Anda di halaman 1dari 6

Sejarah Sunan Kalijaga: Wali yang Pernah

Menjadi Pencuri

Sejarah Sunan Kalijaga – Keberadaan agama Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari
kebaikan dan ajaran sembilan tokoh pilihan yang dikenal dengan sebutan Walisongo. Mereka
mengajarkan ajaran Islam kepada masyarakat Indonesia di berbagai daerah melalui berbagai
cara.

Salah satu anggota Walisongo yang berjasa menyebarkan ajaran Islam tersebut adalah Sunan
Kalijaga. Sampai saat ini, beliau masih dihormati oleh umat Islam di Indonesia, khususnya di
tanah Jawa.

Sepanjang hidupnya, Sunan Kalijaga pernah berperan di pemerintahan dan juga kerajaan dan
menjadi sosok yang disegani oleh masyarakat muslim maupun non muslim. Sunan Kalijaga
terkenal dengan cara berdakwah yang menghormati tradisi dan budaya masyarakat Jawa.

Beliau memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam budaya yang dipegang kuat oleh masyarakat
Jawa sehingga ajaran Islam bisa diterima secara baik. Beberapa peninggalan Sunan Kalijaga
yang masih bisa kita temukan saat ini diantaranya adalah tembang Gundul-Gundul Pacul, seni
wayang kulit, seni gamelan, seni ukir, bedug masjid, hingga sistem pemerintahan.

Lantas, seperti sejarah Sunan Kalijaga sejak lahir hingga menyebarkan ajaran Islam di tanah
Jawa? Nah, biar Grameds bisa mengenal lebih jauh siapa Sunan Kalijaga sebenarnya, yuk simak
penjelasan lengkapnya di bawah ini!

Kelahiran Dan Masa Muda Sunan Kalijaga


Sunan Kalijaga atau sering disebut Raden Mas Syahid (dalam beberapa literatur, disebut Raden
Mas Said) adalah salah satu walisongo yang berpengaruh besar pada penyebaran serta
perkembangan agama Islam di Indonesia.

Sunan Kalijaga lahir pada tahun 1450 Masehi dari pasangan bangsawan Tuban, yaitu
Tumenggung Wilatikta (bupati Tuban saat itu) dan Dewi Nawangrum. Karena darah bangsawan
miliknya, Sunan Kalijaga kecil diberi gelar sebagai Raden Mas Syahid (dalam beberapa literatur
disebut Raden Mas Said).

Terkait silsilah Sunan Kalijaga, sampai sekarang masih ada perbedaan pendapat. Pendapat
pertama menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah seorang walisongo keturunan Tiongkok
dengan nama asli Oe Sam Ik. Keturunan ini didapatkan dari ayahnya, Wilatikta, yang
merupakan keturunan Oei Tik Too.

Pendapat kedua mempercayai bahwa Sunan Kalijaga merupakan keturunan Arab, yaitu Qadi
Zaka. Dalam literatur dan Babad Tuban dikatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan ke-
24 Nabi Muhammad saw.

Terlepas dari silsilahnya, Sunan Kalijaga diketahui lahir ketika masa kejayaan Kerajaan
Majapahit sedang berada di ujung tanduk. Rakyat hidup dalam kesengsaraan setiap hari karena
penguasa Majapahit mewajibkan rakyat membayar upeti sangat tinggi.

Saat menginjak masa muda, Raden Mas Syahid mulai prihatin dengan kehidupan masyarakat di
sekitar tempat tinggalnya. Dia mendengar langsung tangisan bocah yang kelaparan dan meminta
makan pada orang tuanya. Dia juga menyaksikan dengan mata kepala sendiri, ketidakmampuan
para orang tua untuk mengatasi rasa lapar anak-anak mereka.

Raden Mas Syahid memang tidak merasakan langsung penderitaan tersebut karena dia
merupakan putra seorang adipati. Namun dia tidak bisa tidak mengacuhkan kesengsaraan
rakyatnya sendiri.
Langkah pertama yang dia lakukan untuk membantu rakyatnya adalah berbicara pada ayahnya
secara langsung. Sayangnya, dia tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan.

Setelah itu, Raden Mas Syahid menyadari bahwa seorang adipati seperti ayahnya tidak
mempunyai kekuatan untuk mengatur upeti. Satu-satunya orang yang dapat mengatur upeti
adalah sang maha raja yang berkuasa. Sementara itu, rakyat tidak punya pilihan lain selain
membayar atau menerima hukuman.

Raden Syahid kemudian memutuskan untuk menjadi seorang pencuri dan aksi pertamanya dia
lakukan di gudang kadipaten sendiri. Saat itu, dia mengambil berbagai bahan makanan dari
gudang dan membagikannya kepada rakyat yang membutuhkan secara diam-diam setiap malam.

