Anda di halaman 1dari 37

Bed Site Teaching

Kolelitiasis

Disusun Oleh:
Istiqomah Maximiliani, S.Ked.
71 2017 011

Pembimbing:
dr. Fahriza Utama, Sp.B., FINACS., FICS,

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Referat yang Berjudul:


Kolelitiasis

Oleh
Istiqomah Maximiliani, S.Ked
71 2017 011

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior (KKS) di Bagian Ilmu Penyakit Bedah Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang periode
Juli 2018.

Palembang, Juli 2018


Pembimbing,

Dr. Fahriza Utama, Sp.B., FINACS, FICS

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Semesta Alam, Allah SWT, atas nikmat dan
karunia-Nya. Sholawat beriring salam selalu tercurah kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW.
Penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan selama pengerjaan Bed
Site Teaching, yang berjudul “Kolelitiasis” ini kepada Dr. Fahriza Utama, Sp.B.,
FINACS, FICS.
dan terakhir, bagi semua pihak yang terlibat, baik secara langsung
maupun tidak langsung, rela maupun tidak rela, yang tidak dapat penulis sebutkan
satu-persatu, penulis haturkan terima kasih atas bantuannya hingga referat ini
dapat terselesaikan. Semoga bantuan yang telah diberikan mendapatkan imbalan
setimpal dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa didalam laporan kasus ini masih banyak
kekurangan baik dalam penulisan maupun isi laporan kasus. Karena itu, Penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya laporan
kasus ini. Penulis berharap laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Palembang, Juli 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ ii
KATA PENGANTAR....................................................................................... iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv

BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1

BAB II. STATUS PASIEN


2.1 Identifikasi................................................................................................. 2
2.2 Anamnesis ................................................................................................. 2
2.3 Pemeriksaan fisik...................................................................................... 3
2.4 Diagnosis kerja.......................................................................................... 6
2.5 Diagnosis Banding.................................................................................... 6
2.6 Tatalaksana............................................................................................... 7
2.6 Prognosis .................................................................................................. 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Pengertian.................................................................................................. 8
2.2 Anatomi ................................................................................................... 8
2.3 Fisiologi Saluran Empedu........................................................................ 10
2.4 Klasifikasi Batu Empedu........................................................................... 13
2.5 Epidemiologi............................................................................................ 16
2.6 Etiologi...................................................................................................... 17
2.7 Patofisiologi.............................................................................................. 18
2.8 Manifestasi Klinis ..................................................................................... 19
2.9 Diagnosis Banding..................................................................................... 21
2.10 Diagnosis................................................................................................... 23
2.11 Tatalaksana................................................................................................. 27
2.12 Komplikasi................................................................................................. 31
2.13 Prognosis................................................................................................... 32

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 33

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit batu empedu merupakan salah satu penyakit abdomen paling banyak
yang menyebabkan pasien datang ke rumah sakit. Prevalensi batu kandung empedu
telah mengalami peningkatan setiap tahunnya. Banyak faktor yang mempengaruhi
pembentukan batu empedu diantaranya pola hidup, genetik, dan infeksi.1 Penyakit
batu empedu sering terjadi di negara barat terutama di negara industri dengan angka
insidens mencapai 20%, sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian di
klinis, sementara publikasi penelitian batu empedu masih terbatas.1,2
Kolelithisis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam di
dalam kandung empedu atau saluran empedu, atau kedua-duanya. Sebagian besar batu
empedu terbentuk di dalam kandung empedu.
Batu empedu umumnya ditemukan di dalam kandung empedu, tetapi batu
tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu menjadi
batu saluran empedu (koledokolithiasis) dan disebut batu saluran empedu sekunder,
yang insidensinya mencapai 10-15% di negara Barat.1,2
Perjalanan batu saluran empedu sekunder belum begitu jelas, tetapi komplikasi
akan lebih sering terjadi dan semakin berat dibandingkan batu pada kandung empedu
asimptomatik. Komplikasi yang sering terjadi adalah radang kandung empedu
(kolesistitis), yang 90% disebabkan oleh batu kandung empedu, terutama yang
terletak di duktus sistikus. Distribusi jenis kelamin untuk batu empedu adalah 2-3 kali
lebih sering pada perempuan dibandingkan laki-laki, sehingga insidens kolesistitis
calculous juga lebih tinggi pada wanita.2,3
BAB II
STATUS PASIEN

2.1 Identitas Pasien


Nama : Napsa Bin A Hamid
Tanggal Lahir : 2 April 1960
Usia : 58 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Alamat : Jl. Bunggur No. 47 Jakabaring Palembang
Tanggal Periksa : 24/07/2018
No.RM :15-49-43

2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan Utama (Autoanamnesis dan Aloanamnesis pada 24/07/2018, pukul
18:30WIB)
Nyeri perut kanan atas dan ulu hati yang hilang timbul dan menjalar ke Bahu
sejak  1 tahun yang lalu

