Anda di halaman 1dari 63

SKRIPSI

ANALISIS FAKTOR EKSTERNAL YANG BERHUBUNGAN


DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA ANAK BALITA

LITERATURE REVIEW

Oleh:
HILMY GHOZI ALSYAFRUD
131611133108

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021
SKRIPSI

ANALISIS FAKTOR EKSTERNAL YANG BERHUBUNGAN


DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA ANAK BALITA

Oleh:
Hilmy Ghozi Alsyafrud
131611133108

PROPOSAL INI TELAH DISETUJUI


TANGGAL, 17 November 2020

Oleh

Pembimbing Ketua

Dr. Andri Setiya Wahyudi, S.Kep., Ns., M.Kep


NIP. 198206192015041001

Pembimbing

Ilya Krisnana, S.Kep.Ns.,M.Kep


NIP. 198109282012122002

Mengetahui
a.n Dekan Fakultas Keperawatan
Universitas Airlangga
Wakil Dekan I

Dr. Ika Yuni Widyawati, S.Kep.,Ns.,M.Kep.,Ns.Sp.Kep.MB


NIP. 197806052008122001

2
ABSTRAK

ANALISIS FAKTOR EKSTERNAL YANG BERHUBUNGAN


DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA ANAK BALITA
LITERATURE REVIEW
Oleh :
Hilmy Ghozy A
Pendahuluan : Stunting menjadi ancaman terbesar bagi kualitas hidup manusia
dimasa mendatang karena dapat menghambat pertumbuhan fisik, kognitif anak,
penurunan kualitas belajar hingga penurunan produktivitas di usia dewasa serta
ancaman peningkatan penyakit tidak menular Faktor pencetus stunting terdiri dari
faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal meliputi faktor dari lingkungan,
pelayanan kesehatan, pola asuh ibu serta demografi, Sedangkan faktor internal
meliputi penyakit bawaan anak dan genetic. Namun yang dapat dihindari atau
diperbaiki oleh orang tua dalam pencegahan stunting yaitu faktor eksternal.
Tujuan Penelitian ini yaitu menjelaskan faktor eksternal yang mempengaruhi
kejadian stunting pada anak usia 6-59 bulan. Metode: Pencarian artikel
menggunakan tiga database yang terindeks Scopus, ProQuest, dan PubMed
menggunakan kata kunci yang adekuat. Framework yang digunakan untuk
mereview adalah PICOS dengan kriteria inklusi yakni jurnal berbahasa inggris
dan rentang publikasi antara 2015-2020. Seluruh artikel yang ditemukan akan
diseleksi berdasarkan judul, abstrak dan teks lengkap untuk menentukan
kelayakan artikel dan hasilnya didapatkan 13 artikel yang direview. Hasil: Hasil
review dari 13 artikel menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara faktor
demografi (jenis kelamin, usia ibu, pekerjaan, pendapatan, pendidikan), faktor
lingkungan, faktor pola asuh (pemberian makan, ASI eksklusif dan MP-ASI),
serta faktor pelayanan kesehatan dengan kejadian stunting. Kesimpulan: Upaya
pencegahan stunting yang dapat dilakukan yaitu sosialisasi mengenai
penimbangan dan pengukuran rutin balita dan pola MPASI dan ASI Eksklusif.
Pemberian bantuan protein hewani untuk keluarga dengan balita. Pelatihan dokter,
perawat, bidan, ahli gizi dan kader untuk mendeteksi stunting dengan
intervensinya. Serta penyediaan PKMK untuk kondisi yang menyebabkan
stunting.

Kata Kunci : Stunting, Faktor eksternal

3
ABSTRACT
ANALYSIS OF EXTERNAL FACTORS RELATED TO STUNTING
EVENTS IN CHILDREN
By:
Hilmy Ghozy A
Introduction: Stunting is the biggest threat to the quality of human life in the
future because it can inhibit children's physical and cognitive growth, decrease the
quality of learning to decrease productivity in adulthood and the threat of
increasing non-communicable diseases. The triggering factors for stunting consist
of external and internal factors. External factors include factors from the
environment, health services, maternal parenting and demographics, while internal
factors include congenital and genetic diseases. However, what parents can avoid
or improve in preventing stunting is external factors. The purpose of this study is
to explain the external factors that influence the incidence of stunting in children
aged 6-59 months. Methods: Search articles using three databases indexed by
Scopus, ProQuest, and PubMed using adequate keywords. The framework used
for the review is PICOS with inclusion criteria, namely English-language journals
and the publication range between 2015-2020. All articles found will be selected
based on the title, abstract and full text to determine the feasibility of the article
and the results obtained 13 articles that were reviewed. Results: The results of a
review of 13 articles showed that there was a relationship between demographic
factors (gender, maternal age, occupation, income, education), environmental
factors, parenting factors (feeding, exclusive breastfeeding and complementary
feeding), and health service factors. with stunting. Conclusion: Efforts to prevent
stunting that can be done are socialization regarding weighing and routine
measurements of toddlers and the pattern of complementary feeding and exclusive
breastfeeding. Providing animal protein assistance for families with toddlers.
Training of doctors, nurses, midwives, nutritionists and cadres to detect stunting
with their interventions. As well as providing PKMK for conditions that cause
stunting.

Keywords: Stunting, External factors

DAFTAR ISI

4
HALAMAN JUDUL i
LEMBAR PERSETUJUAN ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR SINGKATAN vi
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 5
1.3. Tujuan 5
1.3.1. Tujuan Umum 5
1.3.2. Tujuan Khusus 5
BAB 2 METODE PENELITIAN 2
2.1. Strategi Pencarian Literature 2
2.1.1. Protokol dan Registrasi 2
2.1.2. Kata Kunci 7
2.1.3. Database Pencarian 8
2.2. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 8
2.3. Seleksi Studi dan Penilaian Kualitas 9
2.3.1. Hasil Pencarian dan Seleksi Studi 9
2.3.2. Penilaian Kualitas 11
2.3.3. Daftar Artikel Hasil Pencarian 11
DAFTAR PUSTAKA 19

DAFTAR TABEL

5
Tabel 2.1 PICOS framework 7
Tabel 2.2 Kata Kunci Literature Review 7
Tabel 2.3 Kriteria inklusi dan ekslusi dengan format PICOS 9
Tabel 2.4 Daftar artikel hasil pencarian 13

6
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Diagram Flow Review Jurnal 10

7
DAFTAR SINGKATAN

ASI : Air Susu Ibu


PICOS : Population/ Participants/ Problem, Intervention/ Interest,
Comparison, Outcome, dan Study design).
WHO : World Health Organization
MP ASI : Makanan Pendamping Air Susu Ibu
MeSH : Medical Subject Heading

8
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masalah kekurangan gizi kronis pada balita atau stunting dapat

menyebabkan gangguan pertumbuhan linear (RPL). Stunting menjadi ancaman

terbesar bagi kualitas hidup manusia dimasa mendatang karena dapat menghambat

pertumbuhan fisik, hambatan pertumbuhan otak anak (kognitif), penurunan

kualitas belajar hingga penurunan produktivitas di usia dewasa serta ancaman

peningkatan penyakit tidak menular (Aridiyah et al., 2013). Faktor pencetus

stunting terdiri dari faktor eksternal maupun faktor internal. Faktor eksternal

meliputi faktor dari lingkungan (sanitasi air, kebersihan pangan, dll), pelayanan

kesehatan, pola asuh ibu (pemberian ASI, MPASI dll ), serta faktor demografi

(ekonomi, pendidikan dll). Sedangkan faktor internal meliputi penyakit bawaan

anak, genetic dll (Nur Oktia, 2020). Namun yang dapat dihindari atau diperbaiki

oleh masyarakat maupun orang tua dalam pencegahan stunting yaitu faktor

eksternal (Kemenkes, 2018). Stunting atau masalah gizi utama pada balita akan

berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Selain itu,

stunting dapat berpengaruh pada anak balita pada jangka panjang yaitu

mengganggu kesehatan, pendidikan serta produktifitasnya di kemudian hari. Anak

balita stunting cenderung akan sulit mencapai potensi pertumbuhan dan

perkembangan yang optimal baik secara fisik maupun psikomotorik (Ratnawati &

Rahfiludin, 2020).

1
Menurut UNICEF (2013) factor penyebab stunting disebabkan oleh faktor

keluarga dan rumah tangga (faktor ibu, lingkungan rumah), Perilaku ibu dalam

memberikan makanan pendamping (MP) ASI yang tidak adekuat, pemberian ASI

dan infeksi (Sulistianingsih & Sari, 2018). Faktor kontekstual yang berkontribusi

terhadap kejadian stunting adalah politik, ekonomi, pelayanan kesehatan,

pendidikan, sosial budaya, sistem pertanian dan makanan, serta lingkungan

sanitasi air. Faktor yang berhubungan dengan status gizi kronis pada anak balita

tidak sama antara wilayah perkotaan dan pedesaan, sehingga upaya

penanggulangannya harus disesuaikan dengan faktor yang mempengaruhi

(Ni`mah Khoirun & Nadhiroh, 2015).

Menurut data UNICEF tahun 2018, terdapat 92 juta (13,5%) balita di

dunia mengalami stunting dan 51 juta. Sebagian besar balita di dunia yang

mengalami stunting berasal dari Benua Afrika dan Asia. Insiden stunting secara

global diperkirakan sekitar 171 juta sampai 314 juta yang terjadi pada anak

berusia di bawah 5 tahun dan 90% diantaranya berada di negara-negara benua

Afrika dan Asia (Fenske et al, 2018). Menurut studi yang dilakukan di beberapa

negara di Afrika, Asia, Amerika Selatan, Amerika Tengah, dan Kaniba prevalensi

stunting berkisar antara 30-50% (UNICEF, 2018). Prevalensi stunting tinggi pada

balita dengan rentang usia 6-59 bulan dengan puncaknya pada usia 2-5 tahun, hal

ini sejalan dengan penelitian di Bangladesh, India dan Pakistan dimana anak usia

24-59 tahun ditemukan dalam resiko lebih besar pertumbuhannya terhambat

(Ariati, 2019). Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2010,

prevalensi stunting dikatakan tinggi apabila mencapai

30%-39% dan dikatakan sangat tinggi jika prevalensinya

2
mencapai ≥ 40%. Prevalensi anak stunting di Indonesia

termasuk dalam kategori tinggi karena berdasarkan

Riskesdas tahun 2016, secara nasional prevalensi stunting

adalah 37,2%. Prevalensi stunting meningkat secara

nasional dalam tiga tahun 2010-2013 sebanyak 1,6%. Pada

tingkat Asia, pada tahun 2010-2016 Indonesia menduduki

peringkat kelima prevalensi stunting tertinggi (Riskedas, 2016).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Ni`mah Khoirun &

Nadhiroh, 2015) menunjukkan hasil bahwa keberhasilan kontak dengan pelayanan

kesehatan serta kualitas yang ada dalam lingkungan rumah tangga memiliki

hubungan signifikan dengan kejadian stunting. Pendidikan, pendapatan dan

karakteristik keluarga berhubungan dengan kejadian stunting (Febriani et al.,

2020). Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu dan

ayah menjadi faktor penyebab stunting di Indonesia. Pendidikan erat kaitannya

dengan pekerjaan yang selanjutnya mempengaruhi status ekonomi keluarga.

Status ekonomi yang rendah menyebabkan ketidakterjangkauan dalam pemenuhan

nutrisi sehari-hari serta tidak terpenuhinya sanitasi lingkungan yang baik untuk

anak, sehingga pada akhirnya status ekonomi memiliki efek signifikan terhadap

kejadian malnutrisi (Venuz et al., 2019). Beberapa penelitian juga menyebutkan

bahwa Balita yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi rendah memiliki

resiko 2 kali mengalami stunting dibanding balita dari keluarga dengan status

ekonomi tinggi (Febriani et al., 2020). Pemberian ASI eksklusif dan kualitas

makanan MPASI sangat berkontribusi dalam kejadian stunting. Penelitian Darwin

dkk (2014) di Yogyakarta menjelaskan bahwa pemberian nutrisi ASI eksklusif

3
maupun MPASI berhubungan dengan kejadian stunting (Nasution et al., 2014).

Selain itu beberapa penelitian juga menjelaskan bahwa sosial budaya atau

lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terjadinya stunting pada anak,

dikarenakan pola asuh atau perawatan ibu yang menentang kesehatan (Apriluana

& Fikawati, 2018).

Ibu memegang peranan penting dalam mendukung upaya mengatasi

masalah gizi, terutama dalam hal asupan gizi keluarga, mulai dari penyiapan

makanan, pemilihan bahan makanan, sampai menu makanan. Ibu yang memiliki

status gizi baik akan melahirkan anak yang bergizi baik (Kemenkes, 2018).

Kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan baik dalam jumlah

maupun mutu gizinya sangat berpengaruh bagi status gizi anak. Sebagaimana

diketahui bahwa asupan zat gizi yang optimal menunjang tumbuh kembang balita

baik secara fisik, psikis, maupun motorik atau dengan kata lain, asupan zat gizi

yang optimal pada saat ini merupakan gambaran pertumbuhan dan perkembangan

yang optimal pula di hari depan (Apriluana & Fikawati, 2018).

