Anda di halaman 1dari 6

STEP 7 :

1. Mekanisme terjadinya jantung berdebar-debar?


- Analisa dari etiologi bisa terjadi karena obat-obatan atau adanya kelainan dari
jantung sendiri (iskemik,dll) atau adanya kelainan jantung yang lain atau diluar
rangsangan pacemaker (bisa atrial, junctional, ventrikular, sinus) jantung
berdebar  masalah atrial (pacamaker tidak dapat menyalurkan rangsangan)
ventrikel akan bekerja lebih banyak karena tidak adanya kontraksi atrium.
- Jantung mempunyai sistem konduksi yang dipengaruhi sistem otonom (salah
satu penyebab jantung berirama), nodus SA mengalami gangguan  AV
mengambil alih kecepatan dari nodus SAterjadi perubahan irama.

2. Mengapa jantung berdebar-debar muncul ketika olahraga/aktivitas sedang?


- Karena ketika olahraga sel-sel membutuhkan nutrisi sehingga jantung memompa
darah lebih banyak dan merangsang saraf simpatis untuk meningkatkan denyut
jantung.

3. Mengapa pada pemeriksaan EKG didapatkan irregularitas interval kompleks


gelombang QRS?

Sistematika interpretasi EKG : pedoman praktis/Surya Sharma. Jakarta : EGC, 2009

4. Hubungan riawayat hipertensi dengan keluhan yang ada di skenario (jantung


berdebar)
- tekanan darah hasil perkalian dari Co dan tahanan perifer, apabila Co meningkat
 tahanan perifer meningkat  tekanan darah meningkat.
- Hipertensi bisa meningkatkan resiko arteri koroner dan dapat menyebabkan
ventrikel lebih tebal dan kaku  ventrikel bekerja lebih keras untuk memompa
darah  banyak darah yang dikeluarkan  tekanan darah meningkat  HR
meningkat  menyebabkan jantung berdebar.

5. Mengapa dokter menghitung stratifikasi risiko stroke dan tromboemboli?


- Salah satu faktor resiko adalah hipertensi
- Tromboemboli merupakan komplikasi dari DD di skenario, salah satu terapi dari
aritimia adalah kardioversi (eletrik & farmako) kardioversi eletrik yaitu dengan
kejut jantung menyebabkan tromboemboli , sehingga pada saat terapi harus
disertai dengan koagulan (heparin).

6. Apa hubungannya hipertensi, tromboemboli dan berisiko untuk pendarahan?


- Awalnya dikarenakan hipertensi (tekanan tinggi, tahan perifer tinggi) karena
adanya tromboemboli peningkatan semakin tinggi sehingga bisa terjadi
perdarahan.
- Aneurisme : pembuluh darah terjadi sumbatan maka jalur darah semakin kecil
disertai hipertensi sehingga terjadi dilatasi sehingga sumbatan membesar lama
kelamaan akan pecah sehingga terjadi perdarahan.

7. Mengapa di dapatkan vital sign yang seperti itu dan hubungannya dengan keluhan
pasien?
- Tekanan darah tinggi karena adanya hipertensi.
- Frekuensi nadi irreguler karena antara atrium dan ventrikel memompa tidak
seirama karena adanya kelainan di atrium.

8. Bagaimana cara menghitung stratifikasi risiko stroke dan tromboemboli?


9. Penegakkan diagnosis (anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang,
diagnosis, DD)
At a glance anamnesis

10. Epidemiologi
Fibrilasi atrium (atrial fibrillation, AF) adalah takikardia supraventrikular dengan karakteristik
aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi. AF adalah gangguan irama yang paling sering ditemukan
dalam praktek sehari-hari. AF dialami oleh 1-2% populasi dan meningkat dalam 50 tahun ke
depan. Di Amerika Serikat diperkirakan 2,3 juta penduduk menderita AF dengan >10% berusia di
atas 65 tahun dan diperkirakan akan terus bertambah menjadi 4,78 juta pada tahun 2035. AF
digambarkan sebagai suatu epidemi kardiovaskular yang menyebabkan beban ekonomi pada
negara berkembang.
http://www.kalbemed.com/Portals/6/06_202Tata%20Laksana%20Fibrilasi
%20Atrium-Kontrol%20Irama%20atau%20Laju%20Jantung.pdf
11. Prognosis
PROGNOSIS
Penelitian epidemiologi telah menunjukan bahwa pasien dengan irama sinus hidup lebih
lama dibandingkan dengan seseorang kelainan atrium. Penelitian juga menunjukkan
penggunaan antikoagulan dan pengontrolan secara rutin bertuuan untuk asimtomatik pada
pasien usia lanjut. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa terapi medis yang ditujukan
untuk mengendalikan irama jantung tidak menghasilkan keuntungan keberhasilan
dibandingkan dengan terapi kontrol rate dan antikoagulan.Terapi AF secara keseluruhan
memberikan prognosis yang lebih baik pada kejadian tromboemboli terutama stroke. AF
dapat mencetuskan takikardi cardiomiopati bila tidak terkontrol dengan baik. Terbentuknya
AF dapat menyebabkan gagal jantung pada individu yang bergantung pada komponen
atrium dari cardiac output dimana pasien dengan penyakit jantung hipertensi dan pada
pasien dengan penyakit katup jantung termasuk dalam resiko tingi akan terjadinya gagal
jantung saat terjadi AF.

