LITERATURE REVIEW
Oleh:
HILMY GHOZI ALSYAFRUD
131611133108
Oleh:
Hilmy Ghozi Alsyafrud
131611133108
Oleh
Pembimbing Ketua
Pembimbing
Mengetahui
a.n Dekan Fakultas Keperawatan
Universitas Airlangga
Wakil Dekan I
2
ABSTRAK
3
ABSTRACT
ANALYSIS OF EXTERNAL FACTORS RELATED TO STUNTING
EVENTS IN CHILDREN
By:
Hilmy Ghozy A
Introduction: Stunting is the biggest threat to the quality of human life in the
future because it can inhibit children's physical and cognitive growth, decrease the
quality of learning to decrease productivity in adulthood and the threat of
increasing non-communicable diseases. The triggering factors for stunting consist
of external and internal factors. External factors include factors from the
environment, health services, maternal parenting and demographics, while internal
factors include congenital and genetic diseases. However, what parents can avoid
or improve in preventing stunting is external factors. The purpose of this study is
to explain the external factors that influence the incidence of stunting in children
aged 6-59 months. Methods: Search articles using three databases indexed by
Scopus, ProQuest, and PubMed using adequate keywords. The framework used
for the review is PICOS with inclusion criteria, namely English-language journals
and the publication range between 2015-2020. All articles found will be selected
based on the title, abstract and full text to determine the feasibility of the article
and the results obtained 13 articles that were reviewed. Results: The results of a
review of 13 articles showed that there was a relationship between demographic
factors (gender, maternal age, occupation, income, education), environmental
factors, parenting factors (feeding, exclusive breastfeeding and complementary
feeding), and health service factors. with stunting. Conclusion: Efforts to prevent
stunting that can be done are socialization regarding weighing and routine
measurements of toddlers and the pattern of complementary feeding and exclusive
breastfeeding. Providing animal protein assistance for families with toddlers.
Training of doctors, nurses, midwives, nutritionists and cadres to detect stunting
with their interventions. As well as providing PKMK for conditions that cause
stunting.
DAFTAR ISI
4
HALAMAN JUDUL i
LEMBAR PERSETUJUAN ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR SINGKATAN vi
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 5
1.3. Tujuan 5
1.3.1. Tujuan Umum 5
1.3.2. Tujuan Khusus 5
BAB 2 METODE PENELITIAN 2
2.1. Strategi Pencarian Literature 2
2.1.1. Protokol dan Registrasi 2
2.1.2. Kata Kunci 7
2.1.3. Database Pencarian 8
2.2. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 8
2.3. Seleksi Studi dan Penilaian Kualitas 9
2.3.1. Hasil Pencarian dan Seleksi Studi 9
2.3.2. Penilaian Kualitas 11
2.3.3. Daftar Artikel Hasil Pencarian 11
DAFTAR PUSTAKA 19
DAFTAR TABEL
5
Tabel 2.1 PICOS framework 7
Tabel 2.2 Kata Kunci Literature Review 7
Tabel 2.3 Kriteria inklusi dan ekslusi dengan format PICOS 9
Tabel 2.4 Daftar artikel hasil pencarian 13
6
DAFTAR GAMBAR
7
DAFTAR SINGKATAN
8
BAB I
PENDAHULUAN
terbesar bagi kualitas hidup manusia dimasa mendatang karena dapat menghambat
stunting terdiri dari faktor eksternal maupun faktor internal. Faktor eksternal
meliputi faktor dari lingkungan (sanitasi air, kebersihan pangan, dll), pelayanan
kesehatan, pola asuh ibu (pemberian ASI, MPASI dll ), serta faktor demografi
anak, genetic dll (Nur Oktia, 2020). Namun yang dapat dihindari atau diperbaiki
oleh masyarakat maupun orang tua dalam pencegahan stunting yaitu faktor
eksternal (Kemenkes, 2018). Stunting atau masalah gizi utama pada balita akan
berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Selain itu,
stunting dapat berpengaruh pada anak balita pada jangka panjang yaitu
perkembangan yang optimal baik secara fisik maupun psikomotorik (Ratnawati &
Rahfiludin, 2020).
1
Menurut UNICEF (2013) factor penyebab stunting disebabkan oleh faktor
keluarga dan rumah tangga (faktor ibu, lingkungan rumah), Perilaku ibu dalam
memberikan makanan pendamping (MP) ASI yang tidak adekuat, pemberian ASI
dan infeksi (Sulistianingsih & Sari, 2018). Faktor kontekstual yang berkontribusi
sanitasi air. Faktor yang berhubungan dengan status gizi kronis pada anak balita
dunia mengalami stunting dan 51 juta. Sebagian besar balita di dunia yang
mengalami stunting berasal dari Benua Afrika dan Asia. Insiden stunting secara
global diperkirakan sekitar 171 juta sampai 314 juta yang terjadi pada anak
Afrika dan Asia (Fenske et al, 2018). Menurut studi yang dilakukan di beberapa
negara di Afrika, Asia, Amerika Selatan, Amerika Tengah, dan Kaniba prevalensi
stunting berkisar antara 30-50% (UNICEF, 2018). Prevalensi stunting tinggi pada
balita dengan rentang usia 6-59 bulan dengan puncaknya pada usia 2-5 tahun, hal
ini sejalan dengan penelitian di Bangladesh, India dan Pakistan dimana anak usia
2
mencapai ≥ 40%. Prevalensi anak stunting di Indonesia
kesehatan serta kualitas yang ada dalam lingkungan rumah tangga memiliki
2020). Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu dan
nutrisi sehari-hari serta tidak terpenuhinya sanitasi lingkungan yang baik untuk
anak, sehingga pada akhirnya status ekonomi memiliki efek signifikan terhadap
bahwa Balita yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi rendah memiliki
resiko 2 kali mengalami stunting dibanding balita dari keluarga dengan status
ekonomi tinggi (Febriani et al., 2020). Pemberian ASI eksklusif dan kualitas
3
maupun MPASI berhubungan dengan kejadian stunting (Nasution et al., 2014).
