Anda di halaman 1dari 32

KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN KARAKTERISTIK DEMOGRAFI (USIA DAN JENIS


KELAMIN), BERAT BADAN, LAMA PENGOBATAN, DAN
KEPATUHAN MINUM OBAT TERHADAP KONVERSI BTA DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS MRICAN, SUKORAME, DAN
NGLETIH KOTA KEDIRI PADA TAHUN 2018-2019

Pembimbing:
dr. Gita Sekar Prihanti , M.Pd. Ked
dr. Djaka Handaja, MPH
dr. H. Rizal Amin, M.Kes
dr. Shirley Astrid

Oleh:
Rizqi Dwi Admaja 201820401011111
Nuha Regina Alifanny 201820401011112
Nihayatul Husnia 201820401011145
Nabila Besari Putri 201820401011122
Karis Akmal Hussin 201820401011134

STASE ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1 Latar Belakang

Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular yang menyerang

daerah paru, disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis dan dikenal

juga sebagai suatu Bakteri Tahan Asam (BTA) (Kemenkes RI, 2018).

Tuberkulosis (TB) paru masih menjadi masalah kesehatan di dunia,

terutama di negara-negara berkembang dan sudah ditetapkan sebagai Global

Emergency sejak tahun 1992 oleh Wolrd Health organization (WHO). WHO

memperkirakan akan ada 1000 juta orang yang akan terinfeksi TB, dengan

jumlah lebih dari 150 juta orang sakit dan 36 juta orang akan meninggal

akibat penyakit TB pada tahun 2002-2020 (Muchtar, Herman, Yulistini,

2018).

Indonesia merupakan negara tertinggi kasus TB paru bersamaan

dengan Cina, India, Nigeria, Afrika Selatan, dan Pakistan (WHO, 2016).

Berdasarkan data nasional, penyakit Tuberkulosis di Indonesia mencapai 214

per 100.000 penduduk dengan keberhasilan pengobatan (konversi) mencapai

84,6% (Kemenkes RI, 2019). Prevalensi Tuberkulosis di Jawa Timur

mencapai 187 per 100.000 penduduk atau sekitar 73.835 orang dengan

tingkat keberhasilan pengobatan 87%, sedangkan angka kegagalan konversi

di Jawa Timur yaitu sebanyak 31.411 orang (Kemenkes RI, 2019). Kejadian

TB paru di Kota Kediri pada tahun 2016 tercatat keseluruhan 287 kasus TB

BTA positif, yang diobati adalah 166 orang dan angka kesembuhan untuk
kasus BTA + yang ditemukan adalah 131 orang (78,92%) (Dinkes Kota

Kediri, 2017). Keberhasilan pengobatan secara keseluruhan masih di bawah

target nasional yang ditetapkan untuk keberhasilan pengobatan yaitu 90%

(Kemenkes RI, 2019).

Angka konversi (conversion rate) merupakan salah satu indikator

keberhasilan pengobatan TB. Konversi ini merupakan persentase pasien TB

baru yang terkonfirmasi secara bakteriologis dan mengalami perubahan

menjadi BTA negatif setelah melakukan pengobatan tahap awal selama 2

bulan dengan angka minimal 80% (Hadifah, Subronto, Ikhsan, 2019).

Beberapa faktor terkait gagal konversi setelah pengobatan TB antara lain usia,

jenis kelamin, gradasi BTA sebelum pengobatan, riwayat penyakit Diabetes

Mellitus, Indeks Masa Tubuh (IMT), kepatuhan berobat, dan riwayat penyakit

TB dengan kegagalan konversi setelah pengobatan 2 bulan yang berkontribusi

terhadap Multidrugs Resistant Tuberculosis (MDR-TB) (D’Souza, et al,

2017; Mlotshwa, et al, 2016; Mohd, Shah, Kamaludin, 2016).

Berdasarkan WHO tahun 2016, perbandingan penderita TB jenis

kelamin laki-laki dan perempuan yaitu 1,6:1. Penelitian oleh Djouma, et al,

2015 dan Mlotshwa, et al, 2016 menunjukkan bahwa pasien jenis kelamin

laki-laki lebih berresiko mengalami gagal konversi dibandingkan dengan

pasien perempuan yang diperkirakan akibat ketidakteraturan pasien laki-laki

dalam pengambilan obat anti tuberculosis (OAT) dibandingkan dengan

perempuan. Keteraturan dalam konsumsi OAT memiliki hubungan dengan

kejadian konversi BTA setelah pengobatan. Hal ini disebabkan karena resiko

gagal konversi lebih tinggi pada pasien yang tidak teratur mengonsumsi OAT
(Marizan, Mahendradhata, Wibowo, 2016). Mayoritas penderita TB adalah

usia produktif, dengan presentase kelompok usia yang lebih muda lebih tinggi

dibandingkan dengan usia tua. Akan tetapi, penderita TB dengan resiko gagal

konversi BTA lebih tinggi pada usia >50 tahun daripada usia muda (Gunda,

et al, 2017). Faktor lain yang dapat menyebabkan penurunan imunitas tubuh

adalah kekurangan gizi atau malnutrisi, sehingga dapat menyebabkan

kerentanan tubuh terhadap infeksi kuman TB. Status gizi yang buruk akan

meningkatkan resiko penyakit TB, sebaliknya TB paru juga dapat

menyebabkan status gizi yang buruk akibat perjalanan penyakit. Status gizi

berperan penting dalam keberhasilan pengobatan TB (Puspita, Christanto, dan

Yovi, 2016).

