Anda di halaman 1dari 58

MAKALAH KEPERAWATAN GERONTIK

ASUHAN KEPERAWATAN IMOBILITAS DAN INSTABILITAS


PADA LANSIA

Fasilitator : Sylvia Dwi Wahyuni, S.Kep.Ns., M.Kep


Disusun oleh: Kelompok 3 (Kelas AJ-1 B-22)

1. Ahmad Syah Jihan (131911123027)


2. Ulfa Nafi’atuzzakiyah (131911123028)
3. Muhamad Abi Zakaria (131911123029)
4. Muslimah Wiguna Arufina (131911123035)
5. Elya Asasal Mahfudhoh (131911123036)
6. Salsabila Sania Yahya (131911123037)

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok makalah Small
Group Discussion (SGD) yang berjudul “Asuhan Keperawatan Immobitas Dan
Instabilitas Pada Lansia”, sebagai tugas mata ajar Keperawatan Gerontik dengan
baik.
Dalam penulisan makalah ini, meskipun ada hambatan yang penulis alami
dalam proses pengerjaannya, tapi penulis berhasil mengerjakan dengan tepat waktu.
Namun penulis menyadari bahwa selesainya proses mengerjakan makalah ini tidak
lain berkat bantuan dosen dan teman-teman semua.
Makalah ini dibuat supaya pembaca dapat memperluas wawasan ilmu
mengenai Asuhan Keperawatan Immobitas Dan Instabilitas Pada Lansia yang kami
susun berdasarkan sumber informasi yang ada.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini belum sempurna dan masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penyusun berharap adanya kritik dan saran yang dapat
membangun agar dalam penyusunan makalah selanjutnya menjadi lebih baik lagi.
Penyusun juga berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kami secara pribadi
dan bagi yang membutuhkannya.

Surabaya, Oktober 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ········································································ i


DAFTAR ISI··················································································· ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ······································································· 1
B. Rumusan Masalah ··································································· 3
C. Tujuan ················································································· 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep dasar lansia ·································································35
B. Konsep dasar imobilitas pada lansia ··············································10
C. Konsep dasar instabilitas pada lansia ·············································25
D. Konsep dasar asuhan keperawatan immobolitas pada lansia ··················30
E. Konsep dasar asuhan keperawatan instabilitas pada lansia ····················38
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN·····················································43

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan·············································································53
B. Saran ····················································································53

DAFTAR PUSTAKA
···································································································
54BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Mobilisasi adalah pengerahan yang memberikan kebebasan dan kemandirian
bagi seseorang. Mobilisasi adalah pusat untuk berpartisipasi dalam menikmati
kehidupan. Mempertahankan mobilitas optimal sangat penting untuk kesehatan
mental dan fisik semua lansia. Mobilitas bukan merupakan sesuatu yang absolut dan
statis dalam menentukan kemampuan untuk berjalan, tetapi mobilitas optimal
merupakan sesuatu yang individualistis, relatif dan dinamis yang tergantung pada
interaksi antara faktor-faktor lingkungan dan sosial, afektif dan fungsi fisik.

1
Mobilitas didefinisikan secara luas sebagai tingkat aktivitas yang kurang dari
mobilitas optimal.
Studi-studi tentang insiden diagnosis keperawatan yang digunakan untuk lansia
yang berada di institusi perawatan mengungkapkan bahwa hambatan mobilitas fisik
adalah diagnosis pertama atau kedua yang paling sering muncul. Keletihan dan
kelemahan batasan karakteristik intoleransi aktivitas, telah diketahui sebagai
penyebab paling umum kedua yang paling sering terjadi yang menjadi keluhan pada
lansia. Sekitar 43% lansia telah diidentifikasi memiliki gaya hidup kurang gerak,
akhirnya sekitar 50% penurunan fungsional pada lansia dihubungkan dengan disease.
Penyebab imobilitas bermacam-macam, berbagai ancaman dari imobilitas fisik dapat
dikategorikan berhubungan dengan lingkungan internal dan eksternal atau dengan
kompetensi dan sumber-sumber internal dan eksternal klien.Beberapa penyakit yang
sering menjadi ancmaan terhadap kebutuhan aktivitas dan mobilitas lansia seringkali
berkisar pada asakit kepala, pegal di punggung, dan pinggang dan rasa nyeri
berkepanjangan (Syarif, 2012). Masalah kesehatan fisik dan mental pada lansia
menjadi penyebab penghalnag aktivitas sehari-hari lansia mudah didera perasaaan
pegal dan lelah. Imobilisasi disebabkan oleh banyak penyebab utama dan penyebab
utama imobiliasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekauan otot, ketidakseimbnagan.
(Setiati & Rooshore, 2006 dalam Sudoyo 2007).
Permasalahan yang teradi pada lansia adalah aktivitas dasar sehari-hari atau
mobilisasi. Seiring bertambahnya usia kekuatan otot pada lansia mengalami
kemunduran. Hal ini disebabkan karena faktor penuaan, cidera, dan lain-lain. Hal
tersebut membuat lansia menjadi kurang gerak. ROM aktif merupakan salah satu
latihan/aktivitas fisik yang dilakukan oleh individu itu sendiri sesuai dengan
kemampuan untuk menggerakkkan sendinya. Dengan latihan ruting paling sedikit 2-
3 kali setiap minggunya dalam waktu 20-30 menit mampu memberikan manfaat yang
berarti di antaranya dapat meningkatkan kekuatan otot dan menuurnkan keletihan
bagi lansia yang mengalami hambatan dalam mobilitas fisik.
Jatuh (instabilitas) merupakan masalah fisik yang sering terjadi pada lansia,
dengan bertambahnya usia kondisi fisik, mental, dan fungsi tubuh pun menurun.
Jatuh dan kecelakaan pada lansia merupakan penyebab kecacatan yang utama. Jatuh

2
adalah kejadian secara tiba-tiba dan tidak disengaja yang mengakibatkan seseorang
mendadak terbaring atau terduduk dilantai (Maryam, 2008).
Berdasarkan penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2020 mendatang sudah
mencapai angka 11.4% atau tercatat sekitar 28.8 juta orang yang menyebabkan
jumlah penduduk lansia terbesar di dunia (BPS, 2007). Insiden jatuh di Indonesia
tercatat dari 115 penghuni panti sebanyak 30 lansia atau sekitar 43.47% mengalami
jatuh. Kejadian jatuh pada lansia dipengaruhi oleh faktor intrinsik seperti gangguan
gaya berjalan, kelemahan otot ekstremitas bawah, kekakuan sendi, sinkope dan
dizziness, serta faktor ekstrinsik seperti lantai yang licin dan tidak rata, tersandung
benda-benda, penglihatan kurang karena cahaya kurang terang dan lain-lain
(Darmojo, 2009).  
Penyebab jatuh pada lansia adalah penyakit yang sedang diderita, seperti
hipertensi, stroke, sakit kepala/pusing, nyeri sendi, reumatik dan diabetes.
Perubahan-perubahan akibat proses penuaan seperti penurunan pendengaran,
penglihatan, status mental, lambatnya pergerakan, hidup sendiri, kelemahan otot kaki
bawah, gangguan keseimbangan dan gaya berjalan. Faktor lingkungan terdiri dari
penerangan yang kurang, bendabenda dilantai (tersandung karpet), tangga tanpa
pagar, tempat tidur atau tempat buang air yang terlalu rendah, lantai yang tidak rata,
licin serta alat bantu jalan yang tidak tepat. Jatuh (falls) merupakan suatu masalah
yang sering terjadi pada lansia (Maryam, 2008).
Faktor risiko jatuh meliputi faktor intrinsik dan ekstrinsik, faktor intrinsik antara
lain sistem saraf pusat, demensia, gangguan sistem sensorik, gangguan sistem
kardiovaskuler, gangguan metabolisme, dan gangguan gaya berjalan. Faktor
ekstrinsik meliputi lingkungan, aktifitas, dan obat-obatan, selama proses menua,
lansia mempunyai konsekuensi untuk jatuh salah satu masalah kesehatan yang sering
terjadi pada lansia adalah instabilitas yaitu berdiri dan berjalan tidak stabil atau
mudah jatuh. Jatuh dianggap sebagai konsekuensi alami tetapi jatuh bukan
merupakan bagian normal dari proses penuaan (Stanley, 2006).
Upaya pencegahan perlu dilakukan untuk meminimalisir kejadian jatuh pada
lansia. Pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya jatuh pada
lansia, mengidentifikasi faktor risiko dilakukan untuk mencari adanya faktor intrinsik
risiko jatuh, keadaan lingkungan rumah yang berbahaya yang dapat menyebabkan

3
jatuh harus dihilangkan. Penilaian keseimbangan dan gaya berjalan dilakukan untuk
berpindah tempat dan pindah posisi, penilaian postural sangat diperlukan untuk
mengurangi faktor penyebab terjadinya risiko jatuh, serta mengatur atau mengatasi
fraktur situasional dapat dicegah dengan melakukan pemeriksaaan rutin kesehatan
lansia secara periodik (Mariyam, 2008).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana asuhan keperawatan pada lansia dengan masalah immobilitas
dan instabilitas ?

C. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa mampu memahami dan melaksanakan asuhan keperawatan pada
lansia dengan imobilitas dan instabilitas.
2. Tujuan Khusus
a. Agar mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada lansia dengan
imobilitas dan instabilitas.
b. Agar mahasiswa mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada lansia
dengan imobilitas dan instabilitas.
c. Agar mahasiswa mampu melaksanakan intervensi pada lansia dengan
imobilitas dan instabilitas.
d. Agar mahasiswa mampu melaksanakan implementasi pada lansia dengan
imobilitas dan instabilitas.
e. Agar mahasiswa mampu malakukan evaluasi pada lansia dengan
imobilitas dan instabilitas.

