FARMAKOKINETIK
Farmakokinetik merupakan fase farmakologi dimana obat yang dimasukkan ke dalam
tubuh mengalami serangkai peristiwa yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi
(ADME) untuk mencapai kerja obat tersebut. Setelah mengalami serangkaian peristiwa diatas
dan menimbulkan efek, maka obat yang masuk ke dalam tubuh dengan atau tanpa
biotransformasi akan diekskresi dari dalm tubuh. Seluruh proses ini lah yang disebut sebagai
proses farmakokinetik.
2. Distribusi
Distribusi adalah proses yang terjadi setelah obat diabsorbsi oleh tubuh. Pada prose ini
obat akan disebarkan keseluruh tubuh melalui sirkulasi darah.Proses ini dipengaruhi oleh
beberapa hal, yaitu: fungsi vascular(peredaran darah), affinitas terhadap jaringan, ikatan obat
dengan protein plasma, sifat fisikokimia, dan adanya hambatan fisiologis tertentu, seperti abses
atau kanker. Kecepatan distribusi obat dipengaruhi oleh permeabilitas membran kapiler
terhadap molekul obat.
3. Biotransformasi/Metabolisme
1. Faktor Genetik
2. Perbedaan Species
3. Perbedaan Jenis Kelamin
4. Perbedaan umur
5. Penghambatan enzim metabolisme
6. Induksi enzim metabolisme
7. Faktor lainnya (diet, hormonal, kehamilan,dll)
4. Ekskresi
Ekskresi merupakan proses terakhir yang dialami obat dalam tubuh. Pada proses ini
obat akan dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil
biotransformasi ataupu dalm bentuk asalnya. Pada umumnya proses ekskresi terjadi di
ginjal,selanjutnya metabolit obat dapat dikeluarkan dari tubuh melalui urin,keringat, air liur,
airmata, air susu, atau rambut.
Proses Ekskresi obat dapat terjadi melalui:
a. Paru-paru
Obat yang dapat diekskresi melalui paru terutama yang digunakan secara inhalasi.
Kecepatan ekskresi melalui paru sangat dipengaruhi oleh koefisien partisi darah/udara.
b. Ginjal
Ekskresi obat melalui ginjal melibatkan tiga proses:
Filtrasi di glomerulus
Reabsorbsi pasif di tubuli proksimal dan distal
Sekresi aktif di tubuli proksimal
c. Empedu
Obat dengan berat molekul lebih dari 150 dan obat yang telah dimetabolisme menjadi yang
lebih polar dapat diekskresi hati, melewati empedu menuju ke usus dengan metabolisme
aktif dan selanjutnya diekskresikan melalui tinja. Selain itu juga dapat mengalami proses
hidrolisa menjadai senyawa yang dapat diabsorbsi kembali ke plasma darah, kembali ke hati,
dimetabolisis, dikeluarkan melalui empedu menuju ke usus demikian seterusnya. Proses ini
berlangsung menjadi suatu siklus yang disebut Siklus Enterohepatik. Siklus ini dapat
menyebabkan masa kerja obat menjadi lebih panjang.
FARMAKODINAMIK
Farmakodinamik mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia berbagai organ
tubuh serta mekanismenya. Hal ini bertujuan untuk meneliti efek utama obat, interaksi obat
dengan sel dan untuk mengetahuiurutan peristiwa serta spektrum efek dan respon yang terjadi.
1. Mekanisme Kerja Obat
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu organisme.
Interaksi obat dengan reseptor mencetuskan peribahan biokimia dan fisiologi yang
merupakan respon khas untuk obat tersebut. Reseptor obat merupakan komponen
makromolekul fungsional yng mencakup 2 konsep penting
Pertama, bahwa obat dapat mengubah kecepatan kegiataan faal tubuh.
Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi
yang sudah ada.
2. Reseptor
Reseptor yang paling baik adalah protein regulator yang menjembatani kerja dan sinyal
bahan kimia endogen, seperti neurotransmitter, autocoids dan hormon. Selain itu dikenal
juga kelompok protein yang berfungsi sebagai reseptor yaitu enzim, resptor untuk obat
antikanker, protein pembawa dan protein struktural
Reseptor menjembatani kerja antagonis farmakologi. Efek antagonis di dalam tubuh pasien
bergantung pada pencegahan pengikatan molekul agonis dan penghambatan kerja
biologisnya.
