Anda di halaman 1dari 6

Kebanyakan orang ingin mengerti apa menariknya Naskah Laut Mati.

Kita menemukan
tumpukkan naskah kuno yang mengkonfirmasi tulisan dari kitab Perjanjian Lama.

Hal penting dari Naskah Laut Mati adalah mereka telah disembunyikan oleh komunitas
Yahudi yang dipercaya sebagai komunitas Eseni, tapi siapapun mereka tidaklah begitu
penting untuk dibahas. Yang paling penting adalah fakta bahwa naskahnya tersembunyi
pada sekitar tahun 68 Masehi. Jadi ini berarti sekitar 30 tahun setelah misinya Yesus kristus.

Jadi hal penting tentang Naskah Laut Mati adalah harapan bahwa mereka akan
memberitahu kita tentang apa yang sedang terjadi di Judea pada waktu itu.

Sebuah naskah kuno telah ditemukan 1900 tahun setelah Yahudi Eseni menyembunyikan
naskah mereka yang paling berharga dalam sebuah gua di Qumran. Seorang pendeta
katholik yang meneiliti Naskah Laut Mati menemukan sebuah tulisan yang mengandung
maklumat terakhir dari Naskah tersebut, tapi dia menyembunyikannya karena takut akan
kesesatan yang terkandung didalamnya.

Ketika seorang arkeologis terkenal yang bernama Frank Tones menemukan sebuah petunjuk
tentang Naskah yang tersembunyi, dia ingin mengetahui apakah naskah ini adalah Injil Yesus
yang telah lama hilang, atau bahkan Injil Yakobus. Tapi sayangnya sebelum dia dapat
bertindak, mereka yang mengetahui keberadaan naskah tersebut secara misterius menjadi
bungkam atau bahkan mati, sehingga hanya tersisa sebuah tim yang terdiri dari ayah dan
anak untuk menemukan naskah itu dan memberi tahukan rahasianya ke seluruh dunia.

Qumran adalah sebuah area dimana Naskah Laut Mati ditemukan. Tahun 68 M adalah masa
dimana para penjaga Naskah Laut Mati yang diduga adalah Yahudi Eseni dibantai. Itulah
waktu dimana Naskah Laut Mati disembunyikan dan inilah bagaimana cerita itu dimulai.

“Ketika kematian menjelang, kehidupanmu akan berputar kembali didepan matamu”. Orang
tua yang memberitahukan Yakub pepatah ini setahun sebelumnya, sekarang tergeletak tak
bernyawa dalam tumpukkan mayat-mayat berdarah didepannya, dibalut oleh ususnya
sendiri dan mengeluarkan busuknya bau isi perut. Yakub mengalihkan pandangannya dari
mayat yang kaku itu, mengunci pandangannya pada prajurit romawi yang mengangkat
pedangnya dari tubuh yang tak bernyawa. Dia hanya diam membisu ketika prajurit itu
mengangkat pedangnya yang berselimut darah dan dapat memutuskan batang leher Yakub.

Seiring pikirannya melayang, seakan-akan waktu berhenti sejenak untuk menghormati


memori terakhirnya, Yakub tidak mengingat seluruh hidupnya, tapi hanya mengingat detik-
detik terakhirnya. Dia menerawang ketika dia berada di dalam guanya, dengan kalut
berusaha untuk menyembunyikan tumpukkan naskah Eseni. memandang sekilas dari mulut
gua pada langit yang mulai gelap, terefleksi dalam Laut Mati yang luas memberitahunya
bahwa dia hampir kehabisan waktu.
“kenapa aku bergabung dengan sekte Yahudi Eseni?, andaikan mereka tahu iman Kristenku,
tentunya mereka akan membuangku selamanya.”

Pada saat yang hampir bersamaan ketika dia memikirkan hal itu, pikirannya mengingat
kembali ingatan pedang yang membelah tubuh, teriakkan, dan tubuh-tubuh termutilasi yang
berserakkan di tanah. “itulah mengapa aku bergabung.” Dia berkata pada dirinya sendiri.
“untuk meminta perlindungan.”

Dengan singkat dia memikirkan, bagaimana tiga puluh tahun yang lalu orang-orang romawi
memburu semua murid Yesus, sang Kristus. Sekarang, dua tahun setelah pemberontakkan
Yahudi, orang-orang romawi memburu semua orang-orang Yahudi, kecuali suku mereka
sendiri yaitu Yahudi Eseni. Tapi setiap Eseni tahu bahwa perlindungan mereka dapat
berakhir kapan saja, Yakub tidak dapat membuang rasa takutnya tentang orang-orang
beringas yang membunuh para umat Kristen di koloseum Romawi, dimana kaisar Nero
membuat Koloseum itu terang di malam hari dengan lilin yang terbuat dari jasad manusia.