Menurut UNESCO upaya yang dapat dilakukan oleh beberapa negara

yang mengalami angka stunting yang tinggi yaitu dapat meningkatkan literasi

gizi, akses pangan yang harus diprioritaskan dan disebarluaskan secara merata,

dan yang terkahir yaitu tepat sasaran. Indonesia merupakan salah satu negara yang

sedang menjalankan program tersebut (Muktamar, 2020). Selain itu, upaya yang

telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengurangi masalah gizi pada

bayi dan balita adalah pemberian ASI eksklusif dengan suplementasi zat gizi

mikro pada anak –anak atau pemberian makanan yang diperkaya dengan vitamin

dan mineral serta konseling kepada orang tua khususnya ibu, tentang praktek

4
pemberian makanan, juga melalui program yang terintegrasi dengan bidang

kesehatan (Kemenkes, 2018). Berdasarkan pencarian literature yang dilakukan

oleh peneliti, ditemukan bahwa di beberapa negara menjelaskan faktor eksternal

merupakan faktor yang paling banyak mengakibatkan terjadinya stunting. salah

satunya penelitian yang dilakukan oleh Kim et al., (2017), dimana hasil penelitian

Kim menunjukkan bahwa di negara Afganistan, Bangladesh, Pakistan, Nepal dan

India, determinan faktor resiko stunting yaitu faktor eksternal. Kejadian stunting

bisa terus meningkat apabila faktor-faktor resiko yang telah dijelaskan diatas tidak

diperhatikan. Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa ada banyak faktor risiko

yang dapat mempengaruhi kejadian stunting pada balita, namun tiap daerah

tentunya memiliki perbedaan yang dapat mempengaruhi terjadinya stunting

(Nasution et al., 2014). Hal tersebut yang menyebabkan peneliti tertarik untuk

meneliti lebih dalam lagi tentang faktor-faktor eksternal apa saja yang dapat

menyebabkan stunting pada balita.

1.2. Rumusan Masalah

Apakah faktor eksternal dapat mempengaruhi kejadian stunting pada anak

usia 6-59 bulan berdasarkan studi empiris dalam lima tahun terakhir ?

1.3. Tujuan

1.3.1. Tujuan Umum

Menjelaskan faktor eksternal yang mempengaruhi kejadian stunting pada

anak usia 6-59 bulan.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Menganalisis hubungan faktor demografi orang tua dengan kejadian stunting

anak usia 6-59 bulan berdasarkan studi empiris dalam lima tahun terakhir

5
2. Menganalisis hubungan faktor lingkungan dengan kejadian stunting anak usia

6-59 bulan berdasarkan studi empiris dalam lima tahun terakhir

3. Menganalisis hubungan faktor pola asuh dengan kejadian stunting anak usia 6-

59 bulan berdasarkan studi empiris dalam lima tahun terakhir

4. Menganalisis hubungan faktor pelayanan kesehatan dengan kejadian stunting

anak usia 6-59 bulan berdasarkan studi empiris dalam lima tahun terakhir

6
BAB 2

METODE PENELITIAN

Studi literature adalah cara yang dipakai untuk menghimpun data atau

sumber-sumber yang berhubungan dengan topik yang diangkat dalam suatu

penulisan. Studi literature bisa didapat dari berbagai macam sumber baik jurnal,

buku, dokumentasi, internet dan pustaka. Metode studi literature adalah

serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka,

membaca dan mencatat, serta mengelola bahan penulisan (Nursalam, 2016).

2.1. Strategi Pencarian Literature

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data

sekunder merupakan data yang diperoleh bukan dari pengamatan langsung namun

dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan dipublikasikan. Sumber data

sekunder dalam penelitian ini adalah jurnal dan/atau artikel bereputasi

internasional dengan tema yang sudah ditentukan yaitu faktor yang berhubungan

dengan kejadian stunting pada anak usia 6-59 bulan. Pemilihan sumber didasarkan

pada database dengan kriteria kualitas tinggi dan sedang yaitu Scopus, Proquest,

dan PubMed.

2.1.1. Protokol dan Registrasi

Rangkuman menyeluruh dalam bentuk literature review yang membahas

tentang faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 6-59

bulan. Framework yang digunakan oleh peneliti dalam literature review ini adalah

PICOS (Population/ Participants/ Problem, Intervention/ Interest, Comparison,

7
Outcome, dan Study design). PICOS yang digunakan untuk merumuskan

pertanyaan penelitian (research question) dalam penelitian ini adalah:

8
8

Tabel 2.1 PICOS framework


Population/probl Populasi pada artikel atau jurnal yang akan di review adalah faktor
em (Populasi eksternal yang berhubungan dengan resiko kejadian stunting pada anak
usia 6-59 bulan.
atau masalah
yang akan di
analisis)
Interest Interest pada artikel atau jurnal adalah faktor eksternal yang meliputi:
(ketertarikan faktor demografi, faktor lingkungan, faktor pelayanan kesehatan dan
tentang faktor pola asuh. Artikel atau jurnal meneliti, mengobservasi serta
menganalisa apakah faktor-faktor tersebut berhubungan dengan resiko
peristiwa, terjadinya stunting pada anak usia 6-59 bulan.
kegiatan,

tindakan atau
proses tertentu)
Comparation Tidak ada
(Penatalaksanaan
lain yang
digunakan
sebagai
pembanding)
Outcome Outcome dalam artikel atau jurnal yang akan di review adalah adanya
(Hasil atau luaran hubungan antara resiko kejadian stunting misalnya, faktor demografi,
yang diperolah faktor lingkungan, dan faktor pola asuh terhadap tingkat kejadian
pada penelitian) stunting pada anak usia 6-59 bulan.
Study design Desain penelitian yang digunakan oleh artikel atau jurnal yang akan
(Desain direview yakni, Mix methods study, experimental study, survey study,
cross-sectional, analisis korelasi, komparasi dan studi kualitatif.
penelitian pada
jurnal)

2.1.2. Kata Kunci

Pencarian artikel atau jurnal menggunakan keyword dan boolean operator (AND,

OR, NOT, AND NOT) yang digunakan untuk memperluas atau menspesifikkan

pencarian, sehingga mempermudah dalam penentuan artikel atau jurnal yang

digunakan. Kata kunci yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan

Medical Subject Heading (MeSH) dan terdiri dari sebagai berikut:

Tabel 2.2 Kata Kunci Literature Review


Stunting Toddler Risk Factors

AND AND And


Growth Disorder Children Relative Risk
AND OR
Stunted Geowth Probability
9

2.1.3. Database Pencarian

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

diperoleh bukan dari pengamatan langsung, akan tetapi diperoleh dari hasil

penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Sumber data

sekunder yang didapat berupa artikel atau jurnal bereputasi baik nasional maupun

internasional dengan tema yang sudah ditentukan. Pencarian dilakukan pada bulan

September-Oktober 2020 menggunakan empat database dengan kriteria kualitas

tinggi dan sedang, yaitu Scopus, ProQuest, dan Pubmed.

2.2. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Strategi yang digunakan untuk mencari artikel atau jurnal menggunakan

PICOS framework, yang terdiri dari:

1. Population / Problem yaitu populasi atau masalah yang akan di analisis

seseuai dengan tema yang sudak ditentukan dalam literature review

2. Interest yaitu suatu ketertarikan tentang peristiwa, kegiatan, tindakan atau

proses tertentu yang berhubungan dengan tema yang sudah ditentukan

dalam literature review

3. Comparation yaitu intervensi atau penatalaksanaan lain yang digunakan

sebagai pembanding, jika tidak ada bisa menggunakan kelompok kontrol

dalam studi yang terpilih

4. Outcome yaitu hasil atau luaran yang diperoleh pada studi terdahulu uang

sesuai dengan tema yang sudah ditentukan dalam literature review

5. Study design yaitu desain penelitian yang digunakan dalam artikel yang
10

akan di review

Tabel 2.3 Kriteria inklusi dan ekslusi dengan format PICOS


Kriteria Inkl Eksl
usi usi
Population / Jurnal atau artikel yang Jurnal atau artikel dengan topik
Problem berhubungan dengan topik penelitian gizi buruk.
penelitian yakni kejadian stunting
pada anak usia 6-59 bulan
Interest Faktor demografi, faktor Faktor medikasi, faktor internal
lingkungan, faktor pelayanan dan faktor kelainan atau penyakit
kesehatan dan faktor pola asuh
Comparation Tidak ada Tidak ada
Outcome - Adanya hubungan faktor - Tidak ada hubungan faktor
demografi, faktor lingkungan, demografi, faktor lingkungan,
faktor pelayanan kesehatan dan faktor pelayanan kesehatan
faktor pola asuh terhadap dan faktor pola asuh terhadap
kejadian stunting kejadian stunting
- Menjelaskan faktor yang - Membahas pemulihan,
mempengaruhi kejadian stunting kebijakan dan pencegahan
Study design Mix methods study, RCT, survey Systematic / literature review
study, cross-sectional, analisis
korelasi, komparasi dan studi
kualitatif
Tahun terbit Artikel atau jurnal yang terbit setelah Artikel atau jurnal yang
tahun 2015
terbit sebelum tahun 2015
Bahasa Bahasa Inggris dan bahasa Indonesia Selain bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia, misalnya
bahasa Jerman,
Perancis, Rusia dsb

2.3. Seleksi Studi dan Penilaian Kualitas

2.3.1. Hasil Pencarian dan Seleksi Studi

Berdasarkan hasil pencarian literature melalui publikasi Scopus, Proquest,

dan Pubmed menggunakan kata kunci yang sudah disesuaikan dengan MeSH,

peneliti menemukan 1488 artikel yang sesuai dengan kata kunci tersebut. Hasil

pencarian yang sudah didapatkan kemudian diperiksa duplikasi, ditemukan

sebanyak 488 artikel yang sama sehingga dikeluarkan dan tersisa 1040 artikel.

Peneliti kemudian melakukan skrining berdasarkan judul (n=197), abstrak (n=28)

dan full text (n=13) yang disesuaikan dengan tema literature review. Assessment
11

yang dilakukan berdasarkan kelayakan terhadap kriteria inklusi dan eksklusi

didapatkan sebanyak 13 artikel yang bisa dipergunakan untuk literature review.

Hasil seleksi artikel studi dapat digambarkan dalam Diagram Flow di bawah ini :

Pencarian menggunakan database(n= 1.488) Exluded (n=169)


Scopus
(n= 740) Problem/Population :
Tidak membahas atau tidak fokus pada
Proquest topik penelitian ini (22)
(n= 322) Usia responden di atas 5 tahun (15)

Intervention :
Relevan dengan faktor medikasi, faktor
Seleksi duplikat (n = 1.040)
internal dan faktor lainnya (68)
Relevan dengan faktor kelainan atau
penyakit (27)

Outcomes :
Skrining dan identifikasi judul Faktor eksternal tidak berhubungan
(n= 197) dengan kejadian stunting (3)
Pemulihan stunting (6)
Pencegahan stunting (10)

Study design :
Skrining dan identifikasi abstrak Literature
(n =28) review dan Systematic Review (9)
Intervensi (9)
Exluded (n=15)
Problem/Population :
Tidak focus pada analisis
Salinan lengkap dan penilaian kelayakan faktor eksternal (14)
(n =13 ) Literatur Review (1)

Jurnal akhir yang dianalisa


(n=13)

Gambar 2.1 Diagram Flow Literature Review


12

2.3.2. Penilaian Kualitas

Penilaian kualitas dilakukan oleh peneliti dengan memperhatikan acuan

yang telah ditentukan. Kualitas studi dinilai berdasarkan :

1) Currency (kapan informasi dipublikasikan dan apakah hasil penelitian cukup

bermakna untuk masa saat ini) yaitu jurnal atau artikel yang diterbitkan dalam

rentang tahun 2011-2020.

2) Relevance (seberapa penting informasi yang diberikan tersebut terhadap

pertanyaan penelitian) yaitu mencakup adanya informasi yang dapat

menjawab rumusan masalah, menjabarkan faktor eksternal yang berhubungan

dengn kejadian stunting.

3) Authority (siapa author penelitian yang direview, apakah author bekerja pada

institusi yang credible, apakah artikel berasal dari peer review jurnal) yaitu

artikel yang didapat dari database yang bereputasi internasional.

4) Accuracy (apakah informasi yang diberikan dapat dipercaya, apakah sitasi

yang ada sudah cukup, apakah ada kesalahan penulisan) yaitu jurnal yang

memiliki sitasi dari jurnal bereputasi dan bukan berasal dari jurnal predator.

5) Purpose (apakah penelitian tersebut suatu penelitian independen atau hanya

bertujuan untuk menjual produk atau ide) yaitu penelitian yang bertujuan

untuk menilai kualitas faktor-faktor eksternal yang berhubungan dengan

kejadian stunting.