4
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Lanjut Usia


1. Pengetian Lansia
Lanjut usia adalah suatu proses fisiologis yang tidak dapat dihindari, ditandai
dengan penurunan kemampuan tubuh beradaptasi terhadap stress di lingkungan.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 Bab 1 pasal 1 ayat 2 tentang kesejahteraan
lanjut usia, menjelaskan lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke
atas (Ferry Efendi, 2009).
World Health Organization (WHO) tahun 2002 membagi golongan lansia
menjadi 4 yaitu usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) 60-
74 tahun, lanjut usia tua (old) 75-90 tahun serta usia sangat tua (very old) diatas 90
tahun. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa lanjut usia adalah tahapan
perkembangan fisiologis yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh
beradaptasi terhadap stress, perubahan dan penurunan di berbagai aspek
kehidupannya, meliputi kemampuan fisik, fungsional serta peran sosialnya di
lingkungannya.
2. Perubahan–Perubahan Yang Terjadi Pada Lanjut Usia
Perubahan-perubahan fisik pada lansia menurut (Maryam, 2008:55) :
a. Sel
Jumlah berkurang, ukuran membesar, cairan tubuh menurun, dan cairan
intraseluler menurun.
b. Kardiovaskuler
Katup jantung menebal dan kaku, kemampuan memompa darah menurun
(menurunnya kontraksi dan volume), elastisitas pembuluh darah menurun,
serta meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer sehingga tekanan
darah meningkat (Maryam, 2008:55).
c. Respirasi
Otot-otot pernafasan kekuatannya menurun dan kaku, elastisitas paru
menurun, kapasitas residu meningkat sehingga menarik napas lebih berat,

6
alveoli melebar dan jumlahnya menurun, kemampuan batuk menurun,
serta terjadi penyempitan pada bronkus (Maryam, 2008:55).
d. Persarafan
Saraf panca indra mengecil sehingga fungsinya menurun serta lambat
dalam merespon dan waktu bereaksi khususnya yang berhubungan
dengan stres. Berkurang atau hilangnya lapisan myelin akson, sehingga
menyebabkan kurangnya respon motorik dan reflek.
e. Muskuluskeletal
Cairan tulang menurun sehingga mudah rapuh, bungkuk, persendian
membesar dan menjadi kaku, kram, tremor, dan tendon mengerut dan
mengalami sklerosis (Maryam, 2008:56).
f. Gastrointestinal
Esophagus melebar, asam lambung menurun, lapar menurun dan
peristaltik menurun sehingga daya absorbsi juga ikut menurun. Ukuran
lambung mengecil serta fungsi organ aksesori menurun sehingga
menyebabkan berkurangnya produksi hormon dan enzim pencernaan
(Maryam, 2008:56).
g. Pendengaran
Membran timpani atrofi sehingga terjadi gangguan pendengaran. Tulang-
tulang pendengaran mengalami kekakuan (Maryam, 2008:56).
h. Penglihatan
Respon terhadap sinar menurun, adaptasi terhadap gelap menurun,
akomodasi menurun, lapang pandang menurun, dan katarak.
i. Kulit
Keriput serta kulit kepala dan rambut menipis. Rambut dalam hidung dan
telinga menebal. Elastisitas menurun, vaskularisasi menurun, rambut
memutih (uban), kelenjar keringat menurun, kuku keras dan rapuh, serta
kuku kaki tumbuh berlebihan seperti tanduk (Maryam, 2008:57).
3. Tugas Perkembangan Lansia
Dalam perkembangan masa lansia juga memiliki tugas perkembangan
yang harus dilaksanakan oleh para individu yang menginjak usia lansia.

7
Seperti yang diungkapkan oleh Hurlock (1980: 386) ada tujuh tugas
perkembangan selama hidup yang harus dilaksanakan oleh lansia, yaitu:
a. Penyesuaian terhadap penurunan kemampuan fisik dan psikis
b. Penyesuaian terhadap pensiun dan penurunan pendapatan Menemukan
makna kehidupan
c. Mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan
d. Menemukan kepuasan dalam hidup berkeluarga
e. Penyesuaian diri terhadap kenyataan akan meninggal dunia
f. Menerima dirinya sebagai seorang lansia.
Menurut Erikson (dalam Maryam, 2008: 40) kesiapan lansia untuk
menyesuaikan diri terhadap tugas perkembangan usia lanjut dipengaruhi
oleh proses tumbuh kembang pada tahap sebelumnya. Apabila tahap tumbuh
kembang sebelumnya melakukan kegiatan sehari-hari dengan teratur dan
baik dan bisa membina hubungan yang serasi dengan orang- orang
sekitarnya, pada otomatis di usia lanjut ia akan tetap melakukan kegiatan
yang biasa ia lakukan ketika tahap perkembangan sebelumnya, seperti
olahraga, mengembangkan hobi, bercocok tanam dan lain-lain. Tugas
perkembangan lansia adalah sebagai berikut:
a. Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun.
b. Mempersiapkan diri untuk pension.
c. Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya.
d. Mempersiapkan kehidupan baru.
e. Melakukakn penyesuaian terhadap kehidupan sosial/masyarakat secara
santai.
f. Mempersiapkan diri untu kematiannya dan kematian pasangannya.
Dalam mempelajari psikologi perkembangan kita juga akan
memahami perubahan emosi dan sosial seseorang selama fase
kehidupannya. Itulah mengapa pentingnya mempelajari psikologi
perkembangan. Pokok-pokok dalam teori perkembangan adalah sebagai
berikut:
a. Masa tua merupakan saat lansia merumuskan seluruh masa
kehidupannya.

8
b. Masa tua merupakan masa penyesuaian diri terhadap kenyataan sosial
yang baru, yaitu pensiun dan/atau menduda/menjanda.
c. Lansia harus menyesuaikan diri sebagai akibat perannya yang berakhir di
dalam keluarga, kehilangan identitas dan hubungan sosialnya akibat
pensiun, serta ditinggal mati oleh pasangan hidup dan teman-temannya.
4. Perubahan Sistem Muskuloskeletal pada lansia
Perubahan pada sistem musculoskeletal meliputi: tulang kehilangan
densitas (cairan) dan semakin rapuh, kekuatan dan stabilitas tulang menurun,
terjadi kifosis, gangguan gaya berjalan, tendon mengerut, dan mengalami
sclerosis, atrofi serabut otot, serabut otot mengecil sehingga gerakan menjadi
lamban, otto kram, dan menjadi tremor, aliran darah ke otot berkurang sejalan
dnegan proses menua (Maryam, 2008). Semua perubahan tersebut dapat
mengakibatkan kelambanan dalam gerak, langkah kaki menjadi pendek, dan
adanya gangguan dalam berjalan. Kaki yang tidak dapat menapak dengan kuat
dan lebih mudha goyah, lansia lambat mengantisipasi bila terjadi gangguan
terpleleset, tersandung, mengalami gangguan keseimbangan sehingga mudah
terjatuh akibatnya lansia menjadi sukar untuk melakukan mobilitas.
Ketika tubuh mengalami penuaan, jumlah massa tubuh mengalami
penurunan. Hilangnya lemak subkutan perifer cenderung untuk mempertajam
kontur tubuh dan memperdalam cekungan di kelopak mata, aksila, bahu, dan
tulang ruusk. Tonjolan tulang (vertebra, krista iliaka, tulang rusuk, scapula
menjadi menonjol. (Stenley & Beare, 2007)
Perubahan musculoskeletal yang lain, sebagai berikut (Pujiastuti&Utomo,
2003):
a. Jaringan penghubung (kolagen dan elastin)
Perubahan pada kolagen merupakan penyebab turunnya fleksibilitas
pada lansia sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan
kemampuan untuk meningkatkan kekuatan otot, kesulitan bergerak dari
duduk ke berdiri, ongkok, berjalan, dan hambatan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari.
b. Kartilago

9
Jaringan kartilago menjadi lunak dan mengalami granulasi dan akhirnya
permukaan sendi menajdi rata sehingga rentan terhadap gesekan, mudah
mengalami peradangan, kekakuan, nyeri, keterbatasan gerak, dan
terganggunya aktivitas sehari-hari.
c. Tulang
Kepadatan tulang berkurang menyebabkan kekuatan dan kekakuan
tulang menurun sehingga dapat mengakibatkan osteoporosis yang
menimbulkan nyeri, deformitas, dan fraktur.
d. Otot
Perubahan morfologis otot mengakibatkan penurunan kekuatan otot,
penurunan fleksibilitas, peningkatan waktu reaksi, dan penurunan
kemampuan fungsional otot.
e. Sendi
Jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligament, dan fasia mengalami
penurunan elastisitas. Ligament, kartilago, dan jaringan periartikular
mengalami penurunan daya lentur dan elastisitas. Terjadi degenerasi,
erosi,dan kalsifikasi pada kartilago dan kapsul sendi. Sendi kehilangan
fleksibilitasnya sehingga terjadi penurunan luas gerak sendi. Kelainan
akibat perubahan sendiri antara lain: osteoarthritis, arthritis rheumatoid,
gout, dan pseugogout. Kelainan tersebut menimbulkan gangguan berupa
bengkak, nyeri, kekakuan sendi, keterbatasan ruang gerak sendi,
gangguan jalan, dan keterbatasan aktivitas.
Perubahan muskuloskletal pada lansia mengakibatkan perubahan cara
berjlan, dan lambat dalam beraktivitas sehari-hari. Perubahan moblisiasi
dan kemanan pada lansia anatara lain berkurngnya mas otot dan
perubahan sistem saraf pusat, mengakibatkan menurunnya kekuatan otot,
ketahanan dan fungsi koordinasi, perubahan degenerative dan jaringan
penghubung serta struktur sendi, yang mengakibatkan terbatasnya retang
gerak semua sendi, sehingga lansia mengalami kesulitasn dalam
melakukan aktivitas sehari-hari dan menyebabkan hambatan mobilitas
fisik. (Miller, 2012)