Selain itu beberapa penelitian juga menjelaskan bahwa sosial budaya atau
dikarenakan pola asuh atau perawatan ibu yang menentang kesehatan (Apriluana
masalah gizi, terutama dalam hal asupan gizi keluarga, mulai dari penyiapan
makanan, pemilihan bahan makanan, sampai menu makanan. Ibu yang memiliki
status gizi baik akan melahirkan anak yang bergizi baik (Kemenkes, 2018).
maupun mutu gizinya sangat berpengaruh bagi status gizi anak. Sebagaimana
diketahui bahwa asupan zat gizi yang optimal menunjang tumbuh kembang balita
baik secara fisik, psikis, maupun motorik atau dengan kata lain, asupan zat gizi
yang optimal pada saat ini merupakan gambaran pertumbuhan dan perkembangan
yang mengalami angka stunting yang tinggi yaitu dapat meningkatkan literasi
gizi, akses pangan yang harus diprioritaskan dan disebarluaskan secara merata,
dan yang terkahir yaitu tepat sasaran. Indonesia merupakan salah satu negara yang
sedang menjalankan program tersebut (Muktamar, 2020). Selain itu, upaya yang
telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengurangi masalah gizi pada
bayi dan balita adalah pemberian ASI eksklusif dengan suplementasi zat gizi
mikro pada anak –anak atau pemberian makanan yang diperkaya dengan vitamin
dan mineral serta konseling kepada orang tua khususnya ibu, tentang praktek
4
pemberian makanan, juga melalui program yang terintegrasi dengan bidang
satunya penelitian yang dilakukan oleh Kim et al., (2017), dimana hasil penelitian
India, determinan faktor resiko stunting yaitu faktor eksternal. Kejadian stunting
bisa terus meningkat apabila faktor-faktor resiko yang telah dijelaskan diatas tidak
diperhatikan. Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa ada banyak faktor risiko
yang dapat mempengaruhi kejadian stunting pada balita, namun tiap daerah
(Nasution et al., 2014). Hal tersebut yang menyebabkan peneliti tertarik untuk
meneliti lebih dalam lagi tentang faktor-faktor eksternal apa saja yang dapat
usia 6-59 bulan berdasarkan studi empiris dalam lima tahun terakhir ?
1.3. Tujuan
anak usia 6-59 bulan berdasarkan studi empiris dalam lima tahun terakhir
5
2. Menganalisis hubungan faktor lingkungan dengan kejadian stunting anak usia
3. Menganalisis hubungan faktor pola asuh dengan kejadian stunting anak usia 6-
anak usia 6-59 bulan berdasarkan studi empiris dalam lima tahun terakhir
6
BAB 2
METODE PENELITIAN
Studi literature adalah cara yang dipakai untuk menghimpun data atau
penulisan. Studi literature bisa didapat dari berbagai macam sumber baik jurnal,
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder merupakan data yang diperoleh bukan dari pengamatan langsung namun
dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan dipublikasikan. Sumber data
internasional dengan tema yang sudah ditentukan yaitu faktor yang berhubungan
dengan kejadian stunting pada anak usia 6-59 bulan. Pemilihan sumber didasarkan
pada database dengan kriteria kualitas tinggi dan sedang yaitu Scopus, Proquest,
dan PubMed.
tentang faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 6-59
bulan. Framework yang digunakan oleh peneliti dalam literature review ini adalah
7
Outcome, dan Study design). PICOS yang digunakan untuk merumuskan
8
8
tindakan atau
proses tertentu)
Comparation Tidak ada
(Penatalaksanaan
lain yang
digunakan
sebagai
pembanding)
Outcome Outcome dalam artikel atau jurnal yang akan di review adalah adanya
(Hasil atau luaran hubungan antara resiko kejadian stunting misalnya, faktor demografi,
yang diperolah faktor lingkungan, dan faktor pola asuh terhadap tingkat kejadian
pada penelitian) stunting pada anak usia 6-59 bulan.
Study design Desain penelitian yang digunakan oleh artikel atau jurnal yang akan
(Desain direview yakni, Mix methods study, experimental study, survey study,
cross-sectional, analisis korelasi, komparasi dan studi kualitatif.
penelitian pada
jurnal)
Pencarian artikel atau jurnal menggunakan keyword dan boolean operator (AND,
OR, NOT, AND NOT) yang digunakan untuk memperluas atau menspesifikkan
digunakan. Kata kunci yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh bukan dari pengamatan langsung, akan tetapi diperoleh dari hasil
sekunder yang didapat berupa artikel atau jurnal bereputasi baik nasional maupun
internasional dengan tema yang sudah ditentukan. Pencarian dilakukan pada bulan
4. Outcome yaitu hasil atau luaran yang diperoleh pada studi terdahulu uang
5. Study design yaitu desain penelitian yang digunakan dalam artikel yang
10
akan di review
dan Pubmed menggunakan kata kunci yang sudah disesuaikan dengan MeSH,
peneliti menemukan 1488 artikel yang sesuai dengan kata kunci tersebut. Hasil
sebanyak 488 artikel yang sama sehingga dikeluarkan dan tersisa 1040 artikel.
dan full text (n=13) yang disesuaikan dengan tema literature review. Assessment
11
Hasil seleksi artikel studi dapat digambarkan dalam Diagram Flow di bawah ini :
Intervention :
Relevan dengan faktor medikasi, faktor
Seleksi duplikat (n = 1.040)
internal dan faktor lainnya (68)
Relevan dengan faktor kelainan atau
penyakit (27)
Outcomes :
Skrining dan identifikasi judul Faktor eksternal tidak berhubungan
(n= 197) dengan kejadian stunting (3)
Pemulihan stunting (6)
Pencegahan stunting (10)
Study design :
Skrining dan identifikasi abstrak Literature
(n =28) review dan Systematic Review (9)
Intervensi (9)
Exluded (n=15)
Problem/Population :
Tidak focus pada analisis
Salinan lengkap dan penilaian kelayakan faktor eksternal (14)
(n =13 ) Literatur Review (1)
bermakna untuk masa saat ini) yaitu jurnal atau artikel yang diterbitkan dalam
3) Authority (siapa author penelitian yang direview, apakah author bekerja pada
institusi yang credible, apakah artikel berasal dari peer review jurnal) yaitu
yang ada sudah cukup, apakah ada kesalahan penulisan) yaitu jurnal yang
memiliki sitasi dari jurnal bereputasi dan bukan berasal dari jurnal predator.
bertujuan untuk menjual produk atau ide) yaitu penelitian yang bertujuan
kejadian stunting.
mengelompokkan data-data hasil ekstraksi yang sejenis sesuai dengan hasil yang
13
diukur untuk menjawab tujuan. Jurnal penelitian yang sesuai dengan kriteria
inklusi kemudian dikumpulkan dan dibuat ringkasan jurnal meliputi nama peneliti,
2. Dhami et al., 2019 Global health Stunting and severe D :Cross-Sectional Pengenalan MPASI yang Proques
Vol. 12 action stunting among infants in S :13.548 anak tertunda, dikaitkan dengan t
15
No. 1 India: the role of delayed V : Faktor terkait stunting stunting. Tingkat pendidikan
introduction of I : DHS model ibu yang tinggi dan ekonomi
complementary foods and Questionnaires. rumah tangga yang tinggi
community and household A: regresi logistik dapat mencegah terjadinya
factors. Generalized Linear Latent stunting
dan Model Campuran
(GLLAMM)
3. García Cruz et 2017 Nutrients Factors associated with D: A case-control study Hasil penelitian menunjukkan Scopus
al., Vol. 9 stunting among children S: 282 anak bahwa tingkat pendidikan ibu,
No. 5 aged 0 to 59 months from V: faktor sosiodemografi pekerjaan ibu, tempat tinggal
the central region of terrkait stunting di pedesaan, jumlah anak
Mozambique I: wawancara balita dalam rumah tangga,
A: chi square, Annova, T-test kebersihan di dalam rumah
serta kebersihan makanan atau
saat memasak, durasi menyusui
secara keseluruhan serta durasi
eksklusif pemberian ASI, dan
waktu mulai MPASI secara
signifikan berhubungan dengan
stunting.