Rakyat sendiri tidak mengetahui dari mana asalnya bahan makanan tersebut, namun kejadian ini
terus terjadi selama beberapa waktu. Mereka kemudian memberikan julukan “Maling Cluring”
kepada pelakunya.

Maling Cluring sendiri berarti seorang pencuri yang mencuri bukan untuk dirinya sendiri,
melainkan untuk dibagikan kepada orang-orang miskin yang membutuhkan. Aksi Raden Mas
Syahid berjalan mulus pada awalnya, tetapi sepandai-pandainya tupai melompat, pasti jatuh
juga.

Tanpa dia sadari, penjaga kadipaten mulai mencurigai gerak-geriknya. Pada akhirnya, mereka
berhasil menangkap basah Raden Mas Syahid ketika melancarkan aksinya dan mengungkap
rahasia dibalik fenomena “Maling Cluring” yang ramai dibicarakan oleh masyarakat.
Mengetahui perbuatan anaknya, Wilatikta marah besar lalu mengusir Raden Syahid dari istana
kadipaten sebagai hukumannya. Sebaliknya, Raden Syahid tidak merasa gentar setelah
mendapatkan hukuman.

Dia masih tetap melaksanakan aksinya sebagai seorang maling. Bahkan bukan hanya mencari,
namun juga merampok serta membegal semua orang kaya yang tinggal di wilayah Kadipaten
Tuban.

Raden Mas Syahid tetap berpegang teguh pada tujuan utamanya untuk membantu rakyat yang
hidup sengsara, meskipun dia harus menempuh jalan yang salah. Bagi masyarakat, dia adalah
seorang pahlawan. Sementara itu, bagi kaum bangsawan, Raden Mas Syahid adalah ancaman
nyata yang membuat tidur mereka tidak pernah nyenyak.

Orang yang paling dulu kena imbas dari perilaku Raden Mas Syahid adalah ayahnya sendiri.
Hampir setiap hari ada kaum bangsawan yang protes padanya karena harta mereka hilang tanpa
sisa. Wilatikta yang murka kemudian memerintahkan penjaga kadipaten untuk menangkap
anaknya sekali lagi.

Setelah berhasil ditangkap, Raden Syahid diberi hukuman untuk keluar dari wilayah Kadipaten
Tuban. Meski begitu, hukuman yang kedua ini tidak mengubah pendirian Raden Syahid
sedikitpun.

Raden Mas Syahid terus berjalan mengikuti arah langkah kakinya hingga dia sampai di hutan
Jatiwangi, kawasan Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Di hutan inilah dia bertemu dengan seorang
lelaki tua yang memiliki tongkat emas. Siapa sangka, pertemuannya dengan lelaki tua tersebut
justru mengubah pandangan hidup yang selama ini dia yakini.

Pertemuan Dengan Sunan Bonang Dan Perjalanan


Menuntut Ilmu
Lelaki tua bertongkat emas yang bertemu dengan Raden Mas Syahid di hutan Jatiwangi ternyata
adalah Sunan Bonang. Setelah bertemu dengan Sunan Bonang, Raden Mas Syahid akhirnya
mengetahui bahwa kebenaran yang dia percaya bukanlah kebenaran yang hakiki.

Dari Sunan Bonang, dia belajar bahwa kebenaran yang hakiki adalah kebenaran yang dijalankan
dengan benar dan membawa kebaikan kepada siapapun.

Raden Mas Syahid menyadari bahwa yang dilakukannya adalah perbuatan keliru. Kepedulian
pada rakyatnya memang sikap yang mulia, namun karena dilakukan dengan cara yang salah,
kepedulian tersebut menjadi sesuatu yang keliru.

Setelah melihat kedalaman ilmu agama dan kearifan Sunan Bonang, muncul keinginan dalam
diri Raden Syahid untuk berguru padanya. Maka jadilah Sunan Bonang sebagai guru pertama
Raden Syahid.

Sebagai seorang murid, Raden Syahid sangat patuh pada gurunya. Bahkan pada saat Sunan
Bonang memintanya untuk menunggu di tepi sungai, Raden Syahid tidak pernah beranjak
sedikitpun dari tempatnya hingga Sunan Bonang datang kembali.
Menurut beberapa literatur, Raden Syahid harus menunggu selama tiga tahun sebelum bertemu
kembali dengan gurunya.

Dalam kisah lain diceritakan bahwa Raden Syahid menunggu Sunan Bonang dengan cara
bersemedi di pinggir sungai. Saking khusyuk dan lamanya dia bersemedi, tubuh Raden Syahid
tertutup oleh tumbuhan merambat dan semak belukar di sepanjang pinggiran kali.

Ketika Sunan Bonang kembali, beliau awalnya kesulitan mencari muridnya. Namun berkat
keyakinan yang kuat dan mata batin yang tajam, Sunan Bonan dapat menemukan Raden Syahid
di tempat semula.

