Anda di halaman 1dari 10

Agama islam pertama kali disiarkan ke tanah jawa melalui metode tasawuf.

Metode ini
lebih mudah diterima oleh masyarakat jawa yang pada masa itu masih menganut agama Hindu
dan Buddha, serta kepercayaan animism dan dinamisme.

Adalah Wali Songo yang diyakini sebagai penyebar agama islam pertama di tanah jawa.
Mereka dibantu oleh para wali atau sunan yang tidak termasuk wali utama, namun berperan
besar dalam proses penyebaran agama islam ini. Diantara mereka terdapat Sunan Tembayat,
Sunan Geseng, Pangeran Kalinyamat, dan masih banyak lagi.

Di sini, para sunan yang tidak termasuk dalam Wali Songo ini dimasukkan sebagi bagian
dari Sembilan wali utama, karena ajaran mereka bersumber dari wali songo. Mereka
dikategorikan sebagai satu kubu dengan ajaran yang seragam dan sepaham. Adapun di sisi lain
terdapat seorang tokoh perlawanan. Dia adalah Syekh Siti Jenar. Maka muncullah dua kubu
yang saling bersebrangan dalam beberapa pokok ajarannya. Wali Songo di satu pihak dan Syekh
Siti Jenar di pihak lain.

Nama Syekh Siti Jenar sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat jawa khususnya. Dia
adalah tokoh yang terkenal dengan ajaran “manunggaling kawula Gusti” atau kesatuan antara
hamba dengan Tuhan. Dia mengajarkan keyakinan tersebut kepada masyarakat luas hingga dia
dianggap telah sesat. Hukuman mati pun dijatuhkan kepada Syekh Siti Jenar.

Ajaran Wali Songo atau Sembilan wali yang terdiri dari para sunan penasihat kerajaan
Demak Bintoro lebih banyak mengedepankan syariat. Mereka sangat hati-hati dalam
melakukan dakwah islam, jangan sampai masyarakat yang masih awam tergelincir dalam jurang
kesesatan, sehingga mereka memutuskan bahwa ajaran Syekh Siti Jenar itu sesat.

Ada dua kemungkinan tentang penghakiman Syekh Siti Jenar sebagai wali sesat.
Pertama, karena para wali tersebut memang belum sampai pada makam Syekh Siti Jenar.
Kedua, mereka sebenarnya sudah memahami ajaran tersebut, namun demi kemslahatan umat,
maka ajaran tersebut dianggap sesat agar umat yang baru mengenal islam tidak tersesat
dengan ajaran itu.

Demi kebaikan umat yang rata-rata masih awam dalam pemahaman agama, maka
ajaran syekh siti jenar tetap tidak boleh diajarkan untuk umum karena dikhawatirkan akan
menjerusmuskan umat pada pemahaman yang salah. Barangkali, inilah salah satu
kebijaksanaan Wali Songo dalam berdakawah.
KISAH SYEKH SITI JENAR

Menyibak Ajaran

“manunggaling Kawula Gusti”

Dimata para wali, sesungguhnya syekh Siti Jenar adalah seorang wali “murtad”. Ajaran
yang di kembangkan dinilai menyimpang dan merusak tatanangagma Islam. Setidaknya itulah
cerita yang kita dengar dari mulut ke mulut. Ada yang yang berpendapat bahwa Siti Jenar
merupakan tokoh sejarah islam Indonesia. Tentu saja tokoh yang dianggap meyimpang. Namun
ada pula yang meyakini bahwa Siti Jenar hanyalah tokoh fiktif.