Yakub meraih sebuah perkamen yang paling berharga diantara perkamen lainnya. Kertasnya
mengeluarkan suara gemerisik seiring dia menggulungnya. Dia sangat menghormati Naskah
ini, tangannya yang gemetar menyegel tepiannya dengan tetesan lilin panas. Dia memaksa
dirinya untuk menghela nafas panjang dalam gua yang lembab hingga tangannya tak lagi
gemetar, dan menstempel cairan lilin panas yang cepat kering itu dengan cincin cap seorang
kapten romawi. Kemudian dia membungkusnya dengan kain lenan dan menyegel pinggiran
kain itu juga. Dia memasukkan naskah itu ke dalam guci dari batu gamping yang indah dan
dengan hati-hati dia menempatkan guci itu di lantai gua. Sambil merenggut rambutnya
yang sepanjang bahu dan mengguncangnya hingga dia merasa tenang. “tenanglah” dia
berkata sendiri. “tenang saja.”

Dengan hati-hati Yakub mengeluarkan perkamen-perkamen itu dari gucinya. Memeriksanya


karena takut rusak, dan dengan lembut memasukkannya kembali kedalam guci. Kemudian
dia mengisi guci itu dengan pasir, meraih lilinnya dan menuangkan cairan dari lilin yang
meleleh ke tutup gucinya. Setelah dia menyegel guci itu dengan rapat, dan tampak lelehan
lilin itu yang belum sepenuhnya mengering, saudara Eseninya datang. Yakub melompat
bangun dan mendekap 3 guci tembikar, yang setiap guci itu tingginya setengah orang
dewasa dan terisi dengan perkamen, kemudian membawanya ke mulut gua. Dia tersandung
ketika melangkah dan hampir saja menjatuhkan salah satu guci. Tembikar itu lolos dari
dekapannya, dengan cepat dia menangkapnya tepat pada waktunya, dan terjatuh pelan ke
lantai gua namun tidak membuatnya pecah.

Saudaranya mengangkat guci itu dalam genggamannya, memandang Yakub dengan


khawatir kemudian bergegas menyembunyikan guci itu di tempat yang tersembunyi. Yakub
kembali untuk meraih guci lainnya yang sepanjang satu hasta cukup untuk menampung
sebuah perkamen, dan mencapnya dengan cincin sang kapten dengan cairan lilin yang
mendingin disekitar tutupnya.
kenapa sang kapten menyuruhnya untuk menyembunyikan perkamen-perkamen ini?

Yakub telah mendengar rumor, tentu saja. Dimana para prajurit romawi dengan perasaan
yang sensitif kepada orang-orang Yahudi. Orang-orang romawi yang menyiksa para pengikut
Yesus Kristus. Yakub mengubur guci yang terbuat dari batu gamping dalam tumpukkan-
tumpukkan perkamen yang tertumpuk di tengah-tengah gua. Dia berdoa dengan cepat,
keringatnya terjatuh dari balik kedua tangannya seiring dia mengangkat tangannya yang
gemetar ke langit, dan kemudian beranjak dari gua.

Gurun judea yang tandus tampak dekat dengan langit beratapkan matahari yang semakin
terbenam. Dengan langkah kaki yang cepat dia melangkah melewati punggung bukit yang
membawanya ke dalam suatu kompleks, melewati beberapa orang prajurit yang sedang
bersantai di teras lapangan dengan pedang yang siap siaga ditangan. Dia berusaha untuk
tetap tenang ketika dia mengunjungi sang kapten di dalam ruangannya untuk
mengembalikan cincinnya. Setelah dia mengembalikkan cincin sang kapten, Yakub bergegas
menuju ruang makan yang bercahaya redup dan terdengar suara saudara-saudara se-
imannya, ketakutannya mencambuk pikirannya.

‘ketika dekat pintu, ambillah arah kanan”, sang kapten memberi instruksi.

Mengapa? Yakub berpikir dan terus memikirkannya, bahkan ketika dia memasuki ruang
makan dan duduk sebagai tamu undangan. Kata “mengapa” itu menghantui pikirannya
selama perbincangan jamuan makan malam. Ditengah-tengah suasana makan malam, ketika
Yakub mencoba melawan ketakutan yang membuat kakinya gemetar, dia menyaksikan
segerombolan prajurit romawi berjalan didepan pintu masuk dengan pedang ditangan
mereka. Seperti bayangan dalam mimpi buruk yang samar, Yakub kesulitan melihat celah
dibalik begitu banyaknya prajurit. Dia memandang sekilas pada satu-satunya jalan keluar
yang lain, namun pintu itu pun dipenuhi kumpulan prajurit.

