Anda di halaman 1dari 30

PENGANTAR HUKUM BISNIS

AFTER UTS

A. PERUSAHAAN YANG BERBADAN HUKUM (LANJUTAN)


1. Prosedur Pendirian PT
a. Persiapan modal untuk mendirikan PT
Modal dasar paling sedikit Rp. 50.000.000.000,00 (Pasal 32 ayat (1) UU No 40 Tahun 2007)
b. Menentukan domisili usaha
c. Menentukan bidang usaha sesuai KBLI
d. Membuat BPJS Ketenagakerjaan untuk PT
e. Membuat NPWP Direktur dan NPWP perusahaan
f. Membuat SIUP dan TDP

UU NO 40 TAHUN 2007 TENTANG PT (BAB PENDIRIAN PT)

Pasal 7

(1) Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa
Indonesia.
(2) Setiap pendiri Perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat Perseroan didirikan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam rangka Peleburan.
(4) Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri
mengenai pengesahan badan hukum Perseroan.
(5) Setelah Perseroan memperoleh status badan hukum dan pemegang saham menjadi kurang dari 2
(dua) orang, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut
pemegang saham yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain atau
Perseroan mengeluarkan saham baru kepada orang lain.
(6) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah dilampaui, pemegang saham
tetap kurang dari 2 (dua) orang, pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala
perikatan dan kerugian Perseroan, dan atas permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan
negeri dapat membubarkan Perseroan tersebut.
(7) Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dan ketentuan pada ayat (5), serta ayat (6) tidak berlaku bagi:
a. Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara; atau
b. Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga
penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang tentang Pasar Modal.

Pasal 8

(1) Akta pendirian memuat anggaran dasar dan keterangan lain berkaitan dengan pendirian Perseroan.
(2) Keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang-kurangnya:
a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, dan kewarganegaraan
pendiri perseorangan, atau nama, tempat kedudukan dan alamat lengkap serta nomor dan
tanggal Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum dari pendiri Perseroan;
b. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, kewarganegaraan
anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang pertama kali diangkat;
c. nama pemegang saham yang telah mengambil bagian saham, rincian jumlah saham, dan
nilai nominal saham yang telah ditempatkan dan disetor.
(3) Dalam pembuatan akta pendirian, pendiri dapat diwakili oleh orang lain berdasarkan surat kuasa.
Pasal 9

(1) Untuk memperoleh Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4), pendiri bersama-sama mengajukan permohonan
melalui jasa teknologi informasi sistem administrasi badan hukum secara elektronik kepada Menteri
dengan mengisi format isian yang memuat sekurang-kurangnya:
a. nama dan tempat kedudukan Perseroan;
b. jangka waktu berdirinya Perseroan;
c. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan;
d. jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor; e. alamat lengkap Perseroan.
(2) Pengisian format isian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didahului dengan pengajuan nama
Perseroan.
(3) Dalam hal pendiri tidak mengajukan sendiri permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), pendiri hanya dapat memberi kuasa kepada notaris.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan dan pemakaian nama Perseroan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 10

(1) Permohonan untuk memperoleh Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
harus diajukan kepada Menteri paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal akta
pendirian ditandatangani, dilengkapi keterangan mengenai dokumen pendukung.
(2) Ketentuan mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
(3) Apabila format isian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan keterangan mengenai
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, Menteri langsung menyatakan tidak berkeberatan atas permohonan yang
bersangkutan secara elektronik.
(4) Apabila format isian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan keterangan mengenai
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, Menteri langsung memberitahukan penolakan beserta alasannya kepada
pemohon secara elektronik.
(5) Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pernyataan tidak
berkeberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemohon yang bersangkutan wajib
menyampaikan secara fisik surat permohonan yang dilampiri dokumen pendukung.
(6) Apabila semua persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah dipenuhi secara lengkap,
paling lambat 14 (empat belas) hari, Menteri menerbitkan keputusan tentang pengesahan badan
hukum Perseroan yang ditandatangani secara elektronik.
(7) Apabila persyaratan tentang jangka waktu dan kelengkapan dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) tidak dipenuhi, Menteri langsung memberitahukan hal tersebut kepada
pemohon secara elektronik, dan pernyataan tidak berkeberatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) menjadi gugur.
(8) Dalam hal pernyataan tidak berkeberatan gugur, pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dapat mengajukan kembali permohonan untuk memperoleh Keputusan Menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).
(9) Dalam hal permohonan untuk memperoleh Keputusan Menteri tidak diajukan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akta pendirian menjadi batal sejak lewatnya jangka waktu
tersebut dan Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum bubar karena hukum dan
pemberesannya dilakukan oleh pendiri.
(10) Ketentuan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi
permohonan pengajuan kembali.
Pasal 11

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengajuan permohonan untuk memperoleh Keputusan Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) bagi daerah tertentu yang belum mempunyai atau tidak
dapat digunakan jaringan elektronik diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 12

(1) Perbuatan hukum yang berkaitan dengan kepemilikan saham dan penyetorannya yang dilakukan
oleh calon pendiri sebelum Perseroan didirikan, harus dicantumkan dalam akta pendirian.
(2) Dalam hal perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinyatakan dengan akta yang
bukan akta otentik, akta tersebut dilekatkan pada akta pendirian.
(3) Dalam hal perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinyatakan dengan akta otentik,
nomor, tanggal dan nama serta tempat kedudukan notaris yang membuat akta otentik tersebut
disebutkan dalam akta pendirian Perseroan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak dipenuhi,
perbuatan hukum tersebut tidak menimbulkan hak dan kewajiban serta tidak mengikat Perseroan.

Pasal 13

(1) Perbuatan hukum yang dilakukan calon pendiri untuk kepentingan Perseroan yang belum didirikan,
mengikat Perseroan setelah Perseroan menjadi badan hukum apabila RUPS pertama Perseroan
secara tegas menyatakan menerima atau mengambil alih semua hak dan kewajiban yang timbul dari
perbuatan hukum yang dilakukan oleh calon pendiri atau kuasanya.
(2) RUPS pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselenggarakan dalam jangka waktu
paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah Perseroan memperoleh status badan hukum.
(3) Keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sah apabila RUPS dihadiri oleh pemegang
saham yang mewakili semua saham dengan hak suara dan keputusan disetujui dengan suara bulat.
(4) Dalam hal RUPS tidak diselenggarakan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
atau RUPS tidak berhasil mengambil keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), setiap calon
pendiri yang melakukan perbuatan hukum tersebut bertanggung jawab secara pribadi atas segala
akibat yang timbul.
(5) Persetujuan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diperlukan apabila perbuatan hukum
tersebut dilakukan atau disetujui secara tertulis oleh semua calon pendiri sebelum pendirian
Perseroan.

Pasal 14

(1) Perbuatan hukum atas nama Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, hanya boleh
dilakukan oleh semua anggota Direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota Dewan
Komisaris Perseroan dan mereka semua bertanggung jawab secara tanggung renteng atas perbuatan
hukum tersebut.
(2) Dalam hal perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendiri atas nama
Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, perbuatan hukum tersebut menjadi
tanggung jawab pendiri yang bersangkutan dan tidak mengikat Perseroan.
(3) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), karena hukum menjadi tanggung jawab
Perseroan setelah Perseroan menjadi badan hukum.
(4) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya mengikat dan menjadi tanggung
jawab Perseroan setelah perbuatan hukum tersebut disetujui oleh semua pemegang saham dalam
RUPS yang dihadiri oleh semua pemegang saham Perseroan.
(5) RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah RUPS pertama yang harus diselenggarakan paling
lambat 60 (enam puluh) hari setelah Perseroan memperoleh status badan hukum.
PENGECUALIAN PEMEGANG SAHAM TUNGGAL

Memungkinkan PT dipegang oleh satu orang (pemegang saham tunggal), tapi sifatnya hanya sementara.