2.3.3. Daftar Artikel Hasil Pencarian

Literature review ini disintesis menggunakan metode naratif dengan

mengelompokkan data-data hasil ekstraksi yang sejenis sesuai dengan hasil yang
13

diukur untuk menjawab tujuan. Jurnal penelitian yang sesuai dengan kriteria

inklusi kemudian dikumpulkan dan dibuat ringkasan jurnal meliputi nama peneliti,

tahun terbit, judul, metode, hasil penelitian dan database.


14

Tabel 2.4 Daftar artikel hasil pencarian


No Author Tahun, Nama Jurnal Judul Metode Hasil Databas
Volume, (Desain, Sampel, Variabel, e
Angka Instrumen, Analisis)
Chowdhury et 2020 Heliyon Factors associated with D: Multiple Indicator Penelitian kami memperkirakan Pubmed
1. al. Vol. 6 stunting and wasting in Cluster Survey (MICS) sekitar 33% anak mengalami
No. 9 children under 2 years S: 7.230 anak stunting. Anak perempuan
in Bangladesh V: Faktor Stunting memiliki kemungkinan stunting
I : Structured questionnaires yang jauh lebih rendah
A : Model Regresi Logistik dibandingkan dengan anak laki-
laki. Studi mengungkapkan
bahwa anak-anak dari keluarga
yang berisiko miskin
mengalami stunting lebih
tinggi. Pendidikan orang tua
ditentukan sebagai prediktor
signifikan dari stunting. Studi
kami mengungkapkan usia,
jenis kelamin, distribusi
geografis, dan posisi rumah
tangga dalam indeks kekayaan
sebagai hal umum faktor
penentu stunting pada anak di
Bangladesh. Selain itu sanitasi
fasilitas toilet ditemukan
sebagai penentu yang signifikan
secara statistik dari stunting
pada anak di bawah usia dua
tahun.

2. Dhami et al., 2019 Global health Stunting and severe D :Cross-Sectional Pengenalan MPASI yang Proques
Vol. 12 action stunting among infants in S :13.548 anak tertunda, dikaitkan dengan t
15

No. 1 India: the role of delayed V : Faktor terkait stunting stunting. Tingkat pendidikan
introduction of I : DHS model ibu yang tinggi dan ekonomi
complementary foods and Questionnaires. rumah tangga yang tinggi
community and household A: regresi logistik dapat mencegah terjadinya
factors. Generalized Linear Latent stunting
dan Model Campuran
(GLLAMM)

3. García Cruz et 2017 Nutrients Factors associated with D: A case-control study Hasil penelitian menunjukkan Scopus
al., Vol. 9 stunting among children S: 282 anak bahwa tingkat pendidikan ibu,
No. 5 aged 0 to 59 months from V: faktor sosiodemografi pekerjaan ibu, tempat tinggal
the central region of terrkait stunting di pedesaan, jumlah anak
Mozambique I: wawancara balita dalam rumah tangga,
A: chi square, Annova, T-test kebersihan di dalam rumah
serta kebersihan makanan atau
saat memasak, durasi menyusui
secara keseluruhan serta durasi
eksklusif pemberian ASI, dan
waktu mulai MPASI secara
signifikan berhubungan dengan
stunting.

4. Geresomo et al., 2017 African Journal Risk factors associated D: cross sectional Pengenalan MPASI lebih awal Scopus
Vol. 17 of Food, with stunting among S: 306 anak pada anak kurang dari 6 bulan.
No. 4 Agriculture, infants and young children V: Independent : faktor pola pemberian makan
Nutrition and aged 6 - 23 Months in resiko (komposisi makan, frekuensi
Development Dedza District of Central Dependent: stunting makan) secara keseluruhan
Malawi I: kuisioner mengalami stunting. jumlah
A: chi-square test anak kecil dalam rumah tangga
dan usia ibu remaja adalah
prediktor independen yang
signifikan dari stunting.

5. Habimana & 2019 Pediatric health, Risk Factors Of Stunting D: Cross sectional Hasil menunjukkan signifikan Proques
16

Biracyaza, Vol. 10 medicine and Among Children Under 5 S: 961 anak hubungan antara pendidikan t
No. 0 therapeutics Years Of Age In The V: independent : determinan ibu dan stunting (p = 0,017),
Eastern And Western faktor pekerjaan ibu (p = 0,000),
Provinces Of Rwanda: dependent: stunting ekonomi ( p = 0,006), jenis
Analysis Of Rwanda I: Data sekunder dari kelamin anak (p = 0,008) dan
Demographic And Health Kesehatan Demografi pemberian makanan
Survey 2014/2015. Rwanda Survei (RDHS) fortifikasi kepada anak (p =
A: chi-square 0,039). Hasil menunjukkan
bahwa kunjungan ke
pelayanan kesehatan secara
signifikan terkait dengan
stunting (p = 0.01). kebersihan
toilet secara signifikan
dikaitkan dengan stunting (p =
0,000).

6. Jiang et al., 2015 Child: Care, Prevalence and risk factors D: Cross sectional Analisis regresi logistik hierarki Scopus
Vol. 41 Health and for stunting and severe S: 1260 anak menunjukkan bahwa faktor
No. 1 Development stunting among children V: Faktor sosio demografi risiko anak stunting adalah
under three years old in I: Kuisioner tempat tinggal, pendidikan
mid-western rural areas of A: Regresi logistik hierarki pengasuh, jenis kelamin anak,
China dan durasi ASI Eksklusif (<6
bulan).

7. Kim et al., 2017 Social Science Relative importance of 13 D: Cross sectional survey Dalam model regresi logistik Pubmed
Vol. 187 and Medicine correlates of child stunting S: 3159 anak keanekaragaman makanan
in South Asia: Insights V: Faktor-faktor terkait pendamping, frekuensi makan
from nationally stunting dikaitkan dengan risiko stunting
representative data from I: Demographic and Health yang secara signifikan lebih
Afghanistan, Bangladesh, Survey (DHS) tinggi. Untuk 18.586 anak usia
India, Nepal, and Pakistan A: model regresi logistik 6–23 bulan, korelasi terkuat
dengan stunting yaitu
kekayaan rumah tangga,
pendidikan ibu , usia ibu,
17

akses ke pelayanan
kesehatan, akses ke sumber
minum, fasilitas sanitasi yang
layak, dan kualitas udara
dalam ruangan rumah tangga

8. Mbwana et al., 2017 Food Security Factors influencing D: Cross sectional survey Pada penelitian ini faktor Scopus
Vol. 9 stunting among children in S: 120 rumah tangga determinan kejadian stunting
No. 6 rural Tanzania: an agro- V: Independet: Faktor-faktor adalah, lamanya pemberian
climatic zone perspective terkait stunting ASI eksklusif, , tingkat
Dependent : Stunting pendidikan ibu, status
I: Kuisioner dan wawancara ekonomi rumah tangga,
A: Multivariat regresi logistik komposisi makanan, dan
jarak ke sumber air bersih
diidentifikasi sebagai penentu
penting variasi yang diamati
pada anak stunting

9. Mistry et al., 2019 Public health Individual-, maternal- and D: Cross sectional Hsil penelitian ini menunjukkan Proques
Vol. 22 nutrition household-level factors S: 6539 anak secara keseluruhan, 59,9% dari t
No. 1 associated with stunting V: Stunting anak-anak mengalami stunting.
among children aged 0-23 I: Kuisioner Setelah menyesuaikan untuk
months in Bangladesh. A: Model regresi poisson semua pembaur potensial dalam
model regresi Poisson yang
dimodifikasi, jenis kelamin
anak, pendidikan ibu, usia
ibu, tempat tinggal, status
sosial ekonomi, status
keamanan pangan, akses ke
jamban dan kondisi
kebersihan toilet (tingkat
rumah tangga) secara signifikan
terkait dengan stunting.
18

10. Rahman et al., 2017 Pakistan Journal Determinants of stunting D: Case control Faktor penentu stunting adalah Pubmed
Vol. 16 of Nutrition among children in urban S: 144 anak pendapatan keluarga (p =
No. 10 families in palu, Indonesia V: Faktor Penentu Stunting 0,000), ASI eksklusif (p =
I: Kuisioner 0,002), sanitasi lingkungan (p
A: Analisis univariat, bivariat = 0,001) dan usia ibu (p =
dan multivariat dengan 0,003). Hasil analisis
regresi logistik multivariat menunjukkan
bahwa pendapatan keluarga
merupakan faktor risiko
tertinggi terjadinya stunting.
ASI eksklusif, sanitasi
lingkungan dan usia ibu (OR =
3,05) dikaitkan dengan risiko
yang sama untuk stunting.

11. Sitorus et al., 2019 International The external factors D: Kasus kontrol berbasis Analisis multivariat yang Scopus
Vol. 8 Journal of associated with stunting komunitas dilakukan membuktikan bahwa
No. 2 Recent occurrence among 12 – 59 S: 147 anak balita dengan pola asuh yang
Technology and months old toddler V: Independent: Faktor tidak memadai memiliki risiko
Engineering Eksternal yang lebih besar mengalami
Dependent: Stunting stunting dibandingkan dengan
I: Pengukuran antropometri yang dibesarkan secara
dan data sekunder memadai. Anak yang tinggal
A: Uji chi-square dan uji dalam keluarga di bawah
regresi logistik ganda. Guaranteed Minimum
Pendapatan (GMI) memiliki
risiko stunting yang lebih besar
Ditemukan juga bahwa anak
yang tidak mendapat ASI
Eksklusif memiliki risiko yang
lebih besar terjadinya stunting
12. Takele et al., 2019 BMC public Understanding correlates of D: Survey Study Hasil penelitian menunjukkan Proques
Vol. 19 health child stunting in Ethiopia S: 8743 Anak bahwa umur dan jenis kelamin t
No. 1 using generalized linear V: Stunting anak, jumlah anak balita di
19

mixed models. I: Ethiopian Demographic keluarga, indeks kekayaan


Health Survey (EDHS) rumah tangga, tingkat
A: Generalized linear mixed pendidikan ibu, masa
model (GLMM) menyusui, jenis fasilitas
jamban, penggunaan internet
dan Sumber air minum
merupakan penentu utama
stunting pada balita di Ethiopia.

13. Torlesse et al., 2016 BMC public Determinants of stunting in D: Cross Sectional Hasil Multivariat Analisis Proques
Vol. 16 health Indonesian children: S: 1366 anak faktor penentu stunting t
No. 1 evidence from a cross- V: Faktor determinan mengidentifikasi interaksi yang
sectional survey indicate a stunting signifikan antara fasilitas
prominent role for the I: Kuisioner dan survey kamar mandi (penggunaan
water, sanitation and A: regresi logistik ganda jamban yang tidak diperbaiki)
hygiene sector in stunting dan pengolahan air rumah
reduction. tangga (mentah), kemungkinan
terjadinya stunting lebih dari
tiga kali lebih tinggi. Faktor
risiko stunting yang signifikan
yaitu jenis kelamin laki-laki,
usia anak yang lebih tua dan
indeks kekayaan yang lebih
rendah, jarang datang ke
fasilitas kesehatan, faktor
kepercayaan (sosial budaya)
dan partisipasi ibu dalam
pengambilan keputusan tentang
makanan apa yang dimasak
dalam rumah tangga.
BAB 3

HASIL DAN ANALISIS

3.1. Karakteristik Studi

Penelitian literature review ini menggunakan jurnal internasional sebanyak

13 jurnal yang telah melewati masa screening sesuai dengan kriteria inklusi dan

ekslusi. Artikel atau jurnal yang akan di-review meliputi database yang

digunakan, tahun terbitan, dan desain penelitian. Hasil pencarian literatur yang

sudah dianalisis dan ditetapkan dalam literature review adalah sebagai berikut :

Tabel 3.1 Karakteristik umum dalam penyeleksian studi (n=13)

Kategori Jumlah (N) Persentase (%)


Database
Scopus 5 38%
Proquest 5 38%
PubMed 3 24%
TOTAL 13 100%
Tahun Penerbit
2015 1 8%
2016 1 8%
2017 5 38%
2019 5 38%
2020 1 8%
TOTAL 13 100%
Desain Penelitian
Cross Sectional 8 60%
Survey Study 1 8%
Case control 3 24%
Multiple Indicator 1 8%
Cluster Survey (MICS)
TOTAL 13 100%

Berdasarkan tiga belas artikel dianalisis dengan menggunakan tabel 2.4

diatas untuk melihat variabel yang diteliti oleh masing-masing penelitian dan

hubungannya dengan kejadian stunting. Dari 13 artikel, terdapat 8 artikel dengan


desain cross sectional study, 1 artikel dengan desain survey study, 1 artikel dengan

Multiple Indicator Cluster Survey (MICS) dan 3 artikel diantaranya menggunakan

desain case control. Dari 13 artikel, masing-masing artikel berasal dari negara-

negara yang berbeda yaitu berasal dari Bangladesh, India, Mozambique, Malawi,

Rwanda, China, Afganistan, Nepal, Pakistan, Tanzania, Indonesia, dan Ethiopia..

