Anda di halaman 1dari 24

TUGAS KEPERAWATAN KRITIS

ASUHAN KEPERAWATAN DEKOMPENSASI CORDIS

ANGGOTA KELOMPOK 5 :
1. Adelia Citra Damayanti (1611B0201)
2. Desi Mayasari Pasaribu (1611B0218)
3. Detri Yulianti Tobe (1611B0219)
4. Elga Lela Nanda (1611B0223)
5. Kiki Fatimah (1611B0237)
6. Liemazara Decky R.D (1611B0242)
7. Martinho Orlandao Da C (1611B0245)
8. Mita Dwi Rahmawati (1611B0249)
9. Maondi Y Smaut (1611B0308)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SURYA MITRA HUSADA
KEDIRI
2019
BAB I
TINJAUAN TEORI

1.1 DEFINISI
Gagal jantung merupakan sindrom klinis kompleks yang disebabkan oleh adanya
gangguan baik fungsional maupun struktural jantung sehingga mengurangi kemampuan
ventrikel untuk menerima dan memompa darah (Kusmatuti, 2014).
Kondisi dimana jantung tidak mampu mempertahankan cardiac output/ memompa
darah secara adekuat untuk memenuhi kebutuhan tubuh begitu juga dengan venous return.
Cardiac output tidak bisa mencukupi kebutuhan metabolik tubuh(kegagalan pemompaan),
sedangkan tekanan pengisian ke dalam jantung masih cukup tinggi, instrumen yang mendasar
tentang gagal jantung termasuk kerusakan sifat kontraktilitas jantung yang berkurang dan
vetrikel tidak mampu memompa keluar darah sebanyak yang masuk selama diastole. Hal ini
menyebabkan volume pada saat diastolic akhir ventrikel secara progresif bertambah (Nurarif,
2015).

1.2 ETIOLOGI
Penggolongan penyebab gagal jantung menurut apakah gagal jantung tersebut
menimbulkan gagal yang dominan sisi kiri atau gagal dominan sisi kanan. Dominan sisi kiri :
penyakit jantung iskemik, amiloidosis jantung, penyakit jantung hipertensif, penyakit katup
aorta, penyakit katup mitral, miokarditis, kardiomiopati, keadaan curah tinggi (anemia
,tirotoksikosis, fistula arteriovenosa). Dominan sisi kanan : gagal jantung kiri, penyakit
jantung kongenital (VSD, PDA), penyakit paru kronis, stenosis katup pulmonal, penyakit
katup trikuspid, hipertensi pulmonal, emboli pulmonal masif (Majid, 2017).

1.3 PATOFISIOLOGI
Frekuensi jantung adalah fungsi dari sistem saraf otonom. Apabila curah jantung
berkurang, maka sistem saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk tetap
mempertahankan curah jantung. Bila mekanisme kompensasi ini gagal untuk dapat
mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka volume sekuncup jantung-lah yang
harus menyesuaikan diri untuk tatap bisa mempertahankan curah jantung.
Volume sekuncup merupakan jumlah darah yang dipompa pada setiap jantung berkontraksi, hal ini
tergantung pada 3 faktor, yaitu: preload (jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung dengan
tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut jantung), kontraktilitas (beracuan pada
perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang
serabut jantung dan kadar kalsium), afterload (mengacu pada besarnya tekanan ventrikel yang harus
dihasilkan untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan).
Tubuh mengalami beberapa adaptasi pada jantung dan hal ini terjadi secara sistemik,
jika terjadi gagal jantung. Volume dan tekanan pada akhir diastolik di dalam kedua ruang
jantung meningkat, apabila terjadi pengurangan volume sekuncup kedua ventrikel akibat
penekanan kontraktilitas atau afterload yang sangat meningkat. Hal ini akan meningkatkan
panjang serabut miokardium pada akhir diastolik dan menyebabkan waktu sistolik menjadi
singkat. Akan terjadi dilatasi ventrikel jika kondisi ini berlangsung lama. Pada saat istirahat,
cardiac output masih bisa berfungsi dengan baik, akan tetapi peningkatan tekanan diastolik
yang berlangsung lama (kronik) akan dijalarkan ke kedua atrium, sirkulasi pulmoner dan
sirkulasi sitemik. Yang pada akhirnya tekanan kapiler akan meningkat dan menyebabkan
transudasi cairan serta timbul edema paru atau edema sistemik (Oktavianus & Rahmawati,
2014).
1.4 Pathway

Faktor resiko

infeksi kontraktilitas menurun hipertensi

emboli paru afterload menurun abnormal otot jantung

infark mikard preload meningkat anemia

gagal jantung

disfungsi ventrikel kiri disfungsi ventrikel kanan respon kenaikan frekuensi


jantung

preload mening kongesi vena sistemik


Peningkatan Kebutuhan
kongesti vaskuler oedem perifer Oksigen
pulmonal
Asidosis Tingkat Jaringan
Edema pulmonal Resiko Kerusakan
integritas kulit Penurunan perfusi jaringan
Gangguan pertukaran gas

Pengaruh jaringan lanjut


Resiko tinggi
intoleransi aktivitas Penurunan Aliran Darah ke
Iskemi miokard Ginjal, Usus, dan Kulit

Penurunan curah jantung

Penurunan keluaran Urin,


kenaikan letargi, kulit
dingin, sianosis

Menahan Na+H2O (Oedem)