2.2.2 Keluhan Tambahan


Mual dan muntah

2.2.3 Riwayat Perjalanan Penyakit


Sejak 1 tahun SMRS, pasien mengeluh nyeri perut kanan atas dan ulu hati.
Nyeri dirasakan hilang timbul. Nyeri menjalar ke bahu bagian belakang. Nyeri perut
bertambah setelah penderita makan makanan terutama saat makan makanan bersantan
dan berlemak. Pasien mengeluh mual dan muntah serta demam saat nyeri kambuh.
Saat nyeri kambuh, Nyeri dirasakan selama 30-60 menit. Pasien menyangkal adanya
mata dan kulit kuning. nyeri pada pinggang belakang (-), penurunan berat badan (-),
nafsu makan menurun (-), perut membesar (-). BAK seperti teh tua (-), frekuensi
normal 3-4x sehari, nyeri saat BAK (-), BAK batu (-). Warna BAB seperti dempul (-),
frekuensi normal (1-2x sehari).
Pasien memiliki riwayat sakit maag, setelah mengkonsumsi obat maag
keluhan mual berkurang. Pasien memiliki riwayat sering memakan makanan yang
berlemak seperti gorengan., sate dan makanan bersantan.
Keluhan nyeri semakin bertambah pada bulan mei 2018 sehingga pasien
berobat ke poli penyakit dalam dan mendapat rujukan ke poli bedah.

2.2.4 Riwayat pengobatan


Sebelumnya pasien hanya minum obat maag dan penghilang rasa sakit, namun
pasien merasa keluhan bertambah sehingga pasien datang ke poli pdl RSMP.

2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu


1. Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama sebelumnya disangkal
2. Riwayat sakit kuning sebelumnya disangkal
3. Riwayat konsumsi alkohol disangkal.
4. Riwayat penyakit DM disangkal
5. Pasien memiliki Riwayat Sakit maag
6. Riwayat mengalami trauma pada perut kanan atas disangkal
7. Riwayat operasi disangkal
8. Riwayat mengkonsumsi obat-obatan disangkal

2.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat sakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga disangkal

2.3 Pemeriksaan Fisik


2.3.1Status Generalis
Keadaan Umum
Keadaan Umum : Tampak Sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 110/80mmHg
Nadi : 83 x/menit
Suhu : 36.6°C
Pernapasan : 22x/menit
Keadaan Spesifik
Kepala : Normocephali
Wajah : Tidak tampak pucat, kuning ataupun kemerahan
Mata : Konjungtiva Anemis (-/-)
Sklera Ikterik (-/-)
Pupil isokor 3mm/3mm,
Refleks cahaya (+/+)
Hidung : Rhinorea (–)
Deformitas (-)
Mukosa hiperemis (-)
Nafas Cuping Hidung (–)
Telinga : Otorea (-) Nyeri tekan tragus (-) pendengaran baik
Mulut : kering (-) Sianosis (-) farynk hiperemis (-) lidah
kotor (-) gusi berdarah (-) bau pernafasan khas (-)
Tonsil T1/T1
Leher : JVP 5-2 CmH20, perbesaran KGB (-)
Thoraks
a. Paru
- Inspeksi : statis kanan sama dengan kiri, dinamis: tidak ada yang
tertinggal, sela iga melebar (-), retraksi intercostae (-),
benjolan (-)
- Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri, benjolan (-),
nyeri tekan (-)
- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru kanan kiri, batas paru
hepar ICS V linea midclavicula dextra
- Auskultasi :Vesikuler (+/+) normal, ronki kasar (-/-),wheezing (-/-)
b. Jantung
- Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak, vonsure cardiac (-)
- Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
- Perkusi : Atas : ICS II linea sternalis sinistra
Kanan bawah : ICS V linea parasternalis dextra
Kiri bawah : ICS VI linea midclavicula sinistra
- Auskultasi : HR: 86x/menit,BJ I & II (+) N, murmur (-), Gallop (-)
c. Abdomen:
Inspeksi : Datar, lemas, caput medusa (-), spider nevi (-), hematom(-)
warna kulit sama dengan sekitar, scar (-) , jejas (-)
Auskultasi : Bising Usus (+)
Palpasi : Massa Tumor (-), Nyeri Tekan (+) Kuadran Kanan atas
dan ulu hati, murphy sign (-), Defans muscular (-),
Hepar / Lien tidak teraba,
Perkusi : Timpani, Ascites (-), Nyeri Ketok CVA (-/-)
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), CRT < 2dtk

2.3.2 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan darah rutin tanggal 17/07/2018

