Anda di halaman 1dari 21

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Hakikat Metode

Secara umum metode mempunyai pengertian suatu garis-garis besar

haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan.

Metode berasal dari Bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan

yang ditempuh.1 Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka, metode

menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi

sasaran ilmu yang bersangkutan. Fungsi metode berarti sebagai alat untuk

mencapai tujuan, atau bagaimana cara melakukan atau membuat sesuatu.2

Selain itu, metode merupakan cara-cara yang akan dipilih dan

digunakan oleh seorang untuk bertindak, sehingga akan mempermudah

tercapainya tujuan atau sasaran yang diinginkan.3 Metode juga dapat diartikan

sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain

untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.4 Dengan diterapkannya metode

diharapkan tujuan atau sasaran dapat dicapai.

B. Metode Ulama

Metode ulama merupakan cara-cara para ulama dalam menyampaikan

risalah agama kepada masyarakat luas. Adapun metode-metode tersebut

adalah:
1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1992), h.74
2
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2006), h.5
3
Hamzah B Uno dan Nurdin Mohamad, Belajar dengan Pendekatan PAILKEM, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2012), h.5
4
Wina Sanjaya, Strategi Pembelejaran Berorientasi Standar Proses Penddikan, (Jakarta:
Kenana, 2009), h. 126

20
1. Metode Dakwah

Metode dakwah merupakan metode yang paling banyak dipakai

oleh para ulama. Metode dakwah tersebut, haruslah mengacu kepada :

Meletakkan paradigma tauhid dalam dakwah Pada dasarnya dakwah

merupakan usaha menyampaikan ris.alah tauhid yang memperjuangkan

nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Dakwah berusaha

mengembangkan fitrah dan kehanifan manusia agar mampu memahami

hakekat hidup yang berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.

Dengan mengembangkan potensi atau fitrah dan kehanifan manusia, maka

dakwah tidak lain merupakan suatu proses memanusiakan manusia dalam

proses transformasi sosial-kultural yang membentuk ekosistem kehidupan.

Karena itu, tauhid merupakan kekuatan paradigmatis dalam teologi

dakwah yang akan memperkuat metode dakwah.5

2. Metode Imperatif

Metode imperatif merupakan metode yang berorientasi pada upaya amar

ma’ruf dan nahi munkar. Metode ini membuat metode dakwah tidak

dipahami secara sempit sebagai kegiatan yang identik dengan pengajian

umum atau memberikan ceramah di atas podium, lebih dari itu, esensi

dakwah adalah segala bentuk kegaiatan yang mengandung unsur amar

ma’ruf dan nahi munkar.6

5
Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), h. 51
6
Ibid., 52

21
3. Metode Bimbingan

Metode bimbingan merupakan metode yang bersignifikasi pada objek

yang akan dilakukan pembimbingan dalam rangka mengembangkan

potensi atau fitrah dan kehanifan manusia, yang merupakan suatu proses

memanusiakan manusia dalam proses transformasi sosial-kultural yang

membentuk ekosistem kehidupan. 7

C. Hakikat Ulama

Kata ulama dalam bahasa Arab adalah bentuk plural dari dari kata

‘alim yang berarti tahu, mengerti, pandai dan sejenisnya. Kata ‘alim dalam al-

Qur’an terulang sebanyak 106 kali, namun kata ulama tersebut dalam al-

Qur’an hanya dua kali saja. Pertama, dalam konteks ajakan al-Qur’an untuk

memperhatikan turunnya hujan dari langit, gunung-gunung dan beraneka

ragam jenis dan warna buah-buahan, hewan dan manusia, yaitu Q.S. Fatir: 28

yang berbunyi:

     


         
   

Artinya : “Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata


dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam
warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah
di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Q.S Fatir:28)

Maka yang dimaksud dengan ulama dalam ayat di atas ialah orang-

orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah, yakni mereka yang

7
Ibid., h.55

22
memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat Allah yang bersifat kauniyah (Sains

atau alam semesta). Karena di dalam al-Qur’an itu sendiri terdapat banyak

anjuran yang mengajak manusia untuk menghayati alam semesta.Alam

semesta adalah ciptaan Allah yang karena keteraturan system dan kehebatan

yang dimilikinya mengandung hikmah yang luar biasa. Di balik

kesempurnaan hukum alam semesta, terdapat bukti kekuasaan sang Pencipta.