10
B. Konsep Dasar Imobilitas pada Lansia
1. Definisi Imobilitas
Imobilisasi merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup besar
di bidang geriatri yang timbul sebagai akibat penyakit atau masalah
psikososial yang diderita. Imobilisasi didefinisikan sebagai keadaan tidak
bergerak atau tirah baring selama tiga hari atau lebih, dengan gerak anatomik
tubuh menghilang akibat perubahan fungsi fisiologik. Di dalam praktik medik
istilah imobilisasi digunakan untuk menggambarkan sebuah sindrom
degenerasi fisiologik yang merupakan akibat menurunnya aktivitas atau
deconditioning. Terdapat beberapa faktor risiko utama imobilisasi seperti
kontraktur, demensia berat, osteoporosis, ulkus, gangguan penglihatan, dan
fraktur merupakan beberapa faktor risiko utama imobilisasi.
Imobilisasi seringkali tidak dapat dicegah, namun beberapa
komplikasi akibat imobilisasi dapat dicegah. Perubahan pada beberapa sistem
organdan fungsi metabolik akan terjadi sebagai akibat imobilisasi.
Perubahan-perubahan tersebut akan menimbulkan berbagai komplikasi yang
akan memperberat kondisi dan memperlambat proses penyembuhan serta
dapat menyebabkan kematian. Upaya seperti mobilisasi dini dapat dilakukan
untuk mengurangi insiden dan mengurangi beratnya komplikasi imobilisasi,
sehingga dapat mempercepat proses penyembuhan dan kualitas hidup pasien.
2. Penyebab Imobilitas
Penyebab imobilisasi berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan
dapat menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut. Penyebab utama imobilisasi
adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot, ketidakseimbangan, dan
masalah psikologis. Rasa lemah sering kali disebabkan oleh malnutrisi,
gangguan elektrolit, tidak digunakannya otot, anemia, gangguan neurologis
atau miopati. Osteoartritis merupakan penyebab utama kekakuan pada usia
lanjut. Parkinson, artritis reumatoid, gout, dan obat-obatan antipsikotik
seperti haloperidol juga dapat menyebabkan kekakuan. Rasa nyeri, baik dari
tulang (osteoporosis, osteomalacia, Paget’s disease, metastase kanker tulang,
trauma), sendi (osteoartritis, artritis reumatoid, gout), otot
(polimialgia,pseudoclaudication) atau masalah pada kaki dapat menyebabkan

11
imobilisasi. Ketidakseimbangan dapat disebabkan karena kelemahan, faktor
neurologis (strok, kehilangan refleks tubuh, neuropati karena diabetes
melitus, malnutrisi, dan gangguan vestibuloserebral), hipotensi ortostatik,
atau obat-obatan (diuretik, antihipertensi, neuroleptik, dan antidepresan).
Gangguan fungsi kognitif berat seperti pada demensia dan gangguan
fungsi mental seperti pada depresi tentu sangat sering menyebabkan
terjadinya imobilisasi. Kekhawatiran keluarga yang berlebihan atau
kemalasan petugas kesehatan dapat pula menyebabkan orang lanjut usia terus
menerus berbaring di tempat tidur baik di rumah maupun di rumah sakit. Efek
samping beberapa obat dapat menyebabkan gangguan mobilisasi, namun
biasanya tidak teridentifikasi oleh petugas kesehatan. Obat-obat hipnotik dan
sedatif menyebabkan rasa kantuk dan ataksia yang mengganggu mobilisasi.
Untuk itu kontrol teratur dan seksama terhadap obat-obat yang dikonsumsi
oleh pasien sangat penting untuk dilakukan.
3. Faktor Risiko Imobilitas
a. Imobilisasi
Berbagai faktor baik fisik, psikologis, dan lingkungan dapat
menyebabkan imobilisasi pada pasien usia lanjut. Beberapa penyebab
utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot,
ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Penyakit Parkinson, artritis
reumatoid, gout, dan obat‐obatan antipsikotik seperti haloperidol juga
dapat menyebabkan kekakuan. Rasa nyeri, baik dari tulang (osteoporosis,
osteomalasia, Paget’s disease, metastase kanker tulang, trauma), sendi
(osteoartritis, artritis reumatoid, gout), otot (polimalgia,
pseudoclaudication) atau masalah pada kaki dapat menyebabkan
imobilisasi. Gangguan fungsi kognitif berat seperti pada demensia dan
gangguan fungsi mental seperti pada depresi tentu sangat sering
menyebabkan terjadinya imobilisasi. Kekhawatiran keluarga yang
berlebihan atau kemalasan petugas kesehatan dapat pula menyebabkan
orang usia lanjut terus menerus berbaring di tempat tidur baik di rumah
maupun di rumah sakit. Efek samping beberapa obat misalnya obat
hipnotik dan sedatif dapat pula menyebabkan gangguan mobilisasi.

12
b. Instability (Instabilitas Dan Jatuh)
Penyebab jatuh pada lansia biasanya merupakan gabungan
beberapa faktor, antara lain: (Kane, 1994; Reuben, 1996; Tinetti,1992;
Campbell, 1987, Brocklehurst, 1987).
1) Kecelakaan (merupakan penyebab utama). Murni kecelakaan,
misalnya terpleset, tersandung. Gabungan antara lingkungan yang
jelek dengan kelainan-kelainan akibat proses menua, misalnya karena
mata kurang jelas, benda-benda yang ada di rumah tertabrak, lalu
jatuh. Nyeri kepala dan/atau vertigo.
2) Hipotensiorthostatic: Hipovolemia / curah jantung rendah, disfungsi
otonom terlalu lama berbaring, pengaruh obat-obat hipotensi.
3) Obat-obatan
Diuretik / antihipertensi, Antidepresan trisiklik, Sedativa,
Antipsikotik, Obat-obat hipoglikemik, Alkohol.
4) Proses penyakit yang spesifik, misalnya: Aritmia, Stenosis, Stroke,
Parkinson, Spondilosis, Serangan kejang.
5) Idiopatik (tidak jelas sebabnya).
6) Sinkope (kehilangan kesadaran secara tiba-tiba): Penurunan darah ke
otak secara tiba-tiba - Terbakar matahari
c. Incontinence (Inkontinensia Urin Dan Alvi)
Pada lansia biasanya terjadi penurunan kemampuan berkemih.
Pada lansia terjadi proses enua yang berdampak pada perubahan hampir
seluruh organ tubuh termasuk organ berkemih yang menyebabkan lansia
mengalami inkontinensia urin. Perubahan ini diantaranya adalah
melemahnya otot dasar panggul yang menjaga kandung kemih dan pintu
saluran kemih, timbulnya kontraksi abnormal pada kandung kemih yang
menimbulkan rangsangan berkeih sebelum waktunya dan meninggalkan
sisa. Pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna menyebabkan
urine di dalam kanddung kemih yang cukup banyak sehingga dengan
pengisian sedikit saja sudah merangsang untuk berkeih. Hipertrofi prostat
juga dapat mengakibatkan banyaknya sisa air kemih di kandung keih
sebagai akibat pengosongan yang tidak sempurna (Setiati,2000) b.

13
Impairement of hearing, vision and smell (gangguan pendengaran,
penglihatan dan penciuman) Umumnya diketahui bahwa presbikusis
merupakan akibat dari proses degenerasi. Diduga kejadian presbikusis
mempunyai hubungan dengan faktor-faktor herediter, pola makanan,
metabolisme, arteriosklerosis, infeksi, bising, gaya hidup atau bersifat
multifaktor. Menurunnya fungsi pendengaran secara berangsur
merupakan efek kumulatif dari pengaruh faktor-faktor tersebut diatas.
Biasanya terjadi pada usia lebih dari 60 tahun. Progesifitas penurunan
pendengaran dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin, pada laki-laki lebih
cepat dibandingkan dengan perempuan kornea, lensa iris, aquous
humormvitorous humor akan mengalami perubahan seiring bertambahnya
usia, karena bagian utama yang mengalami perubahan/penurunan
sensifitas yang menyebabkan lensa pada mata, produksi aquosus humor
juga mengalami penurunan tetapi tidak terlalu terpengaruh terhadap
keseimbangan dan tekanan intra okuler lensa umum. Bertambahnya usia
akan mempengarui fungsi organ pada mata seseorang yang ber usia 60
tahun, fungsi kerja pupil akan mengalami penurunan 2/3 dari pupil orang
dewasa atau muda, penurunan tersebut meliputi ukuran-ukuran pupil dan
kemampuan melihat dari jarak jauh. Proses akomodasi merupakan
kemampuan untukmelihat benda-benda dari jarak dekat maupun jauh.
Akomodasi merupakan hasil koordinasi atas ciliary body dan otot – otot,
apabila seseorang mengalami penurunan daya akomodasimaka orang
tersebut disebut presbiopi (Brantas1984.wordpress.com, 2009).
4. Komplikasi Imobilisasi
a. Trombosis
Trombosis vena dalam merupakan salah satu gangguan vaskular
perifer yang penyebabnya bersifat multifaktorial, meliputi faktor genetik
dan lingkungan. Terdapat tiga faktor yang meningkatkan risiko trombosis
vena dalam yaitu adanya luka di vena dalam karena trauma atau
pembedahan, sirkulasi darah yang tidak baik pada vena dalam, dan
berbagai kondisi yang meningkatkan risiko pembekuan darah. Luka di
vena dalam karena pembedahan atau trauma menyebabkan penglepasan

14
beberapa substansi yang mengaktivasi sistem pembekuan. Darah yang
tidak mengalir akan cenderung untuk mengalami pembekuan. Beberapa
kondisi yang dapat menyebabkan sirkulasi darah tidak baik di vena dalam
meliputi gagal jantung kongestif, imobilisasi lama (tidak berjalan atau
bergerak), dan adanya gumpalan darah yang telah timbul sebelumnya.
Kondisi imobilisasi akan menyebabkan terjadinya akumulasi
leukosit teraktivasi dan akumulasi trombosit yang teraktivasi. Kondisi
tersebut menyebabkan gangguan sel-sel endotel dan juga memudahkan
terjadinya trombosis. Selain itu, imobilisasi yang menyebabkan stasis
akan menyebabkan timbulnya hipoksia lokal pada sel endotel yang
selanjutnya akan menghasilkan aktivator faktor X dan merangsang
akumulasi leukosit dan trombosit. Sel endotel pembuluh darah
belakangan ini tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang tidak berperan
dan pasif di dalam proses koagulasi. Sebaliknya, berbagai perubahan yang
terjadi di sel-sel endotel pembuluh darah akan mengubah sifat alamiah sel
tersebut yakni yang semula bersifat antitrombotik menjadi bersifat
trombotik, sehingga justru memudahkan terjadinya keadaan trombosis.
Gejala trombosis vena dalam timbul pada kurang dari separuh
pasien dengan trombosis vena dalam. Gejala yang timbul bervariasi,
tergantung pada ukuran dan lokasi trombosis vena dalam, dapat berupa
rasa panas, bengkan, kemerahan, dan rasa nyeri pada tuingkai. Sebagian
besar trombosis vena dalam timbul hanya pada satu kaki. Trombosis vena
dalam pada betis menimbulkan gejala hanya pada betis, sedangkan
trombosis vena dalam pada paha menimbulkan gejala paha dan atau betis.
Untuk penapisan adanya trombosis vena dalam akhir-akhir ini dilakukan
dengan pemeriksaan test D-dimer dan pletismografi. Sedangkan untuk
diagnosis pasti trombosis vena dalam dapat digunakan pemeriksaan
venografi, ultrasonografi, tomografi terkomputerisasi, dan dengan
magnetic resonanceimaging (MRI).
b. Emboli paru
Emboli paru dapat diakibatkan oleh banyak faktor seperti emboli
air ketuban, emboli udara, dan sebagainya. Emboli paru dapat

