Nama mahasiswa
NIM
Identitas pasien : diperlukan bila sewaktu-waktu dokter gigi perlu menghubungi pasien pasca-tindakan, dapat
pula dijadikan sebagai data ante mortem (dental forensic). Data identitas pasien berupa:
Nama pasien
Tgl lahir / umur
Alamat : beberapa pola penyakit tertentu selalu berkorelasi dengan tempat tinggal pasien. Beberapa
penyakit infeksi menular misalnya, sangat berhubungan dengan lingkungan tempat tinggal pasien. Data
alamat juga mungkin akan diperlukan untuk kepentingan tindak lanjut tertentu yang akan dilakukan
oleh dokter atau pihak rumah sakit
Tlpn : untuk dapat menghubungi pasien atau keluarganya bila diperlukan
Status perkawinan
Golongan darah
Jenis kelamin
Nama orangtua, suku dan pekerjaan
Vital statistics includes the patient’s name, age, sex, home and business address, phone number, marital
and family
status and occupation. These are all significant because of
the following reasons:2
‰ Importance of name: Name is mandatory for
identification purposes and also aids in establishing
rapport with the patient.
‰ Importance of age: Certain diseases have a predilection
at certain age-groups, e.g. herpetic gingivostomatitis
is common in children below 6 years. Age also has an
effect on dental procedures and personal care.
‰ Importance of sex: Certain diseases are common in
either males or females, e.g., desquamative gingivitis is
more common in females; pregnancy tumor presents
only in females
Importance of address: Various conditions are endemic
to certain areas. Address tells about the presence of
fluoride in drinking water
‰ Importance of telephone number: Telephone number
is required for any change of appointment. Immediate
consultation may be needed so that urgent treatment
may proceed
‰ Importance of occupation: It may be a factor in
the etiology of certain occupational diseases like a
professional wine taster are prone to erosion; thread
biting by tailors and holding of nails between teeth by
carpenters causes abrasion of teeth
‰ Economic and social status: People who are under stress
are more likely to suffer from psychosomatic diseases
like lichen planus and acute necrotizing ulcerative
gingivitis (ANUG).
PEMERIKSAAN SUBJEKTIF
KELUHAN UTAMA
berkaitan dengan apa yg dikeluhkan pasien dan alasan pasien datang ke dokter gigi atau Keluhan utama
adalah keluhan yang membuat seseorang datang ke tempat pelayanan kesehatan untuk mencari
pertolongan, misalnya : demam, sesak nafas, nyeri pinggang, dll. Keluhan utama ini sebaiknya tidak
lebih dari satu keluhan.
Every patient should be asked to state their chief complaint. This can be accomplished on a form the
patient completes, or the patient’s answers should be transcribed (preferably verbatim) into the dental
record during the initial interview by a staff member or the dentist. This statement helps the clinician
establish priorities during history taking and treatment planning. In addition, having patients formulate
a chief complaint encourages them to clarify for themselves and the clinician why they desire
treatment. Occasionally, a hidden agenda may exist for the patient, consciously or subconsciously. In
such circumstances, subsequent information elicited from the patient interview may reveal the true
reason the patient seeks care.
ANAMNESIS
Anamnesis yang baik harus mengacu pada pertanyaan yang sistematis, yaitu dengan berpedoman pada
empat pokok pikiran (The Fundamental Four) dan tujuh butir mutiara anamnesis (The Sacred Seven).
Yang dimaksud dengan empat pokok (fundamental four) pikiran, adalah melakukan anamnesis dengan
cara mencari data :
1. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Hal ini meliputi keluhan utama dan anamnesis lanjutan. Kemudian setelah keluhan utama,
dilanjutkan anamnesis secara sistematis dengan menggunakan tujuh butir mutiara anamnesis,
yaitu :
- Lokasi (dimana ? menyebar atau tidak ?)
- Onset / awitan dan kronologis (kapan terjadinya? berapa lama?)
- Kuantitas keluhan (ringan atau berat, seberapa sering terjadi ?)
- Kualitas keluhan (rasa seperti apa ?)
- Faktor-faktor yang memperberat keluhan.
- Faktor-faktor yang meringankan keluhan.
- Keluhan yang menyertai.
2. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Ditanyakan adakah penderita pernah sakit serupa sebelumnya, bila dan kapan terjadinya dan sudah
berapa kali dan telah diberi obat apa saja, serta mencari penyakit yang relevan dengan keadaan
sekarang dan penyakit kronik (hipertensi, diabetes mellitus, dll), perawatan lama, rawat inap,
imunisasi, riwayat pengobatan dan riwayat menstruasi (untuk wanita).
Ditanyakan penyakit – penyakit yang berkaitan dengan dental management angina, myocardial
infarction (MI), heart murmurs, rheumatic heart disease, bleeding disorders (including anticoagulant
use), asthma, chronic lung disease, hepatitis, sexually transmitted infections, diabetes,
corticosteroid use, seizure disorder, stroke, and any implanted prosthetic device such as artificial
joint or heart valve.
Patients should be asked specifically about allergies to local anesthetics, aspirin, and penicillin.
Female patients in the appropriate age group must be asked at each visit whether they
are or may be pregnant.
Objectives
Following are the objectives of medical history:3
‰ To identify systemic factors which may help to account for the periodontal condition.
Debilitating diseases like diabetes can influence periodontal health.
‰ To note the existence of systemic conditions for which special precautions, e.g. antibiotic
prophylaxis are required to safeguard the patient during periodontal therapy.
‰ To note the existence of any transmissible disease which may present a hazard to the
clinician, dental staff or other patients. The dental history should include reference to
the frequency, date of the most recent visit, nature of the treatment and oral prophylaxis by a
dentist. The patient’s oral hygiene regimen should be noted including toothbrushing
frequency, time of day, method, type of toothbrush and dentifrice, and interval at which
brushes are replaced. Previous periodontal problems, if any
should be identified regarding its nature and severity. Furthermore, note down the previously
offered treatment for overcoming the periodontal problems and approximate
period of its termination.
PEMERIKSAAN OBJEKTIF
1 Pemeriksaan Ekstraoral
a. Pemeriksaan wajah
Pemeriksaan visual (inspeksi) daerah wajah dan leher dilihat dari depan. Dicatat kejadian kelainan pada
wajah apakah terdapat deformitas, nyeri, tumor/benjolan, dan gangguan fungsi. Perhatikan apakah ada
benjolan, cacat, bercak di kulit, tahi lalat/melanoma, asimetri wajah yang berlebihan (sebagian besar
wajah memang sedikit asimetris) ataupun facial palsy.
Apakah wajah simteris asimetris kl asimetris ada kemungkinan pembengkakan. Caranya dengan
inspeksi mengamati simteris apa tidak kl asimetris (membandingkan satu sisi anatomi dengan anatomi
sebelahnya) lakukan palpasi utk melihat pembengkakan terfluktuasi atau tidak (tekstur, size,
konsistensi) membandingkan sisi yang satu dengan yang lainnya dngan kedua tangan (bimanual
palpasi). Kl ada benjolan trus diapakan? Dilakukajn perkusi sakit gak n. facialis ada yang gak merespon
gak. Saat dinspeksi dilihat apalagi? Lihat ada kemerahan atau tidak. Kalua ada kebiruan wajahnya apay
g dicurigai kl kuning apa yang dicurigai. Kl kebiruan curiga apa ada memar, ada penyakit
sistemikcntohnya anemia, kulit krkurangan oksigen. Penyakit sistemik di wajah.
Kemungkinan kelainan pada wajah adalah:
Kelainan pada wajah bisa terjadi paralisis saraf fasial. Facial paralysis atau kelumpuhan saraf di
wajah atau bisa juga di sebut penyakit “bell’s palsy” adalah hilangnya gerakan wajah karena
kerusakan saraf. Otot-otot wajah terkulai atau menjadi lemah. Ini biasanya terjadi pada salah
satu sisi wajah, tapi juga memungkinkan untuk terjadi pada kedua sisi wajah dan ini biasanya
disebabkan oleh: infeksi atau peradangan dari nervus facialis, trauma kepala, tumor kepala atau
leher, dan stroke. Penyebabnya idiopatik, meskipun kemungkinan penyebab dapat meliputi
iskemik vaskuler, penyakit virus seperti herpes zoster, penyakit autoimun, atau bahkan
kombinasi dari semua faktor ini. Bell’s Palsy juga sering disebut fasial paralisis atau
kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif, non-neoplasmik, non-degeneratif primer
namun sangat mungkin akibat edema jinak pada nervus fasialis di foramen stilomastoideus.
suatu kelainan, kongenital maupun didapat, yang menyebabkan paralisis seluruh ataupun
sebagian pada pergerakan wajah.