Siti Jenar Putra Sang Resi

Pada jaman dahulu, tersebutlah sebuah istana di di wilayah Jawa Barat. Rajanya seorang
pendeta bernama Resi Bungsu. Dia dikenal sakti mandra guna, orang bilang “tak mempan
papak palune pande”. Artinya, kulit Resi Bungsu kebal terhadap senjata apapaun. Setiap
ucapanya menganduang tuah, dan kutukanya menjadi kenyantaan. Tetapi apalah artinya
sebuah kesaktian dan juga kekuasan, karena sampai saat ini Sang Hiang Widhi belum
memberikan putra kepadanya. Karena sangat menginginkan seorang putra, Resi Bungsu
melakukan semedi ditepi sebuah danau selama empat puluh hari. Pada tengah malam hari ke
empat puluh, tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang aneh. Air di tengah telaga danau bergejolak
tinggi dan terus semakin tinggi, bergemuruh bagai gelombang samudera. Sejurus kemudian
ikan sebesar lengan orang dewasa melompat tepat didepan Resi Bungsu berada. Bersamaan
dengan itu terdengar suara “wahai Resi Bungsu, ambilah ikan didepanmu dan berikan pada
istrimu agar dimasak, suruh ia memakanya, dan hendaknya kamu datang setiap hari!”.

Dua bulan kemudian, istri Resi Bungsu merasa bahwa ia telah mengandung seorang
bayi. Betapa hati Resi Bungsu mendengar kabar itu. Setiap hari ia berdo`a “semoga saja bayinya
laki-laki”, sehingga bisa meneruskan kekuasaanya. Genap sembilan bulan sepuluh hari, istri
sang Resi Bungsu melahirkan seorang bayi laki-laki dan diberi nama Ali Hasan. Mengapa ia
memberi nama yang kearab-araban, padahal ia beragama Hindu. Nama Ali Hasan merupakan
sebuah misteri, seperti pemiliknya yang kelak memilki sejuta misteri.
Sabda Pandeta Ratu

Sejak kecil Ali Hasan di didik di lingkungan Istana tentang berbagai ilmu. Namun diam-
diam hati Ali Hasan berontak, ia tak mau terkungkung sendiri di Istana. Ia butuh bergaul dengan
dunia luar, karena itu ia mulai melangkahkan kaki keluar Istana dan menemukan teman-teman
sebayanya.

Pada suatu hari datang dua orang utusan dari kadipaten, dan menghadap sang Resi
Bungsu. Mereka melaporkan tenyang ulah Ali Hasan diluar Istana. Kemudian sang Resi
mengutus pengawalnya untuk mencari Ali Hasan, dan menyuruhnya pulang segera ka Istana.
Tatapi pengawal itu tidak menemukan keberadaan Ali Hasan. Di Istana sang Resi menunggu
kedatanganya sampai tengah malam. Kesal menunggu, akhirnya Resi Bungsu menggunakan
ilmu gaibnya untuk mendatangkan Ali Hasan.

Sementara itu ditempat terpisah, Ali Hasan merasakan ada geteran gaib. Ia menyadari
kalau ayahnya telah memanggil dan menyaruhnya agar dia segera pulang. Sebenarnyaia enggan
untuk pulang, ia ingin bebas mengembara kemana saja tanpa harus dibebani oleh berbagai
aturan adat yang berlaku. Disaat sedang berpikir, tiba-tiba Resi Bungsu mengirim getaran
gaibnya kembali. Akhirnya malam itu juga ia harus segera pulang ke Istana.

Sesampainya di Istana Ali Hasan lansung menghadap ayahnya. Sang Resi menganggap
bahwa anaknya telah menyalahgunakan ilmu kanuragan, tetapi Ali Hasan mengelak bahwa dia
telah menyalahgunakan ilmu kanuraganya. Karena yang dilakukan diluar Istana hanya ingin
menemukan jati diri “siapakah diriku dan siapakah tuhanku”. Orang melakukan sembahyang
tetapi ia tidak mengetahui siapa yang disembahnya, orang melakukan semedi tetapi tidak
menyadari yang didekatnya itu setan ataukah Sang Hiang Agung.

Malam terus merayap, udara diluar menuauk tulang. Namundidalam hati mereka
mendidih bagaikan kawah candradimuka. Resi Bungsu menganggap bahwa anaknya telah
bersikap menentang ajaran agama. Sementara anaknya juga menganggap bahwa dirinya benar.
Sang Resi tak dapat menahan amrahnya, ia melancarkan serangan kepada Ali Hasan. Sementara
itu Ali Hasan terus menghindari serangan dan coba melarikan diri. Tetapi sang Resi terus
mengejarnya sampai di sebuah telaga. Akhirnya Ali Hasan terkena serangan dari sang Resi,
tubuhnya terpental dan jatuh ketanah. Dengan kata-kata yang bertuah Sang Resi berkata
“jadilah kau seekor cacing!”, dan dalam sekejap tubuh Ali Hasan berubah menjadi cacing. Resi
Bungsu mengatakan bahwa ini adalah sebuah hukumun dan juga ujian. Jika kau lulus ujian,
maka akan datang seseorang yang sakti dari Timur dan mempunyai kemampuan
mengembalikan tubuhmu menjadi manusia kembali.

Pertemuan Ditepi Telaga

Pada suatu katika, Sunan Bonang ingin memberikan pelajaran kepada Sunan Kalijaga
tentang ilmu gaib. Sunan Bonang memilih disebuah telaga, karena tempat itu dianggapnya
tenang dan nyaman. Mereka menaiki sebuah perahu, tetapi perahu yang dinaikinya bocor.
Kemudian sunan Kalijaga mengambil segenggam tanah dari tepi telaga untuk menambal bagian
perahu yang bocor.

Di tengah telaga sunan Bonang mulai memberikan pelajaran ilmu gaib kepada sunan
Kalijaga. Tiba-tiba ia menghentikan pelajaranya, rupanya ia sedang memasang telinga yang
seakan-akan mendengarkan sesuatu. Ia yakin sedang ada yang mendengar dan menyaksikan
semuanya. Sunan Bonang lalu menghentikan pelajaranya dan menyuruh kembali ketepi telaga.
Setelah sampai ditepi telaga, sunan Bonang lalu mencari sesuatu dan kemudian ia mengambil
tanah yang tadi dipakai sunan Kalijaga untuk menambal bagian perahu yang bocor. Ia
mengetahui bahwa didalam tanah itu terdapat seekor cacing, tetapi itu bukanlah seekor cacing
biasa, ia adalah binatang yang mendapat kutukan.

Sebagai seorang wali, ia mempunyai kedekatan dengan Allah, dan doanya seringkali
mustajab. Lalu ia mengumandangkan do`a dalam bahasa Arab dan dipadukan dengan syair-
syair Jawa. Dalam hitungan detik, terjadilah keajaiban yang luar biasa, gumpalan tanah liat yang
didalamnya terdapat seekor cacing itu tiba-tiba mengeluarkan asap. Dari dalam asap itu
muncullah sesosok tubuh manusia, sosok manusia itu tak lain adalah Ali Hasan.

Ali Hasan menceritakan tentang dirinya, dan kenapa sampai ia menjadi seekor cacing.
Sunan Bonang menangkap kecerdikan dan kepiawaian Ali Hasan, ternyata ia sangat bijak dalam
menilai suatu kebenaran. Kemudian sunan Bonang mengajak Ali Hasan untuk mengerti dan
mengajarkan tentang syariat Islam. Ali Hasan kemudian diganti namanya oleh sunan Bonang
menjadi “Siti Jenar”, dan disuruh memperdalam ilmu agama Islam di Bagdad, negeri Irak.
Disana banyak ulama dan orang-orangyang mumpuni terhadap agama Islam.

Bergabung Dengan Dewan Wali

Di Bagdad Siti Jenar bertemu dengan tokoh-tokoh Islam, terutama ulama sufi. Dari
mereka itulah Siti Jenar berguru, mula-mula ia belajar ilmu syari`at dan diantaranya tentang
rukun Islam dan rukun iman. Kemudian berkembang mempelajari tentang Al Qur`an dan Al
Hadis. Siti Jenar juga belajar tentang ilmu Makrifat dan Hakikat.

Setelah sekian lama berada di Bagdad, akhirnya Siti Jenar hendak kembali ke tanah
Jawa. Namun dalam perjalanan ia singgah di Malaka dalam waktu yang cukup lama. Di Malaka,
Siti Jenar menjadi ulama besar yang di kagumi ilmunya, terutama ilmu Hakikat dan Tasawuf. Di
tempat itu Siti Jenar diangkat menjadi guru agama dengan julukan Syekh Abdul Jalil. Ada juga
yang menyebutnya Syekh Jabaranta. Siti berkenalan dengan seorang gadis anak dari orang
Gujarat yang kemudian dinikahinya. Dari pernikahanya ia mendapatkan seorang putra yang
kemudian diberi nama Datuk Pardhum atau Datuk Bardut.

Perihal kedatangan Siti Jenar ditanah Jawa di dengar oleh sunan Bonang, kemudian ia
segera pergi ke Cirebon Girang untuk menemuinya. Sunan Bonang lalu mengajak Siti Jenar
untuk pergi ke Demak Bintoro, dan akan diperkenalkan dengan para dewan Wali. Setelah
melakukan perjalanan behari-hari, akhirnya sampai juga di Kerajaan Demak Bintoro. Sunan
Bonang kemudian mengundang para Wali untuk berkumpul di Istana. Di samping ada
kepentingan tertentu, secara tidak langsung dia ingin memperkenalkan Siti Jenar kepada para
dewan Wali. Dalam pertemuan itu Sunan Bonang mengutarakan maksudnya untuk mengajak
Siti Jenar bergabung dalam Dewan Wali. Setelah mereka berbicara banyak, akhirnya pertemuan
Dewan Wali ditutup dan berkesimpulan bahwa Siti Jenar diterima sebagai anggota Dewan Wali,
tetapi harus menempuh beberapa syarat.

Manunggaling Kawula-Gusti
Di dalam menyebarkan agama Islam, di Krendhasawa Siti Jenar membangun surau kecil.
Disamping untuk sholat berjama`ah juga menampung para santri yang ingin belajar kepadanya.
Semakin lama suraunya semakin banyak didatangi orang. Ajaran Siti Jenar lebih menekankan
pada filsafat ketuhanan dan filsafat kebenaran. Hal ini berbeda dengan yang disampaikan para
wali yang telah mengedepankan syari`at. Pokok-pokok pikiran Siti Jenar yang lebih
mengutamakan filsaat ketuhanan dan filsafat kebenaran itu menjurus padsa ajaran Islam yang
umumnya disebut ilmu tasawaf. Ajaranya lebih mementingkan pengolahan kalbu (hati)
dibandingkan dengan ibadah-ibadah yang bersifat lahiriah. Ajaran tasawuf yang dikembangkan
Siti Jenar dianggap oleh masyarakat sebagai sesuatu yang penting. Apa lagi ajaran itu
didasarkan pada pandangan islam, namun pihak para Wali Sanga menilai ajaran Siti Jenar sesat.
Akan tetapi Siti Jenar yang juga dikenal sebagai syekh Lemah Abang itu meyakini bahwa ajaran
yang disampaikan kepada murid-muridnya itu benar dan cocok dengan Hakikat ilmu tasawuf
islam. Ia merasa bahwa ajaranya tidaklah menyimpang dari Al Qur`an dan Al Hadis.

Layaknya para sufi lainya, Siti Jenar juga memeandang bahwa dunia ini sesuatu yang
busuk dan memuakan. Keabanyakan orang-orang sufi menghindari kehidupan duniawi dan
memilih kesederhanaan. Karena itu, kepada murid-muridnya Selalu mengatakan bahwa dunia
ini adalah kematian. Adapun kehidupan yang sesungguhnya adalah jika seseorang telah
menemui kematian. Jadi manusia yang ada didunia ini tak lebih dari bangkai-bangkai yang
berjalan. Pemikiran ini sesuai dengan ajaran para sufi yang berkembang di Arab. Paham ini
tampaknya aneh dan menyimpang bagi orang islam pada saat itu, orang islam kebanyakan lebih
tertarik kepada syari`at saja. Sedangkan menurut ahli tasawuf bahwa islam tidak sebatas
syari`at, melainkan ada tingkatan-tingkatan yang wajib ditempuh. Hal itu harus diamalkan
secara utuh. Tingkatan peribadatan itu adalah Syari`at, Tarikat, Makrifat, dan Hakikat.

