah itu tonus uterus berkurang dan
bradikardia janin memburuk.
Diagnosis banding
Diagnosis banding ruptur uteri adalah kegawatdaruratan obstetri lain, misalnya

placental abruption, atonia uteri, atau inversio uteri. Placenta Abruption memiliki

gejala klinis yang tidak khas. Diagnosis dapat ditegakkan melalui pemeriksaan

USG yang ditandai lepasnya plasenta dari uterus sebelum bayi dilahirkan.

Pasien dengan ruptur uteri dapat mengalami perdarahan pervaginam dan

kontraksi uterus yang hilang. Secara klinis, pasien atonia uteri dapat menunjukan

tanda perdarahan pervaginam juga terutama setelah kala III dari persalinan. Pada

atonia uteri, gejala dapat membaik dengan pemberian uterotonika.

Inversio uteri terjadi bila tenaga medis melakukan regangan tali pusat

secara kuat saat mengeluarkan plasenta. Hal ini menyebabkan segmen atas uterus

tertarik dan terlihat pada portio atau vagina. Inversio uteri menyebabkan gangguan

kontraksi uterus sehingga akan terjadi perdarahan terus menerus. Pada

pemeriksaan fisik, fundus uteri tidak teraba.

Tatalaksana
Penatalaksanaan ruptur uteri perlu dilakukan dengan cepat dan komprehensif

untuk mencegah terjadi komplikasi yang bersifat fatal. Penatalaksanaan awal

adalah stabilisasi pasien, kemudian dilakukan tindakan operatif.

Tatalaksana umum

Langkah utama pada pasien dengan ruptur uteri adalah berikan oksigen serta

memperbaiki kehilangan volume darah dengan pemberian infus cairan intravena

(NaCl 0,9% atau Ringer Laktat) sebelum tindakan pembedahan. Hipovolemik

merupakan penyebab utama kematian dari pasien dengan ruptur uteri. Selain itu,
perhatikan tanda gawat janin dan anemia. Apabila anemia, persiapkan darah untuk

transfusi. Jika kondisi ibu stabil, lakukan seksio sesarea untuk melahirkan bayi

dan plasenta.

Tatalaksana khusus

Tindakan operasi merupakan terapi definitif dari ruptur uteri. Pemilihan tindakan

operatif yang dilakukan tergantung pada keparahan ruptur dan klinis masing-

masing pasien. Dapat dilakukan tindakan repair ruptur hingga histerektomi.

Tindakan operasi berupa repair ruptur lebih dipilih terutama pada keadaan

dimana pasien masih memiliki keinginan untuk hamil lagi, low transverse uterine

rupture, robekan tidak sampai ke broad ligament, serviks, atau paracolpos,

pendarahan uterus mudah dikontrol, dan tidak ada tanda koagulopati secara klinis

maupun laboratorium. Dilaporkan bahwa 83% pasien berespon baik dengan

tindakan repair ruptur. Namun, tindakan ini memiliki kemungkinan ruptur ulang

dengan insidensi 4,3%-19%.

Gambar 2.3 Ilustrasi histerektomi subtutoal. Kiri, pemotongan dan pengikatan


ligamentum rotundum. Kanan, penjepitan pangkal tuba dan ligamentum ovarii proprium.
Sedangkan tindakan histerektomi karena ruptur uteri dilaporkan dilakukan

pada 3,4/10.000 persalinan. Pada wanita dengan riwayat sectio caesarea

sebelumnya, tindakan histerektomi dilaporkan 4-13%. Tindakan histerektomi

dipilih pada keadaan dimana robekan mencapai broad ligament atau sangat

ekstensif atau jika terjadi perdarahan yang sulit dikontrol.

Gambar 2.3 Spesimen histerektomi supraserviks yang menunjukkan ruptur uteri selama persalinan
spontan dengan robekan vertikal di tepi kiri segmen bawah uterus

Prognosis
Ruptur uteri berkaitan dengan 5% mortalitas perinatal. Dilaporkan pula

penambahan risiko kematian perinatal akibat skar ruptur uteri sebesar 1,4/10.000.

Ruptur yang terjadi pada unscarred uterus dikaitkan dengan peningkatan risiko

kematian fetus dan histerektomi.

Anda mungkin juga menyukai