Selain itu, dari 4 variabel yang menjadi fokus tinjauan literatur ini (faktor

demografi, faktor pola asuh, faktor lingkungan dan faktor pelayanan kesehatan),

lima artikel membahas dua variabel, lima artikel membahas tiga variabel, dan tiga

artikel lainnya membahas empat variabel. Hasil analisis dikelompokkan kedalam

tiga kategori dan hubungannya dengan kejadian stunting, yaitu: (1) Faktor

demografi dengan kejadian stunting, (2) faktor lingkungan dengan kejadian

stunting, (3) faktor pola asuh dengan kejadian stunting, dan (4) faktor pelayanan

kesehatan dengan kejadian stunting.

3.2. Karakteristik Responden Studi

Responden dalam penelitian ini adalah anak balita usia 6 sampai 59 bulan

dengan rata-rata jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Artikel yang akan

dianalisi dalam penelitian ini berasal dari berbagai negara seperti Bangladesh,

India, Mozambique, Malawi, Rwanda, China, Afganistan, Nepal, Pakistan,

Tanzania, Indonesia, dan Ethiopia. Terdiri dari peserta stunting yang disebabkan

oleh faktor eksternal seperti faktor demografi, faktor lingkungan, faktor pola asuh

dan faktor pelayanan kesehatan.


3.3. Faktor Demografi Orang Tua Dengan Kejadian Stunting Pada Anak

Faktor sosio demografi mempunyai andil dalam kejadian stunting, walaupun

pengaruhnya tidak secara langsung. Berbagai variabel demografi juga berkaitan

dengan kejadian stunting. Laporan ini menunjukkan berbagai determinan

demografi yang berkaitan dengan kejadian stunting pada balita di berbagai negara

berkembang di dunia. Berdasarkan 13 artikel dalam penelitian ini, masing-masing

artikel menjelaskan bahwa faktor demografi orang tua memiliki hubungan dengan

kejadian stunting. Berdasarkan hasil penelitian beberapa studi menjelaskan bahwa

faktor demografi yang terdiri dari jenis kelamin anak, pendidikan ibu, usia ibu,

status sosial ekonomi, secara signifikan terkait dengan stunting. Hasil penelitian

tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan beberapa jurnal lainnya

yang menyatakan bahwa sekitar 33% Anak perempuan memiliki kemungkinan

stunting yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan anak laki-laki. Studi juga

mengungkapkan bahwa anak-anak dari keluarga yang berisiko miskin juga akan

mengalami stunting lebih tinggi. Pendidikan orang tua ditentukan sebagai

prediktor signifikan dari stunting. Beberapa studi juga mengungkapkan bahwa

usia, jenis kelamin, indeks kekayaan rumah tangga sebagai hal umum faktor

penentu stunting pada anak di Bangladesh.

Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian studi lain yang menjelaskan

bahwa faktor determinan kejadian stunting yang ditinjau dari variabel demografi

mendapatkan hasil bahwa tingkat pendidikan ibu, status ekonomi rumah tangga,

tingkat pendidikan orang tua diidentifikasi sebagai penentu penting variasi yang

diamati pada anak stunting. Namun terdapat penelitian yang menjelaskan bahwa

faktor demografi yang juga dapat mempengaruhi kejadian stunting yaitu


pekerjaan ibu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerjaan ibu secara

signifikan berhubungan dengan stunting, hal tersebut dibuktikan dengan salah satu

hasil uji stastika yang yaitu mendapat hasil (p = 0,000) yang artinya terdapat

hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu dengan kejadian stunting pada

anak balita.

3.4. Faktor Lingkungan Dengan Kejadian Stunting Pada Anak

Faktor eksternal lainnya yang mempunyai pengaruh terhadap stunting yaitu

faktor lingkungan, dimana apabila lingkungan tempat tinggal anak tidak

menerapkan perilaku hidup sehat, maka secara otomatis kondisi kesehatan anak

akan terganggu termasuk masalah gizi dan stunting ini. Berdasarkan 13 artikel

yang akan dianalisis pada penelitian ini terdapat sepuluh artikel yang membahas

mengenai faktor lingkungan sebagai pencetus terjadinya stunting pada anak balita.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh beberapa studi menjelaskan bahwa

sanitasi fasilitas toilet ditemukan sebagai penentu yang signifikan secara statistik

dari stunting pada anak di bawah usia dua tahun di Bangladesh. Penelitian yang

dilakukan salah satu studi lainnya menunjukkan hasil bahwa faktor lingkungan

anak seperti jenis fasilitas jamban, , sumber air minum merupakan penentu utama

stunting pada balita di Ethiopia.

Hasil penelitian lainnya menunujukkan hasil penelitian bahwa faktor

lingkungan seperti tempat tinggal di pedesaan atau perkotaan, kebersihan di dalam

rumah serta kebersihan makanan atau saat memasak, secara signifikan

berhubungan dengan kejadian stunting. Berbeda dengan salah satu hasil penelitian

yang menyatakan bahwa 18.586 yang diteliti oleh Kim dengan usia anak 6-23

bulan, berkorelasi terkuat dengan stunting yaitu akses ke sumber minum yang
bersih, fasilitas sanitasi yang layak, dan kualitas udara dalam ruangan rumah

tangga sebagai tempat tinggal anak.

3.5. Faktor Pola Asuh Dengan Kejadian Stunting Pada Anak

Balita yang diasuh oleh ibu yang memiliki pola asuh yang buruk 3,8 kali

lebih berisiko mengalami kejadian stunting bila dibandingkan dengan balita yang

mendapatkan pola asuh yang baik dari orang tuanya. Pola asuh yang buruk

dikaitkan dengan kejadian stunting termasuk diantaranya pola asuh pemberian

makanan pendamping ASI yang buruk berisiko membuat anak menjadi stunting,

balita yang mengkonsumsi makanan pendamping ASI yang monoton 3 kali lebih

berisiko mengalami kejadian stunting dibandingkan dengan balita yang

mengkonsumsi makanan pendamping ASI yang variatif. Selain itu, pola asuh

makan dan intake zat gizi pada anak berhubungan dengan kejadian stunting.

Berdasarkan 13 artikel yang akan dianalisis pada penelitian ini terdapat sebelas

artikel yang membahas mengenai faktor pola asuh orang tua sebagai faktor

pencetus terjadinya stunting pada anak balita.

Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan hasil yaitu berdasarkan

analisis multivariat yang dilakukan membuktikan bahwa balita dengan pola asuh

yang tidak memadai memiliki risiko yang lebih besar mengalami stunting

dibandingkan dengan yang dibesarkan secara memadai. Ditemukan juga bahwa

anak yang tidak mendapat ASI Eksklusif memiliki risiko yang lebih besar

terjadinya stunting. Hal tersebut sejalan dengan hasil beberapa penelitian yang

lainnya menunjukkan hasil yaitu faktor penentu stunting ditinjau dari faktor pola

asuh didapatkan bahwa ASI eksklusif (p = 0,002) berhubungan dengan kejadian

stunting. Terdapat juga beberapa studi yang menjelaskan bahwa Pengenalan


MPASI yang tertunda, dikaitkan dengan kejadian stunting pada anak balita.

Begitu juga sebaliknya, salah satu penelitian menunjukkan hasil bahwa

pengenalan MPASI lebih awal pada anak kurang dari 6 bulan, pola pemberian

makan (komposisi makan, frekuensi makan) secara keseluruhan dapat

mengakibatkan anak balita mengalami stunting. Hasil penelitian beberapa studi

mendapat kan hasil bahwa pengolahan air rumah tangga (mentah) dan partisipasi

ibu dalam pengambilan keputusan tentang makanan apa yang dimasak dalam

rumah tangga berhubungan secara langsung dan signifikan dengan terjadinya

stunting pada anak balita.

3.6. Faktor Pelayanan Kesehatan Dengan Kejadian Stunting Pada Anak

Rendahnya akses pelayanan kesehatan akan meningkatkan risiko kehamilan

dan buruknya luaran kehamilan. Pemanfaatan pelayanan kesehatan diestimasi dari

variabel indikator prevalensi akses sulit, prevalensi ibu tidak mengikuti pelayanan

antenatal, prevalensi kualitas pelayanan antenatal buruk dan prevalensi ibu tidak

memiliki buku KIA. Buruknya pemanfaatan pelayanan kesehatan ini akan

berdampak pada peningkatan prevalensi terjadinya stunting pada anak balita .

Berdasarkan 13 artikel yang akan dianalisis pada penelitian ini terdapat tiga

artikel yang membahas mengenai faktor akes pelayanan kesehatan sebagai faktor

pencetus terjadinya stunting pada anak balita.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan hasil secara

signifikan bahwa terdapat hubungan antara kunjungan ke pelayanan kesehatan

secara rutin dengan kejadian stunting (p = 0.01). Hal tersebut sejalan dengan

penelitian yang lain yang menjelaskan bahwa 18.586 anak usia 6–23 bulan yang

diteliti, memiliki korelasi terkuat dengan stunting yaitu salah satunya akses ke
pelayanan kesehatan. Kedua penelitian diatas didukung dengan salah satu hasil

penelitian yang menjelaskan bahwa hasil multivariat analisis faktor penentu

stunting mengidentifikasi interaksi yang signifikan antara jarang datang ke

fasilitas kesehatan memiliki kemungkinan terjadinya stunting lebih dari tiga kali

lebih tinggi.
BAB 4

PEMBAHASAN

4.1. Hubungan Faktor Demografi Orang Tua Dengan Kejadian Stunting

Pada Anak

Berdasarkan hasil analisis dari 13 artikel dimana pada masing-masing 13

artikel tersebut menjelaskan bahwa faktor demografi memiliki keterkaitan dengan

terjadinya stunting pada anak balita. Faktor demografi tersebut yaitu terdiri jenis

kelamin anak, pendidikan ibu, usia ibu, status sosial ekonomi, dan pekerjaan ibu.

Faktor-faktor tersebut secara lagsung maupun tidak langsung dapat

mempengaruhi terjadinya stunting pada anak.

Penelitian yang dilakukan oleh (Jiang et al., 2015) menemukan bahwa Jenis

kelamin anak sangat terkait dengan risiko stunting dan stunting parah dengan anak

perempuan berisiko lebih rendah, diketahui bahwa bayi perempuan bertahan

dalam jumlah yang lebih besar daripada bayi laki-laki di sebagian besar negara

berkembang termasuk di Cina. Sejalan dengan penelitian tersebut, hasil penelitian

yang dilakukan oleh (Chowdhury et al., 2020) menyatakan bahwa jenis kelamin

anak ditentukan secara signifikan tidak bisa menjadi prediktor stunting. Anak

perempuan memiliki kemungkinan 22% lebih rendah untuk mengalami stunting

daripada anak laki-laki. Kejadian stunting di dominasi oleh anak balita berjenis

kelamin laki-laki dengan presentasi 53,13% sedangkan pada jenis kelamin

perempuan sebesar 46,88%. Anak laki-laki lebih mudah mengalami malnutrisi

dibandingkan anak perempuan. Kondisi ini dapat terjadi karena adanya perbedaan

praktik makan yang diberikan oleh orangtua. Faktor risiko yang berpengaruh

terhadap kejadian stunting adalah anak berjenis kelamin laki-laki (Zuraiatun,


2018). Jenis kelamin menentukan pula besar kecilnya kebutuhan gizi untuk

seseorang. Pria lebih banyak membutuhkan zat tenaga dan protein dibandingkan

wanita. Pria lebih sanggup mengerjakan pekerjaan berat yang tidak biasa

dilakukan wanita. Selama masa bayi dan balita-balita, balita perempuan

cenderung lebih rendah kemungkinannya menjadi stunting dan severe stunting

daripada balita laki-laki, selain itu bayi perempuan dapat bertahan hidup dalam

jumlah lebih besar daripada bayi laki-laki dikebanyakan Negara berkembang

termasuk Indonesia. terjadinya ketidaksetaraan gender di masyarakat atau budaya

setempat yang berlaku yang memberi perlakuan istimewa terhadap balita

perempuan yang cenderung diam dirumah, sedangkan balita laki-laki lebih aktif

secara fisik (Nadia Nabila, 2017).

Berdasarkan hasil studi literatur, didapatkan hasil yaitu ada hubungan yang

bermakna antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian stunting. Selain itu,

Berdasarkan analisis multivariat bahwa faktor pendidikan ibu merupakan faktor

yang memiliki hubungan paling dominan dengan kejadian stunting pada anak.

Berdasarkan penelitian (Torlesse et al., 2016a) prevalensi stunting lebih tinggi di

antara anak-anak yang ibunya belum menyelesaikan pendidikan dasar (43,4%)

atau menyelesaikan pendidikan dasar (31,0%) dibandingkan dengan mereka yang

telah menyelesaikan sekolah menengah (23,0%). Odds Ratio kejadian stunting

pada anak secara signifikan lebih besar di antara anak-anak yang ibunya tidak

menyelesaikan pendidikan dasar dibandingkan dengan mereka yang

menyelesaikan sekolah menengah atas. Berdasarkan dari beberapa hasil penelitian

maka dapat disimpulkan bahwa status pendidikan seorang ibu sangat menentukan

kualitas pola asuh nya. Ibu yang berpendidikan tinggi tentu akan berbeda dengan
ibu yang berpendidikan rendah (Hadi et al., 2019). Tingkat pendidikan akan

mempengaruhi konsumsi pangan melalui cara pemilihan bahan pangan. Orang

yang berpendidikan lebih tinggi cenderung untuk memilih bahan makanan yang

lebih baik dalam kualitas dan kuantitas hidangan dibandingkan mereka yang

berpendidikan rendah atau sedang. Makin tinggi tingkat pendidikan makin baik

status gizi anaknya (Apriluana & Fikawati, 2018).