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi


Hb 11,3 g/dl 12-16 g/dl Normal
Hematokrit 36,7% P: 37-47% Normal
Masa 8 menit <15 menit Normal
Pembekuan/ CT
Masa 3 menit <6 menit Normal
Pendarahan/BT
Bilirubin Total 0,5 mg/dl 0,1-1,1 mg/dl Normal
Bilirubin Direk 0,1 mg/dl 0,1-0,4 mg/dl Normal
Bilirubin Indirek 0,4 mg/dl 0,2-0,7 mg/dl Normal
SGOT 21 U/l 0- 35 U/l Normal
SGPT 12 U/l 0- 35 U/l Normal
GDS 89 mg/dl 70-140 mg/dl Normal
HBsAg Negatif Negatif Normal

Pemeriksaan USG (21/05/2018)


Hasil:
 Hepar: tidak membesar, parenkim homogen, tak tampak nodul, tepi tajam
 Kandung Empedu: dinding rata, tak tampak pelebaran saluran empedu,
batu (+) multiple berbagai ukuran
 Pankreas: ukuran normal, parenkim homogen
 Ginjal Kanan: ukuran normal, batas sinus parenkim tegas, pelvikaliseal
tidak melebar, tak tampak batu
 Ginjal kiri: Ukuran normal, batas sinus parenkim tegas, pelvikaliseal tidak
melebar, tak tampak batu
 Spleen: tidak membesar, parenkim homogen
 Vesika urinaria: dinding rata, tidak menebal, tak tampak batu
 KGB para aorta: tidak membesar
 Uterus: tidak membesar, homogen

Kesan : Kolelitiasis multiple berbagai ukuran

2.4 Diagnosis Kerja


Kolelitiasis

2.5 Diagnosa Banding

Kolelithiasis
Koledokolithiasis
Kolangitis
Ulkus peptikum
Abses hepar
Pankreatitis
Kanker kandung empedu
pyelonefritis

2.6 Penatalaksanaan

Pro-kolesistektomi per laparoskopi

2.7 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian1,2,3,5,6
Cholelithiasis merupakan adanya atau pembentukan batu empedu; batu ini
mungkin terdapat dalam kandung empedu (cholecystolithiasis) atau dalam ductus
choledochus (choledocholithiasis). Kolelitiasis (kalkuli/kalkulus, batu empedu)
merupakan suatu keadaan dimana terdapatnya batu empedu di dalam kandung
empedu (vesica fellea) yang memiliki ukuran,bentuk dan komposisi yang bervariasi.
Kolelitiasis lebih sering dijumpai pada individu berusia diatas 40 tahun
terutama pada wanita dikarenakan memiliki faktor resiko,yaitu: obesitas, usia lanjut,
diet tinggi lemak dan genetik.
Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah kolelitiasis
dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung
empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip
batu yang terbentuk di dalam kandung empedu.

Gambar 1. Batu kandung empedu


—-GmaGGam
2.2 Anatomi1,2,3,5,6

Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang
terletak pada permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 – 10 cm. Kapasitasnya
sekitar 30-50 cc dan dalam keadaan terobstruksi dapat menggembung sampai 300 cc.
Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan
biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar yang dimana fundus berhubungan
dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus
bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri.
Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam omentum minus
untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis membentuk duktus
koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea dengan sempurna
menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral hati.
Duktus sistikus berjalan dari hati ke arah kandung empedu, panjangnya 1-2
cm, diameter 2-3 cm, diliputi permukaan dalam dengan mukosa yang banyak sekali
membentuk duplikasi (lipatan-lipatan) yang disebut Valve of Heister, yang mengatur
pasase bile ke dalam kandung empedu dan menahan alirannya dari kandung empedu.4
Saluran empedu ekstrahepatik terletak di dalam ligamentum hepatoduodenale
dengan batas atas porta hepatis sedangkan batas bawahnya distal papila Vateri.
Bagian hulu saluran empedu intrahepatik bermuara ke saluran yang paling kecil yang
disebut kanikulus empedu yang meneruskan curahan sekresi empedu melalui duktus
interlobaris ke duktus lobaris dan selanjutkan ke duktus hepatikus di hilus.
Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm.
Panjang duktus hepatikus komunis sangat bervariasi bergantung pada letak muara
duktus sistikus. Duktus choledochus berjalan menuju duodenum dari sebelah
belakang, akan menembus pankreas dan bermuara di sebelah medial dari duodenum
descendens. Dalam keadaan normal, duktus choledochus akan bergabung dengan
duktus pancreaticus Wirsungi (baru mengeluarkan isinya ke duodenum) Tapi ada juga
keadaan di mana masing-masing mengeluarkan isinya, pada umumnya bergabung
dulu. Pada pertemuan (muara) duktus choledochus ke dalam duodenum, disebut
choledochoduodenal junction. Tempat muaranya ini disebut Papilla Vatteri. Ujung
distalnya dikelilingi oleh sfingter Oddi, yang mengatur aliran empedu ke dalam
duodenum.
Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri hepatica
kanan. Vena cystica mengalirkan darah langsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri
yang sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu.
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat
collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici
hepaticum sepanjang perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus.
Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari plexus coeliacus.
Gambar 2. Anatomi vesica fellea dan organ sekitarnya.

