Independensi.com
Selain itu propaganda yang muncul mengenai Covid-19 adalah adanya teori Illuminati,
sekumpulan orang untuk menjatuhkan kekuasaan dunia dalam perdagangan dengan membentuk
Economy Big Star. EBS telah mengendalikan perekonomian dunia dari mulai Word Bank,IMF,dll.
Sebab jika suatu negara sudah terbebas dari Covid-19 maka negara-negara tersebut akan meminjam
uang dengan bunga yang sebesar besarnya demi membaikkan perekonomian-nya. Padahal selama ini
kita tahu, menurut para ahli bahwa Asal mula virus ini adalah kelelawar atau hewan sejenisnya.
Namun hal mengejutkan terjadi ketika pengakuan mantan perwira intelijen militer dari Central
Inteligence Agency (CIA) Amerika Serikat (AS), Philip Giraldi bahwa Covid-19 bukan dari proses
alami yang terjadi tidak sengaja, namun virus ini terjadi akibat dari proses bentukan dari laboratorium
yang sengaja diproduksi. China diklaim sebagai ancaman bagi Amerika karena akan mengancam
keamanan Nasional dan dominasi ekonomi, sehingga amerika menyebarkan virus untuk mengatasi
ketakutan tersebut. Pandangan tersebut muncul akibat adanya kisah historis, dimana kala itu pada
2005-2009, Pemerintah Amerika Serikat dan Israel secara diam-diam mengembangkan virus
komputer yang disebut Stuxnet, yang dimaksudkan untuk merusak sistem kontrol dan pengoperasian
komputer Iran yang digunakan dalam program penelitian nuklir negara itu.
Alasan mengenai kenapa harus senjata biologi bukan senjata nuklir mendapatkan jawaban
bahwa uang yang dikeluarkan untuk memproduksinya sangat murah dan efesien dibanding
menggunakan nuklir. Selain itu senjata biologi sulit untuk dideteksi dengan mudah x-ray ataupun
anjing pelacak serta mudah untuk diangkut oleh manusia. Oleh karena itu senjata biologi sering
disebut juga sebagai poor man’s nuclear weapon, ungkap Connie. Sehingga beberapa perusahaan
ternama dunia bersaing untuk menciptakan teknologi mutakhir dalam menghadapi perang biologi ini,
sebab Covid-19 bukan virus satu-satunya yang akan muncul namun suatu saat akan muncul kembali
virus yang serupa. Seperti Ant Financial (bagian dari Alibaba), yang telah menciptakan alat
pendeteksi Covid-19 dengan menggunakan kode warna. Selaiun itu Tencent, yang memiliki 1 miliar
pengguna melalui layanan wechat telah bekerja sama dengan otoritas kesehatan pada aplikasi ini
untuk mempersiapkan itu. Namun diindonesia sendiri sekarang, belum mempersiapkan sama sekali
yang namanya biodefence dari lembaga-lembaga terpusat atau dari beberapa elemen lembaga
pemerintahan dengan Kementrian Pertahanan dalam menghadapi bio-warfare ini. Connie
beranggapan bahwa Kementrian Pertahanan belum memahami lingkungan, ancaman, dan kerentanan
penting untuk memiliki pemahaman sejelas mungkin tentang kondisi lingkungan: kesadaran
situasional dari lokasi, kuantitas, kerentanan. Sehingga beberapa amcaman dalam menghadapi WMD
bisa dilakukan agar indonesia tidak mengalami kesengsaraan akibat hal tersebut. Seperti peran dari
Kementrian Pertahanan adalah penciptaan apps/ detector dan surveillance WMD terkini yang
mutakhir disertai dengan mengedepankan pola pikir,kebijakan dan infrastruktur. Sedangkan peran
dari pihak Intelijen adalah membangun koordinasi dan kekuatan dengan masyarakat tentang
bahayanya strategi senjata biologi. Bahkan seharusnya pemerintah juga sudah mempersiapkan
anggaran dalam menghadapi bahaya ini untuk persiapan biodefence .
Dari review yang telah saya lakukan diatas, saya sekilas mengingat beberapa buku yang telah
saya baca, yaitu Homo Deus dan 21 Lesson, karya Yuval Noah Harari. Dimana evolusi dan seleksi
alam akan diambil alih oleh teknologi mutakhir ciptaanya sendiri baik dari kecerdasan buatan maupun
genetika buatan. Bahkan teknologi sendiri mampu memahami manusia daripada manusia itu sendiri,
sehingga pikiran manusia mampu diambil alih oleh teknologi menggunakan algoritma-algoritma yang
ada di teknologi. Itu sebabnya kenapa permasalahan Covid-19 dalam bio-warefare ini perkembangan
teknologi sangat dimanfaatkan secara tidak baik. Seharunya manusia sebagai pembuat teknologi dapat
mengendalikan tindakan dari teknologi itu sendiri, namun dalam hal ini justru kebalikannya. Manusia
dikendalikan oleh teknologi buatan manusia itu sendiri. Sehingga algoritma-algoritma yang terjadi
berjalan tidak sesuai pikiran manusia atau bertindak abstrak.