Anda di halaman 1dari 10

ICU-Acquired Weakness

1. Definisi
Kelemahan yang didapat pada ICU (ICU-acquired weakness/ICUAW)
merupakan kelemahan otot menyeluruh yang terjadi selama pasien dalam
perawatan ICU dan tidak ada penyebab lain selain penyakit kritis itu sendiri.
ICUAW berperan penting terhadap terjadinya disabilitas pada pasien setelah
penyakit kritis. Terdapat beberapa patologi yang menggambarkan ICU-AW
termasuk CIM/critical illness myopathy, CIP/critical illness polyneuropathy
atau kombinasi keduanya berupa CINM/critical illness neuromyopathy
(gambar 1).

Gambar 1. Hubungan antara ICUAW, CINM, CIP, dan CIM. ICUAW biasanya terjadi pada pasien
sakit kritis dengan klinis weakness. Kebanyakan pasien dengan ICUAW mengalami disfungsi
saraf dan/atau otot dan lebih lanjut masing-masing dicirikan memiliki CIP dan/atau CIM. Istilah
CINM digunakan untuk menggambarkan kejadian CIP dan CIM yang umum terjadi pada setiap
pasien. Atrofi otot juga mungkin berperan dalam perkembangan ICUAW dan mungkin
berdampingan dengan CINM.

2. Epidemiologi dan Faktor Risiko


Insiden ICUAW hampir terjadi pada 80% pasien yang sakit kritis, meskipun
angka ini bervariasi sesuai dengan lokasi, jumlah, dan derajat keparahan faktor
risikos serta waktu di mana pasien dievaluasi. Berbagai penelitian telah

1
menyelidiki faktor risiko yang terkait dengan ICUAW dan yang paling
konsisten terkait dengan etiologi keparahan penyakit kritis dan inflamasi.
Secara khusus, sepsis, syok, dan multiorgan failure merupakan faktor risiko
yang paling sering dan berkaitan erat dengan ICUAW.
Dalam studi lainnya, diketahui bahwa hiperglikemia juga berkaitan dengan
perkembangan klinis dan elektrofisiologi ICUAW dan kontrol glikemik yang
ketat dapat mengurangi kejadian ICUAW. Awalnya peneliti berpendapat
bahwa kortikosteroid dan blokade neuromuskuler dapat memperuruk kondisi
pasien dengan ICUAW. Namun, dalam analisis multivariabel dan randomized
trial dapat mengugurkan hipotesis tersebut. Meskipun kortikosteroid dapat
menjadi toxic bagi otot dan dapat menyebabkan hiperglikemia, kortikosteroid
juga dapat mengurangi proses inflamasi. Karena banyaknya efek samping yang
berkaitan dengan penggunaan steroid pada pasien sakit kritis, hal yang perlu
dilakukan adalah menggunakan kortikosteroid jika diindikasikan pada penyakit
yang mendasari, menggunakan dosis terendah, dan mengantisipasi serta
mengendalikan hiperglikemia. Seperti pada penggunaan kortikosteroid,
penggunaan paralitik juga awalnya diduga menunjukkan adanya hubungan
dengan perkembangan ICUAW, namun dalam analisis multivariat
mengevaluasi penggunaan awal neuromuscular junction blocking agent pada
acute respiratory distress syndrome tidak menunjukkan hubungan yang
signifikan dengan ICUAW.
Pada individu sehat, degenerasi otot dapat terjadi paling cepat 4 jam
setelah imobilisasi dan presentase average daily loss yaitu 1% hingga 1,3%
dari keseluruhan kekuatan otot terlihat per hari saat imobilisasi. Selain itu,
kondisi katabolik yang ditemui pada penyakit kritis dapat memperburuk
muscle loss pada pasien ICU yang mengalami imobilisasi. Hingga saat ini
masih belum diketahui pasti sejauh mana atrofi otot pada imobilisasi berperan
dalam proses terjadinya ICUAW. Hampir 90% pasien dengan ventilasi
mekanis mengalami imobilisasi saat berada di ICU dan kejadian ICUAW
secara langsung berkaitan dengan durasi ventilasi mekanis dan perawatan di
ICU, meskipun variabel ini mungkin tidak secara eksklusif dikaitkan dengan

