ATONIA UTERI
Oleh:
Anggun Puspa Arini, S. Ked
712019050
Pembimbing:
dr. H. Didi Askari Pasaribu, Sp. OG (K)
Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Departemen Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit
Umum Daerah Palembang Bari.
ii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT, zat Yang Maha Kuasa dengan segala
keindahan-Nya, zat Yang Maha Pengasih dengan segala kasih sayang-Nya, yang
terlepas dari segala sifat lemah semua makhluk.
Alhamdulillah berkat kekuatan dan pertolongan-Nya penulis dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “Atonia Uteri” sebagai salah satu syarat
dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang di Departemen Obstetri dan
Ginekologi Rumah Sakit Umum Daerah Palembang Bari.
Dalam penyelesaian referat ini, penulis mendapat bantuan, bimbingan dan
arahan maka dari itu kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada
dr. H. Didi Askari Pasaribu, Sp. OG (K) selaku dosen pembimbing.
Semoga Allah swt membalas semua kebaikan yang telah diberikan. Penulis
menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, karena kesempurnaan itu
hanya milik Allah. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa mendatang.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Maksud dan Tujuan 3
1.3. Manfaat 3
1.3.1. Manfaat Teoritis 3
1.3.2. Manfaat Praktis 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi Uterus 4
2.1.1. Anatomi Uterus 4
2.1.2. Fisiologi Uterus 5
2.2. Atonia Uteri 9
2.2.1. Definisi 9
2.2.2. Epidemiologi 10
2.2.3. Patogenesis 11
2.2.4. Manifestasi Klinis 12
2.2.5. Diagnosis Banding 12
2.2.6. Pemeriksaan Penunjang 13
2.2.7. Tatalaksana 14
2.2.8. Komplikasi 15
BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan 17
3.2. Saran 17
DAFTAR PUSTAKA 18
iv
BAB I
PENDAHULUAN
5
terendah. Sementara penyebab lain-lain adalah penyebab kematian ibu secara
tidak langsung, seperti kondisi komorbiditas, contohnya akibat penyakit
kanker, ginjal, jantung, tuberkulosis dsb.4
Faktor penyebab tertinggi kematian ibu di Indonesia yang tertinggi
yaitu perdarahan, yang terdiri dari abortus (50%), plasenta previa (25%),
solusio plasenta (10%), ruptur uteri (10%), kehamilan ektopik (5%). Abortus
merupakan penyebab kematian ibu tertinggi akibat perdarahan.5
Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan akibat persalinan
vaginal yang melebihi 500 ml setelah bayi lahir. didefinisikan sebagai
6
kehilangan darah lebih dari 500 mL. Perdarahan post partum merupakan
penyebab kematian maternal terbanyak. Perdarahan post partum buakanlah
suattu diagnosis akan tetapi suatu kejadian yang harus dicari kausalnya.
Misalnya PPP karena atonia uteri, robekan jalan lahir, sisa plasenta, atau oelh
karena gangguan pembekuan darah.6
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang
menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat
implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir.6 Berdasarkan penelitian
tentang karakteristik dan penyebab perdarahan post partum di RSUD
Palembang BARI periode 2010-2012, distribusi perdarahan post partum yang
disebabkan oleh atonia uteri yaitu sebesar 20,5% dari jumlah sampel yang
diteliti.7
6
1.3. Manfaat
1.3.1. Manfaat Teoritis
1) Bagi Institusi
Diharapkan referat ini dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan dan
sebagai tambahan referensi dalam bidang ilmu kebidanan dan
kandungan terutama mengenai atonia uteri.
