Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Angka kematian bayi (AKB) atau Infant Mortality Rate (IMR) menjadi indikator
pertama dalam menentukan derajat kesehatan anak, karena merupakan cerminan dari
status kesehatan anak saat ini. AKB merupakan jumlah bayi yang meninggal sebelum
mencapai usia 1 tahun yang dinyatakan dalam 1000 kelahiran hidup pada tahun yang
sama (Kemenkes RI, 2013). Penyebab kematian bayi terbanyak adalah karena gangguan
perinatal. Dari seluruh kematian perinatal sekitar 2 –27% disebabkan karena kelahiran
bayi berat lahir rendah (BBLR), yaitu bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari
2500 gr. BBLR berisiko kematian 35 kali lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang
berat badan lahirnya diatas 2500 gram.
BBLR dapat berakibat jangka panjang terhadap tumbuh kembang anak dan
memiliki risiko penyakit jantung dan diabetes di masa yang akan datang. BBLR memiliki
resiko yang lebih besar untuk mengalami gangguan perkembangan kognitif seperti
retardasi mental. Selain itu pada bayi BBLR yang disebabkan oleh premature atau masa
kehamilan kurang dari 37 minggu, kondisi paru-paru yang belum sepenuhnya matur
membuat BBLR tersebut beresiko mengalami asfiksia. BBLR juga memiliki system imun
yang kurang baik dibandingkan pada bayi dengan berat normal sehingga lebih mudah
mengalami infeksi yang dapat mengakibatkan kesakitan atau bahkan kematian
(Hartiningrum & Fitriyah, 2018).
Menurut Data WHO, bahwa prevalensi kejadian BBLR di dunia yaitu 20 juta
(15.5%) setiap tahunnya, dan negara berkembang menjadi kontributor terbesar yaitu
sekitar 96.5% (WHO, 2018). Indonesia merupakan salah satu negara berkembang, dimana
prevalensi BBLR masih cukup tinggi. Indonesia menduduki peringkat ke-9 tertinggi di
dunia terkait angka kejadian BBLR, yaitu sebesar lebih dari 15,5% dari kelahiran bayi
setiap tahunnya (Ika, 2015).
Di Indonesia persentase BBLR tahun 2013 sebesar 10,2% lebih rendah dari tahun
2010 yaitu 11,1%. Persentase BBLR tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Tengah
(16,9%) dan terendah di Sumatera Utara (7,2%). Sedangkan di Provinsi Banten, angka
kejadian BBLR berdasarkan Riskesdas 2013 adalah sebesar 10,2%, sedikit lebih rendah
dibandingkan dengan BBLR tahun 2009 yaitu sebesar 10,5% (Riskesdas, 2013).
Faktor – faktor resiko yang mempengaruhi terhadap kejadian BBLR, antara lain adalah
karakteristik sosial demografi ibu (umur kurang dari 20 tahun dan umur lebih dari 34 tahun,
ras kulit hitam, status sosial ekonomi yang kurang, status perkawinan yang tidah sah, tingkat
pendidikan yang rendah). Risiko medis ibu sebelum hamil juga berperan terhadap kejadian
BBLR (paritas, berat badan dan tinggi badan, pernah melahirkan BBLR, jarak kelahiran).
Status kesehatan reproduksi ibu berisiko terhadap BBLR (status gizi ibu, infeksi dan penyakit
selama kehamilan, riwayat kehamilan dan komplikasi kehamilan). Status pelayanan antenatal
(frekuensi dan kualitas pelayanan antenatal, tenaga kesehatan tempat periksa hamil, umur
kandungan saat pertama kali pemeriksaan kehamilan) juga dapat beresiko untuk melahirkan
BBLR (Cunningham FG et al, 2014).

Di wilayah Kabupaten Tangerang, berdasarkan data, diketahui kasus BBLR pada tahun
2016 sebesar 11,6%, lebih tinggi dibandingkan dengan kasus BBLR di tahun 2015 yaitu
sebesar 10,2%. Adapun salah satu Puskesmas yang ada di Kabupaten Tangerang dan
memiliki jumlah kasus BBLR cukup tinggi adalah Puskesmas Mekar Baru, dimana pada
tahun 2016 jumlah kasus BBLR sebanyak 13 kasus, dan sampai perode Oktober tahun 2017
meningkat cukup signifikan menjadi 20 kasus. Kondisi ini menggambarkan bahwa kasus
BBLR di Puskesmas Mekar Baru perlu untuk segera ditangani dan dilakukan upaya - upaya
pencegahannya, yang semuanya dapat dilakukan apabila didukung oleh tingkat pengetahuan
dan sikap yang positif dari ibu hamil terkait pencegahan BBLR (Profil Dinkes Propinsi
Banten, 2016).

Dalam mengurangi dan mencegah peningkatan terjadinya masalah BBLR di Puskemas


Mekar Baru, Kabupaten Tangerang, maka diperlukan penanganan dan perhatian khusus dari
pemerintah setempat maupun pemerintah pusat. Penerapan program dan intervensi gizi perlu
dilakukan untuk mengatasi masalah kematian bayi terutama akibat BBLR. Beberapa program
yang telah dibuat dan dijalankan oleh pemerintah perlu dilaksanakan dengan sebaik mungkin.
Namun, selain program pemerintah juga dapat dilakukan dengan membuat program baru
yang dinilai dapat lebih memaksimalkan upaya penanganan BBLR di wilayah Kabupaten
Tangerang.
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana prevalensi kasus BBLR di Kabupaten Tangerang?
b. Bagaimana analisis situasi atau kondisi dari Kabupaten Tangerang yang berkaitan
dengan kasus BBLR?
c. Bagaimana usulan perencanaan program baru untuk memaksimalkan upaya
penanggulangan di Kabupaten Tangerang?

1.3 Tujuan
a. Mengetahui prevalensi kasus BBLR di Kabupaten Tangerang.
b. Menganalisis situasi atau kondisi dari Kabupaten Tangerang yang berkaitan dengan
kasus BBLR.
c. Membuat rancangan program baru sebagai salah satu usaha dalam upaya
penanggulangan kasus BBLR.

Dafpus :

Perwiraningtyas, P., Ariani, N. L., & Anggraini, C. Y. (2020). Analisis Faktor Resiko Tingkat Berat Bayi
Lahir Rendah. Journal of Nursing Care, 3(3).

Trisnawati, N., Mustofa, F. L., & Illahi, M. R. (2018). HUBUNGAN UPAYA PENCEGAHAN YANG
DILAKUKAN IBU HAMIL TERHADAP BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR) DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS MEKAR BARU KABUPATEN TANGERANG TAHUN 2018. Jurnal Ilmu Kedokteran
dan Kesehatan, 5(4).

Putri, A. W., Pratitis, A., Luthfiya, L., Wahyuni, S., & Tarmali, A. (2019). Faktor Ibu terhadap Kejadian
Bayi Berat Lahir Rendah. HIGEIA (Journal of Public Health Research and Development), 3(1), 55-62.

Sembiring, J. B., Pratiwi, D., & Sarumaha, A. (2019). Hubungan Usia, Paritas dan Usia Kehamilan
dengan Bayi Berat Lahir Rendah di Rumah Sakit Umum Mitra Medika Medan. Jurnal Bidan
Komunitas, 2(1), 38-46.

Hartiningrum, I., & Fitriyah, N. (2018). Bayi berat lahir rendah (BBLR) di Provinsi Jawa Timur tahun
2012-2016. Jurnal Biometrika dan Kependudukan, 7(2), 97-104.

Anda mungkin juga menyukai