3. Transmisi Sinyal Biologis
Penghantaran sinyal biologis ialah proses yang menyebabkan substansi ektraseluler dapat
menimbulkan respon seluleru fisiologis yang spesifik. Sistem ini dimulai dengan pendudukan
resptor oleh transmitor. Kebanyakan messenger ini bersifar polar. Contoh, transmitor untuk
reseptor yang terdapat di membran sel adalah ketakolamin, THR, LH. Sedangkan untuk
reseptor yang terdapat dalam sitoplasma ialah steroid (adrenal dan gonadal), tirosin dan
vitamin D.
4. Interaksi obat
Interaksi obat adalah kerja atau efek obat yang berubah atau mengalami modifikasi sebagai
akibat interaksi obat dengan reseptor, proses kerja obat atau obat yang lain. Interaksi ini
dapat berbentuk saling menguatkan efek terapi obat atau saling bertentangan dengan efek
terapi. Kadang-kadang makanan dapat juga mempengaruhi reaksi obat. Interaksi obat dapat
berupa:
a. Interaksi Obat-Reseptor
b. Interaksi Farmakokinetik
c. Interaksi Farmakodinamik
5. Antagonisme Farmakodinamika
Antagonisme Farmakodinamika dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu: antagonisme fisiologik dan
antagonisme pada reseptor. Antagonisme dapat bersifat kompetitif atau nonkompetitif.
Antagonisme merupakan peristiwa pengurangan atau penghapusan efek suatu obat oleh
obat lain. Obat yang menyebabkan pengurangan efek disebut antagonis, sedangkan obat
yang efeknya dikurangi atau ditiadakan disebut agonis.
6. Kerja obat yang tidak di perantarai resptor
Obat ini bekerja dengan cara mengiubah sifat cairan tubuh, berinteraksi dengan ion atau
molekul kecil atau masuk ke komponen sel.
7. Awitan , Onset dan Durasi kerja Obat
a. Awitan (mula) kerja obat, yaitu waktu yang dibutuhkan obat sampai suatu respon obat
muncul setelah obat diberikan
b. Onset (puncak) kerja obat, yaitu waktu yang dibutuhkan obat sampai konsentrasi efektif
tertinggi dicapai
c. Durasi kerja obat, yaitu lama waktu obat terdapat dalam konsentrasi yang cukup besar
untuk menghasilkan suatu respon
d. Plateau, yaitu konsentrasi serum darah dicapai dan dipertahankan setelah dosis obat
yang sama kembali diberikan
e. Waktu Paruh, yaitu interval waktu yang dibutuhkan tubuh dalam proses eliminasi untuk
mengurangi separih konsentrasi obat di dalam tubuh
8. Efek Obat
Efek Obat adalah fungsi struktur (organ) atau proses atau tingkahlaku organisme akibat kerja
obat. Hal ini dapat berupa:
a. Efek teraupetik, yaitu efek yang diinginkan atau efek tujuan dari medikasi yang diberikan
b. Efek Merugikan, yaitu efek lain selain efek terapi yang diinginkan
c. Efek Samping, yaitu efek merugikan dengan skala kecil. Hal ini dapat berupa efek
samping yang tidak berbahaya dan dapat diabaikan. Namun ada pula yang dapat
membahayakan.
d. Reaksi Hipersensitvitas, terjadi bila klien sensitif terhadap efek pengobatan yang
dilakukan
e. Reaksi Idiosinkratik, yaitu efek yang tidak diperkirakan yang timbul pada pengobatan.
Hal ini dapat berupa klien bereaksi berlebihan, tidak bereaksi atau bereaksi tidak normal
terhadap obat.
f. Toleransi, yaitu reaksi yang terjadi ketika klien mengalami penurunan respon atau tidak
berespon terhadap obat yang diberikan dan membutuhkan penambahan dosis untuk
mencapai efek terapi yang diinginkan.
g. Reaksi alergi, yaitu respon imunologi terhadap medikasi. Tubuh menerima obat sebagai
benad asing, sehingga tubuh akan membentuk antibodi untuk melawan dan
mengeluarkan benda asing tersebut. Akibatnya akan menimbulkan reaksi alergi mulai
dari yang ringan sampai berat. Reaksi alergi ringan dapat berupa: gatal-gatal (urtikaria),
pruritus, rhinitis, kemerahan pada kulit atau lesi. Reaksi ini dapat berkurang setlah klien
menghentikan medikasi atau menggunakan antihistamin. Reaksi yang lebh parah dapat
berupa sesak nafas (wheezing, dispneu), angiodema pada lidah dan orofaring, hipotensi
dan takikardia segera setelah pemberian obat. Reaksi ini disebut reaksi anafilaktik dan
membutuhkan tindakan medis segera karena dapat berakibat fatal. Tindakan yang dapat
dilakukan untuk mengatasi adalah menghentikan pemberian obat tersebut dan segera
diberikan epinefrin, cairan infus (normal saline), steroid dan antihistamin.