Status pekerjaan ibu berdasarkan hasil analisa 13 artikel menjelaskan juga

bahwa pekerjaan ibu sangat menentukan perilaku ibu dalam pemberian nutrisi

kepada balita. Ibu yang bekerja berdampak pada rendahnya waktu kebersamaan

ibu dengan anak sehingga asupan makan anak tidak terkontrol dengan baik dan

juga perhatian ibu terhadap perkembangan anak menjadi berkurang. Dampak dari

ibu bekerja juga tergantung dari jenis pekerjaan yang dilakukan ibu (Nisak, 2018).

Ibu yang memiliki jenis pekerjaan berat maka akan mengalami kelelahan fisik,

sehingga ibu akan cenderung memilih untuk beristirahat dari pada mengurus

anaknya sehingga asupan anak tidak diperhatikan dan tidak bisa tercukupi dengan

baik. Sikap dan perilaku ibu pada pemberian nutrisi kepada balita dipengaruhi

oleh status pekerjaan ibu. Ibu yang bekerja akan menyebabkan berkurangnya

perhatian ibu terhadap perkembangan anaknya, dikarenakan rendahnya waktu

kebersamaan ibu dengan anak sehingga pola asuh yang diberikan ibu kepada

balita tidak semaksimal ketika ibu selalu bersama balita dan memonitor

pertumbuhan dan perkembangan balita (Agustiningrum & Rokhanawati, 2016).

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh (García Cruz et al., 2017) yang

menyatakan bahwa ibu yang tidak bekerja 1,1 kali lebih berisiko memiliki anak

stunting dibandingkan ibu yang bekerja. Hal ini dapat disebabkan karena ibu yang
bekerja dapat membantu dari segi perekonomian sehingga meningkatkan daya

beli untuk asupan nutrisi anak. Meskipun waktu untuk merawat anak lebih sedikit

dibandingkan ibu yang tidak bekerja.

Tumbuh kembang anak termasuk stunting dipengaruhi oleh faktor-faktor

keluarga lainnya, seperti: pekerjaan/ pendapatan keluarga. Berdasarkan hasil studi

literatur bahwa pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor yang memiliki

hubungan bermakna dengan kejadian stunting pada balita. Orang tua dengan

pendapatan keluarga yang memadai akan memiliki kemampuan untuk

menyediakan semua kebutuhan primer dan sekunder anak. Keluarga dengan status

ekonomi yang baik juga memiliki akses pelayanan kesehatan yang lebih baik

(Dhami et al., 2019b). Anak pada keluarga dengan status ekonomi rendah

cenderung mengkonsumsi makanan dalam segi kuantitas, kualitas, serta variasi

yang kurang. Status ekonomi yang tinggi membuat seseorang memilih dan

membeli makanan yang bergizi dan bervariasi (Rahman et al., 2017). Stunting

umumnya berhubungan dengan rendahnya kondisi sosial ekonomi secara

keseluruhan dan atau eksposur yang berulang yang dapat berupa penyakit atau

kejadian yang dapat merugikan kesehatan. Tingkat sosial ekonomi keluarga dapat

dilihat dari penghasilan dalam satu keluarga. Hal ini merupakan modal dasar

menuju keluarga sejahtera, sehingga semua keluarga mengharapkan mendapatkan

penghasilan yang maksimal untuk menunjang kebutuhan hidupnya (Hadi et al.,

2019). Sedangkan, menurut (Apriluana & Fikawati, 2018) tingkat sosial ekonomi

berkaitan dengan daya beli keluarga. Kemampuan keluarga untuk membeli bahan

makanan antara lain tergantung pada besar kecilnya pendapatan keluarga, harga

bahan makanan itu sendiri, serta tingkat pengelolaaan sumber daya lahan dan
pekarangan. Keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan besar kurang

dapat memenuhi kebutuhan makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan zat

gizi dalam tubuh anak.

Tingginya angka pernikah dini juga dapat menyebabkan terjadinya stunting.

Kehamilan pertama yang terjadi di usia dini atau saat ibu masih remaja dan sering

disebut kehamilan remaja. Usia ideal seorang wanita untuk melahirkan adalah 20

– 25 tahun. Jika usia ibu lebih muda atau lebih tua dari usia tersebut maka akan

lebih berisiko mengalami komplikasi kehamilan. Seorang wanita yang hamil pada

usia remaja akan mendapat early prenatal care lebih sedikit. Faktor ini yang

diprediksi menyebabkan bayi lahir dengan berat rendah (BBLR), stunting serta

kematian pada bayi. Sebagian besar remaja putri yang hamil memiliki IMT

(Indeks Massa Tubuh) dengan kategori underweight (Geresomo et al., 2017).

Menurut (Mistry et al., 2019) hal tersebut disebabkan oleh kurangnya asupan gizi

dikarenakan kekhawatiran pada bentuk tubuh selama masa remaja dan kurangnya

pendidikan tentang gizi. Kedua hal tersebut kemudian menjadi sebab rendahnya

kenaikan berat badan ibu selama masa kehamilan. Kenaikan berat badan yang

tidak sesuai inilah yang kemudian berakibat pada kenaikan jumlah bayi lahir

premature yang menjadi salah satu faktor terjadinya stunting pada balita . Ibu

yang hamil di usia remaja juga masih dalam masa pertumbuhan sehingga dapat

terjadi perebutan zat gizi antara janin dan metabolism ibu itu sendiri. Keadaan

tersebut akan semakin parah jika asupan zat gizi ibu tidak adekuat sehingga janin

akan mengalami growth restriction sehingga mengingkatkan resiko terjadinya

stunting pada balita (Larasati et al., 2018). Kehamilan di usia awal remaja, ketika
ibu juga masih tumbuh akan meningkatkan resiko bayi yang dilahirkan akan

menjadi stunting (Irwansyah et al., 2016).

Berdasarkan literature ini dijelaskan bahwa faktor demografi memiliki

hubungan dengan kejadian stunting sehingga peneliti berasumsi bahwa faktor

demografi jenis kelamin dimana terdapat dijelaskan bahwa jenis kelamin laki-laki

memiliki resiko lebih tinggi dibandingkan anak berjenis kelamin perempuan

dikarenakan terjadinya kebutuhan nutrisi yang lebih banyak pada laki-laki dan

juga adanya perbedaan praktik makan pada anak dari orang tua. Selain itu terdapat

faktor demografi pendidikan terakhir pada orang tua, tingkat pendidikan akan

mempengaruhi konsumsi pangan melalui cara pemilihan bahan pangan. Orang

yang berpendidikan lebih tinggi cenderung untuk memilih bahan makanan yang

lebih baik dalam kualitas dan kuantitas hidangan dibandingkan mereka yang

berpendidikan rendah atau sedang. Makin tinggi tingkat pendidikan makin baik

status gizi anaknya. Faktor demografi pekerjaan ibu pada literature ini juga

berhubungan dengan kejadian stunting, dimana ibu yang bekerja memiliki waktu

yang sangat sedikit dalam merawat dan menentukan pola asuh untuk anaknya,

namun ibu yang bekerja juga dapat mencegah terjadinya stunting dikarenakan

dapat membantu pendapatan keluarga, dimana pendapatan keluarga memiliki

hubungan dengan kejadian stunting. Pendapatan keluarga yang memadai akan

menunjang perilaku anggota keluarga untuk mendapatkan pelayanan kesehatan

keluarga yang lebih memadai dan dapat memenuhi kebutuhan sandang dan

pangan untuk ibu menyusui dan balita. Kehamilan pada usia remaja memiliki

peluang yang lebih besar untuk melahirkan bayi prematur atau memiliki bayi

dengan berat lahir rendah. Selanjutnya, kehamilan remaja lebih sering terjadi pada
populasi yang kurang mampu secara ekonomi dan ibu remaja cenderung memiliki

sedikit pengalaman dalam hal pengasuhan anak dan cenderung memiliki

pendidikan yang rendah.

4.2. Hubungan Faktor Lingkungan Dengan Kejadian Stunting Pada Anak

Berdasarkan 13 artikel yang akan dianalisis pada penelitian ini terdapat

sepuluh artikel yang membahas mengenai faktor lingkungan sebagai pencetus

terjadinya stunting pada anak balita. Faktor lingkungan tersebut yaitu terdiri

kebersihan dan jenis jamban yang digunakan, tempat tinggal anak (perkotaan atau

perdesaan), kebersihan makanan tau minuman yang di konsumsi, udara dalam

rumah, akses ke sumber air minum yang bersih, dan fasilitas sanitasi lingkungan

yang layak.

Kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau keadaan

lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya

status kesehatan yang optimum pula. Ruang lingkup kesehatan lingkungan

tersebut antara lain: perumahan, pembuangan kotoran manusia (tinja), penyediaan

air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air kotor (air limbah), rumah hewan

ternak (kandang), dan sebagainya. Keadaan lingkungan yang kurang baik

memungkinkan terjadinya berbagai penyakit antara lain diare dan infeksi saluran

pernapasan (Apriluana & Fikawati, 2018).

Purwanti & Nurfita (2019) menyatakan bahwa anak-anak dengan rumah

tangga yang tidak memiliki akses toilet lebih mungkin menderita stunting (50% )

dibandingkan dengan rumah tangga yang memiliki akses toilet (38%). Kurangnya

akses ke fasilitas sanitasi, yaitu toilet dan/atau jamban, mengarah ke berbagai

tantangan kesehatan seperti cacing parasit dan enteropati lingkungan. Cacing


parasit ditularkan melalui kotoran manusia dan menyebabkan komplikasi

kesehatan ganda pada anak-anak termasuk anemia dan stunting. Enteropati

lingkungan terjadi dengan peradangan usus kecil berulang dan jangka panjang

yang kemudian mengurangi serapan hara dan dapat menyebabkan stunting,

anemia, dan diare.

Berdasarkan penelitian (Kim et al., 2017b) risiko lingkungan memiliki

perkiraan dampak terbesar kedua pada stunting secara global dan di Asia Selatan,

Afrika sub-Sahara, dan kawasan. Asia Timur dan Pasifik, sedangkan gizi dan

infeksi anak merupakan kelompok faktor risiko kedua di wilayah lain. Khususnya,

7,2 juta kasus stunting di seluruh dunia disebabkan oleh sanitasi yang tidak baik.

Beban yang timbul dari sanitasi yang tidak layak untuk stunting lebih besar

(meskipun tidak signifikan) daripada diare masa balita, karena beberapa efek

sanitasi yang ditingkatkan mungkin melalui pencegahan infeksi masa balita lain

dan peningkatan kesehatan ibu dan gizi pada kehamilan. Ini lebih lanjut

menggarisbawahi pentingnya program air, sanitasi, dan kebersihan (Water,

Sanitation, & Hygiene/ WASH) yang sedang berlangsung untuk meningkatkan

akses, dan penggunaan, air bersih dan sanitasi untuk anak-anak dan keluarga di

seluruh dunia (Jiang et al., 2015). Faktor lain adalah perilaku higiene sanitasi

makanan yang kurang baik, menyebabkan penyakit infeksi disertai gangguan

seperti nafsu makan berkurang dan muntah-muntah. Kondisi ini dapat

menurunkan keadaan gizi balita dan berimplikasi buruk terhadap kemajuan

pertumbuhan anak (stunting) (Zairinayati, 2019).

Pada aspek sanitasi lingkungan berdasarkan hasil analisis diperoleh adanya

hubungan yang bermakna antara jenis jamban yang digunakan dan sumber air
bersih. Jenis jamban yang tidak layak (bukan leher angsa) mempunyai

kecenderungan untuk menderita stunting 0,3 kali lebih tinggi dibandingkan

dengan balita yang mempunyai jamban yang layak (Mistry et al., 2019).

Keberadaan jamban yang tidak memenuhi standar secara teori berpotensi memicu

timbulnya penyakit infeksi yang karena higiene dan sanitasi yang buruk yang

dapat menganggu penyerapan nutrisi pada proses pencernaan . Beberapa penyakit

infeksi yang diderita bayi dapat menyebabkan berat badan bayi turun. Jika kondisi

ini terjadi dalam waktu yang cukup lama dan tidak disertai dengan pemberian

asupan yang cukup untuk proses penyembuhan maka dapat mengakibatkan

stunting (Buletin, Kemekes RI. 2018). Sumber air yang menggunakan air sumur

meningkatkan resiko balita untuk stunting 0,13 kali lebih tinggi dibandingkan

dengan dengan sumber air yang sudah diolah (PAM) (Aisah et al., 2019). Dari

analisa di atas memang menunjukkan faktor risikonya kecil namun sudah

mengindikasikan ada pengaruh sanitasi lingkungan dengan kejadian stunting.