Dia melihat ke sekeliling ruangan dan melihat saudara-saudara seimannya diam mematung.
Sang kapten romawi memasuki ruangan itu dan berseru “tetaplah duduk!”.

Kata-kata itu membuat beberapa saudaranya seiring mereka bangkit dari kursi, dan sang
kapten kembali mengulangi perintahnya, namun kali ini dengan lebih lembut, seperti orang
tua yang menasihati anak yang masih kecil. Seseorang akan dibunuh, Yakub menyadarinya.

Sang kapten melayangkan pandangannya pada Yakub seper sekian detik lebih lama daripada
yang lainnya. Kemudian dia berkata “aku telah diperintahkan untuk membunuh siapapun
disini yang menolak sumpah setia dibawah kekasiran romawi.”

“jadi itulah mengapa”, pikir Yakub. “itulah mengapa sang kapten menginginkan naskah itu
disembunyikan.”
“hingga sekarang (sang kapten melanjutkan perkatannya), Agripa II sebagai rajamu, tidak
pernah meminta sumpah kesetiaan,” sang kapten melanjutkan “namun itu telah berubah.
karena adanya pemberontakkan dari kaum kalian, maka sebuah sumpah setia diperlukan.”

“tangan kami kosong dan kau tahu itu,” salah satu Eseni berkata. “kami tidak punya senjata,
bagaimana mungkin kami menjadi ancaman bagimu?”

“perintahku bersifat mutlak,” sang kapten menjawab. “kau bersumpah kesetiaan atau mati.
Siapa yang mau lebih dulu mati?”

Salah satu saudara Eseni berdiri dan berjalan menuju sang kapten, orang yang pendek,
gemuk yang tak punya rasa takut. Yakub sendiri tidak terlalu mengenalnya. Bersamaan
dengan itu seorang pimpinan prajurit melangkah melewati sang kapten dan menghunuskan
pedangnya ke dada si Eseni. Tak gentar, si Eseni berkata, “kami mengabdi hanya kepada Dia,
dan hanya kepada Dia,” kemudian dia mengalihkan pandangan dari si prajurit dan
bertatapan mata dengan sang kapten. “dan kami bersumpah pada-Nya karena Dialah yang
menciptakan kami, dan Dia yang menciptakanmu, dan kita semua akan kembali pada-Nya.”

Satu langkah lebih dekat pada si prajurit yag telah menghunusknan pedangnya, membuat
ujung pedangnya menyentuh dada orang Eseni itu. “Dia yang menghakimi kita semua, dan
memasukkan yang baik ke surga, dan yang penuh dosa ke neraka,” orang Eseni tersebut
melanjutkan “kepada Dia, Yang Maha Kuasa, kami bersumpah setia dan hanya pada-Nya.”

Untuk sesaat Yakub merasa kata-kata saudaranya itu memenuhi ruangan dan memperkuat
iman hati orang-orang yang beriman. Tapi kemudian si prajurit menusukkan pedangnya.
Pedangnya menembus keluar dari punggung orang Eseni tersebut. Prajurit itu memberikan
tusukkan yang singkat kemudian mencabut pedangnya kembali dengan suara isapan dan
muncratnya darah. Orang yang gemuk itu membungkuk ke depan karena tusukkan pedang,
kemudian dia berbalik untuk melihat saudara-saudaranya. Kemenangan terlihat pada
wajahnya, dan dia mengacungkan telunjuknya ke langit dengan tersenyum. Tususkkan
kedua membuat pedang prajurit menusuk punggungnya dan menembus keluar melewati
dadanya. Dia sempoyongan dan tertunduk, dan berkedip seiring dia mengamati darahnya
dan pedang si prajurit dicabut dari dadanya. Kemudian dia jatuh berlutut, terbatuk-batuk
dan mengeluarkan banyak darah, terjatuh ke samping ke dalam dekapan saudaranya yang
lain dan mati, sebuah senyuman menghiasi bibirnya yang berdarah.