15
menghambat aliran darah ke paru dan memicu refleks tertentu yang dapat
menyebabkan panas yang mengakibatkan nafas berhenti secara tiba-tiba.
Sebagian besar emboli paru disebabkan oleh emboli karena trombosis
vena dalam. Berkaitan dengan trombosis vena dalam, emboli paru
disebabkan oleh lepasnya trombus yang biasanya berlokasi pada tungkai
bawah yang pada gilirannya akan mencapai pembuluh darah paru dan
menimbulkan sumbatan yang dapat berakibat fatal. Emboli paru sebagai
akibat trombosis merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian
pada pasien-pasien di rumah sakit, terutama pada pasien usia lanjut.
Suatu penelitian yang dilakukan pada 617 pasien yang mengalami
imopbilisasi menunjukkan adanya kejadian emboli paru sebesar 27%,
dimana sebagian besar kejadian emboli paru tersebut tidak terdiagnosis
sebelum pasien meninggal. Emboli paru timbul pada lebih dari 300.000
orang setiap tahun di Amerika Serikat yang menyebabkan kematian
paling sedikit 50.000 orang setiap tahun. Gejala emboli paru dapat berupa
sesak napas, nyeri dada, dan peningkatan denyut nadi.
c. Kelemahan otot
Imobilisasi lama akan mengakibatkan atrofi otot dengan
penurunan ukuran dan kekuatan otot. Penurunan kekuatan otot
diperkirakan 1-2 persen sehari. Untuk mengetahui penurunan kekuatan
otot dapat juga dilihat dari ukuran lingkar otot (muscle circumference).
Ukuran lingkar otot tersebut biasanya akan menurun sebanyak 2,1-21%.
Kelemahan otot pada pasien dengan imobilisasi seringkali terjadi dan
berkaitan dengan penurunan fungsional, kelemahan, dan jatuh. Terdapat
beberapa faktor lain yang menyebabkan atrofi otot, yaitu perubahan
biologis proses menua itu sendiri, akumulasi penyakit akut dan kronik,
serta malnutrisi. Perubahan otot selama imobilisasi lama menyebabkan
degenerasi serat otot dan peningkatan jaringan lemak, serta fibrosis.
Massa otot berkurang setengah dari ukuran semula setelah mengalami dua
bulan imobilisasi. Massa otot sebagian besar menurun dari kaki bawah
dan otot-otot tubuh.

16
Posisi imobilisasi juga berperan terhadap beratnya pengurangan
otot. Imobilisasi dengan posisi meringkuk akan mengakibatkan
pengurangan otot yang lebih banyak dibandingkan posisi imobilisasi
terlentang (lurus).
d. Kontraktur Otot dan Sendi
Pasien yang mengalami tirah baring lama berisiko mengalami
kontraktur karena sendi-sendi tidak digerakkan. Akibatnya timbul rasa
nyeri yang menyebabkan seseorang semakin tidak mau menggerakkan
sendi yang kontraktur tersebut. Kontraktur dapat terjadi karena perubahan
patologis pada bagian tulang sendi, pada otot, atau pada jaringan
penunjang di sekitar sendi. Penyebab kontraktur otot lainnya adalah
spastisitas dan neuroleptik. Faktor posisi dan mekanik juga dapat
menyebabkan kontraktur pada usia lanjut dengan imobilisasi. Kontraktur
artrogenik seringkali disebabkan karena inflamasi, luka sendi degeneratif,
infeksi, dan trauma. Kolagen sendi dan jaringan lunak sekitar akan
mengerut. Kontraktur akan menghalangi pergerakan sendi dan mobilisasi
pasif yang akan memperburuk kondisi kontraktur.
Deteksi dini, pencegahan, dan penatalaksanaan penyebab
kontraktur seperti penatalaksanaan inflamasi, nyeri, dan infeksi akan
menurunkan risiko kontraktur atau mengurangi tingkat keparahan
kontraktur. Metode yang biasa digunakan untuk mencegah kontraktur
adalah mobilisasi sendi dini dengan penatalaksanaan nyeri yang sesuai
serta positioning yang optimal dari ekstrimitas yang terlibat.
f. Osteoporosis
Osteoporosis timbul sebagai akibat ketidakseimbangan antar
resorpsi tulang dan pembentukan tulang. Imobilisasi ternyata
meningkatkan resorpsi tulang, meningkatkan kadar kalsium serum,
menghambat sekresi PTH, dan produksi vitamin D3 aktif (1,25-(OH)2D).
selain itu, insufisiensi vitamin D3 inaktif (25-(OH)D) mungkin berperan
pula pada turunnya vitamin D3 aktif. Faktor utama yang menyebabkan
kehilangan massa tulang pada imobilisasi adalah meningkatnya resorpsi
tulang. Massa tulang menurun tetapi komponen rasio antara matriks

17
inorganik dan organik tidak berubah. Konsentrasi kalsium, fosfor, dan
hidroksiprolin di urine meningkat pada minggu pertama imobilisasi.
Kalsium tubuh total menurun hingga 4% selama tujuh minggu
imobilisasi. Suatu penelitian terhadap 170 usia lanjut strok dan 72
kontrol, mendapatkan imobilisasi meningkatkan kalsium serum dan
berkorelasi negatif dengan indeks Barthel, yang menunjukkan bahwa
imobilisasi meningkatkan resorpsi tulang. Didapatkan pula adanya
penurunan kadar 1,25 (OH)2D dan 25-OHD, serum PTH tidak meingkat.
g. Ulkus decubitus
Pasien imobilisasi umumnya tidak bergerak pada malam hari
karena tidak adanya gerakan pasif maupun aktif. Skor aktivitas sakral
pasien pada kondisi tersebut adalah nol gerakan per jam, yang
mengakibatkan peningkatan tekanan pada daerah kulit yang sama secara
terus menerus. Tekanan akan memberikan pengaruh pada daerah kulit
sakral ketika dalam posisi berbaring. Aliran darah akan terhambat pada
daerah kulit yang tertekan dan menghasilkan anoksia jaringan dan
nekrosis.
Jumlah tekanan yang dapat mempengaruhi mikrosirkulasi kulit
pada usia lanjut berkisar antara 25 mmHg. Tekanan lebih dari 25mmHg
secara terus menerus pada kulit atau jaringan lunak dalam waktu yang
lama akan menyebabkan kompresi pembuluh kapiler. Kompresi
pembuluh darah dalam waktu lama akan mengakibatkan trombosis intra-
arteri dan gumpalan fibrin yang secara permanen mempertahankan
iskemia kulit. Relief bekas tekanan pada keadaan tersebut mengakibatkan
pembuluh darah tidak dapat terbuka dan pada akhirnya akan terbentuk
luka akibat tekanan.
Luka akibat tekanan merupakan komplikasi yang paling sering
terjadi pada pasien usia lanjut dengan imobilisasi. Faktor risiko timbulnya
ulkus dekubitus adalah semua jenis penyakit dan kondisi yang
menyebabkan seseorang terbatas aktivitasnya. Faktor-faktor risiko
tersebut memperpanjang wwaktu tekanan ke kulit dan menurunkan
resistensi jumlah tekanan. Faktor risiko yang sering pada usia lanjut

18
adalah demam, kondisi koma, penyakit serebovaskular, infeksi, anemia,
malnutrisi, kaheksia, hipotensi, syok, dehidrasi, penyakit neurologis
dengan paralisis, limfosit, imobilisasi, penurunan berat badan, kulit
kering, dan eritema.
h. Hipotensi Postural
Komplikasi yang sering timbu akibat imobilisasi lama pada pasien
usia lanjut adalah penurunan efisiensi jantung, perubahan tanggapan
kardiovaskular postural, dan penyakit trombo emboli. Hipotensi postural
adalah penurunan tekanan darah sebanyak 20mmHg dari posisi baring ke
duduk dengan salah satu gejala klinik yang sering timbul adalah iskemia
serebral, khususnya sinkop. Peningkatan denyut jantung lebih dari 10
kali/menit menunjukkan adanya hipotensi postural tipe simpatis sedangkan
denyut jantung kurang dari 10 kali/menit adalah tipe asimpatis.
Pada posisi berdiri, secara normal 600-800 ml darah dialirkan ke
bagian tubuh inferior terutama tungkai. Penyebaran cairan tubuh tersebut
menyebabkan penurunan curah jantung sebanyak 20%, penurunan volume
sekuncup jantung sebanyak 35% dan akselerasi frekuensi jantung
sebanyak 30%. Pada orang normal sehat, mekanisme kompensasi
menyebabkan vasokontriksi dan peningkatan denyut jantung yang
menyebabkan tekanan darah menurun. Tekanan darah tidak berubah atau
sedikit meningkat pada kondisi bangun (dari berbaring ke duduk) dengan
tiba-tiba. Pada usia lanjut umumnya fungsi baroreseptor menurun. Tirah
baring total selama paling sedikit 3 minggu akan mengganggu kemampuan
seseorang untuk menyesuaikan posisi berdiri dari berbaring pada orang
sehat, hal ini akan lebih terlihat pada pasien usia lanjut. Pada posisi baring,
secara normal 600-800 ml volume plasma kembali ke paru-paru dan
jantung, dan terjadi peningkatan stimulasi baroreseptor, denyut jantung,
volume sekuncup jantung, dan curah jantung. Pelepasan hormon
antidiuretik berkurang selama minggu awal imobilisasi yang
mengakibatkan diuresis dan penurunan volume plasma. Penurunan volume
plasma mencapai 10% selama 2 minggu pertama imobilisasi dan bisa
mencapai 20% setelah itu.