2.3 Fisiologi Saluran Empedu1,2,5,6

Vesica fellea berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar 50


ml. Vesica fellea mempunya kemampuan memekatkan empedu, dan untuk membantu
proses ini, mukosanya mempunyai lipatan-lipatan permanen yang satu sama lain
saling berhubungan. Sehingga permukaannya tampak seperti sarang tawon. Sel- sel
thorak yang membatasinya juga mempunyai banyak mikrovilli.
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian
disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris.
Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri.
Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum
mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus yang
berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum.
Menurut Guyton &Hall, 1997 empedu melakukan dua fungsi penting yaitu:
 Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak,
karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu
membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel
yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam getah
pankreas, Asam empedu membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak
yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal.
 Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk
buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari
penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel
hati.

Gambar 3. Posisi anatomis dari vesica fellea dan organ sekitarnya


Pengosongan Kandung Empedu3,5,6
Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung
empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak kedalam
duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa
duodenum, hormon kemudian masuk kedalam darah, menyebabkan kandung empedu
berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal duktus
coledokus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya empedu yang
kental ke dalam duodenum. Garam – garam empedu dalam cairan empedu penting
untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi
lemak. Proses koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu:
a) Hormonal
Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan
merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan terlepas.
Hormon ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung
empedu.
b) Neurogen:
Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi
cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan
kontraksi dari kandung empedu.
Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke
duodenum dan mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan
dimana kandung empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar
walaupun sedikit. Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan
neurologis maupun hormonal memegang peran penting dalam
perkembangan inti batu.

Tabel 1. Komposisi cairan empedu


Komponen Dari hati Dari kandung empedu

Air 97,5gm % 95 gm %

Garam Empedu 1,1 gm % 6 gm %

Bilirubin 0,04 gm % 0,3 gm %


Kolesterol 0,1 gm % 0,3-0,9 %

Asam lemak 0,12 gm % 0,3-1,2 gm %


Lechitin 0,04 gm % 0,3 gm %
Elektrolit - -

a. Garam Empedu1,3,4,5
Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua
macam yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.
Fungsi garam empedu adalah:
 Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat
dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah
menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.
 Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan
vitamin yang larut dalam lemak.
 Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-
kuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat.
Sebagian besar (90 %) garam empedu dalam lumen usus akan
diabsorbsi kembali oleh mukosa usus sedangkan sisanya akan
dikeluarkan bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi
garam empedu tersebut terjadi di segmen distal dari ilium.
Sehingga bila ada gangguan pada daerah tersebut misalnya
oleh karena radang atau reseksi maka absorbsi garam empedu akan
terganggu.

b. Bilirubin1,3,4,5
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan
globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi
bilverdin yang segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di
dalam plasma terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat
oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80% oleh glukuronide. Bila terjadi
pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada malaria maka
bilirubin yang terbentuk sangat banyak.

2.4 Klasifikasi Batu Empedu3,4,5,6,7

Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di


golongkan atas 3 (tiga) golongan, yaitu:
a) Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%
kolesterol. Batu kolesterol bisa berupa batu kolesterol murni, batu kombinasi,
batu campuran (mixed tone). Kolesterol yang merupakan unsur normal
pembentuk empedu bersifat tidak larut dalam air. Kelarutannya bergantung pada
asam-asam empedu dan lesitin (fosfolipid) dalam empedu. Pada pasien yang
cenderung menderita batu empedu akan terjadi penurunan sintesis asam empedu
dan peningkatan sintesis kolesterol dalam hati; keadaan ini mengakibatkan
supersaturasi getah empedu oleh kolesterol yang kemudian keluar dari getah
empedu,mengendapdan membentuk batu empedu. Getah empedu yang jenuh oleh
kolesterol merupakan predisposisi untuk timbulnya batu empedu dan berperan
sebagai iritan yang menyebabkan perdangan dalam kandung empedu.
Gambar 4. Batu Kolestrol
Proses degenerasi dan adanya penyakit hati

Penurunan fungsi hati

Penyakit gastrointestinal Gangguan metabolisme
↓↓
Mal absorpsi garam empedu ¬ Penurunan sintesis (pembentukan) asam empedu

Peningkatan sintesis kolesterol

Berperan sebagai penunjang
iritan pada kandung empedu ¬ Supersaturasi (kejenuhan) getah empedu oleh
kolesterol
↓↓
Peradangan dalam Peningkatan sekresi kolesterol
kandung empedu
↓↓
Kemudian kolesterol keluar dari getah empedu
Penyakit kandung ↓
empedu (kolesistitis)
Pengendapan kolesterol