Kelebihan Volume Cairan

1.5 Manifestasi Klinis


Berikut adalah manifestasi klinis gagal jantung, (Majid, 2017):
1. Tanda dominan : Meningkatnya volume intravaskuler. Kongestif jaringan akibat
tekanan arteri dan vena meningkat karena penurunan curah jantung. Manifestasi
kongesti dapat berbeda tergantung pada kegagalan yang terjadi di ventrikel.
2. Gagal jantung kiri : Kongesti paru menonjol, hal ini disebabkan ketidakmampuan
ventrikel kiri memompa darah yang dating dari paru.
Manifestasi klinis yang terjadi yaitu :
a. Dispnea : Terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli dan mengganggu
pertukaran gas, bisa juga terjadi ortopnea. Beberapa pasien bisa mengalami
kondisi ortopnea pada malam hari yang sering disebut Paroksimal Nokturnal
Dispnea (PND).
b. Batuk.
c. Mudah lelah : Terjadi karena curah jantung berkurang dan menghambat jaringan
dari sirkulasi normal, serta terjadi penurunan pada pembuangan sisa dari hasil
katabolisme yang diakibatkan karena meningkatnya energi yang digunakan saat
bernafas dan terjadinya insomnia karena distress pernafasan.
d. Kegelisahan dan kecemasan. Terjadi akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress
akibat kesakitan saat bernafas dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi
bagaimana semestinya.
3. Gagal jantung kanan
a. Kongestif pada jaringan perifer dan jaringan viseral.
b. Edema ekstrimitas bawah, biasanya edema pitting, penambahan berat badan.
c. Hepatomegali dan nyeri tekan pada abdomen di kuadran kanan atas, terjadi
karena adanya pembesaran vena di hepar.
d. Anoreksia dan mual. Terjadi karena adanya pembesaran vena dan statis vena di
dalam rongga abdomen.
e. Nokturia (sering kencing malam hari).
f. Kelemahan.
1.6 KOMPLIKASI
Berikut komplikasi dari gagal jantung menurut (Wijaya & Putri 2013) antara lain :
1. Adema paru akut dapat terjadi akibat gagal jantung kiri.
2. Syok kardiogenik.
Akibat penurunan dari curah jantung dan perfusi jaringan yang tidak adekuat ke
organ vital (jantung dan otak).
3. Episode trombolik.
Thrombus terbentuk akibat imobilitas pasien dan gangguan sirkulasi, trombus dapat
menyebabkan penyumbatan pembuluh darah.
4. Efusi pericardial dan tamponade jantung.
Masuknya cairan ke kantung pericardium, cairan dapat meregangkan pericardium
sampai ukuran maksimal. Cardiac output menurun dan aliran balik vena ke jantung.

1.7 PENATALAKSANAAN
Ada beberapa penatalaksanaan decompensasi cordis. Tidak ada pengobatan secara
spesifik untuk proses penyembuhan penyakit gagal jantung, akan tetapi secara umum ada
beberapa penatalaksanaan pengobatan untuk gagal jantung adalah sebagai berikut
(Nurarif, 2015) :
1. Perawatan
a. Tirah baring/bedrest
Kerja jantung dalam keadaan dekompensasi harus benar-benar dikurangi,
mengingat kebutuhan oksigen yang relatif meningkat.
b. Pemberian oksigen
Pemberian oksigen secara rumat biasanya diperlukan 2 liter/menit dalam
keadaan sianosis sekali dapat lebih tinggi.
c. Diet
Umumnya diberikan makanan lunak dengan rendah (pembatasan) garam. Jumlah
kalori sesuai kebutuhan, pasien dengan gizi kurang diberi makanan tinggi kalori
tinggi protein. Cairan diberikan 80-100 ml/kgBB/hari.
2. Pengobatan medik

a. Digitalisasi

Digitalis akan memperbaiki kerja jantung dengan memperlambat dan

memperkuat kontraksi jantung serta meninggikan curah jantung.Dosis

digitalis :

1. Digoksin oral untuk digitalisasi cepat 0,5 – 2 mg dalam 4 – 6 dosis

selama 24 jam dan dilanjutkan 2 x 0,5 mg selama 2 – 4 hari.


2. Cedilanid IV 1,2 – 1, 6 mg dalam 24 jam. Dosis penunjang untuk gagal

jantung: Digoksin 0,25 mg sehari untuk pasien usia lanjut dan gagal

ginjal dosis disesuaikan.

Dosis penunjang digoksin untuk fibrilasi atrium 0,25 mg.

b. Diuretik
Diuresis dapat mengurangi beban awal (preload), tekanan pengisian yang
berlebihan dan secara umum untuk mengatasi retensi cairan yang berlebihan.
Yang digunakan : furosemid 40 – 80 mg. Pemberian dosis penunjang
bergantung pada respon, rata-rata 20 mg sehari.
c. Vasodilator
Obat vasodilator menurunkan tekanan akhir diastolic ventrikel kiri dan
menghilangkan bendungan paru serta beban kerja jantung jadi berkurang.
Preparat vasodilator yang digunakan :
1. Nitrogliserin 0,4–0,6 mg sublingual atau 0,2–2 mg/kgBB/menit IV
2. Nitroprusid 0,5 – 1 mg/kgBB/menit IV
d. Pengobatan penunjang lainnya bersifat simptomatik
1. Jika terjadi anemia, maka harus ditanggulangi dengan pemberian sulfa
ferosus, atau tranfusi darah jika anemia berat.
2. Jika terdapat infeksi sistemik berikan antibiotic
Untuk penderita gagal jantung anak-anak yang gelisah, dapat di-berikan
penenang; luminal dan morfin dianjurkan terutama pada anak yang gelisah.
(Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan, 2013).
3. Operatif
Pemakaian Alat dan Tindakan Bedah antara lain :
a. Rrevaskularisasi (pekutan, bedah)
b. Operasi katup mitral
c. Aneurismektomi
d. Karrdiomioplasti
e. External cardiac support.
f. Pacu jantung, konvensional, resinkronisasi pacu jantung
biventricular
g. Implantable cardioverter defibrillators (ICD)
h. Heart transplantation, ventricular assist devices, artificial heart.
BAB II
TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian
1 Aktivitas dan Istirahat
a. Gejala : Mengeluh lemah, cepat lelah, pusing, rasa berdenyut dan berdebar.
Mengeluh sulit tidur (keringat malam hari).
b. Tanda: Takikardia, perubahan tekanan darah, pingsan karena kerja, takpineu,
dispneu.
2. Sirkulasi
a. Gejala: Menyatakan memiliki riwayat demam reumatik hipertensi, kongenital:
kerusakan arteial septal, trauma dada, riwayat murmur jantung dan palpitasi,
serak, hemoptisisi, batuk dengan/tanpa sputum, riwayat anemia, riwayat shock
hipovolema.
b. Tanda: Getaran sistolik pada apek, bunyi jantung; S1 keras, pembukaan yang
keras, takikardia. Irama tidak teratur; fibrilasi arterial.
3. Integritas Ego
a. Tanda: Menunjukan kecemasan; gelisah, pucat, berkeringat, gemetar. Takut
akan kematian, keinginan mengakhiri hidup, merasa tidak berguna,
kepribadian neurotic.
4. Makanan / Cairan
a. Gejala: Mengeluh terjadi perubahan berat badan, sering penggunaan diuretik.
b. Tanda: Edema umum, hepatomegali dan asistes, pernafasan payah dan bising
terdengar krakela dan mengi.
5. Neurosensoris
a. Gejala: Mengeluh kesemutan, pusing
b. Tanda: Kelemahan
6. Pernafasan
a. Gejala: Mengeluh sesak, batuk menetap atau nokturnal.
b. Tanda: Takipneu, bunyi nafas; krekels, mengi, sputum berwarna bercak darah,
gelisah.