2) Bagi Akademik
Diharapkan referat ini dapat dijadikan landasan untuk penulisan
karya ilmiah selanjutnya.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
8
ini berkontraksi kuat dan menjepit pembuluh-pembuluh darah yang
terbuka, sehingga perdarahan dapat berhenti.6
9
a. Fase 0, yaitu terjadi aktivitas inhibitor yang menyebabkan
uterus tidak berkontraksi. Inhibitor yang bekerja di antaranya
progesteron, prostacyclin, relaxin, parathyroid hormone-
related peptide Nitric Oxide, kalsitonin, adrenomedullin, dan
peptida intestinal vasoaktif.
b. Fase 1 atau masa aktivasi myometrium dimana uterus mulai
aktif berkontraksi karena pengaruh dari uterotropin seperti
estrogen. Fase ini ditandai dengan menigkatnya ekspresi dari
serangkaian reseptor kontraksi seperti reseptor oksitosin dan
prostaglandin, aktivasi beberapa ion tertentu, dan
peningkatan gap junction. Adanya peningkatan gap junction
adalah untuk pembentukan kontraksi yang terkoordinasi.
c. Fase 2 atau fase stimulatorik, yaitu kelanjutan dari fase 1.
Kontraksi secara ritmis terjadi hingga menjelang partus. Hal
ini diperantarai oleh agonis uterotonik seperti prostaglandin
dan oksitosin.
d. Fase 3 atau fase involusi. Pada fase ini terjadi involusi uterus
setelah terjadi partus. Mekanisme ini paling dipengaruhi oleh
oksitosin.12
Mekanisme Kontraksi
Kontraksi uterus berperan penting dalam sistem reproduksi
wanita meliputi transport sperma dan embrio, menstruasi, kehamilan,
dan kelahiran. Kontraksi abnormal dan ireguler dapat menyebabkan
masalah infertilitas, kesalahan implantasi, dan kelahiran prematur.
Namun, ketika kontraksi uterus tidak adekuat dan terkoordinasi, bayi
akan sulit dilahirkan. Lapisan yang paling berperan dalam kontraksi
uterus adalah miometrium. Pada dasarnya, uterus berkontraksi secara
spontan dan reguler walaupun tidak ada rangsangan hormonal. Selama
masa kehamilan awal, uterus cenderung dalam keadaan relaksasi.
Kontraksi kuat akan muncul pada masa menjelang partus di bawah
pengaruh hormon oksitosin dan prostaglandin.13
10
Sebagai sel eksitabel, proses kontraksi miometrium pada wanita
yang hamil dan tidak hamil melalui mekanisme yang sama, yaitu
difasilitasi oleh influks kalsium. Aktivitas listrik pada sel-sel miosit
uterus terjadi karena siklus depolarisasi dan repolarisasi yang terjadi
pada membran plasma uterus dan ini disebut dengan potensial aksi.
Potensial aksi diperantarai oleh beberapa jenis jalur, seperti VGCC
(Voltage Gated Calcium Channel), SOCE (store-operated calcium
entry), ROCE (receptor- operated calcium entry), dan atau melalui
penyimpanan kalsium di ruang intrasel. Kontraksi uterus dapat terjadi
karena adanya aktivitas spontan pada otot polos uterus yang
disebabkan oleh potensial aksi tersebut dan sangat bergantung pada
peningkatan ion kalsium intraseluler, elemen kontraksi, serta sistem
konduksi antara sel-sel uterus.13
Rangsangan otot polos uterus sangat ditentukan oleh pergerakan
ion natrium (Na+), kalsium (Ca2+) dan klorida (Cl-) ke dalam
sitoplasma dan gerakan ion kalium (K+) ke dalam ruang ekstraseluler.
Sebelumnya, ketiga ion ini terkonsentrasi di luar miometrium.