TUGAS POKOK DIREKSI

Pasal 92

(1) Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud
dan tujuan Perseroan.
(2) Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam UndangUndang ini dan/atau
anggaran dasar.
(3) Direksi Perseroan terdiri atas 1 (satu) orang anggota Direksi atau lebih.
(4) Perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan menghimpun dan/atau mengelola dana
masyarakat, Perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat, atau
Perseroan Terbuka wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang anggota Direksi.
(5) Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, pembagian tugas dan wewenang
pengurusan di antara anggota Direksi ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS.
(6) Dalam hal RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak menetapkan, pembagian tugas dan
wewenang anggota Direksi ditetapkan berdasarkan keputusan Direksi.

Pasal 97

(1) Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat
(1).
(2) Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan
itikad baik dan penuh tanggung jawab.
(3) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila
yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi.
(5) Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) apabila dapat membuktikan: a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b.
telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai
dengan maksud dan tujuan Perseroan; c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung
maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d. telah
mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
(6) Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian
dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri
terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada
Perseroan.
(7) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mengurangi hak anggota Direksi lain dan/atau
anggota Dewan Komisaris untuk mengajukan gugatan atas nama Perseroan.

Pasal 98

(1) Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.


(2) Dalam hal anggota Direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang, yang berwenang mewakili Perseroan
adalah setiap anggota Direksi, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar.
(3) Kewenangan Direksi untuk mewakili Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tidak
terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini, anggaran dasar, atau
keputusan RUPS.
(4) Keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh bertentangan dengan ketentuan
Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar Perseroan.

Pasal 99

(1) Anggota Direksi tidak berwenang mewakili Perseroan apabila: a. terjadi perkara di pengadilan antara
Perseroan dengan anggota Direksi yang bersangkutan; atau b. anggota Direksi yang bersangkutan
mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan.
(2) Dalam hal terdapat keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang berhak mewakili Perseroan
adalah:
a. anggota Direksi lainnya yang tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan;
b. Dewan Komisaris dalam hal seluruh anggota Direksi mempunyai benturan kepentingan
dengan Perseroan; atau
c. pihak lain yang ditunjuk oleh RUPS dalam hal seluruh anggota Direksi atau Dewan Komisaris
mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan.

Pasal 100

(1) Direksi Wajib:


a. membuat daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah RUPS, dan risalah rapat Direksi;
b. membuat laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dan dokumen keuangan
Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Dokumen Perusahaan;
dan
c. memelihara seluruh daftar, risalah, dan dokumen keuangan Perseroan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b dan dokumen Perseroan lainnya.
(2) Seluruh daftar, risalah, dokumen keuangan Perseroan, dan dokumen Perseroan lainnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disimpan di tempat kedudukan Perseroan.
(3) Atas permohonan tertulis dari pemegang saham, Direksi memberi izin kepada pemegang saham
untuk memeriksa daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah RUPS sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan laporan tahunan, serta mendapatkan salinan risalah RUPS dan salinan laporan tahunan.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menutup kemungkinan peraturan perundang-
undangan di bidang pasar modal menentukan lain.

Pasal 101

(1) Anggota Direksi wajib melaporkan kepada Perseroan mengenai saham yang dimiliki anggota Direksi
yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam Perseroan dan Perseroan lain untuk selanjutnya
dicatat dalam daftar khusus.
(2) Anggota Direksi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
menimbulkan kerugian bagi Perseroan, bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan
tersebut.

Pelaksanaan RUPS

Pasal 78

(1) RUPS terdiri atas RUPS tahunan dan RUPS lainnya.


(2) RUPS tahunan wajib diadakan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku
berakhir.
(3) Dalam RUPS tahunan, harus diajukan semua dokumen dari laporan tahunan Perseroan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2).
(4) RUPS lainnya dapat diadakan setiap waktu berdasarkan kebutuhan untuk kepentingan Perseroan.

Pasal 79

(1) (1) Direksi menyelenggarakan RUPS tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) dan
RUPS lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (4) dengan didahului pemanggilan RUPS.
(2) Penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas permintaan:
a. 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu
persepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, kecuali anggaran dasar
menentukan suatu jumlah yang lebih kecil; atau
b. Dewan Komisaris.
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada Direksi dengan Surat Tercatat
disertai alasannya.
(4) Surat Tercatat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang disampaikan oleh pemegang saham
tembusannya disampaikan kepada Dewan Komisaris.
(5) Direksi wajib melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari
terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS diterima.
(6) Dalam hal Direksi tidak melakukan pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
a. permintaan penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diajukan
kembali kepada Dewan Komisaris; atau
b. Dewan Komisaris melakukan pemanggilan sendiri RUPS, sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b.
(7) Dewan Komisaris wajib melakukan pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a
dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan
penyelenggaraan RUPS diterima.
(8) RUPS yang diselenggarakan Direksi berdasarkan panggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) membicarakan masalah yang berkaitan dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
mata acara rapat lainnya yang dipandang perlu oleh Direksi.
(9) RUPS yang diselenggarakan Dewan Komisaris berdasarkan panggilan RUPS sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) huruf b dan ayat (7) hanya membicarakan masalah yang berkaitan dengan alasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(10)Penyelenggaraan RUPS Perseroan Terbuka tunduk pada ketentuan Undang-Undang ini sepanjang
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal tidak menentukan lain.
2. PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI (UU NO 40 TAHUN 2007)
Pasal 142
(1) Pembubaran Perseroan terjadi:
a. berdasarkan keputusan RUPS;
b. karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;
c. berdasarkan penetapan pengadilan;
d. dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
e. karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang; atau
f. karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal terjadi pembubaran Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
a. wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator; dan
b. Perseroan tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali diperlukan untuk membereskan
semua urusan Perseroan dalam rangka likuidasi.
(3) Dalam hal pembubaran terjadi berdasarkan keputusan RUPS, jangka waktu berdirinya yang
ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir atau dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan
keputusan pengadilan niaga dan RUPS tidak menunjuk likuidator, Direksi bertindak selaku likuidator.
(4) Dalam hal pembubaran Perseroan terjadi dengan dicabutnya kepailitan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d, pengadilan niaga sekaligus memutuskan pemberhentian kurator dengan
memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
(5) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilanggar, anggota Direksi,
anggota Dewan Komisaris, dan Perseroan bertanggung jawab secara tanggung renteng.
(6) Ketentuan mengenai pengangkatan, pemberhentian sementara, pemberhentian, wewenang,
kewajiban, tanggung jawab, dan pengawasan terhadap Direksi mutatis mutandis berlaku bagi
likuidator.
Pasal 143
(7) Pembubaran Perseroan tidak mengakibatkan Perseroan kehilangan status badan hukum sampai
dengan selesainya likuidasi dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan.
(8) Sejak saat pembubaran pada setiap surat ke luar Perseroan dicantumkan kata “dalam likuidasi” di
belakang nama Perseroan.
Pasal 144
(1) Direksi, Dewan Komisaris atau 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10
(satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, dapat mengajukan usul
pembubaran Perseroan kepada RUPS.
(2) Keputusan RUPS tentang pembubaran Perseroan sah apabila diambil sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dan Pasal 89.
(3) Pembubaran Perseroan dimulai sejak saat yang ditetapkan dalam keputusan RUPS.
Pasal 145
(1) Pembubaran Perseroan terjadi karena hukum apabila jangka waktu berdirinya Perseroan yang
ditetapkan dalam anggaran dasar berakhir.
(2) Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah jangka waktu berdirinya Perseroan
berakhir RUPS menetapkan penunjukan likuidator.
(3) Direksi tidak boleh melakukan perbuatan hukum baru atas nama Perseroan setelah jangka waktu
berdirinya Perseroan yang ditetapkan dalam anggaran dasar berakhir.
Pasal 146
(1) Pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan atas:
a. permohonan kejaksaan berdasarkan alasan Perseroan melanggar kepentingan umum atau
Perseroan melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundangundangan;
b. permohonan pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan adanya cacat hukum dalam
akta pendirian;
c. permohonan pemegang saham, Direksi atau Dewan Komisaris berdasarkan alasan Perseroan
tidak mungkin untuk dilanjutkan.
(2) Dalam penetapan pengadilan ditetapkan juga penunjukan likuidator.
Pasal 147
(1) Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pembubaran
Perseroan, likuidator wajib memberitahukan:
a. kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan dengan cara mengumumkan
pembubaran Perseroan dalam Surat Kabar dan Berita Negara Republik Indonesia; dan
b. pembubaran Perseroan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan bahwa
Perseroan dalam likuidasi.
(2) Pemberitahuan kepada kreditor dalam Surat Kabar dan Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memuat:
a. pembubaran Perseroan dan dasar hukumnya
b. nama dan alamat likuidator;
c. tata cara pengajuan tagihan; dan
d. jangka waktu pengajuan tagihan.
(3) Jangka waktu pengajuan tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d adalah 60 (enam
puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Pemberitahuan kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib dilengkapi
dengan bukti:
a. dasar hukum pembubaran Perseroan; dan
b. pemberitahuan kepada kreditor dalam Surat Kabar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a.
Pasal 148
(1) Dalam hal pemberitahuan kepada kreditor dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147
belum dilakukan, pembubaran Perseroan tidak berlaku bagi pihak ketiga.
(2) Dalam hal likuidator lalai melakukan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), likuidator
secara tanggung renteng dengan Perseroan bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pihak
ketiga.
Pasal 150
(1) Kreditor yang mengajukan tagihan sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
147 ayat (3), dan kemudian ditolak oleh likuidator dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri
dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penolakan.
(2) Kreditor yang belum mengajukan tagihannya dapat mengajukan melalui pengadilan negeri dalam
jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak pembubaran Perseroan diumumkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 147 ayat (1).
(3) Tagihan yang diajukan kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dalam hal
terdapat sisa kekayaan hasil likuidasi yang diperuntukkan bagi pemegang saham.
(4) Dalam hal sisa kekayaan hasil likuidasi telah dibagikan kepada pemegang saham dan terdapat
tagihan kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengadilan negeri memerintahkan likuidator
untuk menarik kembali sisa kekayaan hasil likuidasi yang telah dibagikan kepada pemegang saham.
(5) Pemegang saham wajib mengembalikan sisa kekayaan hasil likuidasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) secara proporsional dengan jumlah yang diterima terhadap jumlah tagihan.
Pasal 151
(1) Dalam hal likuidator tidak dapat melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
149, atas permohonan pihak yang berkepentingan atau atas permohonan kejaksaan, ketua
pengadilan negeri dapat mengangkat likuidator baru dan memberhentikan likuidator lama.
(2) Pemberhentian likuidator sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan setelah yang
bersangkutan dipanggil untuk didengar keterangannya.
Pasal 152
(1) Likuidator bertanggung jawab kepada RUPS atau pengadilan yang mengangkatnya atas likuidasi
Perseroan yang dilakukan.
(2) Kurator bertanggung jawab kepada hakim pengawas atas likuidasi Perseroan yang dilakukan.
(3) Likuidator wajib memberitahukan kepada Menteri dan mengumumkan hasil akhir proses likuidasi
dalam Surat Kabar setelah RUPS memberikan pelunasan dan pembebasan kepada likuidator atau
setelah pengadilan menerima pertanggungjawaban likuidator yang ditunjuknya.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku juga bagi kurator yang
pertanggungjawabannya telah diterima oleh hakim pengawas.
(5) Menteri mencatat berakhirnya status badan hukum Perseroan dan menghapus nama Perseroan dari
daftar Perseroan, setelah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dipenuhi.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berlaku juga bagi berakhirnya status badan hukum
Perseroan karena Penggabungan, Peleburan, atau Pemisahan.
(7) Pemberitahuan dan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan
dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pertanggungjawaban
likuidator atau kurator diterima oleh RUPS, pengadilan atau hakim pengawas.
(8) Menteri mengumumkan berakhirnya status badan hukum Perseroan dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
3. KEPAILITAN (UU NO 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN
PEMBAYARAN UTANG)
PENGERTIAN KEPAILITAN
KEPAILITAN adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang No 37 Tahun 2004.
DEBITOR PAILIT adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan.
KURATOR adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk
mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan
Undang-Undang No 37 Tahun 2004.
PKPU tidak diberikan definisi oleh UU Kepailitan. Akan tetapi, dari rumusan pengaturan mengenai PKPU
dalam UU Kepailitan kita dapat melihat bahwa PKPU adalah sebuah cara yang digunakan oleh debitur
maupun kreditur dalam hal debitur atau kreditur menilai debitur tidak dapat atau diperkirakan tidak
akan dapat lagi melanjutkan pembayaran utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dengan maksud agar tercapai rencana perdamaian (meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh
utang kepada kreditur) antara debitur dan kreditur agar debitur tidak perlu dipailitkan.
PERBEDAAN PAILIT DAN PKPU

