• Kekerasan Seksual
• Kebijakan diskriminatif
• Perkawinan anak
Tantangan di Indonesia
• Minimnya hak asasi perempuan
sebagai alat utama kerja-kerja
lembaga negara dan aktor-aktor
kunci di masyarakat
• Menguatnya fundamentalisme dan
konservatisme
• Transisi era digital yang lebih cepat
dari daya respons negara dan publik
• Kurang utuhnya pemahaman tentang
prinsip-prinsip CEDAW yaitu non-
diskriminasi, kesetaraan substantif
dan kewajiban negara
AGENDA KOMNAS PEREMPUAN 2020-2025
FISIPOLYCHROME
“RUU PKS: Kawal Jangan Jegal”
Bidang Sosial dan Politik BEM FISIP
UNDIP
1. Pencegahan
2. Pemulihan
3. 9 Tindak Pidana Kekerasan Seksual
4. Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
(Hukum Acara Khusus)
5. Ketentuan Pidana
6. Koordinasi dan Pengawasan
1. PENCEGAHAN
• Kerahasiaan Identitas.
• Ganti Rugi.
• Menyampaikan keterangan tanpa tekanan.
• Layanan dokumen kependudukan dan dokumen lainnya.
• Peroleh info jika tersangka atau terdakwa tidak ditahan.
Setelah Proses Pengadilan
• Pemantauan, pemeriksaan dan pelayanan kesehatan fisik dan psikologis korban secara berkala.
• Penyediaan layanan jaminan sosial.
• Kompensasi, Restitusi, serta pendampingan penggunaannya.
• Pemberdayaan ekonomi untuk korban dan keluarga korban.
3. SEMBILAN TINDAK PIDANA KEKERASAN
SEKSUAL
1. Pelecehan Seksual;
2. Pemaksaan Perkawinan;
3. Pemaksaan Kontrasepsi;
4. Pemaksaan Aborsi
5. Perkosaan;
6. Eksploitasi Seksual;
7. Pemaksaan Pelacuran;
8. Perbudakan Seksual;
9. Penyiksaan Seksual.
4. PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI
SIDANG PENGADILAN (HUKUM ACARA KHUSUS)
HAMBATAN YANG DIHADAPI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DALAM MENCARI KEADILAN
• KUHAP mengatur lima (5) alat bukti. Namun, 5 alat bukti ini belum mengakomodasi kebutuhan pembuktian.
• Banyak kasus kekerasan seksual tidak dapat diproses di peradilan pidana karena dianggap kurang bukti.
• Korban, termasuk korban dengan disabilitas, seringkali disalahkan dan distigma oleh banyak pihak dalam proses
peradilan.
• Korban seringkali mengalami trauma berulang selama proses peradilan (mulai dari pelaporan, pemeriksaan di
kepolisian, hingga di persidangan).
• Korban seringkali justru dilaporkan sebagai pelaku tindak pidana pencemaran nama baik atau tindak pidana
lainnya.
• Saksi atau Korban seringkali tidak mendapat bantuan hukum atau pendampingan. Karena KUHAP hanya
mengatur hak atas bantuan hukum bagi tersangka dan terdakwa.
• Korban hanya mengatur bahwa hanya dalam kasus tertentu (kekerasan seksual anak) dan dengan keputusan
LPSK, saksi dan korban dapat peroleh bantuan hukum.
• Aturan dalam Sistem Peradilan Pidana belum mengakomodasi kebutuhan khusus korban, termasuk korban
dengan disabilitas.
Lanjutan
TEROBOSAN HUKUM ACARA PIDANA UNTUK MEMENUHI DAN MELINDUNGI HAK KORBAN
Alat Bukti
RUU ini memperluas cakupan alat bukti, diantaranya:
• Surat keterangan psikolog klinis, dan atau dokter spesialis kedokteran jiwa,
• Rekam medis atau hasil pemeriksaan forensik,
• Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, baik yang tertuang di benda fisik,
atau yang terekam secara elektronik
Perluasan alat bukti tersebut memberi peluang bagi korban dan aparatur penegak hukum untuk bisa memenuhi syarat
pembuktian. Karena KUHAP baru menetapkan 5 alat bukti, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan
keterangan terdakwa.
