Anda di halaman 1dari 10

Kanker Serviks dan Komplikasi Pada Ginjal

Epidemiologi

Sekitar 500.000 kasus kanker serviks terdeteksi setiap tahun di seluruh dunia,
terhitung hampir 5% dari semua kasus kanker yang terdiagnosis di dunia.
Sebagian besar kasus ini (lebih dari 80%) terjadi di negara berkembang.1,2

Komplikasi kanker serviks stadium lanjut yang seringkali terjadi adalah


nefropati obstruktif, yang salah satu teknik terbaik untuk menyelesaikan obstruksi
tersebut adalah ultrasonography-guided percutaneous nephrostomy (PCN).3
Bahkan, PCN dapat memulihkan fungsi ginjal lebih dari 60% pasien kanker
serviks, sehingga mencegah terapi penggantian ginjal pada pasien ini. 4 Selain itu,
pasien kanker serviks dapat mengalami hidronefrosis, sebagai komplikasi terkait
kanker atau pengobatan terkait kanker, yang berhubungan dengan morbiditas yang
lebih tinggi dan kelangsungan hidup yang lebih buruk.3

Patofisiologi

HPV terdeteksi pada 99,7% karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma, jenis
kanker serviks yang paling umum dijumpai. Ketika infeksi HPV bertahan dalam
epitel metaplastik dari zona transformasi serviks, HPV dapat menyebabkan
perubahan seluler displastik. Meskipun low-grade dysplasia (cervical
intraepithelial neoplasia 1 [CIN1]) biasanya mengalami regresi, namun dapat
berkembang menjadi high-grade dysplasia (CIN2 or CIN3). Kanker serviks
terjadi ketika high-grade lesion melampaui membran basal epitel serviks. Sekitar
20% wanita dengan high-grade dysplasia akan mengalami kanker serviks invasif
dalam waktu lima tahun jika tidak diobati. Kanker serviks menyebar melalui
ekstensi langsung, serta rute limfatik dan hematogen.5
Pada kanker serviks stadium lanjut, umumnya terjadi metastasis ke
beberapa organ. Metastasis biasanya dimulai dari organ yang berdekatan dengan
serviks, misalnya ureter. Jaringan dari tumor serviks yang ganas dapat secara
langsung menginvasi ureter ataupun menyebabkan jaringan parut/striktur ureter
akibat radioterapi atau pembedahan. Dengan demikian, hidronefrosis seringkali
terjadi di antara pasien dengan kanker serviks.6

Stadium

Stadium ditentukan dengan menggunakan panduan Federation of Gynecology and


Obstetrics 2014 berdasarkan pemeriksaan fisik (Gambar 1). Tumor serviks
stadium I terbatas pada serviks, sedangkan tumor stadium II meluas ke vagina
bagian atas atau jaringan lunak paraservikal. Tumor stadium III meluas ke vagina
bagian bawah atau dinding samping pelvis, sedangkan tumor stadium IV
menginvasi kandung kemih atau dubur atau telah menyebar ke tempat yang jauh. 7
Kanker serviks dengan komplikasi pada ginjal digolongkan dalam stadium IIIB
(Tabel 1).8

Gambar 1. Tampilan anatomi dari tahapan kanker serviks ditentukan oleh lokasi, luas
tumor, frekuensi presentasi, dan kelangsungan hidup dalam 5 tahun
Tabel 1. Stadium berdasarkan panduan Federation of Gynecology and Obstetrics 2014

Manifestasi klinis

Kanker serviks stadium awal biasanya tidak menunjukkan gejala. Sedangkan


karsinoma invasif yang lebih besar sering memiliki gejala atau tanda-tanda
termasuk bercak postcoitus atau perdarahan dengan siklus intermenstrual atau
menometrorrhagia. Selain itu muncul discharge kuning yang berbau busuk secara
terus-menerus. Gejala yang meliputi nyeri panggul atau sakrum menunjukkan
ekstensi lateral tumor ke pleksus saraf pelvis baik oleh tumor primer atau nodus
panggul dan merupakan tanda-tanda kanker stadium lanjut. Demikian pula, nyeri
panggul akibat hidronefrosis akibat kompresi ureter atau trombosis vena dalam
dari kompresi pembuluh iliaka menunjukkan extensive nodal disease atau
perluasan langsung tumor primer ke dinding samping pelvis. Adapun gejala yang
mungkin terjadi apabila disertai hidronefrosis adalah kelelahan, bengkak pada
ekstremitas (disebabkan oleh retensi air), sesak napas, dan hematuria.7

Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis kanker serviks diperlukan anamnesis, pemeriksaan


fisik, dan peeriksaan penunjang.9

a. Anamnesis
 Poin yang harus diperoleh dari anamnesis adalah Pap smear yang
abnormal, infeksi HPV kronis, dan riwayat displasia serviks.
 Riwayat imunosupresi termasuk HIV (kanker serviks adalah
penyakit terdefinisi AIDS pada pasien HIV), riwayat transplantasi
organ, penggunaan steroid kronis atau imunomodulator lain
menempatkan pasien pada risiko lebih tinggi terkena kanker
serviks.
 Faktor risiko tambahan yang harus dipastikan meliputi: riwayat
merokok, riwayat penggunaan kontrasepsi oral, berganti-ganti
pasangan seksual, usia dini hubungan seksual pertama.
b. Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan meliputi pemeriksaan spekulum untuk
memvisualisasikan massa dan luasnya serta pemeriksaan
rektovaginal untuk mengevaluasi penyebaran penyakit ke
parametria dan/atau dinding samping pelvis (Gambar 2). Area lain
yang harus diperiksa adalah kelenjar getah bening inguinalis
superfisial, femoralis, dan supraklavikula.
c. Pemeriksaan penunjang
 Biopsi lesi abnormal: untuk mengkonfirmasi diagnosis.
 CBC: untuk mengevaluasi anemia. Trombositosis juga dapat
ditemukan pada sebagian kecil pasien.
 Kimia serum: khususnya tingkat kreatinin untuk mengevaluasi
fungsi ginjal. Fungsi ginjal yang abnormal dapat menjadi tanda
penyakit stadium lanjut. Penilaian fungsi ginjal juga penting pada
pasien yang membutuhkan kemoterapi platinum.
 Pencitraan
i. Sistem FIGO pada stadium kanker serviks didasarkan pada
evaluasi klinis. Bagian utama dari evaluasi adalah
pemeriksaan fisik menyeluruh.
ii. X-ray dada dan IVP dapat dilakukan jika ada kecurigaan
klinis tetapi tidak diperlukan.
iii. CT, PET, dan MRI dapat dilakukan untuk menilai tingkat
penyakit, mengukur respons pengobatan, dan mengevaluasi
kekambuhan.

Adapun beberapa pemeriksaan tambahan yang perlu dilakukan apabila ada


tanda/gejala yang mengarah komplikasi terhadap ginjal:

a. Palpasi ginjal secara bilateral untuk mencari sumber nyeri atau


nefromegali, juga perkusi dan palpasi pada kandung kemih yang
membesar. Ukur tekanan darah dan periksa tanda-tanda kelebihan cairan.
Periksa kadar kreatinin serum, dan urea serta elektrolit. Penting untuk
dicatat bahwa kadar kreatinin serum mungkin normal pada pasien dengan
hidronefrosis unilateral karena kompensasi dari ginjal kontralateral.
Namun, pasien mungkin mengalami nyeri panggul ipsilateral parah karena
distensi dari calyces ginjal dan panggul, sehingga membutuhkan
perawatan segera untuk mencegah kerusakan permanen pada ginjal.
b. Dipstik urin dan mid-stream urine dapat memberikan bukti yang
menunjukkan infeksi saluran kemih atas. Hidronefrosis dapat
menyebabkan pionefrosis yang disebabkan oleh stasis urin pada saluran
kemih atas; pus dapat terkumpul pada upper collecting system dan
menyebar ke parenkim ginjal yang menyebabkan pielonefritis akut. Dalam
hal ini pengobatan yang mendesak dari penyebab yang mendasarinya
diperlukan karena pasien mungkin secara sistemik tidak sehat dengan
perkembangan menjadi sepsis yang ditunjukkan oleh demam, hipotensi,
takikardia, dan peningkatan jumlah sel darah putih dan kadar protein C-
reaktif.
c. Ultrasonografi ginjal (Gambar 2) biasanya merupakan modalitas
pencitraan pilihan kecuali diduga adanya nefrolitiasis. USG akan
mengevaluasi ginjal dan collecting system. Hidronefrosis dilihat sebagai
ruang yang saling berhubungan berisi cairan anechoic dengan peningkatan
di dalam sinus ginjal, dan biasanya pelvis yang melebar dapat dibedakan
dari calyces yang dilatasi.