Sumber air minum layak yang dimaksud adalah air minum yang terlindung

meliputi air ledeng (keran), keran umum, hydrant umum, terminal air,

penampungan air hujan (PAH) atau mata air dan sumur terlindung, sumur bor atau

pompa, yang jaraknya minimal 10 meter dari pembuangan kotoran, penampungan

limbah, dan pembuangan sampah. Tidak termasuk air kemasan, air dari penjual

keliling, air yang dijual melalui tangki, air sumur dan mata air tidak terlindung

(Buletin, Kemekes RI. 2018).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Tanzania, menyatakan

bahwa anak umur 0-23 bulan yang tinggal di daerah pedesaaan berisiko stunting

1,4 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang tinggal di daerah kota.
Determinan tempat tinggal terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu desa dan kota.

Anak yang tinggal di desa mempunyai risiko lebih besar terkena stunting

dibandingkan dengan anak yang tinggal di daerah kota (García Cruz et al., 2017).

Di daerah pedesaan, risiko stunting yang lebih besar dikaitkan dengan

karakteristik keluarga, penghasilan keluarga, alokasi sumber daya rumah tangga,

organisasi keluarga, jejaring sosial, dan perawatan kesehatan anak. Lingkungan

desa dan kota berbeda, lingkungan tempat tinggal akan menentukan jenis

pekerjaan ayah dan besar pendapatan yang diperoleh (Purwanti & Nurfita, 2019).

Perbedaan lingkungan desa dan kota juga terkait dengan ketersediaan makanan

yang bergizi. Di desa, ketersediaan makanan tergantung pada produksi lokal yang

ada, sedangkan di kota cenderung tersedia makanan yang beraneka ragam. Di

Kota, makanan yang beraneka ragam juga mudah didapatkan. Pemenuhan

kebutuhan tersebut tergantung pada kemampuan keluarga untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya (Apriluana & Fikawati, 2018). Selain hal tersebut, jejaring

sosial juga mempunyai dampak yang signifikan terhadap stunting di desa dan di

kota. Di kota, orang tua lebih mudah mengakses internet untuk mencari informasi

terkait kesehatan anak, sehingga orang tua mempunyai pengetahuan yang cukup

untuk mengatasi permasalahan kesehatan pada anak. Fasilitas kesehatan yang

tersedia di desa dan di kota juga berbeda (Zairinayati, 2019).

Berdasarkan literature yang telah di analisa dengan di dukung jurnal-jurnal

lainnya maka peneliti berasumsi bahwa lingkungan memiliki hubugan dengan

kejadian stunting yaitu seperti Jamban yang tidak memenuhi standar seperti

jamban cemplung berpotensi lebih besar menyebabkan stunting pada anak

dibanding WC yang sudah memenuhi standar seperti WC duduk. eberadaan


jamban yang tidak memenuhi standar secara teori berpotensi memicu timbulnya

penyakit infeksi yang karena hygiene dan sanitasi yang buruk (misalnya diare dan

kecacingan) yang dapat menganggu penyerapan nutrisi pada proses pencernaan.

Beberapa penyakit infeksi yang diderita bayi dapat menyebabkan berat badan bayi

turun. Jika kondisi ini terjadi dalam waktu yang cukup lama dan tidak disertai

dengan pemberian asupan yang cukup untuk proses penyembuhan maka dapat

mengakibatkan stunting. Faktor resikonya kecil akan tetapi tetap berpengaruh

karena mengindikasikan sanitasi dari suatu tempat tertentu. Terkait juga dengan

diare. Sarana air bersih termasuk faktor dominan yang mempengaruhi kejadian

diare pada balita. Untuk mencegah terjadinya diare maka air bersih harus diambil

dari sumber yang baik (terlindungi/tidak terkontaminasi). Anak yang berasal dari

keluarga dengan sumber air yang tidak terlindungi dan jenis jamban yang tidak

memenuhi standar akan lebih berisiko terkena stunting

4.3. Hubungan Faktor Pola Asuh Dengan Kejadian Stunting Pada Anak

Berdasarkan 13 artikel yang akan dianalisis pada penelitian ini terdapat

sebelas artikel yang membahas mengenai faktor pola asuh orang tua sebagai

faktor pencetus terjadinya stunting pada anak balita. Faktor pola asuh tersebut

yaitu terdiri dari pemberian ASI Ekslusif, pengenalan atau keterlambatan

pengenalan MPASI, pola pemberian makanan (frekuensi, waktu dan jumlah),

serta keputusan untuk memasak makanan yang variatif berdasarkan kandungan

gizi yang dibutuhkan oleh anak.

Berdasarkan hasil analisa jurnal yang telah dilakukan menunjukkan hasil

bahwa ibu dengan kebiasaan pengasuhan yang kurang baik pada balitanya

mempunyai kecenderungan 6,62 kali lebih besar untuk memiliki balita stunting
dibandingkan ibu dengan kebiasaan pengasuhan yang baik pada balitanya (Dhami

et al., 2019b). Hasil analisa ini sejalan dengan hasil penelitian (Geresomo et al.,

2017) yang menyebutkan bahwa adanya perbedaan yang signifikan antara

kebiasaan pola asuh terhadap status gizi anak. Anak dengan status gizi tidak baik

mempunyai peluang 9 kali pada keluarga yang menerapkan kebiasaan pola asuh

tidak baik dibandingkan anak pada keluarga dengan pola asuh yang baik. Pola

pengasuhan merupakan hal yang penting dalam proses tumbuh kembang anak.

Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak

adalah adanya faktor psikososial yang didalamnya mencakup hal penting dalam

kehidupan anak yaitu pentingnya stimulasi dalam pengasuhan. Pola pengasuhan

yang baik merupakan gambaran adanya interaksi positif anak dengan pengasuh

utama yang berperan dalam perkembangan emosi dan psikologis anak sehingga

menciptakan tumbuh kembang anak yang normal (Indah Nurdin et al., 2019).

Peran orang tua sedini mungkin akan menjalin rasa aman pada anaknya. Hal

tersebut diwujudkan dengan kontak fisik dan psikologis sejak anak lahir hingga

dalam proses tumbuh kembangnya. Kurangnya kasih sayang orang tua di tahun-

tahun pertama berdampak negative pada tumbuh kembang anak baik fisik, mental,

maupun sosial emosi. Kasih sayang orang tua akan menciptakan ikatan yang erat

(bonding) dan kepercayaan dasar (basic trust). Hubungan yang erat, mesra dan

selaras antara orang tua dan anak merupakan syarat mutlak untuk menjamin

tumbuh kembang yang selaras, baik fisik, mental maupun psikososial. Ibu yang

memberikan rangsangan psikososial yang baik pada anak berpengaruh positif

pada status gizi anak (Bella et al., 2020). Hal ini sesuai dengan penelitian

mengenai positive deviance pada keluarga miskin yang mengungkap bahwa


asuhan psikososial berupa keterikatan antara ibu dan anak menjadi faktor penting

dalam tumbuh kembang anak. Kondisi psikososial yang buruk dapat

mempengaruhi pemanfaatan zat gizi dalam tubuh, sebaliknya hormone

pertumbuhan dirangsang kondisi psikososial yang baik. Secara tidak langsung

asuhan psikososial berkaitan dengan asuhan gizi dan kesehatan yang berpengaruh

positif pada status gizi, tumbuh dan kembang (Yudianti & Saeni, 2016).

Pola asuh merupakan faktor risiko yang paling berpengaruh, dimana pola

asuh ibu yang buruk 3,9 kali lebih berisiko anaknya mengalami kejadian stunting

bila dibandingkan dengan ibu yang memiliki pola asuh anak yang baik. Salah satu

kebutuhan terpenting bagi anak adalah kebutuhan fisik biomedis (pola asuh). Pola

asuh yang diberikan dapat berupa kecukupan pangan makanan dan gizi dan

perawatan kesehatan dasar yang diberikan kepada balita (Indah Nurdin et al.,

2019). Hasil penelitian yang diperoleh sejalan dengan (Bella et al., 2020) yang

menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua

dengan kejadian stunting. Pola asuh orang tua yang kurang baik, anaknya 8 kali

lebih berisiko mengalami kejadian stunting dibandingan dengan anak yang

mendapatkan pola asuh orang tua yang baik. Berdasarkan hasil penelitian lain

tekait pola asuh melalui pemberian makan oleh orang tua kepada balita yang tidak

sesuai dengan kebutuhan gizi subyek dapat menyebabkan stunting, termasuk

dalam pemberian ASI yang tidak ekslusif, pemberian MP–ASI yang terlalu dini

pada subyek sebelum 6 bulan. Balita yang mendapatkan makanan pendamping

ASI (MPASI) yang monoton 3,2 kali lebih berisiko mengalami kejadian stunting

dibandingkan dengan balita yang mendapatkan MPASI yang variatif. Variasi


makanan yang dimaksud adalah ragam bahan makanan yang diberikan kepada

balita (Yudianti & Saeni, 2016).

Anak balita yang diberikan ASI eksklusif dan MP-ASI sesuai dengan

dengan kebutuhannya dapat mengurangi risiko terjadinya stunting (Mbwana et al.,

2017). Hal ini karena pada usia 0-6 bulan ibu balita yang memberikan ASI

eksklusif dapat membentuk imunitas atau kekebalan tubuh anak balita sehingga

dapat terhindar dari penyakit infeksi. Setelah itu, pada usia 6 bulan anak balita

diberikan MP-ASI dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga anak balita

terpenuhi kebutuhan zat gizinya yang dapat mengurangi risiko terjadinya stunting.

Usia 6 bulan, pencernaan bayi sudah siap untuk menerima makanan. Pemberian

MP-ASI dini sebelum 6 bulan atau pun lebih dari 6 bulan dapat menyebabkan

bayi kekurangan zat gizi dan akan mengalami kurang zat besi, serta mengalami

tumbuh kembang yang terlambat (Safitri & Dkk, 2019). Bayi yang diberi MP-ASI

6 bulan status gizinya lebih banyak normal dibandingkan pada usia 0- 3 bulan

atau 4-5 bulan. Status gizi kurang pada balita bisa karena akibat pengenalan MP-

ASI kurang dari 6 bulan . Hasil Penelitian yang mendukung dilakukan (Khasanah

et al., 2016), bahwa adanya hubungan yang erat antara usia pertama pemberian

MP-ASI dengan status gizi pada indek BB/U dan TB/U lemah, dengan arah

hubungan yang positif, artinya semakin awal usia pemberian MP-ASI maka status

gizi anak semakin buruk.

Pemberian makan dengan cara yang sehat, pemberian makan bergizi dan

mengatur porsi yang dihabiskan akan meningkatkan status gizi anak. Makanan

yang baik untuk bayi dan balita harus memenuhi syarat-syarat kecukupan energi

dan zat gizi sesuai umur, pola menu seimbang dengan bahan makanan yang
tersedia, kebiasaan dan selera makan anak, bentuk dan porsi makanan yang

disesuaikan pada kondisi anak dan memperhatikan kebersihan perorangan dan

lingkungan (Torlesse et al., 2016a). Ini sejalan dengan satu (Khasanah et al., 2016)

penelitian yang menyebutkan praktek pemberian makan oleh ibu pada kelompok

anak normal (tidak stunting) lebih baik dibandingkan pada kelompok anak

stunting. Praktek pemberian makan tersebut antara lain meliputi frekuensi

pemberian makan, pemberian makanan selingan, pertimbangan pemilihan jenis,

pemberian makanan lengkap, penentuan waktu dan cara pemberian makan.

Praktek pemberian makan yang kurang baik mengakibatkan anak tidak

memperoleh asupan gizi seimbang dan secara kumulatif mengakibatkan gangguan

pertumbuhan anak.

Keragaman makanan merupakan salah satu prinsip gizi seimbang untuk

memenuhi kebutuhan gizi balita yang nantinya dibutuhkan untuk mengoptimalkan

pertumbuhan dan perkembangan balita. Variasi jenis makanan yang diberikan

juga dapat membantu meningkatkan nafsu makan. Variasi jenis yang

dimaksudkan dapat berupa nasi, lauk pauk, sayur, buah dan susu yang diberikan

kepada balita (Kim et al., 2017b). Jenis makanan tersebut kaya akan zat gizi yang

memegang peranan penting dalam pertumbuhan Akibat dari pemberian MPASI

yang monoton akan membuat kebutuhan gizi balita tidak terpebuhi. Akibat

kekurangan asupan energi akan membuat tubuh menghemat energi sehingga

berdampak pada hambatan kenaikan berat badan dan pertumbuhan linier

(Habimana & Biracyaza, 2019). Kekurangan asupan energi pada usia 1-3 tahun

2,5 kali lebih berisiko mengalami stunting. Kekurangan zat gizi lainnya seperti

vitamin B2, vitamin B6, Fe, dan Zn dapat meningkatkan risiko kejadian stunting.
Jenis asupan makanan yang umumnya diberikan oleh para orang tua adalah

pemberian bubur sereal dalam kemasan yang banyak dijual. Makan tersebut

dipilih karena sedikit praktis, akan tetapi pemberian MPASI tersebut dilakukan

secara monoton sejak umum 6 bulan sampai 2 tahun tanpa mempertimbangkan

makanan pendamping ASI. Akibatnya adalah penurunan kualitas pemenuhan zat

gizi balita yang secara tidak lansung menyebabkan kejadian stunting (Zairinayati,

2019).