Perbedaan Kepailitan PKPU


Upaya Hukum Terhadap putusan atas Terhadap putusan PKPU tidak
permohonan pernyataan pailit, dapat diajukan upaya hukum
dapat diajukan kasasi ke apapun (Pasal 235 ayat [1] UU
Mahkamah Agung (Pasal 11 ayat Kepailitan).
[1] UU Kepailitan).
 
Selain itu terhadap putusan atas
permohonan pernyataan pailit
yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap,
dapat diajukan peninjauan
kembali ke Mahkamah Agung
(Pasal 14 UU Kepailitan).
Yang melakukan pengurusan Kurator (Pasal 1 angka 5, Pasal Pengurus (Pasal 225 ayat [2] dan
harta debitur 15 ayat [1], dan Pasal 16 UU ayat [3] UU Kepailitan)
Kepailitan)
Kewenangan debitur Sejak tanggal putusan Dalam PKPU, debitur masih dapat
pernyataan pailit diucapkan, melakukan pengurusan terhadap
debitur kehilangan haknya untuk hartanya selama mendapatkan
menguasai dan mengurus persetujuan dari pengurus (Pasal
kekayaannya yang termasuk 240 UU Kepailitan).
dalam harta pailit (Pasal 24 ayat
[1] UU Kepailitan).
Jangka waktu penyelesaian Dalam kepailitan, setelah Dalam PKPU, PKPU dan
diputuskannya pailit oleh perpanjangannya tidak boleh
Pengadilan Niaga, tidak ada melebihi 270 (dua ratus tujuh
batas waktu tertentu untuk puluh) hari setelah putusan PKPU
penyelesaian seluruh proses sementara diucapkan (Pasal 228
kepailitan. ayat [6] UU Kepailitan).