2
perkembangan atrofi otot. Diketahui bahwa rehabilitasi dini dapat mengurangi
kejadian ICUAW.
3. Patofisiologi
Selain atrofi otot, perubahan struktural dan fungsional yang terjadi pada saraf
dan/atau otot di ICUAW terutama disebabkan oleh proses inflamasi. Meskipun
lebih mudah untuk mengkonseptualisasikan CIP, CIM, dan atrofi otot sebagai
entitas klinis yang berbeda, kenyataannya adalah patofisiologi ICUAW
kemungkinan besar menggabungkan ketiga proses yang terjadi secara
bersamaan.
Inflamasi merupakan penyebab proksimal utama CIP dan CIM, oleh
karena itu penting untuk meninjau efek secara singkat. Inflamasi sistemik yang
disebabkan oleh penyakit kritis (yang meliputi sepsis, acute respiratory
distress syndrome, dan sebagainya) mengakibatkan disfungsi mikrosirkulasi
sebagai akibat dari banyak mekanisme termasuk melambatnya aliran darah
arteriol dan obstruksi kapiler akibat migrasi neutrofil dan trombosit/agregasi
fibrin. Peningkatan permeabilitas vaskular yang disebabkan oleh pelepasan
sitokin inflamasi, hiperglikemia, dan hipoalbuminemia juga menyebabkan
edema jaringan lokal dan menghambat difusi oksigen serta nutrisi ke jaringan
saraf dan otot, yang secara efektif mengakibatkan energy failure pada tingkat
jaringan. Peningkatan permeabilitas vaskular juga memungkinkan toxin masuk
ke jaringan saraf dan otot, yang selain hiperglikemia, dapat berdampak buruk
pada fungsi mitokondria. Karena gejala sisa inflamasi terjadi secara umum
dalam seluruh tubuh, otak juga dapat dipengaruhi oleh proses patofisiologis
yang sama, yang dapat menjelaskan hubungan antara ensefalopati septik dan
ICUAW.
Manifestasi klinis CIP yaitu length-dependent sensorimotor axonal
polyneuropathy. Selain serat saraf motorik dan sensorik yang besar, diketahui
bahwa serat kecil dan saraf otonom juga ikut terpengaruh. Dalam studi
konduksi saraf (nerve conduction studies/NCS) tampak adanya abnormalitas
sebelum perubahan histologis, meskipun akhirnya degenerasi aksonal primer
terjadi. Kerusakan blood-nerve barrier dan membran endoneural juga menjadi

3
salah satu pencetus mekanisme CIP. CIM secara patologis ditandai dengan
hilangnya filamen tebal yang menggambarkan kerusakan miosin, hilangnya
reaktivitas ATPase, dan nekrosis. Selain itu, perubahan fungsional terjadi pada
jaringan otot sehingga menyebabkan disfungsi sodium channel sekunder.