Maka dengan menyelidiki alam semesta, manusia akan semakin sadar dan

insyaf akan kebesaran Tuhannya dan semakin besar keinginannya untuk

selalu dekat dengan-Nya. Maka membaca dan memahami ayat-ayat al-Qur’an

itu, di samping ayat-ayat Qauliyah (teks al-Qur’an), Allah juga menciptakan

alam semesta ini sebagai ayat-ayat Kauniyah (teks/tanda alam semesta) yang

keduanya saling melengkapi. Oleh karena itu, istilah ulama dalam bahasa

Arab modern juga berarti para cendekiawan dalam salah satu bidang sains

dan teknologi.8

Pengertian ulama perspektif al-Qur’an yang dipahami lewat teks dan

konteksnya adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat

Allah SWT, baik yang Qauliyah (ajaran Qur’an atau agama) maupun yang

Kauniyah (ilmu pengetahuan umum dan teknologi) yang bisa mengantarkan

manusia kepada pengetahuan tentang kebenaran Allah dan memiliki sifat taat

dan khasyyah (takut) pada-Nya, sesuai antara ilmu dan amalnya serta ikhlas

dalam beramal.9 Sedangkan pengertian ulama perspektif Hadits lewat

interpretasi para ulama salaf lebih sempit dari perspektif al-Qur’an di atas,

8
Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), h. 29
9
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (IPI), (Bandung : CV Pustaka Setia, 1998), h.9

23
karena hanya membatasi pada orang-orang yang mengusai ayat-ayat

qauliayah saja.10 Padahal teks Haditsnya masih sangat umum dan masih

memungkinkan untuk reinterpretasi yang berbeda. Maka penulis lebih

mendukung pengertian ulama perspektif al-Qur’an, bahkan bila perlu wilayah

kepemimpinan ulama tidak terbatas sebagai pemimpin spritual tapi juga

pemimpin negara, minimal sebagai pemimpin non formal pada sebuah

wilayah.

Dan di dalam menghadapi perkembangan masyarakat, perubahan

sosial budaya dan kemajuan peradaban, ilmu pengetahan dan teknologi

modern, maka seorang ulama harus memilki kualifikasi dan kapabilitas

terhadap pengusaan ilmu-ilmu Islam yang lengkap dan dinamis, di samping

perangkat ilmu dan wawasan yang memadai untuk mengimbangi

perkembangan zaman dan masyarakat.

Dalam penelitian ini, ulama yang dimaksud adalah para ulama yang

ada di lingkungan Desa Koto Tuo Kecamatan Depati VII. Adapun nama-

nama ulama yang akan menjadi informan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

Tabel 1. Nama-nama Ulama Desa Koto Tuo Kec. Depati VII

No. Nama Jabatan dalam Desa


1 Drs. Bustanuar, Mangku Ulama dan Tokoh Masyarakat
2 Yakub Rio, S.Ag Ulama dan Tokoh Masyarakat
3 Sukma, Mangku Ulama dan Tokoh Masyarakat
4 Ananto Prasetyo, S.PdI Ulama dan Pemuda
5 Dor Arwis, Mangku Ulama dan Tokoh Masyarakat
6 Drs. Zulkarnaen Ulama dan Tokoh Masyarakat
7 Azwardi, S.Ag Ulama dan Tokoh Masyarakat
10
Ibid., h. 10

24
8 M. Sahariman. Dpt Ulama dan Tokoh Masyarakat

D. Peran Para Ulama

Sejak dulu, ulama memiliki peran yang sangat besar dalam berbagai

peristiwa sejarah penting, terutama sejarah perubahan masyarakat (social

engineering). Bahkan nyaris tidak ada satu pun perubahan masyarakat di

dunia ini yang tidak melibatkan peran ulama. Mereka jugalah orang pertama

yang menyebarkan kesadaran di tengah-tengah masyarakat hingga

masyarakat memiliki kesadaran kolektif untuk melakukan perubahan. Jika

kesadaran terhadap kerusakan masyarakat belum tumbuh di tengah-tengah

masyarakat, niscaya tidak akan tumbuh pula keinginan untuk berubah, apalagi

upaya untuk melakukan perubahan. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa ulama

merupakan sumber dan inspirasi perubahan.