7. Keamanan
a. Gejala: Proses infeksi/sepsis, riwayat operasi
b. Tanda: Kelemahan tubuh
8. Penyuluhan / pembelajaran
a. Gejala: Menanyakan tentang keadaan penyakitnya.
b. Tanda: Menunjukan kurang informasi.
Menurut Brunner & Suddarth, 2002 :
Fokus pengkajian keperawatan untuk pasien gagal jantung ditujukan
untuk mengobservasi adanya tanda-tanda dan gejala kelebihan cairan paru dan
tanda serta gejala sistemis Semua tanda yang mengarah kesana harus dicatat
dan dilaporkan.
1. Pernapasan. Paru harus diauskultasi dengan interval sesering
mungkin untuk menentukan ada atau tidak adanya krekel dan
wheezing. Krekel terjadi oleh gerakan udara melalui cairan, dan
menunjukkan terjadinya kongesti paru. Frekuensi dan dalamnya
pernapasan juga harus dicatat.
2. Jantung. Jantung diauskultasi mengenai adanya bunyi jantung S3
atau S4. Adanya tanda tersebut berarti bahwa pompa mulai
mengalami kegagalan, dan pada setiap denyutan, darah yang tersisa
didalam ventrikel makin banyak. Frekuensi dan irama juga harus
dicatat. Frekuensi yang terlalu cepat menunjukkan bahwa ventrikel
memerlukan waktu yang lebih banyak untuk pengisian, serta
terdapat stagnasi darah yang terjadi di atria dan pada akhirnya juga
di paru.
3. Penginderaan/Tingkat Kesadaran. Bila volume darah dan cairan
dalam pembuluh darah meningkat, maka darah yang beredar
menjadi lebih encer dan kapasitas transpor oksigen menjadi
berkurang. Otak tidak dapat bertoleransi terhadap kekurangan
oksigen dan pasien mengalami konfusi.
4. Perifer. Bagian bawah tubuh pasien harus dikaji akan adanya
edema. Bila pasien duduk tegak, maka yang diperiksa adalah kaki
dan tungkai bawah; bila pasien berbaring telentang, yang dikaji
adalah sakrum dan punggung untuk melihat adanya edema. Jari dan
tangan kadang juga bisa mengalami edema. Pada kasus khusus
gagal jantung, pasien dapat mengalami edema periorbital, dimana
kelopak mata tertutup karena bengkak.
5. Hati diperiksa juga akan adanya hepatojugular refluks (HIR). Pasien
diminta bernapas secara normal pada saat dilakukan penekanan
pada hati selama 30 sampai 60 detik. Bila distensi vena leher
meningkat lebih dari 1 cm,, maka tes ini positif menunjukkan
adanya peningkatan tekanan vena.
6. Distensi Vena Juguler. JVD Juga harus dikaji. Ini dilakukan dengan
mengangkat pasien dengan sudut sampai 45°. Jarak antara sudut
Louis dan tingginya distensi vena juguler ditentukan. (Sudut Louis
adalah hubungan antara korpus sternum dengan manubrium). Jarak
yang lebih dari 3 cm dikatakan tidak normal. Ingat bahwa ini hanya
perkiraan dan bukan pengukuran pasti.
7. Haluaran Urin. Pasien bisa mengalami oliguria (berkurangnya
haluaran urin kurang dari 100 dan 400 ml/24 jam) atau anuria
(haluaran urin kurang dari 100 ml/24 jam). Maka penting sekali
mengukur haluaran sesering mungkin untuk membuat dasar
pengukuran efektivitas diuretik. Masukan dan haluaran harus dicatat
dengan baik dan pasien ditimbang setiap hari, pada saat yang sama
dan pada timbangan yang sama.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Diagnosa Utama:
a. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan dispnu akibat
turunnya curah jantung.
b. Kecemasan berhubungan dengan kesulitan napas dan kegelisahan akibat
oksigenasi yang tidak adekuat.
c. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan stasis vena.
d. Potensial kurang pengetahuan mengenai program perawatan diri berhubungan
dengan tidak bisa menerima perubahan gaya hidup yang dianjurkan.
2. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
a. Kerusakan pertukaran gas b.d kongesti paru sekunder perubahan membran
kapiler alveoli dan retensi cairan interstisiil.
b. Penurunan curah jantung b.d penurunan pengisian ventrikel kiri, peningkatan
atrium dan kongesti vena.
C. Perencanaan
Perencanaan menurut Brunner & Suddarth, 2002:
1. Tujuan. Tujuan utama mencakup bertambahnya istirahat, penghilangan
kecemasan, pencapaian perfusi jaringan yang normal, pemahaman mengenai
program perawatan diri dan tidak terjadi komplikasi.
a. Diagnosa Keperawatan 1
Kerusakan pertukaran gas b.d kongesti paru sekunder perubahan membran
kapiler alveoli dan retensi cairan interstisiil
Tujuan :
Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi secara adekuat, PH darah normal,
PO2 80-100 mmHg, PCO2 35-45 mm Hg, HCO3 –3 – 1,2
Tindakan:
1. Kaji kerja pernafasan (frekwensi, irama , bunyi dan dalamnya)
2. Berikan tambahan O2 6 lt/mnt
3. Pantau saturasi (oksimetri) PH, BE, HCO3 (dengan BGA)
4. Koreksi kesimbangan asam basa
5. Beri posisi yang memudahkan klien meningkatkan ekpansi paru.(semi
fowler)
6. Cegah atelektasis dengan melatih batuk efektif dan nafas dalam
7. Lakukan balance cairan
8. Batasi intake cairan
9. Evaluasi kongesti paru lewat radiografi
10. Kolaborasi :
a. RL 500 cc/24 jam
b. Digoxin 1-0-0
c. Furosemid 2-1-0
Rasional :
1. Untuk mengetahui tingkat efektivitas fungsi pertukaran gas.
2. Untuk meningkatkan konsentrasi O2 dalam proses pertukaran gas
3. Untuk mengetahui tingkat oksigenasi pada jaringan sebagai dampak
adekuat tidaknya proses pertukaran gas.
4. Mencegah asidosis yang dapat memperberat fungsi pernafasan.
5. Meningkatkan ekpansi paru
6. Kongesti yang berat akan memperburuk proses perukaran gas sehingga
berdampak pada timbulnya hipoksia.
7. Meningkatkan kontraktilitas otot jantung sehingga dapat meguranngi
timbulnya odem sehingga dapat mecegah ganggun pertukaran gas.
8. Membantu mencegah terjadinya retensi cairan dengan menghambat ADH.