Batu empedu
b) Batu kalsium bilirubinan (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung
kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu bilirubin bisa berupa batu
Ca bilirubinat (pigmen kalsium) dan batu pigmen murni. Kemungkinan akan
terbentuk bila pigmen yang tidak terkonjugasi dalam empedu mengadakan
presipitasi (pengendapan) sehingga terjadi batu. Resiko terbentuknya batu
semacam ini semakin besar pada pasien sirosis, hemolisis dan infeksi
percabangan bilier. Batu ini tidak dapat dilarutkan dan harus dikeluarkan
dengan jalan operasi.

Pigmen (bilirubin) tak terkonjugasi dalam empedu



Akibat berkurang atau tidak adanya enzim glokuronil transferase

Presipitasi / pengendapan

Berbentuk batu empedu

Batu tersebut tidak dapat dilarutkan dan harus dikeluarkan dengan jalan
operasi

c) Batu pigmen hitam.


Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan
kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi.

Gambar 5. Batu Pigmen


2.5 Epidemiologi3,4,5,6,7
Di negara barat, batu empedu mengenai 10% orang dewasa. Angka prevalensi
orang dewasa lebih di negara Amerika Latin (20% hingga 40%) dan rendah di negara
Asia (3% hingga 4%).
Pada pemeriksaan autopsy di Amerika, batu kandung empedu ditemukan pada
20% wanita dan 8% pria. Pada pemeriksaan autopsy di Chicago, ditemukan 6,3%
yang menderita kolelitiasis. Sekitar 20% dari penduduk negeri Belanda mengidap
penyakit batu empedu yang bergejala atau yang tidak. Persentase penduduk yang
mengidap penyakit batu empedu pada penduduk Negro Masai ialah 15-50 %. Pada
orang-orang Indian Pima di Amerika Utara, frekuensi batu empedu adalah 80%.
Di Indonesia, kolelitiasis baru mendapatkan perhatian di klinis, sementara
publikasi penelitian batu empedu masih terbatas. Sebagian besar pasien dengan batu
empedu tidak mempunyai keluhan.

Faktor Resiko
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun,
semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan
untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain :
1. Jenis Kelamin.
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon estrogen berpengaruh terhadap
peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang
meningkatkan kadar estrogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis.
Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (estrogen) dapat meningkatkan
kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung
empedu.
2. Usia.
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.
3. Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar
kolestrol dalam kandung empedu pun tinggi dan juga menguras garam empedu
serta mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu
4. Makanan.
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi
gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan
dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
5. Riwayat Keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar
dibandingkan dengan keluarga tanpa riwayat.
6. Aktifitas Fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
7. Penyakit usus halus
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn
disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.
8. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi
untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal.
Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung
empedu.

2.6 Etiologi
a. Batu Kolesterol
Batu kolesterol berhubungan dengan jenis kelamin wanita, ras Eropa,
penduduk asli Amerika, dan penambahan usia. Faktor risiko lainnya :
Obesitas, kehamilan, kandung empedu yang statis, obat, dan keturunan.

Metabolik sindrom, resistensi insulin, tipe 2 DM, hiperlipidemia sangat


berhungan dengan peningkatan sekresi kolesterol dan merupakan faktor
risiko major dari terjadinya batu kolesterol.
Batu kolesterol lebih sering pada wanita dengan kehamilan yang
berulang. Karena tingginya progesterone. Progesteron menurunkan motilitas
kandung empedu, sehingga terjadi retensi dan meningkatnya kosentrasi
empedu pada kandung empedu. Penyebab lain statisnya kandung empedu,
pemberian nutrisi secara parenteral, penurunan berat badan yang cepat (diet,
gastric bypass surgery).
Pemakaian estrogen meningkatkan risiko terjadi batu kolesterol.
Clofibrate atau golongan –fibrate meningkatkan eliminasi kolesterol via
sekresi empedu. Analog somatostatin menurunkan proses pengosongan pada
kandung empedu.4

b. Batu Pigmen

Batu pigmen terjadi pada penderita dengan high heme turnover.


Penyakit hemolisis yang berkaitan dengan batu pigmen adalah sickle cell
anemia, hereditary spherocytosis, dan beta-thalasemia.
Pada penderita sirosis hepatis, hipertensi portal menyebabkan
splenomegali, sehingga meningkatkan hemoglobin turnover. Setengah dari
penderita sirosis memiliki batu pigmen.