19
Tirah baring lama akan membalikkan respons kardiovaskular
normal menjadi tidak normal yang akan menghasilkan penurunan volume
sekuncup jantung dan curah jantung. Curah jantung rendah mengakibatkan
terjadinya hipotensi postural. Gejala dan tanda hipotensi postural adalah
penurunan tekanan darah sistolik dari tidur ke duduk lebih dari 20 mmHg,
berkeringat, pucat, kebingungan, peningkatan denyut jantung, letih, dan
pada keadaan berat dapat menyebabkan jatuh yang pada akhirnya akan
mengakibatkan fraktur, hematoma jaringan lunak dan perdarahan otak.
i. Pneumonia dan infeksi saluran kemih
Imobilisasi juga dikaitkan dengan pneumonia dan infeksi saluran
kemih. Akibat imobilisasi retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi
pada pasien geriatri. Pada posisi berbaring otot diafragma dan interkostal
tidak berfungsi dengan baik sehingga gerakan dinding dada juga menjadi
terbatas yang menyebabkan sputum sulit keluar. Manakala kondisi ini
dibarengi dengan daya pegas (recoil) elastik yang sudah berkurang (karena
proses menua) yang mengakibatkan perubahan pada tekanan penutup
saluran udara kecil, kondisi tersebut akan memudahkan usia lanjut untuk
mengalami atelektasis paru dan pneumonia.
Aliran urin juga terganggu akibat tirah baring yang kemudian
menyebabkan infeksi saluran kemih lebih mudah terjadi. Inkontinensia
urin juga sering terjadi pada usia lanjut yang mengalami imobilisasi, yang
umumnya disebabkan ketidakmampuan ke toilet, berkemih yang tidak
sempurna, gangguan status mental, dan gangguan sensasi kandung kemih.
Pengisian kandung kemih yang berlebihan akan menyebabkan
mengembangnya dinding kandung kemih yang kemudian akan
meningkatkan kapasitas kandung kemih dan retendi urin. Retensi urin ini
akan memudahkan terjadinya infeksi saluran kemih dan bila dibarengi
dengan hiperkalsiuria akan mengakibatkan terjadinya pembentukan batu
ginjal kalsium. Bila hal ini dibiarkan, maka akan menurunkan fungsi
saluran kemih bawah dan timbulnya hidronefrosis.

20
j. Gangguan Nutrisi (Hipoalbuminemia)
Selain infeksi, imobilisasi ternyata juga berperan pada terjadinya
hipoalbuminemia pada pasien usia lanjut yang menjalani perawatan di
rumah sakit. Imobilisasi akan memperngaruhi sistem metabolik dan
endokrin yang akibatnya akan terjadi perubahan terhadap metabolisme zat
gizi. Salah satu perubahan yang terjadi adalah pada metabolisme protein.
Kadar plasma kortisol yang lebih tinggi mengubah metabolisme menjadi
katabolisme sehingga metabolisme protein akan lebih rendah pada pasien
usia lanjut dengan imobilisasi.
Keadaan tidak beraktifitas dan imobilisasi selama 7 hari akan
meningkatkan ekskresi nitrogen urin. Peningkatan ekskresi nitrogen
mencapai puncak dengan rata-rata kehilangan 2mg/hari, sehingga pasien
akan mengalami hipoproteinemia, oedema, dan penurunan berat badan.
Kehilangan nitrogen (Nitrogen loss) meningkat hingga 12 gram pada
keadaan imobilisasi dengan malnutrisi, trauma, fraktur pinggul atau
infeksi. Penekanan sekresi hormon antidiuretik selama imobilisasi juga
akan terjadi yang akan meningkatkan diuresis dan pemecahan otot
sehingga akan mengakibatkan penurunan berat badan. Pasien usia lanjut
yang mengalami imobilisasi lama akan memiliki natrium serum dan
natrium urin yang lebih rendah dibandingkan pada yang tidak
imobilisasi,sehingga pasien dengan tirah baring lama akan memiliki
defisiensi natrium kronik.
Tirah baring lama dan malnutrisi, baik di rumah sakit maupun di
rumah, menyebabkan atrofi otot dan turunnya kekuatan dan ukuran otot.
Kelemahan otot pada pasien geriatri yang mengalami imobilisasi sering
terjadi dan sangat berkaitan dengan kerapuhan (frailty), mengakibatkan
penurunan status fungsional yang berat sehingga imobilisasi terus terjadi,
seperti lingkaran setan, dan mengakibatkan pula terjadinya instabilitas,
jatuh dan trauma serius.
k. Konstipasi dan skibala
Konstipasi, skibala, dan obstruksi usus merupakan masalah utama
pada usia lanjut dengan imobilisasi. Imobilisasi lama akan menurunkan

21
waktu tinggal feses di kolon. Semakin lama feses tinggal di usus besar,
maka absorpsi cairan akan lebih besar sehingga feses akan menjadi lebih
keras. Asupan cairan yang kurang, dehidrasi, dan penggunaan obat-obatan
juga dapat menyebabkan konstipasi pada pasien imobilisasi.
5. Upaya Pencegahan Komplikasi Imobilitas
Pencegahan timbulnya komplikasi dapat dilakukan dengan memberikan
penatalaksanaan yang tepat terhadap imobilisasi. Penatalaksanaan yang dapat
dilakukan meliputi penatalaksanaan farmakologik dan non farmakologik.
a. Non farmakologis
Penatalaksanaan non farmakologik memegang peran penting dalam
mencegah terjadinya komplikasi akibat imobilisasi. Berbagai upaya yang
dapat dilakukan adalah dengan beberapa terapi fisik dan latihan jasmani
secara teratur. Pada pasien yang mengalami tirah baring total, perubahan
posisi secara teratur dan latihan di tempat ridur dapat dilakukan sebagai
upaya mencegah terjadinya kelemahan dan kontraktur otot serta kontraktur
sendi. Selain itu, mobilisasi dini berupa turun dari tempat tidur, berpindah
dari tempat tidur ke kursi dan latihan fungsional dapat dilakukan secara
bertahap. Latihan isometris secara 10-20% dari tekanan maksimal selama
beberapa kali dalam sehari dapat dilakukan untuk mempertahankan
kekuatan isometri. Untuk mencegah terjadinya kontraktur otot dapat
dilakukan latihan gerakan pasif sebanyak satu atau dua kali sehari selama
20 menit.
Untuk mencegah terjadinya dekubitus, hal yang harus dilakukan
adalah menghilangkan penyebab terjadinya ulkus yaitu bekas tekanan pada
kulit. Untuk itu dapat dilakukan perubahan posisi lateral 30⁰, penggunaan
kasur anti dekubitus, atau menggunakan bantal berongga. Pada pasien
dengan kursi roda dapat dilakukan reposisi tiap jam atau diistirahatkan dari
duduk. Melatih pergerakan dengan memiringkan pasien ke kiri dan ke
kanan serta mencegah terjadinya gesekan juga dapat mencegah dekubitus.
Pemberian minyak setelah mandi atau mengompol dapat dilakukan untuk
mencegah maserasi.

22
Program latihan jasmani yang dilakukan harus disesuaikan dengan
kondisi pasien, berdasarkan ada tidaknya penyakit, status imobilisasinya,
tingkat aktivitas dan latihannya. Pasien yang baru sembuh dari penyakit
akut tetapi masih belum banyak bergerak harus menghindari latihan
jasmani yang berat secara tiba-tiba. Sebaliknya pasien harus didorong
untuk program latihan jasmani secara bertahap.
Kontrol tekanan darah secara teratur dan penggunaan obat-obatan
yang dapat menyebabkan penurunan tekanan darah serta mobilisasi dini
perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya hipotensi. Latihan kekuatan
otot serta kontraksi abdomen dan otot pada kaki akan menyebabkan aliran
darah balik vena lebih efisien. Khusus untuk mencegah terjadinya
trombosis dapat dilakukan tindakan kompresi intermiten pada tungkai
bawah. Teknik tersebut meningkatkan alirah darah dari vena di kaki dan
menstimulasi aktivitas fibrinolitik. Kompresi intermiten bebas dari efek
samping tetapi merupakan kontraindikasi pada pasien dengan penyakit
vaskular perifer.
Monitor asupan cairan dan makanan yang mengandung serat perlu
dilakukan untuk mencegah terjadinya konstipasi. Selain itu juga perlu
dilakukan evaluasi dan pengkajian terhadap kebiasaan buang air besar
pasien. Pemberian nutrisi yang adekuat perlu diperhatikan untuk mencegah
terjadinya malnutrisi pada pasien imobilisasi. Pada pasien yang mengalami
hipokinesis perlu diberikan suplementasi vitamin dan mineral.
Menurut miller 1999 dalam nanda 2009 moblitas merupakan salah
satu aspek yang terpenting dalam fungsi fisiologis karena hal tersebut
diperlukan untuk mempertahankan kemandirian. Gangguan mobilitas
memiliki dampak yang serius pada konsep diri dan gaya hidup. Untuk
mempertahankan fungsi mobilitas dapat dilakukan dengan rentang gerak
(ROM) yang terdiri dari 4 kategori, yatu:
1) ROM pasif adalah gerakan otot klien yang dilakukan oleh seorang
dengan bantuan klien itu.