Membran plasma biasanya lebih permeabel terhadap K+ yang
nantinya mengubah gradien elektrokimia hingga terjadi potensial aksi
pada miosit. Selanjutnya, depolarisasi membran plasma membuka
VGCC (Voltage Gated Calcium Channel) atau L-type Ca²⁺ Channel
yang mengakibatkan masuknya Ca²⁺ ke dalam sel. Ion Kalsium
kemudian membentuk ikatan kompleks dengan protein kalmodulin
dan mengaktifkan Myosin Light Chain Kinase (MLCK). MLCK harus
memfosforilasi rantai ringan 20-kDa dari myosin, memungkinkan
interaksi molekul myosin dengan aktin. Energi yang dilepaskan dari
ATP oleh myosin ATPase menghasilkan siklus cross-bridge antara
aktin dan myosin untuk menghasilkan kontraksi.13
Oksitosin dan stimulan rahim lainnya (seperti prostaglandin)
meningkatkan kontraksi dengan mengikat reseptor spesifik mereka
pada membran sel dan menyebabkan monomer kecil G-protein
berikatan dengan 10 Guanosin-5-Trifosfat (GTP) dan mengaktifkan
11
Phospholipase C (PLC). Hal ini kemudian akan membelah
phosphatidylinositol bifosfat (PIP2) di membran sel dan menghasilkan
inositol trifosfat (IP3) dan diasilgliserol (DAG) second messenger. IP3
kemudian mengikat reseptor spesifik pada permukaan Retikulum
Sarkoplasma dan dengan demikian meningkatkan ion kalsium intrasel.
DAG mengaktifkan protein kinase C (PKC) yang juga akan
meningkatkan kontraksi.13
2.2.2. Epidemiologi
Prevalensi kejadian perdarahan post partum pasien obstetri di
seluruh dunia, sekitar 50-60% perdarahan postpartum disebabkan oleh
atonia uteri, 16-17% disebabkan oleh retensio plasenta, 23-24%
disebabkan oleh sisa plasenta, 4-5% disebabkan oleh laserasi jalan lahir,
dan 0,5-0,8% disebabkan oleh gangguan pembekuan darah atau faktor
koagulasi.15,16
Berdasarkan penelitian karakteristik dan penyebab perdarahan
post partum di RSUD Palembang BARI periode 2010-2012, distribusi
perdarahan post partum yang disebabkan oleh atonia uteri yaitu sebesar
20,5% dari jumlah sampel penelitian.7
2.2.3. Patogenesis
Atonia uteri adalah kondisi myometrium tidak dapat
berkontraksi dan darah yang keluar dari tempat melekatnya plasenta
12
menjadi tidak dapat terkendali. Kontraksi serabut-serabut miometrium
mengontrol perdarahan post partum. Bila uterus berkontraksi maka
miometrium akan menjepit pembuluh darah yang diantara serabut-
serabut otot.17,18
Jika serabut-serabut miometrium tersebut tidak berkontraksi
maka akan terjadi atonia uteri. Kontraksi uterus merupakan
mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan pasca melahirkan.
Atonia uteri terjadi akibat kegagalan mekanisme ini.17,18
13
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan
dengan trauma. Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan
traumatik akan memudahkan robekan jalan lahir dan karena itu
dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks
belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi,
robekan spontan perineum, trauma forseps atau vakum ekstraksi, atau
karena versi ekstraksi. 6
B. Retensio Plasenta
Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah
anak lahir disebut sebagai retensio plasenta. Disebut sebagai plasenta
akreta bila implantasi menembus desidua basalis dan Nitabuch layer,
disebut sebagai plasenta inkreta bila plasenta sampai menembus
miometrium dan disebut sebagai plasenta prekreta bila vili korialis
sampai menembus perimetrium. Sisa plasenta terjadi bila kala uri
berlangsung tidak lancar, atau setelah melakukan plasenta manual atau
menemukan adanya kotiledon yang tidak lengkap pada saat
melakukan pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan dari
ostium uteri eksternum pada saat kontraksi rahim sudah baik dan
robekan jalan lahir sudah terjahit. Untuk itu, dapat dilakukan ekplorasi
dengan cara manual/digital atau kuret dan pemberian uterotonika. 6
C. Inversi Uteri
Kegawatdaruratan pada kala 3 yang dapat menimbulkan
perdarahan adalah terjadinya inversi uterus. Inversi uterus adalah