Lanjutan
Sikap Aparat Penegak Hukum
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual melarang Aparat Penegak Hukum untuk:
• Merendahkan dan menyalahkan korban,
• Membebankan pencarian alat bukti kepada korban,
• Menggunakan pengalaman atau latar belakang korban sebagai alasan untuk tidak melanjutkan penyidikan
korban
• Serta melarang menyampaikan identitas korban kepada media massa atau media sosial.
Pemulihan
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengintegrasikan kebutuhan hak atas pemulihan ke dalam proses
peradilan pidana, mengatur para pihak yang menyelenggarakan hak-hak korban, serta pengawasannya.
Larangan Mengkriminalkan Korban
Dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, korban tidak dapat dituntut secara pidana dan/atau perdata
khususnya terkait dengan kasus kekerasan seksual yang dialami korban.
Pendampingan Korban
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mewajibkan aparat penegak hukum untuk merujuk Korban dan Saksi ke
lembaga penyedia layanan pendampingan sesuai kebutuhan.
5. KETENTUAN PIDANA
KETENTUAN PIDANA DENGAN MODEL DOUBLE TRACK SYSTEM (SISTEM 2 JALUR): PIDANA DAN TINDAKAN
Bertujuan untuk:
• Mencegah Keberulangan Tindak Pidana atau Kasus Kekerasan Seksual
• Perbaikan Pola Pikir dan Perilaku Pelaku, serta Menjerakan Pelaku, dan
• Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Bagi Korban secara khusus dan Indonesia secara umum.
PIDANA POKOK
• Pidana penjara
• Kerja sosial
PIDANA TAMBAHAN
• Restitusi atau Ganti Rugi
• Kompensasi
• Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
• Pencabutan hak asuh anak atau pengampuan
Lanjutan
KOORDINASI
Dalam melaksanakan penghapusan kekerasan seksual, Menteri PPPA berkoordinasi lintas sektor
dengan kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, perguruan tinggi, lembaga penyedia layanan, dunia
usaha, dan masyarakat.
Koordinasi tersebut dilakukan terkait dengan:
1. Kebijakan;
2. Perencanaan dan penganggaran;
3. Keterpaduan pelayanan dan penyediaan sarana prasarana penanganan, pelindungan dan pemulihan
korban;
4. Penguatan kapasitas dan peran serta masyarakat; data dan pelaporan; dan
5. Monitoring dan evaluasi.
Lanjutan
PENGAWASAN ATAS PELAKSANAAN UU DAN PERUMUSAN REKOMENDASI TERHADAP
KEBIJAKAN PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL MELIPUTI
1. Pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan UU;
2. Pemantauan dan penilaian atas kebijakan eksekutif, yudikatif, legislatif, badan publik, dunia usaha dan lembaga
terkait;
3. Pencarian fakta dan penilaian kepada para pihak yang diduga melakukan tindakan yang menghalangi
penghapusan kekerasan seksual; dan
4. Pemberian hasil dan rekomendasi pengawasan disampaikan kepada eksekutif, yudikatif, legislatif, dan lembaga
terkait.
SIAPA YANG MELAKUKAN PENGAWASAN RUU PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL?
Lembaga Hak Asasi Manusia Nasional, yang dikoordinasikan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan).
Lembaga HAM Nasional telah memiliki kesiapan sumber daya dan mekanisme kerja untuk melakukan
pemantauan, tanpa harus membentuk lembaga perwakilan di daerah yang dapat berakibat pada inefisiensi birokrasi
dan anggaran.
Perjalanan Pengawalan RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual
• RUU P-KS diusulkan sejak 2012, pengesahannya sudah 8 tahun ditunda.
• RUU P-KS dikeluarkan dari proleknas 2020.
• Saat ini Komnas Perempuan bersama Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) mendorong agar RUU P-KS Kembali
masuk dalam prioritas proleknas 2021.
Stop segala bentuk perbuatan dan perkataan yang
merendahkan martabat perempuan.