4. Manifestasi klinis
Manifestasi utama dari ICUAW adalah flaccid quadriparesis dan gagal nafas
neuromuskuler, yang sering muncul sebagai ketidakmampuan menyapih dari
prosedur ventilasi mekanis meskipun terjadi pertukaran gas normal. Gejala ini
bisa muncul dengan cepat dan dalam beberapa hari pertama setelah masuk
ICU. Namun, kondisi weakness dapat tertunda karena ketidakmampuan pasien
untuk berpartisipasi dalam pemeriksaan sekunder akibat ensefalopati, sedasi,
atau paralisis farmakologis. Studi elektrofisiologi serial telah menunjukkan
kelainan pada hari pertama setelah masuk ICU dan dalam 13 hari pada semua
pasien. Penurunan tiba-tiba dalam amplitudo compound muscle action
potential (CMAP) menunjukkan perkembangan CINM selama 24 jam pada
65% pasien dalam satu penelitian, sedangkan pasien yang tersisa mengalami
penurunan progresif selama 3 hari.
Pasien dengan CIP memiliki gejala lemah pada ekstremitas distal,
meskipun pada kasus yang lebih parah kelemahan juga dapat mempengaruhi
otot proksimal. Otot wajah dan ekstraokular biasanya tidak mengalami cedera,
meskipun kelemahan otot pernapasan sering terjadi. Selain itu, diamati pula
stocking and glove distribution numbness pada ekstremitas yang disebabkan
oleh keterlibatan saraf sensorik. Keterlibatan small fiber nerve berperan atas
munculnya burning neuropathic-type pain dan ekstremitas dingin yang dialami
oleh beberapa pasien yang selamat dari ICUAW. Pada pemeriksaan deep
tendon reflex biasanya berkurang atau tidak ada.
Sebaliknya, pada pasien dengan CIM memiliki gejala yang berkembang
dari kelemahan ekstremitas proksimal ke distal seiring dengan meningkatnya
keparahan penyakit. Keterlibatan wajah dapat terjadi, diikuti dengan
kelemahan otot mata, meskipun kelemahan otot mata sangat jarang terjadi.

4
Pada pasien dengan CIP, kelemahan otot pernapasan sering terjadi. Kelainan
sensorik tidak ditemukan pada isolated CIM. Tidak seperti miopati inflamasi,
biasanya tidak terjadi myalgia. Deep tendon reflex mungkin normal atau
berkurang.
Terlepas dari perbedaan klinis antara CIP dan CIM, kebanyakan pasien
dengan ICUAW memiliki kombinasi CIP dan CIM. Oleh karena itu, ciri-ciri
dari kedua penyakit kemungkinan besar muncul secara bersamaan pada pasien
yang sama dan ke arah patologi yang dominan.
Kelemahan otot pernapasan mungkin saja terjadi pada 80% pasien dengan
ICUAW. Gangguan atau tidak adanya kontraktilitas diafragma dengan/tanpa
disertai atrofi diafragma merupakan mekanisme utama dari kelemahan
pernapasan. Istilah disfungsi diafragma yang diinduksi oleh ventilator telah
diciptakan untuk menggambarkan kelemahan dan atrofi diafragma yang terjadi
dengan cara yang bergantung pada waktu dengan meningkatnya durasi
ventilasi mekanis dan entitas ini dapat berkontribusi atau berhubungan
langsung dengan ICUAW. Disfungsi diafragma yang terjadi pada pasien
ICUAW mungkin tidak terkait dengan derajat kelemahan ekstremitas. Pada
pasien yang menggunakan ventilasi mekanis, kelemahan pernapasan
neuromuskuler dapat muncul sebagai volume tidal yang rendah atau kebutuhan
akan high level of pressure support pada mode ventilasi mekanis spontan.
Pasien dengan volume tidal yang rendah dapat mengalami takipnea untuk
mempertahankan ventilasi yang adekuat. Insufisiensi pernapasan mungkin
tidak segera terlihat saat mengalihkan pasien dari mode assist control ke mode
ventilasi mekanis spontan, namun dapat terjadi beberapa jam kemudian. Pasien
exubated dengan kelemahan pernapasan dapat mengembangkan gejala klasik
gagal napas neuromuskuler termasuk takipnea, takikardia, diaforesis, gangguan
bicara, ortopnea, atau paradoxical breathing. Insufisiensi pernapasan mungkin
akan lebih terasa pada malam hari dan ventilasi non-invasif dapat membantu
pada siang hari dan terutama pada malam hari.