keadaan dimana lapisan dalam uterus (endomterium) turun dan keluar
lewat ostium uteri eksternum, yang dapat bersifat inkomplit sampai
komplit. 6
D. Gangguan Pembekuan Darah
Kausal perdarahan post partum karena gangguan pembekuan
darah baru dicurigai bila penyebab yang lain dapat disingkirkan apa
lagi disertai adanya riwayat pernah mengalami hal yang sama pada
persalinan sebelumnya. Akan ada tendensi mudah terjadi perdarahan
setiap dilakukan penjahitan dan perdarahan akan merembes atau
14
timbul hematoma pada bekas jahitan, suntikan, perdarahan gusi,
rongga hidung, dan lain-lain. 6
2.2.6. Pemeriksaan Penunjang
Onset perdarahan postpartum biasanya sangat cepat, dengan
diagnosis dan penanganan yang tepat, resolusi biasa terjadi sebelum
pemeriksaan laboratorium atau radiologis dapat dilakukan.19
Pemeriksaan laboratorium yang paling penting adalah untuk
menilai Hb darah. Tetap dilakukan pemeriksaan darah rutin, namun
yang menjadi poin penting adalah Hb, terutama jika Hb kurang dari 8
gr/dL. Selain itu, juga diperlukan pemeriksaan golongan darah untuk
keperluan transfusi darah jika nantinya diperlukan. Pemeriksaan
waktu perdarahan dan waktu pembekuan darah juga diperlukan untuk
menyingkirkan adanya penyebab gangguan pembekuan darah. 19
Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan radiologi,
yaitu USG. Pemeriksaan USG dapat membantu untuk melihat adanya
gumpalan darah dan retensi sisa plasenta. USG pada periode antenatal
dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien dengan risiko tinggi yang
memiliki faktor predisposisi terjadinya perdarahan postpartum, seperti
plasenta previa. Pemeriksaan USG dapat pula meningkatkan
sensitivitas dan spesifisitas dalam diagnosis plasenta akreta dan
variannya. 19
2.2.7. Tatalaksana
1. Resusitasi
Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka
penanganan awal yaitu resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian
cairan cepat, monitoring tanda-tanda vital, monitoring jumlah urin,
dan monitoring saturasi oksigen. Pemeriksaan golongan darah dan
crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan transfusi darah.6,19
15
Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi
uterus sehingga menghentikan perdarahan. Pemijatan fundus uteri
segera setelah lahirnya plasenta (maksimal 15 detik). 6,19
3. Uterotonika
Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh
lobus posterior hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus
yang efeknya meningkat seiring dengan meningkatnya umur
kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah
oksitosin menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekuensi, tetapi
pada dosis tinggi menyababkan tetani. Oksitosin dapat diberikan
secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan lewat infus
dengan ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa
diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM). Efek samping
pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan
vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang
ditemukan. 7,19
Metilergonovin maleat merupakan golongan ergot alkaloid
yang dapat menyebabkan tetani uteri setelah 5 menit pemberian
IM. Dapat diberikan secara IM 0,25 mg, dapat diulang setiap 5
menit sampai dosis maksimum 1,25 mg, dapat juga diberikan
langsung pada miometrium jika diperlukan (IMM) atau IV bolus
0,125 mg. obat ini dikenal dapat menyebabkan vasospasme perifer
dan hipertensi, dapat juga menimbulkan nausea dan vomitus. Obat
ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan hipertensi. 7,19
Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15
metil prostaglandin F2alfa. Dapat diberikan secara
intramiometrikal, intraservikal, transvaginal, intravenous,
intramuscular, dan rectal. Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg,
yang dapat diulang setiap 15 menit sampai dosis maksimum 2 mg.