b. Diagnosa Keperawatan 2
Penurunan curah jantung b.d penurunan pengisian ventrikel kiri, peningkatan
atrium dan kongesti vena.
Tujuan :
Stabilitas hemodinamik dapat dipertahanakan dengan kriteria : (TD > 90 /60),
Frekwensi jantung normal.
Tindakan:
1. Pertahankan pasien untuk tirah baring
2. Ukur parameter hemodinamik
3. Pantau EKG terutama frekwensi dan irama.
4. Pantau bunyi jantung S-3 dan S-4
5. Periksa BGA dan saO2
6. Pertahankan akses IV
7. Batasi Natrium dan air
8. Kolaborasi :
a. ISDN 3 X1 tab
b. Spironelaton 50 –0-0
Rasional
1. Mengurangi beban jantung
2. Untuk mengetahui perfusi darah di organ vital dan untuk mengetahui
PCWP, CVP sebagai indikator peningkatan beban kerja jantung.
3. Untuk mengetahui jika terjadi penurunan kontraktilitas yang dapat
mempengaruhi curah jantung.
4. Untuk mengetahui tingkat gangguan pengisisna sistole ataupun diastole.
5. Untuk mengetahui perfusi jaringan di perifer.
6. Untuk maintenance jika sewaktu terjadi kegawatan vaskuler.
7. Mencegah peningkatan beban jantung.
8. Meningkatkan perfusi ke jaringan
9. Kalium sebagai salah satu komponen terjadinya konduksi yang dapat
menyebabkan timbulnya kontraksi otot jantung.