Khasanah et al. (2016) menemukan bahwa MPASI yang tidak variatif dan

frekuensi pemberian makan yang tidak sesuai dengan anjuran dapat menyebabkan

kejadian stunting. Kurang beragamnya makanan pada balita, 7 kali lebih berisiko

mengalami kejadian stunting dibandingkan dengan balita yang makanannya

beragam. Sejalan dengan penelitian Rahmad & Miko (2016) yang menemukan

bahwa pemberian makanan pendamping ASI yang buruk, membuat balita 3,4 kali

lebih berisiko mengalami stunting dibandinkan dengan balita yang mendapatkan

MPASI yang baik.

Berdasarkan dari literature yang telah dianalisa serta telah di dukung dengan

referensi jurnal lainnya, maka peneliti berasumsi bahwa anak balita yang

diberikan ASI eksklusif dan MP-ASI sesuai dengan kebutuhannya dapat

mengurangi risiko terjadinya stunting. Hal ini karena pada usia 0-6 bulan ibu

balita yang memberikan ASI eksklusif dapat membentuk imunitas atau kekebalan

tubuh anak balita sehingga dapat terhindar dari penyakit infeksi. Setelah itu, pada

usia 6 bulan anak balita diberikan MP-ASI dalam jumlah dan frekuensi yang

cukup sehingga anak balita terpenuhi kebutuhan zat gizinya yang dapat

mengurangi risiko terjadinya stunting. Usia 6 bulan, pencernaan bayi sudah siap
untuk menerima makanan. Pemberian MP-ASI yang baik sangat penting bagi

tumbuh kembang anak. Bahan makanan yang sarna sesuai waktu makan

kemudian dijumlahkan untuk memperoleh total dari 8 kelompok bahan makanan

yang dikonsumsi dalam sehari. Tingkat konsumsi energi dan protein dihitung

dengan membandingkan jumlah konsumsi makanan dalam sehari terhadap angka

kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan untuk anak sesuai umumya.Penyiapan,

penyajian, dan pemberian MPASI harus dilakukan dengan cara higienis.

Komposisi makanan yang akan diberikan kepada balita harus disesuaikan dengan

usianya, seperti penambahan garam, gula, pemnggunaan makanan yang

mengandung nitrat dan lain sebagainya. Pemilihan makanan harus sesuai dengan

nutrisi yang dibutuhkan oleh balita. Pemberian makan pada bayi dan batita harus

mengikuti kaidah responsive feeding. Kaidah responsive feeding perlu

disosialisasikan pada tenaga kesehatan dan orangtua.

4.4. Hubungan Faktor Pelayanan Kesehatan Dengan Kejadian Stunting

Pada Anak

Berdasarkan 13 artikel yang akan dianalisis pada penelitian ini terdapat tiga

artikel yang membahas mengenai faktor akes pelayanan kesehatan sebagai faktor

pencetus terjadinya stunting pada anak balita. Pelayanan kesehatan adalah akses

atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap upaya pencegahan penyakit dan

pemeliharaan kesehatan seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan

persalinan, penimbangan anak, penyuluhan kesehatan dan gizi, serta sarana

kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktek bidan atau dokter dan

rumah sakit. Tidak terjangkaunya pelayanan kesehatan (karena jauh dan atau tidak

mampu membayar), kurangnya pendidikan dan pengetahuan merupakan kendala


masyarakat dan keluarga memanfaatkan secara baik pelayanan kesehatan yang

tersedia. Hal ini akan dapat berdampak juga pada status gizi anak (Habimana &

Biracyaza, 2019).

Kemampuan suatu rumah tangga untuk mengakses pelayanan kesehatan

berkaitan dengan ketersediaan sarana pelayanan kesehatan serta kemampuan

ekonomi untuk membayar biaya pelayanan. Pelayanan kesehatan sangat sensitif

terhadap perubahan situasi ekonomi. Gangguan situasi ekonomi akan menggangu

aksesibilitas masyarakat dan keluarga terhadap pelayanan kesehatan, contohnya:

pelayanan imunisasi, perawatan berkaitan dengan pertumbuhan, morbiditas, dan

mortalitas anak (Setiawan et al., 2018). Akses ke pelayanan kesehatan dilihat dari

jarak dan waktu tempuh serta biaya yang dikeluarkan untuk mencapai pelayanan

kesehatan. Jarak merupakan ukuran jauh dekatnya dari rumah/tempat tinggal

seseorang ke pelayanan kesehatan terdekat. Jarak tempat tinggal responden ke

pelayanan kesehatan merupakan salah satu penghambat dalam memanfaatkan

pelayanan kesehatan (Simbolon et al., 2015).

Hasil analisis bivariat (Hidayah et al., 2019) menunjukkan proporsi kejadian

stunting (BB/U, TB/U, dan BB/TB) pada balita lebih tinggi terjadi pada balita

dengan jarak rumah >300 meter, waktu tempuh >7 menit dan tidak mempunyai

alat transportasi ke pelayanan kesehatan (nilai p<0,05). Berbagai alasan akses ke

pelayanan kesehatan terdekat yang sulit seperti angkutan umum yang tidak

mencapai sarana kesehatan, letak cukup jauh dan terpencil, sehingga untuk

mengakses pelayanan kesehatan harus dengan menggunakan sarana transportasi

lain seperti ojek atau berjalan kaki (Hidayah et al., 2019).


Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan menunjukkan secara statistik

bahwa orang tua dengan kebiasaan mendapatkan pelayanan kesehatan yang

kurang baik bagi balitanya mempunyai kecenderungan 8,07 kali lebih besar untuk

memiliki balita stunting dibandingkan dengan kebiasaan mendapatkan pelayanan

kesehatan yang baik untuk balitanya (Kim et al., 2017b). Penelitian (Bella et al.,

2020) juga menyatakan bahwa adanya perbedaan yang signifikan pada kebiasaan

memperoleh pelayanan kesehatan terhadap status gizi anak (p=0,000), bahwa

anak yang memiliki status gizi tidak baik mempunyai peluang 11 kali pada

keluarga yang pelayanan kesehatannya tidak baik dibandingkan dengan anak pada

keluarga yang mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik.

Permasalahan gizi dipengaruhi langsung oleh asupan gizi dan diperburuk

oleh paparan penyakit infeksi pada balita. Kejadian infeksi penyakit pada anak

berkaitan erat dengan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Kebiasaan

dalam upaya mendapatkan pelayanan kesehatan mencakup cara ibu untuk

mengakses pelayanan kesehatan anak dengan memberikan imunisasi yang

lengkap, pengobatan penyakit dan bantuan tenaga profesional dalam menjaga

kesehatan anak . Hal tersebut sangat berperan dalam peningkatan status gizi anak

dimana ibu berupaya memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada untuk

memperoleh informasi kesehatan yang benar (Dewi et al., 2019). Upaya

peningkatan pemanfaatan pelayanan kesehatan yaitu menambah informasi

kesehatan pada ibu dengan berbagai kegiatan misalnya penyuluhan gizi dan

kesehatan serta konseling gizi bagi ibu dengan balita yang mengalami

permasalahan gizi. Penelitian lain menyebutkan adanya perbedaan pengetahuan

yang signifikan pada ibu antara sebelum dan sesudah konseling gizi (Ratu, 2017).
Kesehatan anak harus mendapat perhatian dari para orang tua yaitu dengan

cara segera membawa anaknya yang sakit ketempat pelayanan kesehatan yang

terdekat. Jika anak sakit hendaknya ibu membawanya ketempat pelayanan

kesehatan seperti rumah sakit, klinik, puskesmas dan lain-lain. Semakin seringnya

kunjungan balita ke posyandu maka status gizi balita akan terpantau dengan baik,

mendapatkan paket makanan MP ASI gratis, serta ibu balita mendapatkan banyak

informasi pemenuhan gizi baik bagi anak (Dewi et al., 2019). Dalam kondisi sakit

imun tubuh anak melemah dan akan mudah terserang penyakit jika anak tidak

atau jarang dibawah ke posyandu untuk mendapatkan imunisasi. Karena ketika

sakit nafsu makan akan berkurang dan akan diikuti dengan daya tahan tubuh

semakin melemah, mudah terinfeksi penyakit lain dan pertumbuhan anak akan

terganggu (Simbolon et al., 2015). Peranan ibu dalam memenuhi kebutuhan gizi

balita sangat penting, dibandingkan dengan peranan para kader posyandu dan

petugas kesehatan1. Keaktifan dari para ibu sendiri untuk aktif dalam kegiatan

pemanfaatan posyandu dalam pemantauan gizi sang balita sangat diperlukan.

Adapun balita yang memiliki status gizi kurang tapi pemanfaatan posyandunya

baik, dapat dipengaruhi oleh kesehatan, keadaan psikologis, dan sosial anak.

Kondisi lingkungan keluarga adalah sesuatu yang penting dalam pemenuhan gizi

balita tersebut (Ratu, 2017).

Pelayanan kesehatan yang dimanfaatkan dalam penelitian ini mencakup

pelayanan kesehatan A (rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu, dokter

praktek, dan bidan praktek) serta pelayanan kesehatan B (posyandu, poskesdes,

dan polindes). Posyandu merupakan sarana yang memanfaatkan sumber daya

masyarakat dan dikelola oleh masyarakat. Pemanfaatan posyandu yang


merupakan sarana pelayanan kesehatan sederhana dalam masyarakat dipengaruhi

oleh beberapa faktor (Setiawan et al., 2018). Masyarakat datang ke posyandu

karena sarana dan prasarana tersedia, mutu pelayanan dinilai baik, ada peran dari

tokoh masyarakat, dan masyarakat tidak mampu membawa anak ke fasilitas

pelayanan lain. Berbagai alasan tidak membawa balitanya ke posyandu antara lain

letak jauh, tidak ada posyandu dan layanan tidak lengkap. Tingkat keteraturan ibu

ke posyandu untuk memantau pertumbuhan balita yang rendah dapat berakibat

keterlambatan deteksi gangguan pertumbuhan anak (Hidayah et al., 2019).

Penulis beransumsi adanya hubungan pemanfaatan pelayanan kesehatan

dengan kejadian stunting dan terutama saat anak sakit, karena ketika anak sakit

daya tahan tubuh anak atau imun tubuh melemah dan akan lebih mudah terserang

penyakit apalagi jika anak tidak atau jarang dibawah ke posyandu untuk

mendapatkan imunisasi. Karena ketika sakit nafsu makan akan berkurang.


BAB 5

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Terdapat empat faktor eksternal yang dapat mempengaruhi terjadinya

stunting faktor demografi, faktor lingkungan, faktor pola asuh dan faktor

pelayanan kesehatan. Faktor demografi teridiri dari jenis kelamin anak,

pendidikan ibu, usia ibu, status sosial ekonomi, dan pekerjaan ibu. Faktor

lingkungan tersebut yaitu terdiri kebersihan dan jenis jamban yang digunakan,

tempat tinggal anak (perkotaan atau perdesaan), kebersihan makanan tau

minuman yang di konsumsi, udara dalam rumah, akses ke sumber air minum yang

bersih, dan fasilitas sanitasi lingkungan yang layak. Faktor pola asuh tersebut

yaitu terdiri dari pemberian ASI Ekslusif, pengenalan atau keterlambatan

pengenalan MPASI, pola pemberian makanan (frekuensi, waktu dan jumlah),

serta keputusan untuk memasak makanan yang variatif berdasarkan kandungan

gizi yang dibutuhkan oleh anak. Faktor yang terkahir yaitu faktor pelayanan

kesehatan.

Berdasarkan hasil dari penelitian diatas maka hal yang dapat dilakukan

untuk mencegah atau mengatasi anak dengan stunting yaitu dengan adanya

sosialisasi dari pemerintah maupun dari puskesmas dan kader sebagai pelayanan

kesehatan terdekat dengan masyarakat. Sosialisasi mengenai penimbangan dan

pengukuran rutin balita setiap bulan di Posyandu, dan dibutuhkan kelengkapan

alat ukur sesuai standar WHO, sosialisasi pola MPASI dan ASI Eksklusif.

Pemberian bantuan protein hewani termasuk susu untuk keluarga dengan balita.

Pelatihan dokter, bidan, ahli gizi dan kader untuk mendeteksi stunting dengan
intervensinya. Serta penyediaan PKMK untuk kondisi yang menyebabkan

stunting seperti gizi buruk, gizi kurang, gagal tumbuh, alergi, prematur, sampai

kelainan metabolik.

5.2 Conflict of Interest

Rangkuman menyeluruh atau literature review ini adalah penulisan

secara mandiri, sehingga tidak terdapat konflik kepentingan dalam penulisannya.