Adapun fungsi dan peran ulama dalam kehidupan masyarakat adalah:

1. Pewaris para nabi, yang dimaksud dengan pewaris nabi adalah

pemelihara dan menjaga warisan para nabi, yakni wahyu/risalah, dalam

konteks ini adalah al-Quran dan Sunnah.11  Dengan kata lain, peran

utama ulama sebagai pewaris para nabi adalah menjaga agama Allah Swt

dari kebengkokan dan penyimpangan. Hanya saja, peran ulama bukan

hanya sekadar menguasai khazanah pemikiran Islam, baik yang

menyangkut masalah akidah maupun syariah, tetapi juga bersama umat

berupaya menerapkan, memperjuangkan, serta menyebarkan risalah

Allah.

11
Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan
Kompetensi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 36

25
2. Pembimbing, pembina dan penjaga umat.12 Pada dasarnya, ulama

bertugas membimbing umat agar selalu berjalan di atas jalan lurus.

Ulama juga bertugas menjaga mereka dari tindak kejahatan,

pembodohan, dan penyesatan yang dilakukan oleh kaum kafir melalui

gagasan, keyakinan, dan sistem hukum yang bertentangan dengan Islam.

Semua tugas ini mengharuskan ulama untuk selalu menjaga kesucian

agamanya dari semua kotoran. Ulama juga harus mampu menjelaskan

kerusakan dan kebatilan semua pemikiran dan sistem kufur kepada umat

Islam.  Ia juga harus bisa mengungkap tendensi-tendensi jahat di balik

semua sepak terjang kaum kafir dan antek-anteknya. Ini ditujukan agar

umat terjauhkan dari kejahatan musuh-musuh Islam.

3. Pengontrol penguasa.13 Peran dan fungsi ini hanya bisa berjalan jika

ulama mampu memahami konstelasi politik global dan regional. Ia juga

mampu menyingkap makar dan permusuhan kaum kafir dalam

memerangi Islam dan kaum Muslim. Dengan ungkapan lain, seorang

ulama harus memiliki visi politis-ideologis yang kuat, hingga fatwa-

fatwa yang ia keluarkan tidak hanya beranjak dari tinjauan normatif

belaka, tetapi juga bertumpu pada konteks ideologis-politis.

4. Sumber ilmu.14 Ulama adalah orang yang fakih dalam masalah halal-

haram. Ia adalah rujukan dan tempat menimba ilmu sekaligus guru yang

bertugas membina umat agar selalu berjalan di atas tuntunan Allah dan

12
Ibid., h.38
13
Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan
Kompetensi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005),h. 34
14
Ibid., h.39

26
Rasul-Nya. Dalam konteks ini, peran sentralnya adalah mendidik umat

dengan akidah dan syariah Islam. Dengan begitu, umat memiliki

kepribadian Islam yang kuat, mereka juga berani mengoreksi

penyimpangan masyarakat dan penguasa.

E. Hakikat Kepercayaan dan Agama

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kepercayaan adalah suatu

keyakinan terhadap sesuatu.15 Kepercayaan merupakan suatu keyakinan yang

dianut oleh masyarakat. Kepercayaan sangat identik dengan agama.

Menurut sebagian pendapat, agama berasal dari bahasa sansekerta

yang diartikan dengan haluan dan jalan. Pendapat lain mengatakan bahwa

agama berasal dari dua buah kata, yaitu A yang artinya tidak, dan GAMA

yang artinya kacau balau. Jadi agama adalah tidak adanya kacau balau atau

dengan kata lain teratur. Dari sini dapat disimpulkan bahwa hidup beragama

adalah hidup yang teratur, sesuai dengan haluan atau jalan yang telah

dilimpahkan Tuhan dengan dijiwai oleh semangat kebaktian.