4. Geresomo et al., 2017 African Journal Risk factors associated D: cross sectional Pengenalan MPASI lebih awal Scopus
Vol. 17 of Food, with stunting among S: 306 anak pada anak kurang dari 6 bulan.
No. 4 Agriculture, infants and young children V: Independent : faktor pola pemberian makan
Nutrition and aged 6 - 23 Months in resiko (komposisi makan, frekuensi
Development Dedza District of Central Dependent: stunting makan) secara keseluruhan
Malawi I: kuisioner mengalami stunting. jumlah
A: chi-square test anak kecil dalam rumah tangga
dan usia ibu remaja adalah
prediktor independen yang
signifikan dari stunting.
5. Habimana & 2019 Pediatric health, Risk Factors Of Stunting D: Cross sectional Hasil menunjukkan signifikan Proques
16
Biracyaza, Vol. 10 medicine and Among Children Under 5 S: 961 anak hubungan antara pendidikan t
No. 0 therapeutics Years Of Age In The V: independent : determinan ibu dan stunting (p = 0,017),
Eastern And Western faktor pekerjaan ibu (p = 0,000),
Provinces Of Rwanda: dependent: stunting ekonomi ( p = 0,006), jenis
Analysis Of Rwanda I: Data sekunder dari kelamin anak (p = 0,008) dan
Demographic And Health Kesehatan Demografi pemberian makanan
Survey 2014/2015. Rwanda Survei (RDHS) fortifikasi kepada anak (p =
A: chi-square 0,039). Hasil menunjukkan
bahwa kunjungan ke
pelayanan kesehatan secara
signifikan terkait dengan
stunting (p = 0.01). kebersihan
toilet secara signifikan
dikaitkan dengan stunting (p =
0,000).
6. Jiang et al., 2015 Child: Care, Prevalence and risk factors D: Cross sectional Analisis regresi logistik hierarki Scopus
Vol. 41 Health and for stunting and severe S: 1260 anak menunjukkan bahwa faktor
No. 1 Development stunting among children V: Faktor sosio demografi risiko anak stunting adalah
under three years old in I: Kuisioner tempat tinggal, pendidikan
mid-western rural areas of A: Regresi logistik hierarki pengasuh, jenis kelamin anak,
China dan durasi ASI Eksklusif (<6
bulan).
7. Kim et al., 2017 Social Science Relative importance of 13 D: Cross sectional survey Dalam model regresi logistik Pubmed
Vol. 187 and Medicine correlates of child stunting S: 3159 anak keanekaragaman makanan
in South Asia: Insights V: Faktor-faktor terkait pendamping, frekuensi makan
from nationally stunting dikaitkan dengan risiko stunting
representative data from I: Demographic and Health yang secara signifikan lebih
Afghanistan, Bangladesh, Survey (DHS) tinggi. Untuk 18.586 anak usia
India, Nepal, and Pakistan A: model regresi logistik 6–23 bulan, korelasi terkuat
dengan stunting yaitu
kekayaan rumah tangga,
pendidikan ibu , usia ibu,
17
akses ke pelayanan
kesehatan, akses ke sumber
minum, fasilitas sanitasi yang
layak, dan kualitas udara
dalam ruangan rumah tangga
8. Mbwana et al., 2017 Food Security Factors influencing D: Cross sectional survey Pada penelitian ini faktor Scopus
Vol. 9 stunting among children in S: 120 rumah tangga determinan kejadian stunting
No. 6 rural Tanzania: an agro- V: Independet: Faktor-faktor adalah, lamanya pemberian
climatic zone perspective terkait stunting ASI eksklusif, , tingkat
Dependent : Stunting pendidikan ibu, status
I: Kuisioner dan wawancara ekonomi rumah tangga,
A: Multivariat regresi logistik komposisi makanan, dan
jarak ke sumber air bersih
diidentifikasi sebagai penentu
penting variasi yang diamati
pada anak stunting
9. Mistry et al., 2019 Public health Individual-, maternal- and D: Cross sectional Hsil penelitian ini menunjukkan Proques
Vol. 22 nutrition household-level factors S: 6539 anak secara keseluruhan, 59,9% dari t
No. 1 associated with stunting V: Stunting anak-anak mengalami stunting.
among children aged 0-23 I: Kuisioner Setelah menyesuaikan untuk
months in Bangladesh. A: Model regresi poisson semua pembaur potensial dalam
model regresi Poisson yang
dimodifikasi, jenis kelamin
anak, pendidikan ibu, usia
ibu, tempat tinggal, status
sosial ekonomi, status
keamanan pangan, akses ke
jamban dan kondisi
kebersihan toilet (tingkat
rumah tangga) secara signifikan
terkait dengan stunting.
18
10. Rahman et al., 2017 Pakistan Journal Determinants of stunting D: Case control Faktor penentu stunting adalah Pubmed
Vol. 16 of Nutrition among children in urban S: 144 anak pendapatan keluarga (p =
No. 10 families in palu, Indonesia V: Faktor Penentu Stunting 0,000), ASI eksklusif (p =
I: Kuisioner 0,002), sanitasi lingkungan (p
A: Analisis univariat, bivariat = 0,001) dan usia ibu (p =
dan multivariat dengan 0,003). Hasil analisis
regresi logistik multivariat menunjukkan
bahwa pendapatan keluarga
merupakan faktor risiko
tertinggi terjadinya stunting.
ASI eksklusif, sanitasi
lingkungan dan usia ibu (OR =
3,05) dikaitkan dengan risiko
yang sama untuk stunting.