Menurut Siti Jenar, orang islam yang masih awam diibaratkan sebagai kulit kelapa,
ilmunya masih berada pada serabutnya. Padahal untuk mencapai air kelapa harus melalaui kulit
kelapa, lalu dagingya dan barulah bisa mereguk airnya. Siti Jenar tidak mengajarkan islam
secara setengah-setengah, dan justru ia menilai bahwa para wali mengajarkan islam baru pada
tahap ilmu serabut kelapa, artinya baru sampai pada kulitnya saja (Syari`at saja).

Salah satu inti ajaran syekh Siti Jenar adalah “Manunggaling Kawula-Gusti” , bahkan
kepada murid-muridnya ia seringkali menyatakan bahwa dirinya menyatu dengan Allah. Atau
Allah menyatu dalam dirinya. Oleh para walisanga , Siti Jenar dituduh sebagai wali murtad
karena ajaranya yang sukar dipahami orang awam. Bahkan ajaran yang dianggap sangat aneh,
karena ia mengaku penjelmaan dari Dzat Allah. Inilah yang kemudian timbul tuduhan bahwa
ajaranya menyimpang dan menyesatkan. Siti Jenar memberi pengakuan “sedangkan aku adalah
penjelmaan dari dzat luhur yang memiliki semangat, sakti, dan kebal akan kematian. Dengan
hilangnya dunia, Gusti Allah telah memberi kekuasaan kepadaku dapat manunggal denganya,
dapat langgeang mengembara melebihi kecepatan peluru. Bukanya akal, bukanya nyawa,
bukan penghidupan yang tanpa penjelasan dari mana asalnya dan kemana tujuanya”.

Syekh Siti Jenar Sang Wali `Murtad`

Paham ajaran Manunggaling Kawula-Gusti menyebar kemana-mana. Syekh Siti Jenar


sendiri dalam menyebarkan ajaran isalm dibantu oleh Ki Ageng Penging, Ki Cantula, dan Ki
Wibissono. Tuga orang ini merupakan murid andalan yang mampu mempengaruhi masyarakat
kala itu. Sesungguhnya ajaranya itu merupakan perkembangan dari ajaran syari`at, artinya apa
yang diajarkan oleh walisanga dikembangkan menjadi lebih terperinci dan dipadukan
denganilmu tasawuf, sehingga teorinya lebih menekankan pada budi lestari yang kekal selama-
lamanya

Sunan yang tergabung dalam dewan wali menuding Siti Jenar adalah wali murtad.
Tudingan itu sangat beralasan karena mereka mengaggap menyimpang dari Ij`ma para
walisanga dan kias atas Al Qur`an dan Hadits. Sedangkan murid-murid Siti Jenar banyak yang
merasa tidak tahan “mati” didunia secara berlama-lama, mereka rindu ajal dan “kehidupan”
yang diyakininya sebagai kehidupan abadi. Mereka merasa hidup didunia hanya menderita sial
dan bernasib buruk, tidaklah heran jika mereka cenderung melanggar aturan pemerintah agar
bentrok, lalu dihukum mati.

SASMITA GAIB

Para sunan yang bergabung dalam dewan walimelakukan pertenuan di masjid Agung
Demak. Mereka mengadakan musyawarah untuk membahas tentangajaran Siti Jenar yang
menyimpang dari syari`at, akibatnya banyak para pengikutnya yang salah menerjemahkan ilmu
Siti Jenar, sehingga mereka menempuh ajal secara keliru. Siti Jenar mengajarkan agama islam
langsung pada ajaran Hakikat, “padahal untuk mencapai ilmu Hakikat seseorang harus
menempuh syari`at terlebih dahulu. Ilmu syari`at merupakan tirai dari petunjuk dan bimbingan
tuhan yang dipakai untuk mencegah perbuatan buruk dan telarang, juga sebagai sarana untuk
mencapai kesempurnaan hidup”. Tetapi rahasia itu kini dibongkar oleh Siti Jenar dan disiarkan
kepada umum. Rahasia alam semestapun dibuka tanpa tedeng aling-aling kepada sembarang
orang.

Para dewan wali berencana mengirimkan utusan menuju krendhasawa menemui Siti
Jenar agar ia mau datang ke Demak Bintoro. Dan apabila ia menolak, berilah Sasmita Gaib yang
harus dijawab dengan gamblang, jelas dan dapat dimenerti serta berdasarkan dalil Al-Qur`an
dan Hadist. Syekh Dumba dan pangeran Tembayat akhirnya pergi ke krendhasawa sebagai
utusan dewan wali. Sesampainya disana mereka langsung menemui Siti Jenar dan
mengutarakan maksud dan tujuan mereka. Tetapi dengan tegas Siti Jenar menolak untuk
memenuhi undangan para wali. Karena tak bisa membujuk Siti Jenar untuk datang ke Demak
Bintoro, akhirnya pangeran Tembayat menyampaikan pesan Sasmita Gaib dari sunan Kalijaga
yang berupa empat pertanyaan yang harus dijawab dengan jelas.

Pertanyaan itu ialah;

1. Ketika pertama kali Sang Hiang menciptakan alam semesta, dia memakai bahan apa.

2. Tunjukan dimanakah rumah Sang Hyang Widhi.

3. Setiap hari nyawa seseorang terus berkurang hingga akhirnya habis, kemanakah
perginya nyawa itu.

4. Bagaimanakah Sang Hiang Maha Agung itu.

Mendengar pertanyaan itu Siti Jenar malah tertawa. Ia menganggap bahwa pertanyaan
itu seperti pertanyaan anak kecil, karenanya ia menyuruh muridnya yang bernama Ki Bisono
untuk menjawab semua pertanyaan itu.
Ki Bisono mulai menjawab pertanyaan itu; “ Pertama bahwa Allah menciptaka alam
semesta adalah kebohongan belaka, sebab alam semesta itu barang baru. Sedang Allah tidak
membuat barang berwujad. Dalilnya adalah layaktibiu hilamuhdil, artinya tiada berkehendak
menciptakan barang berwujud. Adapun terjadinya alam semesta ini karena menemukan
keadaan. Alam semesta ini la awali, artinya tiada berawal”. Ki Bisono tidak meneruskan
ucapanya karena harus membongkar dalil dalam Al-Qur`an dan memakan waktu yang cukup
lama. Pertanyaan kadua; “Dimanakah rumah Sang Hyang Widhi; Menurutnya ini bukanlah
jawaban yang sulit, sebab Allah sejiwa dengan semua Dzat. Dzat itulah tempat tinggalnya”.
Selanjutnya pertanyaan ketiga adalah berkurangnya nyawa setiap hari sampai habis, lalu
kemanakah perginya nyawa itu. “Sesungguhnya nyawa tidak dapat berkurang. Maka nyawa
bagaikan jasad, berupa gundukan, dapat rusak, dimakan anai-anai”. Hal inipun panjang sekali
jika diuraikan, kata ki Bisono. Lalu ia menjawab pertanyaan keempat; Bagaimanakah rupa Yang
Maha Suci itu. “Dalam kitab Ihya Ulumuddin sudah diberi tahu wallahu lahir insan, wa batinul
insani baitullah. Artinya ialah manusia itu rupa Hyang Widhi, rupa Yang Maha Suci”.