Secara nasional, pengendalian TB dilakukan dengan menerapkan

strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) yang merupakan

strategi tatalaksana TB yang mengutamakan pengawasan agar pasien

menyelesaikan pengobatan sampai dinyatakan sembuh. Salah satu tempat

pelayanan dalam pelaksanaan strategi DOTS ini adalah pada Puskesmas

(Kemenkes RI, 2013). Pengobatan dapat diberikan setelah diagnosis

ditetapkan dan diklasifikasikan bagi setiap pasien. Tahap pengobatan terdiri

dari dua tahap, yaitu pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan yang pada

setiap tahapan tersebut harus dijalani secara benar dan teratur (Kemenkes RI,

2017). Pada tahap awal menggunakan paduan obat rifampisin, isoniazid,

pirazinamid, dan etambutol, sedangkan pada tahap lanjutan menggunakan

paduan obat rifampisin dan isoniazid (IDI, 2017).


Berdasarkan uraian di atas, maka akan dilakukan penelitian mengenai

Hubungan Karakteristik Demografi (Usia dan Jenis Kelamin), Berat Badan,

Lama Pengobatan, dan Kepatuhan Minum Obat Terhadap Konversi BTA di

Wilayah Kerja Puskesmas Mrican, Sukorame, dan Ngletih Kota Kediri pada

Tahun 2018-2019.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan karakteristik demografi, berat badan, lama

pengobatan, dan kepatuhan minum obat terhadap konversi BTA di wilayah

kerja Puskesmas Mrican, Sukorame, dan Ngletih Kota Kediri pada tahun

2018-2019?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perubahan

konversi BTA di wilayah kerja Puskesmas Mrican, Sukorame, dan Ngletih

Kota Kediri tahun 2018-209

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui hubungan usia terhadap perubahan konversi BTA

di wilayah kerja Puskesmas Mrican, Sukorame, dan Ngletih Kota

Kediri pada tahun 2018-2019

b. Untuk mengetahui hubungan jenis kelamin terhadap perubahan

konversi BTA di wilayah kerja Puskesmas Mrican, Sukorame, dan

Ngletih Kota Kediri pada tahun 2018-2019


c. Untuk mengetahui hubungan berat badan terhadap perubahan konversi

BTA di wilayah kerja Puskesmas Mrican, Sukorame, dan Ngletih

Kota Kediri pada tahun 2018-2019

d. Untuk mengetahui hubungan lama pengobatan terhadap perubahan

konversi BTA di wilayah kerja Puskesmas Mrican, Sukorame, dan

Ngletih Kota Kediri pada tahun 2018-2019

e. Untuk mengetahui hubungan kepatuhan minum obat terhadap

perubahan konversi BTA di wilayah kerja Mrican, Sukorame, dan

Ngletih Kota Kediri pada tahun 2018-2019

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Dinas Kesehatan Kota Kediri

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi kepada

Dinas Kesehatan Kota Kediri dalam penganggulangan penyakit

Tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas Mrican, Sukorame, dan Ngletih

1.4.2 Bagi Puskesmas Mrican, Sukorame, dan Ngletih Kota Kediri

Sebagai sumber data dan informasi dalam membantu analisis faktor-

faktor yang berhubungan dengan perubahan konversi BTA sehingga

dapat meningkatkan pelayanan pada pasien Tuberkulosis

1.4.3 Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai sarana pengembangan dan penerpaan keilmuan yang didapatkan

peneliti selama masa preklinik

1.4.4 Bagi Penulis


Memberikan informasi dan menambah wawasan tentang hubungan

karakteristik demografi, berat badan, lama pengobatan, kepatuhan minum

obat terhadap perubahan konversi BTA pasien Tuberkulosis

AB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis

2.1.1 Definisi

Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit kronik menular yang disebabkan

oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB sering

ditemukan menginfeksi parenkim paru dan menyebabkan TB paru, namun bakteri

ini juga memiliki kemampuan menginfeksi organ tubuh lainnya (TB ekstra paru)

seperti pleura, kelenjar limfe, tulang, dan organ ekstra paru lainnya. (Kemenkes

RI, 2019)

2.1.2 Etiologi

Terdapat beberapa spesies bakteri yang berkaitan dengan infeksi TB, yaitu antara

lain M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M. microti, M.cannettii. Hingga

saat ini, M. tuberculosis merupakan bakteri yang paling sering ditemukan, dan

menular antar manusia melalui rute udara. Bakteri ini berbentuk batang dan
bersifat tahan asam sehingga sering dikenal dengan Basil Tahan Asam (BTA).

(Kemenkes RI, 2019)

Tuberkulosis biasanya menular dari manusia ke manusia lain lewat udara melalui

percik renik atau droplet nucleus (<5 microns) yang keluar ketika seorang yang

terinfeksi TB paru atau TB laring batuk, bersin, atau bicara. Percik renik juga

dapat dikeluarkan saat pasien TB paru melalui prosedur pemeriksaan yang

menghasilkan produk aerosol seperti saat dilakukannya induksi sputum,

bronkoskopi dan juga saat dilakukannya manipulasi terhadap lesi atau pengolahan

jaringan di laboratorium.

Percik renik, yang merupakan partikel kecil berdiameter 1 sampai 5 μm dapat

menampung 1-5 basilli, dan bersifat sangat infeksius, dan dapat bertahan di dalam

udara sampai 4 jam. Karena ukurannya yang sangat kecil, percik renik ini

memiliki kemampuan mencapai ruang alveolar dalam paru, dimana bakteri

kemudian melakukan replikasi. (Kemenkes RI, 2019)

2.1.3 Epidemiologi

Berdasarkan Global TB Report, secara global pada tahun 2019 diperkirakan 10,0

juta (kisaran 8,9–11,0 juta) orang menderita TB. Terdapat 1,2 juta (kisaran, 1,1-

1,3 juta) kematian akibat TB di antara orang HIV-negatif dan tambahan 208.000

kematian (kisaran, 177.000-242.000) di antara orang HIV-positif.

Secara geografis, pada tahun 2019, kasus TB terbanyak berada di wilayah

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Asia Tenggara (44%), Afrika (25%) dan

Pasifik Barat (18%), dengan pangsa lebih kecil di Mediterania Timur ( 8,2%),

Amerika (2,9%) dan Eropa (2,5%).


Delapan negara menyumbang dua pertiga dari total global: India (26%), Indonesia

(8,5%), Cina (8,4%), Filipina (6,0%), Pakistan (5,7%), Nigeria (4,4%),

Bangladesh ( 3,6%) dan Afrika Selatan (3,6%). (WHO, 2020)

Di Indonesia, ada tahun 2019 jumlah kasus tuberkulosis yang ditemukan sebanyak

543.874 kasus, menurun bila dibandingkan semua kasus tuberkulosis yang

ditemukan pada tahun 2018 yang sebesar 566.623 kasus. Jumlah kasus tertinggi

dilaporkan dari provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat,

Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Kasus tuberkulosis di ketiga provinsi tersebut

hampir mencapai setengah dari jumlah seluruh kasus tuberkulosis di Indonesia

(45%). (Kemenkes RI, 2020)

Menurut Profil Kesehatan Jatim tahun 2019, di Kota Kediri terdapat 867 kasus

TB, yang terdiri dari 472 kasus berjenis kelamin perempuan dan 395 laki-laki.

(Dinkes Provinsi Jawa Timur, 2020)

2.1.4 Patofisiologi

Setelah inhalasi, kuman TB dalam nukleus percik renik terbawa menuju

percabangan trakea-bronkial dan dideposit di dalam bronkiolus respiratorik atau

alveolus, di mana nukleus percik renik tersebut akan dicerna oleh makrofag

alveolus yang kemudian akan memproduksi sebuah respon nonspesifik terhadap

basilus. Tuberkel bakteri akan tumbuh perlahan dan membelah setiap 23- 32 jam

sekali di dalam makrofag.

Bakteri kemudian akan terus tumbuh dalam 2-12 minggu dan jumlahnya akan

mencapai 103-104, yang merupakan jumlah yang cukup untuk menimbulkan

sebuah respon imun seluler yang dapat dideteksi dalam reaksi pada uji tuberkulin

skin test. Bakteri kemudian akan merusak makrofag dan mengeluarkan produk
berupa tuberkel basilus dan kemokin yang kemudian akan menstimulasi respon

imun.

Sumsum tulang, hepar dan limpa ditemukan hampir selalu mudah terinfeksi oleh

Mycobacteria. Organisme akan dideposit di bagian atas (apeks) paru, ginjal,

tulang, dan otak, di mana kondisi organ-organ tersebut sangat menunjang

pertumbuhan bakteri Mycobacteria. Pada beberapa kasus, bakteri dapat

berkembang dengan cepat sebelum terbentuknya respon imun seluler spesifik

yang dapat membatasi multiplikasinya

1. TB Primer

Infeksi primer terjadi pada paparan pertama terhadap tuberkel basili.

Percik renik yang mengandung basili yang terhirup dan menempati

alveolus terminal pada paru, biasanya terletak di bagian bawah lobus

superior atau bagian atas lobus inferior paru. Basili kemudian

terfagosistosis oleh makrofag; produk mikobakterial mampu menghambat

kemampuan bakterisid yang dimiliki makrofag alveolus, sehingga bakteri

dapat melakukan replikasi di dalam makrofag. Makrofag dan monosit lain

bereaksi terhadap kemokin yang dihasilkan dan bermigrasi menuju fokus

infeksi dan memproduksi respon imun. Area inflamasi ini kemudian

disebut sebagai Ghon focus.

Basili dan antigen kemudian bermigrasi keluar dari Ghon focus melalui

jalur limfatik menuju Limfe nodus hilus dan membentuk kompleks (Ghon)

primer. Area inflamasi di dalam fokus primer akan digantikan dengan

jaringan fibrotik dan kalsifikasi, yang didalamnya terdapat makrofag yang


mengandung basili terisolasi yang akan mati jika sistem imun host

adekuat.

Beberapa basili tetap dorman di dalam fokus primer untuk beberapa bulan

atau tahun, hal ini dikenal dengan “kuman laten”. Infeksi primer biasanya

bersifat asimtomatik dan akan menunjukkan hasil tuberkulin positif dalam

4-6 minggu setelah infeksi. (Heemskerk et al, 2015)

2. TB pasca primer merupakan pola penyakit yang terjadi pada host yang

sebelumnya pernah tersensitisasi bakteri TB. Terjadi setelah periode laten

yang memakan waktu bulanan hingga tahunan setelah infeksi primer. Hal

ini dapat dikarenakan reaktivasi kuman laten atau karena reinfeksi.

Reaktivasi terjadi ketika basili dorman yang menetap di jaringan selama

beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi primer, mulai kembali

bermultiplikasi. Hal ini mungkin merupakan respon dari melemahnya

sistem imun host oleh karena infeksi HIV.

Reinfeksi terjadi ketika seorang yang pernah mengalami infeksi primer

terpapar kembali oleh kontak dengan orang yang terinfeksi penyakit TB

aktif. Foto toraks mungkin dapat memperlihatkan gambaran limfadenopati

intratorakal dan infiltrat pada lapang paru. TB post-primer biasanya

mempengaruhi parenkim paru namun dapat juga melibatkan organ tubuh

lain. Karakteristik dari dari TB post primer adalah ditemukannya kavitas

pada lobus superior paru dan kerusakan paru yang luas. Pemeriksaan

sputum biasanya menunjukkan hasil yang positif dan biasanya tidak

ditemukan limfadenopati intratorakal. (Kemenkes RI, 2019)


Gambar 2.1 Patogenesis TB
(Kemenkes RI, 2016)

2.1.5 Gejala
- Demam

Suhu tubuh dapat mencapai 40 – 41C, serangan demam hilang dan timbul.

Keadaan ini sangat mempengaruhi daya tahan tubuh sehingga banyak kuman TB

yang masuk ke dalam tubuh.

- Batuk/ batuk darah

Iritasi pada bronkus menyebabkan batuk, yang diperlukan untuk

membuang produk- produk radang. Batuk ada setelah terjadi peradangan paru–

paru setelah batuk berminggu-minggu. Sifat batuk dimulai dari batuk kering lalu

timbul peradangan hingga produktif (menghasilkan sputum). Keadaan lanjut yang


terjadi adalah batuk darah karena pembuluh darah pecah pada kalvitas dan ulkus

dinding bronkus.

- Sesak nafas

Pada penyakit ringan belum dirasakan sesak nafas namun akan ditemukan

pada penyakit lebih lanjut yaitu pada infiltrasinya sudah meliputi setengah paru.

- Nyeri dada

Timbul karena infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga menyebabkan

pleuritis. Terjadi gesekan antara dua pleura saat inspirasi atau aspirasi.

- Malaise

Sering ditemukan berupa anoreksia, penurunan berat badan, sakit kepala,

meriang, nyeri otot, keringat malam pada malam hari. Gejala malaise semakin

lama semakin berat dan terjadi hilang timbul tidak teratur (PAPDI, 2011).

2.1.6 Diagnosis TB

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Gejala utama TB paru adalah batuk berdahak selama

dua minggu atau lebih. Batuk bias juga diikuti dengan gejala-gejala tambahan

seperti dahak yang bercampur darah, batuk dengan darah, sesak nafas, badan

lemas, nafsu makan yang menurun, berat badan yang menurun, malaise,

berkeringat malam hari tanpa disertai kegiatan fisik, demam atau meriang lebih

dari satu bulan.

Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya

pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak

nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat
gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak

napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur

paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit

sekali menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah

lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2) , serta

daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara

lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-

tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.

- Pemeriksaan penunjang

Pada wilayah dengan laboratorium yang terpantau mutunya melalui

sistem pemantauan mutu eksternal, kasus TB Paru BTA positif

ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan BTA positif, minimal dari

satu spesimen. Pada daerah dengan laboratorium yang tidak terpantau

mutunya, maka definisi kasus TB BTA positif bila paling sedikit terdapat

dua spesimen dengan BTA positif. (Kemenkes RI, 2019)

a. Pemeriksaan bakteriologis

b. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, selain itu

juga untuk menentukan potensi dari penularan dan menilai keberhasilan dari

suatu pengobatan. Pemeriksaan dahak untuk penegakkan diagnosis dilakukan

dengan mengumpulkan dua contoh uji dahak yang dikumpulkan berupa

dahak Sewaktu-Pagi (SP). Dahak sewaktu (S) merupakan dahak yang

ditampung di fasilitas pelayanan kesehatan. Dahak pagi (P) merupakan dahak


yang ditampung pada pagi segera setelah bangun tidur. Pengambilan dahak

dapat dilakukan dirumah pasien sendiri atau di bangsal rawat inap jika pasien

menjalani rawat inap.

- Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM)

Pemeriksaan TCM dengan metode Xpert MTB/RIF. TCM merupakan

sarana untuk penegakkan diagnosis, namun tidak dapat dimanfaatkan untuk

evaluasi hasil pengobatan.

- Pemeriksaan biakan

Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan menggunakan media padat

(Lowenstein Jensen) atau media cair (Mycobacteria Growth Indicator Tube)

untuk identifikasi Mycobacterium tuberculosis.

c. Pemeriksaan penunjang lainnya

Pemeriksaan foto thoraks dan pemeriksaan histopatologis pada kasus

yang dicurigai TB ekstraparu

d. Pemeriksaan uji kepekaan obat

Uji kepekaan obat tersebut bertujuan untuk menentukan ada atau

tidaknya resistensi dari M. tuberculosis terhadap OAT. Uji tersebut harus

dilakukan di laboratorium yang telah lulus uji pemantapan mutu/quality

assurance (QA), dan mendapatkan sertifikat nasional maupun internasional.


Gambar 2.2 Alur Diagnosis TB
(Kemenkes RI, 2019)

2.1.7 Tatalaksana TB

Tujuan pengobatan TB adalah :

a. Menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan produktivitas pasien

b. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan


c. Mencegah kekambuhan TB

d. Mengurangi penularan TB kepada orang lain e. Mencegah perkembangan dan

penularan resistan obat

2. Prinsip Pengobatan TB :

Obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB.

Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah

penyebaran lebih lanjut dari bakteri penyebab TB. Pengobatan yang adekuat harus

memenuhi prinsip:

a. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung

minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi

b. Diberikan dalam dosis yang tepat

c. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (pengawas

menelan obat) sampai selesai masa pengobatan. d. Pengobatan diberikan dalam

jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal serta tahap lanjutan untuk

mencegah kekambuhan.

Tahap awal pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini

adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada

dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang

mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan.

Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan.

Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya

penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu pertama.


Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada

dalam tubuh, khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat sembuh dan

mencegah terjadinya kekambuhan. Durasi tahap lanjutan selama 4 bulan. Pada

fase lanjutan seharusnya obat diberikan setiap hari. (Kemenkes RI, 2019)

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia sesuai rekomendasi WHO adalah:

(Kemenkes RI, 2014)

 Kategori 1 : 2 (HRZE)/4(HR)3.

2HRZE/4HR

2HRZE/6HE

 Kategori 2 : 2 (HRZE)S/(HRZE)5/(HR)3E3

2HRZE/HR/5HRE

 Kategori Anak : 2 (HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR

Tabel 2.1 Dosis OAT Lini Pertama


OAT Dosis
Harian 3x/minggu
Kisaran dosis Maksimum Kisaran Maksimum/hari
(mg/kg BB) (mg) dosis (mg)
(mg/kg BB)
Isoniazid (H) 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900
Rifampisin (R) 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600
Pirazinamid (Z) 25 (20-30) - 35 (30-40) -
Steptomisin (S)* 15 (12-18) - 15 (12-18)
Etambutol (E) 15 (15-20) - 30 (25-35)
*) Pasien berusia diatas 60 tahun tidak dapat mentoleransi lebih dari 500-700 mg
perhari, beberapa pedoman merekomendasikan dosis 10 mg/kg BB pada pasien
kelompok usia ini. Pasien dengan berat badan di bawah 50 kg tidak dapat
mentoleransi dosis lebih dari 500-750 mg perhari.
(Kemenkes Ri, 2014)
2.2 Konversi BTA
Konversi BTA pada akhir pengobatan fase intensif merupakan salah satu indikator

respon pasien terhadap pengobatan TB. Konversi BTA sendiri dapat dipengaruhi

oleh beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin, berat badan, kepatuhan.

Sebuah studi oleh Yellapa et al, menunjukkan bahwa usia rata-rata terkait dengan

non-konversi sputum pada akhir dua bulan pengobatan adalah 45,2 tahun

(Yellapa et al., 2016). Hal serupa dengan penelitian yang dilakukan di India

Selatan yang melaporkan bahwa usia lebih dari 45 tahun dikaitkan dengan tingkat

konversi dahak yang buruk sebesar 60% (Rekha et al., 2007). Studi Babalik et al

menunjukkan bahwa konversi smear menurun pada usia lebih dari 40 tahun

karena penurunan imunitas. Respon imun yang penting pada tuberkulosis paru

adalah makrofag dan sel T. Makrofag berguna untuk fagosit Mycobacterium

tuberculosis dan mengenalkan antigen hasil fagositosis ke sel T. Sel T akan

mengeluarkan IFN-γ. IFN-γ akan merangsang makrofag menjadi lebih efektif

untuk fagosit Mycobacterium tuberculosis. (Babalik et al., 2012).

Penelitian di Kameron menunjukkan gagal konversi setelah pengobatan 2 bulan

pada jenis kelamin laki-laki mempunyai persentase lebih tinggi dibandingkan

dengan perempuan dan ada hubungan jenis kelamin laki-laki dengan gagal

konversi setelah pengobatan 2 bulan. (Djouma, 2015)

Penelitian oleh Mlosthwa dkk. menunjukkan ada hubungan antara jenis kelamin

dengan gagal konversi, jenis kelamin laki-laki mempunyai risiko lebih tinggi

untuk gagal konversi dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan setelah

pengobatan 2 bulan. (Mlosthwa et al, 2016)


WHO mencatat perbandingan antara penderita TB jenis kelamin laki-laki dan

perempuan di dunia adalah 1,6:1. Dominasi lakilaki pada pasien TB kemungkinan

disebabkan oleh riwayat merokok yang lebih tinggi dan konsumsi alkohol.

Penelitian di India menemukan kegagalan perawatan pasien TB laki-laki lebih

banyak dibandingkan dengan perempuan diperkirakan karena pengobatan

(pengambilan OAT) yang tidak teratur dibandingkan dengan perempuan. Laki-

laki lebih berisiko tidak terjadi konversi pada akhir bulan kedua, hal ini

disebabkan karakteristik laki-laki berbeda dengan perempuan, seperti pada pasien

TB paru yang perokok masih merokok pada waktu pengobatan, dan kebiasan

buruk lainnya, sehingga memengaruhi hasil follow up pengobatan

Penelitian oleh Tama et al (2016) yang menyatakan pasien TB paru BTA positif

dengan IMT < 18,5 membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengalami

konversi sputum dan berisiko mengalami gagal konversi sebesar 1,32 - 8,86 kali

dibandingkan dengan pasien yang memiliki IMT >18,5. Menurut Pratomo, et al.

(2012) bahwa keadaan malnutrisi pada penderita tuberkulosis dapat menurunkan

masa kesembuhan serta lebih meningkatkan angka kematian apabila dibandingkan

dengan penderita tuberkulosis yang tidak mengalami malnutrisi. Malnutrisi yang

terjadi pada penderita infeksi tuberkulosis berhubungan dengan keterlambatan

penyembuhan dan peningkatan angka kematian serta risiko kekambuhan dan

kejadian hepatitis akibat obat anti tuberkulosis (OAT). Tingkat kekambuhan ini

meningkat pada subjek dengan IMT <18,5.

Penelitian Hadifah, dkk (2019) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara

keteraturan menelan OAT penderita TB dengan gagal konversi BTA setelah 2

bulan pengobatan. Risiko gagal konversi lebih tinggi pada pasien yang tidak
teratur menelan OAT dibandingkan dengan pasien yang teratur menelan OAT.

Petugas kesehatan menyebutkan alasan penderita TB tidak teratur dalam menelan

OAT diantaranya sedang pergi keluar kota, lupa dan efek samping obat. Penelitian

di Kota Serang menunjukkan sikap positif terhadap keteraturan menelan OAT

mempunyai persentase lebih tinggi konversi BTA dibandingkan dengan yang

sikap negatif. Penelitian di Malaysia menunjukkan ada hubungan kepatuhan

pengobatan dengan gagal konversi BTA setelah pengobatan 2 bulan. Pasien TB

yang tidak teratur dalam pengobatan mempunyai risiko lebih tinggi untuk gagal

konversi BTA setelah pengobatan 2 bulan pengobatan dibandingkan dengan

pasien yang patuh dalam pengobatan. (Mohd dan Safian., 2015)


BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Faktor Penyebab:
Mycobacterium tuberculosis

Faktor Individu:
1. Usia
2. Jenis Kelamin
3. Indeks Masa Tubuh (IMT)/Berat Badan
4. Kepatuhan Berobat
5. Lama Pengobatan Konversi BTA Tuberkulosis
6. Riwayat Penyakit Sebelumnya
7. Nutrisi
8. Imunitas (daya tahan tubuh)

Keter
angan
Faktor Lingkungan : = diteliti
= tidak
Faktor Terapi diteliti
=
Kepatuhan Pengambilan Obat Tuberculosis berpeng
aruh
=
berhubu
ngan
Gambar 3.1
Bagan Kerangka Konsep Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi BTA
Tuberculosis

Dari kerangka konsep di atas dapat dijelaskan bahwa konversi BTA

tuberculosis dapat dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, berat badan, lama

pengobatan, dan kepatuhan berobat.


3.2 Hipotesis

Dari penlitian diatas dapat dirumuskan hipotesis penelitian bahwa

terdapat hubungan antara usia, jenis kelamin, berat badan, lama pengobatan,

dan kepatuhan berobat dengan Konversi BTA Tuberkulosis


BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik observasional dengan

desain studi cross sectional.

4.2 Tempat dan Waktu Peneltian

Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Mrican, Sukorame,

dan Ngletih Kota Kediri. Waktu penelitian dilakukan pada 3 Mei-19 Juni 2021..

4.3 Poplasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi dari penelitian adalah masyarakat dengan diagnosis TB paru di

wilayah kerja Puskesmas Mrican, Sukorame, dan Ngletih Kota kediri

4.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah masyarakat dengan diagnosis TB paru

di wilayah kerja Puskesmas Mrican, Sukorame, dan Ngletih Kota Kediri tahun

2018-2019 yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi

4.3.3 Teknik Sampling

Pengambilan sampel dalam penelitina ini menggunakan teknik total

sampling.

4.3.4 Karakter Sampel

4.3.4.1 Kriteria inklusi


1) Responden yang terdiagnosis TB dan tercatat bertempat tinggal

di wilayah kerja Puskesmas Mrican, Sukorame, dan Ngletih

Kota Kediri sesuai dengan Kartu Keluarga tahun 2018-2019.

2) Responden yang terdiagnosis TB dengan hasil BTA positif pada

awal pengobatan yang diketahui usia, jenis kelamin, berat

badan, lama pengobatan, dan kepatuhan minum obat.

4.3.4.2 Kriteria Eksklusi

1) Responden yang terdiagnosis TB namun memiliki cacat

mental

2) Responden yang terdiagnosis TB dengan hasil pemeriksaan

BTA negatif pada awal pengobatan.

3) Responden yang terdiagnosis TB namun pada masa

pengobatan dinyatakan dropout/pindah/putus obat/meninggal.

4) Responden terdiagnosis TB namun tidak bersedia

memberikan informasi/memiliki data yang tidak lengkap yang

meliputi usia, jenis kelamin, berat badan, lama pengobatan dan

kepatuhan minum obat.

4.4 Variabel penelitian

4.4.1 Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, berat

badan, lama pengobatan dan kepatuhan minum obat pada seluruh pasien

TB di wilayah kerja Puskesmas Mrican, Sukorame, dan Ngletih Kota

Kediri tahun 2018-2019.

4.4.2 Variabel Terikat


Variabel terikat pada penelitian ini adalah konversi BTA pada seluruh

responden yang terdiagnosis TB di wilayah kerja Puskesmas Mrican,

Sukorame, dan Ngletih tahun 2018-2019.

4.5 Definisi Operasional

Tabel 4.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala


. Ukuran
1. Usia Usia penderita yang Data  0-14 th Ordinal
dinyatakan dalam tahun, sekunder  15-30 th
 31-45 th
dan tercatat dalam rekam
 45-60 th
medik (Adriani et al,
 >60th
2015)
2. Jenis Kelamin Jenis kelamin biologis Data  Perempuan Nominal
penderita yang tercatat sekunder  Laki-laki
didalam rekam medik
(Adriani et al, 2015)
3. Berat Badan Berat badan yang Data  <30 kg Ordinal
digunakan adalah berat sekunder  30-39 kg
badan awal pengobatan  40-54 kg
(Data Puskesmas Mrican  >55 kg
dan Sukorame tahun
2018-2019)
4. Lama Pasien TB paru yang Data  < 6 bulan Nominal
Pengobatan terkonfirmasi klinis sekunder  6 bulan
maupun bakteriologis  > 6 bulan
harus diberikan OAT lini
pertama 2(HRZE)/4(HR)
dengan perincian 2 bulan
tahapan awal dan 4 bulan
tahap lanjutan (kemenkes,
2017)
5. Kepatuhan Perilaku pasien taat dan Data  Patuh Nominal
Minum Obat disiplin dalam mengikuti sekunder  Tidak
seluruh instruksiinstruksi patuh
yang diberikan oleh
professional kesehatan
yang berhubungan dengan
pengobatan yang sedang
dijalani(Arrossi, 2012).
6. Konversi BTA Salah satu indikator Data  BTA Nominal
respon pasien terhadap sekunder negatif (-)
pengobatan Tuberkulosis  BTA
(Hadifah et al, 2019) positif (+)

4.6 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

sekunder rekam medis yang didapat dari Puskesmas Mrican, Sukorame,

dan Ngletih pada tahun 2018-2019.

4.7 Prosedur Penelitian

Populasi pada penelitian ini diambil dari data laporan penyakit menular

pada tahun 2018-2019 yang berada pada wilayah kerja Puskesmas Mrican,

Sukorame, dan Ngletih yang berjumlah 193 responden. Kemudian jumlah

sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi sebanyak 117

responden. Sampel data sekunder yang didapatkan tersebut kemudian

dilakukan pengkodean sebagai berikut:

 Usia

0-14 tahun :0

15-30 tahun :1
31-45 tahun :2

46-60 tahun :3

>60 tahun :4

 Jenis Kelamin

Perempuan :0

Laki-laki :1

 Berat Badan

<30 kg :0

30-39 kg :1

40-54 kg :2

>55 kg :3

 Lama pengobatan

< 6 bulan :0

6 bulan :1

> 6 bulan :2

 Kepatuhan minum obat

Tidak Patuh :0

Patuh :1

 Konversi BTA

BTA negatif (-) : 0

BTA positif (+) : 1

Berikutnya data hasil pengkodean variabel di atas dilakukan analisis data.

Kemudian, menyusun pembahasan dan diambil kesimpulan serta


pelaporan penelitian kepada pembimbing dan Dinas Kesehatan Kota

Kediri.

4.8 Analisis Data

Data yang diperoleh dilakukan uji statistik dengan menggunakan program

SPSS. Analisis data yang digunakan untuk uji univariat menggunakan

deskriptif analitik, untuk uji bivariat menggunakan uji chi-square, serta

untuk multivariat menggunakan regresi logistik. Jika nantinya data yang

diperoleh tidak memenuhi syarat, maka dapat dilakukan uji alternatif

dengan menggunakan uji Mann-Whitney. Statistik uji chi-square dan uji

Mann-Whitney dapat digunakan untuk mengevaluasi apakah ada

gubungan antara variabel bebas (usia, jenis kelamin, berat badan, lama

pengobatan dan kepatuhan minum obat) dengan variabel terikat (konversi

BTA) pada pasien TB di wilayah kerja Puskesmas Mrican, Sukorame, dan

Ngletih Kota Kediri. Regresi logistik digunakan karena variabel terikat

pada penelitian ini adalah kategorik (Sopiyudin, 2014).

4.9 Interpretasi Data

Interpretasi data dilakukan secara desriptif analitik antar variabel yang

telah ditentukan

4.10 Pelaporan Data

Pelaporan data dibuat dalam bentuk laporan penelitian yang kemudian

dipresentasiakan kepada Kepada Dinas Kesehatan Kediri, Kepala

Puskesmas dan staf pengajar program pendidikan ilmu kesehatan


komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malanf

(UMM) dalam forum diskusi.


DAFTAR PUSTAKA

Adriani, W., Zafiardy A.F., Wiwik R.Gambaran Nilai SGOT dan SGPT pasien

Tuberkulosis Paru yang Dirawat Inap Di RSUD Arifin Achmad Provinsi

Riau Tahun 2013. JOM FK. 2015: 2(2): 1-2

D’Souza KA, Zaidi SMA, Jaswal M, et al. Factors associated with month 2

smear nonconversion among Category 1 tuberculosis patients in Karachi,

Pakistan. J Infect Public Health. 2017; 759:10–12.

Dinas Kesehatan Kota Kediri, 2017. Profil Kesehatan Kota Kediri tahun 2016

Djouma FN, Noubom M, Ateudjieu J, Donfack H. Delay in sputum smear

conversion and outcomes of smear-positive tuberculosis patients: A

retrospective cohort study in Bafoussam, Cameroon. BMC Infect

Dis.2015;15(1):1–7.

Gunda DW, Nkandala I, Kavishe GA, Kilonzo SB, Kabangila R, Mpondo BC.

Prevalence and Risk Factors of Delayed Sputum Conversion among

Patients Treated for Smear Positive PTB in Northwestern Rural Tanzania:

A Retrospective Cohort Study. J Trop Med. 2017.

Hadifah Z, Subronto YW, Ikhsan MR. 2019. Faktor Risiko Gagal Konversi BTA

pada Pasien Tuberkulosis Paru Fase Intensif di Kota Yogyakarta. Buletin

Penelitian Kesehatan; 47(2): 83-88

Ikatan Dokter Indonesia. 2017. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas

Pelayanan Kesehatan Primer Edisi I. IDI Jakarta

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Profil Kesehatan Indonesia

2012. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.


Kementrian Kesehatan RI, 2017. Pengobatan Pasien Tuberkulosis. Jakarta:

Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

Kementrian Kesehatan RI, 2018. Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementrian

Kesehatan RI: Tuberkulosis. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI

Kementrian Kesehatan RI, 2019. Profil kesehatan Indonesia 2018. Jakarta:

Sekertariat Jendral Kementrian Kesehatan RI

Marizan M, Mahendradhata Y, Wibowo TA. Faktor yang berhubungan dengan

nonkonversi BTA positif pada pengobatan tuberkulosis paru di Kota

Semarang. Ber Kedokt Masy. 2016;32(3):77–81.

Mlotshwa M, Abraham N, Beery M, et al. Risk factors for tuberculosis smear

non- conversion in Eden district, Western Cape, South Africa, 2007–2013:

a retrospective cohort study. BMC Infect Dis. 2016;16(365)

Mohd Shariff N, Shah SA, Kamaludin F. Previous treatment, sputum-smear

nonconversion, and suburban living: The risk factors of multidrug-

resistant tuberculosis among Malaysians. Int J Mycobacteriology.

2016;5(1):51–58

Muchtar NH, Herman D, Yulistini, 2018. Gambaran Faktor Risiko Timbulnya

Tuberkulosis Paru pada Pasien yang Berkunjung ke Unit DOTS RSUP Dr.

M. Djamil Padang Tahun 2015. Jurnal Kesehatan Andalas;7(1): 80-87

Puspita E, Christianto E, Yovi I. Gambaran status gizi pada pasien tuberkulosis

paru (TB paru) yang menjalani rawat jalan di RSUD Arifin Achmad

Pekanbaru. JOM. 2016;3(2):1–16.

World Health Organization, 2016. Global Tuberculosis Report 2016. Geneva:

WHO

Anda mungkin juga menyukai