11. Sitorus et al., 2019 International The external factors D: Kasus kontrol berbasis Analisis multivariat yang Scopus
Vol. 8 Journal of associated with stunting komunitas dilakukan membuktikan bahwa
No. 2 Recent occurrence among 12 – 59 S: 147 anak balita dengan pola asuh yang
Technology and months old toddler V: Independent: Faktor tidak memadai memiliki risiko
Engineering Eksternal yang lebih besar mengalami
Dependent: Stunting stunting dibandingkan dengan
I: Pengukuran antropometri yang dibesarkan secara
dan data sekunder memadai. Anak yang tinggal
A: Uji chi-square dan uji dalam keluarga di bawah
regresi logistik ganda. Guaranteed Minimum
Pendapatan (GMI) memiliki
risiko stunting yang lebih besar
Ditemukan juga bahwa anak
yang tidak mendapat ASI
Eksklusif memiliki risiko yang
lebih besar terjadinya stunting
12. Takele et al., 2019 BMC public Understanding correlates of D: Survey Study Hasil penelitian menunjukkan Proques
Vol. 19 health child stunting in Ethiopia S: 8743 Anak bahwa umur dan jenis kelamin t
No. 1 using generalized linear V: Stunting anak, jumlah anak balita di
19
13. Torlesse et al., 2016 BMC public Determinants of stunting in D: Cross Sectional Hasil Multivariat Analisis Proques
Vol. 16 health Indonesian children: S: 1366 anak faktor penentu stunting t
No. 1 evidence from a cross- V: Faktor determinan mengidentifikasi interaksi yang
sectional survey indicate a stunting signifikan antara fasilitas
prominent role for the I: Kuisioner dan survey kamar mandi (penggunaan
water, sanitation and A: regresi logistik ganda jamban yang tidak diperbaiki)
hygiene sector in stunting dan pengolahan air rumah
reduction. tangga (mentah), kemungkinan
terjadinya stunting lebih dari
tiga kali lebih tinggi. Faktor
risiko stunting yang signifikan
yaitu jenis kelamin laki-laki,
usia anak yang lebih tua dan
indeks kekayaan yang lebih
rendah, jarang datang ke
fasilitas kesehatan, faktor
kepercayaan (sosial budaya)
dan partisipasi ibu dalam
pengambilan keputusan tentang
makanan apa yang dimasak
dalam rumah tangga.
BAB 3
13 jurnal yang telah melewati masa screening sesuai dengan kriteria inklusi dan
ekslusi. Artikel atau jurnal yang akan di-review meliputi database yang
digunakan, tahun terbitan, dan desain penelitian. Hasil pencarian literatur yang
sudah dianalisis dan ditetapkan dalam literature review adalah sebagai berikut :
diatas untuk melihat variabel yang diteliti oleh masing-masing penelitian dan
desain case control. Dari 13 artikel, masing-masing artikel berasal dari negara-
negara yang berbeda yaitu berasal dari Bangladesh, India, Mozambique, Malawi,
Selain itu, dari 4 variabel yang menjadi fokus tinjauan literatur ini (faktor
demografi, faktor pola asuh, faktor lingkungan dan faktor pelayanan kesehatan),
lima artikel membahas dua variabel, lima artikel membahas tiga variabel, dan tiga
tiga kategori dan hubungannya dengan kejadian stunting, yaitu: (1) Faktor
stunting, (3) faktor pola asuh dengan kejadian stunting, dan (4) faktor pelayanan
Responden dalam penelitian ini adalah anak balita usia 6 sampai 59 bulan
dengan rata-rata jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Artikel yang akan
dianalisi dalam penelitian ini berasal dari berbagai negara seperti Bangladesh,
Tanzania, Indonesia, dan Ethiopia. Terdiri dari peserta stunting yang disebabkan
oleh faktor eksternal seperti faktor demografi, faktor lingkungan, faktor pola asuh
demografi yang berkaitan dengan kejadian stunting pada balita di berbagai negara
artikel menjelaskan bahwa faktor demografi orang tua memiliki hubungan dengan
faktor demografi yang terdiri dari jenis kelamin anak, pendidikan ibu, usia ibu,
status sosial ekonomi, secara signifikan terkait dengan stunting. Hasil penelitian
tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan beberapa jurnal lainnya
stunting yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan anak laki-laki. Studi juga
mengungkapkan bahwa anak-anak dari keluarga yang berisiko miskin juga akan
usia, jenis kelamin, indeks kekayaan rumah tangga sebagai hal umum faktor
Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian studi lain yang menjelaskan
bahwa faktor determinan kejadian stunting yang ditinjau dari variabel demografi
mendapatkan hasil bahwa tingkat pendidikan ibu, status ekonomi rumah tangga,
tingkat pendidikan orang tua diidentifikasi sebagai penentu penting variasi yang
diamati pada anak stunting. Namun terdapat penelitian yang menjelaskan bahwa
signifikan berhubungan dengan stunting, hal tersebut dibuktikan dengan salah satu
hasil uji stastika yang yaitu mendapat hasil (p = 0,000) yang artinya terdapat
hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu dengan kejadian stunting pada
anak balita.
menerapkan perilaku hidup sehat, maka secara otomatis kondisi kesehatan anak
yang akan dianalisis pada penelitian ini terdapat sepuluh artikel yang membahas
mengenai faktor lingkungan sebagai pencetus terjadinya stunting pada anak balita.
sanitasi fasilitas toilet ditemukan sebagai penentu yang signifikan secara statistik
dari stunting pada anak di bawah usia dua tahun di Bangladesh. Penelitian yang
dilakukan salah satu studi lainnya menunjukkan hasil bahwa faktor lingkungan
anak seperti jenis fasilitas jamban, , sumber air minum merupakan penentu utama
berhubungan dengan kejadian stunting. Berbeda dengan salah satu hasil penelitian
yang menyatakan bahwa 18.586 yang diteliti oleh Kim dengan usia anak 6-23
bulan, berkorelasi terkuat dengan stunting yaitu akses ke sumber minum yang
bersih, fasilitas sanitasi yang layak, dan kualitas udara dalam ruangan rumah
Balita yang diasuh oleh ibu yang memiliki pola asuh yang buruk 3,8 kali
lebih berisiko mengalami kejadian stunting bila dibandingkan dengan balita yang
mendapatkan pola asuh yang baik dari orang tuanya. Pola asuh yang buruk
makanan pendamping ASI yang buruk berisiko membuat anak menjadi stunting,
balita yang mengkonsumsi makanan pendamping ASI yang monoton 3 kali lebih
mengkonsumsi makanan pendamping ASI yang variatif. Selain itu, pola asuh
makan dan intake zat gizi pada anak berhubungan dengan kejadian stunting.
Berdasarkan 13 artikel yang akan dianalisis pada penelitian ini terdapat sebelas
artikel yang membahas mengenai faktor pola asuh orang tua sebagai faktor
analisis multivariat yang dilakukan membuktikan bahwa balita dengan pola asuh
yang tidak memadai memiliki risiko yang lebih besar mengalami stunting
anak yang tidak mendapat ASI Eksklusif memiliki risiko yang lebih besar
terjadinya stunting. Hal tersebut sejalan dengan hasil beberapa penelitian yang
lainnya menunjukkan hasil yaitu faktor penentu stunting ditinjau dari faktor pola
pengenalan MPASI lebih awal pada anak kurang dari 6 bulan, pola pemberian
mendapat kan hasil bahwa pengolahan air rumah tangga (mentah) dan partisipasi
ibu dalam pengambilan keputusan tentang makanan apa yang dimasak dalam
variabel indikator prevalensi akses sulit, prevalensi ibu tidak mengikuti pelayanan
antenatal, prevalensi kualitas pelayanan antenatal buruk dan prevalensi ibu tidak
Berdasarkan 13 artikel yang akan dianalisis pada penelitian ini terdapat tiga
artikel yang membahas mengenai faktor akes pelayanan kesehatan sebagai faktor
secara rutin dengan kejadian stunting (p = 0.01). Hal tersebut sejalan dengan
penelitian yang lain yang menjelaskan bahwa 18.586 anak usia 6–23 bulan yang
diteliti, memiliki korelasi terkuat dengan stunting yaitu salah satunya akses ke
pelayanan kesehatan. Kedua penelitian diatas didukung dengan salah satu hasil
fasilitas kesehatan memiliki kemungkinan terjadinya stunting lebih dari tiga kali
lebih tinggi.