D. Intervensi Keperawatan
Menurut Brunner & Suddarth, 2002:
1. Bertambahnya Istirahat. Pasien perlu sekali beristirahat baik secara fisik maupun
emosional. Istirahat akan mengurangi kerja jantung, meningkatkan tenaga
cadangan jantung, dan menurunkan tekanan darah. Lamanya berbaring juga
merangsang diuresis karena berbaring akan memperbaiki perfusi ginjal. Istirahat
juga mengurangi kerja otot pernapasan dan penggunaan oksigen. Frekuensi
jantung menurun, yang akan memperpanjang periode diastole pemulihan sehingga
memperbaiki efisiensi kontraksi jantung.
2. Posisi. Kepala tempat tidur harus dinaikkan 20 sampai 30 cm (8-10 inci) atau
pasien didudukkan di kursi. Pada posisi ini aliran balik vena ke jantung (preload)
dan paru berkurang, kongesti paru berkurang, dan penekanan hepar ke diafragma
menjadi minimal. Lengan bawah harus disokong dengan bantal untuk mengurangi
kelelahan otot bahu akibat berat lengan yang menarik secara terus-menerus.
Pasien yang dapat bernapas hanya pada posisi tegak (ortopnu) dapat
didudukkan di sisi tempat tidur dengan kedua kaki disokong kursi, kepala dan
lengan diletakkan di meja tempat tidur dan vertebra lumbosakral disokong dengan
bantal.
Pasien dengan gagal jantung kongestif dapat berbaring dengan posisi seperti
dalam gambar untuk mengurangi kesulitan bernapas dan mengurangi jumlah
darah yang kembali ke jantung, yang dapat mengurangi kongesti paru.
Bila terdapat kongesti paru, maka lebih baik pasien didudukkan di kursi karena
posisi ini dapat memperbaiki perpindahan cairan dari paru. Edema yang biasanya
terdapat di bagian bawah tubuh, berpindah ke daerah sakral ketika pasien
dibaringkan di tempat tidur.
3. Penghilangan Kecemasan. Karena pasien yang mengalami gagal jantung
mengalami kesulitan mempertahankan oksigenasi yang adekuat, maka mereka
cenderung gelisah dan cemas karena sulit bernapas. Gejala ini cenderung
memburuk pada malam hari.
4. Menaikkan kepala tempat tidur dan membiarkan lampu menyala di malam hari
sering sangat membantu. Kehadiran anggota keluarga cukup memberi rasa aman
pada kebanyakan pasien. Oksigen dapat diberikan selama stadium akut untuk
mengurangi kerja pernapasan dan untuk meningkatkan kenyamanan pasien.
Morfm dengan dosis kecil dapat diberikan untuk dispnu yang berat dan hipnotis
juga dapat diberikan untuk membantu pasien tidur.
a. Pada pasien dengan kongesti hepatik, hati tidak mampu melakukan proses
detoksifikasi racun obat-obatan dalam jangka waktu yang normal. Oleh sebab
itu obat-obat harus diberikan secara hati-hati.
b. Hipoksia serebral yang disertai retensi nitrogen merupakan masalah pada
gagal jantung dan dapat menyebabkan pasien bereaksi negatif terhadap
penenang dan hipnotik, ditandai dengan adanya konfusi dan peningkatan rasa
cemas.
c. Hindari penggunaan ikatan karena dapat menjerat, yang menyebabkan kerja
jantung meningkat.
d. Pasien yang tidak dapat tidur di tempat tidur di malam hari dapat duduk
dengan nyaman di kursi. Posisi ini menyebabkan sirkulasi serebral maupun
sistemik membaik, sehingga kualitas tidur menjadi lebih baik.
5. Menghindari Stres. Pasien yang sangat cemas tidak akan mampu beristirahat
dengan cukup. Stres emosional mengakibatkan vasokonstriksi, tekanan arteri
meningkat, dan denyut jantung cepat. Memberikan kenyamanan fisik dan
menghindari situasi yang cenderung menyebabkan kecemasan dan agitasi dapat
membantu pasien untuk rileks. Istirahat dilanjutkan beberapa hari hingga beberapa
minggu sampai gagal jantung dapat dikontrol.
6. Memperbaiki Perfusi Jaringan Normal. Penurunan perfusi jaringan yang terjadi
pada gagal jantung adalah akibat tingkat sirkulasi oksigen yang tidak adekuat dan
stagnasi darah di jaringan perifer. Latihan harian ringan dapat memperbaiki aliran
darah ke jaringan perifer. Oksigenasi yang adekuat dan diuresis yang sesuai juga
dapat memperbaiki perfusi jaringan. Diuresis yang efektif dapat mengurangi
pengenceran darah, sehingga meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen
dalam sistem vaskuler. Istirahat yang memadai sangat penting untuk memperbaiki
perfusi jaringan yang adekuat.
a. Bahaya yang dapat timbul pada tirah baring, adalah dekubitus (terutama pada
pasien edema), flebotrombosis, dan emboli pulmoner. Perubahan posisi, napas
dalam, kaus kaki elastik, dan latihan tungkai semuanya dapat memperbaiki
tonus otot, sehingga membantu aliran balik vena ke jantung.
b. Penyuluhan Pasien dan Pertimbangan Perawatan di Rumah. Setelah gagal
jantung dapat terkontrol, pasien dibimbing untuk secara bertahap kembali ke
gaya hidup dan aktivitas sebelum sakit sedini mungkin. Aktivitas kegiatan
hidup sehari-hari harus direncanakan untuk meminimalkan periode apnu dan
kelelahan. Berbagai penyesuaian kebiasaan, pekerjaan, dan hubungan
interpersonal biasanya harus dilakukan. Setiap aktivitas yang menimbulkan
gejala harus dihindari atau dilakukan adaptasi. Pasien dibantu untuk
mengidentifikasi stres emosional dan menggali cara-cara untuk
menyelesaikannya.
Biasanya pasien sering kembali ke klinik dan rumah sakit akibat
kekambuhan episode gagal jantung. Hal tersebut tidak hanya menyebabkan
masalah psikologis, sosiologis dan finansial tetapi beban fisiologis pasien akan
menjadi lebih serius. Organ tubuh tentunya akan rusak. Serangan berulang
dapat menyebabkan fibrosis paru, sirosis hepatis, pembesaran limpa dan
ginjal, dan bahkan kerusakan otak akibat kekurangan oksigen selama episode
akut.
Memberikan penyuluhan kepada pasien dan melibatkan pasien dalam
implementasi program terapi akan memperbaiki kerjasama dan kepatuhan.
Kebanyakan kekambuhan gagal jantung terjadi karena pasien tidak mematuhi
terapi yang dianjurkan, seperti tidak mampu melaksanakan terapi pengobatan
dengan tepat, melanggar pembatasan diet, tidak mematuhi tindak lanjut medis,
melakukan aktivitas fisik yang berlebihan dan tidak dapat mengenali gejala
kekambuhan.
Pasien harus dubantu untuk memahami bahwa gagal jantung dapat
dikontrol. Menyusun jadwal tindak lanjut medis secara teratur, menjaga berat
badan yang stabil, membatasi asupan natrium, pencagahan infeksi,
menghindari bahan berbahaya seperti kopi, tembakau, dan menghindari latihan
yang tidak teratur dan berat semuanya membantu mencegah awitan gagal
jantung. Pada pasien denga penyakit kattup jantung, maka pembedahan untuk
memperbaiki defek pada saat yang tepat dapat mempertahankan jantung dan
mencegah kegagalan.
Tindakan dan pengobatan pada gagal jantung ditujukan pada 5 aspek :
mengurangi beban kerja, memperkuat kontraktilitas miokard, mengurangi
kelebihan cairan dan garam, melakukan tindakan terhadap penyebab, faktor
pencetus dan penyakit yang mendasari.
Pada umumnya semua penderita gagal jantung dianjurkan untuk
membatasi aktivitas sesuai beratnya keluhan. Terapi nonfarmakologi antara
lain: diet rendah garam, mengurangi berat badan, mengurangi lemak,
mengurangi stress psikis, menghindari rokok, olahraga teratur (Nugroho,
2009). Beban awal dapat dikurangi dengan pembatasan cairan, pemberian
diuretika, nitrat, atau vasodilator lainnya. Beban akhir dikurangi dengan obat-
obat vasodilator, seperti ACE-inhibitor, hidralazin. Kontraktilitas dapat
ditingkatkan dengan obat ionotropik seperti digitalis, dopamin, dan dobutamin
(Sugeng dan Sitompul, 2003).

E. Implementasi
Implementasi ini disusun menurut Patricia A. Potter (2005)
Implementasi merupakan pelaksanaan dari rencana tindakan keperawatan
yang telah disusun / ditemukan, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pasien
secara optimal dapat terlaksana dengan baik dilakukan oleh pasien itu sendiri ataupun
perawat secara mandiri dan juga dapat bekerjasama dengan anggota tim kesehatan
lainnya seperti ahli gizi dan fisioterapis. Perawat memilih intervensi keperawatan
yang akan diberikan kepada pasien. Berikut ini metode dan langkah persiapan untuk
mencapai tujuan asuhan keperawatan yang dapat dilakukan oleh perawat :
1. Memahami rencana keperawatan yang telah ditentukan
2. Menyiapkan tenaga dan alat yang diperlukan
3. Menyiapkan lingkungan terapeutik
4. Membantu dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari
5. Memberikan asuhan keperawatan langsung
6. Mengkonsulkan dan memberi penyuluhan pada klien dan keluarganya.