Gambar 2. Ultrasonografi ginjal kiri menunjukkan hidronefrosis berat (panah)


dengan penipisan korteks ginjal sekunder karena obstruksi pelviureteric junction
kronis
d. Computed tomography urography memberikan gambaran saluran kemih
yang sangat baik. Cowan (2012) mendefinisikannya sebagai pemeriksaan
tomografi komputer dari ginjal, ureter dan kandung kemih dengan
setidaknya satu seri gambar yang diperoleh selama fase ekskresi setelah
pemberian kontras intravena. Saluran atas dapat dengan jelas dinilai
dengan peningkatan awalnya dari parenkim (fase parenkim) dan kemudian
ekskresi kontras melalui sistem pengumpulan (fase ekskretoris). CT dapat
mendeteksi hidronefrosis yang mengindikasikan pelvic sidewall disease
tetapi tidak akurat dalam mengevaluasi struktur panggul lainnya.
e. MRI lebih akurat dalam memperkirakan ekstensi uterus dan ekstensi
paracervical penyakit ke jaringan lunak yang biasanya dibatasi oleh
ligamen kardinal dan luas yang menopang uterus di pelvis sentral.

Tatalaksana

Umumnya tatalaksana pada kanker serviks seperti yang diilustrasikan pada


Gambar 3. Penatalaksanaan kanker serviks tergantung pada stadium, keterlibatan
kelenjar getah bening, komorbiditas pasien, dan faktor risiko terhadap rekurensi.
Perawatan mungkin termasuk reseksi bedah, radiasi, kemoterapi, atau kombinasi.9

Gambar 3. Tatalaksana kanker serviks berdasarkan stadium klinis

Stadium IIIB didefinisikan sebagai kanker serviks yang menyebar ke


dinding pelvis atau kanker serviks yang terkait dengan hidronefrosis atau
gangguan ginjal (RI). Tahap ini (IIIB) disertai dengan komplikasi urologis, dan
tahap yang lebih tinggi menandakan tingkat komplikasi yang lebih tinggi.
Kemungkinan komplikasi urologis termasuk infeksi saluran kemih, fistula
vesikovaginal, obstruksi ureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal, dan semua ini
dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien kanker serviks stadium
lanjut.10 Standar perawatan untuk kanker serviks lanjut adalah radioterapi yang
dikombinasi dengan kemoterapi berbasis cisplatin, perawatan ini mungkin
bermanfaat pada pasien dengan keterlibatan metastasis terbatas.11

Perawatan yang efektif harus dilakukan segera karena obstruksi jangka


panjang dapat menyebabkan rasa sakit, infeksi, dan akhirnya kerusakan atau gagal
ginjal. Beberapa prosedur yang dipertibangkan untuk mencegah terjadinya
komplikasi yaitu ureteral stent dan PCN.

Penempatan ureteral stent dan nefrostomi perkutan/PCN dapat dipilih


pada drainase urin. Kondisi ini dapat meringankan penderitaan pasien dan
melindungi fungsi ginjal pasien, yang kondusif untuk perawatan lanjutan kanker
serviks jika perlu. Saat ini, penempatan ureteral stent umumnya dianggap sebagai
metode yang disukai untuk menghilangkan obstruksi ureter, tetapi dengan adanya
kanker serviks, manipulasi mungkin sulit. Beberapa peneliti telah menunjukkan
peningkatan yang signifikan dalam tingkat kegagalan penempatan stent ureter
ketika tumor panggul menyebabkan kompresi eksogen. Sementara itu, PCN juga
dapat menyebabkan banyak masalah, seperti perpindahan kantong pengumpul urin
eksternal dan tabung drainase, yang mengurangi kualitas hidup pasien.12

Pada penelitian Tan S, dkk, penempatan ureteral stent adalah metode yang
lebih dipilih pada pengobatan hidronefrosis sekunder akibat kanker serviks.
Namun, pada pasien dengan hidronefrosis berat dan obstruksi ureter >3 cm, PCN
lebih dipertimbangkan.12