23
2) ROM aktif asisitif adalah kontraksi otot secara aktif dengan bantuan
gaya dari luar seperti terpais, alat mekanis, atau ekstremitas yang
sednag tidak dilatih.
3) ROM aktif. Adalah kontraksi otot secara aktif melawan gaya gravitasi
seperti mengangkat tungkai dalam posisi lurus.
4) ROM aktif resistif adalah kontraksi otot secara aktif melawan tahan
yang diberikan misalkan beban.
Range of motion atau rentang gerak merupakan jumlah maksimum
gerak yang mungkin dilakukan pada sendi salah satu dari tiga potongan
tubuh segital, frontal, dan transfersal. Potongan segital adalah garis yang
melewati tubuh depan ke belakang, membagi tubuh menjadi kiir dan
kanan. Potongan frontal melewati tubuh dari sisi ke sisi dan membagi
tubuh menjadi bagian depan belakang. Potongan transversal adalah garis
horizontal yang membagi bagian atas bawah. Latihan aktif dan pasif
adalah kebutuhan manusia untuk melakuakn pergerkan dimana pergerakan
tersebut dialkuakn secara bebas. Latihan tersebut dapat dilakukan kapan
saja dan dimana saja dnegan disesuaikan dengan keadaan pasien
(Mulyatsi, 2003).
Range of motion memiliki manfaat yang sangat banyak yaitu
berfungsi utnuk memelihara fungsi dan mencegah kemunduran,
mmeilihara dan meningkatkan fungsi kelainan bentuk serta memelihara
kekuatan otot (Muyatsi, 2003).

Tujuan ROM menurut Suratun dkk 2008, adalah sebagai berikut:

1) Mempertahankan atau memelihara kekutaan otot.


2) Memelihara mobilitas sendi.
3) Merangsang sirkulasi darah.
4) Mencegah kelainan bentuk.
5) Mempertahankan fungsi jantung.
6) Memperlancar eliminasi.
7) Mengembalikan aktivitas tertentu sehingga pasien kembali normal atau
memenuhi gerak harian.

24
Prinsip latihan dasar ROM menurut Suratun, dkk 2008 adalah sebagai
berikut:

1) ROM harus diulang 8 kali dan dilatih inimal 2 kali sehari.


2) ROM dilakukan hati-hati sehingga tidak melelahkan klien.
3) Dalam merencanakan program ROM perhatikan umur klien, diagnose,
tanda-tana vital, dan lamnya tirah baring.
4) Bagian-bagian tubuh yang dapat dilakukan ROM adalah leher, jari,
lengan, siku, tumit, kaki, dan pergelangan kaki.
5) Melakukan ROM sesuai waktunya misalkan setelah mandi atau
perawatan rutin.

b. Farmakologis
Penatalaksanaan farmakologis dapat diberikan sebagai salah satu
upaya pencegahan komplikasi akibat imobilisasi, terutama pencegahan
terhadap terjadinya trombosis. Pemberian antikoagulan merupakan terapi
farmakologik yang dapat diberikan untuk mencegah terjadinya trombosis
pada pasien geriatri dengan imobilisasi. Low dose heparin (LDH) dan Low
Molecular Weight Heparin (LMWH) merupakan profilaksis yang aman
dan efektif untuk pasien geriatri dengan imobilisasi dan risiko trrombosis
non pembedahan terutama strok. Namun pemberian antikoagulan pada
pasien geriatri perlu dilakukan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan.
Penurunan faal organ ginjal dan hati serta adanya interaksi obat terutama
antara warfarin dengan beberapa obat analgetik atau NSAID merupakan
hal yang harus amat diperhatikan.
6. Pendekatan Diagnostik Imobilitas
Dalam mengkaji imobilisasi, perlu dilakukan anamnesis menenai
riwayat penyakit sekarang, lamanya mengalami disabilitas, penyakit yang
dapat memengaruhi kemampuan mobilisasi dan obat‐obatan yang dapat
menyebabkan imobilisasi. Keluhan nyeri, skrining depresi dan rasa takut
jatuh serta pengkajian lingkungan, termasuk kunjungan rumah bila perlu,
penting dilakukan. Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa status

25
kardiopulmonal, pemeriksaan muskuloskeletal yang mendetil misalnya
kekuatan otot dan gerak sendi, pemeriksaan status neurologis dan juga
pemeriksaan kulit untuk identifikasi ulkus dekubitus. Status imobilisasi
pasien harus selalu dikaji secara terus‐menerus (Rizka, 2015).

C. Konsep Dasar Instabilitas pada Lansia


1. Definisi Instabilitas
Jatuh merupakan masalah keperawatan utama pada lansia, yang
menyebabkan cedera, hambatan mobilitas dan kematian (Sattin, 2004).
Selain cedera fisik yang berkaitan dengan jatuh, individu dapat mengalami
dampak psikologis, seperti takut terjatuh kembali, kehilangan kepercayaan
diri, peningkatan kebergantungan dan isolasi sosial (Downton dan Andrews,
2006).
Jatuh merupakan suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi
mata yang melihat kejadian, yang mengakibatkan seseorang mendadak
terbaring/terduduk di lantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa
kehilangan kesadaran atau luka (Ruben, 2005).
Berdasarkan beberapa pengertian jatuh di atas, dapat disimpulkan
bahwa jatuh adalah kejadian tiba-tiba dan tidak disengaja yang
mengakibatkan seseorang terbaring atau terduduk di lantai dengan atau tanpa
kehilangan kesadaran atau luka.
2. Penyebab Instabilitas
a. Osteoporosis menyebabkan tulang menjadi rapuh dan dapat mencetuskan
fraktur.
b. Perubahan refleks baroreseptor.
Cenderung membuat lansia mengalami hipotensi postural, menyebabkan
pandangan berkunang-kunang, kehilangan keseimbangan, dan jatuh.
c. Perubahan lapang pandang, penurunan adaptasi terhadap keadaan gelap
dan penurunan penglihatan perifer, ketajaman persepsi kedalaman, dan
persepsi warna dapat menyebabkan salah interpretasi terhadap
lingkungan, dan dapat mengakibatkan lansia terpeleset dan jatuh.
d. Gaya berjalan dan keseimbangan

26
berubah akibat penurunan fungsi sistem saraf, otot, rangka, sensori,
sirkulasi dan pernapasan. Semua perubahan ini mengubahpusat gravitasi,
mengganggu keseimbangan tubuh dan menyebabkan limbung, yang pada
akhirnya mengakibatkan jatuh. Perubahan keseimbangan dan
properosepsi membua lansia sangat rentan terhadap perubahan permukaan
lantai (contoh lantai licin dan mengkilat). Akhirnya, usia yang sangat tua
atau penyakit parah dapat mengganggu fungsi refleks perlindungan dan
membuat individu yang bersangkutan berisiko terhadap jatuh (Lord,
2005).
3. Faktor Risiko Instabilitas
a. Faktor intrinsik
Faktor intrinsik yang dapat mengakibatkan insiden jatuh termasuk
proses penuaan dan beberapa kondisi penyakit, termasuk penyakit
jantung, stroke dan gangguan ortopedik serta neurologik. Faktor intrinsik
dikaitkan dengan insiden jatuh pada lansia adalah kebutuhan eliminasi
individu. Beberapa kasus jatuh terjadi saat lnsia sedang menuju,
menggunakan atau kembali dari kamar mandi. Perubahan status mental
juga berhubungan dengan peningkatan insiden jatuh. Faktor intrinsik lain
yang menimbulkan resiko jatuh adalah permukaan lantai yang meninggi,
ketinggian tmpat tidur baik yang rendah maupun yang tinggi dan tidak
ada susut tangan ditempat yang strategis seperti kamar mandi dan lorong.
b. Faktor Ekstrinsik
Faktor ekstrinsik juga memengaruhi terjadinya jatuh. Jatuh
umumnya terjadi pada minggu pertama hospitalisasi, yang menunjukkan
bahaw megenali lingkungan sekitar dapat mengurangi kecelakaan. Obat
merupakan agen eksternal yang diberika kepada lansia dan dapat
digolongkan sebagai faktor risiko eksternal.obat yang memengaruhi
sistem kardiovaskular dan sistem saraf pusat meningkatkan risiko
terjadinya jatuh, biasanya akibat kemungkina hipotensi atau karena
mengakibatkan perubahan status mental. Laksatif juga berpengaruh
terhadap insida jatuh. Individu yang mengalami hambatan mobilitas fisik
cenderung menggunakan alat bantu gerak seperti kursi roda, tongkat

27
tunggal, tongkat kaki empat dan walker. Pasien yang menggunakan alat
banu lebih mungkin jatuh dibandingkan dengan pasien yang tidak
menggunakan alat bantu. Penggunaan restrain mengakibatkan kelemahan
otot dan konfusi, yang merupakan faktor ekstrinsik terjadinya jatuh.
4. Komplikasi Instabilitas
Jatuh pada lansia menimbulkan komplikasi – komplikasi seperti:
(Kane, 2005; Van – der – Cammen, 2000)
a. Perlukaan (injury)
1) Rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit berupa robek
atau tertariknya jaringan otot, robeknya arteri / vena.
2) Patah tulang (fraktur): Pelvis, Femur (terutama kollum), humerus,
lengan bawah, tungkai bawah, kista.
3) Hematom subdural
b. Perawatan rumah sakit
1) Komplikasi akibat tidak dapat bergerak (imobilisasi).
2) Risiko penyakit – penyakit iatrogenik.
c. Disabilitas
1) Penurunan mobilitas yang berhubungan dengan perlukaan fisik.
2) Penurunan mobilitas akibat jatuh, kehilangan kepercayaan diri,
dan pembatasan gerak.
5. Pencegahan terhadap Jatuh
a. Mengindentifikasi faktor risiko, penilaian keseimbangan, gaya
berjalan, diberikan latihan fleksibilitas gerakan, latihan keseimbangan
fisik, koordinasi keseimbangan serta mengatasi faktor lingkungan.
Setiap lansia harus dievaluasi bagaimana keseimbangan badannya
dalam melakukan gerakan pindah tempat dan pindah posisi. Penilaian
goyangan badan sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh,
begitu pula dengan penilaian apakah kekuatan otot ekstremitas bawah
cukup untuk berjalan tanpa bantuan, apakah lansia menapakkan
kakinya dengan baik, tidak mudah goyah, dan mengangkat kaki
dengan benar saat berjalan. Kesemuanya itu harus diperbaiki bila
terdapat penurunan.

28
b. Memperbaiki kondisi lingkungan yang dianggap tidak aman, misalnya
dengan memindahkan benda berbahaya, peralatan rumah dibuat yang
aman (stabil, ketinggian disesuaikan, dibuat pegangan pada meja dan
tangga) serta lantai yang tidak licin dan penerangan yang cukup.
c. Menanggapi adanya keluhan pusing, lemas atau penyakit yang baru.
Apabila keadaan lansia lemah atau lemas tunda kegiatan jalan sampai
kondisi memungkinkan dan usahakan pelan-pelan jika akan merubah
posisi (Darmojo, 2009).
6. Penatalaksanaan Instabilitas
Tujuan penatalaksanaan ini untuk mencegah terjadinya jatuh
berulang dan menerapi komplikasi yang terjadi, mengembalikan fungsi
AKS terbaik, mengembalikan kepercayaan diri penderita.
a. Penatalaksanaan penderita jatuh dengan mengatasi atau meneliminasi
faktor risiko, penyebab jatuh dan menangani komplikasinya.
Penatalaksanaan ini harus terpadu dan membutuhkan kerja tim yang
terdiri dari dokter (geriatrik, neurologik, bedah ortopedi, rehabilitasi
medik, psikiatrik, dll), sosiomedik, arsitek dan keluarga penderita.
b. Penatalaksanaan bersifat individual, artinya berbeda untuk setiap
kasus karena perbedaan faktor-faktor yang bekerjasama
mengakibatkan jatuh. Bila penyebab merupakan penyakit akut
penanganannya menjadi lebih mudah, sederhanma, dan langsung bisa
menghilangkan penyebab jatuh serta efektif. Tetapi lebih banyak
pasien jatuh karena kondisi kronik, multifaktorial sehingga
diperlukan terapi gabungan antara obat rehabilitasi, perbaikan
lingkungan, dan perbaikan kebiasaan lansia itu. Pada kasus lain
intervensi diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh ulangan,
misalnya pembatasan bepergian / aktifitas fisik, penggunaan alat
bantu gerak.
c. Untuk penderita dengan kelemahan otot ekstremitas bawah dan
penurunan fungsional terapi difokuskan untuk meningkatkan
kekuatan dan ketahanan otot sehingga memperbaiki nfungsionalnya.
Sayangnya sering terjadi kesalahan, terapi rehabilitasi hanya

29
diberikan sesaat sewaktu penderita mengalami jatuh, padahal terapi
ini diperlukan terus – menerus sampai terjadi peningkatan kekuatan
otot dan status fumgsional. Penelitian yang dilakukan dalam waktu
satu tahun di Amerika Serikat terhadap pasien jatuh umur lebih dari
75 tahun, didapatkanpeningkatan kekuatan otot dan ketahanannya
baru terlihat nyata setelah menjalani terapi rehabilitasi 3 bulan,
semakin lama lansia melakukan latihan semakin baik kekuatannya.
d. Terapi untuk penderita dengan penurunan gait dan keseimbangan
difokuskan untuk mengatasi/mengeliminasi penyebabnya/faktor yang
mendasarinya. Penderita dimasukkan dalam program gait training,
latihan strengthening dan pemberian alat bantu jalan. Biasanya
program rehabilitasi ini dipimpin oleh fisioterapis. Program ini
sangatmembantu penderita dengan stroke, fraktur kolum femoris,
arthritis, Parkinsonisme.
e. Penderita dengan dissines sindrom, terapi ditujukan pada penyakit
kardiovaskuler yang mendasari, menghentikan obat-obat yang
menyebabkan hipotensi postural seperti beta bloker, diuretik, anti
depresan, dll.
f. Terapi yang tidak boleh dilupakan adalah memperbaiki lingkungan
rumah/tempat kegiatan lansia seperti di pencegahan jatuh
(Reuben,2005).
7. Pendekatan Diagnostik Instabilitas
Setiap penderita lansia jatuh, harus dilakukan assesmen seperti dibawah
ini:
a. Riwayat Penyakit (Jatuh)
Anamnesis dilakukan baik terhadap penderita ataupun saksi mata
jatuh atau keluarganya ( Kane,2005). Anamnesis ini meliputi :
1) Seputar jatuh : mencari penyebab jatuh misalnya terpeleset,
tersandung, berjalan, perubahan posisi badan, waktu mau berdiri
dari jongkok, sedang makan, sedang buang air kecil atau besar,
sedang batuk atau bersin, sedang menoleh tiba – tiba atau
aktivitas lain.

30
2) Gejala yang menyertai : nyeri dada, berdebar-debar, nyeri kepala
tiba-tiba, vertigo, pingsan, lemas, konfusio, inkontinens, sesak
nafas.
3) Kondisi komorbid yang relevan: pernah stroke, Parkinsonism,
osteoporosis, sering kejang, penyakit jantung, rematik, depresi,
defisit sensorik.
b. Review obat-obatan yang diminum: antihipertensi, diuretik,
autonomik bloker, antidepresan, hipnotik, anxiolitik, analgetik,
psikotropik.
c. Review keadaan lingkungan: tempat jatuh, rumah maupun tempat-
tempat kegiatannya.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Tanda vital : nadi, tensi, respirasi, suhu badan (panas / hipotermi)
2) Kepala dan leher : penurunan visus, penurunan pendengaran,
nistagmus, gerakan yang menginduksi ketidakseimbangan,
bising.
3) Jantung : aritmia, kelainan katup
4) Neurologi : perubahan status mental, defisit fokal, neuropati
perifer, kelemahan otot, instabilitas, kekakuan, tremor.
5) Muskuloskeletal : perubahan sendi, pembatasan gerak sendi
problem kaki ( podiatrik ), deformitas.

D. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Imobilitas pada Lansia


1. Pengkajian
A. Aktifitas/exercise.
Tingkat aktifitas sehari-hari
- Aktifitas apasaja yang sering klien kerjakan sehari-hari
- Apakah klien dapat memenuhi aktifitas sehari-sehari secara bebas
seperti (makan, minum, berpakaian, mandi, eliminasi, ambulasi,
menggunakan kursi roda, pindah dari kasur ke kursi, keluar masuk kamar
mandi dan keluar masuk kendaraan, berkomunikasi)
- Kaji ketidakmampuan klien dalam mengerjakan aktifitas sehari-hari:

31
 Apakah klien ketergantungan secara parsial ataukah secara
total
 Apakah kebuthan sehari-hari dipenuhi oleh keluarga, teman,
atau perawat atau langsung menggunakan peralatan yang dikhusukan
untuk memenuhi kebutuhan klien
Toleransi aktifitas
- Kaji berapa banyak dan berapa tipe aktifitas yang membuat klien
merasa capek
- Apakah klien pernah merasakan pusing-pusing, napas tersengal-
sengal, tanda-tanda peningkatan frekuensi pernapasan, atau permasalahan
lain ketika melaksanakan aktifitas ringan ataupun berat.
Latihan (exercise)
- Latihan apa saja yang klien sering lakukan untuk menjaga fitalitas
tubuh?
- Berapa lama dan berapa klien melaksanakan latihan tersebut
- Kaji apakah klien yakin dengan latihan tersebut dapat menambah
kesehatan klien? Dan suruh klien menjelaskan.
B. Riwayat keperawatan.
Didalam riwayat keperawatan seringkali tingkat aktifitas, toleransi aktifitas,
tipe dan frekuensi dari latihan dan factor-faktor yang mempengaruhi
mobilitas dimasukkan sebagai bagian dari riwayat keperawatan yang
komperhensif. Jikalau klien memperlihatkan hadirnya tanda-tanda perubahan
atau kesulitan dalam bergerak atau mobilisasi, akan lebih banyak lagi riwayat
keperawatan yang dibutuhhkan. Termasuk didalamnya sifat spesifik dari
permasalahan, penyebab jika diketahui, bagaimana masalah tersebut dapat
mempengaruhi aktifitas sehari-hari klien, apa yang klien lakukan untuk
mengatasi hal tersebut dan sejauh mana kefektifan cara klien mengatasi
maslah tersebut.
C. Pemeriksaan fisik.
Body alignment.

32
Pengkajian body alignment termasuk insfeksi klien baik saat duduk ataupun
saat berdiri. Adapun tujuan pengkajian body alignment adalah untuk
mengidentifikasi hal-hal sebagai berikut :
- Perubahan normal yang dihasilkan dari pertumbuhan dan
perkembangan
- Postur yang buruk dan mempelajari kebutuhan dalam
mempertahankan postur yang baik.
- Factor-faktor yang mempengaruhi perubahan postur yang kurang baik
sepeti fatigue dan harga diri rendah.
- Kelemahan otot atau kerusakan alat-alat gerak lainnya.

Pengkajian Indeks Barthel

LEMBAR PENGKAJIAN INDEKS BARTHEL


Nama Klien :
Usia :
Jenis Kelamin :

Sumber Informasi :
Tabel 1 Lembar Pengkajian Indeks Barthel
No. Item yang dinilai Sk
or
1. Makan 0 = Tidak mampu
1 = Butuh bantuan memotong lauk, mengoles
mentega dll
2 = Mandiri
2. Mandi 0 = Tergantung orang lain
1 = Mandiri
3. Perawatan diri 0 = Membutuhkan bantuan orang lain
1 = Mandiri dalam perawatan muka, rambut, gigi,
dan bercukur
4. Berpakaian 0 = Tergantung orang lain
1 = Sebagian dibantu (misal mengancing baju)
2 = Mandiri

33
5. Buang air kecil 0 = Inkontinensia atau pakai kateter dan tidak
terkontrol
1 = Kadang Inkontinensia (maks, 1x24 jam)
2 = Kontinensia (teratur untuk lebih dari 7 hari)

6. Buang air besar 0 = Inkontinensia (tidak teratur atau perlu enema)


1 = Kadang Inkontensia (sekali seminggu)
2 = Kontinensia (teratur)

7. Penggunaan toilet 0 = Tergantung bantuan orang lain


1 = Membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan
beberapa hal sendiri
2 = Mandiri

8. Transfer 0 = Tidak mampu


1 = Butuh bantuan untuk bisa duduk (2 orang)
2 = Bantuan kecil (1 orang)
3 = Mandiri

9. Mobilitas (berjalan di 0 = Immobile (tidak mampu)


permukaan datar)
1 = Menggunakan kursi roda
2 = Berjalan dengan bantuan satu orang
3 = Mandiri (meskipun menggunakan alat bantu
seperti, tongkat)
10. Naik turun tangga 0 = Tidak mampu
1 = Membutuhkan bantuan (alat bantu)
2 = Mandiri

Hasil dari pemeriksaan Indeks Bartel di kategorikan menjadi 5


kategori dengan rentang nilai berikut ini :
i. Skor 20 : Mandiri
ii. Skor 12-19 : Ketergantungan Ringan
iii. Skor 9-11 : Ketergantungan Sedang
iv. Skor 5-8 : Ketergantungan Berat
v. Skor 0-4 : Ketergantungan Total

2. Diagnosis
a. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan penurunan massa
otot.
b. Risiko jatuh berhubungan dengan riwayat jatuh.