BAB 4
PEMBAHASAN
Pada Anak
terjadinya stunting pada anak balita. Faktor demografi tersebut yaitu terdiri jenis
kelamin anak, pendidikan ibu, usia ibu, status sosial ekonomi, dan pekerjaan ibu.
Penelitian yang dilakukan oleh (Jiang et al., 2015) menemukan bahwa Jenis
kelamin anak sangat terkait dengan risiko stunting dan stunting parah dengan anak
dalam jumlah yang lebih besar daripada bayi laki-laki di sebagian besar negara
yang dilakukan oleh (Chowdhury et al., 2020) menyatakan bahwa jenis kelamin
anak ditentukan secara signifikan tidak bisa menjadi prediktor stunting. Anak
daripada anak laki-laki. Kejadian stunting di dominasi oleh anak balita berjenis
dibandingkan anak perempuan. Kondisi ini dapat terjadi karena adanya perbedaan
praktik makan yang diberikan oleh orangtua. Faktor risiko yang berpengaruh
seseorang. Pria lebih banyak membutuhkan zat tenaga dan protein dibandingkan
wanita. Pria lebih sanggup mengerjakan pekerjaan berat yang tidak biasa
daripada balita laki-laki, selain itu bayi perempuan dapat bertahan hidup dalam
perempuan yang cenderung diam dirumah, sedangkan balita laki-laki lebih aktif
Berdasarkan hasil studi literatur, didapatkan hasil yaitu ada hubungan yang
bermakna antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian stunting. Selain itu,
yang memiliki hubungan paling dominan dengan kejadian stunting pada anak.
pada anak secara signifikan lebih besar di antara anak-anak yang ibunya tidak
maka dapat disimpulkan bahwa status pendidikan seorang ibu sangat menentukan
kualitas pola asuh nya. Ibu yang berpendidikan tinggi tentu akan berbeda dengan
ibu yang berpendidikan rendah (Hadi et al., 2019). Tingkat pendidikan akan
yang berpendidikan lebih tinggi cenderung untuk memilih bahan makanan yang
lebih baik dalam kualitas dan kuantitas hidangan dibandingkan mereka yang
berpendidikan rendah atau sedang. Makin tinggi tingkat pendidikan makin baik
bahwa pekerjaan ibu sangat menentukan perilaku ibu dalam pemberian nutrisi
kepada balita. Ibu yang bekerja berdampak pada rendahnya waktu kebersamaan
ibu dengan anak sehingga asupan makan anak tidak terkontrol dengan baik dan
juga perhatian ibu terhadap perkembangan anak menjadi berkurang. Dampak dari
ibu bekerja juga tergantung dari jenis pekerjaan yang dilakukan ibu (Nisak, 2018).
Ibu yang memiliki jenis pekerjaan berat maka akan mengalami kelelahan fisik,
sehingga ibu akan cenderung memilih untuk beristirahat dari pada mengurus
anaknya sehingga asupan anak tidak diperhatikan dan tidak bisa tercukupi dengan
baik. Sikap dan perilaku ibu pada pemberian nutrisi kepada balita dipengaruhi
oleh status pekerjaan ibu. Ibu yang bekerja akan menyebabkan berkurangnya
kebersamaan ibu dengan anak sehingga pola asuh yang diberikan ibu kepada
balita tidak semaksimal ketika ibu selalu bersama balita dan memonitor
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh (García Cruz et al., 2017) yang
menyatakan bahwa ibu yang tidak bekerja 1,1 kali lebih berisiko memiliki anak
stunting dibandingkan ibu yang bekerja. Hal ini dapat disebabkan karena ibu yang
bekerja dapat membantu dari segi perekonomian sehingga meningkatkan daya
beli untuk asupan nutrisi anak. Meskipun waktu untuk merawat anak lebih sedikit
literatur bahwa pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor yang memiliki
hubungan bermakna dengan kejadian stunting pada balita. Orang tua dengan
menyediakan semua kebutuhan primer dan sekunder anak. Keluarga dengan status
ekonomi yang baik juga memiliki akses pelayanan kesehatan yang lebih baik
(Dhami et al., 2019b). Anak pada keluarga dengan status ekonomi rendah
yang kurang. Status ekonomi yang tinggi membuat seseorang memilih dan
membeli makanan yang bergizi dan bervariasi (Rahman et al., 2017). Stunting
keseluruhan dan atau eksposur yang berulang yang dapat berupa penyakit atau
kejadian yang dapat merugikan kesehatan. Tingkat sosial ekonomi keluarga dapat
dilihat dari penghasilan dalam satu keluarga. Hal ini merupakan modal dasar
2019). Sedangkan, menurut (Apriluana & Fikawati, 2018) tingkat sosial ekonomi
berkaitan dengan daya beli keluarga. Kemampuan keluarga untuk membeli bahan
makanan antara lain tergantung pada besar kecilnya pendapatan keluarga, harga
bahan makanan itu sendiri, serta tingkat pengelolaaan sumber daya lahan dan
pekarangan. Keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan besar kurang
Kehamilan pertama yang terjadi di usia dini atau saat ibu masih remaja dan sering
disebut kehamilan remaja. Usia ideal seorang wanita untuk melahirkan adalah 20
– 25 tahun. Jika usia ibu lebih muda atau lebih tua dari usia tersebut maka akan
lebih berisiko mengalami komplikasi kehamilan. Seorang wanita yang hamil pada
usia remaja akan mendapat early prenatal care lebih sedikit. Faktor ini yang
diprediksi menyebabkan bayi lahir dengan berat rendah (BBLR), stunting serta
kematian pada bayi. Sebagian besar remaja putri yang hamil memiliki IMT
Menurut (Mistry et al., 2019) hal tersebut disebabkan oleh kurangnya asupan gizi
dikarenakan kekhawatiran pada bentuk tubuh selama masa remaja dan kurangnya
pendidikan tentang gizi. Kedua hal tersebut kemudian menjadi sebab rendahnya
kenaikan berat badan ibu selama masa kehamilan. Kenaikan berat badan yang
tidak sesuai inilah yang kemudian berakibat pada kenaikan jumlah bayi lahir
premature yang menjadi salah satu faktor terjadinya stunting pada balita . Ibu
yang hamil di usia remaja juga masih dalam masa pertumbuhan sehingga dapat
terjadi perebutan zat gizi antara janin dan metabolism ibu itu sendiri. Keadaan
tersebut akan semakin parah jika asupan zat gizi ibu tidak adekuat sehingga janin
stunting pada balita (Larasati et al., 2018). Kehamilan di usia awal remaja, ketika
ibu juga masih tumbuh akan meningkatkan resiko bayi yang dilahirkan akan
demografi jenis kelamin dimana terdapat dijelaskan bahwa jenis kelamin laki-laki
dikarenakan terjadinya kebutuhan nutrisi yang lebih banyak pada laki-laki dan
juga adanya perbedaan praktik makan pada anak dari orang tua. Selain itu terdapat
faktor demografi pendidikan terakhir pada orang tua, tingkat pendidikan akan