Pada dasarnya beragama merupakan kecenderungan manusia yang

sesuai dengan instink dan fitrahnya untuk mengakui adanya kekuatan yang

luar biasa di atas alam yang ada ini. Di sini memeluk sebuah agama

merupakan tuntutan hati nurani manusia. Mengingkari agama berarti

mengingkari hati nuraninya sendiri. Hal ini bisa dibuktikan dengan peristiwa-

peristiwa mereka yang mengngkari agama ketika mendapat kesulitan atau

sesuatu yang di luar kemampuannya lalu menyebut nama Tuhan sebagai

pelarian. Walau terkadang Tuhan yang disebutnya bisa saja tanpa nama.
15
Kamus Besar Bahasa Indonesia

27
Karena ketika Tuhan bisa diungkapkan dengan banyak nama, maka otomatis

Dia bisa diungkapkan tanpa nama.

Paham beragama ini terus berkembang seiring dengan perkembangan

pikiran manusia dan kebutuhan-kebutuhan mereka. Semakin maju ilmu

manusia yang berarti lebih banyak yang dapat dilakukannya sendiri, maka

semakin sedikit Tuhan yang dipercayainya. Hali ini dapat dilihat dari

perubahan berangsur-angsur dari keyakinan akan banyak Tuhan

(polytheisme) sampai pada keyakinan akan satu Tuhan (monotheisme).

Adapun unsur-unsur sebuah agama yang membangun dan

melestarikannya adalah sebagai berikut:

1. Adanya kekuatan gaib yang diyakini (Tuhan)

2. Adanya perasaan takut dan cinta (keimanan)

3. Paham adanya keyakinan yang disucikan (konsep ketuhanan)

4. Adanya keyakinan bahwa kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat

tergantung dengan adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib yang

diyakini (Tuhan).16

F. Kepercayaan Animisme dan Dinamisme

1. Pengertian Animisme dan Dinamisme

Animisme dan Dinamisme merupakan kepercayaan yang sudah ada

sejak zaman manusia purba dan memiliki akar budaya yang kuat di
16
A.G Honig, Ilmu Agama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), h.5

28
Indonesia, hingga saat ini masih ada masyarakat yang mempercayai

kepercayaan ini. Animisme adalah kepercayaan bahwa roh (jiwa) itu tidak

hanya berada pada makhluk hidup, tetapi juga pada benda-benda

tertentu.17 Roh-roh itu dapat berbuat baik, tetapi juga dapat berbuat jahat.

Manusia perlu memujanya sambil memberi sesajen agar roh itu tidak

berbuat jahat. Apabila manusia mari maka rohnya meninggalkan badan

untuk selama-lamanya. Roh yang meinggalkan badan manusia untuk

selamanya itu disebut arwah. Menurut kepercayaan, arwah tersebut hidup

terus di negeri arwah serupa dengan hidup manusia. 

Animisme berasal dari bahasa latin yaitu anima yang berarti Roh.

Kepercayaan animisme adalah suatu kepercayaan bahwa segala sesuatu

yang ada dibumi baik itu hidup ataupun mati mempunyai roh.18

Kepercayaan animisme mempercayai bahwa setiap benda di Bumi ini

(seperti kawasan tertentu, gunung, laut, sungai, gua, pohon dan batu

besar) memiliki jiwa yang harus dihormati agar tidak mengganggu

manusia, tetapi malah membantu kehidupan mereka.

Menghormati dengan cara melakukan pemujaan dan memberikan

sesaji biasa di lakukan oleh penganut animisme. Bagian dari kepercayaan

ini adalah adanya roh-roh orang yang telah meninggal, kepercayaan ini

mempercayai jika roh orang yang telah meninggal dapat masuk ke tubuh

hewan. Mereka dianggap pula  dapat berdiam di dalam kubur sehingga

17
Dwi Ari Listiyani, Sejarah untuk SMA/MA Kelas X, (Jakarta: Dinas Pendidikan Nasional,
2009), h. 21
18
Bustanudin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia : Pengantar Antropologi Agama,
(Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2006), h. 33

29
mereka ditakuti. Oleh masyarakat saat itu, arwah orang-orang terkemuka

seperti kepala suku dan nenek moyang dianggap suci. Oleh karena itu,

orang-orang terkemuka itu dihormati.19 Dengan demikian, timbullah

kepercayaan yang memuja arwah dari nenek moyang yang disebut

animisme. Karena arwah itu tinggal di dunia arwah (kahyangan) yang

letaknya di atas gunung maka tempat pemujaan arwah pada zaman

Megalithikum juga dibangun di atas gunung atau bukit. Budaya ini terus

berlanjut hingga masa Hindu-Buddha  dan Islam.