5. Diagnosis

5
Diagnosis ICUAW dibuat secara klinis menggunakan pemeriksaan neurologis
standar yang menguji kekuatan pada kelompok otot proksimal, midlimb, dan
distal pada setiap ekstremitas (Tabel 1). Skor yang dijumlahkan kurang dari 48
atau skor rata-rata 4 menggunakan skala Medical Research Council (MRC)
pada pasien sakit kritis, di mana tidak ada penyebab kelemahan lain yang
terlihat, konsisten dengan diagnosis ICUAW. Namun, dalam definisi memiliki
beberapa keterbatasan. Pertama, penggunaan skala MRC mengharuskan pasien
cukup waspada untuk bekerja sama dengan pemeriksaan, persyaratan yang
tidak dipenuhi hingga tiga perempat pasien karena ensefalopati, sedasi, atau
paralisis. Kedua, variasi antar pengamat saat menggunakan skor MRC untuk
mengevaluasi kekuatan pada pasien sakit kritis. Selain itu kurangnya
pengetahuan tentang status neuromuskuler prehospital atau fluktuasi karena
delirium juga dapat mengganggu pemeriksaan. Ketiga, definisi tidak informatif
tentang penyebab kelemahan. Terakhir, melakukan penilaian kekuatan
komprehensif dapat memakan waktu, terutama pada pasien semikooperatif.
Penggunaan handgrip strength testing telah diusulkan sebagai tes sederhana
dan cepat untuk mendiagnosis ICUAW. Penelitian telah menunjukkan bahwa
pemeriksaan tersebut 80% sensitif dan spesifik dalam mendiagnosis ICUAW
menggunakan klasifikasi MRC sebagai baku emas dan pemeriksaan tersebut
memiliki nilai prognostik, karena handgrip strength telah terbukti berbanding
terbalik dengan mortalitas. Namun, keterbatasannya mirip dengan handgrip
strength MRC: membutuhkan pasien yang kooperatif dan tidak memberikan
informasi mengenai etiologi.
Elektromiografi (EMG) dan NCS dapat memastikan diagnosis ICUAW
dengan mengidentifikasi keberadaan CIP dan/atau CIM dan dapat
menyingkirkan diagnosis lain. Namun, kinerja NCS pada pasien di ICU
mungkin terhalang oleh edema, gangguan listrik, atau kabel pengatur
kecepatan eksternal. Informasi dari EMG sangat terbatas kecuali pasien dapat
secara sukarela mengkontraksikan ototnya dan mungkin terkendala dalam
kondisi koagulopati. Dalam NCS, CMAP sangat berkurang pada CIP dan CIM.
Durasi CMAP menjadi diperpanjang di CIM, sebuah temuan yang

6
berhubungan dengan konduksi impuls listrik di sepanjang serat otot,
mendukung teori muscle inexcitibility dari sodium channelopathy sebagai
mekanisme patofisiologis penyakit (gambar 2).
Tabel 1. Diagnosis ICU-acquired weakness

Skor total <48 atau skor rata-rata 4 sesuai dengan diagnosis ICU-Acquired Weakness.

Gambar 2. (A) Karakteristik morfologi CMAP pada CIM dengan penurunan amplitudo yang
berat dan durasi yang lama. (B) CMAP normal sebagai perbandingan.

7
Pemeriksaan lain yang digunakan untuk mendiagnosis ICUAW termasuk
direct muscle stimulation, di mana otot berkontraksi saat distimulasi dalam CIP
(karena impuls melewati saraf yang terkena) tetapi tidak CIM (karena otot
mengalami inexcitable). Namun, studi ini membutuhkan keahlian dan pelatihan
tambahan serta mungkin sulit untuk dilakukan di ICU. Atrofi otot dan
hilangnya struktural pada ultrasonografi otot telah terbukti berkorelasi dengan
nekrosis myofiber pada biopsi, memiliki keandalan antar penilai yang baik,
tidak invasif, dan dapat membantu dalam diagnosis ICUAW, tetapi
memerlukan studi lebih lanjut sebelum diterapkan dalam praktik rutin.
Keuntungan dan batasan studi diagnostik yang digunakan untuk
mengidentifikasi ICUAW dirangkum dalam Tabel 2.