SYARAT DAN PUTUSAN PAILIT


Pasal 2
(1) Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk
kepentingan umum.
(3) Dalam hal Debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank
Indonesia.
(4) Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan
Pengawas Pasar Modal.
(5) Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan
Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit
hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.
Pasal 3
(1) Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam
Undang-Undang ini, diputuskan oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat
kedudukan hukum Debitor.
(2) Dalam hal Debitor telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia, Pengadilan yang
berwenang menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir Debitor.
(3) Dalam hal Debitor adalah pesero suatu firma, Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang memutuskan.
(4) Dalam hal debitur tidak berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia tetapi menjalankan
profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang
memutuskan adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor
pusat Debitor menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia.
(5) Dalam hal Debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana
dimaksud dalam anggaran dasarnya.
Pasal 4
(1) Dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Debitor yang masih terikat dalam pernikahan
yang sah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila tidak ada persatuan harta.
Pasal 5
Permohonan pernyataan pailit terhadap suatu firma harus memuat nama dan tempat tinggal masing-
masing pesero yang secara tanggung renteng terikat untuk seluruh utang firma.
Pasal 6
(1) Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan.
(2) Panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan
diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat
yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran.
(3) Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan
dalam ayatayat tersebut.
(4) Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan paling lambat 2
(dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.
(5) Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit
didaftarkan, Pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang.
(6) Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling
lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.
(7) Atas permohonan Debitor dan berdasarkan alasan yang cukup, Pengadilan dapat menunda
penyelenggaraan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sampai dengan paling lambat 25 (dua
puluh lima) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.
Pasal 7
(1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 43, Pasal 56,
Pasal 57, Pasal 58, Pasal 68, Pasal 161, Pasal 171, Pasal 207, dan Pasal 212 harus diajukan oleh
seorang advokat.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal permohonan diajukan oleh
kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, dan Menteri Keuangan.
Pasal 8
(1) Pengadilan:
a. wajib memanggil Debitor, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Kreditor,
kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, atau Menteri Keuangan;
b. dapat memanggil Kreditor, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Debitor
dan terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.
(2) Pemanggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh juru sita dengan surat kilat
tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang pemeriksaan pertama diselenggarakan.
(3) Pemanggilan adalah sah dan dianggap telah diterima oleh Debitor, jika dilakukan oleh juru sita sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti
secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) telah dipenuhi.
(5) Putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam
puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.
(6) Putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memuat pula:
a. pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dan/atau sumber
hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili;
b. pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua majelis.
(7) Putusan atas permohonan pernyataan pailit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yang memuat
secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan
tersebut diajukan suatu upaya hukum.
Pasal 9
Salinan putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6) wajib disampaikan oleh juru
sita dengan surat kilat tercatat kepada Debitor, pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit,
Kurator, dan Hakim Pengawas paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan
pernyataan pailit diucapkan.
Pasal 10
(1) Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, setiap Kreditor, kejaksaan,
Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, atau Menteri Keuangan dapat mengajukan
permohonan kepada Pengadilan untuk:
a. meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan Debitor; atau
b. menunjuk Kurator sementara untuk mengawasi:
1)pengelolaan usaha Debitor; dan
2)pembayaran kepada Kreditor, pengalihan, atau pengagunan kekayaan Debitor yang
dalam kepailitan merupakan wewenang Kurator.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikabulkan, apabila hal tersebut
diperlukan guna melindungi kepentingan Kreditor.
(3) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikabulkan, Pengadilan dapat
menetapkan syarat agar Kreditor pemohon memberikan jaminan yang dianggap wajar oleh
Pengadilan.
Pasal 11
(1) Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah
kasasi ke Mahkamah Agung.
(2) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lambat 8 (delapan) hari
setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan, dengan mendaftarkan kepada Panitera
Pengadilan yang telah memutus permohonan pernyataan pailit.
(3) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), selain dapat diajukan oleh Debitor dan
Kreditor yang merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama, juga dapat diajukan oleh Kreditor
lain yang bukan merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama yang tidak puas terhadap
putusan atas permohonan pernyataan pailit.
(4) Panitera mendaftar permohonan kasasi pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan
kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang
sama dengan tanggal penerimaan pendaftaran.
Pasal 12
(1) Permohonan kasasi wajib menyampaikan kepada Panitera Pengadilan memori kasasi pada
permohonan kasasi didaftarkan.
(2) Panitera wajib mengirimkan permohonan kasasi dan memori kasasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) kepada pihak termohon kasasi paling lambat 2 (dua) hari setelah permohonan kasasi
didaftarkan.
(3) Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan
panitera Pengadilan wajib menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi paling
lambat 2 (dua) hari setelah kontra memori kasasi diterima.
(4) Panitera wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori kasasi, dan kontra memori kasasi
beserta berkas perkara yang bersangkutan kepada Mahkama Agung paling lambat 14 (empat belas)
hari setelah tanggal permohonan kasasi didaftarkan.
Pasal 13
(1) Mahkama Agung wajib mempelajari permohonan kasasi dan menetapkan hari sidang paling lambat
2 (dua) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkama Agung.
(2) Sidang pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah
tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkama Agung.
(3) Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah
tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkama Agung.
(4) Putusan atas permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang memuat secara lengkap
pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum.
(5) Dalam hal terdapat perbedaan pendapat antara anggota dengan ketua majelis maka perbedaan
pendapat tersebut wajib dimuat dalam putusan kasasi.
(6) Panitera pada Mahkama Agung wajib menyampaikan salinan putusan kasasi kepada Panitera pada
Pengadilan Niaga paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan kasasi
diucapkan.
(7) Jurusita Pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) kepada pmohon kasasi, termohon kasasi, Kurator, dan Hakim Pengawas paling lambat 2 (dua)
hari setelah putusan kasasi diterima.
Pasal 14
(1) Terhadap putusan, atas permohonan pernyataan pailit yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, dapat diajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 berlaku mutatis mutandis bagi.
Pasal 15
(1) Dalam putusan pernyataan pailit, harus diangkat Kurator dan seorang Hakim Pengawas yang
ditunjuk dari hakim Pengadilan.
(2) Dalam hal Debitor, Kreditor, atau pihak yang berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), ayat (3), ayat (4), atau ayat (5) tidak mengajukan usul
pengangkatan Kurator kepada Pengadilan maka Balai Harta Peninggalan diangkat selaku Kurator.
(3) Kurator yang diangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus independen, tidak mempunyai
benturan kepentingan dengan Debitor atau Kreditor, dan tidak sedang menangani perkara kepailitan
dan penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 (tiga) perkara.
(4) Dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari setelah tanggal putusan pernyataan pailit diterima
oleh Kurator dan Hakim Pengawas, Kurator mengumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia
dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas, mengenai
ikhtisar putusan pernyataan pailit yang memuat hal-hal sebagai berikut:
a. nama, alamat, dan pekerjaan Debitor;
b. nama Hakim Pengawas;
c. nama, alamat, dan pekerjaan Kurator;
d. nama, alamat, dan pekerjaan anggota panitia Kreditor sementara, apabila telah ditunjuk;
dan
e. tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama Kreditor.
Pasal 16
(1) Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak
tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau
peninjauan kembali.
(2) Dalam hal putusan pernyataan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya kasasi atau peninjauan
kembali, segala perbuatan yang telah dilakukan oleh Kurator sebelum atau pada tanggal Kurator
menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
tetap sah dan mengikat Debitor.
Pasal 17
(1) Kurator wajib mengumumkan putusan kasasi atau peninjauan kembali yang membatalkan putusan
pailit dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4).
(2) Majelis hakim yang membatalkan putusan pernyataan pailit juga menetapkan biaya kepailitan dan
imbalan jasa Kurator.
(3) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebankan kepada pemohon pernyataan pailit atau
kepada pemohon dan Debitor dalam perbandingan yang ditetapkan oleh majelis hakim tersebut.
(4) Untuk pelaksanaan pembayaran biaya kepailitan dan imbalan jasa Kurator sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Ketua Pengadilan mengeluarkan penetapan eksekusi atas permohonan Kurator.
(5) Dalam hal putusan pernyataan pailit dibatalkan, perdamaian yang mungkin terjadi gugur demi
hukum.
Pasal 18
(1) Dalam hal harta pailit tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan maka Pengadilan atas usul
Hakim Pengawas dan setelah mendengar panitia kreditor sementara jika ada, serta setelah
memanggil dengan sah atau mendengar Debitor, dapat memutuskan pencabutan putusan
pernyataan pailit.
(2) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
(3) Majelis hakim yang memerintahkan pencabutan pailit menetapkan jumlah biaya kepailitan dan
imbalan jasa Kurator.
(4) Jumlah biaya kepailitan dan imbalan jasa Kurator sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibebankan
kepada Debitor.
(5) Biaya dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus didahulukan atas semua utang
yang tidak dijamin dengan agunan.
(6) Terhadap penetapan majelis hakim mengenai biaya kepailitan dan imbalan jasa Kurator
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak dapat diajukan upaya hukum.
(7) Untuk pelaksanaan pembayaran biaya kepailitan dan imbalan jasa Kurator sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Ketua Pengadilan mengeluarkan penetapan eksekusi atas permohonan Kurator yang
diketahui Hakim Pengawas.
Pasal 19
(1) Putusan yang memerintahkan pencabutan pernyataan pailit, diumumkan oleh Panitera Pengadilan
dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian sebagaimana di
maksud dalam Pasal 15 ayat (4).
(2) Terhadap putusan pencabutan pernyataan pailit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diajukan kasasi dan/atau peninjauan kembali.
(3) Dalam hal setelah putusan pencabutan pernyataan pailit diucapkan diajukan lagi permohonan
pernyataan pailit maka Debitor atau pemohon wajib membuktikan bahwa ada cukup harta untuk
membayar biaya kepailitan.
Pasal 20
(1) Panitera Pengadilan wajib menyelenggarakan suatu daftar umum untuk mencatat setiap perkara
kepailitan secara tersendiri.
(2) Daftar umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat secara berurutan:
a. ikhtisar putusan pailit atau putusan pembatalan pernyataan pailit;
b. isi singkat perdamaian dan putusan pengesahannya;
c. pembatalan perdamaian;
d. jumlah pembagian dalam pemberesan;
e. pencabutan kepailitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18; dan
f. rehabilitasi;
dengan menyebutkan tanggal masing-masing.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan isi daftar umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
(4) Daftar umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbuka untuk umum dan dapat dilihat oleh
setiap orang dengan cuma-cuma.
4. MKA (MERGER, KONSOLIDASI, DAN AKUISISI): PP NO 27 TAHUN 1998
a. Merger (penggabungan) adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih
untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang
menggabungkan diri menjadi bubar.
b. Konsolidasi (peleburan) adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua perseroan atau lebih
untuk meleburkan diri dengan cara membentuk satu perseroan baru dan masing-masing perseroan
yang meleburkan diri menjadi bubar.
c. Akuisisi (pengambilalihan): adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang
perseorangan untuk mengambil alih baik seluruh atau sebagian besar saham perseroan yang dapat
mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseroan tersebut.