Implementasi membutuhkan perawat untuk mengkaji kembali keadaan klien,


menelaah, dan memodifikasi rencana keperawatn yang sudah ada, mengidentifikasi
area dimana bantuan dibutuhkan untuk mengimplementasikan, mengkomunikasikan
intervensi keperawatan.
Implementasi dari asuhan keperawatan juga membutuhkan pengetahuan
tambahan keterampilan dan personal. Setelah implementasi, perawat menuliskan
dalam catatan klien deskripsi singkat dari pengkajian keperawatan, Prosedur spesifik
dan respon klien terhadap asuhan keperawatan atau juga perawat bisa mendelegasikan
implementasi pada tenaga kesehatan lain termasuk memastikan bahwa orang yang
didelegasikan terampil dalam tugas dan dapat menjelaskan tugas sesuai dengan
standar keperawatan.

F. Evaluasi
Evaluasi keperawatan ini disusun menurut Patricia A. Potter (2005)
Evaluasi merupakan proses yang dilakuakn untuk menilai pencapaian tujuan
atau menilai respon klien terhadap tindakan leperawatan seberapa jauh tujuan
keperawatan telah terpenuhi.
Pada umumnya evaluasi dibedakan menjadi dua yaitu evaluasi kuantitatif dan
evaluasi kualitatif. Dalam evalusi kuantitatif yang dinilai adalah kuatitas atau jumlah
kegiatan keperawatan yang telah ditentukan sedangkan evaluasi kualitatif difokoskan
pada masalah satu dari tiga dimensi struktur atau sumber, dimensi proses dan dimensi
hasil tindakan yang dilakukan.
Adapun langkah-langkah evaluasi keperawatan adalah sebagai berikut
1. Mengumpulkan data keperawatan pasien.
2. Menafsirkan (menginterpretasikan) perkembangan pasien.
3. Membandingkan dengan keadaan sebelum dan sesudah dilakukan tindakan
dengan menggunakan kriteria pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
4. Mengukur dan membandingkan perkembangan pasien dengan standar normal
yang berlaku.
Hasil yang diharapkan:
1. Mengalami penurunan kelelahan dan dispnea.
a. Mampu beristirahat secara adekuat baik fisik maupun emosional.
b. Berada pada posisi yang tepat yang dapat mengurangi kelelahan dan dispnu.
c. Mematuhi aturan pengobatan.
2. Mengalami penurunan kecemasan.
a. Menghindari situasi yang menimbulkan stress.
b. Tidur nyenyak di malam hari.
c. Melaporkan penurunan stres dan kecemasan.
3. Mencapai perfusi jaringan yang normal.
1. Mampu beristirahat dengan cukup.
2. Melakukan aktivitas yang memperbaiki aliran balik vena; latihan harian
sedang; rentang gerak ekstremitas aktif bila tidak bisa berjalan atau harus
berbaring dalam waktu lama, mengenakan kaus kaki penyokong.
3. Kulit hangat dan kering dengan warna normal.
4. Tidak memperlihatkan edema perifer.
5. Mematuhi aturan perawatan diri.
BAB III
KASUS

Ny.S berumur 51 tahun datang ke RS dengan keluhan sesak nafas, dada terasa ampeg
dan kedua kaki terasa kemeng serta terdapat edema. Saat kondisi pasien masih sadar, klien
mengeluh dada terasa ampeg sejak 1 minggu yang lalu, bila klien beraktifitas berjalan
sedikit klien merasa lemes, saat dilakukan pemeriksaan fisik di dapatkan hasil CRT
>2detik, akral dingin, tidak ada sianosis, Tekanan darah klien: 120/80 mmHg dan nadi: 88
x/menit, Suhu klien 36,5 oC. Saat dilakukan pemeriksaan penunjang Foto Thorax : Kesan
Kardiomegali

1. Pengkajian
a. Biodata
Klien bernama Ny. S umur 51 tahun, agama islam, status menikah, pendidikan D3,
pekerjaan PNS. Alamat : Pondok Grogol RT 01 RW 03 Surakarta, Masuk tanggal 25
Agustus 2018, nomor CM: 898703

b. Riwayat Penyakit
Keluhan Utama pada klien yaitu klien mengeluh sesak nafas dada terasa ampeg dan
kedua kaki terasa kemeng, pada ekstremitas bawah terdapat edema, Klien mengeluh dada
terasa ampeg sejak 1 minggu yang lalu, bila klien beraktifitas berjalan sedikit klien merasa
lemas, Klien sempat berobat ke dokter praktek 1x namun kondisinya belum kunjung
sembuh sehingga klien merasa kawatir akan kondisi kesehatannya. Klien tidak memiliki
riwayat penyakit keturunan seperti Hipertensi, DM, Asma dan Alergi. Keluarga
mengatakan tidak ada penyakit yang sama dialami oleh keluarga

c. Pengkajian Primer
Pengkajian primer pada Airway antara lain: Jalan nafas klien paten, tidak ada
sumbatan/ penumpukan secret di jalan nafas, bunyi nafas bersih, tidak ada bunyi nafas
tambahan. Untuk pengkajian pada Breathing yaitu: Pola nafas klien cepat dan dangkal,
Respirataori rate: 32x/menit, iramanya reguler, Tidak ada penggunaan otot bantu
pernafasan, ada suara nafas ronchi di paru kanan sedangkan bunyi paru kiri vesikuler.
Untuk pengkajian pada Circulation antara lain: Nadi perifer teraba lemah, nadi
karotis teraba kuat, Capilarirefiil > 2 detik, akral dingin, tidak ada sianosis, Tekanan darah
klien: 120/80 mmHg dan nadi: 88 x/menit, Suhu klien 36,5 oC. Sedangkan untuk
pengkajian pada Disability antara lain : Status mental klien baik, klien tidak gelisah, klien
mampu diajak berkomunikasi. Tingkat kesadaran klien composmentis, GCS : 15 (E: 4, M:
6, V: 5). Sedangkan pada pengkajian Exposure antara lain : terdapat Edema pada
ekstremitas bawah, turgor kulit baik

d. Pengkajian Skunder
Klien dan keluarga menyangkal adanya Alergi makanan maupun obat-obatan. Dalam
satu minggu yang lalu klien berobat ke dokter dan di berikan obat diuretic, makanan yang
dimakan klien terakhir adalah nasi sayur dan minum teh manis, Klien tinggal di
lingkungan pedesaan, klien bekerja sebagai PNS.