Infeksi yang diakibatkan oleh bakteri. Infeksi odontogenik akan menyebabkan timbulnya
asimetri wajah karena akumulasi pus/nanah yang terjebak dalam suatu rongga atau spasia
tergantung gigi penyebab. Lokasi pembengkakan bisa di area submandibula, permandibula,
infraorbita, infratemporal, submental, ataupun kombinasi dari lokasi tersebut.
Cacat wajah karena trauma atau kongenital. Kecacatan karena trauma yang tidak dirawat dengan
benar atau diabaikan akan menyebabkan munculnya asymetri pada wajah. Selain itu kelainan
asimetri wajah juga bisa disebabkan oleh kelainan kongenital seperti celah bibir atau asimetri
rahang.
Adanya tumor, benjolan akibat tumor baik jinak ataupun ganas akan menimbulkan asimetri pada
wajah dan juga nyeri tekan pada saat palpasi
Adanya benjolan baik akibat infeksi maupun tumor akan menyebabkan hilangnya struktur
anatomi normal yang seharusnya tampak seperti sulkus nasolabialis, filtrum, dan sulkus
mentolabialis
Pemeriksaan pada fasial juga meliputi pemeriksaan pada mata. Perhatikan apakah ada ikterus
pada sklera yang menandakan gangguan hepar, dan juga apakah konjungtiva anemis yang
menandakan adanya anemia.
Perhatikan pula adanya exophtalmus pada mata yang merupakan pertanda gangguan pada tiroid
b. Pemeriksaan TMJ
Inspection (Bilateral) diperhatikan adanya pembengkakan, deformasi ,deviasi pada dagu dan kondisi
gigi-geligi. Pembengkakan dapat terjadi karena adanya infeksi bakteri atau inflamasi sendi. Beberapa
inflamasi sendi yang terjadi pada anak-anak juga dapat menyebabkan terlihatnya pertumbuhan asimetri
pada wajah bagian bawah. Synovitis juga dapat mengakibatkan deviasi ipsilateral ketika membuka
mulut dan deviasi kontralateral ketika menutup mulut. Kehilangan gigi, maloklusi, kondisi abnormal
yang diakibatkan oleh bruxism merupakan beberapa kondisi gigi-geligi yang dapat mengawali adanya
gangguan sendi temporomandibular
Palpation (Bilateral) palpasi di anterior tragus atau memasukan jari di externat meatus akustikus .
Palpasi TMJ dan otot dilakukan untuk mengetahui adanya rasa sakit dan abnormalitas pada saat TMJ
dalam kondisi statis dan kondisi bergerak. Pergerakan kondilus yang asimetri dapat dirasakan saat
palpasi dilakukan ketika pasien diintruksikan untuk membukan dan menutup mulut.
Auskultasi stetoskop pada TMJ untuk mendengarkan suara yang tidak normal saat pembukaan dan
penutupan mandibula (cliking, crepitus, popping). Kliking yang terjadi pada awal fase membuka mulut
menunjukkan dislokasi discus ke antrior ringan, sedangkan kliking yang terjadi atau timbul lebih
lambat berkaitan dengan kelainan meniscus. Krepitus sendi ditunjukkan melalui bunyi kemeretak atau
mencericit yang lebih sering timbul saat translasi. Perforasi perlekatan discus posterior juga berkaitan
dengan krepitus
Langkah-langkah :
Area kepala dan leher
1. Pasien untuk duduk berhadapan dengan pemeriksa, posisi duduk.
2. Inspeksi daerah leher
a) Perhatikan kesimetrisan, massa atau scars
b) Lihat apakah terdapat benjolan pada daerah predisposisi KGB7
3. Palpasi menggunakan bantalan dari jari telunjuk dan jari tengah. Palpasi secara berurutan:
a) Preauricular (dan parotis) di depan telinga
b) Posterior auricular superfisial di mastoid
c) Occipital dasar tulang kepala posterior
d) Tonsillar di bawah angulus mandibula
e) Submandibular di tengah di antara sudut dan ujung mandibula
f) Submental di garis tengah beberapa sentimeter di belakang ujung mandibula
g) Superficial (anterior) cervical superfisial di m. sternomastoid
h) Posterior cervicalsepanjang tepi anterior dari m. trapezius
i)Deep cervical chain bagian dalam di m. sternomastoid dan terkadang sulit untuk diperiksa.
Kaitkan kedua ibu jari dengan jari-jari di sekitar otot sternomastoid
j) Supraclavicular di dalam sudut yang dibentuk oleh klavikula dan m. sternomastoid
4. Tentukan jumlah, ukuran, konsistensi, mobilitas, dan nyeri tekan.
2. Pemeriksaan Intraoral
Fremitus test : letakan jari telunjuk pada vestibulum bukal dan labial gigi RA. Pasien diminta untuk
mengatupkan gigi pasa maximum intercuspation dan gerakan lateral dan protrusif
Class I : mild vibration, first degree dicatat sbg +
Clas II : easily palpable vibration, ++
Class III : pergerakan dapat dilihat oleh mata telanjang, +++
Malposisi
Kesalahan posisi gigi secara fisiologis, ukuran rahang dan lebar mesiodistal gigi
Prosedur pemeriksaan:
Anamnesis + pemeriksaan klinis
Migrasi
Perpindahan posisi gigi akibat patologis towards identifying abnormal forces, tongue thrusting
habit, or other habits that may be the contributing factors
Prosedur pemeriksaan:
Anamnesis + pemeriksaan klinis
Vitalitas
Prosedur pemeriksaan:
Motode 1: menggunakan EPT
Metode 2: Tes termal
Cold test: It is the most commonly used test for assessing the
vitality of pulp. It can be done in a number of ways.
• The most commonly used method for performing pulp
testing is spray with cold air directed against the isolated
tooth.
• The other method is use of ethyl chloride (–4°C) in form of:
– Cotton pellet saturated with ethyl chloride (Fig. 7.26).
– Spray of ethyl chloride: After isolation of tooth with
rubber dam, ethyl chloride spray is employed. The ethyl
chloride evaporates so rapidly that it absorbs heat and
thus, cools the tooth.
• Frozen carbon dioxide (dry ice) is available in the form of
solid stick which is applied to facial surface of the tooth.
Advantage of using dry ice is that it can penetrate full
coverage restoration and can elicit a pulpal reaction to the
cold because of its very low temperature (–78°C).
• Another methods is to wrap an ice piece in the wet gauge
and apply to the tooth. The ice sticks can be prepared by
filling the discarded anesthetic carpules with water and
placing them in refrigerator.
• Dichlorodifluoromethane (Freon) (–21°C) and 1, 1, 1,
2-tetrafluoroethane (–15 to –26°C) are also used as cold
testing material.
Heat test: Heat test is most advantageous in the condition
where patient’s chief complaint is intense dental pain upon
contact with any hot object or liquid.
Different methods used for heat test are:
• Direct warm air to the exposed surface of tooth and note
the patient response.
• If a higher temperature is needed to illicit a response, use
heated gutta-percha stick, hot burnisher, hot water.
Heated gutta-percha stick (Fig. 7.27) is the most
commonly used method for heat testing. In this method,
tooth is coated with a lubricant such as petroleum jelly to
prevent the gutta-percha from adhering to tooth surface.
The heated gutta-percha is applied at the junction of
cervical and middle third of facial surface of tooth and
patient’s response is noted. While using gutta-percha stick
precautions should be taken not to overheat it because in
this state, it is at higher temperature than required for pulp
testing and may result in pulpal injury.
• Hot burnisher, hot compound or any other heated
instrument may also be used for heat test (Fig. 7.28).
• Use of frictional heat produced by rotating polishing rubber
disc against the tooth surface is another method.
• Another method of heat test is to deliver warm water from
a syringe, on isolated tooth.
• Use of laser beam (Nd: YAG laser) is done to stimulate
pulp.
Kegoyangan
Prosedur pemeriksaan:
a. Kegoyangan gigi ditentukan menggunakan 2 handle instrument, atau 1 handle instrument dan 1 ujung
jari tangan (digital), digerakkan secara horisontal (bukolingual/mesiodistal) dan vertikal (ditekan
kedalam soket).
b. Skor kegoyangan gigi:
0: tidak ada kegoyangan.
1: kegoyangan arah Horisontal (< 1mm)
2: kegoyangan arah horisontal (> 1mm).
3: kegoyangan arah horisontal (> 1mm) dan vertikal (dapat ditekan kedalam soket).
0–3 in Miller index 1950
Score 0: No detectable movement when force is applied
Score 1: Mobility greater than normal (physiologic)
Score 2: Mobility up to 1 mm in buccolingual directions
Score 3: Mobility more than 1 mm in buccolingual
directions combined with ability to depress the tooth.
Plak Gigi
Plak Indeks (Silness & Loe, 1964) 16,12.24,36,32,44
Kalkulus
Kalkulus supragingival: visual
Kalkulus subgingiva:
a. Dengan menggunakan sonde/explorer.
b. Sonde dipegang dengan modified pen grasp, dengan finger rest pada gigi berdekatan dalam satu
rahang.
c. Sonde digerakkan menyusuri permukaan gigi secara horisontal hingga dasar dari kalkulus secara.
d. Bisa juga dilakukan dengan bantuan udara dari threeway syringe untuk dapat dilihat secara visual.
Perdarahan (BOP)
Pemeriksaan BOP dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan kedalaman probing.
2. Ada/tidaknya perdarahan ditunggu 60 detik setelah probing.
3. Tanda: (+): ada perdarahan; (-): tidak ada perdarahan.
Papillary Bleeding Index
In 1977, Muhlemann developed papillary bleeding index
(PBI).17 Gentle probing of the interdental papilla is done to
assess the bleeding.
Method: This is performed by sweeping the papillary sulcus
on the mesial and distal aspects with a periodontal probe.
Right maxillary and left mandibular quadrants probed
lingually and the left maxillary and right mandibular
quadrants probed buccally. On the mesial and distal
aspects of the same papilla, the blunt periodontal probe is
inserted into the gingival sulcus at the base of the papilla
and then moved coronally to the papilla tip. The intensity
of bleeding was recorded on a scale of 0–4.
Scoring criteria: Assessment of gingival bleeding is done by
PBI using Table 7.5 Calculation: Each papilla is scored according to the criteria.
The scores are added and then divided by the number of
papilla examined
Resesi (mm)
Prosedur pemeriksaan:
a. Resesi diukur dengan menggunakan probe (UNC-15).
b. Probe dipegang dengan modified pen grasp, dengan finger rest pada gigi berdekatan dalam satu
rahang.
c. Resesi yang diukur adalah visible recession, yaitu dari CEJ hingga margin gingiva.
d. Pemeriksaan dilakukan pada fasial dan lingual/palatal.
e. Tanda: (+): ada resesi (...mm); (-): tidak ada resesi.
Derajat Resesi Miller 1985
1. Class I: Marginal tissue recession not extending to the mucogingival junction. No loss of interdental bone/soft tissue.
2. Class II: Marginal tissue recession extends to or beyond the mucogingival junction. No loss of interdental bone/soft tissue.
3. Class III: Marginal tissue recession extends to or beyond the mucogingival junction. Loss of interdental bone/soft tissue or
there is malpositioning of the tooth (Fig. 30.18).
4. Class IV: Marginal tissue recession extends beyond the mucogingival junction. Loss of interdental bone and soft tissue
loss interdentally and/or severe tooth malposition
Hiperplasi (+/-)
Hiperplasi peningkatan jumlah sel, opaque, padat, stippled, tebal
Poket
1. Alat untuk mengukur kedalaman probing: probe UNC-15 / WHO
2. Prosedur pemeriksaan:
a. Probe dipegang dengan modified pen grasp, finger rest pada gigi berdekatan dalam satu rahang.
b. Probe dimasukkan kedalam sulkus gingiva dengan tekanan
ringan (0.25N), menempel permukaan gigi, sejajar sumbu gigi, sampai menyentuh dasar poket,
kemudian digerakkan dengan cara walking stroke.
c. Walking stroke dilakukan dari distofasial kearah mesiofasial, kemudian mesiolingual kearah disto
lingual.
d. Kedalaman probing dicatat pada 6 sisi (distofasial, midfasial, mesiofasial, mesiolingual,
midlingual, distolingual).
e. Kedalaman probing diukur dari margin gingiva hingga dasar poket.
f. Nilai kedalaman probing ditentukan berdasarkan kedalaman terbesar pada masing masing sisi
Furkasi
1. Alat untuk memeriksa furcation involvement: probe nabers.
2. Prosedur pemeriksaan:
a. Probe dipegang dengan modified pen grasp, dengan finger rest pada gigi berdekatan dalam satu
rahang.
b. Probe dimasukkan menyusuri area furkasi, menempel permukaan gigi sampai menyentuh dasar
furkasi secara horisontal.
Klasifikasi Glickman 1953
Grade I: poket suprabony, jaringan lunak terpengaruh, kerusakan tulang awal denga peningkatan
kedalaman probing, tidak ada perubahan gambaran radiografis
Grade II: melibatkan 1 atau lebih furkasi, lesi furkasi berupa cul de sac dengan pembentukan komponen
horiontal. Defek tidak saling berhubungan karena sebagian tulang alveolar masih melekat pada gigi.
Gambaran radiografi mungkin/tidak menunjukkan keterlibatan furkasi molar RA akar overlspping
Grade III: tulang tidak melekat pada lengkungan furkasi. Radiografi defek radiolusen pada gigi. Grade
III awal jar lunak melekat pada orifis
Grade IV: tulang interdental hancur, jar lunak bergerak ke arah apikal, orifis furkasi tampak klinis,
periodontal probe dapat melewati aspek gigi fasial ke aspek gigi lingual tanpa hambatan. T
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Radiografi
Lamina dura : Kontinyu atau diskontinyu
Alveolar crest : Posisi normal alveolar crest adalah 1-2mm apical CEJ
Pola resorpsi tulang : Horizontal, Vertikal/Angular, Crater
Rasio mahkota/ akar yang didukung tulang : 1/3
Furcation involvement : Derajad furkasi :
1. Tidak ada perubahan
2. Bisa ada atau tidak, jika ada maka
berupa penurunan densitas pada
area furkasi
3. Area radiolusen pada furkasi
4. Area radiolusen pada furkasi
Periodontal space : Normal rerata 0,2mm
Abses Periodontal Area radiolusen berbatas diffuse pada
area lateral/apikal gigi dengan bone loss
pada area marginal
Debris Index
In 1964, Greene and Vermillion developed simplified-oral hygiene index (OHI-S).25 It is a composite
index which deals with both calculus and oral debris together.
Following are the surfaces of six index teeth:
1. Buccal surface of 16 (right maxillary 1st molar)
2. Labial surface of 11 (right maxillary central incisor)
3. Buccal surface of 26 (left maxillary 1st molar)
4. Lingual surface of 36 (left mandibular 1st molar)
5. Labial surface of 31 (left mandibular central incisor)
6. Lingual surface of 46 (right mandibular 1st molar).
Method: The OHI-S has two components, the simplified
debris index (DI-S) and the simplified calculus index
(CI-S).
Oral debris index: The surface area covered by debris is
estimated by running the side of an explorer (Shepherd’s
hook) along the tooth surface being examined
Kalkulus Index
OHIS
‰ 0.0–1.2: Good
‰ 1.3–3.0: Fair
‰ 3.1–6.0: Poor
2. Chronic Periodontitis
[Slight: 1–2 mm CAL (clinical attachment loss); moderate: 3–4 mm CAL; severe: >5 mm CAL]
‰ Localized
‰ Generalized (>30% of sites are involved)
3. Aggresive Periodontitis
6. Abses Periodontal
• Gingival abscess
• Periodontal abscess
• Pericoronal abscess
• Periodontal–endodontic lesion
• Endodontic–periodontal lesion
• Combined lesion