2.7 Patofisiologi
Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan
berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigmen dan batu
campuran. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung >
50% kolesterol) atau batu campuran (batu yang mengandung 20-50% kolesterol).
Angka 10% sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana mengandung < 20
kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu antara lain adalah keadaan
statis kandung empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna dan
konsentrasi kalsium dalam kandung empedu.
Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang terbentuk
di dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan
fosfolipid membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi
bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi berpengaruh (kolesterol, kalsium,
bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus untuk pembentukan batu.
Kristal yang yang terbentuk dalam kandung empedu, kemudian lama-kelamaan
kristaltersebut bertambah ukuran,beragregasi, melebur dan membetuk batu. Faktor
motilitas kandung empedu, biliary stasis, dan kandungan empedu merupakan
predisposisi pembentukan batu empedu.

2.8 Manifestasi Klinis3,4,5,6,7


Penderita batu kandung empedu baru memberi keluhan bila batu tersebut
bermigrasi menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus, sehingga gambaran
klinisnya bervariasi dari yang tanpa gejala (asimptomatik), ringan sampai berat karena
adanya komplikasi. Dijumpai nyeri di daerah hipokondrium kanan, yang kadang-
kadang disertai kolik bilier yang timbul menetap/konstan. Rasa nyeri kadang- kadang
dijalarkan sampai di daerah subkapula disertai nausea, vomitus dan dyspepsia,
flatulen dan lain-lain.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan hipokondrium kanan, dapat teraba
pembesaran kandung empedu dan tanda Murphy positif. Dapat juga timbul ikterus.
Ikterus dijumpai pada 20 % kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl).
Apabila kadar bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra
hepatic. Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien. Nyeri
viseral ini berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus sistikus oleh
batu.
Dengan istilah kolik bilier tersirat pengertian bahwa mukosa kandung empedu
tidak memperlihatkan inflamasi akut. Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau
dini hari, berlangsung lama antara 30 – 60 menit, menetap, dan nyeri terutama
timbul di daerah epigastrium. Nyeri dapat menjalar ke abdomen kanan, ke pundak,
punggung, jarang ke abdomen kiri dan dapat menyerupai angina pektoris. Kolik bilier
harus dibedakan dengan gejala dispepsia yang merupakan gejala umum pada banyak
pasien dengan atau tanpa kolelitiasis.
Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat mencegah terjadinya
komplikasi yang berat. Komplikasi dari batu kandung empedu antara lain kolesistitis
akut, kolesistitis kronis, koledokolitiasis, pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier
sekunder, ileus batu empedu, abses hepatik dan peritonitis karena perforasi kandung
empedu. Komplikasi tersebut akan mempersulit penanganannya dan dapat berakibat
fatal. Sebagian besar (90 – 95 %) kasus kolesititis akut disertai kolelitiasis dan
keadaan ini timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan peradangan
organ tersebut.
Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis dan telah
sering mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut. Keadaan ini
menyebabkan penebalan dan fibrosis kandung empedu dan pada 15 % pasien disertai
penyakit lain seperti koledo kolitiasis, panleneatitis dan kolongitis.
Batu kandung empedu dapat migrasi masuk ke duktus koledokus melalui duktus
sistikus (koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga terbentuk di dalam
saluran empedu (koledokolitiasis primer). Perjalanan penyakit koledokolitiasis sangat
bervariasi dan sulit diramalkan yaitu mulai dari tanpa gejala sampai dengan
timbulnya ikterus obstruktif yang nyata.
Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan tanpa
menimbulkan gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri sehingga
timbul pankreatitis akut dan lalu masuk ke duodenum (gallstone pancreatitis). BSE
yang tidak keluar spontan akan tetap berada dalam saluran empedu dan dapat
membesar. Gambaran klinis koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti ikterus
obstruktif, kolangitis dan pankreatitis.
2.9 Diagnosis Banding2,3,6

Kondisi Gejala dan Riwayat Pemeriksaan


Kolelitiasis  Asimptomatik USG

 Simptomatik

Nyeri Epigastrium,
kuadran kanan atas,
kolik bilier mual
muntah

Murphy sign+/-
Koledokolitiasis  Tidak menimbulkan  USG
gejala dalam fase
tenang  Pelebaran saluran
empedu
 nyeri atau kolik di
epigastrium

Kolangitis  Trias Charchod Leukosit 


Alkaline fosfat
1. demam dan /
Bilirubin 
atau bukti Gamma GT
inflamasi SGOT, SGPT
USG
2. penyakit kuning
Batu kandung empedu
dan Hasil tes
Pelebaran salurun empesu
fungsi hati yang
abnormal
seperti
kolestasis

3. riwayat
penyakit
empedu
Kolesistitis  Kolik perut di Leukosit 
sebelah kanan atas Alkaline fosfat
epigastrium dan SGOT, SGPT
nyeri tekan Bilirubin 
USG
 Murphy sign (+) penebalan dinding kandung
empedu, batu pada empedu
 Demam