Setelah itu, Sunan Bonang mulai mengajarkan ilmu-ilmu agama dan spiritual pada Raden
Syahid. Sebagai murid murid yang taat dan selalu belajar dengan sungguh-sungguh, semua ilmu
yang diajarkan oleh Sunan Bonang dapat diserap dengan baik oleh Raden Syahid. Selain itu, dia
juga tidak cepat merasa puas dan masih ingin mencari ilmu agama di tempat lain.

Untuk memenuhi rasa penasaran muridnya, Sunan Bonang kemudian memperkenalkan Raden
Syahid kepada Sunan Ampel dan Sunan Giri. Saat itu, Raden Syahid tak menyia-nyiakan
kesempatan sama sekali, dia menyatakan ingin berguru kepada mereka berdua.

Dari dua guru barunya, Raden Syahid mendapatkan ilmu baru dan semakin mengetahui hakikat
manusia kepada Sang Pencipta.

Setelah itu, Raden Syahid berguru hingga ke Pasai sambil menyebarkan ajaran Islam di
Semenanjung Malaya dan wilayah Patani di Thailand Selatan. Di wilayah tersebut, Raden
Syahid tidak hanya terkenal sebagai pendakwah Islam, tapi juga sebagai tabib hebat yang bisa
menyembuhkan penyakit kulit yang diderita oleh Raja Patani. Berkat popularitasnya itu, Raden
Syahid mendapat julukan “Syekh Sa’id” atau “Syekh Malaya”.

Selesai berguru di Pasai, Raden Syahid kembali ke Jawa. Di Jawa, para wali menganggapnya
sudah pantas menjadi bagian dari Wali Sanga atau Wali Sembilan.

Keluarga Sunan Kalijaga


Dalam buku Sunan Kalijaga Dan Mitos Masjid Agung Demak, Dr. Fairuz Sabiq, disebutkan
bahwa Sunan Kalijaga mempunyai 3 orang istri, yakni Siti Zaenab (putri Sunan Gunung Djati),
Siti Khafsah (putri Sunan Ampel), dan Dewi Saroh (putri Maulana Ishak).

Dari perkawinannya dengan Siti Zainab, Sunan Kalijaga dikaruniai 5 orang putra, yaitu Nyai
Ageng Panegak, Ratu Pembayun (Istri Sultan Trenggono), Sunan Hadi, Raden Abdurrahman,
dan Nyai Ngerang.

Perkawinan Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh dikaruniai 3 orang putra, yaitu Raden Umar
Said (Sunan Muria), Dewi Sofiah, dan Dewi Rukayah. Sementara dari perkawinan Sunan
Kalijaga dengan Siti Khafsah tidak diketahui apakah memiliki keturunan atau tidak.

Sunan Kalijaga sendiri memiliki umur yang panjang, yaitu 100 tahun lebih dan mengalami
empat masa pemerintahan kerajaan yang berbeda.
1. Pertama, masa kerajaan Majapahit (hingga tahun 1478 M). Saat itu Sunan Kalijaga
masih muda dan lebih dikenal sebagai putra bupati Tuban, Tumenggung Wilatikta.
2. Kedua, masa Kesultanan Islam Demak (1481 – 1546 M), saat itu Sunan Kalijaga
berperan besar dalam pembangunan masjid agung Demak.
3. Ketiga, masa Kesultanan Pajang (1546 – 1568 M), peran Sunan Kalijaga terdapat
pada kisah muridnya, Jaka Tingkir.
4. Keempat, masa awal Mataram Islam di Yogyakarta (1580-an). Keterangan ini bisa
kamu lihat dalam buku Sunan Kalijaga (biografi, Sejarah, Kearifan, Peninggalan,
dan Pengaruh-Pengaruhnya) yang ditulis oleh Yudi Hananta.
Asal Usul Nama Sunan Kalijaga
Sepanjang hidupnya, Raden Mas Syahid banyak mendapatkan nama sebutan atau julukan,
seperti Sunan Kalijaga, Syaikh Malaya, Lokajaya, Pangeran Tuban, dan Abdurrahman. Di antara
semua nama ini, “Sunan Kalijaga” menjadi yang paling populer dan dikenal luas di Indonesia.

Akan tetapi, nama “Sunan Kalijaga” sebenarnya masih belum jelas benar asal-usulnya. Ada
beberapa pendapat yang dipercaya oleh masyarakat mengenai hal ini. Pertama, nama “Kalijaga”
diambil dari sebuah desa yang ada di Cirebon. Sampai saat ini di desa tersebut masih ada
petilasan Sunan Kalijaga seperti masjid dan monyet di sekitarnya.

Bagi warga setempat, banyaknya monyet di daerah masjid tersebut memiliki nilai sejarah, mitos,
dan juga cerita mistik yang berhubungan dengan Sunan Kalijaga dan warga lokal.