Penggabungan dan peleburan dilakukan tanpa likuidasi terlebih dahulu (pasal 2)

Penggabungan dan peleburan yang dilakukan tanpa likuidasi mengakibatkan: (pasal 3)

a. Pemegang saham perseroan yang menggabungkan diri atau yang meleburkan diri menjadi
pemegang saham perseroan yang menerima penggabungan atau perseroan hasil peleburan; dan
b. Aktiva dan pasiva perseroan yang menggabungkan diri atau yang meleburkan diri, beralih karena
hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan atau perseroan hasil peleburan.
5. KOPERASI (UU NO 25 TAHUN 1992)
PENGERTIAN KOPERASI
Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan
melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang
berdasar atas asas kekeluargaan. Koperasi bertujuan untuk mwmajukan kesejahteraan anggota pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian Nasional
dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 4
Fungsi dan peran Koperasi adalah:
1. membangun dan mengembangkan potesi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya
dan pada masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan
sosialnya;
2. berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan
masyarakat;
3. memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perkonomian
nsional dengan koperasi sebagai sokogurunya;
4. berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perkonomian nasional yang merupakan
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
Pasal 5
(1) Koperasi melaksanakan prinsip Koperasi sebagai berikut;
a. keanggotaan bersifat suka rela dan terbuka;
b. pengelolaan dilaksanakan secara demokratis;
c. pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha
masing-masing anggota;
d. pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal;
e. kemandirian.
(2) Dalam mengembangkan Koperasi ,maka Koperasi melaksanakan pula prinsip Koperasi sebagai
berikut:
a. pendidikan perkoperasian;
b. kerja sama antar Koperasi.
SYARAT PENDIRIAN
Pasal 6
(1) Koperasi Primer dibentuk oleh sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang.
(2) Koperasi sekunder dibentuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) koperasi.
Pasal 7
(1) Pembentukan Koperasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dilakukan dengan kata pendirian yang
memuat Anggaran Dasar.
(2) Koperasi mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia.
Pasal 8
Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) memuat Sekurang-kurangnya
a. daftar nama pendiri;
b. nama dan tempat kedudukan;
c. maksud dan tujuan serta bidang usaha;
d. ketentuan mengenai keanggotaan;
e. ketentuan mengenai Rapat Anggota;
f. ketentuan mengenai pengelolaan;
g. ketentuan mengenai permodalan;
h. ketentuan mengenai jangka waktu berdirinya;
i. ketentuan mengenai pembagian sisa hasil usaha;
j. ketentuan mengenai sanksi.
KEPENGURUSAN
Pasal 17
(1) Anggota Koperasi adalah pemilik sekaligus pengguna jasa Koperasi.
(2) Keanggotaan Koperasi dicatat dalam buku daftar anggota.
(3) Pasal 18
(4) Yang dapat menjadi anggota Koperasi ialah setiap warga negara Indonesia yang mampu melakukan
tindakan hukum atau Koperasi yang memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam
Anggaran Dasar.
(5) Koperasi dapat memiliki anggota luar biasa yang persyaratan ,hak, dan kewajiban keanggotaannya
ditetapkan dalam Anggaran Dasar.
Pasal 19
(1) Keanggotaan Koperasi didasarkan pada kesamaaan kepentingan ekonomi dalam lingkup usaha
Koperasi.
(2) Keanggotaan Koperasi dapat diperoleh atau diakhiri setelah syarat sebagaimana diatur dalam
Anggaran Dasar dipenuhi.
(3) Keanggotaan Koperasi tidak dapat dipindah tangankan.
(4) Setiap Anggota mempunyai kewajiban dan hak yang sama terhadap Koperasi sebagaimana diatur
dalam Anggaran Dasar.
Pasal 20
(1) Setiap Anggota mempunyai kewajiban:
a. mematuhi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta keputusan yang telah
disepakati dalam Rapat Anggota;
b. berpartisipasi dalam kegiatan usaha yang diselenggarakan oleh Koperasi;
c. mengembangkan dan memelihara kebersamaan berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Setiap Anggota mempunyai hak:
a. menghadiri, menyatakan pendapat, dan memberikan suara dalam Rapat Anggota;
b. memilihdan/atau dipilih menjadi aggota Pengurus atau Pengawas;
c. meminta diadakan Rapat Anggota menurut ketentuan dalam Anggaran Dasar;
d. mengemukakan pendapat atau saran kepada pengurus diluar Rapat Anggota baik diminta
maupun tidak diminta.
e. memanfaatkan Koperasi dan mendapat pelayanan yang antara sesama aggota;
f. mendapatkan keterangan mengenai perkembangan Koperasi menurut ketentuan dalam
Anggaran Dasar.
Pasal 29
(1) Pengurus dipilih dari dan oleh anggota Koperasi dalam Rapat Anggota.
(2) Pengurus merupakan pemegang kuasa Rapat Anggota.
(3) Untuk pertama kali,susunan dan nama anggota pengurus dicantumkan dalam akta pendirian.
(4) Masa jabatan Pengurus paling lama 5 (lima) tahun.
(5) Persyaratan untuk dapat dipilh dan diangkat menjadi Anggota.
Pasal 30
(1) Pengurus bertugas:
a. mengelola Koperasi dan usahanya;
b. mengajukan rancangan rencana kerjaserta rancangan rencanaanggaran pendapatan dan
belanja Koperasi;
c. menyelenggarakan Rapat Anggota;
d. mengajukan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas;
e. menyelenggarakan pembukuan keuangan dan inventaris secara tertib;
f. memelihara daftar buku anggota dan pengurus.
(2) Pengurus berwenang;
a. mewakili Koperasi di dalam dan diluar pengadilan;
b. memutuskan penerimaan dan dan penolakan anggota baru serta pemberhentian anggota
sesuai dengan ketentuan dalam Anggaran Dasar;
c. melakukan tindakan dan upaya bagi kepentingan dan kemanfaatan Koperasi sesuai dengan
tanggunajawabnya dan keputusan Rappat Anggota.
Pasal 31
Pengurus bertanggungjawab mengenai segala kegiatan pengelolaan Koperasi dan usahanya kepada
Rapat Anggota atau Rapat Anggota Luar Biasa.
Pasal 32
(1) Pengurus Koperasi dapat mengangkat pengelola yang diberi wewenang dan kuasa untuk mengelola
usaha.
(2) Dalam Pengurus Koperasi bermaksud untuk mengangkat pengelola, maka rencana pengangkatan
tersebut diajukan kepada Rapat Anggota untuk mendapat persetujuan.
(3) Pengelola bertanggungjawab kepada Pengurus.
(4) Pengelolaan usaha oleh Pengelola tidak mengurangi tanggung jawab pengurus sebagaimana
dmaksud dalam pasal 31.
Pasal 33
Hubungan antara Pengelola usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 dengan Pengurus Koperasi
merupakan hubungan kerja atas dasar perikatan.
Pasal 34
(1) Pengurus,baik bersama-sama,maupun sendiri-sendiri,menanggung kerugian yang di derita
Koperasi ,karena tindakan yang dilakukan dengan kesengajaan atau kelalaiannya.
(2) Di samping penggantian kerugian tersebut,apabila tindakan itu dilakukan dengan kesengajaan, tidak
menutup kemungkinan bagi penuntut umum untuk melakukan penuntutan
Pasal 35
Setelah tahun buku Koperasi di tutup, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum diselenggarakan rapat
anggota tahunan ,Pengurus menyusun laporan tahunan yang memuat sekurangkurangnya:
a. pernitungan tahunan yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru lampau dan
perhitungan hasil usaha dari tahun yang bersangkutan serta penjelasan atas dokumen
tersebut;
b. keadaan dan Koperasim serta hasil usaha yang dapat dicapai.
Pasal 36
(1) Laporan tahunan sebagaimana yang dimaksud pasal 35 ditandatangani oleh semua Rapat Pengurus.
(2) Apabila salah seorang Anggota Pengurus tidak menandatangani laporan tahunan tersebut , anggota
yang bersangkutan menjelaskan alasannya secara tertulis.
Pasal 37
Persetujuan terhadap laporan tahunan, termasuk pengesahan perhitungan tahunan, merupakan
penerimaan pertanggungjawaban Pengurus oleh Rapat Anggota.
BERAKHIRNYA SEBAGAI BADAN HUKUM
Pasal 56
(1) Pemerintah mengumumkan pembubaran Koperasi dalam berita Negara Republik Indonesia.
(2) Status Badan Hukum Koperasi hapus sejak tanggal pengumuman pembubaran Koperasi tersebut
dalam berita Negara Republik Indonesia.
6. YAYASAN (UU NO 28 TAHUN 2004)
PENGERTIAN YAYASAN
Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk
mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai
anggota.
SYARAT PENDIRIAN
Pasal 7 ayat 1: “Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan
tujuan Yayasan.”
Pasal 7 ayat 3: “Anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan dilarang merangkap sebagai
Anggota Direksi atau Pengurus dan Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dari badan usaha
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).”
Pasal 9 ayat 1: “Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta
kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal.
Pasal 9 ayat 2: “Pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan akta notaries
dan dibuat dalam bahasa Indonesia.”
Pasal 11 ayat 1: “Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) memperoleh pengesahan dari Menteri.
Pasal 14 ayat 1: “Akta pendirian memuat Anggaran Dasar dan keterangan lain yang dianggap perlu.
Pasal 14 ayat 2: “Anggaran Dasar Yayasan sekurang-kurangnya memuat:
 Nama dan tempat kedudukan;
 Maksud dan tujuan serta kegiatan untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut;
 Jangka waktu pendirian;
 jumlah kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri dalam bentuk uang atau
benda;
 cara memperoleh dan penggunaan kekayaan;
 tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian anggota Pembina, Pengurus, dan
Pengawas;
 hak dan kewajiban anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas;
 tata cara penyelenggaraan rapat organ Yayasan;
 ketentuan mengenai perubahan Anggaran Dasar;
 penggabungan dan pembubaran Yayasan; dan
 penggunaan kekayaan sisa likuidasi atau penyaluran kekayaan Yayasan setelah pembubaran.
Pasal 18 ayat 1: “Perubahan Anggaran Dasar hanya dapat dilaksanakan berdasarkan keputusan rapat
Pembina.
Pasal 18 ayat 2: ” Rapat Pembina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan, apabila
dihadiri oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota Pembina.”
Undang-undang yayasan juga mengatur perubahan anggaran dasar:
Pasal 18 ayat 3: “Perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan
akta notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia.”
Pasal 21 ayat 1: “Perubahan Anggaran Dasar yang meliputi nama dan kegiatan Yayasan harus mendapat
persetujuan Menteri.”
Pasal 21 ayat 2: “Perubahan Anggaran Dasar mengenai hal lain cukup diberitahukan kepada Menteri.”
Pasal 24 ayat 1: ”Akta pendirian Yayasan yang telah disahkan sebagai badan hukum atau perubahan
Anggaran Dasar yang telah disetujui atau telah diberitahukan wajib diumumkan dalam Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia.”
Pasal 26 ayat 1: “Kekayaan Yayasan berasal dari sejumlah kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk uang
atau barang.”
KEPENGURUSAN
Pasal 28 ayat 1: "Pembina adalah organ Yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan
kepada Pengurus atau Pengawas oleh Undang-undang ini atau Anggaran Dasar."
Pasal 28 ayat 2: "Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
 keputusan mengenai perubahan Anggaran Dasar;
 pengangkatan dan pemberhentian anggota Pengurus dan anggota Pengawas;
 penetapan kebijakan umum Yayasan berdasarkan Anggaran Dasar Yayasan;
 pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan Yayasan; dan
 penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran Yayasan.
Pasal 28 ayat 3: "Yang dapat diangkat menjadi anggota Pembina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah orang perseorangan sebagai pendiri Yayasan dan/atau mereka yang berdasarkan keputusan rapat
anggota Pembina dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan."
Pasal 29:" Anggota Pembina tidak boleh merangkap sebagai anggota Pengurus dan/atau anggota
Pengawas."
Pasal 32 ayat 1: "Pengurus Yayasan diangkat oleh Pembina berdasarkan keputusan rapat Pembina untuk
jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali."
Pasal 32 ayat 3 (UU No. 28 Tahun 2004): "Susunan Pengurus sekurang-kurangnya terdiri atas:
 seorang ketua;
 seorang sekretaris; dan
 seorang bendahara.