DAFTAR PUSTAKA

Agustiningrum, T., & Rokhanawati, D. (2016). Hubungan Karakteristik Ibu


Dengan Kejadian Stunting PAda Balita Usia 24-59 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Wonosari I. Universitas ’Aisyiyah Yogyakarta, 1–6.
http://digilib.unisayogya.ac.id/2146/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf
Aisah, S., Ngaisyah, R. D., & Rahmuniyati, M. E. (2019). Personal Hygiene Dan
Sanitasi Lingkungan Berhubungan dengan Kejadian Stunting di Desa
Wukirsari Kecamatan Cangkringan. Prosiding Seminar Nasional
Multidisiplin Ilmu, 1(2), 49–55.
http://prosiding.respati.ac.id/index.php/PSN/article/download/182/176
Apriluana, G., & Fikawati, S. (2018). Analisis Faktor-Faktor Risiko terhadap
Kejadian Stunting pada Balita (0-59 Bulan) di Negara Berkembang dan Asia
Tenggara. Media Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, 28(4), 247–256.
https://doi.org/10.22435/mpk.v28i4.472
Ariati, L. I. P. (2019). Faktor-Faktor Resiko Penyebab Terjadinya Stunting Pada
Balita Usia 23-59 Bulan. OKSITOSIN : Jurnal Ilmiah Kebidanan, 6(1), 28–
37. https://doi.org/10.35316/oksitosin.v6i1.341
Aridiyah, F., Rohmawati, N., & Ririanty, M. (2013). Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Kejadian Stunting pada Anak Balita di Wilayah Pedesaan
dan Perkotaan (The Factors Affecting Stunting on Toddlers in Rural and
Urban Areas). JAOCS, Journal of the American Oil Chemists’ Society,
90(12), 1809–1817. https://doi.org/10.1007/s11746-013-2339-4
Bella, F. D., Fajar, N. A., & Misnaniarti. (2020). Hubungan antara Pola Asuh
Keluarga dengan Kejadian Balita Stunting pada Keluarga Miskin di
Palembang. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas, 5(1), 15–22.
https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jekk/article/download/5359/3746
Chowdhury, T. R., Chakrabarty, S., Rakib, M., Afrin, S., Saltmarsh, S., & Winn,
S. (2020). Factors associated with stunting and wasting in children under 2
years in Bangladesh. Heliyon, 6(9), e04849.
https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2020.e04849
Dewi, I., Suhartatik, S., & Suriani, S. (2019). Faktor Yang Mempengaruhi
Kejadian Stunting Pada Balita 24-60 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas
Lakudo Kabupaten Buton Tengah. Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis,
14(1), 85–90. https://doi.org/10.35892/jikd.v14i1.104
Dhami, M. V., Ogbo, F. A., Osuagwu, U. L., Ugboma, Z., & Agho, K. E. (2019a).
Stunting and severe stunting among infants in India: the role of delayed
introduction of complementary foods and community and household factors.
Global Health Action, 12(1), 1638020.
https://doi.org/10.1080/16549716.2019.1638020
Febriani, A. D. B., Daud, D., Rauf, S., Nawing, H. D., Ganda, I. J., Salekede, S.
B., Angriani, H., Maddeppungeng, M., Juliaty, A., Alasiry, E., Artaty, R. D.,
Lawang, S. A., Ridha, N. R., Laompo, A., Rahimi, R., Aras, J., & Sarmila, B.
(2020). Risk Factors and Nutritional Profiles Associated with Stunting in
Children. Pediatric Gastroenterology, Hepatology & Nutrition, 23(5), 457.
https://doi.org/10.5223/pghn.2020.23.5.457
García Cruz, L. M., González Azpeitia, G., Reyes Súarez, D., Santana Rodríguez,
A., Loro Ferrer, J. F., & Serra-Majem, L. (2017). Factors associated with
stunting among children aged 0 to 59 months from the central region of
Mozambique. Nutrients, 9(5). https://doi.org/10.3390/nu9050491
Geresomo, N., Mbuthia, E. K., Matofari, J. W., & Mwangwela, A. M. (2017).
Risk factors associated with stunting among infants and young children aged
6 - 23 Months in Dedza District of Central Malawi. African Journal of Food,
Agriculture, Nutrition and Development, 17(4), 12854–12870.
https://doi.org/10.18697/ajfand.80.16730
Habimana, S., & Biracyaza, E. (2019). Risk Factors Of Stunting Among Children
Under 5 Years Of Age In The Eastern And Western Provinces Of Rwanda:
Analysis Of Rwanda Demographic And Health Survey 2014/2015. Pediatric
Health, Medicine and Therapeutics, 10, 115–130.
https://doi.org/10.2147/PHMT.S222198
Hadi, M. I., Kumalasari, M. L. F., & Kusumawati, E. (2019). Faktor Risiko yang
Berhubungan dengan Kejadian Stunting di Indonesia: Studi Literatur.
Journal of Health Science and Prevention, 3(2), 86–93.
https://doi.org/10.29080/jhsp.v3i2.238
Hidayah, N., Rita, W., Anita, B., Podesta, F., Ardiansyah, S., Subeqi, A. T.,
Nasution, S. L., & Riastuti, F. (2019). Hubungan pola asuh dengan kejadian
stunting (rekomendasi pengendaliannya di Kabupaten Lebong). Riset
Informasi Kesehatan, 8(2), 140. https://doi.org/10.30644/rik.v8i2.237
Indah Nurdin, S. S., Octaviani Katili, D. N., & Ahmad, Z. F. (2019). Faktor ibu,
pola asuh anak, dan MPASI terhadap kejadian stunting di kabupaten
Gorontalo. Jurnal Riset Kebidanan Indonesia, 3(2), 74–81.
https://doi.org/10.32536/jrki.v3i2.57
Irwansyah, I., Ismail, D., & Hakimi, M. (2016). Kehamilan remaja dan kejadian
stunting pada anak usia 6-23 bulan di Lombok Barat. Berita Kedokteran
Masyarakat, 32(6), 209. https://doi.org/10.22146/bkm.8628
Jiang, Y., Su, X., Wang, C., Zhang, L., Zhang, X., Wang, L., & Cui, Y. (2015).
Prevalence and risk factors for stunting and severe stunting among children
under three years old in mid-western rural areas of China. Child: Care,
Health and Development, 41(1), 45–51. https://doi.org/10.1111/cch.12148
Kemenkes. (2018). Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia. Pusat Data Dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI.
Khasanah, D. P., Hadi, H., & Paramashanti, B. A. (2016). Waktu pemberian
makanan pendamping ASI (MP-ASI) berhubungan dengan kejadian stunting
anak usia 6-23 bulan di Kecamatan Sedayu. Jurnal Gizi Dan Dietetik
Indonesia (Indonesian Journal of Nutrition and Dietetics), 4(2), 105.
https://doi.org/10.21927/ijnd.2016.4(2).105-111
Kim, R., Mejía-Guevara, I., Corsi, D. J., Aguayo, V. M., & Subramanian, S. V.
(2017b). Relative importance of 13 correlates of child stunting in South Asia:
Insights from nationally representative data from Afghanistan, Bangladesh,
India, Nepal, and Pakistan. Social Science and Medicine, 187, 144–154.
https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2017.06.017
Larasati, D. A., Nindya, T. S., & Arief, Y. S. (2018). Hubungan antara Kehamilan
Remaja dan Riwayat Pemberian ASI Dengan Kejadian Stunting pada Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Pujon Kabupaten Malang. Amerta Nutrition,
2(4), 392. https://doi.org/10.20473/amnt.v2i4.2018.392-401
Mbwana, H. A., Kinabo, J., Lambert, C., & Biesalski, H. K. (2017). Factors
influencing stunting among children in rural Tanzania: an agro-climatic zone
perspective. Food Security, 9(6), 1157–1171. https://doi.org/10.1007/s12571-
017-0672-4
Mistry, S. K., Hossain, M. B., Khanam, F., Akter, F., Parvez, M., Yunus, F. M.,
Afsana, K., & Rahman, M. (2019). Individual-, maternal- and household-
level factors associated with stunting among children aged 0-23 months in
Bangladesh. Public Health Nutrition, 22(1), 85–94.
https://doi.org/10.1017/S1368980018002926
Nasution, D., Nurdiati, D. S., & Huriyati, E. (2014). Berat badan lahir rendah
(BBLR) dengan kejadian stunting pada anak usia 6-24 bulan. Jurnal Gizi
Klinik Indonesia, 11(1), 31. https://doi.org/10.22146/ijcn.18881
Ni`mah Khoirun, & Nadhiroh, S. R. (2015). Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Stunting Pada Balita. Media Gizi Indonesia, 10(1), 13–19. http://e-
journal.unair.ac.id/index.php/MGI/article/view/3117/2264
Nisak, N. Z. (2018). Hubungan Pekerjaan Dengan Pengetahuan Gizi Ibu Dengan
Status Gizi Balita Desa Duwet Kecamatan Wonosari Kabupaten Klaten.
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 10–11.
http://eprints.ums.ac.id/id/eprint/68587
Nursalam. (2016). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Purwanti, R., & Nurfita, D. (2019). Review Literatur: Analisis Determinan Sosio
Demografi Kejadian Stunting Pada Balita di Berbagai Negara Berkembang.
Buletin Penelitian Kesehatan, 47(3), 153–164.
https://doi.org/10.22435/bpk.v47i3.1349
Rahman, N., Napirah, M. R., Nadila, D., & Bohari. (2017). Determinants of
stunting among children in urban families in palu, Indonesia. Pakistan
Journal of Nutrition, 16(10), 750–756.
https://doi.org/10.3923/pjn.2017.750.756
Ratnawati, R., & Rahfiludin, M. Z. (2020). Faktor Risiko Determinan Yang
Konsisten Berhubungan dengan Kejadian Stunting Pada Anak Usia 6-24
Bulan: Tinjauan Pustaka. Amerta Nutrition, 4(2), 85.
https://doi.org/10.20473/amnt.v4i2.2020.85-94
Ratu, A. dewi S. (2017). Analisis Pemanfaatan Program Pelayanan Kesehatan
Status Gizi Balita An Analysis on The Usage of Health Service Related to
Nutritional Status of. Artikel Penelitian: Universitas Indonesia.
Safitri, E., & Dkk. (2019). Kejadian Stunting Pada Anak Balita Di Desa
Sidoluhur Wilayah Kerja.
Setiawan, E., Machmud, R., & Masrul, M. (2018). Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di
Wilayah Kerja Puskesmas Andalas Kecamatan Padang Timur Kota Padang
Tahun 2018. Jurnal Kesehatan Andalas, 7(2), 275.
https://doi.org/10.25077/jka.v7.i2.p275-284.2018
Simbolon, D., Astuti, W. D., & Andriani, L. (2015). Pelayanan Kesehatan , dan
Kehamilan Risiko Tinggi ter- hadap Prevalensi Panjang Badan Lahir Pendek
Mechanism of Socio-Economic , Health Services Use and High Risk
Pregnancy Relations to The Prevalence of Short Birth Length. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional, 9(3), 235–242.
Sitorus, R. J., Natalia, M., Purba, I. G., Mutahar, R., & Fujianti, P. (2019). The
external factors associated with stunting occurrence among 12 – 59 months
old toddler. International Journal of Recent Technology and Engineering,
8(2 Special Issue 9), 137–140.
https://doi.org/10.35940/ijrte.B1030.0982S919
Sulistianingsih, A., & Sari, R. (2018). ASI eksklusif dan berat lahir berpengaruh
terhadap stunting pada balita 2-5 tahun di Kabupaten Pesawaran. Jurnal Gizi
Klinik Indonesia, 15(2), 45. https://doi.org/10.22146/ijcn.39086
Takele, K., Zewotir, T., & Ndanguza, D. (2019). Understanding correlates of child
stunting in Ethiopia using generalized .inear mixed models. BMC Public
Health, 19(1), 626. https://doi.org/10.1186/s12889-019-6984-x
Torlesse, H., Cronin, A. A., Sebayang, S. K., & Nandy, R. (2016a). Determinants
of stunting in Indonesian children: Evidence from a cross-sectional survey
indicate a prominent role for the water, sanitation and hygiene sector in
stunting reduction. BMC Public Health, 16(1), 1–11.
https://doi.org/10.1186/s12889-016-3339-8
Venuz, P., Lema, V., Setiono, K. W., & Manubulu, R. M. (2019). Analisis Faktor
Risiko Kejadian Stunting Pada Balita. Cendana Medical Journal, 17(3),
249–259. https://ejurnal.undana.ac.id/CMJ/article/view/1797
Yudianti, Y., & Saeni, R. H. (2016). Pola Asuh Dengan Kejadian Stunting Pada
Balita. Jurnal Kesehatan Manarang, 2(1), 21.
Zairinayati, R. P. (2019). Hubungan Hygiene Sanitasi dan Lingkungan dengan
Kejadian Stunting Pada Balita. Jurnal Ilmiah Multi Science Kesehatan,
10(1), 78–91.
Zuraiatun. (2018). Faktor-Faktor Penyebab Kejadian Stunting Pada Balita Di
Wilayah Kerja Puskesmas Kotagede I Yogyakarta. Naskah Publikasi.

Anda mungkin juga menyukai