Tabel 2. Keuntungan dan keterbatasan tes diagnostik dalam mengidentifikasi


ICUAW

8
Pemeriksaan brain imaging harus tetap dilakukan apabila terdapat
perubahan status mental yang tidak dapat dijelaskan, defisit neurologis fokal
baru, atau temuan lain yang melokalisasi sistem saraf pusat. Evaluasi spinal
cord harus dilakukan apabila terdapat lemah badan simetris setingkat dengan
saraf sensorik. Kecurigaan kondisi gangguan neuromuskuler yang sudah ada
sebelumnya juga harus memerlukan pemeriksaan berdasarkan gejala, yang
mencakup EMG/NCS dan/atau pungsi lumbal. Tes train-of-four dapat
mengevaluasi blokade neuromuskuler yang berkepanjangan, terutama jika
pasien mengalami paralisis dalam waktu yang lama dan/atau mengalami
insufisiensi ginjal atau hati. Kreatinin kinase biasanya hanya sedikit meningkat
pada ICUAW, oleh karena itu inflammatory myopathy harus dipertimbangkan
jika terdapat peningkatan nilai diatas normal. Sedangkan pada kelemahan
pernapasan wajib dilakukan evaluasi secara obyektif dengan tes fungsi paru,
radiografi dada, gas darah arteri, dan USG diafragma.

6. Tatalaksana
Pengurangan faktor risiko tetap menjadi dasar untuk mencegah perkembangan
atau memburuknya ICUAW. Meskipun sampai saat ini terapi yang ditujukan
untuk mengurangi inflamasi, namun masih belum dikaitkan dengan penurunan
insiden ICUAW, pengenalan kasus yang cepat serta pengobatan sepsis dan
syok yang agresif umumnya dianggap sebagai pencegahan. Penurunan insiden
ICUAW dan durasi ventilasi mekanis telah dibuktikan dengan terapi insulin
intensif yang menargetkan kadar glukosa darah 80 hingga 110 mg/hari.
Mengurangi peningkatan glukosa darah >180 mg/dL sambil menghindari
hipoglikemia merupakan strategi tatalaksana pada sebagian besar pasien ICU.
Meminimalkan sedasi dan rehabilitasi awal adalah landasan lain dalam
pencegahan dan pengobatan ICUAW. Hal ini membutuhkan penilaian harian
tentang kebutuhan sedasi dan paralisis. Upaya multidisiplin terkoordinasi yang
mencakup perawat dan ahli fisioterapi sangatlah penting.

9
Pasien dengan ICUAW harus dipantau untuk komplikasi medis, seperti
depresi, superimposed compression neuropathy akibat tirah baring, atrofi otot,
mucous plugging, atelektasis, pneumonia, ulkus dekubitus, dan trombosis vena
dalam (DVT). Oleh karena itu, pasien harus diberikan antidepresan bila
diindikasikan, skin protective measures, pulmonary hygiene, dan profilaksis
DVT.

7. Prognosis
ICUAW telah dikaitkan dengan durasi perawatan ICU yang berkepanjangan
dan ventilasi mekanis yang berlangsung lama. Dalam studi kohort, pasien
dengan ICUAW memiliki mortalitas 30% lebih tinggi saat keluar dari rumah
sakit. Studi yang sama juga menemukan bahwa ICUAW dikaitkan dengan
biaya rumah sakit 30% lebih tinggi. Pasien lanjut usia dan pasien dengan CIP
dominan memiliki prognosis yang lebih buruk. Penyebab kematian pada pasien
dengan ICUAW mungkin berhubungan dengan kelemahan pernafasan, disfagia
dan aspirasi, serta komplikasi sistemik terkait, seperti pembentukan DVT dan
emboli paru.
Pemulihan pada pasien dengan ICUAW biasanya stabil setelah 1 hingga 2
tahun. Pasien yang berusia lebih muda dengan kelemahan yang tidak terlalu
parah akan memiliki peluang sembuh total lebih besar. Namun, dalam banyak
kasus, kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan fungsi fisik dapat
tetap tertekan bahkan bertahun-tahun setelah penyakit akut dan meskipun
kelemahan membaik.

Daftar Pustaka

1. Kramer, Christopher L. Intensive care unit–acquired


weakness. Neurologic clinics, 2017, 35.4: 723-736.
2. Hermans, Greet. Clinical review: intensive care unit acquired
weakness. Critical care, 2015, 19.1: 1-9.

10

Anda mungkin juga menyukai