Ulkus peptikum  Perasaan terbakar EGD: peptic ulcer


pada perut baguan
H. Pylori Stool test
atas, terutama saat
mungkin positif apabila
sedang makan dan
penyebabnya adalah
berkurang saat
H.Pylori
mengkonsumsi
antasida

 Riwayat penggunaan
NSAID jangka
panjang

 Merokok

 Riwayat penyakit
dengan keluhan yang
sama pada keluarga

Kanker kantung empedu Dapat muncul pada CT abdomen : lesi massa


jaundice tanpa nyeri atau intra hepatik, dilatasi
disertai dengan penurunan saluran intrahepatik, dan
berat badan, serta kadang atau mungkin disertai
terdapat nyeri perut bagian dengan limadenopati.
atas pada fase lanjut
Kelainan pada spingter Riwayat operasi ERCP dengan manometri
Oddi kolisistektomi bilier , tidak ada batu dan
terdapat sludge
(microlithiasis)
Akut pankreatitis non Riwayat penggunaan  Trigliserida meningkat
bilier alkohol, atau post operasi (> 1000 mg/dL)
endoskopi traktus bilier
menggunakan endoskopi  Peningkatan calsium

dalam waktu dekat.


 IgG4: untuk
pankreatitis akibat
autoimun

Abses Hepar  Nyeri Perut Kanan Leukosit 


Atas, Rasa seperti LED
tertusuk Alkaline fosfat
 Ludwig Sign (+), khas Bilirubin 
 Hepatomegali SGOT, SGPT
Anemia ringan
 Abses (kistik/keras)
 Kultur (gold standar)

 USG

Pyelonefritis  ISK bagian atas  Pem. Bimanual


secara klasik
Teraba pembesaran
ditunjukan oleh
ginjal
demam, nyeri
pinggang, dan LED
gejala saluran Ureum 
kemih bagian Kreatinin
bawah (disuria,
kencing sedikit – BUN 

sedikit dan sering

 Nyeri pinggang

 Nyeri Ketok CVA


+

2.10 Diagnosis1,2,3,4,5,6
a. Anamnesis

Setengah sampai dua pertiga penderita kolelitiasis adalah asimptomatis.


Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran
terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa
nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa
nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15
menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri
kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak
bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita
melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau
terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu
menarik nafas dalam.

b. Pemeriksaan Fisik
i. Batu kandung empedu
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan
komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau
umum, hidrop kandung empedu, empiema kandung empedu, atau
pankretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan
punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu.
Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu
penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang
meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti
menarik nafas.
ii. Batu saluran empedu
Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang.
Kadang hati teraba dan sklera ikterik. Perlu diketahui bahwa bila kadar
bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila
sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.

c. Pemeriksaan Penunjang1,2,3,5
1. Pemeriksaan laboratorium

Batu kandung empedu yang asimptomatik umumnya tidak


menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila
terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi
sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum
akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum
yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus.
Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum
biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut.

 Kenaikan serum kolesterol


 Kenaikan fosfolipid
 Penurunan ester kolesterol
 Kenaikan protrombin serum time
 Kenaikan bilirubin total, transaminase
 Penurunan urobilirubin
 Peningkatan sel darah putih
 Peningkatan serum amilase, bila pankreas terlibat atau bila ada batu
di duktus utama.

2. Pemeriksaan radiologis
 Foto polos Abdomen

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran


yang khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu
yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang
mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat
dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu
yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat
sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang
menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.
Gambar 6. Rontgen dan USG pada kolelitiasis

USG mempunyai derajat spesifitas dan sensitivitas yang tinggi


untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran
empedu ekstrahepatik dan intrahepatik. Dengan USG juga
dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena
fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun
sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal
kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus.
Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung
empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.
 Kolesistograf

Gambar 7. Batu kandung empedu

Untuk penderita tertentu, kolesistograf dengan kontras cukup


baik karena relatif murah dan sederhana untuk melihat batu
radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu.
Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik,
muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus,
dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras
tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih
bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.

2.11 Penatalaksanaan1,2,3,5,6
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan.
Nyeri yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari
atau mengurangi makanan berlemak.
Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu
penatalaksanaan non bedah dan bedah. Ada juga yang membagi
berdasarkan ada tidaknya gejala yang menyertai kolelitiasis, yaitu
penatalaksanaan pada kolelitiasis simptomatik dan kolelitiasis yang
asimptomatik.
A. Penatalaksanaan Non-Bedah
Pada orang dewasa alternatif terapi non bedah meliputi penghancuran
batu dengan obat-obatan seperti chenodeoxycholic atau ursodeoxycholic
acid.Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu dengan
pemberian obat- obatan oral. Ursodeoxycholic acid lebih dipilih dalam
pengobatan daripada chenodeoxycholic karena efek samping yang lebih
banyak pada penggunaan chenodeoxycholic seperti terjadinya diare,
peningkatan aminotransfrase dan hiperkolesterolemia sedang. Pemberian
obat-obatan ini dapat menghancurkan batu pada 60% pasien dengan
kolelitiasis, terutama batu yang kecil. Angka kekambuhan mencapai lebih
kurang 10%, terjadi dalam 3-5 tahun setelah terapi. Pada anak-anak terapi
ini tidak dianjurkan, kecuali pada anak-anak dengan risiko tinggi untuk
menjalani operasi.