Undang-undang yayasan juga mengatur pengawas.

Pasal 40 ayat 1: " Pengawas adalah organ Yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi
nasihat kepada Pengurus dalam menjalankan kegiatan Yayasan."
Pasal 41 ayat 1: "Pengawas Yayasan diangkat dan sewaktu-waktu dapat diberhentikan berdasarkan
keputusan rapat Pembina."

Pasal 45 ayat 1 (UU No. 28 Tahun 2004): "Dalam hal terjadi penggantian Pengawas, Pengurus
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Menteri."

Pasal 49 ayat 1: "Dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) bulan terhitung sejak tanggal tahun buku
Yayasan ditutup, Pengurus wajib menyusun laporan tahunan secara tertulis yang memuat sekurang-
kurangnya:

 laporan keadaan dan kegiatan Yayasan selama tahun buku yang lalu serta hasil yang telah
dicapai;
 laporan keuangan yang terdiri atas laporan posisi keuangan pada akhir periode, laporan
aktivitas, laporan arus kas, dan catatan laporan keuangan.
Pasal 50 ayat 1: "Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ditandatangani oleh
Pengurus dan Pengawas sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar."
Pasal 52 ayat 1 (UU No. 28 Tahun 2004): "Ikhtisar laporan tahunan Yayasan diumumkan
pada papan pengumuman di kantor Yayasan."
BERAKHIRNYA SEBAGAI BADAN HUKUM
Yayasan bubar karena:
 jangka waktu yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar berakhir;
 tujuan Yayasan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar telah tercapai atau tidak tercapai;
 putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan:
1) Yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan;
2) tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit; atau
3) harta kekayaan Yayasan tidak cukup untuk melunasi utangnya setelah pernyataan pailit
dicabut.
B. PERIZINAN USAHA DAN DISTRIBUSI BARANG
1. PERIZINAN OPERASIONAL BADAN USAHA DAN KETENTUAN UMUM LAIN AGAR BADAN USAHA BISA
MENJALANKAN USAHANYA SECARA LEGAL
2. PERIZINAN KHUSUS BIDANG USAHA
3. PEMBAYARAN DAN PENYERAHAN BARANG
4. PENGANGKUTAN DAN PENGIRIMAN
C. PELUASAN KEGIATAN USAHA
1. HUKUM PERJANJIAN KREDIT
PENGERTIAN KREDIT
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antar bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
PERSYARATAN PEMBERIAN KREDIT OLEH PERBANKAN
PASAL 11 (UU No 10 Tahun 1998) (Revisi UU No 7 Tahun 1992)
(1) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga
atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau sekelompok
peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama
dengan bank yang bersankutan.
(2) Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 30% (tiga puluh
perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(Pasal 11 UU No 7 Tahun 1992)
(3) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga
atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh bank kepada:
a. pemegang saham yang memiliki 10 % (sepuluh perseratus) atau lebih dari modal disetor
bank;
b. anggota Dewan Komisaris; 11
c. anggota Direksi;
d. keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;
e. pejabat bank lainnya; dan
f. perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihakpihak
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e.
(4) Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh melebihi 10% (sepuluh
perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(4A) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, bank dilarang
melampaui batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah
sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) wajib dilaporkan sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