Dinamisme berasal dari bahasa yunani yaitu dunamos yang

mempunyai arti kekuatan atau daya. Kepercayaan dinamisme adalah

kepercayaan yang menyakini bahwa semua benda-benda yang ada di

dunia ini baik hidup atau mati mempunyai daya dan kekuatan ghaib. 20

Benda-benda tersebut dipercaya dapat memberi pengaruh baik dan

pengaruh buruk bagi manusia. Benda-benda yang dianggap mempunyai

kekuatan contohnya : Benda pusaka, tombak, keris, gamelan dan lambang

kerajaan.

Selain itu, Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa kepercayaan

animisme dan dinamime merupakan kepercayaan yang telah lama dianut

oleh nenek moyang, bahkan sebelum datangnya agama Hindu-Budha ke

Indonesia.21 Animisme dan Dinamime yang merupakan kepercayaan

tertua di Indonesia, walaupun masuknya agama Hindu-Budha tidak terlalu


19
Chabib, Toha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,1996), h.77
20
Dwi Ari Listiyani, Sejarah untuk SMA/MA Kelas X, (Jakarta: Dinas Pendidikan Nasional,
2009),,h.22
21
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 12

30
mempengaruhi kepercayaan tersebut yang masih menjadi kepercayaan

sebagian besar masyarakat Indonesia pada saat itu. Untuk itu, tidaklah

mengehrankan apabila dewasa ini masih ada tradisi yang berbau

animisme dan dinamisme.

2. Asal Usul Kepercayaan Animisme dan Dinamisme

Adam, manusia pertama yang diciptakan Allah SWT sudah

diperkenalkan dengan sebuah agama yang menuntut penyerahdirian

manusia kepada-Nya. Berbagai aspek agama tersebut pada

perkembangannya mengalami evolusi yang cukup signifikan hingga pada

masa penyempurnaannya, yakni pada masa nabi terakhir, Muhammad

SAW.

Perjalanan waktu yang mengandaikan berbedanya tempat, latar

belakang budaya serta sosial masyarakat dan melahirkan perbedaan yang

cukup beragam secara tidak langsung menyebabkan keragaman agama

yang sampai saat ini masih ada yang survive dan ada yang tenggelam. Di

antara evolusi tersebut, agama pagan, yang juga disinggung dalam al-

Qur`an, dianggap sebagai agama masyarakat primitif, bahkan sebelum

kehadiran agama Hindu dan Buddha. Meski masih sulit untuk mencari

titik temu antara masyarakat primitif dan paganisme, namun indikasi ke

arah tersebut dapat diketahui dengan membandingkan ciri-ciri animisme-

dinamisme yang dianggap sebagian dari bagian dari agama primitif

dengan kebiasaan masyarakat primitif yang cenderung menghormati dan

mengkeramatkan benda.

31
Adanya konsep yang kurang lebih sama dengan sejarah Ibrahim

dalam mencari Tuhan. Agaknya, ada titik temu antara Islam (atau hanif),

agama yang menjadi akhir perjalanan panjang Ibrahim dengan 

kepercayaan yang diyakininya sebelum memperoleh jawaban dari semua

kebingungan yang menderanya. Selain itu, agama primitif  yang secara

periodisasi sejarah berada di masa sebelum kelahiran agama-agama lain

lazimnya menyisakan hal-hal yang masih berakar kuat hingga saat ini.

Asal usul kelahiran agama pagan tidak disebutkan secara eksplisit

di dalam beberapa referensi. Dari deskripsi yang ada, dapat disimpulkan

bahwa kelahiran agama pagan ditimbukan oleh dua faktor, yakni faktor

internal dan eksternal. Faktor internal kemunculan agama ini adalah

adanya naluri agama yang dimiliki setiap manusia, utamanya sebagai

homo religious.22 Manusia memiliki kesadaran bahwa betatapun hebatnya

ia, ada satu Dzat yang memegang kendali pada seluruh kejadian di alam

semesta yang didiaminya.