Komplikasi Terapi

 Komplikasi kemoterapi termasuk nefrotoksisitas, neuropati perifer, dan


penekanan sumsum tulang. Nefrotoksisitas dapat dicegah dengan hidrasi
yang adekuat dengan kemoterapi. Neuropati dapat dikelola dengan
pengurangan dosis dan/atau terapi obat untuk neuropati yang lebih parah.
Faktor stimulasi koloni dapat digunakan untuk mengobati penekanan
sumsum tulang. Supresi sumsum tulang dapat menempatkan pasien pada
risiko sepsis neutropenia, yang dikelola dengan antibiotik intravena. Selain
itu dapat menyebabkan anemia, target Hb sebelum kemoterapi yaitu
≥10g/dl.9
 Komplikasi terapi radiasi bisa akut atau kronis dan termasuk proktitis
radiasi, radiasi sistitis, dan penyempitan vagina. Proktitis radiasi dan
sistitis dapat dicegah dengan meminimalkan paparan struktur terdekat ke
bidang radiasi. Dilator digunakan untuk perawatan striktur vagina. 9

Prognosis

Waktu kelangsungan hidup rata-rata pasien dengan kanker serviks dengan


hidronefrosis adalah 3 hingga 12 bulan. Harapan hidup yang lebih singkat ini
membuat kebanyakan ahli urologi enggan melakukan operasi rekonstruktif.
Sehingga, banyak pasien yang diberikan perawatan paliatif.6

Daftar pustaka

1. Davoodi M, Bahadoram S, Bahadoram M, Khazaei Z, Amiri M. Impact of


cancers on the kidney function and structure; an ignored entity. J Renal Inj
Prev. 2018;7(3).
2. Fan G, Xie YU, Pei X, Lei J, Ye M, Zeng G, et al. Renal metastasis from
cervical carcinoma presenting as a renal cyst: A case report. Oncol Lett.
2015;10:2761-2764.
3. Patel K, Foster NR, Kumar A, Grudem M, Longenbach S, Bakkum-
Gamez J, et al. Hydronephrosis in patients with cervical cancer: an
assessment of morbidity and survival. Support Care Cancer.
2015;23:1303-9.
4. Souza AC, Souza AN, Kirsztajn R, Kirsztajn GM. Cervical cancer: Renal
complications and survival after percutaneous nephrostomy. Rev Assoc
Med Bras. 2016 Jun;62(3):255-61.
5. Wipperman J, Neil T, Williams T. Cervical cancer: evaluation and
management. American family physician. 2018 Apr 1;97(7):449-54.
6. Tan S, Tao Z, Bian X, Zhao Y, Wang N, Chen X, Wu B. Ureteral stent
placement and percutaneous nephrostomy in the management of
hydronephrosis secondary to cervical cancer. Eur J Obstet Gynecol Reprod
Biol. 2019 Oct 1;241:99-103.
7. Spriggs D. Gynecologic Malignancies. In: Jameson JL. Harrison's
principles of internal medicine. McGraw-Hill Education; 2018. 640-1.
8. Freeman SJ, Aly AM, Kataoka MY, Addley HC, Reinhold C, Sala E. The
revised FIGO staging system for uterine malignancies: implications for
MR imaging. Radiographics. 2012 Oct;32(6):1805-27.
9. Nair N, Beddoe AM, Dottino P. Cervical Cancer. Mount Sinai Expert
Guides: Oncology. 2019 Sep 13:194-203.
10. Nuranna L, Antonius PA, Laily AN, Kusuma F, Nuryanto KH. IIIB-plus:
A new classification recommended for stage IIIB cervical cancer patients
with renal impairment. Journal of Natural Science, Biology and Medicine.
2019 Nov 1;10(3):113.
11. Porras GO, Nogueda JC, Chacón AP. Chemotherapy and molecular
therapy in cervical cancer. Reports of Practical Oncology & Radiotherapy.
2018 Nov 1;23(6):533-9.
12. Tan S, Tao Z, Bian X, Zhao Y, Wang N, Chen X, Wu B. Ureteral stent
placement and percutaneous nephrostomy in the management of
hydronephrosis secondary to cervical cancer. European Journal of
Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology. 2019 Oct 1;241:99-
103.

Anda mungkin juga menyukai