Gray H. 2005. Lecture Notes Kardiologi. Erlangga. Jakarta

12. Penatalaksanaan dari skenario

penatalaksana AF berdasarkan Standar Pelayanan Medik (SPM) Rumah Sakit Jantung


dan Pembuluh Darah Harapan Kita Edisi III (Ed: Irmalita et al, 2009) yaitu:

2.3.1        Medikamentosa
a.      Rhythm control, tujuannya adalah untuk mengembalikan ke irama sinus sehingga
memungkinkan penderita terbebas dari tromboemboli dan takikardiomiopati. Dapat
diberikan anti-aritmia golongan I seperti quinidine, disopiramide dan propafenon.
Untuk golongan III dapat diberikan amiodaron. Dapat juga dikombinasi dengan
kardioversi dengan DC shock (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et
al, 2009). Pengembalian irama sinus dengan obat-obatan (amiodaron, flekainid, atau
sotalol) bisa mengubah AF menjadi irama sinus atau mencegah episode AF lebih
jalnjt. Antikoagulasi untuk mencehag tromboembolik sistemik (Patrick, 2002).
b.       Rate control dan pemberian antikoagulan di lakukan dengan pemberian obat-obat
yang bekerja pada AV node dapat berupa digitalis, verapamil, dan obat penyekat beta
(β bloker). Amiodaron dapat juga digunakan untuk rate control. Namun pemberian
obat-obat tersebut harus hati-hati pada pasien dengan AF disertai  hipertrovi ventrikel.
Pemeriksaan ekokardiografi bisa membantu sebelum pemberian obat-obat tersebut
(Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009).  
Pemberian obat-obat tersebut dapat membentu pengendalian denyut dengan
menurunkan kecepatan ventrikel dengan mengurangi konduksi nodus AV
menggunakan digoksin, B bloker, atau antagonis kanal kalsium tertentu. Namun
kadang AF sendiri tidak menghilang sehingga pasien membutuhkan digoksin untuk
memperlambat repon ventrikel terhadap AF saat istirahat dan β bloker untuk
memperlambat denyut ventrikel selama olahraga (Patrick, 2002).
2.3.2        Non-farmakologi (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al,
2009)
a.       Kardioversi eksternal dengan DC shock dapat dilakukan pada setiap penderita AF.
Jika pasien mengalami AF sekunder, penyakit penyerta harus dikoreksi terlebih
dahulu. Jika AF lebih dari 48 jam maka harus diberikan antikoagulan selama 4
minggu dan 3 minggu pasca kardioversi untuk mencegah terjadinya stroke akibat
emboli. Pemeriksaan trnasesofagus echo dapat direkomendasikan sebelum melakukan
kardioversi dengan DC shock jika pemberian antikoagulan belum dapat diberikan
untuk memastikan tidak adanya thrombus diatrium.
b.      Pemasangan pacu jantung untuk mencegah AF dapat diberikan. Penelitian
menunjukkan pemasangan pacu jantung kamar ganda lebih dapat mencegah episode
AF dibandingkan pemasangan pacu jantung kamar tunggal. Dan akhir-akhir ini
pemasangan lead atrium pada lokasi Bachman Bundle atau di septum atrium bagian
bawah dapat mencegah terjadinya AF (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto,
Hananto et al, 2009).  
c.       Ablasi kateter untuk mengubah ke irama sinus dengan isolasi vena pulmonary  dapat
dilakukan.  
d.      Ablasi AV node dan pemasangan pascu jantung permanen (VVIR). Teknik ini
digunakan terutama pada penderita AF permanen dan penderita masih menggunakan
obat antikoagulan.
e.       Pembedahan diperlukan dengan operasi modifikasi Maze. Hal ini dapat dilakukan
sekaligus pada pasien dengan kelainan katub mitral (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono,
Indriwanto, Hananto et al, 2009)

Irmalita, Nani, H., Ismoyono, Indriwanto, S., Hananto, A., Iwan, D., Daniel, P. L. T., Dafsah, A. J.,
Surya, D., Isman, F. (Ed). (2009). Standar Pelayanan Medik (SPM) Rumah Sakit Jantung dan
Pembuluh Darah Harapan Kita Edisi III. Jakarta: RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan
Kita Jakarta

13. Klasifikasi Disritmia :


Kumpulan kuliah farmakologi/ staf pengajar departemen farmakologi, Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya, ed. 2, Jakarta: EGC, 2008.

Anda mungkin juga menyukai