UU PERBANKAN SYARIAH: UU NO 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARIAH

JAMINAN KREDIT

a. JAMINAN PERSEORANGAN
Jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara seorang berpiutang atau kreditur dengan
seorang ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berhutang atau debitur.
Jaminan ini dapat dilakukan tanpa sepengetahuan debitur.
Ciri-ciri jaminan perorangan adalah:
1) Mempunyai hubungan langsung dengan orang tertentu;
2) Hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu;
3) Seluruh harta kekayaan debitur menjadi jaminan pelunasan hutang, misalnya
borgtocht;
4) Menimbulkan hak perseorangan yang mengandung asas kesamaan atau
keseimbangan (konkruen);
5) Jika suatu saat terjadi kepailitan, maka hasil penjualan dari benda-benda jaminan
dibagi antara para kreditur seimbang dengan besarnya piutang masing=masing
(Pasal 1136 KUH Perdata)
b. JAMINAN KEBENDAAN
Jaminan kebendaan adalah jaminan yang memberikan kepada debitur hak untuk memanfaatkan
suatu benda milik debitur jika debitur melakukan wanprestasi. Benda milik debitu yang
dijaminkan dapat berupa benda bergerak maupun tidak bergerak. Untuk benda bergerak dapat
dijaminkan dengan gadai dan fidusia, sedangkan untuk benda tidak bergerak dapat dijaminkan
dengan hak tanggungan ataupun hipotik atas kapal laut dengan bobot 20 M 3 ke atas dan
pesawat terbang serta helikopter.
Ciri-ciri jaminan kebendaan:
1) Merupakan hak mutlak atau absolut atas suatu benda;
2) Kreditur mempunyai hubungan langsung dengan benda-benda tertentu milik
debitur;
3) Dapat dipertahankan terhadap tuntutan oleh siapapun;
4) Selalu mengikuti bendanya ditangan siapapun benda itu berada (droit de suite);
5) Mengandung asas prioritas, yaitu hak kebendaan yang lebih dulu terjadi akan lebih
diutamakan daripada yang terjadi kemudian (droit de preference);
6) Dapat dialihkan;
7) Bersifat perjanjian tambahan (accessoir).
c. JAMINAN FIDUSIA
Fidusia adalah pengalihan hak milik atas benda sebagai jaminan atas dasar kepercayaan,
sedangkan bendanya sendiri tetap berada dalam tangan si-Debitur, dengan kesepakatan bahwa
Kreditur akan mengalihkan kembali kepemilikan tersebut kepada Debitur bilamana hutangnya
telah dibayar lunas.
Objek fidusia:
1) Benda-benda bergerak yang berwujud maupun tidak berwujud;
2) Benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani dengan hak
tanggungan berdasarkan UUHT.
Yang dapat memberi fidusia adalah pemilik benda. Jika benda tersebut milik pihak ketiga, maka
pengikatan jaminan fidusia tidak boleh dengan kuasa subtitusi, tetapi harus langsung oleh
pemilik benda/pihak ketiga yang bersangkutan.
2. HUKUM PASAR MODAL (UU NO 8 TAHUN 1995 TENTANG PASAR MODAL)
PENGERTIAN
PASAR MODAL adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan Efek,
Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang
berkaitan dengan Efek.
REKSA DANA adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal
untuk selanjutnya diinvestasikan dalam Portofolio Efek oleh Manajer Investasi.
DANAREKSA adalah perusahaan BUMN yang telah berdiri sejak 1976. Perusahaan ini adalah salah satu
dari sekian banyak manajer investasi yang mengelola produk-produk reksadana.
PELAKU PASAR MODAL
ANGGOTA BURSA EFEK adalah Perantara Pedagang Efek yang telah memperoleh izin usaha dari
Bapepam dan mempunyai hak untuk mempergunakan sistem dan atau sarana Bursa Efek sesuai dengan
peraturan Bursa Efek.
BURSA EFEK adalah Pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan atau sarana untuk
mempertemukan penawaran jual dan beli Efek Pihak-Pihak lain dengan tujuan memperdagangkan Efek
di antara mereka.
EMITEN adalah Pihak yang melakukan Penawaran Umum.
LEMBAGA KLIRING dan Penjaminan adalah Pihak yang menyelenggarakan jasa kliring dan penjaminan
penyelesaian Transaksi Bursa.
LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN adalah Pihak yang menyelenggarakan kegiatan
Kustodian sentral bagi Bank Kustodian, Perusahaan Efek, dan Pihak lain.
MANAJER INVESTASI adalah Pihak yang kegiatan usahanya mengelola Portofolio Efek untuk para
nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali perusahaan
asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
PENASIHAT INVESTASI adalah Pihak yang memberi nasihat kepada Pihak lain mengenai penjualan atau
pembelian Efek dengan memperoleh imbalan jasa.
PENJAMIN EMISI EFEK adalah Pihak yang membuat kontrak dengan Emiten untuk melakukan
Penawaran Umum bagi kepentingan Emiten dengan atau tanpa kewajiban untuk membeli sisa Efek yang
tidak terjual.
PERANTARA PEDAGANG EFEK adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha jual beli Efek untuk
kepentingan sendiri atau Pihak lain.
PERSEROAN adalah perseroan terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 Ketentuan Umum
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
PERUSAHAAN EFEK adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek,
Perantara Pedagang Efek, dan atau Manajer Investasi.
PERUSAHAAN PUBLIK adalah Perseroan yang sahamnya telah dimiliki sekurang-kurangnya oleh 300 (tiga
ratus) pemegang saham dan memiliki modal disetor sekurang-kurangnya Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
LEMBAGA PENUNJANG DAN PROFESI PENUNJANG PASAR MODAL
KUSTODIAN adalah Pihak yang memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan
Efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi Efek,
dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
BIRO ADMINISTRASI EFEK adalah Pihak yang berdasarkan kontrak dengan Emiten melaksanakan
pencatatan pemilikan Efek dan pembagian hak yang berkaitan dengan Efek.
WALI AMANAT adalah Pihak yang mewakili kepentingan pemegang Efek yang bersifat utang.
3. HUKUM PMA/PMDN
D. HUKUM PERSAINGAN USAHA (LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN
USAHA TIDAK SEHAT)
UU NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
MONOPOLI adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa
tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
Pasal 17
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau
jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh
persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
MONOPSONI (Pasal 18)
(1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan
atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu

PENGUASAAN PASAR (Pasal 19)

Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha
lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:

a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang
sama pada pasar bersangkutan;
b. atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

PERSEKONGKOLAN

Pasal 22

Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang
tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 23

Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha
pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 24

Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan
atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu
yang dipersyaratkan.