Dalam hal ini manusia primitif, yang dalam Ensyclopedia of

Religion and Ethic (ERE) disebut sebagai noncivilized people cenderung

mengkeramatkan benda.23 Mereka beranggapan bahwa benda yang dapat

memberi arti dalam hidup dan  membantu mereka menyelesaikan

pekerjaan sehari-hari memiliki daya. Ada kekuatan dan sesuatu yang

tersembunyi di balik benda tersebut.  Karena itulah benda-benda tertentu

22
Bustanudin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia : Pengantar Antropologi Agama,
(Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2006), h.24
23
A.G Honig, Ilmu Agama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), h.12

32
kemudian dikeramatkan, dihormati, dan pada perkembangannya, benda

(maupun pribadi di balik benda) tersebut dinggap sebagai tuhan.24

Akan tetapi pada perkembangannya, agama pagan memiliki

beberapa macam sempalan yang masih saling berhubungan satu sama

lain. Secara garis besar, ada tiga agama besar yang dapat digolongkan

sebagai agama pagan, yakni politheisme, pantheisme, dan animisme serta

dinamisme.25 Politheisme adalah kepercayaan yang meyakini ada banyak

tuhan, pantheisme menganggap semua realitas yang ada di dunia sebagai

tuhan, sedangkan animisme dan dinamisme adalah kepercayaan pada roh

atau benda. Penganut animisme dan dinamisme mengganggap bahwa roh

atau benda memiliki pribadi. Artinya bahwa roh atau benda memiliki

kekuatan dan kehendak serta dapat menjalankan kehendak tersebut.

demikian, pada intinya manusia primitif sangatlah menghormati benda

dan pribadi yang berada di balik benda tersebut. Pola pikir yang demikian

baru didobrak dan dianggap sesat setelah datangnya agama Kristen yang

salah satu ajarannya adalah untuk mengeksploitasi alam, tidak lagi

menghormati dan mengkeramatkan alam.26

Sedangkan faktor eksternal yang cukup berpengaruh, yakni belum

masuknya dakwah dari berbagai agama lain. Dengan demikian,

masyarakat primitif hanya memiliki satu referensi untuk mengekspresikan

naluri keagamaannya, yakni dengan mengkeramatkan lalu menuhankan

24
Ibid.,h.13
25
Burhanuddin Daya, Agama Dialogis: Merenda Dialektika Realita Hubungan Antaragama,
(Yogyakarta: Minang Lintas Budaya, 2004), h.45.
26
Burhanuddin Daya, Agama Dialogis: Merenda Dialektika Realita Hubungan Antaragama,
(Yogyakarta: Minang Lintas Budaya, 2004), h.46

33
benda dan pribadi di balik benda. Kalaunpun ada dakwah, seperti yang

diceritakan dalam surat Nuh, komitmen mereka untuk mengikuti agama

nenek moyang agaknya masih kuat sehingga mereka sulit menerima

dakwah agama lain.

Terkait dengan nama animisme dan dinamisme, penyusun

sependapat dengan Honig bahwa nama tersebut baru dicetuskan oleh

ilmuwan yang berada pada kurun sejarah sesudahnya. Ilmuwan hanya

berusaha mensintesiskan fenomena kebergamaan saat itu dan kemudian

menamaknnya dengan istilah yang demikian. Masyarakat primitif tidak

pernah memberikan nama pada kepercayaan yang dianutnya. Mereka

hanya meyakininya dengan sepenuh hati serta menjalankan ajaran-ajaran

yang digariskan dalam kepercayaan tersebut.27

3. Pengaruh Animisme dan Dinamisme dalam Pandangan Islam

Kepercayaan animisme (dari bahasa Latin anima atau "roh") adalah

kepercayaan kepada makhluk halus dan roh merupakan asas kepercayaan

agama yang mula-mula muncul di kalangan manusia primitif.