Pemberian secara rektal dapat dipakai untuk mengatasi perdarahan
pospartum (5 tablet 200 µg = 1 g). Prostaglandin ini merupakan
16
uterotonika yang efektif tetapi dapat menimbulkan efek samping
prostaglandin seperti: nausea, vomitus, diare, sakit kepala,
hipertensi dan bronkospasme yang disebabkan kontraksi otot halus,
bekerja juga pada sistem termoregulasi sentral, sehingga kadang-
kadang menyebabkan muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah
yang disebabkan peningkatan basal temperatur, hal ini
menyebabkan penurunan saturasi oksigen. Uterotonika ini tidak
boleh diberikan pada pasien dengan kelainan kardiovaskular,
pulmonal, dan disfungsi hepatik. Efek samping serius
penggunaannya jarang ditemukan dan sebagian besar dapat hilang
sendiri. Dari beberapa laporan kasus penggunaan prostaglandin
efektif untuk mengatasi perdarahan persisten yang disebabkan
atonia uteri dengan angka kesuksesan 84%-96%. Perdarahan
pospartum dini sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri maka
perlu dipertimbangkan penggunaan uterotonika ini untuk mengatasi
perdarahan masif yang terjadi. 7,19
17
Uterine packing diberikan jika tidak tersedia fasilitas operasi atau
kondisi pasien tidak memungkinkan dilakukan operasi. 7,19
5. Operatif
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan
angka keberhasilan 80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri
uterina yang berjalan disamping uterus setinggi batas atas segmen
bawah rahim. Jika dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah
irisan segmen bawah rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum
atraumatik yang besar dan benang absorbable yang sesuai. Arteri
dan vena uterina diligasi dengan melewatkan jarum 2-3 cm medial
vasa uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian avaskular
ligamentum latum lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi
hindari rusaknya vasa uterina dan ligasi harus mengenai cabang
asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk menyertakan 2-
3 cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah
diatas tidak efektif dan jika terjadi perdarahan pada segmen bawah
rahim. Dengan menyisihkan vesika urinaria, ligasi kedua dilakukan
bilateral pada vasa uterina bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi
vasa uterina atas. Ligasi ini harus mengenai sebagian besar cabang
arteri uterina pada segmen bawah rahim dan cabang arteri uterina
yang menuju ke servik, jika perdarahan masih terus berlangsung
perlu dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa ovarian. 7,19
Ligasi arteri Iliaka Interna. Identiffikasi bifurkasiol arteri
iliaka, tempat ureter menyilang, untuk melakukannya harus
dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral paralel dengan
garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial
kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka
interna dan eksterna. Klem dilewatkan dibelakang arteri, dan
dengan menggunakan benang non absobable dilakukan dua ligasi
bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna.
Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus
dilakukan sebelum dan sesudah ligasi. Risiko ligasi arteri iliaka
18
adalah trauma vena iliaka yang dapat menyebabkan perdarahan.
Dalam melakukan tindakan ini dokter harus mempertimbangkan
waktu dan kondisi pasien. 7,19
Teknik B-Lynch. Teknik B-Lynch dikenal juga dengan
“brace suture”, ditemukan oleh Christopher B Lynch 1997, sebagai
tindakan operatif alternative untuk mengatasi perdarahan
pospartum akibat atonia uteri. 7,19
Histerektomi. Histerektomi peripartum merupakan tindakan
yang sering dilakukan jika terjadi perdarahan pospartum masif
yang membutuhkan tindakan operatif. Insidensi mencapai 7-13 per
10.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada persalinan
abdominal dibandingkan vaginal. 7,19
19
5. Berikan metal ergometrin 0,2 mg intra muskuler / intravena :
metilergometrin yang diberikan secara intramuskuler akan mulai
bekerja dalam 5-7 menit dan akan menyebabkan kontraksi uterus.
Pemberian intravena bila sudah terpasang infuse sebelumnya.
6. Berikan infuse cairan larutan ringer laktat dan oksitoksin 20
IU/500 ml : anda telah memberikan oksitoksin pada waktu
penatalaksanaan aktif kala tiga dan metil ergometrin
intramuskuler. Oksitoksin intravena akan bekerja segera untuk
menyebabkan uterus berkontraksi. Ringer laktat akan membantu
memulihkan volume cairan yang hilang selama atoni. Jika uterus
wanita belum berkontraksi selama 6 langkah pertama, sangat
mungkin bahwa ia mengalami perdarahan postpartum dan
memerlukan penggantian darah yang hilang secara cepat.