POSISI DOMINAN

UMUM (Pasal 25)


(1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk:
a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi
konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun
kualitas; atau
b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar
bersangkutan.
(2) Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila:
a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau
lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau
b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima
persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

JABATAN RANGKAP (Pasal 26)

Seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang
bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan–
perusahaan tersebut:

a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau


b. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atau
c. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

PEMILIKAN SAHAM (Pasal 27)

Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan
kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa
perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila
kepemilikan tersebut mengakibatkan:

a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh
persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;
b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh
lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN

Pasal 28

(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain apabila tindakan tersebut
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan usaha yang dilarang sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dan ketentuan mengenai pengambilalihan saham perusahaan sebagaimana
dimaksud ayat dalam (2) pasal ini, diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 29

(1) Penggabungan atau peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 yang berakibat nilai aset dan atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib
diberitahukan kepada Komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan,
peleburan atau pengambilalihan tersebut.
(2) Ketentuan tentang penetapan nilai aset dan atau nilai penjualan serta tata cara pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT adalah persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan
hukum atau menghambat persaingan usaha.
OLIGOPOLI (Pasal 4)
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama
melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan
atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga)
pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

OLIGOPSONI (Pasal 13)

(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara
bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas
barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan
pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok
pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau
jasa tertentu.
E. HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA
1. MELALUI PENGADILAN NEGERI
Litigasi adalah penyelesaian sengketa antara para pihak yang bersengketa yang dilakukan di hadapan
pengadilan. Dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa “sengketa atau beda pendapat perdata dapat
diselesaikan oleh pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik
dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.”Menurut Dr. Frans Hendra
Winarta, S.H., M.H., secara konvensional, penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis, seperti dalam
perdagangan, perbankan, proyek pertambangan, minyak dan gas, energi, infrastruktur, dan sebagainya
dilakukan melalui proses litigasi. Dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu
sama lain, selain itu penyelesaian secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimatum remidium) setelah
alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil.
Adapun tahap-tahap proses mediasi di Pengadilan Negeri sebagaimana yang disebutkan dalam
Peraturan Mahkama Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dalam
Pasal 13 antaralain:
(1) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati,
masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada
mediator.
(2) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak gagal memilih mediator, masing-
masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk.
(3) Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para
pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (5) dan (6).
(4) Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 (empat
belas) hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
(5) Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan perkara.
(6) Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan secara jarak jauh
dengan menggunakan alat komunikasi.

Selanjutnya dalam Pasal 18 mengenai “Tidak Mencapai Kesepakatan” dikatakan bahwa:

(1) Jika setelah batas waktu maksimal 40 (empat puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal
13 ayat (3), para pihak tidak mampu menghasilkan kesepakatan atau karena sebab-sebab yang
terkandung dalam pasal 14, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah
gagal dan memberitahukan kegagalan kepada hakim.
(2) Segera setelah menerima pemberitahuan tersebut, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai
ketentuan hukum acara yang berlaku.
(3) Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara, hakim pemeriksa perkara tetap berwenang untuk
mendorong atau mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan.
(4) Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berlangsung paling lama 14 (empat belas)
hari kerja sejak hari para pihak menyampaikan keinginan berdamai kepada pihak hakim pemeriksa
perkara yang bersangkutan.
Apabila kedua pihak yang bersengketa gagal mencapai kesepakatan, dalam Pasal 19 mengenai
“Keterpisahan Mediasi dan Litigasi” dijelaskan bahwa pernyataan dan pengakuan para pihak
dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan
perkara yang bersangkutan atau perkara lain. Catatan mediator wajib dimusnahkan. Mediator
tidak boleh diminta menjadi saksi dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan dan
mediator tidak dapat dikenai pertangggungjawaban pidana maupun pedata atas isi kesepakatan
perdamaian hasil pross mediasi.
2. DI LUAR PENGADILAN NEGERI
MEDIASI
Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh
mediator.
KONSILIASI
Konsiliasi adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan
dan penyelesaian.
Perbedaan konsiliasi dengan mediasi: konsiliasi lebih formal dari pada mediasi.
ARBITRASE
Arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian
tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang
dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan
mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat
mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.
SYARAT ARBITRASE
Pasal 7
Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk
diselesaikan melalui arbitrase.
Pasal 8
(1) Dalam hal timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan dengan surat tercatat, telegram,
teleks, faksimili, e-mail atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang
diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku.
(2) Surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat
dengan jelas :
a. nama dan alamat para pihak;
b. penunjukan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku;
c. perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa;
d. dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut, apabila ada;
e. cara penyelesaian yang dikehendaki; dan
f. perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter atau apabila tidak pernah
diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat mengajukan usul tentang jumlah arbiter
yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.
Pasal 9
(1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi,
persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani
oleh para pihak.
(2) Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.
(3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat :
a. masalah yang dipersengketakan;
b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;
d. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;
e. nama lengkap sekretaris;
f. jangka waktu penyelesaian sengketa;
g. pernyataan kesediaan dari arbiter; dan
h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang
diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
(4) Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum.
Pasal 10
Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan tersebut di bawah ini :
a. meninggalnya salah satu pihak;
b. bangkrutnya salah satu pihak;
c. novasi;
d. insolvensi salah satu pihak;
e. pewarisan;
f. berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok;
g. bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan
persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atau
h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
Pasal 11
(1) Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.
(2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian
sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan
dalam Undang-undang ini.
SYARAT ARBITER:
1. Cakap melakukan tindakan hukum.
2. Berumur paling rendah 35 tahun.
3. Tidak mempunyai hubungan keluarga atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah
satu pihak bersengketa.
4. Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan
5. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.
6. Hakim, jaksa, panitera, dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai
arbiter.
PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE:
ARBITRASE NASIONAL
Pasal 59
(1) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli
atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada
Panitera Pengadilan Negeri.
(2) Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan pencatatan
dan penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negeri
dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran.
(3) Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter
atau salinan otentiknya kepada Panitera Pengadilan Negeri.
(4) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berakibat putusan arbitrase
tidak dapat dilaksanakan.
(5) Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaran dibebankan kepada para
pihak.
Pasal 60
Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
Pasal 61
Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan
berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.
Pasal 62
(1) Perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri.
(2) Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebelum memberikan perintah
pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan
Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
(3) Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
Ketua Pengadilan Negeri menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua
Pengadilan Negeri tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun.
(4) Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase.
Pasal 63
Perintah Ketua Pengadilan Negeri ditulis pada lembar asli dan salinan otentik putusan arbitrase yang
dikeluarkan.
Pasal 64
Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri, dilaksanakan sesuai ketentuan
pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
ARBITRASE INTERNASIONAL
Pasal 65
Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional
adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Pasal 66
(1) Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hokum Republik
Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu
negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral
maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional;
b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada
putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hokum
perdagangan;
c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat
dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan
ketertiban umum;
d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh
eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut
Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat
dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia
yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pasal 67
(1) Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan tersebut
diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.
(2) Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai
dengan :
a. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal
otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia;
b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase
Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan
resminya dalam bahasa Indonesia; dan
c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan
Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon
terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik
Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
Pasal 68
(1) Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66
huruf d yang mengakui dan melaksanakan Putusan Arbitrase Internasional, tidak dapat diajukan
banding atau kasasi.
(2) Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66
huruf d yang menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu Putusan Arbitrase Internasional,
dapat diajukan kasasi.
(3) Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan setiap pengajuan kasasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah
permohonan kasasi tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.
(4) Terhadap putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf e, tidak dapat
diajukan upaya perlawanan.
Pasal 69
(1) Setelah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan perintah eksekusi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64, maka pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan
Negeri yang secara relatif berwenang melaksanakannya.
(2) Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang milik termohon eksekusi.
(3) Tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam
Hukum Acara Perdata.
PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE
Pasal 70
Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan
tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui
palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan ; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa.
Pasal 71

Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera
Pengadilan Negeri.

Pasal 72
(1) Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
(2) Apabila permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri
menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.
(3) Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterima.
(4) Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung
yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.
(5) Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding
tersebut diterima oleh Mahkama Agung.
BERAKHIRNYA TUGAS ARBITER
Pasal 73

Tugas arbiter berakhir karena :


a. putusan mengenai sengketa telah diambil;
b. jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase atau sesudah diperpanjang
oleh para pihak telah lampau; atau
c. para pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter.
Pasal 74
(1) Meninggalnya salah satu pihak tidak mengakibatkan tugas yang telah diberikan kepada arbiter
berakhir.
(2) Jangka waktu tugas arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ditunda paling lama 60 (enam
puluh) hari sejak meninggalnya salah satu pihak.
Pasal 75
(1) Dalam hal arbiter meninggal dunia, dikabulkannya tuntutan ingkar atau pemberhentian seorang atau
lebih arbiter, para pihak harus mengangkat arbiter pengganti.
(2) Apabila para pihak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari tidak mencapai kesepakatan
mengenai pengangkatan arbiter pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Ketua
Pengadilan Negeri atas permintaan dari pihak yang berkepentingan, mengangkat seorang atau lebih
arbiter pengganti.
(3) Arbiter pengganti bertugas melanjutkan penyelesaian sengketa yang bersangkutan berdasarkan
kesimpulan terakhir yang telah diadakan.

Anda mungkin juga menyukai