B. Penatalaksanaan Bedah
a) Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien
denga kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna
yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada
0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini
kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk
kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh
kolesistitis akut.
b) Kolesistektomi laparaskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik
tanpa adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya
pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini
pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus
koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan
prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di
rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat
kembali bekerja, nyeri
menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum
terpecahkan adalah kemanan dari prosedur ini, berhubungan
dengan insiden komplikasi 6r seperti cedera duktus biliaris yang
mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi
laparaskopi.
Gambar 2.11: Tindakan kolesistektomi terbuka dan kolesistektomi
laparaskopy
c) Disolusi kontak

Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk menghancurkan


batu kolesterol dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam
kandung empedu melalui kateter perkutaneus melalui hepar atau
alternatif lain melalui kateter nasobilier. Larutan yang dipakai adalah
methyl terbutyl eter. Larutan ini dimasukkan dengan suatu alat khusus
ke dalam kandung empedu dan biasanya mampu menghancurkan batu
kandung empedu dalam 24 jam. Kelemahan teknik ini hanya mampu
digunakan untuk kasus dengan batu yang kolesterol yang radiolusen.
Larutan yang digunakan dapat menyebabkan iritasi mukosa, sedasi
ringan dan adanya kekambuhan terbentuknya kembali batu kandung
empedu.

Gambar 8. disolusi kontak


d) Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL) menggunakan
gelombang suara dengan amplitudo tinggi untuk menghancurkan batu
pada kandung empedu. Pasien dengan batu yang soliter merupakan
indikasi terbaik untuk dilaskukan metode ini. Namun pada anak-anak
penggunaan metode ini tidak direkomendasikan, mungkin karena
angka kekambuhan yang tinggi.

Gambar 9. extracorporeal shock wave lithotripsy

Penatalaksanaan Diet

Pada kasus kolelitiasis jumlah kolesterol dalam empedu ditentukan


oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis
kolesterol dari metabolisme lemak, sehingga klien dianjurkan/dibatasi
dengan makanan cair rendah lemak. Menghindari kolesterol yang
tinggi terutama yang berasal dari lemak hewani. Suplemen bubuk
tinggi protein dan karbohidrat dapat diaduk ke dalam susu skim dan
adapun makanan tambahan seperti: buah yang dimasak, nasi ketela,
daging tanpa lemak, sayuran yang tidak membentuk gas, roti, kopi/teh.
2.12 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis:

Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan


mengakibatkan/ menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang
tadi ada dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus
sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu
menutupi duktus sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi
mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema,
biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon,
omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel kolesistoduodenal.
Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut
yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding
(dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel
kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang
berakibat terjadinya peritonitis generalisata.

Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada
saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus
koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan
kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya
ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis. Batu kandung
empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel
kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pad
bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus
obstruksi.

2.13 Prognosis

Untuk penderita dengan ukuran batu yang kecil, pemeriksaan serial USG
diperlukan untuk mengetahui perkembangan dari batu tersebut. Batu bisa
menghilang secara spontan. Untuk batu besar masih merupakan masalah,
karena merupakan risiko terbentuknya karsinoma kandung empedu
(ukuran lebih dari 2 cm). Karena risiko tersebut, dianjurkan untuk
mengambil batu tersebut. Pada anak yang menderita penyakit hemolitik,
pembentukan batu pigmen akan semakin memburuk dengan
bertambahnya umur penderita, dianjurkan untuk melakukan
kolesistektomi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Beckingham IJ, Gallstone Disease In : ABC of Liver, Pancreas and Gall


Bladder, BMJ Books, London, 2001

2. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of


Surgery) Edisi 6, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2000

3. Sherwood L, Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem Edisi 2, Penerbit Buku


Kedokteran EGC, Jakarta, 2001
4. Corwin EJ, Buku Saku Patofisiologi, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,
2001
5. Guyton AC, Hall JE, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, 2007

6. Swartz MH, Buku Ajar Diagnostik Fisik, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta, 1995

7. Sjamsuhidajat R, de Jong W, Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2, Penerbit Buku


Kedokteran EGC, Jakarta, 2005
8. Mc Glynn TJ, Burnside JW, Adam’s Diagnosis Fisik, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, 1995
9. Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL,
Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 4 Edisi 13, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2000

Anda mungkin juga menyukai