h. Toksisitas atau keracunan adalah reaksi yang terjadi karena dosis berlebih atau
penumpukan zat dalam darah akibat gangguan metabolisme atau eksresi. Keracunan
obat dapat dapat mengakibatkan kerusakan pada fungsi organ. Hal yang paling umum
adalah nefrotoksisitas (ginjal), neurotoksisitas (otak), hepatotoksisitas (hepar),
imunotoksisitas (sitem imun) dan kardiotoksisitas (jantung).
PENGGOLONGAN OBAT
Penggolongan obat secara luas didasarkan beberapa hal,yaitu:
a. Jenis
b. Mekanisme kerja obat
c. Tempat atau lokasi pemakaian
d. Cara pemakaian
e. Efek yang ditimbulkan
f. Golongan kerja obat
Obat wajib apotik merupakan obat keras yg dapat diberikan oleh apoteker
pengelola apotek (APA) kepada pasien.
Obat psikotropika, merupakan zat atau obat baik ilmiah atau sintesis, bukan narkotika
yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku
Obat Narkotika, merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri,
dan dapat menimbulkan ketergantungan
Penggolongan obat berdasarkan efek yang ditimbulkan, dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
o Sistemik: Obat atau zat aktif yang masuk ke dalam peredaran darah.
o Lokal: Obat atau zat aktif yang hanya berefek atau menyebar atau
mempengaruhi bagian tertentu tempat obat tersebut berada, seperti pada
hidung, mata, kulit, dan lain lain.
Efek samping tidak dapat dihindari atau dihilangkan sama sekali, tetapi dapat ditekan
atau dicegah seminimal mungkin dengan menghindari factor-faktor resiko yang
sebagian besar sudah diketahui.
Hampir sebagian besar obat memiliki efek samping karena jarang sekali obat yang
beraksi cukup selektif pada target aksi tertentu.
Contohnya, obat anti hipertensi propanolol dapat memicu serangan sesak nafas pada
pasien yang punya riwayat asma.
2. Obat Tipe B
ESO type B (ESO dose Independent) ialah ESO yang merupakan suatu
respon jarang atau tidak umum/jarang terjadi dan tidak dapat diduga
sebelumnya, tetapi lebih berat dan sering bersifat fatal/menyebabkan
kematian.
tidak berhubungan dengan khasiat farmakologik obat, dan tidak
bergantung pada dosis
pengurangan dosis tidak bermanfaat untuk mengurangi efek samping,
karena itu harus segera dihentikan.
Umumnya bersifat imunologik dan dapat timbul sebagai syok anafilaktif
atau hiperfeleksi maligna.
Untuk menghindari dan kewaspadaan terhadap reaksi tipe B ini,
diperlukan data-data berisi informasi mengenai ESO yang telah
dilaporkan dari pengalaman pemakaian obat, atau dari evaluasi
pemakaian obat.
3. Obat Tipe C
- Reaksi yang terkait dengan penggunaan obat jangka lama, contohnya
adalah ketergantungan benzodiazepine,
chloroquine dan analgesik nefropati (kerusakan pada ginjal).
4. Obat Tipe D
Efek samping obat tertunda/lambat yang terjadi beberapa tahun setelah
terapi seperti karsinogen (penyabab kanker) dan teratogen.
Contohnya,Diethystilbesterol digunakan untuk indikasi
vaginitis gonorrheal, vaginitis atrofi, gejala enapause dan postpartum me
nyusui penekanan untuk mencegah pembengkakan payudara.
5. Tipe E (Ending)
Efek samping obat terjadi pada akhir terapi jika obat diberhentikan secara
mendadak/tiba-tiba. Contohnya pada penggunaan steroid yang
meng- induced cushing syndrome. Sindrom Cushing menjelaskan tanda-
tanda dan gejala yang berhubungan dengan kontak yang terlalu
lama dengan tingkat tinggi terhadap hormon kortisol. Kortisol adalah
hormon steroid, lebih khusus glukokortikoid yang diproduksi
oleh fasciculata zona korteks adrenal.