e. Pemeriksaan Fisik
- Kepala : bentuk mesocepal, Warna rambut hitam sedikit beruban, kulit kepala bersih,
distribusi merata. tidak terdapat lesi/jejas pada kepala. Mata: konjungtiva tidak anemis,
sklera putih, tidak ikterik reflek cahaya positif, pupil isokor.
- Telinga: telinga bersih, tidak ada serumen, fungsi pendengaran baik. Hidung: hidung
bersih, tidak ada sumbatan/penumpukan secret, terpasang kanul oksigen 4 lt/mnt.
- Mulut: mulut bersih, mukosa bibir lembab, tidak ada sianosis. Leher: tidak ada
pembesaran kelenjar thyroid, tidak ada nyeri telan, tidak ada pembesaran JVP.
- Dada:
- Inspeksi: pergerakan dada simetris kanan dan kiri, bentuk dada normal,
- Palpasi: fokal fremitus kanan dan kiri sama,
- Perkusi: suara sonor,
- auskultasi: suara ronchi pada paru kanan.
- Jantung:
- Inspeksi: ictus kordis tampak
- Palpasi: Ictus cordis teraba mid clavikula intercosta 4-5,
- Perkusi: suara pekak,
- Auskultasi: Auskultasi suara jantung I & II regular, terdengar bising jantung
sistolik.
- Abdomen:
- Inspeksi: tidak ada lesi/jejas,
- Auskultasi: peristaltik usus 16x/menit,
- Perkusi: suara thympani,
- Palpasi: tidak ada nyeri tekan.
- Muskuloskeletal: ekstrimitas atas dan bawah dapat bergerak bebas kekuatan otot
normal. Ekstremitas : Eks kanan atas: bisa bergerak bebas Eks kanan bawah: bisa
bergerak bebas, terdapat edema, Eks kiri atas: terpasang Infus D5 15 tpm, aliran infus
lancar, Eks kiri bawah : bisa bergerak bebas, terdapat edema, Kulit: tidak ada
sianosis, turgor kulit baik, terdapat edema di kedua kaki pada ekstermitas bawah,
suhu akral teraba dingin.

f. Terapi
Tanggal 25-08-2018 (IGD), Oksigen kanul 4 lt/menit, Infus D5 15 tpm, Injeksi Ranitidin 2
x 20 mg, Injeksi Furosemid 3x20 mg. Tanggal 26-08-2018 (bangsal Aster5), Oksigen
kanul 3 lt/menit, Ciprofluoxacin 2 x 200 mg, Furosemid 3 x 20 mg.

g. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan EKG pada tanggal 25-08-2012 :
Irama: Sinus Takikardi, HR: 128 x/menit, Gel. P: positif < 3 kotak kecil, Gel. R: melebar
di V5 dan V6 > 27 kotak kecil, Gel QRS: lebar 2-3 kotak kecil, Gel PR : lebar 3-5 kotak
kecil
- Foto Thorax : Kesan Kardiomegali
- Pemeriksaan Laboratorium

2. Data Fokus
Data Subyektif :
Klien mengeluh sesak nafas dada terasa ampeg dan kedua kaki terasa kemeng, klien
mengeluh dada terasa ampeg sejak 1 minggu yang lalu, klien mengatakan saat
beraktifitas saat berjalan merasa lemes, klien takut karena penyakitnya tidak kunjung
sembuh, keluarga banyak bertanya akan kondisi kesehatan klien.
Data Obyektif :
Dari pengkajian data objektif didapatkan, RR : 32 x/menit irama reguler, TD : 120/80
mmHg, HR : 88 x/menit, Suhu klien 36,5 oC. Klien terpasang kanul O2 3 lt/mnt, suhu
akral teraba dingin Nadi, Nadi teraba lemah dan cepat, pada ekstremitas bawah terdapat
edema, capilarefil kembali > 2 detik, tidak ada sianosis Auskultasi bunyi jantung terdapat
bunyi Bising Sistolik, hasil pemeriksaan EKG: irama sinus takikardia, hasil pemeriksaan
foto thorak kesan kardiomegali.

3. Analisa Data
Hasil analisa data pada hari Selasa, 25-08-2012 didapatkan data antara lain dari
data subyektif yaitu Klien mengatakan merasa lemes saat beraktifitas/ berjalan, klien
mengatakan kedua kaki terasa kemeng. Dan dari data objektif yaitu HR : 88x/menit, RR:
32 x/menit, Nadi teraba lemah dan cepat, pada ekstremitas bawah terdapat edema,
capilarefil kembali > 2 detik, hasil pemeriksaan EKG: irama sinus takikardi, hasil
pemeriksaan foto thorak kesan kardiomegali. Dari data tersebut muncul masalah
Penurunan cardiac out put berhubungan dengan Penurunan kontraktilitas miocard.

Data selanjutnya antara lain dari data subjektif klien takut karena penyakitnya
tidak kunjung sembuh, Keluarga klien mengatakan bertanya tentang kondisi kesehatan
klien sekarang. Dan dari data objektif yaitu TD : 120/80 mmHg, N : 88 x/menit, RR 32
x/menit. Dari data tersebut muncul masalah cemas berhubungan dengan penurunan status
kesehatan krisis situasional.

4. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan hasil analisa data didapatkan dua diagnosa keperawatan antara lain :
1. Penurunan cardiac output berhubungan dengan penurunan kontraktilitas miokard
2. Cemas berhubungan dengan penurunan status kesehatan krisis situasional

5. Intervensi
Diagnosa Tujuan Intervensi
1. Penurunan cardiac Setelah dilakukan tindakan Cardiac Care: Observasi
output berhubungan keperawatan selama 1x8 Vital sign, Istirahatkan
dengan penurunan jam diharapkan terjadi klien untuk menghindari
kontraktilitas miokard peningkatan curah jantung kelelahan, Anjurkan klien
dengan kriteria hasil TD untuk menghindari stress,
130/80-140/90 mmHg, HR
60-100 x/mnt, Nadi teraba Kolaborasi pemberian
kuat. Oksigen kanul 3 lt/menit,
Kolaborasi pemberian obat
diuretik, vasodilator. Vital
sign Monitoring: Monitor
TD, Nadi, RR, Auskultasi
bunyi jantung, Monitor
sianosis perifer.
2. Cemas berhubungan Setelah dilakukan tindakan Anxiety reduction:
dengan penurunan status keperawatan selama 1x30 gunakan pendekatan
kesehatan krisis situasional menit cemas berkurang yang menyenangkan,
dengan kriteria hasil: klien identifikasi penyebab
dapat menunjukkan cara cemas, temani pasien
mengontrol cemas, tanda untuk memberikan
Vital normal, TD 120-140 keamanan dan
mmHg, N 60-100 x/menit, mengurangi rasa takut,
RR 18-24 x/menit. anjurkan keluarga untuk
mendampingi klien,
Berikan informasi aktual
mengenai kondisi,
diagnosis klien,
identifikasi tingkat
kecemasan, anjurkan
klien untuk melakukan
relaksasi nafas dalam.
BAB IV
PEMBAHASAN

1) Pengkajian
Pada tahap ini telah ditemukan adanya kesamaan yaitu dalam tinjauan pustaka
disebutkan bahwa tanda gejala terjadinya decompensasi cordis adalah sesak nafas,
edema pada ekstrimitas, mudah lelah saat aktivitas, dan

takikardi. Kenyataannya berdasarkan hasil pemeriksaan fisik pada kedua kakinya terasa
kemeng dan terdapat edema, mudah lelah saat beraktivitas, dan takikardi yaitu HR: 88
x/menit. Namun terdapat kesenjangan antara lain klien tidak terdapat tanda peningkatan
berat badan, pembesaran hepar.

Terdapat kesenjangan antara teori dengan yang ditemui dilapangan antara lain
klien tidak terdapat tanda peningkatan berat badan, pembesaran hepar, anoreksia.
Peningkatan berat badan terjadi akibat peningkatan timbunan cairan, namun pada klien
timbunan cairan/edema belum terlalu menyebar hanya terdapat di ekstremitas bawah
yaitu di kedua kaki klien. Anoreksia terjadi karena adanya pembesaran hepar yang
mendesak lambung sehingga mempengaruhi kinerja lambung yang mengakibatkan mual.

2. Diagnosa Masalah keperawatan


Pada tinjauan pustaka disebutkan bahwa masalah yang mungkin timbul pada kasus
Decompensasi Cordis adalah :
a. Gangguan pertukaran gas
Berhubungan dengan adanya perpindahan cairan kedalam alveoli sekunder
Oedem paru, hal ini terjadi karena adanya peningkatan tekanan pada vena
pulmonalis yang mengakibatkan peningkatan terhadap tekanan kapiler paru
sehingga terjadi edema paru. Pada kasus ini diagnosa tersebut tidak penulis angkat
karena tidak adanya data pendukung yang menyatakan edema paru, berdasarkan
pemeriksaan foto thorax tidak terdapat edema pada paru klien.

b. Penurunan Cardiac Output


Berhubungan dengan penurunan kontraktilitas miokard. Hal ini terjadi karena
ketidakmampuan jantung untuk memompa darah keseluruh tubuh sehingga
mengakibatkan sesak nafas, mudah lelah serta terjadi edema di kedua kaki. Pada
kasus ini diagnosa tersebut penulis angkat karena sesuai antara teori dengan
kejadian di lapangan pada pemeriksaan fisik klien didapatkan N : 88 x/mnt, nadi
peifer teraba lemah, suhu akral teraba dingin, adanya edema pada ekstremitas
bawah pada kedua kaki.

c. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kelebihan intake dan retensi cairan.
Edema merupakan salah satu efek penurunan cardiac output yaitu akibat
penurunan airan darah ke ginjal dan penurunan kecepatan filtrasi glomerulus yang
akan menimbukan retensi sodium dan cairan. Diagnosa ini tidak penulis angkat
karena tidak adanya data yang mendukung seperti peningkatan berat badan dan
penurunan balance cairan.

d. Cemas berhubungan dengan penurunan status kesehatan krisis situasional.


Kecemasan berdampak buruk pada kondisi kesehatan pada klien Decompensasi
Cordis. Pada kasus ini diagnosa tersebut penulis angkat karena klien menunjukkan
tanda kecemasan takut serta mengkhawatirkan tentang kondisi kesehatanya.

3. Intervensi
Pada tahap ini tidak ditemukan adanya kesenjangan antara tinjauan teori dengan
tinjauan kasus. Menurut Black and Hawks (2005), penatalaksanaan Decompensasi
Cordis yaitu observasi tanda vital klien, pembatasan penggunaan garam dan terapi
diuretic untuk menambah ekskresi ginjal sehingga sirkulasi darah berkurang, penurunan
stress fisik dan emosi (untuk memperbaiki daya pompa ventrikel dan menurunkan beban
kerja jantung), posisi semi fowler untuk support pernafasan, pemberian oksigen (40-70%
liter/menit) dengan kanu atau masker untuk mengurangi hipoksia.
Dalam kasus ini untuk mengatasi penurunan cardiac output berhubungan dengan
penurunan kontraktilitas miokard intervensi yang dilakukan meliputi observasi tanda
vital klien meliputi tekanan darah, HR, Nadi, Saturasi oksigen, posisikan semi fowler,
berikan oksigen 3 lt/mnt, berikan terapi diuretic untuk menambah ekskresi ginjal
sehingga sirkulasi darah berkurang. Diagnose cemas berhubungan dengan krisis
situasional intervensi yang dilakukan meliputi motivasi klien untuk menghindari stress,
prognosis dan penyakit serta jelaskan kepada klien semua prosedur dan tindakan yang
akan dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai