Anda di halaman 1dari 3

Nuky Presiari

1606896281
Bisnis Islam 2016
MMI G – Dr. Pratama Rahardja, S.E, M.Si.

Laporan Penelitian Lapangan


Lokasi Pengamatan: Kantin Gedung Rumpun Ilmu Kesehatan (RIK)

Jum’at (17/3), kelas kami dijadwalkan berjalan lebih cepat dari


biasanya. Kelas hari ini dijadwalkan dimulai pada pukul 13.30 WIB. Saya
merasa cukup khawatir dikarenakan jadwal kelas saya yang cukup
bentrok. Namun, hal itu untungnya bisa teratasi.
Saya bersama beberapa teman saya tiba di lokasi lebih cepat dari
dugaan kami. Saat itu saya tidak menemukan teman – teman yang lain,
akhirnya saya memutuskan untuk sholat dzuhur terlebih dahulu di
musholla RIK.
Setelah melaksanakan sholat dzuhur, saya kembali tidak menemukan
siapa – siapa. Untuk mengisi kekosongan kegiatan serta perut, saya
memutuskan untuk membeli makanan di area pedagang kantin RIK.
Bertepatan dengan “jam makan siang” yang telat, para pedagang masih
setia mempromosikan menu yang mereka tawarkan.
Hati saya tertuju pada curry rice. Saya pun memesan menu tersebut.
Dengan merogoh kocek sebesar Rp15.000, saya mendapatkan hidangan
yang cukup mengecewakan. Saat mengambil hidangan yang saya pesan,
hidangan tersebut sudahlah dingin. Saya sebenarnya ingin sekali
mengeluh kepada sang penjual, tetapi saya tidak tega.
Namun, ternyata sepertinya pedagang tersebut dapat membaca raut
wajah saya. Beliau pun bertanya kepada saya,
“Kenapa neng?” tanya ibu penjual makanan tersebut.
“Nggak apa – apa, bu.. Tapi maaf, ini sudah dingin ya makanannya?”
“Waduh, iya yah, neng? Maaf banget yah, neng..”

1
Ingin mengajukan permintaan untuk memanaskan hidangan saya
kembali pun jadi tidak enak karena dia telah melontarkan satu kata dari
tiga magic words, yaitu, “maaf”. Bagi saya, permohonan maaf sudah lebih
dari cukup. Permohonan maaf tanpa rasa gengsi menunjukan bahwa
pemohon benar – benar mengakui kesalahannya. Alhasil, saya hanya bisa
tersenyum.
Kemudian, saya mengamati salah satu teman saya, Annisa yang
memesan ayam dengan balutan keju mozzarella. Ia memesan hidangan
tersebut tanpa nasi. Saya ikut terkejut, harga menu tersebut dengan atau
tidak dengan nasi tetaplah sama. Saya merasa heran, mengapa harganya
tetap sama. Dalam benak saya, jikalau saya menjadi Annisa, pastilah saya
akan protes. Namun, ia sabar menerimanya.
“udah Nuk, rezeki abangnya” katanya.
Saya tak bisa memungkiri apa – apa lagi. Di dunia ini memang masih
banyak orang dengan hati baik. Saya merasa terharu dapat bertemu
dengan orang – orang yang baik di sekitar saya.
Kemudian, tak lama saya
bertemu dengan teman –
teman kelas MMI G. Kami
yang telah sampai duluan
akhirnya memutuskan untuk
berfoto bersama agar
memotivasi teman lainnya
untuk segera datang.
Tak lama semuanya pun datang dan absensi kami hari itu lengkap.
Sayangnya, Mona, sang ketua kelas baru saja mendapat kabar bahwa
Bapak Prathama berhalangan hadir. Maka dari itu, kami tetap berinisiatif
untuk melakukan observasi sendiri.
Suasana kantin kala itu tidak terlalu sepi namun juga tidak ramai. Saya
mengamati sesuatu. Ada seorang dosen, nampaknya beliau seseorang
yang disegani para mahasiswanya. Saat dosen tersebut memasuki area
kantin, seluruh mahasiswa yang mengenalnya bergantian menjabat

2
tangannya. Menurut saya, hal itu merupakan hal yang sangat baik
mengingat itu merupakan bentuk dari hormat kepada orang tua. Dimana,
hormat kepada orang tua juga merupakan kewajiban kita semua.
Setelah itu, beberapa saat kemudian saya tampak mengenali
mahasiswi berambut panjang tersebut. Saya mencoba mengingat – ingat
kembali. Ternyata dia adalah kawan lama saya yang bernama Sophie.
Sudah 4 tahun saya tidak bertemu dengannya secara langsung. Saya
sangat ingin menyapanya, namun saya mencoba menunggu apakah ia
akan menyapa saya terlebih dulu atau tidak.
Mata kami bertemu, namun Sophie tetap tidak menyapa saya. Di
benak saya, saya bingung apakah dia memang tidak melihat saya, atau
sengaja untuk tidak menyapa saya. Tidak ingin berburuk sangka, akhirnya
saya berinisiatif menyapanya.
Ternyata menjadi orang menyapa terlebih dahulu tidaklah buruk
sama sekali. Kita harus meruntuhkan rasa gengsi kita agar tetap menjaga
tali silaturahmi yang telah kita bangun.

Anda mungkin juga menyukai