yang berpendidikan lebih tinggi cenderung untuk memilih bahan makanan yang
lebih baik dalam kualitas dan kuantitas hidangan dibandingkan mereka yang
berpendidikan rendah atau sedang. Makin tinggi tingkat pendidikan makin baik
status gizi anaknya. Faktor demografi pekerjaan ibu pada literature ini juga
berhubungan dengan kejadian stunting, dimana ibu yang bekerja memiliki waktu
yang sangat sedikit dalam merawat dan menentukan pola asuh untuk anaknya,
namun ibu yang bekerja juga dapat mencegah terjadinya stunting dikarenakan
keluarga yang lebih memadai dan dapat memenuhi kebutuhan sandang dan
pangan untuk ibu menyusui dan balita. Kehamilan pada usia remaja memiliki
peluang yang lebih besar untuk melahirkan bayi prematur atau memiliki bayi
dengan berat lahir rendah. Selanjutnya, kehamilan remaja lebih sering terjadi pada
populasi yang kurang mampu secara ekonomi dan ibu remaja cenderung memiliki
terjadinya stunting pada anak balita. Faktor lingkungan tersebut yaitu terdiri
kebersihan dan jenis jamban yang digunakan, tempat tinggal anak (perkotaan atau
rumah, akses ke sumber air minum yang bersih, dan fasilitas sanitasi lingkungan
yang layak.
air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air kotor (air limbah), rumah hewan
memungkinkan terjadinya berbagai penyakit antara lain diare dan infeksi saluran
tangga yang tidak memiliki akses toilet lebih mungkin menderita stunting (50% )
dibandingkan dengan rumah tangga yang memiliki akses toilet (38%). Kurangnya
lingkungan terjadi dengan peradangan usus kecil berulang dan jangka panjang
perkiraan dampak terbesar kedua pada stunting secara global dan di Asia Selatan,
Afrika sub-Sahara, dan kawasan. Asia Timur dan Pasifik, sedangkan gizi dan
infeksi anak merupakan kelompok faktor risiko kedua di wilayah lain. Khususnya,
7,2 juta kasus stunting di seluruh dunia disebabkan oleh sanitasi yang tidak baik.
Beban yang timbul dari sanitasi yang tidak layak untuk stunting lebih besar
(meskipun tidak signifikan) daripada diare masa balita, karena beberapa efek
sanitasi yang ditingkatkan mungkin melalui pencegahan infeksi masa balita lain
dan peningkatan kesehatan ibu dan gizi pada kehamilan. Ini lebih lanjut
akses, dan penggunaan, air bersih dan sanitasi untuk anak-anak dan keluarga di
seluruh dunia (Jiang et al., 2015). Faktor lain adalah perilaku higiene sanitasi
hubungan yang bermakna antara jenis jamban yang digunakan dan sumber air
bersih. Jenis jamban yang tidak layak (bukan leher angsa) mempunyai
dengan balita yang mempunyai jamban yang layak (Mistry et al., 2019).
Keberadaan jamban yang tidak memenuhi standar secara teori berpotensi memicu
timbulnya penyakit infeksi yang karena higiene dan sanitasi yang buruk yang
infeksi yang diderita bayi dapat menyebabkan berat badan bayi turun. Jika kondisi
ini terjadi dalam waktu yang cukup lama dan tidak disertai dengan pemberian
stunting (Buletin, Kemekes RI. 2018). Sumber air yang menggunakan air sumur
meningkatkan resiko balita untuk stunting 0,13 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan dengan sumber air yang sudah diolah (PAM) (Aisah et al., 2019). Dari
Sumber air minum layak yang dimaksud adalah air minum yang terlindung
meliputi air ledeng (keran), keran umum, hydrant umum, terminal air,
penampungan air hujan (PAH) atau mata air dan sumur terlindung, sumur bor atau
limbah, dan pembuangan sampah. Tidak termasuk air kemasan, air dari penjual
keliling, air yang dijual melalui tangki, air sumur dan mata air tidak terlindung
bahwa anak umur 0-23 bulan yang tinggal di daerah pedesaaan berisiko stunting
1,4 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang tinggal di daerah kota.
Determinan tempat tinggal terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu desa dan kota.
Anak yang tinggal di desa mempunyai risiko lebih besar terkena stunting
dibandingkan dengan anak yang tinggal di daerah kota (García Cruz et al., 2017).
desa dan kota berbeda, lingkungan tempat tinggal akan menentukan jenis
pekerjaan ayah dan besar pendapatan yang diperoleh (Purwanti & Nurfita, 2019).
Perbedaan lingkungan desa dan kota juga terkait dengan ketersediaan makanan
yang bergizi. Di desa, ketersediaan makanan tergantung pada produksi lokal yang
kebutuhan hidupnya (Apriluana & Fikawati, 2018). Selain hal tersebut, jejaring
sosial juga mempunyai dampak yang signifikan terhadap stunting di desa dan di
kota. Di kota, orang tua lebih mudah mengakses internet untuk mencari informasi
terkait kesehatan anak, sehingga orang tua mempunyai pengetahuan yang cukup
kejadian stunting yaitu seperti Jamban yang tidak memenuhi standar seperti
penyakit infeksi yang karena hygiene dan sanitasi yang buruk (misalnya diare dan
Beberapa penyakit infeksi yang diderita bayi dapat menyebabkan berat badan bayi
turun. Jika kondisi ini terjadi dalam waktu yang cukup lama dan tidak disertai
dengan pemberian asupan yang cukup untuk proses penyembuhan maka dapat
karena mengindikasikan sanitasi dari suatu tempat tertentu. Terkait juga dengan
diare. Sarana air bersih termasuk faktor dominan yang mempengaruhi kejadian
diare pada balita. Untuk mencegah terjadinya diare maka air bersih harus diambil
dari sumber yang baik (terlindungi/tidak terkontaminasi). Anak yang berasal dari
keluarga dengan sumber air yang tidak terlindungi dan jenis jamban yang tidak
4.3. Hubungan Faktor Pola Asuh Dengan Kejadian Stunting Pada Anak
sebelas artikel yang membahas mengenai faktor pola asuh orang tua sebagai
faktor pencetus terjadinya stunting pada anak balita. Faktor pola asuh tersebut
bahwa ibu dengan kebiasaan pengasuhan yang kurang baik pada balitanya
mempunyai kecenderungan 6,62 kali lebih besar untuk memiliki balita stunting
dibandingkan ibu dengan kebiasaan pengasuhan yang baik pada balitanya (Dhami
et al., 2019b). Hasil analisa ini sejalan dengan hasil penelitian (Geresomo et al.,
kebiasaan pola asuh terhadap status gizi anak. Anak dengan status gizi tidak baik
mempunyai peluang 9 kali pada keluarga yang menerapkan kebiasaan pola asuh
tidak baik dibandingkan anak pada keluarga dengan pola asuh yang baik. Pola
pengasuhan merupakan hal yang penting dalam proses tumbuh kembang anak.
adalah adanya faktor psikososial yang didalamnya mencakup hal penting dalam
yang baik merupakan gambaran adanya interaksi positif anak dengan pengasuh
utama yang berperan dalam perkembangan emosi dan psikologis anak sehingga
menciptakan tumbuh kembang anak yang normal (Indah Nurdin et al., 2019).
Peran orang tua sedini mungkin akan menjalin rasa aman pada anaknya. Hal
tersebut diwujudkan dengan kontak fisik dan psikologis sejak anak lahir hingga
dalam proses tumbuh kembangnya. Kurangnya kasih sayang orang tua di tahun-
tahun pertama berdampak negative pada tumbuh kembang anak baik fisik, mental,
maupun sosial emosi. Kasih sayang orang tua akan menciptakan ikatan yang erat
(bonding) dan kepercayaan dasar (basic trust). Hubungan yang erat, mesra dan
selaras antara orang tua dan anak merupakan syarat mutlak untuk menjamin
tumbuh kembang yang selaras, baik fisik, mental maupun psikososial. Ibu yang
pada status gizi anak (Bella et al., 2020). Hal ini sesuai dengan penelitian
asuhan psikososial berkaitan dengan asuhan gizi dan kesehatan yang berpengaruh
positif pada status gizi, tumbuh dan kembang (Yudianti & Saeni, 2016).
Pola asuh merupakan faktor risiko yang paling berpengaruh, dimana pola
asuh ibu yang buruk 3,9 kali lebih berisiko anaknya mengalami kejadian stunting
bila dibandingkan dengan ibu yang memiliki pola asuh anak yang baik. Salah satu
kebutuhan terpenting bagi anak adalah kebutuhan fisik biomedis (pola asuh). Pola
asuh yang diberikan dapat berupa kecukupan pangan makanan dan gizi dan
perawatan kesehatan dasar yang diberikan kepada balita (Indah Nurdin et al.,
2019). Hasil penelitian yang diperoleh sejalan dengan (Bella et al., 2020) yang
menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua
dengan kejadian stunting. Pola asuh orang tua yang kurang baik, anaknya 8 kali
mendapatkan pola asuh orang tua yang baik. Berdasarkan hasil penelitian lain
tekait pola asuh melalui pemberian makan oleh orang tua kepada balita yang tidak
dalam pemberian ASI yang tidak ekslusif, pemberian MP–ASI yang terlalu dini
ASI (MPASI) yang monoton 3,2 kali lebih berisiko mengalami kejadian stunting
Anak balita yang diberikan ASI eksklusif dan MP-ASI sesuai dengan
2017). Hal ini karena pada usia 0-6 bulan ibu balita yang memberikan ASI
eksklusif dapat membentuk imunitas atau kekebalan tubuh anak balita sehingga
dapat terhindar dari penyakit infeksi. Setelah itu, pada usia 6 bulan anak balita
diberikan MP-ASI dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga anak balita
terpenuhi kebutuhan zat gizinya yang dapat mengurangi risiko terjadinya stunting.
Usia 6 bulan, pencernaan bayi sudah siap untuk menerima makanan. Pemberian
MP-ASI dini sebelum 6 bulan atau pun lebih dari 6 bulan dapat menyebabkan
bayi kekurangan zat gizi dan akan mengalami kurang zat besi, serta mengalami
tumbuh kembang yang terlambat (Safitri & Dkk, 2019). Bayi yang diberi MP-ASI
6 bulan status gizinya lebih banyak normal dibandingkan pada usia 0- 3 bulan
atau 4-5 bulan. Status gizi kurang pada balita bisa karena akibat pengenalan MP-
ASI kurang dari 6 bulan . Hasil Penelitian yang mendukung dilakukan (Khasanah
et al., 2016), bahwa adanya hubungan yang erat antara usia pertama pemberian
MP-ASI dengan status gizi pada indek BB/U dan TB/U lemah, dengan arah
hubungan yang positif, artinya semakin awal usia pemberian MP-ASI maka status
Pemberian makan dengan cara yang sehat, pemberian makan bergizi dan
mengatur porsi yang dihabiskan akan meningkatkan status gizi anak. Makanan
yang baik untuk bayi dan balita harus memenuhi syarat-syarat kecukupan energi
dan zat gizi sesuai umur, pola menu seimbang dengan bahan makanan yang
tersedia, kebiasaan dan selera makan anak, bentuk dan porsi makanan yang
lingkungan (Torlesse et al., 2016a). Ini sejalan dengan satu (Khasanah et al., 2016)
penelitian yang menyebutkan praktek pemberian makan oleh ibu pada kelompok
anak normal (tidak stunting) lebih baik dibandingkan pada kelompok anak
pertumbuhan anak.
dimaksudkan dapat berupa nasi, lauk pauk, sayur, buah dan susu yang diberikan
kepada balita (Kim et al., 2017b). Jenis makanan tersebut kaya akan zat gizi yang
yang monoton akan membuat kebutuhan gizi balita tidak terpebuhi. Akibat
(Habimana & Biracyaza, 2019). Kekurangan asupan energi pada usia 1-3 tahun
2,5 kali lebih berisiko mengalami stunting. Kekurangan zat gizi lainnya seperti
vitamin B2, vitamin B6, Fe, dan Zn dapat meningkatkan risiko kejadian stunting.
Jenis asupan makanan yang umumnya diberikan oleh para orang tua adalah
pemberian bubur sereal dalam kemasan yang banyak dijual. Makan tersebut
dipilih karena sedikit praktis, akan tetapi pemberian MPASI tersebut dilakukan
gizi balita yang secara tidak lansung menyebabkan kejadian stunting (Zairinayati,
2019).
Khasanah et al. (2016) menemukan bahwa MPASI yang tidak variatif dan
frekuensi pemberian makan yang tidak sesuai dengan anjuran dapat menyebabkan
kejadian stunting. Kurang beragamnya makanan pada balita, 7 kali lebih berisiko
beragam. Sejalan dengan penelitian Rahmad & Miko (2016) yang menemukan
bahwa pemberian makanan pendamping ASI yang buruk, membuat balita 3,4 kali
Berdasarkan dari literature yang telah dianalisa serta telah di dukung dengan
referensi jurnal lainnya, maka peneliti berasumsi bahwa anak balita yang
mengurangi risiko terjadinya stunting. Hal ini karena pada usia 0-6 bulan ibu
balita yang memberikan ASI eksklusif dapat membentuk imunitas atau kekebalan
tubuh anak balita sehingga dapat terhindar dari penyakit infeksi. Setelah itu, pada
usia 6 bulan anak balita diberikan MP-ASI dalam jumlah dan frekuensi yang
cukup sehingga anak balita terpenuhi kebutuhan zat gizinya yang dapat
mengurangi risiko terjadinya stunting. Usia 6 bulan, pencernaan bayi sudah siap
untuk menerima makanan. Pemberian MP-ASI yang baik sangat penting bagi
tumbuh kembang anak. Bahan makanan yang sarna sesuai waktu makan
yang dikonsumsi dalam sehari. Tingkat konsumsi energi dan protein dihitung
Komposisi makanan yang akan diberikan kepada balita harus disesuaikan dengan
mengandung nitrat dan lain sebagainya. Pemilihan makanan harus sesuai dengan
nutrisi yang dibutuhkan oleh balita. Pemberian makan pada bayi dan batita harus
Pada Anak
Berdasarkan 13 artikel yang akan dianalisis pada penelitian ini terdapat tiga
artikel yang membahas mengenai faktor akes pelayanan kesehatan sebagai faktor
pencetus terjadinya stunting pada anak balita. Pelayanan kesehatan adalah akses
atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap upaya pencegahan penyakit dan
kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktek bidan atau dokter dan
rumah sakit. Tidak terjangkaunya pelayanan kesehatan (karena jauh dan atau tidak
tersedia. Hal ini akan dapat berdampak juga pada status gizi anak (Habimana &
Biracyaza, 2019).
mortalitas anak (Setiawan et al., 2018). Akses ke pelayanan kesehatan dilihat dari
jarak dan waktu tempuh serta biaya yang dikeluarkan untuk mencapai pelayanan
stunting (BB/U, TB/U, dan BB/TB) pada balita lebih tinggi terjadi pada balita
dengan jarak rumah >300 meter, waktu tempuh >7 menit dan tidak mempunyai
pelayanan kesehatan terdekat yang sulit seperti angkutan umum yang tidak
mencapai sarana kesehatan, letak cukup jauh dan terpencil, sehingga untuk
kurang baik bagi balitanya mempunyai kecenderungan 8,07 kali lebih besar untuk
kesehatan yang baik untuk balitanya (Kim et al., 2017b). Penelitian (Bella et al.,
2020) juga menyatakan bahwa adanya perbedaan yang signifikan pada kebiasaan
anak yang memiliki status gizi tidak baik mempunyai peluang 11 kali pada
keluarga yang pelayanan kesehatannya tidak baik dibandingkan dengan anak pada
oleh paparan penyakit infeksi pada balita. Kejadian infeksi penyakit pada anak
kesehatan anak . Hal tersebut sangat berperan dalam peningkatan status gizi anak
kesehatan pada ibu dengan berbagai kegiatan misalnya penyuluhan gizi dan
kesehatan serta konseling gizi bagi ibu dengan balita yang mengalami
yang signifikan pada ibu antara sebelum dan sesudah konseling gizi (Ratu, 2017).
Kesehatan anak harus mendapat perhatian dari para orang tua yaitu dengan
cara segera membawa anaknya yang sakit ketempat pelayanan kesehatan yang
kesehatan seperti rumah sakit, klinik, puskesmas dan lain-lain. Semakin seringnya
kunjungan balita ke posyandu maka status gizi balita akan terpantau dengan baik,
mendapatkan paket makanan MP ASI gratis, serta ibu balita mendapatkan banyak
informasi pemenuhan gizi baik bagi anak (Dewi et al., 2019). Dalam kondisi sakit
imun tubuh anak melemah dan akan mudah terserang penyakit jika anak tidak
sakit nafsu makan akan berkurang dan akan diikuti dengan daya tahan tubuh
semakin melemah, mudah terinfeksi penyakit lain dan pertumbuhan anak akan
terganggu (Simbolon et al., 2015). Peranan ibu dalam memenuhi kebutuhan gizi
balita sangat penting, dibandingkan dengan peranan para kader posyandu dan
petugas kesehatan1. Keaktifan dari para ibu sendiri untuk aktif dalam kegiatan
Adapun balita yang memiliki status gizi kurang tapi pemanfaatan posyandunya
baik, dapat dipengaruhi oleh kesehatan, keadaan psikologis, dan sosial anak.
Kondisi lingkungan keluarga adalah sesuatu yang penting dalam pemenuhan gizi
karena sarana dan prasarana tersedia, mutu pelayanan dinilai baik, ada peran dari
pelayanan lain. Berbagai alasan tidak membawa balitanya ke posyandu antara lain
letak jauh, tidak ada posyandu dan layanan tidak lengkap. Tingkat keteraturan ibu
dengan kejadian stunting dan terutama saat anak sakit, karena ketika anak sakit
daya tahan tubuh anak atau imun tubuh melemah dan akan lebih mudah terserang
penyakit apalagi jika anak tidak atau jarang dibawah ke posyandu untuk
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
stunting faktor demografi, faktor lingkungan, faktor pola asuh dan faktor
pendidikan ibu, usia ibu, status sosial ekonomi, dan pekerjaan ibu. Faktor
lingkungan tersebut yaitu terdiri kebersihan dan jenis jamban yang digunakan,
minuman yang di konsumsi, udara dalam rumah, akses ke sumber air minum yang
bersih, dan fasilitas sanitasi lingkungan yang layak. Faktor pola asuh tersebut
gizi yang dibutuhkan oleh anak. Faktor yang terkahir yaitu faktor pelayanan
kesehatan.
Berdasarkan hasil dari penelitian diatas maka hal yang dapat dilakukan
untuk mencegah atau mengatasi anak dengan stunting yaitu dengan adanya
sosialisasi dari pemerintah maupun dari puskesmas dan kader sebagai pelayanan
alat ukur sesuai standar WHO, sosialisasi pola MPASI dan ASI Eksklusif.
Pemberian bantuan protein hewani termasuk susu untuk keluarga dengan balita.
Pelatihan dokter, bidan, ahli gizi dan kader untuk mendeteksi stunting dengan
intervensinya. Serta penyediaan PKMK untuk kondisi yang menyebabkan
stunting seperti gizi buruk, gizi kurang, gagal tumbuh, alergi, prematur, sampai
kelainan metabolik.