Anda di halaman 1dari 81

BAB I

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah

Teknologi informasi telah melekat dalam semua aspek kegiatan organisasi

(Héroux dan Fortin, 2013). Perkembangan industri teknologi informasi mengubah

proses bisnis secara umum dan mengubah proses yang dilakukan oleh auditor

dalam melakukan pekerjaannya (Wicaksono dan Lusianah, 2016). Teknologi

informasi juga mengubah cara perusahaan mencatat, memproses, dan melaporkan

transaksi dan data keuangan lainnya yang terutama diperhatikan oleh auditor (Han

et al., 2016).

Dalam mengaudit laporan keuangan, auditor memerlukan alat dan teknik

audit yang canggih untuk melacak bukti elektronik sehingga tugasnya dapat

dilakukan secara efektif dan efisien (Braun & Davis, 2003). Perkembangan

teknologi informasi saat ini menyebabkan perubahan yang signifikan pada setiap

tahapan proses audit. Audit secara tradisional seperti audit around the computer

untuk memeriksa dokumen yang dicetak secara manual, telah semakin berubah

menjadi audit with the computer dan audit through the computer (Rosli et al.,

2012). (Rosli et al., 2013) menyatakan dengan berkembangnya aplikasi

Enterprise Resources Planning (ERP) dan Sistem Informasi Akuntansi (SIA)

dalam bisnis telah menyerukan pentingnya mengadopsi alat pendukung teknologi

untuk mengaudit bisnis klien mereka.

Menurut Romney dan Steinbart (2015) Enterprise Resources Planning

(ERP) system adalah sebuah sistem yang mengintegrasikan semua aspek aktivitas

organisasi seperti akuntansi, keuangan, pemasaran, sumber daya manusia,

1
manufaktur, manajemen inventaris menjadi satu sistem. Sedangkan Sistem

Informasi Akuntansi (SIA) menurut Romney dan Steinbart (2015) adalah sumber

daya manusia dan modal dalam organisasi yang bertanggung jawab untuk

persiapan informasi keuangan dan informasi yang diperoleh dari mengumpulkan

dan memproses berbagai transaksi perusahaan. Sehingga dapat disimpulkan

sistem ERP dan SIA dalam bisnis mempengaruhi manajemen dalam pengambilan

keputusan dimana akan berdampak juga pada pekerjaan auditor.

Kemajuan teknologi dalam praktik audit ikut berkembang pula seiring

perkembangan akuntansi berbasis komputer dalam menghasilkan laporan

keuangan (Tansil et al., 2019). Auditor telah mengembangkan dan

mempromosikan teknologi audit dalam hal meningkatkan standar pekerjaan audit

(Salijeni et al., 2019). Adapun teknologi audit yang digunakan oleh auditor untuk

mendukung berbagai proses audit disebut dengan Computer-Assisted Auditing

Tools and Techniques (CAATs) atau Teknik Audit Berbantu Komputer (TABK).

Menurut (Braun & Davis, 2003), CAATs didefinisikan sebagai setiap

penggunaan teknologi untuk membantu penyelesaian audit. CAATs dapat

digunakan oleh auditor (eksternal atau internal) sebagai bagian dari prosedur audit

mereka untuk memproses data signifikansi audit yang terkandung dalam sistem

informasi entitas (Singleton & Flesher, 2003). Menurut Romney dan Steinbart

(2015) CAATs mengacu pada perangkat lunak (software) audit, atau sering juga

disebut dengan Generalized Audit Software (GAS), yang menggunakan

spesifikasi yang telah disediakan auditor untuk menghasilkan program yang

menjalankan fungsi-fungsi audit, sehingga mengautomatisasi atau

menyederhanakan proses audit. CAATs sangat cocok digunakan untuk memeriksa

2
file data besar untuk mengidentifikasi catatan yang membutuhkan pemeriksaan

lebih lanjut. Menurut (Mahzan & Lymer, 2014), CAATs yang digunakan oleh

auditor eksternal atau internal dapat dikelompokkan sebagai kertas kerja

elektronik, pendeteksian fraud, Generalized Audit Software (GAS), pengujian

keamanan jaringan, pemantauan berkelanjutan, pelaporan audit, basis data untuk

riwayat audit suatu perusahaan, pelatihan berbasis komputer, e-commerce dan

keamanan internet. Penggunaan CAATs dapat mengatasi masalah seperti

kurangnya masukan dokumen atau tidak adanya jejak audit ketika melakukan

pengujian kontrol dan pengujian substantive (Tansil et al., 2019). Ahmi et al.,

(2016) menyatakan penggunaan CAATs memiliki manfaat dalam meningkatkan

efisiensi dan efektivitas dalam prosedur audit.

Penelitian yang dilakukan oleh Januraga dan Budhiarta (2015), Omunuk

(2015), dan Harum (2015) menyatakan bahwa secara empiris terbukti penggunaan

CAATs dalam melakukan audit berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit.

Semakin meningkatnya intensitas penggunaan CAATs akan menghasilkan

kualitas audit yang semakin baik pula. Penggunaan CAATs oleh auditor didahului

oleh pengenalan suatu inovasi (introduksi) teknologi terlebih dahulu dimana

selanjutnya terjadi proses untuk menerima atau menolak inovasi tersebut. Jika

hasil dari proses tersebut adalah keputusan untuk menerima suatu inovasi maka

terjadilah adopsi dan penggunaan CAATs. Auditor yang telah mengadopsi

CAATs dapat menggunakan dan memanfaatkan teknologi tersebut untuk hasil

pekerjaan yang lebih berkualitas sehingga penggunaan alat tersebut dapat menjadi

solusi atas permasalahan yang ada pada salah satu perusahaan pembiayaan di

Indonesia.

3
Pada akhir tahun 2018 terjadi kasus yang melibatkan antara PT Sunprima

Nusantara Pembiayaan Finance (SNP) dengan auditornya. Kasus tersebut terjadi

karena adanya kelalaian yang dilakukan oleh auditor pada KAP Deloitte. Menurut

(Otoritas Jasa Keuangan, 2018; Pusat Pembinaan Profesi Keuangan, 2018)

kelalaian yang terjadi adalah ketidakpahaman mereka dalam memahami

pengendalian sistem informasi terkait data nasabah dan akurasi jurnal piutang

pembiayaan, tidak memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat, serta tidak

memadainya prosedur sebagai respons atas deteksi risiko kecurangan. Kegagalan

audit yang terjadi karena kurangnya pemahaman atas sistem informasi tersebut

dapat diminimalisir dengan penggunaan CAATs. Hal ini sejalan dengan

pernyataan yang dikemukakan oleh Sepky (2020) bahwa kegagalan audit terkait

pemahaman pengendalian sistem informasi tersebut, dapat terjadi karena tingkat

penggunaan CAATs oleh auditor belum mampu mendeteksi validitas data

nasabah dan akurasi jurnal piutang pembiayaan.

Selanjutnya manfaat lain dari penggunaan CAATs yaitu dapat mengurangi

risiko kecurangan (fraud). Adapun kondisi saat pandemi ini memberikan

pengaruh terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh auditor. Dampak dari Covid-19

mengharuskan auditor untuk meninjau ulang penilaian risiko mereka dan

mengidentifikasi kembali risiko yang akan muncul. Dengan adanya kebijakan

social distancing, efektifitas dari internal control menjadi berkurang sehingga

dapat meningkatkan resiko terjadinya kecurangan (fraud). Berdasarkan artikel

yang dilansir dari AntaraNews (2020) disebutkan bahwa hasil survei yang

dilakukan oleh kantor akuntan publik dan konsultan RSM Indonesia menunjukkan

bahwa kasus fraud meningkat selama masa pandemi Covid-19. Hasil survei

4
online tersebut menunjukkan hasil dimana 80 persen dari 130 responden

mengalami fraud. Oleh karena itu, berdasarkan petunjuk atau guidance yang

ditulis oleh Institute of Chartered Accountants of Sri Lanka (2020) menyatakan

salah satu upaya untuk mengurangi risiko fraud dapat diminimalisir dengan

menerapkan pengendalian teknologi informasi yang baik, yaitu salah satunya

dengan menggunakan CAATs.

Meskipun banyak manfaat yang diperoleh auditor dari penggunaan

CAATs, namun fenomena yang terjadi pada praktiknya tingkat implementasi

CAATs masih relatif rendah dan belum banyak dilakukan oleh kantor akuntan

publik (Ahmi et al., 2016; Curtis & Payne, 2008, 2014; Debreceny et al., 2005).

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Widuri (2016) yang

menunjukkan bahwa tingkat penggunaan CAATs dalam proses audit relatif

rendah di Indonesia. Minimnya jumlah auditor yang mengadopsi software audit

dapat disebabkan karena seorang auditor yang belum merasakan manfaat yang

akan diperoleh dari pengadopsian tersebut (Davis, 1989).

Agar dapat merasakan manfaat dari suatu teknologi, maka dari para

pengguna harus memiliki niat untuk menggunakan teknologi tersebut (Venkatesh

et. al, 2003) serta ketersediaan dari sistem informasi itu sendiri (Tornatzky &

Fleischer, 1990). Menurut Venkatesh et al., (2003) penerimaan suatu teknologi

informasi dapat dilihat dari persepsi individual yang disebut dengan model

UTAUT (Unified Theory of Acceptance and Use of Technology). Apabila dari

aspek individual dijelaskan oleh model UTAUT, maka dari aspek sistem

informasi itu sendiri dijelaskan oleh model TOE (Technology, Organization and

5
Environment). Model ini menilai penerimaan suatu teknologi dari segi teknologi,

organisasi, dan lingkungan.

Penelitian ini pada dasarnya merupakan pengembangan dari penelitian

yang dilakukan oleh Siew et al., (2020). Pada penelitian ini pengembangan

terdapat pada teknik analisis yang digunakan yaitu SEM-PLS dengan

menggunakan aplikasi Smart PLS 3, pembaharuan lainnya pada objek penelitian

yaitu KAP yang berada di wilayah Jabodetabek, serta beberapa variabel yang

digunakan seperti performance expectancy, effort expectancy, complexity

accounting information system clients, top management support, employee IT

competency, relative advantage dan compatibility. Penelitian ini ditujukan untuk

melihat apakah faktor-faktor tersebut mempengaruhi penggunaan CAATs di

Indonesia.

Performance expectancy merupakan salah satu unsur dari UTAUT yang

dapat didefinisikan sebagai suatu tingkat dimana seseorang individu percaya

bahwa dengan menggunakan sistem akan membantu dia dalam memperoleh

keuntungan dalam kinerja (Venkatesh et al., 2003). Performance expectancy

adalah variabel yang dapat disebut sebagai kemampuan untuk memperoleh

manfaat yang signifikan setelah menggunakan sebuah sistem. Jika seorang auditor

mendapatkan keuntungan dengan menggunakan software audit, maka auditor

tersebut akan semakin berniat untuk mengadopsi dan menggunakan perangkat

lunak audit dalam proses audit (Tansil et al., 2019). Variabel ini merupakan faktor

yang paling efektif dalam mempengaruhi perilaku individu untuk menggunakan

teknologi informasi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Al-Hiyari et al., (2019)

ditemukan bahwa performance expectancy sangat berhubungan dengan

6
penerimaan auditor internal terhadap penggunaan CAATs. Pernyataan tersebut

didukung dengan hasil penelitian Tansil et al., (2019) yang menemukan

performance expectancy memiliki hubungan positif dengan penggunaan CAATs.

Banyak penelitian yang menunjukkan hubungan yang signifikan antara

performance expectancy dalam mempengaruhi penggunaan teknologi audit

CAATs (Al-Hiyari et al., 2019; Bierstaker et al., 2014; Curtis & Payne, 2014;

Mahzan & Lymer, 2008a; Tansil et al., 2019). Namun, hingga saat ini peneliti di

Indonesia masih jarang menggunakan variabel performance expectancy sebagai

variabelnya. Sehingga belum ada ditemukan hasil penelitian yang bertentangan

dengan penelitian sebelumnya.

Selain performance expectancy, unsur UTAUT lainnya yakni effort

expectancy kerap kali digunakan untuk meneliti penerimaan pengguna terhadap

suatu teknologi informasi. Effort expectancy itu sendiri didefinisikan sebagai

tingkat kemudahan yang dirasakan pengguna terkait dengan penggunaan sistem

(Venkatesh et. al., 2003). Kemudahan penggunaan teknologi informasi akan

menimbulkan perasaan minat dalam diri seseorang bahwa sistem itu mempunyai

kegunaan dan karenanya menimbulkan rasa yang nyaman bila bekerja dengan

menggunakannya. Smith et al., (2008) menyatakan bahwa kemudahan

penggunaan suatu sistem ditemukan sebagai motivasi inti untuk menggunakan

teknologi audit (Smith et al., 2008). Dalam konteks audit, Bouaziz dan Jarboui

(2019) menyatakan bahwa ketika auditor merasakan kemudahan penggunaan

sistem dan kompleksitas dari sistem itu rendah maka auditor akan berniat untuk

menggunakannya didalam proses audit. Anathasya et al., (2019) didalam

penelitiannya juga memperkirakan, ketika auditor merasakan ada kemudahan

7
dalam penggunaan dan rendahnya kompleksitas dari sebuah software audit, maka

auditor akan memiliki keinginan untuk menggunakan software tersebut.

Pernyataan tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Tansil et al., (2019), Al Hiyari et al., (2019) dan Curtis dan Payne (2014) yang

menemukan bahwa effort expectancy memiliki hubungan positif dengan

penggunaan CAATs. Berbeda dari penelitian sebelumnya, Bierstaker et al.,

(2014), Janvrin and Lowe (2008) serta Mahzan dan Lymer (2008) menemukan

bahwa effort expectancy tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan

penggunaan teknologi audit seperti CAATs. Hal ini mencerminkan fakta bahwa

dalam konteks audit, auditor memiliki tanggung jawab untuk mengumpulkan

bukti kompeten yang cukup, sehingga faktor yang bersifat personal seperti

kemudahan usaha tidak mempengaruhi keputusan penggunaan teknologi oleh

auditor. Hal tersebut juga dikemukakan oleh Suryandini (2012) dimana kegunaan

suatu software audit tidak dipengaruhi oleh mudah tidaknya penggunaan software

tersebut. Software audit yang sulit digunakan akan tetap dimanfaatkan apabila

auditor merasa software tersebut berguna dalam pekerjaannya.

Faktor selanjutnya adalah top management support yaitu faktor yang

menunjukkan apakah suatu organisasi memiliki kesiapan dalam mendukung

implementasi teknologi audit. Dukungan top management menurut Hashmi

(2004) merupakan pihak yang bertanggungjawab atas penyediaan pedoman umum

bagi kegiatan sistem informasi. Tingkat dari dukungan yang diberikan oleh

manajemen puncak dapat menjadi suatu faktor yang sangat penting dalam

menentukan keberhasilan semua kegiatan yang berkaitan dengan sistem

informasi. Dukungan dari pihak manajemen dapat berupa sumber daya keuangan,

8
keahlian teknis, training untuk auditor serta komitmen manajemen untuk

melakukan implementasi sebuah teknologi (Razi & Madani, 2013).

Tjhai Fung Jen (2002) pun berpendapat, semakin besar dukungan yang

diberikan manajemen puncak akan meningkatkan kinerja sistem informasi

akuntansi. Sedangkan dukungan top management menurut Lee & Kim (1992)

diartikan sebagai pemahaman manajemen puncak tentang sistem komputer dan

tingkat minat, dukungan, dan pengetahuan tentang sistem informasi atau

komputerisasi. Faktor ini menjadi pendorong penting dalam pengambilan

keputusan tentang penggunaan teknologi dalam audit organisasi (Ahmi & Kent,

2012; Mahzan & Lymer, 2014; Rosli et al., 2013). Dalam penelitian yang

dilakukan oleh (Mahzan & Lymer, 2014; Siew et al., 2020; Veerankutty et al.,

2018) ditemukan bahwa dukungan manajemen puncak memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap pengadopsian teknologi audit. Namun berbeda dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh (Fitrios, 2015) yang menunjukkan bahwa

dukungan manajemen puncak tidak berpengaruh kepada pengimplementasian

sistem informasi akuntansi pada perusahaan.

Faktor selanjutnya yaitu employee IT competency, dimana mengacu pada

tingkat kompetensi dan kemampuan teknologi informasi yang dimiliki oleh

auditor (Rosli et al., 2013). Bernardin (2010) menyatakan bahwa kompetensi

adalah karakteristik tertentu dari seseorang yang menghasilkan kinerja efektif atas

pekerjaan atau juga merupakan gabungan dari pengetahuan, keahlian dan perilaku

yang berdampak pada pekerjaan atau tanggung jawab sesuai dengan standar yang

baik. CAATs mengharuskan auditor memiliki kecukupan keahlian IT untuk

mengoperasikan alat dan yang lebih penting, untuk menginterpretasikan hasil

9
(Siew et al., 2020). Auditor yang memiliki kompetensi atau skill IT akan menjadi

lebih percaya diri dalam menggunakan CAATs sehingga menjadi pemicu

perusahaan dalam menggunakannya.

Kompetensi atau skill auditor dalam penelitian Mahzan dan Lymer (2014)

dinyatakan sebagai bagian dari facilitating condition. Sebagaimana penelitian

yang dilakukan oleh Mahzan dan Lymer (2014) skill auditor memainkan peran

penting dalam memotivasi auditor untuk menggunakan teknologi audit. Berbeda

dengan penelitian sebelumnya, Ahmi dan Kent (2013) menyatakan bahwa

pengetahuan dan pengalaman auditor yang merupakan bagian dari kompetensi

karyawan, bukan menjadi faktor yang mempengaruhi perusahaan dalam

menggunakan software audit. Hal ini dapat disebabkan karena kompetensi

merupakan sesuatu yang dapat berubah atau tidak mutlak. Dimana setiap individu

dapat memiliki perubahan keterampilan sesuai dengan aspek frekuensi

penggunaan ataupun sesuai dengan tuntutan pekerjaan itu sendiri. Sehingga sangat

mungkin seseorang yang saat ini belum memiliki kemampuan berteknologi

nantinya akan menjadi seseorang yang berkompeten.

Faktor selanjutnya kompleksitas sistem informasi akuntansi klien

(Complexity Accounting Information System Clients) adalah sejauh mana

perusahaan milik klien memiliki sistem akuntansi yang kompleks dan

terkomputerisasi (Siew et al., 2020). Janvrin et al., (2009) menemukan bahwa

ketika kompleksitas Teknologi Informasi klien tinggi, maka auditor eksternal

lebih cenderung menggunakan prosedur audit yang terkait dengan komputer. Hal

tersebut tentunya akan menjadikan pekerjaan auditor lebih efektif dan efisien

karena adanya sinkronisasi antara data klien dan data auditor. (Siew et al., 2020)

10
juga menyatakan bahwa kompleksitas sistem informasi akuntansi klien menjadi

faktor pemicu terhadap penggunaan CAATs. Sejalan dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh (Janvrin et al., 2009; Siew et al., 2020) menemukan bahwa

kompleksitas sistem informasi akuntansi milik klien berpengaruh positif terhadap

penggunaan CAATs. Hal ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh (Li et al., 2018) dimana ia menemukan bahwa kompleksitas sistem

informasi akuntansi klien tidak berdampak pada pengadopsian dan penggunaan

aplikasi software audit seperti ACL dan IDEA. Hal ini dapat disebabkan oleh

kurangnya variasi untuk kompleksitas TI karena sekitar 90% dari perusahaan yang

berpartisipasi menilai kompleksitas TI lebih tinggi dari rata-rata.

Faktor teknologi yang menjadi pemicu digunakannya CAATs dalam

penelitian ini diambil dari DOI Theory (Rogers, 2003) yaitu relative advantage

dan compatibility. Relative advantage ditafsirkan sebagai sejauh mana

penggunaan teknologi baru dianggap lebih baik daripada ide yang digantikannya

(Rogers, 2003). Ide yang dimaksud dalam konteks audit adalah pekerjaan audit

secara tradisional. (Siew et al., 2020) menjelaskan relative advantage sebagai

manfaat atau keuntungan yang didapat jika menggunakan CAATs. Manfaat yang

didapat seperti peningkatan efisiensi audit, pengurangan biaya dan tingkat

kesalahan didalam operasi audit. Dengan banyaknya manfaat yang ditawarkan

oleh teknologi audit, maka akan meningkatkan niat atau keinginan auditor untuk

menggunakan CAATs tersebut.

Selanjutnya compatibility menurut Rogers (2003) adalah sejauh mana

suatu inovasi teknologi dipersepsikan konsisten dengan nilai-nilai yang ada,

pengalaman masa lalu, dan kebutuhan individu pengguna teknologi. Sedangkan

11
didalam konteks audit menurut (Siew et al., 2020) adalah adanya keselarasan

antara prosedur kerja dan tugas-tugas auditor dengan penggunaan CAATs.

Sehingga dapat dikatakan jika adanya kesesuaian kebutuhan antara perusahaan

dan fitur CAATs maka akan menjadi pendorong penggunaan teknologi audit

tersebut.

Atas perbedaan hasil penelitian terdahulu serta lokasi penelitian yang

berbeda membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini. Objek

penelitian ini yaitu Kantor Akuntan Publik (KAP) yang mengaudit perusahaan go

public di Indonesia pada tahun 2020 yang berada di wilayah Jabodetabek.

Pemilihan Jabodetabek berdasarkan pertimbangan Jakarta sebagai ibu kota

dimana sebagai pusat kota bisnis. Sebagai pusat bisnis, Jakarta merupakan tempat

dimana berdirinya KAP besar yang berafiliasi dengan KAP Big Four bertaraf

internasional yang telah mengadopsi software audit. Berdasarkan pemaparan

diatas, maka peneliti tertarik mengangkat permasalahan dalam sebuah judul

penelitian “ANALISA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PENGGUNAAN COMPUTER ASSISTED AUDIT TECHNIQUES (CAATs)

PADA KANTOR AKUNTAN PUBLIK DI INDONESIA”

1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat

dirumuskan masalah penelitian adalah sebagai berikut:

1) Apakah performance expectancy berpengaruh terhadap penggunaan

CAATs pada Kantor Akuntan Publik (KAP)?

12
2) Apakah effort expectancy berpengaruh terhadap penggunaan CAATs pada

Kantor Akuntan Publik (KAP)?

3) Apakah top management support berpengaruh terhadap penggunaan

CAATs pada Kantor Akuntan Publik (KAP)?

4) Apakah employee IT competency berpengaruh terhadap penggunaan

CAATs pada Kantor Akuntan Publik (KAP)?

5) Apakah complexity AIS client berpengaruh terhadap penggunaan CAATs

pada Kantor Akuntan Publik (KAP)?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian tersebut t


1) ujuan penelitian ini ialah untuk menganalisis faktor yang

mempengaruhi penggunaan CAATs (CAATs usage) oleh Kantor Akuntan Publik

(KAP). Hal tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.

1) Menganalisis pengaruh performance expectancy terhadap penggunaan

CAATs pada Kantor Akuntan Publik (KAP)

2) Menganalisis pengaruh effort expectancy terhadap penggunaan CAATs

pada Kantor Akuntan Publik (KAP)

3) Menganalisis pengaruh top management support terhadap penggunaan

CAATs pada Kantor Akuntan Publik (KAP)

4) Menganalisis pengaruh employee IT competency terhadap penggunaan

CAATs pada Kantor Akuntan Publik (KAP)

5) Menganalisis pengaruh complexity AIS client terhadap penggunaan

CAATs pada Kantor Akuntan Publik (KAP)

1.4. Kegunaan Penelitian

13
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang

membutuhkan, baik secara teoritis maupun praktis, diantaranya:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan

pengetahuan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan

CAATs (CAATs usage) oleh auditor eksternal Indonesia.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi penulis. Penelitian ini dapat menambah pengetahuan peneliti

dan dapat lebih mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

penggunaan oleh auditor.

b. Bagi peneliti selanjutnya. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat

digunakan sebagai tambahan referensi untuk penelitian selanjutnya.

c. Bagi auditor dan KAP. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi

bahan acuan dan masukan bagi auditor untuk dapat menggunakan

CAATs sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam

menjalankan tugas audit.

BAB II

14
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teknologi Informasi dan Audit

Kemajuan teknologi adalah salah satu faktor signifikan yang mempengaruhi

profesi akuntansi dan audit, sehingga secara tidak langsung mempengaruhi cara

perusahaan dalam menjalankan bisnisnya di seluruh dunia (Menna Tarek, 2016).

Kemajuan teknologi informasi akuntansi yang terus berkembang sudah

sewajarnya diiringi pula dengan perkembangan teknologi audit. Teknologi

informasi mempengaruhi profesi audit dalam berbagai perspektif seperti proses

perencanaan, pengumpulan bukti, dan keterampilan yang diperlukan untuk

melakukan audit, pengetahuan yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan audit,

risiko yang dihadapi oleh auditor serta teknik audit yang diadopsi (Wanger, 2001).

Karenanya, di dunia teknologi, tidak mungkin bagi akuntan dan auditor untuk

hanya bergantung pada informasi dikumpulkan dari kertas tradisional untuk

mendapatkan bukti yang diperlukan untuk membantu mereka dalam membentuk

opini yang tepat atas laporan keuangan (Enofe et al., 2012).

Adapun Audit Teknologi Informasi menurut Weber (1999) adalah proses

pengumpulan dan evaluasi bukti untuk menentukan apakah sistem komputer yang

digunakan mampu melindungi aset organisasi, menjaga integritas data, dan

membantu pencapaian tujuan organisasi. Didalam melakukan proses audit laporan

keuangan berbasis komputer, maka terdapat tiga pendekatan yaitu:

15
1. Audit around the computer

Audit around the computer hanya melibatkan pengujian ekstensif

terhadap input dan output aplikasi komputer (Hamid, 2012).

2. Audit through the computer

Audit through the computer dapat dianggap sebagai bagian IT audit

yang melibatkan pengauditan sistem komputer sebuah organisasi,

manajemen, operasi dan proses terkait (Ahmi, 2016).

3. Audit with computer

Audit with computer dianggap sebagai perpanjangan dari audit

through the computer (Hamid, 2012). Auditor menggunakan komputer

sebagai alat bantu dalam melaksanakan prosedur audit, (Weber, 1999,

55-57). Audit ini melibatkan penggunaan computer assisted auditing

tools and techniques (CAATs) dalam rangka untuk meningkatkan

efektivitas dan efisiensi audit (Ahmi Kent, 2016).

International Professional Practices Framework (IPPF) tahun 2013

menyatakan bahwa auditor harus mempertimbangkan untuk melakukan audit

berbasis teknologi dan teknik analisis lainnya. Atas pernyataan tersebut, maka

auditor tidak hanya dituntut untuk menguasai audit secara konseptual, melainkan

juga memiliki kemampuan untuk mengaplikasikan teknologi dalam pelaksanaan

audit. Saat ini telah dikembangkan CAATs (computer-assisted audit tools and

techniques) atau Teknik Audit Berbantuan Komputer (TABK), yang merupakan

penggunaan sebuah progam perangkat komputer untuk menjalankan fungsi audit

sehingga menyederhanakan proses audit (Romney, 2014).

2.2 CAATs (Computer Assisted Audit Tools and Techniques)

16
CAATs menurut Braun & Davis (2003) adalah alat dan teknik yang

digunakan oleh auditor untuk mengekstraksi dan menganalisis data klien. Menurut

(James Hall, 2011) CAATs adalah alat audit berbasis komputer yang digunakan

untuk melakukan berbagai pengujian pengendalian aplikasi serta ekstraksi data.

CAATs secara sederhana adalah penggunaan komputer dalam setiap kegiatan

audit yang berguna untuk mengumpulkan dan mengevaluasi data berbentuk

elektronik untuk menjadi bukti audit. Untuk dapat memperoleh dan mengevaluasi

data berbentuk elektronik, seorang auditor harus mengetahui Teknik-teknik untuk

mrngakses dan menganalisa data elektronik yang disebut dengan Teknik Audit

Berbantuan Komputer (TABK) atau disebut pula Computer Assisted Audit

Techniques (CAATs).

CAATs menjanjikan adanya peningkatan efektivitas dan efisiensi dalam audit

(Zhao, Yen, & Chang, 2004). Berdasarkan hasil penelitian dari Muhayoca dan

Ariani (2017), teknik audit berbantuan komputer berpengaruh terhadap kualitas

audit. Penggunaan teknik ini dapat memudahkan pemeriksa dalam menganalisis

data audit serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas waktu, biaya, dan sumber

daya manusia. CAATs memainkan peran penting pula dalam mengidentifikasi dan

menangani risiko organisasi secara efisien dan komprehensif (Pal, 2012).

Misalnya, CAATs memungkinkan auditor untuk menguji 100% populasi daripada

sampel (AICPA, 2001; Curtis & Payne, 2008; Singleton, 2011) atau untuk

memilih sampel transaksi yang memenuhi kriteria tertentu untuk mendapatkan

bukti tentang efektivitas pengendalian (AICPA, 2006; PCAOB, 2010).

17
CAATs dapat digunakan dalam pelaksanaan berbagai prosedur audit

berikut:

1. Pengujian rincian transaksi dan saldo-seperti, penggunaan perangkat

lunak audit untuk menguji semua (suatu sampel) transaksi dalam file

komputer

2. Prosedur review analitik-seperti, penggunaan perangkat lunak audit

untuk mengidentifikasi unsur atau fluktuasi yang tidak biasa

2. Pengujian pengendalian (test of control) atas pengendalian umum sistem

informasi komputer-seperti, penggunaan data uji untuk menguji prosedur

akses ke perpustakaan program (program libraries)

3. Pengujian pengendalian atas pengendalian aplikasi sistem informasi

komputer -seperti, penggunaan data uji untuk menguji berfungsinya

prosedur yang telah diprogram

4. Mengakses file, yaitu kemampuan untuk membaca file yang berbeda

record dan formatnya

5. Mengelompokkan data berdasarkan kriteria tertentu

6. Mengorganisasi file, seperti mensortir dan menggabungkan file

7. Membuat laporan, mengedit dan memformat keluaran

8. Membuat persamaan dengan operasi rasional logika (contoh: AND; OR;

=; < >; <; >; IF).

18
Penggunaan CAATs dapat memberikan beberapa manfaat dibandingkan

audit tradisional (AlHabsi, 2017), diantaranya:

1. Audit tradisional bergantung pada penggalian kumpulan data sampel dan

mengekstrapolasi kesimpulan tentang populasi transaksi. Sebaliknya,

CAATs mengizinkan auditor untuk menguji seluruh populasi data dan

transaksi, yang mengarah ke pengujian yang lebih komprehensif dan

bukti audit yang lebih berkualitas (Singleton, 2006).

2. Tidak seperti audit tradisional, CAATs memungkinkan auditor untuk

menguji seluruh data dan transaksi dengan cepat, dengan demikian,

memberikan peluang lebih besar bagi mereka untuk melakukan risiko

yang terinformasi lebih baik penilaian. Alhasil, respon auditor terhadap

risiko tersebut menjadi lebih fokus dan efektif (Bank Dunia, 2017). Hal

ini terutama penting karena auditor dihadapkan pada peningkatan beban

kerja dan ekspektasi pemangku kepentingan terkait ruang lingkup dan

nilai audit (Ernst & Muda, 2015; Ghosh & Pawlewicz, 2009).

3. CAATs adalah alat audit yang kuat untuk mendeteksi kesalahan dan

penipuan seperti adanya transaksi duplikat, transaksi yang hilang dan

anomali (Coderre, 1999). Oleh karena itu, auditor harus memanfaatkan

aplikasi perangkat lunak komputer untuk melakukan prosedur audit

secara efisien dan efektif. (Braun & Davis, 2003).

Pada kesimpulannya, penggunaan CAATs oleh auditor diharapkan dapat

meningkatkan efisiensi biaya, efektivitas, dan kualitas audit secara keseluruhan

(Chaney, 2003).

19
2.2.1 Regulasi CAATs

Standar audit US mewajibkan penggunaan teknologi audit karena dipandang

dapat meningkatkan kualitas audit (O'Donnell dan Schultz, 2003; Debreceny et

al., 2005). Sebagai contoh, untuk mengidentifikasi risiko dan kecurangan, US

Statement Auditing Standar (SAS) No 316.52 menyatakan bahwa auditor perlu

"menggunakan Computer Assisted Audit Techniques (CAATs) untuk

mengumpulkan bukti yang lebih luas tentang data yang terkandung di dalam file

transaksi elektronik” (AICPA, 2006).

Sedangkan di Indonesia, Ikatan Akuntan Indonesia dalam Standar Profesional

Akuntan Publik PSA pasal 327 paragraf 12. Ayat ini menyatakan bahwa jika

sistem akuntansi terkomputerisasi tidak menghasilkan bukti audit yang dapat

dilihat maka tidak praktis bagi auditor untuk melakukan pengujian manual

sehingga auditor harus mempertimbangkan penggunaan Computer Assisted Audit

Tools (CAATs).

Kemudian didalam identitas profesional penerapannya diatur juga dalam

(SPAP, SA 330, 2013) dimana dalam pengujian yang lebih luas mengenai arsip

elektronik dan untuk mendeteksi salah saji material akibat dari suatu kecurangan,

penerapan CAATs sangat perlu dilakukan guna meminimalisasi resiko salah saji

laporan keuangan (Zerry Sufanda, 2018). Namun menurut Ghani, Azizi, &

Zabedah (2016) di Indonesia adopsi dan penggunaan CAATs dalam proses audit

masih bersifat anjuran.

20
2.2.2 Fitur-fitur CAATs

Braun dan Davis (2003) dalam penelitiannya membagi CAAT menjadi

lima (5) jenis yaitu Test Data Techniques, Integrated Test Facility (ITF), Parallel

Simulation, Embedded Audit Module (EAM) dan Generalized Audit Software

(GAS). Sedangkan Hall (2011) dan Bambang dkk, (2020) mengkategorikan lagi

menjadi dua teknik, yaitu teknik pengujian aplikasi komputer (test data

techniques, ITF dan parallel simulation) dan teknik pengujian substantif (EAM

dan GAS).

2.2.2.1 GAS (General Audit Software)

GAS (General Audit Software) adalah perangkat lunak analisis data, yang

dirancang untuk melakukan rutinitas audit tertentu dengan analisis statistik.

Misalnya, dapat menelusuri, menganalisis, mengurutkan, meringkas, membuat

stratifikasi, sampel dan menerapkan penghitungan, konversi, dan operasi lain

untuk mengaudit kumpulan lengkap data akuntansi, sebagai lawan mengandalkan

pengambilan sampel (Widuri, 2016). Penggunaan GAS dapat membantu auditor

untuk mendeteksi kesalahan penyajian dalam laporan keuangan, terutama dalam

menilai asersi manajemen seperti kelengkapan, kepemilikan, penilaian, akurasi,

klasifikasi, dan pengungkapan data yang dihasilkan oleh perangkat lunak

akuntansi. (Debreceny, Lee, Neo, & Toh, 2005; Myeni & Mvuyana 2018).

Menurut Ahmi dan Kent (2013), GAS digunakan oleh auditor untuk menganalisis

dan mengaudit secara langsung atau data yang diekstraksi dari berbagai aplikasi

(Debreceny et al., 2005).

21
2.2.2.2 ITF (Integrated Test Facility)

Integrated Test Facility adalah teknik yang terkadang digunakan dalam

mengaudit sistem aplikasi yang kompleks. Ini menyediakan fasilitas pengujian

built-in melalui pembuatan departemen atau cabang dummy dalam sistem

akuntansi normal. Sebagai contoh bank terkadang membuat cabang uji semacam

itu dalam Sistem Akuntansi Pelanggan mereka yang digunakan baik untuk

pengujian audit maupun untuk melatih teller dalam penggunaan sistem terminal.

Mengingat bahwa pengujian atau cabang audit telah dibuat pada sistem,

metode auditnya hampir sama dengan untuk test data. Auditor bank akan

diberikan terminal auditnya sendiri. Dia dapat mengatur pelanggan baru pada file

induk, dan dia dapat memasukkan setoran percobaan, penarikan, pesanan tetap,

dan transaksi lainnya. Dalam segala hal, dia dapat mengoperasikan cabang audit

seperti halnya cabang biasa. Transaksi akan diproses seperti biasa, dan akan

dilaporkan oleh sistem pelaporan cabang biasa.

Perbedaan penting adalah bahwa sejumlah kecil pemeriksaan signifikan perlu

ditulis ke dalam program untuk mencegah data pengujian auditor merusak sistem

live. Misalnya, transaksi audit tidak boleh:

 Dimasukkan ke dalam data akuntansi manajemen bank

 Diperbolehkan untuk merusak statistik perbankan pemerintah

 Diizinkan untuk menghasilkan transfer dana ke atau dari akun live.

Keuntungan menggunakan ITF adalah:

 Memungkinkan pengujian komprehensif reguler dari sistem live;

 Pengujian dapat tidak terjadwal dan tidak diketahui oleh staf lain;

 Biaya operasional kecil yang terlibat setelah ditetapkan;

22
 Memberikan bukti prima facie tentang fungsi program yang benar;

 Dapat digunakan untuk pengujian sistem, pelatihan pengguna, dll.

Sekali lagi, ada kebutuhan untuk menentukan persyaratan di awal proses

pengembangan sistem sehingga dampak ITF pada sistem secara keseluruhan dapat

dipertimbangkan, dan dapat diintegrasikan ke dalam desain sistem.

2.2.2.3 EAM (Embedded Audit Modules)

Embedded Audit Modules adalah teknik yang umumnya digunakan dengan

sistem komputer yang menangani volume data yang sangat tinggi. Seperti yang

tersirat dari namanya, ini adalah aplikasi audit yang disimpan secara permanen

dalam sistem pemrosesan utama. Embedded Audit Modules memeriksa setiap

transaksi saat memasuki sistem. Setiap kali terjadi transaksi yang memenuhi

kriteria pemilihan, rincian transaksi dicatat sebelum transaksi diizinkan untuk

dilanjutkan untuk diproses lebih lanjut. File log audit secara berkala dipindai,

dianalisis dan laporan dicetak untuk ditindaklanjuti.

Fasilitas Embedded Audit Modules biasanya memiliki kemampuan untuk

memilih transaksi yang memenuhi berbagai kriteria, yang dapat diubah dengan

mengubah parameter pemilihan. Embedded Audit Modules bukanlah sesuatu yang

dapat dengan mudah ditambahkan ke sistem setelah beroperasi. Desainnya perlu

dipertimbangkan dengan hati-hati untuk memastikan bahwa ia menyadap

transaksi pada tahap pemrosesan yang paling tepat, bahwa pengoperasian modul

tidak menurunkan kinerja sistem, dan bahwa parameter pemilihan audit dan file

log dilindungi dari perubahan yang tidak sah.

23
Ada dua pendekatan untuk teknik ini. Yang diilustrasikan, dan dijelaskan di

atas, disebut sebagai "pengumpulan data tersemat". Pendekatan lainnya dikenal

sebagai "pemberian tag". Di sini rekaman yang dipilih hanya diberi tag; bidang

ekstra ditambahkan ke setiap rekaman yang dipilih untuk memungkinkannya

diidentifikasi dengan mudah untuk tujuan audit pada tahap selanjutnya dalam

proses.

2.2.2.4 Test Data

Braun dan Davis (2003) mendefinisikan teknik data uji (test data

techniques) sebagai metode untuk menguji apakah terdapat permasalahan

pengendalian terhadap sistem yang dimiliki klien. Metode ini digunakan untuk

mengetahui apakah suatu sistem atau program komputer klien telah berjalan

dengan baik. Test data umumnya digunakan untuk mengkonfirmasi pengoperasian

program baru atau program yang diubah, atau program yang menghasilkan

keluaran yang tidak dapat dengan mudah diprediksi atau digabungkan dengan

masukan. Ini dapat digunakan untuk menguji dan memverifikasi:

a. validasi rutin penginputan

b. kemampuan deteksi kesalahan

c. memproses logika dan perhitungan

d. akurasi laporan

e. Setiap prosedur manual yang mengelilingi sistem, meskipun seseorang

perlu memastikan bahwa data pengujian diserahkan pada suatu titik

dalam proses di mana rutinitas manual berlaku.

Keuntungan nyata yang ditawarkan oleh teknik ini adalah:

24
a. membutuhkan pengetahuan teknis yang terbatas

b. biasanya cukup sederhana untuk dioperasikan

c. Membantu auditor mempelajari bagaimana sistem beroperasi.

2.2.2.5 Parallel Simulation Software

Tujuan simulasi paralel adalah menghasilkan program independen untuk

mensimulasikan bagian dari aplikasi. Misalnya, auditor ingin membuktikan bahwa

program penghitungan bunga berfungsi dengan baik, tetapi karena volume data

yang terlalu tinggi, auditor tidak dapat melakukannya dengan mudah. Auditor

dapat memutuskan bahwa untuk menguji data nyata, auditor harus menulis

program penghitungan bunga sendiri. Jika auditor menjalankan program simulasi

terhadap file data sumber yang sama yang dikirimkan ke rangkaian penghitungan

bunga operasional, maka auditor akan mendapatkan hasil yang sama.

Mengenai data pengujian, auditor harus menyadari bahwa hasil yang

diperoleh hanya terkait dengan pengujian yang auditor lakukan. Program dapat

diubah nanti, dan pengujian mungkin perlu diulang. Hall (2011) mengemukakan

bahwa parallel simulation melibatkan pembuatan program oleh auditor untuk

mensimulasikan fitur atau proses utama dari aplikasi yang sedang ditinjau.

Aplikasi simulasi kemudian digunakan untuk mengolah kembali transaksi yang

sebelumnya diproses oleh aplikasi klien.

Adapun langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pengujian

parallel simulation menurut Hall (2011):

1. Auditor terlebih dahulu memahami aplikasi yang akan diuji dengan

melihat catatan yang ada harus lengkap dan diperbarui.

25
2. Mengidentifikasi proses dan pengendalian aplikasi yang penting untuk

diaudit dimana proses tersebut yang akan disimulasikan.

3. Membuat simulasi dengan menggunakan 4GL (fourth generation

language) atau GAS.

4. Menjalankan program simulasi menggunakan transaksi produksi tertentu

dan file utama untuk memberikan hasil.

5. Mengevaluasi dan merekonsiliasi hasil pengujian dengan hasil produksi

yang dihasilkan pada proses sebelumnya.

2.3 Teori Penggunaan Teknologi Informasi

Penelitian ini menggunakan model penerimaan teknologi informasi yaitu

UTAUT (Unified Theory of Acceptance and Use of Technology) yang

dikembangkan oleh Venkatesh et al., (2003) dan model TOE (Technology,

Organizations and Environment) oleh Tornatzky dan Fleischer (1990). Adapun

teori pendukung pada penelitian ini menggunakan DOI (Diffusion of Innovation)

Theory yang dikembangkan oleh (Rogers 1995).

2.3.1 UTAUT (Unified Theory of Acceptance and Use of Technology)

UTAUT sebagai model penerimaan teknologi pertama kali diperkenalkan

oleh Viswanath Venkatesh et al., (2003). Model ini merupakan sebuah model

penerimaan teknologi yang muncul dari hasil sintesis delapan model penerimaan

teknologi yang telah dikembangkan sebelumnya. Delapan model tersebut adalah

Technology Acceptance Model (TAM), Theory of Reasoned Action (TRA),

Theory of Planned Behaviour (TPB), the Motivational Model (MM), Innovation

26
Diffusion Theory (IDT), Model of Personal Computer Utilization (MPCU), the

Social Cognitive Theory (SCT) dan model kombinasi antara TAM dan TPB.

UTAUT berteori bahwa penerimaan teknologi dipengaruhi oleh lima faktor

penentu, yaitu (1) ekspektasi kinerja, yaitu sejauh mana seseorang percaya bahwa

menggunakan sistem akan membantunya untuk mencapai keuntungan dalam

kinerja pekerjaan; (2) ekspektasi usaha, yaitu tingkat kemudahan yang terkait

dengan penggunaan sistem; (3) pengaruh sosial, yaitu sejauh mana individu

merasa bahwa penting bahwa orang lain percaya bahwa dia harus menggunakan

sistem baru, (4) kondisi fasilitasi, yaitu sejauh mana seseorang percaya bahwa

infrastruktur organisasi dan teknis ada untuk mendukung penggunaan sistem, dan

(5) niat perilaku, yang merupakan probabilitas subjektif seseorang bahwa dia akan

melakukan perilaku yang dimaksud. Model UTAUT memprediksi bahwa jenis

kelamin, usia, pengalaman, dan penggunaan sukarela memoderasi empat faktor

penentu tersebut.

Selain itu Venkatesh et al. (2003) telah memastikan bahwa model mereka

valid dan unggul, serta sangat mendukung dan menjelaskan hingga 70 persen

varian terkait tujuan penggunaan teknologi, dan 50 persen varian terkait

penggunaan teknologi (Venkatesh, Thong, & Xu, 2012).

Gambar 2.1

UTAUT Model

27
Sumber: Venkatesh, 2003.

2.3.2 TOE Framework (Technology, Organizations and Environment)

Kerangka kerja TOE pertama kali dikenalkan Tornatzky dan Fleischer

(1990). TOE adalah kerangka kerja klasik yang mengusulkan seperangkat faktor

generik yang menjelaskan dan memprediksi kemungkinan adopsi dan penggunaan

teknologi. TOE mengidentifikasi tiga konteks perusahaan yang mempengaruhi

adopsi dan implementasi inovasi. Konteksnya adalah perkembangan teknologi

(Kauffman & Walden, 2001); kondisi organisasi, konfigurasi ulang bisnis dan

organisasi (Chatterjee, Grewal, & Sambamurthy, 2002); dan lingkungan industri

(Kowath & Choon, 2001). Para peneliti (Awa et al., 2016; Siew et al., 2020;

Tornatzky & Fleischer, 1990; Widuri et al., 2016; Zhu & Kraemer, 2005)

berpendapat bahwa aspek teknologi menggambarkan adopsi yang kaitannya

dengan kondisi teknologi internal dan eksternal perusahaan serta kegunaan,

teknis, dan kompatibilitas organisasi mereka, kompleksitas dan kurva

pembelajaran, uji coba / eksperimen, dan visibilitas.

28
Peneliti tersebut juga menjelaskan bahwa organisasi menyangkut ukuran

deskriptif seperti ruang lingkup bisnis perusahaan, dukungan manajemen puncak,

budaya organisasi, kompleksitas struktur manajerial diukur dengan sentralisasi,

formalisasi, dan diferensiasi vertikal, kualitas sumber daya manusia, ukuran dan

masalah terkait ukuran seperti sumber daya dan spesialisasi internal.

Terakhir, konteks lingkungan berkaitan dengan fasilitator dan penghambat

operasional; yang paling signifikan di antara nya adalah tekanan persaingan,

kesiapan mitra dagang, masalah sosial budaya, dorongan pemerintah, dan

infrastruktur pendukung teknologi seperti akses ke konsultan TI yang berkualitas.

Gambar 2.2

Kerangka kerja TOE

Sumber: Tornatzky and Fleischer (1990)

29
2.3.3 DOI (Diffusion of Innovation) Theory

Adapun teori pendukung pada penelitian ini diambil dari DOI (Diffusion of

Innovation) Theory yang dikembangkan oleh (Rogers 1995, 2003). DOI teori

sendiri digunakan pada penelitian ini untuk melihat dari persepektif teknologi itu

sendiri. Teknologi menurut Rogers (2003) adalah sebagai sebuah desain untuk

tindakan instrumental yang dapat mengurangi ketidakpastian sebagai hubungan

sebab akibat untuk mencapai hasil yang diinginkan. Teknologi terdiri dari dua

bagian: hardware dan software. Hardware adalah alat yang mewujudkan

teknologi dalam bentuk suatu material atau objek fisik, sedangkan software adalah

basis informasi untuk alat (tools) (Rogers, 2003).

Teori difusi inovasi pada dasarnya adalah sebuah tindakan

mengkomunikasikan sebuah pesan atau ide mengenai sebuah hal baru (inovasi)

untuk dapat digunakan sebagai alat menyelesaikan problem atau masalah yang

sudah ada (Rogers, 1995). Rogers (1995) menyebut salah satu elemen pokok

dalam proses difusi inovasi, yakni Inovasi (the innovation).

Inovasi adalah gagasan, ide, praktek, atau objek yang diterima sebagai

sesuatu yang baru oleh seorang individu atau unit adopter lainnya. Karakter

sebuah inovasi teknologi menurut Rogers (1995) harus memiliki beberapa syarat

yang mempengaruhi penerimaan oleh seorang individu terhadap inovasi. Adapun

syarat tersebut diantaranya adalah apakah inovasi teknologi tersebut memiliki

manfaat yang relatif (relative advantage) dan kompatibilitas (compatibility)

dengan sistem yang sudah ada pada perusahaan yang akan menggunakan inovasi

tersebut.

30
2.4 Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan CAATs

Penelitian ini menganalisis faktor yang mempengaruhi penggunaan CAATs

dengan menggunakan model UTAUT berdasarkan penelitian Rosli et al., (2012)

yang terdiri atas performance expectancy (harapan kinerja), effort expectancy

(harapan usaha), kemudian menggunakan model TOE dan DOI Theory

berdasarkan penelitian Siew et al., (2020) yang terdiri atas top management

support (dukungan manajemen puncak), employee IT competency (kompetensi

teknologi informasi karyawan), complexity AIS client (kompleksitas sistem

informasi akuntansi klien), relative advantage (keunggulan relatif), dan

compatibility (kompatibilitas).

2.4.1 Performance Expectancy (Harapan Kinerja)

Dalam penelitian ini performance expectancy menjadi sebuah variabel

tersendiri (independen) untuk diteliti, khususnya untuk melihat penerimaan

penggunaan CAATs bagi suatu KAP. Performance expectancy memiliki definisi

sebagai tingkat dimana seseorang individu percaya bahwa dengan menggunakan

sistem akan membantu dia dalam memperoleh keuntungan dalam kinerja

(Venkatesh, 2003). Performance expectancy dapat juga diartikan pada sejauh

mana individu memandang bahwa menggunakan suatu sistem akan membantunya

untuk mencapai prestasi kerja. Jika dikaitkan dalam konteks audit adalah disaat

auditor mendapatkan manfaat dengan menggunakan perangkat lunak audit, maka

auditor akan semakin berniat untuk menggunakan perangkat lunak audit tersebut

dalam bekerja.

31
Performance expectancy berhubungan langsung dengan penggunaan software

audit dalam membantu pekerjaan auditor. Hal ini karena auditor dianggap

mengandalkan penggunaan software audit seperti CAATs untuk mengakses

informasi yang memadai terkait aktivitas auditing mereka. Dengan demikian, jika

seorang auditor memandang bahwa penggunaan CAATs akan memberikan

kontribusi yang berarti dalam meningkatkan kinerjanya, dia akan cenderung untuk

menggunakannya.

Adapun indikator performance expectancy dalam penelitian ini merujuk

kepada indikator yang dicetuskan oleh Venkatesh et al., (2003) dan kemudian

disesuaikan dalam konteks audit oleh Bierstaker (2014) dan Al Hiyari et al.,

(2019). Indikator tersebut terdiri atas:

1. Penggunaan CAATs berguna dalam pekerjaan auditor.

2. Penggunaan CAATs menjadikan tugas auditor menjadi lebih cepat

selesai.

3. Penggunaan CAATs meningkatan produktivitas.

4. Penggunaan CAATs menjadikan adanya peluang kenaikan gaji.

2.4.2 Effort Expectancy (Harapan Usaha)

Effort expectancy merupakan konstruksi yang mengukur tingkat kemudahan

penggunaan terkait dengan penggunaan suatu teknologi informasi. Venkatesh et

al., (2003) memandang effort expectancy sebagai tingkat kemudahan yang terkait

dengan penggunaan sistem informasi. Effort expectancy didasarkan pada gagasan

bahwa ada hubungan di antara upaya yang dilakukan di tempat kerja, hasil yang

32
dicapai dari upaya itu, dan penghargaan yang diterima dari upaya tersebut

(Ghalandari, 2012).

Effort expectancy memiliki hubungan langsung dengan penggunaan software

audit dalam membantu pekerjaan auditor. Hal ini karena penggunaan software

audit oleh auditor kemungkinan besar akan dipengaruhi oleh seberapa mudah atau

rumitnya mendapatkan informasi yang relevan dengan CAATs dalam waktu

sesingkat mungkin. Karenanya, jika auditor merasakan kemudahan penggunaan

dan kompleksitas perangkat lunak audit rendah maka auditor akan berniat untuk

menggunakan perangkat lunak audit dalam proses audit.

Indikator effort expectancy dalam penelitian ini merujuk kepada indikator

yang dicetuskan oleh Venkatesh et al., (2003) dan kemudian disesuaikan dalam

konteks audit oleh Bierstaker (2014) dan Al Hiyari et al., (2019). Indikator

tersebut terdiri atas:

1. Kejelasan dalam berinteraksi dengan CAATs.

2. Kemudahan menggunakan CAATs.

3. Kemudahan untuk menjadi terampil dalam menggunakan CAATs.

4. Kemudahan dalam belajar mengoperasikan CAATs.

2.4.3 Top Management Support (Dukungan Manajemen Puncak)

Top management support didefinisikan sebagai tingkat dukungan yang

diberikan oleh manajemen puncak perusahaan audit terhadap adopsi CAATs

(Siew et al., 2020). Dukungan top management menurut Hashmi (2004)

merupakan pihak yang bertanggungjawab atas penyediaan pedoman umum bagi

kegiatan sistem informasi. Dukungan yang diberikan manajemen mencakup

33
beberapa hal seperti sumber daya keuangan, training skill untuk auditor, serta

sarana dan fasilitas teknologi yang terkait. Tingkat dari dukungan yang diberikan

oleh manajemen puncak tersebut bagi sistem informasi organisasi dapat menjadi

suatu faktor yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan kegiatan yang

berkaitan dengan sistem informasi.

Manajemen puncak (top management), dikenal pula dengan istilah executive

officer yang memiliki tugas merencanakan kegiatan dan strategi perusahaan

secara umum dan mengarahkan jalannya perusahaan. Tjhai Fung Jen (2002) pun

berpendapat, semakin besar dukungan yang diberikan manajemen puncak akan

meningkatkan kinerja sistem informasi akuntansi. Sedangkan dukungan top

manajemen menurut Lee & Kim (1992) diartikan sebagai pemahaman manajemen

puncak tentang sistem komputer dan tingkat minat, dukungan, dan pengetahuan

tentang sistem informasi.

Indikator top management support dalam penelitian ini merujuk kepada

indikator yang dicetuskan oleh Bradford dan Florin (2003) dan kemudian

diadaptasi oleh Siew et al., (2020). Indikator tersebut terdiri atas:

1. Keterkaitan CAATs dengan strategi perusahaan.

2. Ketersediaan sumber daya keuangan.

3. Dukungan menggunakan CAATs untuk operasi perusahaan.

2.4.4 Employee Information Technology Competency (Kompetensi Teknologi

Informasi Karyawan)

Kompetensi Teknologi Informasi karyawan mengacu pada tingkat kompetensi

dan kemampuan Teknologi Informasi yang dimiliki oleh karyawan perusahaan

34
audit (Rosli et al., 2013). Auditor yang memiliki kompetensi dibidang Teknologi

Informasi akan membuatnya lebih percaya diri dalam menggunakan teknologi

audit, sehingga menjadi pendorong digunakannya CAATs. Menurut Soegiharto,

(2001) kemampuan pengguna sistem informasi akuntansi diukur dengan

menggunakan rata-rata tingkat pendidikan personil (pengguna) sistem informasi

akuntansi.

Tjhai Fung Jen (2002) berpendapat bahwa semakin tinggi kemampuan teknik

personal sistem informasi akuntansi, akan meningkatkan kinerja sistem informasi

akuntansi. Sejalan dengan pendapat-pendapat tersebut, Noe (2010)

mengemukakan bahwa sebuah kompetensi mengacu kepada sebuah bidang

kapabilitas seseorang yang menjadikan si karyawan mampu menghasilkan

kesuksesan melalui pencapaian sebuah outcome atau penyelesaian tugas-tugas.

Lebih lanjut, Bernardin (2010) menyatakan bahwa kompetensi adalah

karakteristik tertentu dari seseorang yang menghasilkan kinerja efektif atau

kinerja superior atas pekerjaan atau juga merupakan gabungan dari pengetahuan,

keahlian dan perilaku yang berdampak pada pekerjaan atau tanggung jawab sesuai

dengan standar yang baik.

Adapun indikator employee information technology competency dalam

penelitian ini merujuk kepada indikator yang dicetuskan oleh oleh Thong (1999)

dan kemudian diadaptasi oleh Siew et al., (2020). Indikator tersebut terdiri atas:

1. Skill karyawan di bidang IT.

2. Pemahaman karyawan tentang CAATs.

3. Pengetahuan dalam operasi CAATs.

4. Pengalaman karyawan dengan CAATs.

35
5. Adanya ketersediaan karyawan yang ahli dalam CAATs pada perusahaan.

2.4.5 Complexity Accounting Information System Client (Kompleksitas

Sistem Informasi Akuntansi Klien)

Complexity AIS Clients adalah sejauh mana perusahaan audit milik klien

memiliki sistem akuntansi yang kompleks (Siew et al., 2020). Kantor akuntan

publik yang memiliki klien dengan sistem informasi akuntansi yang rumit akan

cenderung untuk menggunakan teknologi audit CAATs agar lebih memudahkan

pekerjaan mereka. Semakin kompleks sistem informasi akuntansi yang dimiliki

oleh klien akan meningkatkan keinginan auditor untuk mengadopsi dan

menggunakan software audit. Hal ini karena dengan digunakannya software audit

seperti CAATs akan menjadikan pekerjaan auditor lebih efektif dan efisien serta

adanya keselarasan sistem antara KAP dan perusahaan klien.

Auditor harus memahami sistem informasi akuntansi klien sehingga auditor

dapat menentukan prosedur audit yang tepat untuk mengurangi kompleksitas

pekerjaan dan mengoptimalkan kinerjanya. Rezaee (2001) menyatakan bahwa

untuk memastikan reliabilitas dan relevansi dokumen elektronik bisnis klien,

maka auditor harus memiliki pemahaman yang baik mengenai aliran transaksi dan

aktivitas pengendalian terkait. Harus terdapat keselarasan antara software yang

dimiliki oleh perusahaan klien dan pihak auditor sehingga baru dapat dilakukan

adaptasi software. Oleh karena itu semakin kompleks sistem informasi akuntansi

klien maka dapat didukung dengan pengadopsian dan penggunaan software audit

seperti CAATs.

36
Indikator employee information technology competency dalam penelitian ini

merujuk kepada indikator yang dicetuskan oleh Janvrin (2008) dan Ahmi Kent

(2013) dan kemudian diadaptasi oleh Siew et al., (2020). Indikator tersebut terdiri

atas:

1. Sistem akuntansi dan lingkungan bisnis yang kompleks.

2. Sistem laporan keuangan yang terkomputerisasi.

3. Adanya kesulitan dalam mengakses bukti audit secara manual.

2.4.6 Relative Advantage (Keunggulan Relatif)

Rogers (2003) mendefinisikan relative advantage sebagai sejauh mana inovasi

teknologi dianggap lebih baik daripada sistem yang sudah ada. (Rogers, 2003)

mengkategorikan inovasi menjadi dua jenis: inovasi preventif dan non-preventif.

Sebuah inovasi preventif merupakan sebuah penggunaan sistem yang baru untuk

mengurangi atau mencegah hal-hal tidak diinginkan dimasa yang akan datang

(Rogers, 2003). Biasanya keuntungan relatif diukur dalam terminologi ekonomi,

namun faktor sosial, kenyamanan, dan kepuasan sering menjadi komponen yang

tak kalah penting.

Ditinjau dari segi perusahaan audit, Siew et al., (2020) menyatakan

keuntungan relatif dari penggunaan CAATs itu dapat menjadikan tingkat

produktivitas meningkat. Semakin banyak keunggulan relatif dari sistem atau

teknologi yang dirasakan oleh perusahaan, maka akan semakin cepat tingkat

adopsi dan implementasinya (Rogers, 2003).

37
Indikator relative advantage didalam penelitian ini merujuk kepada indikator

yang diadaptasi oleh Siew et al., (2020) didalam penelitiannya. Indikator tersebut

terdiri atas:

1. Peningkatan efesiensi melalui pengurangan dokumen.

2. Mengurangi tingkat kesalahan.

3. Mengurangi biaya dalam proses audit.

4. Peningkatan produktivitas audit.

2.4.7 Compatibility (Kompatibilitas)

Kompatibilitas (compatibility) adalah sejauh mana suatu inovasi teknologi

dipersepsikan konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu, dan

kebutuhan pengguna (Rogers, 2003). Pengertian kompatibilitas dalam kamus

bahasa Indonesia berarti keadaan penyesuaian diri atau kesesuaian. Sebagai

contoh secara umum, jika suatu inovasi teknologi tidak sesuai dengan nilai dan

norma yang berlaku, maka inovasi itu tidak dapat digunakan dengan mudah

sebagaimana halnya dengan inovasi yang sesuai (compatible).

Didalam konteks audit, penggunaan software audit sangat bergantung pada

kesesuaian antara CAATs dengan tugas auditor itu sendiri. Jika terjadi

kesenjangan atau perbedaan antara teknologi audit dengan kebutuhan individu

maka dapat berdampak negatif (McKenzie, 2001; Sherry, 1997). Maksudnya

adalah jika teknologi informasi tersebut tidak kompatibel dengan kebutuhan

individu maka akan menurunkan minat seseorang untuk mengadopsi dan

menggunakannya. Sehingga maknanya adalah jika suatu teknologi audit sesuai

38
atau kompatibel dengan kebutuhan auditor maka tingkat adopsi dan penggunaan

akan meningkat.

Indikator compatibility didalam penelitian ini merujuk kepada indikator yang

diadaptasi oleh Siew et al., (2020) didalam penelitiannya. Indikator tersebut

terdiri atas:

1. Kesesuaian CAATs dalam tugas auditor.

2. Kesesuaian CAATs dengan prosedur perusahaan.

3. Kesesuaian CAATs dengan prosedur kerja perusahaan.

2.5 Penelitian Terdahulu

Literatur penelitian penggunaan CAATs sebelumnya banyak berfokus pada

persepsi individual dengan menggunakan Unified Theory of Acceptance and Use

of Technology oleh (Venkatesh et al., 2003). Penelitian tersebut juga diterapkan

untuk penggunaan CAATs dalam konteks eksternal auditor (Bierstaker et al.,

2014; Curtis & Payne, 2014; Ismail & Abidin, 2009; Janvrin et al., 2009) dan

internal auditor (Al-Hiyari et al., 2019; Mahzan & Lymer, 2008b, 2014). Sebagian

besar penelitian ini dilakukan di negara maju (Ahmi & Kent, 2012; Axelsen et al.,

2017; Bierstaker et al., 2014; Curtis & Payne, 2008, 2014). Namun, beberapa

peneliti seperti Widuri (2019) juga telah menguji penelitian ini di negara

Indonesia.

Penelitian yang dilakukan oleh (Rosli et al., 2012) menemukan bahwa

dalam mempelajari penggunaan CAATs tidak cukup memadai dari perspektif

individu atau perspektif organisasi secara terpisah. Sehingga dari beberapa

penelitian yang berdasar persepsi individual dan organisasi yang sudah ada maka

39
muncullah paradigma baru yang dicetuskan dalam penelitian Rosli et al., (2012)

yaitu I-TOE (Individual, Technology, Organization and Environment). Beberapa

rangkuman penelitian terdahulu berdasar perspektif individu dan organisasi

dijabarkan berikut.

Penelitian yang dilakukan oleh Ahmi dan Kent (2013) tentang

pemanfaatan GAS oleh KAP berukuran kecil dan menengah. Penelitian tersebut

menemukan bahwa pemanfaatan GAS sangat rendah di antara perusahaan audit di

UK. Sekitar 73 persen auditor eksternal tidak menggunakan GAS, karena manfaat

yang dirasakan terbatas dalam mengaudit klien kecil. Sementara beberapa

responden mengakui manfaat GAS, namun mereka terhambat oleh biaya

implementasi yang tinggi, proses adopsi dan kurangnya kemudahan penggunaan.

Beberapa faktor yang mempengaruhi atau tidaknya penggunaan GAS adalah

teknologi, organisasi, profesi audit, klien, faktor personal dan eksternal.

Penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Asniarti dan Iskandar Muda

(2018) meneliti pengaruh penggunaan CAATs pada review operasional audit IT

pada KAP sektor perbankan di kota Medan. Hasil dari penelitian tersebut

menunjukkan bahwa semakin baik penggunaan CAATs maka operasional review

audit teknologi informasi akan meningkat dan membaik pula.

Penelitian Bierstaker et al., (2014) bertujuan untuk memberikan

pemahaman mengenai faktor apa saja yang dapat mempengaruhi pengadopsian

CAATs oleh 181 auditor dari KAP Big 4, nasional, regional, dan lokal di U.S.

Penelitian ini menggunakan model UTAUT yang sudah dimodifikasi. Berbeda

dengan model UTAUT yang dikembangkan oleh Venkatesh et al. (2003) yang

menguji pada behavioural intention, penelitian ini langsung menguji kepada

40
actual usage. Hasilnya memperlihatkan bahwa variabel performance expectancy,

dan facilitating conditions secara langsung mempengaruhi penggunaan CAATs.

Braun dan Davis (2003) mengambil sampel sebanyak 90 legislatif auditor

dari KAP di beberapa negara bagian Amerika Serikat. Hasil dari survey auditor

pemerintah terkait persepsi mereka mengenai jenis CAAT tertentu (GAS yang

diproksikan dengan ACL) yaitu auditor memahami manfaat potensial dari ACL,

namun mereka menunjukkan kepercayaan diri yang rendah terhadap kemampuan

teknis mereka dalam menggunakan aplikasi. Selain itu, mereka juga memiliki

keinginan untuk meningkatkan keterampilan mereka melalui pelatihan ACL.

Secara keseluruhan, hasil ini memberikan bukti kepada pengambil keputusan

audit bahwa pelatihan tambahan diperlukan dan diinginkan oleh auditor.

Curtis dan Payne (2014) melakukan penelitian pada 75 finansial auditor

dari KAP Big 4. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui niat auditor dalam

menggunakan CAATs dengan model UTAUT dan bagaimana hubungan UTAUT

apabila dalam kondisi tekanan anggaran (budget pressure). Hasilnya, saat budget

pressure tinggi, niat untuk memanfaatkan CAATs didorong oleh effort

expectancy melalui performance expectancy, sedangkan ketika budget pressure

rendah keinginan adopsi dipengaruhi oleh pengaruh sosial (social influence)

melalui performance expectancy.

Penelitian yang dilakukan oleh Yenni dan Imelda (2020) bertujuan untuk

mendapatkan bukti empiris terkait fitur GAS (Generalized Audit Software) yang

memoderasi hubungan antara perceived ease of use dan penggunaan GAS pada

auditor eksternal di KAP Big 4 dan Non Big 4 tahun 2019. Sampel penelitian

diperoleh dengan menggunakan metode random purposive sampling, yaitu pada

41
12 Kantor Akuntan Publik. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah

model persamaan struktural dan data dalam penelitian ini diolah menggunakan

SmartPLS versi 3.0 untuk Windows. Hasil penelitian menunjukkan perceived

ease of use tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap penggunaan GAS,

kompleksitas fitur GAS memiliki pengaruh signifikan terhadap penggunaan GAS

sedangkan kompleksitas fitur GAS tidak memoderasi hubungan perceived ease of

use dan penggunaan GAS (GAS Use).

Berikut beberapa penelitian terdahulu yang sudah dirangkum dalam

bentuk tabel.

Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu

No Peneliti Judul Variabel Temuan


(tahun) Responden
1 Ahmi 205 V. independen Klien, relevansi
dan Kent The statutory  Teknologi pekerjaan,
(2013) utilization auditors di  Organisasi auditing, biaya dan
of seluruh UK  Profesi audit sumber daya
generalized  Klien implementasi
audit  Personal GAS, biaya dan
software  Eksternal sumber daya
(GAS) by V. dependen kontrak audit,
external Factor use and ketersediaan
auditors not use GAS teknologi,
pengalaman dan
pengetahuan
pribadi, dukungan
manajemen
meningkatkan
penggunaan GAS.
2 Al 105 internal V. independen Performance
Hiyari Factors auditor di  Performance expectancy dan
et. Al That Jordan expectancy Social influence
(2019) Influence  Effort berpengaruh secara
The Use Of expectancy
Computer positif terhadap
 Facilitating
Assisted niat auditor dalam
condition
Audit  Social menggunakan
Techniques influence CAATs, sehingga

42
(CAATS) V. moderasi mempengaruhi
By Internal  Behavioural adopsi/penggunaan
Auditors In intention to CAATs didalam
Jordan use CAATs KAP
V. Dependen
 Use
behaviour
to use
CAATs
3 Asniarti 77 auditor V. independen Penggunaan CAAT
dan The Effect dari 8 KAP  Penggunaan yang lebih baik
Iskandar of sektor CAATs dalam aktivitas
Muda Computer perbankan V. dependen audit, maka
(2018) Assisted di kota  Review operasional review
Audit Tools Medan operasional audit teknologi
on audit informasi akan
Operational teknologi meningkat dan
Review of informasi membaik.
Information
Technology
Audits
4 Bierstak What 181 auditor V. independen  Performance
er et al., factors dari KAP  Performance Expectancy (+)
(2014) influence Big 4, expectancy  Facilitating
auditors' nasional,  Effort Conditions (+)
use of regional, expectancy
computer- dan lokal di  Facilitating
assisted U.S. condition
audit  Social
techniques? influence
V. dependen
 Penggunaan
CAATs

5 Braun Computer- 90 legislatif Pengalaman dan Persepsi auditor


and assisted auditor di keterampilan rendah atas
Davis audit tools US auditor keterampilan
(2003) and menggunakan mereka dalam
techniques: ACL dan IDEA menggunakan ACL
analysis dan IDEA
and
perspectives
6 Curtis Modeling 75 finansial V. independen
and voluntary auditor dari  Performance  Saat tekanan
Payne CAAT KAP Big 4 expectancy anggaran

43
(2014) utilization  Effort tinggi, niat
decisions in expectancy untuk
auditing  Facilitating memanfaatkan
condition CAATs
 Social didorong oleh
influence effort
V. moderasi expectancy
 Budget melalui
pressure performance
V. dependen expectancy.
 Niat untuk  Saat tekanan
memakai anggaran
CAATs rendah, niat
didorong oleh
social influence
melalui
performance
expectancy.
7 Huang et Examining 117 internal V. independen
al., the auditors di  Perceived  Perceived ease
(2008) determinant Taiwan ease of use of use (-) pada
s of  Perceived niat auditor
computer- usefulness menggunakan
assisted  Faktor CAATs.
audit eksternal  Perceived ease
techniques (dukungan of use (+) pada
acceptance organisasi perceived
from dan kualitas usefulness
internal sistem)  Dukungan
auditors’ organisasi dan
viewpoints V. dependen kualitas sistem
 Niat auditor (+) perceived
menggunakn ease of use dan
CAATs perceived
usefulness

44
8 Ismail Perception 95 KAP di V. independen 2) Audit IS masih
and towards the Malaysia  Tingkat di tahap awal di
Abidin importance pengetahuan Malaysia namun
(2009) and IT dan GAS dianggap
knowledge kepentingan penting.
of IT 3) 21% dari KAP
information menggunakan
technology GAS, 16%
among menyediakan
auditors in layanan audit
Malaysia IT.
4) Tingkat
pengetahuan
audit IT lebih
rendah dari
pentingnya
teknologi.
9 Kim et. Information 185 dari  Hubungan
Al technology 1600 V. independen negatif antara
(2016) acceptance internal  Perceived fitur
in the auditor di usefulness kompleksitas
internal  Perceived dan penerimaan
audit ease of use software audit
profession:  Kurangnya
impact of V. Dependen dorongan
technology  GAS use organisasi dan
features and sosial auditor
complexity internal dalam
menggunakan
teknologi dalam
audit.
 Perceived
usefulness
berdampak
lebih besar saat
software audit
kurang
kompleks,
sedangkan
perceived ease
of use lebih
berpengaruh
pada
penerimaan saat
software audit
lebih kompleks.
10 Mahzan Examining 46 anggota V. independen  Voluntariness
dan the Chartered

45
Lymer adoption of Institute of  Performance dan experience
(2014) computer- Auditor expectancy tidak memiliki
assisted Internal di  Effort efek moderasi
audit tools Inggris. expectancy pada Social
and Lanjutan  Facilitating influence.
techniques interview condition  Experience
dgn 10  Social tidak
auditor (8 influence berpengaruh
UK, 2 V. moderator pada
Malaysia)  Voluntarines Facilitating
 Experience condition untuk
V. dependen mengadopsi
Successful GAS CAATs.
adoption  Experience
memiliki efek
moderasi pada
effort
expectancy

11 Razi dan An Analysis 55 user atau V. Independen Faktor individual


Madani of Attributes pengadopsi 5) Perceived berpengaruh
(2013) that Impact teknologi benefit dominan terhadap
Adoption of pada (individual) penggunaan GAS.
Audit industri di 6) Adoption risk Faktor organisasi
Software: Arab Saudi 7) Company berpengaruh
An readiness namun tidak
Empirical (organization signifikan. Faktor
Study in ) eksternal pressure
Saudi 8) External tidak berdampak
Arabia pressure pada keputusan
auditor internal
V. Dependen untuk mengadopsi
 Intention to teknologi tertentu.
adopt audit
software
12 (Siew et Organizatio 158 dari V. independen Faktor lingkungan
al., nal and 1367 KAP  Complexity (kompleksitas
2020) environment yang AIS client sistem informasi
al terdaftar di  Competitive akuntansi klien dan
influences Malaysian pressure dukungan dari
in the Institute of  Firm size badan professional
adoption of Accountant  Top akuntansi) dan
computer s (MIA) management faktor organisasi
assisted Member commitment (ukuran
audit tools  Employee IT perusahaan,
and competency komitmen top
techniques  Perceived manajemen dan
(CAATs) by kompetensi IT

46
audit firms level of karyawan)
in Malaysia professional berpengaruh
body support terhadap adopsi
V. Dependen CAATs
 CAATs
adoption
13 Tansil et Generalised 100 KAP di V. independen Performance
al., Audit Jakarta  Performance expectancy,
(2019) Software Indonesia expectancy effort
Use by  Effort expectancy dan
External expectancy facilitating
Auditor: An  Social conditions
Empirical influence berpengaruh
Examinatio  Facilitating pada niat auditor
n from condition menggunakan
UTAUT V. dependen GAS.
 GAS Use Social influence
tidak
berpengaruh
pada niat
menggunakan
GAS.
14 Widuri Adopting 27 eksternal V. independen Faktor yang
et. al generalized auditor di  Technology mempengaruhi
(2016) audit Indonesia  Organization penerimaan dan
software:  Environment penggunaan GAS
an V. dependen yaitu faktor
Indonesian  GAS Use lingkungan
perspective (kemampuan
teknologi,
kebutuhan, harapan
dan ukuran klien),
platform IT yang
dimiliki klien,
kesesuaian dengan
tugas, sikap auditor
terhadap GAS,
peraturan
perusahaan,
kompatibilitas
bahasa dan
dukungan institusi
profesional.
15 Faktor-faktor 100 auditor perceived ease of
Yenni & yang eksternal di Variabel use tidak memiliki
Imelda Mempengaru 12 KAP independen : pengaruh
(2020) hi Big 4 dan  Perceived signifikan terhadap
Penggunaan
Non Big 4 ease of use penggunaan GAS,

47
Generalized  Fitur GAS kompleksitas fitur
Audit GAS memiliki
Software di Variabel pengaruh
KAP dependen : signifikan terhadap
 Penggunaan penggunaan GAS
GAS sedangkan
kompleksitas fitur
GAS tidak
memoderasi
hubungan
perceived ease of
use dan
penggunaan GAS

2.6 Pengembangan Hipotesis

2.6.1 Pengaruh Performance Expectancy terhadap Penggunaan CAATs

Rosli et al., (2012) didalam penelitiannya mendefinisikan performance

expectancy sebagai sejauh mana auditor merasa bahwa dia akan mencapai

kemajuan dalam bekerja ketika menggunakan CAATs. Performance expectancy

menurut Venkatesh et al., (2003) merupakan prediktor terkuat dari niat seseorang

untuk menggunakan sebuah sistem. Auditor yang meyakini bahwa menggunakan

CAATs dapat meningkatkan produktivitas audit dan kualitas pekerjaan audit

mereka pasti memiliki niat untuk menggunakan teknologi tersebut. Seperti

penelitian yang dilakukan oleh Bedard Jackson, Ettredge, dan Johnstone (2003)

serta Loraas dan Wolfe (2006) yang menyatakan bahwa keyakinan auditor dalam

menggunakan CAATs akan meningkatkan efisiensi pelaksanaan pengujian audit

kontrol dan pengujian substantif, sehingga auditor cenderung memiliki niat yang

tinggi untuk menggunakan CAATs.

Banyak peneliti lainnya seperti Curtis dan Payne, (2014), Bierstaker,

(2013); dan Mansour (2016) juga menemukan bahwa performance expectancy

adalah prediktor signifikan didalam penggunaan CAATs oleh auditor. Ketika

48
karyawan seperti auditor mengharapkan teknologi untuk meningkatkan kinerja

pekerjaan mereka, maka kemungkinan mereka untuk menggunakan teknologi itu

lebih tinggi (Rosli et al., 2012). Menurut (Tansil et al., 2019) saat auditor

mendapatkan keuntungan dengan menggunakan software audit, auditor akan

semakin berniat untuk menggunakan software audit dalam proses audit, tetapi

ketika auditor tidak mendapatkan manfaat dari penggunaan software audit, tingkat

kesediaan untuk menggunakannya pun akan berkurang. Beberapa penelitian yang

menunjukkan adanya hubungan positif antara performance expectancy dengan

penggunaan software audit yaitu (Al-Hiyari et al., 2019; Bierstaker et al., 2014;

Mahzan & Lymer, 2014; Tansil et al., 2019).

Pada KAP besar dinyatakan bahwa implementasi perangkat lunak audit

telah mengurangi waktu dalam mempersiapkan kertas kerja. Presentasi elektronik

dari informasi akuntansi telah membantu professional audit dalam proses

pengambilan keputusan (Banker et al., 2002). Jika performance expectancy

auditor meningkat, maka niat menggunakan CAATs oleh auditor juga akan

meningkat. Dengan demikian, karena adanya dugaan keterkaitan antara

performance expectancy dengan penggunaan CAATs, maka dibangun hipotesis

berikut.

H1: Performance Expectancy berpengaruh positif terhadap penggunaan CAATs

2.6.2 Pengaruh Effort Expectancy terhadap Penggunaan CAATs

Effort expectancy mengacu pada tingkat kemudahan penggunaan suatu alat

(Venkatesh et al., 2003). Menurut Rosli (2012) effort expectancy diartikan sebagai

tingkat kemudahan yang dirasakan oleh auditor saat menggunakan CAATs.

49
Kemudahan penggunaan sistem ditemukan sebagai sebuah motivasi untuk

menggunakan teknologi audit menurut Smith et al., (2008). Kemudahan

penggunaan teknologi secara positif memengaruhi niat perilaku pengguna untuk

mengadopsi dan menggunakan sistem dan akibatnya akan mempengaruhi

penggunaan aktual sistem (Venkatesh et al., 2003).

Dalam konteks audit, (Siala Bouaziz dan Jarboui, 2019) menyatakan

bahwa ketika auditor merasakan kemudahan penggunaan dan kompleksitas

perangkat lunak audit rendah maka auditor akan berniat untuk menggunakan

perangkat lunak audit dalam proses audit akan tetapi ketika auditor merasa

kesulitan menggunakan perangkat lunak audit karena software terlalu rumit atau

sulit untuk dipahami maka auditor tidak akan mau menggunakannya.

Pada penelitian yang dilakukan (Al-Hiyari et al., 2019; Curtis & Payne,

2014; Tansil et al., 2019) ditemukan hubungan positif antara effort expectancy

terhadap penggunaan audit software. Seorang pengguna pasti memiliki niat untuk

menggunakan teknologi jika ia mempercayai bahwa teknologi akan membantunya

untuk menyelesaikan tugas tanpa kesulitan. Dalam konteks audit, Banker et al.,

(2002) menemukan bahwa laporan akuntansi yang terkomputerisasi membuat

proses penilaian auditor lebih mudah daripada laporan manual. Oleh karena itu

karena adanya dugaan keterkaitan antara effort expectancy dengan penggunaan

CAATs, maka dibangun hipotesis berikut.

H2: Effort Expectancy berpengaruh positif terhadap penggunaan CAATs.

50
2.6.3 Pengaruh Top Management Support terhadap Penggunaan CAATs

Dukungan manajemen puncak adalah persepsi individu tentang dorongan

manajemen puncak untuk menggunakan teknologi informasi (Ragu, 2004; Igbaria,

1997). Pengambilan keputusan untuk penggunaan teknologi dalam suatu

organisasi sangat bergantung pada dukungan manajemen puncak (Alhabsi, 2017;

Bradford & Florin, 2003; Curtis & Payne, 2008; Li et al., 2018; Mahzan &

Lymer, 2008b; Rosli et al., 2012). Dukungan manajemen puncak mencakup

kesediaan manajemen untuk menyediakan financial support (Bradford & Florin,

2003; Rosli et al., 2013), dan bersedia mengambil resiko atas penggunaan CAATs

(Rosli et al., 2013). Komitmen dan dukungan yang kuat dari manajemen puncak

menjadi faktor penting bagi organisasi dalam menggunakan teknologi informasi

(Son, 2012; Weill, 1992). Menurut Lee et al., (2003) dukungan manajemen adalah

derajat dukungan dari manajer untuk menjamin alokasi sumberdaya dan tindakan

untuk menciptakan lingkungan yang lebih konduktif untuk keberhasilan sistem

teknologi informasi.

Curtis dan Payne (2014) menyatakan bahwa manajemen Kantor Akuntan

Publik didorong untuk berinvestasi pada infrastruktur organisasi dan teknis

tambahan yang mendukung penggunaan CAATs, terutama bagi auditor yang

merasa kesulitan untuk mengadopsi sistem baru. Literatur manajemen

menunjukkan bahwa dukungan dari tingkat atas memainkan peran kunci dalam

keberhasilan hampir semua program dalam program organisasi (Cohen & Sayag,

2010). Dukungan manajemen puncak akan membantu memfokuskan upaya

menuju realisasi manfaat organisasi dan memberikan kredibilitas kepada manajer

fungsional yang bertanggung jawab atas penerapan dan penggunaannya (Bradford

51
& Florin, 2003). Auditor menyarankan manajemen untuk mengalokasikan sumber

daya yang dimiliki untuk membeli software audit, melakukan pengendalian

berkelanjutan dan mengadakan pelatihan untuk auditor (Li et al., 2018).

Menurut (Mahzan & Lymer, 2014) dukungan dari manajemen senior

dianggap sebagai pendorong signifikan untuk penggunaan teknologi audit sebagai

bagian dari mekanisme tata kelola dalam mengendalikan aktivitas organisasi.

Dukungan manajemen senior penting dalam menciptakan iklim yang mendukung

dan mengalokasikan sumber daya yang cukup untuk keberhasilan pemanfaatan

teknologi (Wang et al. 2010; Low et al. 2011) dan menjadi pendorong penting

dalam pengambilan keputusan tentang adopsi teknologi dalam audit organisasi

(Ahmi & Kent, 2012; Mahzan & Lymer, 2014; Rosli et al., 2013). Oleh karena itu

dapat dibangun hipotesis berikut.

H3: Top Management Support berpengaruh positif terhadap penggunaan CAATs

2.6.4 Pengaruh Employee Information Technology Competency terhadap

Penggunaan CAATs

Auditor harus menyadari bahwa penggunaan CAATs dalam keadaan

tertentu memerlukan pengetahuan komputer yang jauh lebih banyak daripada

yang dimilikinya dalam keadaan lain (Asniarti 2018). CAATs mengharuskan

auditor untuk memiliki keahlian dalam bidang IT untuk mengoperasikan sistem

dan yang paling penting dapat menginterpretasikan hasil yang diperoleh (Siew et

al., 2020). Penggunaan CAATs membutuhkan beberapa keterampilan komputer,

auditor setidaknya harus memiliki pengetahuan dasar mengenai basis data dan

manajemen data (Ahmi & Kent, 2012).

52
Penelitian sebelumnya menegaskan bahwa kecakapan TI yang tinggi di

antara auditor akan menyebabkan peningkatan penggunaan General Audit

Software (Widuri, 2016., Brazel et al., 2010, Li et al., 2007, Tansil, 2019).

(Bierstaker et al., 2014) juga menyebutkan bahwa perusahaan yang memiliki

anggota tim audit yang didedikasikan untuk IT support dapat menjadikan auditor

lebih percaya diri dalam menggunakan CAATs, yang pada akhirnya akan

meningkatkan penggunaan CAATs.

Studi yang dilakukan oleh (Mahzan & Lymer, 2014) menyelidiki kesiapan

auditor (berupa kompetensi dan pengetahuan) dalam menggunakan dan

memaksimalkan nilai dari penggunaan GAS. Dari hasil wawancara penelitian

tersebut ditemukan bahwa sebelum organisasi menggunakan GAS, sangat penting

bagi suatu organisasi untuk mengetahui bahwa terdapat seseorang yang mampu

menerapkan dan menggunakan software audit tersebut. Auditor yang memiliki

kompetensi atau skill IT akan menjadi lebih percaya diri dalam menggunakan

CAATs sehingga menjadi pemicu perusahaan dalam menggunakannya.

Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Mahzan dan Lymer (2014) skill

auditor memainkan peran penting dalam memotivasi auditor untuk menggunakan

teknologi audit. Oleh karena itu, dapat dibangun hipotesis sebagai berikut.

H4: Employee IT Competency berpengaruh positif terhadap penggunaan CAATs

2.6.5 Pengaruh Complexity Accounting Information System Client terhadap

Penggunaan CAATs

Kemajuan teknologi informasi klien (TI) dengan cepat mengubah cara

auditor mengevaluasi risiko pengendalian dan standar audit terbaru menunjukkan

53
bahwa risiko pengendalian dapat memengaruhi penggunaan prosedur audit

dengan komputer ketika memeriksa klien dengan kompleksitas IT (Janvrin et. al,

2009a). Perubahan teknologi dan organisasi juga mempengaruhi profesionalitas

kegiatan auditor, tanggung jawab dan alat yang mereka gunakan. Lingkungan TI

perusahaan yang kompleks dapat membebani auditor untuk memahami masalah

transaksi bisnis yang spesifik dan rumit (Vasarhelyi & Alles, 2008). Maka dari

itu, sistem pengambilan keputusan tradisional audit tidak lagi berlaku (Stefanou,

2006).

Widuri (2016) menyatakan semua responden pada penelitiannya sepakat

bahwa kompatibilitas dengan platform TI klien merupakan faktor penting sebelum

adopsi General Audit Software (GAS). Perusahaan dalam penelitian Widuri

(2016) menggunakan GAS jika klien mereka menggunakan TI kompleks seperti

kutipan berikut dari perusahaan Big Four yang menyatakan:

“Semua klien kami menggunakan perangkat lunak ERP yang canggih,


seperti SAP, Oracle atau Dynamic AS. Jika software audit kami tidak
cocok dengan teknologi klien kami, kami akan mengalami kesulitan
melakukan audit.”
Dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin kompleks

sebuah Sistem Informasi Akuntansi milik klien maka anak semakin meningkatkan

keinginan auditor untuk menggunakan CAATs. sejalan dengan pernyataan Janvrin

et. al (2009) yang menemukan bahwa ketika kompleksitas TI klien tinggi, auditor

eksternal cenderung menggunakan prosedur audit yang terkomputerisasi. Hasil

penelitian (Siew et al., 2020) menunjukkan bahwa kompleksitas sistem informasi

akuntansi klien berpengaruh secara positif terhadap penggunaan CAATs. Karena

adanya dugaan keterkaitan antara kompleksitas sistem informasi akuntansi klien

dengan penggunaan CAATs, maka dibangun hipotesis berikut.

54
H5: Complexity Accounting Information System Client berpengaruh positif

terhadap Penggunaan CAATs

2.7 Model Penelitian

55
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada KAP (Kantor Akuntan Publik) yang

berada di daerah Jabodetabek. Daerah tersebut dipilih berdasarkan pertimbangan

bahwa Jakarta sebagai ibu kota negara Indonesia, serta daerah lainnya (Bogor,

Depok, Tangerang dan Bekasi) yang menjadi daerah penyangga ibukota.

Pemilihan Jakarta tersebut juga berdasarkan fakta bahwa kota tersebut menjadi

pusat bisnis di Indonesia, sehingga dibutuhkan banyak Kantor Akuntan Publik

untuk mengaudit perusahaan mulai dari skala nasional hingga internasional.

Penelitian ini akan dimulai pada Januari 2021.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Sumber data penelitian ini merupakan gabungan dari sumber data primer dan

sekunder. Jenis data primer yang digunakan berasal dari jawaban responden atas

kuesioner yang dibagikan yang sebelumnya diketahui dengan penjelasan singkat

mengenai tujuan pengisian kuesioner. Sumber data primer diperoleh dari jawaban

kuesioner oleh responden. Responden tersebut merupakan auditor yang bekerja

pada Kantor Akuntan Publik yang berada di Indonesia khususnya Jabodetabek.

Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari buku, jurnal, serta

literatur lainnya.

3.3 Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel

3.3.1 Populasi

56
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: objek/subjek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2012). Populasi pada

penelitian ini adalah Kantor Akuntan Publik di Indonesia yang terdaftar pada

Buku Direktori 2020 yang diterbitkan oleh di Institut Akuntan Publik Indonesia

(IAPI). Pada buku tersebut disebutkan bahwa KAP di Indonesia berjumlah 639

KAP.

3.3.2. Teknik Pengambilan Sampel

Pemilihan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling.

Kriteria KAP yang dijadikan sampel penelitian ini yaitu KAP yang mengaudit

perusahaan go public di Indonesia pada tahun 2020 yang berada di wilayah

Jabodetabek. Wilayah Jabodetabek dipilih atas dasar pertimbangan sebagai

berikut:

1) Jakarta merupakan ibukota Indonesia dimana segala aktivitas bisnis dan

pemerintahan berpusat disana, sehingga mayoritas banyak perusahaan

klien internasional yang beroperasi dan berkantor pusat di Jakarta.

2) Banyaknya perusahaan besar yang berkantor pusat di Jakarta juga akan

diikuti dengan banyaknya KAP (Kantor Akuntan Publik). Untuk dapat

mengaudit perusahaan bertaraf internasional dengan sistem yang baik,

maka KAP juga harus memiliki sistem informasi yang kompatibel pula

yaitu dengan menggunakan software audit.

Berikut adalah daftar KAP yang telah memenuhi syarat diatas dan terdaftar

pada IAPI tahun 2020.

57
Tabel 3.1
Nama Kantor Akuntan Publik
No. Kantor Akuntan Publik Kerjasama Kantor Pusat
1 KAP Abubakar Usman & GMN International Jakarta Pusat
Rekan
2 KAP Achmad, Rasyid, Jakarta Pusat
Hisbullah & Jerry
3 KAP Achsin Handoko Moores Rowland CPAs Jakarta Selatan
Tomo
4 KAP Amachi Arifin Terdaftar di OAI Prima Jakarta Pusat
Mardani & Muliadi Net
5 KAP Antadaya, EuraAudit International Jakarta Pusat
Helmiansyah & Yassirli
6 KAP Anwar & Rekan DFK International Jakarta Selatan
7 KAP Aria Kanaka & Mazars – Societe Jakarta Selatan
Rekan Cooperative a
Responsabilite Limitee
(SCRL)
8 KAP Arief Jauhari Alliott Group Jakarta Selatan
9 KAP Djoko, Sidik & Antea, Alliance of Jakarta Pusat
Indra Independent Firms
10 KAP Doli, Bambang, BKR International Jakarta Selatan
Sulistyanto, Dadang & Ali
11 KAP Dra. Suhartati & Jakarta Timur
Rekan
12 KAP Drs. Ferdinand & - Jakarta Utara
Rekan
No. Kantor Akuntan Publik Kerjasama Kantor Pusat
13 KAP Gani Sigio & Grant Thornton Jakarta Pusat
Handayani International Ltd.
14 KAP Gideon, Adi & Midsnell Group Jakarta Selatan
Rekan (Terdaftar Di OAI International
Global Assurance
Network)
15 KAP Hendrawinata Kreston International Jakarta Pusat
Hanny Erwin & Sumargo
16 KAP Hendrik & Rekan Jakarta Selatan
17 KAP Herman, Dody, Intercontinental Jakarta Selatan
Tanumihardja & Rekan Grouping Of
Accountants and
Lawyers (IGAL)
18 KAP Hertanto, Grace The International Jakarta Pusat
Karunawan Accounting Group
(TIAG)
19 KAP Husni, Mucharam & Jakarta Selatan
Rasidi
20 KAP Imelda & Rekan Deloitte Touche Jakarta Pusat

58
Tohmatsu Limited
21 KAP Ishak, Saleh, - Jakarta Selatan
Soewondo & Rekan
22 KAP Jamaludin, Ardi, Auditrust International Jakarta Pusat
Sukimto & Rekan
23 KAP Jimmy Budhi & Geneva Group Jakarta Pusat
Rekan International
24 KAP Joachim Poltak Lian The Leading Edge Jakarta Pusat
& Rekan Alliance, Inc
25 KAP Johan Malonda Baker Tilly International Jakarta Utara
Mustika & Rekan
26 KAP Johannes Juara & INAA I.N.P.A. Jakarta Pusat
Rekan
27 KAP Junaidi, Chairul & Jakarta Selatan
Rekan
28 KAP Kosasih, Crowe Horwarth Jakarta Selatan
Nurdiyaman, Mulyadi, International
Tjahjo & Rekan
29 KAP Maksum, Suyamto - Jakarta Pusat
& Hirdjan
30 KAP Mirawati Sensi Idris Moore Stephens Jakarta Pusat
International Limited
31 KAP Morhan & Rekan Allinial Global Jakarta Selatan
32 KAP Mulyamin, Sensi, Moore Stephens Jakarta Pusat
Suryanto & Lianny International Limited
33 KAP Noor Salim, Tangerang
Nursehan & Sinarahardja
No. Kantor Akuntan Publik Kerjasama Kantor Pusat
34 KAP Osman Bing Satrio Deloitte Touche Jakarta Pusat
& Eny Tohmatsu Limited
35 KAP Paul Hadiwinata, PKF International Jakarta Pusat
Hidajat, Arsono, Retno,
Palilingan & Rekan
36 KAP Purboyo Adhi Jakarta Selatan
Purnomo
37 KAP Purwantono, Ernst & Young Global Jakarta Pusat
Sungkoro & Surja Limited
38 KAP Rama Wendra Mcmillan Woods Jakarta Selatan
International
39 KAP Rexon Nainggolan Enterprise Worldwide Jakarta Timur
& Rekan
40 KAP S. Mannan, Integra International, Inc. Jakarta Selatan
Ardiansyah & Rekan
41 KAP Siddharta Widjaja & KPMG International Jakarta Pusat
Rekan Cooperative
42 KAP Soejatna, Mulyana TPL & Associates Jakarta Barat
& Rekan

59
43 KAP Suganda Akna Suhri Tangerang
& Rekan
44 KAP Tanubrata, Sutanto, BDO International Tangerang
Fahmi, Bambang & Rekan Limited
45 KAP Tanudiredja, PWC International Jakarta Selatan
Wibisana, Rintis & Rekan Limited World
46 KAP Tasnim, Fardiman, OAI Prima Net Jakarta Selatan
Sapuan, Nuzuliana,
Ramdan & Rekan
47 KAP Teramihardja, RÖdl International Jakarta Selatan
Pradhono & Chandra GmbH
WirtschaftsprÜfungsgese
llschaft
48 KAP Warnoyo Jakarta Pusat
49 KAP Y. Santosa & Rekan Praxity AISBL Jakarta Selatan

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang digunakan adalah

metode angket (kuesioner). Kuesioner adalah teknik pengumpulan data yang

dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan tertulis kepada responden

untuk dijawabnya, dapat diberikan secara langsung atau melalui internet. Jenis

angket ada dua, yaitu tertutup dan terbuka. Kuesioner yang digunakan dalam hal

ini adalah kuesioner tertutup yakni kuesioner yang sudah disediakan jawabannya,

sehingga responden tinggal memilih dan menjawab secara langsung (Sugiyono,

2008).

Pada pengambilan data primer melalui penyebaran kuesioner, peneliti akan

menggunakan bentuk dasar scaled response questions, yaitu suatu bentuk

pertanyaan yang menggunakan skala dalam mengukur dan mengetahui sikap

responden terhadap pertanyaan-pertanyaan di kuesioner, dari sudut pandang

responden. Kuesioner penelitian akan dibagikan menggunakan Google Forms

60
kepada responden prakitsi auditor dari KAP di Jabodetabek. Dalam penelitian ini

menggunakan skala likert atas 5 tingkatan yaitu:

1. Sangat tidak setuju (skor 1)

2. Tidak setuju (skor 2)

3. Netral (skor 3)

4. Setuju (skor 4)

5. Sangat setuju (skor 5)

3.5 Operasionalisasi Variabel

3.5.1 Variabel Dependen (Y)

Variabel dependen pada penelitian ini adalah CAATs usage. Penggunaan

CAATs didefinisikan sebagai tingkat pemakaian CAATs yang digunakan ole

audito yang diukur dengan intensitas pemakaian dalam proses audit sehari-hari

(Siew et al., 2020). Pengukuran variabel ini diadopsi dari literatur sebelumnya

(Rai et al., 2009; Venkatesh dan Bala, 2012), yaitu, total skor produk dari jumlah

fungsi CAATs yang digunakan dan tingkat tugas audit yang dilakukan dengan

memanfaatkan CAATs. Setiap skor dikumpulkan untuk membentuk skor total

item tunggal untuk variabel dependen penggunaan CAATs. Persentase diukur

dengan 5 poin skala Likert dari 1-20% (jarang digunakan), 21–40%, 41–60%, 61–

80%, 81–100% (sering digunakan).

Tabel 3.2
Operasionalisasi dan Indikator Variabel Dependen
Variabel Deskripsi Indikator Jenis Butir

pengukuran pertanyaan
 Generalized
audit software
Penggunaan Tingkat (GAS) Interval 5

61
CAATs penggunaan  Integrated test
fitur-fitur facility (ITF)
CAATs oleh  Test data
perusahaan  Parallel
audit simulation
software
 Embedded
audit modules

3.5.2 Variabel Independen (X)

a. Performance Expectancy

Performance expectancy memiliki definisi sebagai sebuah tingkat mengenai

sejauh mana seseorang memiliki keyakinan bahwa menggunakan sistem akan

membantunya dalam mencapai keuntungan kinerja di dalam pekerjaannya

(Venkatesh, 2003).

Indikator performance expectancy pada penelitian ini mengacu pada penelitian

Bierstaker et al., (2014) yang terdiri dari 4 pertanyaan, setiap pertanyaan tersebut

memiliki 5 (lima) alternatif jawaban dan masing-masing jawaban diberi skor

sesuai skala Likert yaitu SS= Sangat Setuju (skor 5), S= Setuju (skor 4), N=

Netral (skor 3), TS= Tidak Setuju (skor 2), dan STS= Sangat Tidak Setuju (skor

1).

d. Effort Expectancy

Effort expectancy memiliki definisi sebagai sebuah tingkat untuk mengukur

semudah apa suatu sistem dapat digunakan (Venkatesh, 2003).

Indikator effort expectancy pada penelitian ini mengacu pada penelitian

Bierstaker et al., (2014) yang terdiri dari 4 pertanyaan, setiap pertanyaan tersebut

memiliki 5 (lima) alternatif jawaban dan masing-masing jawaban diberi skor

sesuai skala Likert yaitu SS= Sangat Setuju (skor 5), S= Setuju (skor 4), N=

62
Netral (skor 3), TS= Tidak Setuju (skor 2), dan STS= Sangat Tidak Setuju (skor

1).

e. Top Management Support

Dukungan manajemen puncak didefinisikan sebagai tingkat dukungan yang

diberikan oleh manajemen puncak perusahaan audit terhadap penggunaan CAATs

(Siew et al., 2020).

Indikator top management support pada penelitian ini mengacu pada

penelitian yang terdiri dari 3 pertanyaan, setiap pertanyaan tersebut memiliki 5

(lima) alternatif jawaban dan masing-masing jawaban diberi skor sesuai skala

Likert yaitu SS= Sangat Setuju (skor 5), S= Setuju (skor 4), N= Netral (skor 3),

TS= Tidak Setuju (skor 2), dan STS= Sangat Tidak Setuju (skor 1).

f. Employee Information Technology Competency

Kompetensi TI karyawan mengacu pada tingkat kompetensi dan kemampuan

TI yang dimiliki oleh karyawan perusahaan audit (Rosli et al., 2013).

Indikator employee IT competency pada penelitian ini mengacu pada

penelitian Siew et al., (2020) yang terdiri dari 5 pertanyaan, setiap pertanyaan

tersebut memiliki 5 (lima) alternatif jawaban dan masing-masing jawaban diberi

skor sesuai skala Likert yaitu SS= Sangat Setuju (skor 5), S= Setuju (skor 4), N=

Netral (skor 3), TS= Tidak Setuju (skor 2), dan STS= Sangat Tidak Setuju (skor

1).

63
g. Complexity Accounting Information System Client

Kompleksitas Sistem Informasi Akuntansi Klien (Complexity AIS Clients)

adalah sejauh mana perusahaan audit milik klien memiliki sistem akuntansi yang

kompleks (Siew et al., 2020).

Indikator Complexity AIS Clients pada penelitian ini mengacu pada penelitian

Rosli (2020) yang terdiri dari 4 pertanyaan, setiap pertanyaan tersebut memiliki 5

(lima) alternatif jawaban dan masing-masing jawaban diberi skor sesuai skala

Likert yaitu SS= Sangat Setuju (skor 5), S= Setuju (skor 4), N= Netral (skor 3),

TS= Tidak Setuju (skor 2), dan STS= Sangat Tidak Setuju (skor 1).

Tabel 3.3

Operasionalisasi dan Indikator Variabel Independen

Variabel Deskripsi Indikator Jenis Butir

pengukuran pertanyaan
 Berguna
Performance Perspektif dalam Ordinal 4
Expectancy individu pekerjaan
dalam  Penyelesaian
penggunaan tugas
CAATs  Peningkatan
produktivitas
 Kenaikan gaji
 Kejelasan
Effort Perspektif interaksi Ordinal 4
Expectancy individu  Kemudahan
dalam penggunaan
penggunaan  Kemudahan
CAATs terampil
 Kemudahan
belajar
 Strategi
Top Perspektif perusahaan Ordinal 3
Management organisasi  Sumber daya
Support dalam keuangan
penggunaan  Dukungan
CAATs penggunaan

64
 Skill IT
Employee IT Perspektif  Pemahaman Ordinal 5
Competency organisasi  Pengetahuan
dalam pengoperasian
penggunaan  Pengalaman
CAATs  Ahli CAATs
 Sistem
Complexity Perspektif akuntansi Ordinal 4
AIS Client lingkungan  Lingkungan
dalam bisnis
penggunaan  Sistem LK
CAATs  Bukti audit

3.5.3 Variabel Kontrol

a. Relative Advantage

Rogers (2003) mendefinisikan relative advantage sebagai sejauh mana

inovasi teknologi dianggap lebih baik daripada sistem yang sudah ada.

Indikator relative advantage pada penelitian ini mengacu pada penelitian Siew

et al., (2020) yang terdiri dari 4 pertanyaan, setiap pertanyaan tersebut memiliki 5

(lima) alternatif jawaban dan masing-masing jawaban diberi skor sesuai skala

Likert yaitu SS= Sangat Setuju (skor 5), S= Setuju (skor 4), N= Netral (skor 3),

TS= Tidak Setuju (skor 2), dan STS= Sangat Tidak Setuju (skor 1).

b. Compatibility

Rogers (2003) mendefinisikan compatibility adalah sejauh mana suatu

inovasi teknologi dipersepsikan konsisten dengan nilai-nilai yang ada,

pengalaman masa lalu, dan kebutuhan pengguna (Rogers, 2003).

Indikator compatibility pada penelitian ini mengacu pada penelitian Siew et

al., (2020) yang terdiri dari 3 pertanyaan, setiap pertanyaan tersebut memiliki 5

(lima) alternatif jawaban dan masing-masing jawaban diberi skor sesuai skala

65
Likert yaitu SS= Sangat Setuju (skor 5), S= Setuju (skor 4), N= Netral (skor 3),

TS= Tidak Setuju (skor 2), dan STS= Sangat Tidak Setuju (skor 1).

Tabel 3.4

Operasionalisasi dan Indikator Variabel Kontrol

Variabel Deskripsi Indikator Jenis Butir

pengukuran pertanya-

an
Relative Perspektif  Pengurangan Ordinal 4
Advantage teknologi dokumen
dalam  Tingkat
penggunaan kesalahan
CAATs  Biaya audit
 Produktivitas
audit
Compatibility Perspektif  Kesesuaian Ordinal 3
teknologi tugas
dalam  Prosedur
penggunaan kerja
CAATs  Prosedur
perusahaan

3.6 Teknik Analisis Data

Analisis data adalah cara yang digunakan dalam mengolah data yang

diperoleh sehingga dihasilkan suatu hasil analisis (Suryabrata, 2000). Hal ini

disebabkan data yang diperoleh dari penelitian tidak dapat digunakan secara

langsung tetapi perlu diolah agar data tersebut dapat memberikan keterangan yang

dapat dipahami, jelas, dan teliti. Kegiatan pengolahan data dilakukan didalam

tabulasi yang memberikan dan menjumlahkan bobot jawaban pada masing-masing

indikator untuk masing-masing variabel. Teknik analisis data penelitian ini

dilakukan dengan pendekatan SEM (Structured Equation Modelling) berbasis

PLS (Partial Least Square) menggunakan software SmartPLS 3. PLS adalah

66
model persamaan struktural yang berbasis komponen atau varian. Menurut

Sugiyono (2015), SEM dapat dideskripsikan sebagai suatu analisis yang

menggabungkan pendekatan analisis faktor (factor analysis), model struktural

(structural model), dan analisis jalur (path analysis).

Partial Least Square (PLS) merupakan sebuah metode untuk mengkonstruksi

model-model yang dapat diramalkan ketika faktor-faktor terlalu banyak. PLS

dikembangkan pertama kali oleh Wold (1985) sebagai metode umum untuk

mnegestimasi path model yang menggunakan konstruk laten dengan multiple

indikator. Pendekatan PLS adalah distribution fee (tidak mengasumsikan data

berdistribusi tertentu, dapat berupa nominal, kategori, ordinal, interval dan rasio).

Tahapan analisis PLS disajikan dalam bentuk gambar di bawah ini :

Gambar 3.1
Tahapan Analisis Menggunakan PLS

Merancang Model Merancang Model Mengkonstruksi Diagram Konversi Diagram Jalur ke


Struktural (inner model) Pengukuran (outer model) Jalur Sistem Persamaaan

Estimasi : Koefisien Jalur,


Loading dan Weight

Pengujian Hipotesis (Resampling


Evaluasi Goodness of Fit
Bootstraping)

a. Merancang inner model

67
Merancang model struktural (inner model) yaitu merancang hubungan

antar variabel laten pada PLS dengan didasarkan pada rumusan masalah atau

hipotesis penelitian.

Dalam pengevaluasian inner model dengan PLS (Partial Least Square)

dimulai dengan cara melihat R-square untuk setiap variabel laten dependen.

Kemudian dalam penginterpretasiannya sama dengan interpretasi pada regresi.

Perubahan nilai pada R-square dapat digunakan untuk menilai pengaruh variabel

laten independen tertentu terhadap variabel laten dependen apakah memiliki

pengaruh yang substantif. Selain melihat nilai R-square, pada model PLS (Partial

Least Square) juga dievaluasi dengan melihat nilai Q-square prediktif relevansi

untuk model konstruktif. Q-square mengukur seberapa baik nilai observasi

dihasilkan oleh model dan estimasi parameternya. Nilai Q-square lebih besar dari

0 (nol) menunjukkan bahwa model mempunyai nilai predictive relevance,

sedangkan apabila nilai Q-square kurang dari 0 (nol), maka menunjukkan bahwa

model kurang memiliki predictive relevance.

b. Merancang outer model

Merancang model pengukuran (outer model) yaitu merancang hubungan

variabel laten dengan indikatornya.

Analisa outer model dapat dilihat dari beberapa indikator:

a. Convergent Validity adalah indikator yang dinilai berdasarkan korelasi

antara item score/component score dengan construct score, yang dapat

dilihat dari standardized loading factor yang mana menggambarkan

besarnya korelasi antar setiap item pengukuran (indikator) dengan

konstraknya. Ukuran refleksif individual dikatakan tinggi jika

68
berkorelasi > 0.7 dengan konstruk yang ingin diukur, sedangkan

menurut Chin yang dikutip oleh Imam Ghozali, nilai outer loading

antara 0,5 – 0,6 sudah dianggap cukup.

b. Discriminant Validity merupakan model pengukuran dengan refleksif

indicator dinilai berdasarkan crossloading pengukuran dengan

konstruk. Jika korelasi konstruk dengan item pengukuran lebih besar

daripada ukuran konstruk lainnya, maka menunjukan ukuran blok

mereka lebih baik dibandingkan dengan blok lainnya. Sedangkan

menurut metode lain untuk menilai discriminant validity yaitu dengan

membandingkan nilai squareroot of average variance extracted (AVE).

c. Composite reliability merupakan indikator untuk mengukur suatu

konstruk yang dapat dilihat pada view latent variable coefficients.

Untuk mengevaluasi composite reliability terdapat dua alat ukur yaitu

internal consistency dan cronbach’s alpha. Dalam pengukuran tersebut

apabila nilai yang dicapai adalah > 0,70 maka dapat dikatakan bahwa

konstruk tersebut memiliki reliabilitas yang tinggi.

d. Cronbach’s Alpha merupakan uji reliabilitas yang dilakukan

memperkuat hasil dari composite reliability. Suatu variabel dapat

dinyatakan reliabel apabila memiliki nilai cronbach’s alpha > 0,7

(Eisingerich & Gaia, 2010).

c. Konstruksi diagram jalur

Mengkonstruksi diagram jalur yang didapat dari perancangan inner model

dan outer model.

DAFTAR PUSTAKA

69
Agoes, Sukrisno. 2016. Auditing. Petunjuk Praktis Pemeriksaan Akuntan Oleh

Akuntan Publik. Jakarta: Salemba Empat

Ahmi, A., & Kent, S. (2012). The utilisation of generalized audit software (GAS)

by external auditors. Managerial Auditing Journal, 28(2), 88–113.

https://doi.org/10.1108/02686901311284522

Ahmi, A., Saidin, S. Z., Abdullah, A., Che Ahmad, A., & Ismail, N. A. (2016).

State of IT Adoption by Internal Audit Department in Malaysian Public

Sector. International Journal of Economics and Financial Issues, 6, 103–

108.

Al-Hiyari, A., Al Said, N., & Hattab, E. (2019). Factors that influence the use of

computer assisted audit techniques (Caats) by internal auditors in Jordan.

Academy of Accounting and Financial Studies Journal, 23(3), 1–15.

Alhabsi, A. (2017). Developing and Assessing the Drivers of Usage of Computer-

Assisted-Audit-Techniques (CAATs) and the factors that impact Audit

Quality perceptions in Government …. Doctoral Thesis, DIT.

https://doi.org/doi.org/10.21427/n85q-4j66

Awa, H. O., Ukoha, O., & Emecheta, B. C. (2016). Using T-O-E theoretical

framework to study the adoption of ERP solution. Cogent Business and

Management, 3(1). https://doi.org/10.1080/23311975.2016.1196571

Axelsen, M., Green, P., & Ridley, G. (2017). Explaining the information systems

auditor role in the public sector financial audit. International Journal of

Accounting Information Systems, 24, 15–31.

https://doi.org/10.1016/j.accinf.2016.12.003

Bierstaker, J., Janvrin, D., & Lowe, D. J. (2014). What factors influence auditors’

70
use of computer-assisted audit techniques? Advances in Accounting, 30(1),

67–74. https://doi.org/10.1016/j.adiac.2013.12.005

Bradford, M., & Florin, J. (2003). Examining the role of innovation diffusion

factors on the implementation success of enterprise resource planning

systems. International Journal of Accounting Information Systems, 4(3),

205–225. https://doi.org/10.1016/S1467-0895(03)00026-5

Braun, R. L., & Davis, H. E. (2003). Computer-assisted audit tools and

techniques: Analysis and perspectives. Managerial Auditing Journal, 18(9),

725–731. https://doi.org/10.1108/02686900310500488

Cohen, A., & Sayag, G. (2010). The Effectiveness of Internal Auditing: An

Empirical Examination of its Determinants in Israeli Organisations.

Australian Accounting Review, 20(3), 296–307.

https://doi.org/10.1111/j.1835-2561.2010.00092.x

Curtis, M. B., & Payne, E. A. (2008). An examination of contextual factors and

individual characteristics affecting technology implementation decisions in

auditing. International Journal of Accounting Information Systems, 9(2),

104–121. https://doi.org/10.1016/j.accinf.2007.10.002

Curtis, M. B., & Payne, E. A. (2014). Modeling voluntary CAAT utilization

decisions in auditing. Managerial Auditing Journal, 29(4), 304–326.

https://doi.org/10.1108/MAJ-07-2013-0903

Debreceny, R., Lee, S. L., Neo, W., & Shuling Toh, J. (2005). Employing

generalized audit software in the financial services sector: Challenges and

opportunities. Managerial Auditing Journal, 20(6), 605–618.

https://doi.org/10.1108/02686900510606092

71
Fitrios, R. (2015). Factors That Influence Accounting Information System

Implementation And Accounting Information Quality. International Journal

of Scientific & Technology Research, 4(8), 192–198.

Han, S., Rezaee, Z., Xue, L., & Zhang, J. H. (2016). The Association between

Information Technology Investments and Audit Risk. Journal of Information

Systems, 30(1), 93–116. https://doi.org/https://doi.org/10.2308/isys-51317

Héroux, S., & Fortin, A. (2013). Exploring information technology governance

and control of web site content: A comparative case study. In Journal of

Management and Governance (Vol. 17, Issue 3).

https://doi.org/10.1007/s10997-011-9200-7

Ismail, N. A., & Abidin, A. Z. (2009). Perception towards the importance and

knowledge of information technology among auditors in Malaysia. Journal

of Accounting and Taxation, 1(4), 61–69.

Januraga, I., & Budiartha, I. (2015). Pengaruh Teknik Audit Berbantuan

Komputer, Kompetensi Auditor, Dan Kecerdasan Spiritual Pada Kualitas

Audit Bpk Bali. E-Jurnal Akuntansi,

3(3), 1137–1163.

Janvrin, D., Bierstaker, J., & Jordan Lowe, D. (2009). An investigation of factors

influencing the use of computer-related audit procedures. Journal of

Information Systems, 23(1), 000–000.

https://doi.org/10.2308/jis.2009.23.1.97

Li, H., Dai, J., Gershberg, T., & Vasarhelyi, M. A. (2018). Understanding usage

and value of audit analytics for internal auditors: An organizational

approach. International Journal of Accounting Information Systems,

72
28(December 2017), 59–76. https://doi.org/10.1016/j.accinf.2017.12.005

Mahzan, N., & Lymer, A. (2008a). Adoption of Computer Assisted Audit Tools

and Techniques ( CAATTs ) by Internal Auditors : Current issues in the UK

Adoption of Computer Assisted Audit Tools and Techniques ( CAATTs ) by

Internal Auditors. Innovation, April 2008, 1–46.

Mahzan, N., & Lymer, A. (2008b). Adoption of Computer Assisted Audit Tools

and Techniques ( CAATTs ) by Internal Auditors : Current issues in the UK

Adoption of Computer Assisted Audit Tools and Techniques ( CAATTs ) by

Internal Auditors. BAA Annual Conference, Blackpool, April 2008, 1–46.

Mahzan, N., & Lymer, A. (2014). Examining the adoption of computer-assisted

audit tools and techniques: Cases of generalized audit software use by

internal auditors. Managerial Auditing Journal, 29(4), 327–349.

https://doi.org/10.1108/MAJ-05-2013-0877

Racherla, P., & Hu, C. (2008). eCRM system adoption by hospitality

organizations: A technology-organization-environment (toe) framework.

Journal of Hospitality and Leisure Marketing, 17(1–2), 30–58.

https://doi.org/10.1080/10507050801978372

Razi, M. A., & Madani, H. H. (2013). An analysis of attributes that impact

adoption of audit software. International Journal of Accounting &

Information Management, 21(2), 170–188.

https://doi.org/10.1108/18347641311312320

Rogers, E. M. . (2003). How does new innovation spread out ? Diffusion of

Innovation , 5 Th Ed ., 5th edition, 189–191.

Romney, Marshall B., dan Paul John Steinbart. 2015. Accounting Information

73
Systems, 13th ed. England: Pearson Educational Limited.

Rosli, K., Yeow, P. H. P., & Eu-Gene, S. (2013). Adoption of audit technology in

audit firms. Proceedings of the 24th Australasian Conference on Information

Systems, December, 1–12.

Rosli, K., Yeow, P., & Siew, E.-G. (2012). Factors Influencing Audit Technology

Acceptance by Audit Firms: A New I-TOE Adoption Framework. Journal of

Accounting and Auditing: Research & Practice, 2012(September), 1–11.

https://doi.org/10.5171/2012.876814

Salijeni, G., Samsonova-Taddei, A., & Turley, S. (2019). Big Data and changes in

audit technology: contemplating a research agenda. Accounting and Business

Research, 49(1), 95–119. https://doi.org/10.1080/00014788.2018.1459458

Siew, E. G., Rosli, K., & Yeow, P. H. P. (2020). Organizational and

environmental influences in the adoption of computer-assisted audit tools

and techniques (CAATTs) by audit firms in Malaysia. International Journal

of Accounting Information Systems, xxxx, 100445.

https://doi.org/10.1016/j.accinf.2019.100445

Singleton, T., & Flesher, D. L. (2003). A 25-year retrospective on the IIA’s SAC

projects. Managerial Auditing Journal, 18(1), 39–53.

https://doi.org/10.1108/02686900310454237

Stefanou, C. J. (2006). The complexity and the research area of AIS. Journal of

Enterprise Information Management, 19(1), 9–12.

https://doi.org/10.1108/17410390610636841

Tansil, A. Y. M., Widuri, R., Gui, A., & Ali, M. M. (2019). Generalised Audit

Software use by external auditor: An empirical examination from UTAUT.

74
International Journal of Innovation, Creativity and Change, 5(2), 887–908.

Vasarhelyi, & Alles. (2008). Reengineering Business Reporting Creating a Test

Bed for Technology Driven Reporting. The International Journal of Digital

Accounting Research, January. https://doi.org/10.4192/1577-8517-v8_5

Veerankutty, F., Ramayah, T., & Ali, N. A. (2018). Information Technology

Governance on Audit Technology Performance among Malaysian Public.

MDPI Social Science, 7. https://doi.org/10.3390/socsci7080124

Venkatesh, V., Morris, M. G., Davis, G. B., & Davis, F. D. (2003). USER

ACCEPTANCE OF INFORMATION TECHNOLOGY: TOWARD A

UNIFIED VIEW. MIS Quarterly, 27(3), 425–478.

https://doi.org/10.1006/mvre.1994.1019

Wicaksono, A., & Lusianah, L. (2016). Impact Analysis of Generalized Audit

Software (GAS) Utilization to Auditor Performances. Binus Business

Review, 7(2), 131–136. https://doi.org/10.21512/bbr.v7i2.1582

Widuri, R., O’Connell, B., & Yapa, P. W. S. (2016). Adopting generalized audit

software: an Indonesian perspective. Managerial Auditing Journal, 31(8/9),

821–847.

Zhu, K., & Kraemer, K. L. (2005). Post-adoption variations in usage and value of

e-business by organizations: Cross-country evidence from the retail industry.

Information Systems Research, 16(1), 61–84.

https://doi.org/10.1287/isre.1050.0045

LAMPIRAN 1

75
Kuesioner Penelitian

KUESIONER

KATA PENGANTAR
Dengan hormat,
Dalam rangka melengkapi data yang diperlukan untuk penyusunan artikel
penelitian, bersama ini peneliti (Okki Fitrian) menyampaikan kuesioner penelitian
dengan judul “ANALISA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PENGGUNAAN COMPUTER ASSISTED AUDIT TECHNIQUES (CAATs)
DENGAN KERANGKA I-TOE””. Adapun hasil dari kuesioner ini akan
digunakan untuk tesis pada Universitas Riau.
Peneliti memahami waktu Bapak/Ibu sangatlah terbatas dan berharga,
namun peneliti berharap kesediaan Bapak/Ibu untuk mengisi kuesioner ini.
Jawaban yang Bapak/Ibu berikan tidak akan mempengaruhi penilaian terhadap
kinerja Bapak/Ibu selama ini.
Atas perhatian dan kerjasama dari Bapak/Ibu, saya mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya.
Hormat saya,
Penulis,

(Okki Fitrian)

KUESIONER PENELITIAN

76
DATA RESPONDEN
1. Nama Instansi : …………………………… (boleh tidak diisi)
2. Nama Responden : …………………………… (boleh tidak diisi)
3. Tanggal Pengisian : ……………………………
4. Jenis kelamin : Laki-laki Perempuan
5. Umur Responden : < 25 Tahun 25 –
35 Tahun
36 – 45 Tahun 46 – 55 Tahun
55 Tahun

6. Pendidikan Terakhir : D3 S2

S1 Lainnya…

7. Jabatan Saat Ini : Junior Auditor Manager

Senior Auditor Partner

Supervisior / Associate Manager

8. Masa Kerja : Tahun 1 – 5 Tahun

5 – 10 Tahun 10 Tahun

9. Sertifikat Profesi : CPA CISA


CIA CMA
Lainnya

PETUNJUK PENGISIAN KUISIONER


1. Bacalah setiap pertanyaan dibawah ini dengan teliti.
2. Berilah tanda silang (X) pada kolom pilihan yang sesuai menurut Bapak/Ibu.
3. Jawaban atas setiap pertanyaan dipilih satu (1) dari lima (5) alternatif pilihan
yang paling sesuai dengan keadaan sebenarnya. Setiap pilihan diberi kode
sebagai berikut :
Pilihan (1) = Sangat Setuju
Pilihan (2) = Setuju
Pilihan (3) = Netral

77
Pilihan (4) = Tidak Setuju
Pilihan (5) = Sangat Tidak Setuju
4. Selain pertanyaan-pertanyaan berikut, dimohon kepada Bapak/Ibu untuk
mengisi pertanyaan mengenai fungsi aplikasi CAATs yang memiliki tujuh (7)
alternative jawaban sesuai yang tertera beserta penjelasan dari setiap fiturnya.
Terima kasih atas kesediaan Bapak/Ibu untuk mengisi instrument ini.

Aplikasi CAATs
Fungsi Aplikasi CAATs Definisi
Metode ini menggunakan data masukan yang telah
dipersiapkan auditor dan menguji data tersebut
Test Data dengan salinan (copy) dari perangkat lunak
aplikasi auditee. Hasil pemrosesan data tersebut
akan dibandingkan dengan ekspektasi auditor.
ITF digunakan untuk menguji sistem aplikasi
dengan data tes pada saat komputer dioperasikan
dalam kegiatan rutin pada perusahaan auditee.
Integrated Test Facility Pada ITF pemeriksaan atau tes sistem
komputerisasi dilaksanakan secara kontinyu dan
(ITF) simultan antara pelaksanaan tes dan real
processing run. Dalam ITF Auditor harus
membuat dummy data dan diproses bersamaan
dengan real data yang saat itu sedang diolah.
Dalam teknik ini pelaksanaan pemeriksaan
dilakukan terhadap data sesungguhnya (data
auditee yang di-copy) dan diproses dengan
software atau komputer auditor. Laporan yang
dihasilkan dari simulasi dibandingkan oleh auditor
Parallel Simulation
dengan laporan yang dihasilkan oleh pemrosesan
Software
rutin perusahaan Jika terjadi perbedaan, asumsinya
perbedaan tersebut menunjukan bahwa software
perusahaan tidak memproses data sesuai dengan
spesifikasi yang ada (atau program auditor yang
salah).
Teknik audit dengan menggunakan modul
terprogram yang disisipkan atau “dilekatkan” ke
dalam program aplikasi, dengan tujuan untuk
memantau dan menghimpun data. Transaksi yang
Embedded Audit Modules diidentifikasi dalam cara ini dapat ditinjau oleh
auditor di real-time. Teknik ini sangat efektif
dalam mengidentifikasi transaksi besar untuk
pengujian substantif atau untuk menguji kontrol
dengan mengidentifikasi transaksi diproses dengan

78
cara yang tidak sesuai dengan kebijakan dan
prosedur.
Pendekatan yang menggunakan suatu perangkat
lunak tertentu yang dimanfaatkan untuk
menyeleksi, mengakses, mengorganisasikan data
untuk kepentingan pengujian substantif.
Pendekatan ini memungkinkan auditor untuk
General Audit Software mengakses dan mengambil berbagai file data ke
(GAS) dalam komputer untuk kemudian melakukan
berbagai pengujian yang diperlukan. Pendekatan
ini merupakan teknik yang paling populer karena
relatif lebih mudah karena tidak diperlukan
kemampuan teknik komputasi yang cukup
mendalam.

Pertanyaan :
Frekuensi penggunaan aplikasi CAATs dalam melakukan pekerjaan saya sehari-
hari :

1-
No Fungsi CAATs 20% 21 - 40% 41 - 60% 61 - 80% 81 - 100%
1 2 3 4 5
1 Test Data          
Integrated Test
2          
Facility (ITF)
Parallel Simulation
3          
Software
Embedded Audit
4          
Modules
General Audit
5          
Software (GAS)

DAFTAR PERNYATAAN UNTUK VARIABEL INDEPENDEN

No Pernyataan STS TS N S SS
1 Mayoritas klien kami memiliki sistem
akuntansi yang kompleks

2 Mayoritas klien kami memiliki sistem


pelaporan keuangan yang sangat

79
terkomputerisasi

3 Mayoritas klien kami memiliki lingkungan


bisnis yang kompleks

4 Sulit untuk mengakses bukti audit dari data


klien secara manual

5 Top manajemen mengaitkan CAATs dengan


strategi kompetitif perusahaan
6 Top manajemen menyediakan sumber daya
keuangan yang memadai untuk implementasi
CAATs
7 Top manajemen memberikan dukungan kuat
untuk penggunaan CAATs dalam operasi
perusahaan
8 Karyawan kami kompeten di bidang IT

9 Pemahaman karyawan kami tentang CAATs


sangat baik

10 Perusahaan kami memiliki setidaknya satu


karyawan yang merupakan ahli CAATs
11 Karyawan kami tahu cara mengoperasikan
CAATs
12 Karyawan kami memiliki pengalaman dengan
CAATs
13 CAATs akan meningkatkan efisiensi audit
melalui pengurangan dokumen

14 CAATs akan meningkatkan produktivitas


perusahaan audit

15 CAATs akan mengurangi tingkat kesalahan


dalam proses audit
16 CAATs akan membantu mengurangi biaya
dalam operasi audit
17 CAATs kompatibel dengan prosedur kerja
perusahaan kami

18 CAATs cocok dengan tugas-tugas auditor


dalam melakukan audit
19 CAATs kompatibel dengan prosedur
perusahaan kami
20 Saya melihat CAATs berguna dalam
pekerjaan saya

80
21 Menggunakan CAATs memungkinkan saya
menyelesaikan tugas lebih cepat

22 Menggunakan CAATs meningkatkan


produktivitas saya
23 Jika saya menggunakan CAATs, saya akan
meningkatkan peluang mendapatkan kenaikan
gaji
24 Interaksi saya dengan CAATs jelas dan dapat
dimengerti

25 Mudah bagi saya untuk menjadi terampil


dalam menggunakan CAATs
26 Saya menemukan CAATs mudah digunakan
27 Belajar mengoperasikan CAATs mudah bagi
saya

81

Anda mungkin juga menyukai