Pangeran Tembayat dan Syekh Dumba tak segera menyahut, mereka sengaja
membiarkan ki Bisono terus berbicara. Sementara itu ki Bisono mulai melecehkan kedua tamu
dari Demak Bintoro itu dengan kata-kata yang kurang sopan. “Menurutnya pertanyaan itu ia
anggap pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Ibarat membulatkan peuru saja yang hamba
tembakan hilang musnah dalam ruang angkasa hampa kosong melompong. Akan tetapi jika
diuraikan akan menjadi panjang memenuhi jagat raya. Memang demikianlah ajaran Siti Jenar.

Setelah ki Bisono mengakhiri pembicaraanya, pangeran Tembayat dan Syekh Dumba


mohon pamit, namun Siti Jenar tak sepatah katapun menjawab permohonan mereka. Akhirnya
mereka meninggalkan Krendhasawa dengan kecewa karena gagal membujak Siti Jenar untuk
ikut ke Demak Bintoro.

Siti Jenar Menggulung Nafas

Di Demak Bintoro terjadi kekacauan karena ulah murid-murid Siti Jenar yang ingin
menempuh ajal yang tak wajar, karena itu Raden Patah sangat resah deengan keadaan ini.
Raden Patah mengadakan rapat dengan para dewan wali untuk mengatasi masalah ini. Diambil
keputusan bahwa pangkal dari semua kekacauan adalah ajaran Siti Jenar, dan Raden Patah
membuat surat perintah untuk Siti Jenar agar ia mau dating ke Demak Bintoro. Kalau dia
menolak berarti itu adalah pembangkangan terhadap Raja dan hukumanya adalah “Mati”.

Lima wali yang membawa surat perintah ialah sunan Bonang, sunan Kalijaga, Pangeran
Modang, sunan Kudus, dan sunan Geseng. Masing-masing wali dari kelima utusan itu
membawa empat puluh santri muridnya. Sampailah mereka di Krendhasawa dan langsung
menuju rumah Siti Jenar. Tampak Siti Jenar sedang member pelajaran kepada murid-muridnya
di mushala. Materi yang diajarkan yaitu mengupas terjadinya Bumi dan Angkasa, dari kitab
Tafsir Kaelani.

Sunan Bonang masuk mushala dan mengucapkan salam. Namun Siti Jenar hanya diam,
bahkan tak bergeming sedikitpun. Berulang kali mengucapkan salam namuntak ditanggapi,
agaknya sunan yang berasal dari Tuban itu hilang kesabaran. Siti Jenar benar-benar tak
menghargainya. Sunan Bonang mendekati dan terpaksa melempar surat kepangkuan Siti Jenar.
Sebelum Siti Jenar memungut surat itu, tiba-tiba sunan Kalijaga talah mengambilnya, lalu
membaca surat itu dengan suara lantang. Walau begitu, seakan-akan tidak ada sesuatu didalam
ruang mushala, karena Siti Jenar dan murid-muridnya tak bereaksi sedikitpun.

Siti Jenar dengan tegas mengatakan “sebab aku tidak berada dibawah perintah siapapun
kecuali hatiku sendiri. Perintah hati itulah yang kupatuhi dan kuturuti. Selain itu kita sama-sama
mayat, mengapa aku harus patuh kepadamu?, mengapa aku harus patuh pada Raja Demak
Bintoro?”. Karena itu ia secara diam-diam menempuh “jalan hidup” dengan caranya sendiri. Ia
memusatkan pikiranya. Menutup rapat-rapat pintu napas dan menggulung habis rahasia
hidupnya. Tak lama kemudian napasnya dilepas bersamaan dengan lepasnya “tali pengikat
hidup”. Tanpa ada yang mengetahui, Sti Jenar telah menempuh ajalnya.

Para wali membawa mayat Siti Jenar ke Demak Bintoro, dan memakamkanya disebelah
Barat masjid Demak sebagai penghormatan karena ia juga seorang wali. Tentunya seorang wali
yang “murtad” dimata para wali, bukan para santri ataupun orang pada umumnya. Karena yang
bias menilai hanya para wali yang derajatnya tinggi.

Anda mungkin juga menyukai