KEdua, nama “Kalijaga” dipercaya berasal dari bahasa Arab “Qadhi Joko”. Sunan Kalijaga
dikenal sebagai salah satu walisongo yang menjadi “qadhi” di Demak. Masyarakat Jawa,
khususnya Demak, saat itu menyebut Sunan Kalijaga dengan nama “Qadhi Joko Said” atau
“Qadhi Joko”.

Karena masyarakat Jawa belum lancar mengucapkan kata “Qadhi Joko” tersebut, maka yang
muncul adalah “Kalijogo” atau Kalijaga. Ketidakfasihan masyarakat mengucapkan bahasa Arab
bisa dilihat dari kata-kata lain yang berasal dari ajaran Sunan Kalijaga, seperti Kalimat Syahadat
yang disebut dengan Kalimosodo, lalu kata Maulid disebut Mulud, kata ‘Asyura disebut Suro,
dan sebagainya.

Ketiga, nama “Sunan Kalijaga” berasal dari cerita pada saat Sunan Kalijaga akan menjadi murid
Sunan Bonang. Dalam cerita ini, Sunan Bonang dikisahkan menancapkan tongkatnya di pinggir
kali dan meminta Raden Syahid untuk menjaganya selama bertahun-tahun. Setelah itu, Raden
Syahid mulai dikenal dengan sebutan “Jogo Kali” yang akhirnya berubah menjadi “Kali Jogo”
atau Kalijaga.

Cara Berdakwah Sunan Kalijaga


Semasa hidupnya, Sunan Kalijaga dikenal sebagai dalang ulung oleh masyarakat. Dia memang
pintar menggabungkan ajaran Islam dengan tradisi dan budaya yang sudah mengakar dalam
kehidupan masyarakat Jawa saat itu.

Beliau juga menggunakan pola dakwah yang sama dengan gurunya, Sunan Bonang. Pola
dakwah ini, menurut John Hady Saputra dalam buku Mengungkap Perjalanan Sunan
Kalijaga, cenderung “sufistik berbasis salaf”.

Selain itu, dia juga memanfaatkan kesenian dan budaya untuk sarana berdakwah. Metode
dakwah yang dipilih Sunan Kalijaga ternyata efektif. Saat itu, banyak adipati di Jawa yang
memeluk Islam dengan bimbingan dari Sunan Kalijaga, seperti adipati Kartasura, Pandanaran,
Banyumas, Kebumen, dan Pajang.

Begitu juga dengan masyarakat Jawa pada umumnya. Mereka yang pada dasarnya menyukai
wayang, mulai tertarik dengan pertunjukan wayang yang digelar oleh Sunan Kalijaga.

Apalagi Sunan Kalijaga tidak memungut biaya kepada masyarakat yang ingin menyaksikan
pertunjukan wayangnya. Karena itu, semua orang bisa datang dan mendapatkan hiburan secara
gratis.

Sunan Kalijaga hanya meminta orang-orang yang datang untuk mengucapkan dua kalimat
syahadat sebagai ganti biaya tiket masuknya. Ini jelas lebih mudah bagi masyarakat daripada
mengeluarkan uang.

Akhirnya, masyarakat Jawa yang ketika itu menganut paham animisme, secara perlahan-lahan
mulai menerima ajaran yang disampaikan oleh Sunan Kalijaga.

Untuk memastikan masyarakat Jawa dapat menerima agama Islam secara perlahan, Sunan
Kalijaga bahkan menggabungkan naskah kuno dengan ajaran Islam ketika menggelar
pertunjukan wayangnya.

Beberapa naskah kuno yang sering dipentaskan diantaranya seperti Layang Kalimasada, Lakon
Dewa Ruci, Lakon Petruk menjadi Raja, dan sebagainya.

Tak hanya itu, dia juga menambahkan karakter baru seperti Bagong, Semar, Petruk, dan Gareng.
Sampai saat ini, keempat karakter tersebut  masih sangat populer di kalangan pecinta wayang.

Sunan Kalijaga tak pernah berhenti menggabungkan tradisi dan budaya dengan ajaran Islam.
Karena itu, dia memanfaatkan jenis kesenian lainnya untuk menjadi sarana berdakwah. Seperti
tembang, topeng, pakaian untuk pergelaran kesenian dan yang lainnya.

Beberapa tembang ciptaan Sunan Kalijaga sampai sekarang masih sering dinyanyikan oleh
masyarakat Jawa, seperti temang ilir-ilir. Dalam tembang ini, tersirat makna bahwa manusia
diharapkan dapat bangkit dari kesedihan, berjuang untuk mendapatkan kebahagiaan, dan
mengumpulkan amal baik sebanyak mungkin.

Anda mungkin juga menyukai