Sang kapten berjalan ke samping, dan Yakub mengamati para prajurit masuk berombongan
dari koridor yang gelap layaknya utusan dari neraka. Suasana ruangan dipenuhi dengan
teriakkan-teriakkan orang yang beriman, geram dan kutukan para prajurit, dan suara
pedang yang menembus daging. Pedang-pedang itu menebas dengan kuat menembus
tubuh, kapak dan parang diayunkan membelah udara dan mendaratkannya pada daging dan
tulang. Terkadang terdengar suara erangan dari mereka yang sekarat, namun tidak
terdengar isak tangis dan sumpah setia kepada orang-orang romawi.
Yakub pun berlutut dengan kedua tangan di kepala, terperangkap diantara dinding dan kaki
sang kapten. Para prajurit sedang mengamuk, memasuki ruangan yang redup melalui
koridor, melewati Yakub dan mentapnya dengan singkat. Yakub melihat sang tetua berlutut
di hadapannya, mengerang tak karuan seiring dia memuntahkan isi perut yang tumpah dari
perutnya yang robek. Prajurit yang berdiri disamping sang tetua memenggal kepalanya
dengan ayunan pedangnya, menendang mayatnya ke lantai, kemudian membungkuk
disisinya dan menebas tubuh yang tanpa kepala.

Karena ketakutan, Yakub bersandar ke dinding. Si prajurit menarik pedangnya dari tubuh
sang tetua, berbalik dan bertatapan mata dengan Yakub. Kemudian dia berdiri, mengangkat
pedangnya yang beerlumuran darah dan bersiap-siap menyerang.

“ketika kematian menjelang, kehidupanmu akan berputar didepan matamu.”

Ingatan Yakub bermain seiring sang kapten mendirikan Yakub dengan paksa dan
mendorongnya ke arah dinding batu yang dingin, melambaikan tangan agar para prajurit
tidak ikut campur. Sang kapten berbisik kepada Yakub, Yakub mengalihkan pandangannya
kembali pada wajah sang kapten, sebuah seringai yang menghiasi wajahnya yang hanya
menyisakan sedikit keramahan. Yakub menghela nafas dengan cepat sebanyak dua kali dan
berteriak, “Aku bersumpah setia, aku bersumpah setia!”

Para prajurit menyudahi acara pembantaian mereka dan tertawa, tidak sadar akan drama
yang sedang berlangsung. Prajurit yang terdekat dengan Yakub menurunkan pedangnya,
menghentak lantai tanah dan melangkah menjauh dalam rasa kesal.

“yang satu ini benar-benar bersumpah setia!” sang kapten berseru kepada mereka. “jangan
ada yang menyakitinya, karena dia berada dalam perlindunganku!”. Sang kapten berbalik
kepada Yakub dan berbisik, “semoga damai menyertaimu temanku, berdoalah untukku.”
Kemudian dia mengayun Yakub seperti sebuah boneka dan mendorongnya agar dia jalan
melintasi koridor. Tepat menuju ke arah prajurit yang sedang menunggu. Dan mulai dari
saat itu, Yakub mengetahui kematian. Kepastian akan kedatangan sang maut seperti
membalutkan sebuah selimut ketenangan padanya, memejamkan matanya dalam doa.

“hey sudah cukup berdoanya,” si prajurit berkata denagn sedikit tertawa. “lihatlah kemana
doa itu membawa teman-temanmu.” Yakub membeku tak percaya, kemudian si prajurit
meraih tanganya dan menuntunnya seperti menuntun seorang pria lemah keluar kompleks.
Diluar kompleks, si prajurit mengikatkan sesuatu di pinggangnya dan berbisik, “makanan
dan uang.” Yakub merasakan kakinya yang lemas jadi gemetar ketika si prajurit memakaikan
sebuah handuk basah pada kedua bahunya, tapi seketika dia tegak kembali ketika
merasakan sebuah cincin dipakaikan di jemarinya.

“kapten telah berubah pikiran,” si prajurit berkata. “dia berkata kau lebih memerlukan
cincin ini daripada dirinya. Sekarang dengarkan dengan seksama, jika ada seseorang yang
menghentikanmu, tunjukkan cincin ini padanya. Ini akan menjamin keselamatanmu. Lalu
gunakan airmu dengan hemat, ini cukup hingga kau menemukan tempat yang aman. Kau
tidak bisa pergi ke Yerusalem, karena itu sama saja bunuh diri. Jadi ambillah jalur
perdagangan dan menjauhlah dari sini hingga semua ini berakhir. Dan Yakub, semoga Tuhan
selalu bersamamu.”

Yakub menelan ludahnya dengan susah karena tenggorokannya kering akibat rasa takut.
Jadi hal itu benar. Mereka sebenarnya berteman, meskipun dalam kalangan prajurit romawi
yang paling munafik sekalipun. Namun tidak ada waktu untuk berbincang-bincang, dan si
prajurit mendorongnya kedala kegelapan malam dan mencabut pedangnya. Yakub berdiri
dengan canggung dan mengamati, tanpa pertolongan bagaikan seekor domba sebelum
disembelih, tapi si prajurit hanya mengedipkan mata, berbalik dan menghilang kembali
kedalam kompleks.

Anda mungkin juga menyukai