Kepercayaan animisme mempercayai bahawa setiap benda di Bumi ini,

(seperti kawasan tertentu, gua, pokok atau batu besar), mempunyai jiwa

yang mesti dihormati agar semangat tersebut tidak mengganggu manusia,

malah membantu mereka dari semangat dan roh jahat dan juga dalam

kehidupan seharian mereka. Diperkirakan bahwa di provinsi Kalimantan

27
A.G Honig, Ilmu Agama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994),. h. 22

34
Barat masih terdapat 7,5 juta orang Dayak yang tergolong pemeluk

animisme.28

Selain daripada jiwa dan roh yang mendiami di tempat-tempat yang

dinyatakan di atas, kepercayaan animisme juga mempercayai bahawa roh

orang yang telah mati bisa masuk ke dalam tubuh hewan, misalnya suku

Nias mempercayai bahwa seekor tikus yang keluar masuk dari rumah

merupakan roh daripada wanita yang telah mati melahirkan. Roh-roh

orang yang telah mati juga bisa memasuki tubuh babi atau harimau dan

dipercayai akan membalas dendam orang yang menjadi musuh bebuyutan

pada masa hidupnya. Kepercayaan ini berbeda dengan kepercayaan

reinkarnasi seperti yang terdapat pada agama Hindu dan Buddha, di mana

dalam reinkarnasi, jiwa tidak pindah langsung ke tubuh hewan lain yang

hidup, melainkan dilahirkan kembali dalam bentuk kehidupan lain. Pada

agama Hindu dan Buddha juga terdapat konsep karma yang berbeda

dengan kepercayaan animisme ini.29

Animisme atau Animisma (Latin) berarti Jiwa atau faham

keagamaan juga pada manusia primitive yang mempercayai adanya ruh

pada masyarakat animis. Pertama : Penyembahan terhadap ruh atau

makhluk halus yang keluar dari orang mati. Kedua : penyembahan

terhadap makhluk halus yang menjadi unsur sendirinya. Contohnya bila

orang meninggal, maka ruhnya dianggap hidup lagi dan ruh tersebut dapat

bertemu dengan ruh manusia yang masih hidup. Ia bisa menolong atau
28
Ibid., h.63
29
Burhanuddin Daya, Agama Dialogis: Merenda Dialektika Realita Hubungan Antaragama,
(Yogyakarta: Minang Lintas Budaya, 2004), h.65

35
sebaliknya mengganggu. Dan agar ruh itu mendatangkan kebaikan, maka

dibuatlah upacara penyembahan.30 Ruh yang dianggap berbahaya bagi

orang hidup, bukan saja berasal dari manusia, tetapi juga, binatang,

tumbuh-tumbuhan, batu, dan benda-benda lain. Dari kepercayaan

Animisme tersebut sangat berpengaruh dalam prilaku kehidupan umat

Islam di Indonesia. Yang pada akhirnya semakin berkembang dan

bermunculan berbagai macam Bid'ah.

Salah satu pengaruh Animisme yang masih melekat bagi umat

Islam di Indonesia adalah upacara kematian menuju tiga hari, 7 hari, 40

hari, 100 hari, dengan mengundang makan atau bahkan memberikan

sadaqah pada faqir miskin, dengan tujuan untuk memuliakan atau

menghormati ruh yang meninggal. Padahal hal ini jelas bertentangan

dengan Islam, meskipun diiming-imingi dengan perbuatan baik, yakni

sadaqah.

Hukum Bid'ah berlaku baik terhadap masyarakat miskin, pejabat

kaya, konglomerat, dan para kaum muslim. Oleh sebab itu, setiap muslim

wajib memerangi bid'ah, wajib memurnikan aqidah, dan wajib beribadah

berdasarkan dalil-dalil yang qath'i (pasti) berasal dari Al-Qur'an dan

Assunnah. Islam tidak melarang sadaqah, yang dilarang adalah apabila

sadaqah itu dikaitkan dengan mengharapkan pertolongan roh si mayit.

Islam tidak melarang kebaikan, malahan disuruh, tetapi tetap dalam

koridor kebenaran yang berada dalam tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah.

30
Burhanuddin Daya, Agama Dialogis: Merenda Dialektika Realita Hubungan Antaragama,
(Yogyakarta: Minang Lintas Budaya, 2004), h.66

36
Karena bisa saja dalam setiap kebaikan apapun orang mengklaim baik

perbuatannya, namun hakikatnya tidak baik, karena ia tidak benar, dan

tidak berlandaskan pada tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah.

4. Teori Animisme dan Dinamisme dalam Al-Qur’an

Teori animisme yang dikemukakan, mula-mula oleh Edward

Burnett Tylor (1832-1917) didalam bukunya 'Primitive Culture' (1873),

secara singkat adalah sebagai berikut :

“Dengan adanya peristiwa-peristiwa seperti mimpi, sakit dan


sebagainya yang dialami oleh orang-orang primitif, maka
peristiwa-peristiwa tersebut membawa mereka kepada adanya
pengertian tentang anima (roh). Dengan pengertian ini lalu mereka
membuat kategori tentang pemisahan roh dan tubuh kasar, mereka
lalu berpendapat bahwa terdapatlah roh pada setiap benda hidup
dan juga benda mati. Bila orang meninggal, rohnya hidup terus dan
dari sanalah asal kepercayaan akan roh orang mati. Roh orang mati
dapat mengunjungi manusia yang masih hidup di dalam mimpinya.
Lama-kelamaan roh orang mati itu dipuja orang dan diangkat
menjadi dewa-dewa.”31

Manusia yang telah mati menurut paham bangsa-bangsa premitif

pindah ke tubuh binatang, hidup di gunung, di pohon kayu, di batu besar

fetish dan sebagainya. Dan fetish ini bisa mempunyai bentuk apa saja

seperti batu, kotak, gigi binatang dan sebagainya.

Suatu fetish adalah suatu kepercayaan yang lebih disukai

berdasarkan karya-karyanya. Karena fetish itu berkarya, maka barang-

barang yang bersangkutan itu mempunyai jiwa atau roh. Roh itu adalah

suatu kekuatan yang tampak, kekuatan yang dapat membawa pemiliknya

terhindar dari bahaya. Pandangan fetish dapat bersifat pemiliknya bisa

berwujud manusia, orang-perorangan, ataupun kelompok, suatu keluarga


31
A.G Honig, Ilmu Agama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), h.61

37
ataupun seluruh rakyat. Fetish yang terdapat pada tentera Omaka (Indian)

yang dapat berbuat luar biasa atau ajaib.32

Teori animisme (roh-roh) banyak kita dapat unsur-unsurnya dalam

Al-Qur'an. Seperti soal kebebasan dan terpisahnya (roh) manusia dari

badan dan roh hewan dalam kehidupan ini, bertempatnya roh manusia

sesudah mati dalam alam barzakh, yaitu tempat yang terdapat antara dunia

dan akhirat, dan pertalian-pertalian roh-roh orang yang telah

meninggalkan kehidupan di dunia. Kesemuanya itu kita dapati dalam Al-

Qur'an antara lain dalam ayat-ayat berikut :

      


        
       

Artinya : “Dan dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan dia
mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari, Kemudian
dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan
umur(mu) yang Telah ditentukan. Kemudian kepada Allah-lah
kamu kembali, lalu dia memberitahukan kepadamu apa yang
dahulu kamu kerjakan.” (Q.S Al-An’am:60)33

        


       
         
 
.

Artinya : “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang)


jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka dia
tahanlah jiwa (orang) yang Telah dia tetapkan kematiannya dan

32
Nadia Lestari, Kepercayaan Animisme dan Dinamisme (hhtp: nadialestari.Blogspot
diakses 22 Februari 2016)
33
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Hidayahkarya, 2000),
h.1110

38
dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda
kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.”(Q.S Az-Zumar:42)34

         


    
      
       
    

Artinya: “(169) Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang


gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi
Tuhannya dengan mendapat rezki. (170) Mereka dalam keadaan
gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada
mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang
masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati. (Q.S Ali Imran : 169-170)35

Bagi orang yang mengartikan teori animisme sama dengan teori

kejiwaan, maka teori kejiwaan dipakai juga oleh Al-Qur'an, ketika

menujukkan kelemahan manusia untuk mencapai segala tujuannya dan

kelemahannya ketika menghadapi keputusan Dzat Yang Maha Tinggi,

serta keharusan menyerah kepada-Nya, sebagai yang tercantum dalam ayat

berikut ini:

    


   

34
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Hidayahkarya, 2000),
h.953
35
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Hidayahkarya, 2000),
h.999

39
Artinya : “(24) Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-
citakannya? (25) (Tidak), Maka Hanya bagi Allah kehidupan
akhirat dan kehidupan dunia.” (Q.S An-Najm: 24-25)36

36
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Hidayahkarya, 2000),
h.1112

40

Anda mungkin juga menyukai