Anda di halaman 1dari 4

DPK GMNI FISIP UNDIP

KANTIN (KAJIAN RUTIN)


Kamis, 24 Juni 2021
19.00 – selesai WIB
Zoom Meeting

Pemantik : Geraldo T.H. (Kader DPK GMNI FISIP Undip/Staf Ahli


Bid. Kestra BEM Undip 2021)
Kutipan : “The history of mankind is a history of war.” – Mike Love,
penyanyi asal Amerika Serikat

Judul : USA vs China, The Next Cold War


Buku : 2034: A Novel of the Next World War by Eliot Ackerman
and James Stavridis (New York: Penguin Press, 2021)
Referensi : Fukuyama, Francis. (2021). 2034.
https://www.americanpurpose.com/blog/fukuyama/2034/
Politik, Pinter. (2021). Perang AS-Tiongkok, Jokowi Harus
Bersiap?. https://www.pinterpolitik.com/in-depth/perang-as-
tiongkok-jokowi-harus-bersiap
Politik, Pinter. (2021). Prabowo Benar, Indonesia Harus
Siap Perang?. https://www.youtube.com/watch?
v=ehgTfwDLFs8
Corbuzier, Deddy. (2021). HABIS SEMUA!! PRABOWO
PERDANA BICARA‼️ EXCLUSIVE - Deddy Corbuzier
Podcast. https://www.youtube.com/watch?v=lGsp7GCDiDU
Pertanyaan : Menurut Francis Fukuyama, meskipun sulit dibayangkan,
perang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok harus dipahami
sebagai kemungkinan yang bisa saja terjadi. Lantas, apakah
Presiden Jokowi perlu bersiap untuk menghadapi kemungkinan
perang tersebut?
Isi : Anggaran pertahanan militer Indonesia yang dicanangkan
oleh Menhan RI, Prabowo Subianto, sebesar Rp 1,75 kuadraliun
menjadi buah bibir. Sejak Perang Dunia II, khususnya setelah
globalisasi, di mana negara semakin bergantung dengan negara
lainnya, kalkulasi akan terjadinya perang berdarah semakin sulit
dibayangkan. Ini bertolak dari besarnya biaya yang harus
dikeluarkan jika memutuskan untuk berperang. Perang Dunia II,
misalnya, menghabiskan biaya US$ 4,1 triliun atau sekitar Rp 60,8
kuadriliun, dan merenggut 85 juta jiwa. Meskipun produksi senjata
tetap dilakukan, perannya saat ini bergeser. Tidak lagi sebagai alat
untuk membunuh, melainkan sebagai alat gentar. Disebut
sebagai deterrence effect atau efek gentar. Besarnya kekuatan
militer dapat menambah daya tawar suatu negara dalam melakukan
diplomasi.
Atas pergeseran pandangan ini, banyak pihak begitu pesimis atas
terjadinya perang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok,
meskipun kedua negara kerap terlibat ketegangan. Namun, Francis
Fukuyama dalam tulisan artikel terbarunya yang
berjudul 2034 justru memiliki pandangan yang berbeda di blog
www.americanpurpose.com. Mengutip novel Eliot Ackerman dan
James Stavridis yang berjudul 2034: A Novel of the Next World
War, Fukuyama menegaskan kemungkinan perang antara kedua
negara tersebut tidak boleh dianggap tidak ada. Menurutnya,
anggapan semacam itu adalah miscalculation. Asumsi perang tidak
akan terjadi dengan dalih cost yang besar, sama dengan kesalahan
Jepang ketika menyerang Pearl Harbor pada 7 Desember 1941.
Serangan itu berdiri di atas asumsi bahwa AS tidak akan
mendeklarasikan perang dan mundur karena akan begitu besar
biaya yang dikeluarkan jika ingin merebut negeri Matahari Terbit.
Namun, seperti yang diketahui, kalkulasi itu keliru. AS mengambil
harga besar dan menjatuhkan bom atom ke Hirosima dan Nagasaki.
Meskipun Fukuyama menegaskan kebijakan politik luar negeri AS
adalah mencegah perang dengan Tiongkok, namun kemungkinan
perang tidak boleh dihilangkan. Menurutnya, cara untuk mencegah
perang bukan dengan menganggapnya tidak akan terjadi,
melainkan mengidentifikasi setiap faktor yang membuatnya
mungkin terjadi. Menariknya, sebagai penutup tulisan, Fukuyama
menyebut novel fiksi seperti 2034: A Novel of the Next World
War tampaknya lebih baik dalam mengingatkan kita atas potensi
perang daripada artikel atau kajian ilmiah. Tensi kesimpulan
tersebut sama dengan pernyataan filsuf neo-pragmatisme AS,
Richard Rorty, ketika menyebut membaca novel Crime and
Punishment dari Dostoevsky lebih mampu membuat kita
memahami moralitas daripada tulisan Immanuel Kant tentang
imperatif kategoris.

Tidak hanya persoalan teoretis, faktanya, menurut laporan


Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), di
tengah pandemi belanja alutsista global justru naik US$ 1.981
miliar pada tahun 2020. Naik 2,6 persen secara riil dari 2019.
Hampir semua anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO)
meningkatkan pengeluaran militernya pada tahun 2020. Dua belas
anggota NATO menghabiskan 2 persen atau lebih dari PDB. Ini
lebih banyak dari 2019 yang hanya sembilan anggota. Belanja
militer Tiongkok juga meningkat 1,9 persen dibanding 2019.
Kedua terbesar di dunia, diperkirakan mencapai US$ 252 miliar.
Ini meningkat 76 persen selama dekade 2011-2020. SIPRI juga
mencatat pengeluaran militer Tiongkok meningkat selama 26 tahun
berturut-turut.

Memang ada faktor diskon alutsista di tengah pandemi Covid-19


yang mendorong peningkatan belanja. Namun, terlepas dari faktor
diskon, peningkatan ini menunjukkan bagaimana berbagai negara
menjaga probabilitas perang. Konteksnya mungkin bukan pada
persiapan akan turun ke medan perang. Melainkan peningkatan
kekuatan pertahanan dimaksudkan untuk menjaga perang tersebut
tidak terjadi. Kembali, ini adalah deterrence effect.

Atas persoalan ini, wacana belanja alutsista sebesar Rp 1,75


kuadriliun yang termuat di Rancangan Peraturan Presiden
(Raperpres) tentang Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan
Pertahanan dan Keamanan Kementerian Pertahanan dan Tentara
Nasional Indonesia Tahun 2020-2024 (Alpalhankam) sudah
sepatutnya didukung. Wacana yang termuat di raperpres, dengan
jelas menunjukkan ini adalah penugasan dari Presiden ke
Kementerian Pertahanan. Artinya, Presiden Joko Widodo (Jokowi)
tampaknya sangat menyadari betapa pentingnya alutsista untuk
menunjang pertahanan negara. Dan juga, tentunya untuk
meningkatkan pengaruh dan daya tawar ketika melakukan
diplomasi.

Pada akhirnya, seperti yang disebutkan oleh Fukuyama, menjaga


tidak terjadinya perang bukan dengan menganggapnya tidak akan
terjadi. Melainkan mengidentifikasi setiap faktor yang
membuatnya mungkin. Salah satu faktor itu adalah menunjukkan
diri lebih lemah dari negara lainnya. Di sana letak pentingnya
alutsista.

Anda mungkin juga menyukai