7. Mulai lagi kompresi bimanual interna atau pasang tampon
uterovagina : jika atonia uteri tidak teratasi setelah 7 langkah
pertama, mungkin ibu mengalami masalah serius lainnya.
Tampon utero vagina dapat dilakukan bila penolong telah terlatih.
Segera siapkan proses pembedahan..
8. Teruskan cairan intravena hingga ruang operasi siap.
9. Lakukan laparotomi dengan ligasi dengan pilihan bedah
konservatif (mempertahankan uterus) atau melakukan
histeroktomi. Alternatifnya berupa: ligasi arteria uterina atau
arteria ovarika, operasi ransel B Lynch, histerektomi
supravaginal, histerektomi total abdominal.
20
2.2.8. Komplikasi
Di samping menyebabkan kematian, syok, HPP memperbesar
kemungkinan terjadinya infeksi puerperalis karena daya tahan tubuh
penderita berkurang. Perdarahan banyak kelak bisa menyebabkan
sindroma Sheehan sebagai akibat nekrosis pada hipofisis pars anterior
sehingga terjadi insufisiensi bagian tersebut. Gejala-gejalanya ialah
21
hipotensi, anemia, turunnya berat badana sampai menimbulkn kakeksia,
penurunana fungsi seksual dengan atrofi alat-alat genital, kehilangan
rambut pubis dan ketiak, penurunan metabolisme dan hipotensi, amenorea
dan kehilangan fungsi laktasi.18
22
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
1. Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang
menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari
tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir.
2. Manifestsi klinis dari dari atonia uteri yaitu dapat ditemukan perdarahan
post partum, konsistensi rahim lunak, fundus uteri naik, dan sampai
adanya tanda-tanda shock.
3. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus atonia uteri
antara lain pemeriksaan laboratorium darah lengkap dan pemeriksaan
USG.
4. Penatalaksanaan atonia uteri dapat dilakukan dengan cara pemberian
resusitasi, massase dan kompresi bimanual, uterotonika, uterine lavage dan
uterine packing, dan juga dengan tindakan operatif.
5. Komplikasi dari atonia uteri antara lain shock dan infeksi puerperalis
3.2. Saran
1. Pencegahan dan diagnosis lebih awal sangat penting untuk mencegah
terjadinya atonia uteri. Tujuannya agar menghindari beberapa komplikasi
yang dapat terjadi seperti perdarahan, syok hingga kematian.
2. Bagi dokter muda agar lebih memahami dan menerapkan pemahaman
mengenai atonia uteri agar ketika menemukan kasus tersebut pada
pelayanan kesehatan tingkat pertama dapat mendiagnosis dan melakukan
penanganan yang cepat dan benar.
23
DAFTAR PUSTAKA
24
13. Hall, J. 2012. Guyton & Hall Buku ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta:
Elsevier
14. Manuaba, I. B. G. 2010. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan
Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan, EGC, Jakarta, Indonesia.
15. Knight M, Callaghan WM, Berg C, et al. Trends in postpartum
hemorrhage in high resource countries: a review and recommendations
from the International Postpartum Hemorrhage Collaborative Group. BMC
Pregnancy Childbirth. 2009; 9:55.
16. Say L,Chou D, Gemmill A, et al. Global causes of maternal death: a WHO
systematic analysis. Lancet Glob Health. 2014; 2(6): 323 - 333.
17. Varney, H. 2008. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta: EGC
18. James R Scott, et al. Danforth buku saku obstetric dan ginekologi. Alih
bahasa TMA Chalik. Jakarta: Widya Medika, 2002.
19. Wiknjosastro, H. 2011. Ilmu Bedah Kebidanan. Edisi Pertama. PT. Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, Indonesia.
25