34
c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan pola tidur tidak menyehatkan.
3. Intervensi

No Diagnosis Tujuan/kriteria hasil Intervensi


1. Hambatan Setelah dilakukan tindakan Terapi Latihan: Mobilitas
mobilitas fisik keperawatan selama … x24 Sendi
yang jam diharapkan masalah 1. Monitor lokasi dan
berhubungan hambatan mobilitas fisik kecenderungan adanya
dengan tertasi dengan kriteria hasil: nyeri dan
penurunan massa 1. Menopang BB tidak ketidaknyamanan
otot terganggu. selama
2. Berjalan dengan pelan. pergerakan/aktivitas.
3. Berjalan menaiki tangga. 2. Jelaskan pada pasien
4. Berjalan menuruni dan keluarga manfaat
tangga. dan tujuan melakukan
5. Keseimbangan tidak llatihan sendi.
terganggu. 3. Lakukan ROM pasif
6. Koordinasi tidak atau ROM dengan
terganggu. bantuan, sesuai
7. Gerakan otot tidak indikasi.
terganggu. 4. Dukung latihan ROM
8. Gerakan sendi tidak aktif, sesuai jadwal
terganggu. yang teratur dan
terencana.
5. Dukung pasien untuk
duduk di tempat tidur,
di samping tempat
tidur (“menjuntai”)
atau di kursi, sesuai
toleransi.
6. Dukung ambulasi, jika
memungkinkan.
7. Intruksikan
pasien/keluarga cara
melakukan latihan
ROM pasif, ROM
dengan bantuan, atau
ROM aktif.
Terapi Latihan:
Keseimbangan
1. Lakukan pengkajian
ruah untuk
mengidentifikasi
adanya bahaya
lingkungan dan

35
perilaku, jika (latihan)
dilakukan.
2. Evaluasi fungsi
sensorik (misalnya
penglihatan,
pendengarann, dan
propriosepsi.
3. Tentukan kemampuan
pasien untuk
berpartisipasi dalam
kegiatan-kegiatan
yang membutuhkan
keseimbangan.
4. Sediakan lingkungan
yang aman untuk
latihan.
5. Bantu pasien untuk
berpartisipasi dalam
latihan peregangan
sambil berbaring,
duduk, atau berdiri.
6. Bantu pasien untuk
pindah ke posisi
duduk, menstabilkan
tubuh dengan tangan
diletakkan di sisi atas
tempat tidur/kurs, dan
mengayun tubuh di
atas lengan yang
menyokong.
7. Bantu untuk
berdiri(atau duduk)
dan mengayun tubuh
dari sisi ke sisi untuk
menstimulsi
mekanisme
keseimbangan.

8. Sediakan sumber daya


untuk program
keseimbangan,
latihan, atau program
edukasi (pencegahan
jatuh).
Terapi Latihan: Kontrol

36
Otot
2. Tentukan kesiapan
pasien untuk terlibat
dalam aktivitas atau
protokol latihan.
3. Jelaskan protokol dan
rasionalisasi latihan
pada pasien dan
keluarga.
4. Bantu pasien untuk
berada posisi duduk
atau berdiri untuk
melakukan protokol
latihan, sesuai
kebutuhan.
5. Masukkan kegiata
sehari-hari dalm
protocol latihan, jika
diperlukan.
6. Dorong pasien untuk
mempraktikkan secara
mandiri, sesuai
indikasi.
7. Kolaborasi dengan
pemberi perawatan di
rumah terkait protocol
latihan dan kegiatan
sehari-hari.
2. Risiko jatuh Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Jatuh
berhubungan keperawatan selama … x24 1. Monitor gaya berjalan
dengan riwayat jam diharapkan masalah (terutama kecepatan),
jatuh risiko jatuh tertasi dengan keseimbangan, dan
kriteria hasil: tingkat kelelahan
1. dengan ambulasi.
2. Identifikasi perilaku
dan faktor yang
mempengaruhi risiko
jatuh.
3. Sediakan alat bantu
(misalnya tongkat atau
walker) untuk
menyeimbangkan gaya
berjalan.
4. Letakkan benda-benda
dalam jangkauan yang

37
mudah bagi pasein.
5. Sediakan penvahayaan
yang cukup dalam
rangka meningkatkan
pandangan.
6. Sediakan permukaan
lantai yang tidak licin
dan anti selip.
7. Ajarkan anggota
keluarga mengenai
faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap
adanya kejadian jatuh
dan bagaimana
keluarga bisa
menurunkan risiko ini.
3. Gangguan pola Setelah dilakukan tindakan Peningkatan Tidur
tidur keperawatan selama … x24 1. Monitor/catat pola
berhubungan jam diharapkan masalah tidur pasien dan
dengan pola tidur gangguan pola tidur teratasi jumlah jam tidur.
tidak dengan kriteria hasil: 2. Monitor pola tidur
menyehatkan 1. Jam tidur tidak pasien, dan catat
terganggu kondisi fisik
2. Pola tidur tidka (misalnya apne atidur,
terganggu. sumbatan jalan naps,
3. Kualitas tidur tidak nnyeri/ketidaknyama
terganggu. nan, dan frekuensi
4. Tidak ada kesulitan BAK) dan/atau
memulai tidur. psikologis (ketakutan
atau kecemasan)
keadaan yang
mengganggi tidur.
3. Tentukan pola
tidur/aktivitas pasien.
4. Sesuaikan lingkunga
(misalnya cahaya,
kebisingan, suhu,
kasur, dan tempat
tidur) untuk
meningkatkan tidur.
5. Bantu untuk
menghilangkan
situasi stress sebelum
tidur.
6. Bantu meningkatkan

38
jumlah jam tidur.
7. Mulai/terapkan
langkah-langkah
kenyamanan seperti
pijat, pemberian
posisi, dan sentuhan
afektif.
8. Ajarkan pasien dan
orang terdekat
mengenai faktor yang
berkontribusi
terjadinya gangguan
pola tidur (misalnya,
fisiologis, psikologis,
pola hidup, faktor
lingkungan lainnya).
9. Diskusikan dengan
pasien dan keluarga
mengenai teknik
untuk meningkatkan
tidur.

E. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Instabilitas pada Lansia


1. Pengkajian
a. Aktifitas/exercise
1) Tingkat aktivitas sehari-hari.
2) Aktivitas apasaja yang sering klien kerjakan sehari-hari.
3) Apakah klien dapat memenuhi aktivitas sehari-sehari secara bebas
seperti (makan, minum, berpakaian, mandi, eliminasi, ambulasi,
menggunakan kursi roda, pindah dari kasur ke kursi, keluar masuk
kamar mandi dan keluar masuk kendaraan, berkomunikasi).
4) Kaji ketidakmampuan klien dalam mengerjakan aktifitas sehari-hari:
a) Apakah klien ketergantungan secara parsial ataukah secara total.
b) Apakah kebuthan sehari-hari dipenuhi oleh keluarga, teman, atau
perawat atau langsung menggunakan peralatan yang dikhusukan
untuk memenuhi kebutuhan klien.
5) Toleransi aktivitas

39
b) Kaji berapa banyak dan berapa tipe aktifitas yang membuat klien
merasa capek.
c) Apakah klien pernah merasakan pusing-pusing, napas tersengal-
sengal, tanda-tanda peningkatan frekuensi pernapasan, atau
permasalahan lain ketika melaksanakan aktifitas ringan ataupun
berat.
d) Latihan (exercise)
ii. Latihan apa saja yang klien sering lakukan untuk menjaga
fitalitas tubuh?
iii. Berapa lama dan berapa klien melaksanakan latihan tersebut?
iv. Kaji apakah klien yakin dengan latihan tersebut dapat
menambah kesehatan klien? Dan suruh klien menjelaskan.
6) Faktor-faktor yang mempengaruhi mobilitas.
a) Factor lingkungan : limgkungan sekitar yang tidk aman untuk
aktifitas sehari-hari ataupun tata cara latihan yang berbahaya.
b) Masalah kesehatan : apakah sering mengalami masalah kesehatan
fisik atau mental, yang lama atau yang sedang dialami yang dapat
menyebabkan berkurangnya kekuaatan otot atau daya tahan tubuh
seperti : penyakit jantung, penyakit paru-paru, stroke, kanker,
masalah-masalah neuromuscular, masalah-masalah
muskuluskletal, kerusakan visual atau mental, trauma atau nyeri?
c) Faktor-faktor keuangan: apakah pemenuhan keuangan klien
adequate guna memenuhi kebutuhan peralatan atau pertolongan
yang dibutuhkan saat mobiliitas klien?
7) Riwayat keperawatan
Di dalam riwayat keperawatan seringkali tingkat aktifitas,
toleransi aktifitas, tipe dan frekuensi dari latihan dan factor-faktor
yang mempengaruhi mobilitas dimasukkan sebagai bagian dari
riwayat keperawatan yang komperhensif. Jikalau klien
memperlihatkan hadirnya tanda-tanda perubahan atau kesulitan dalam
bergerak atau mobilisasi, akan lebih banyak lagi riwayat keperawatan
yang dibutuhhkan. Termasuk didalamnya sifat spesifik dari

40
permasalahan, penyebab jika diketahui, bagaimana masalah tersebut
dapat mempengaruhi aktifitas sehari-hari klien, apa yang klien
lakukan untuk mengatasi hal tersebut dan sejauh mana kefektifan cara
klien mengatasi maslah tersebut.
8) Pemeriksaan fisik
a) Body alignment
Pengkajian body alignment termasuk insfeksi klien baik saat
duduk ataupun saat berdiri. Adapun tujuan pengkajian body
alignment adalah untuk mengidentifikasi hal-hal sebagai berikut:
ii. Perubahan normal yang dihasilkan dari pertumbuhan dan
perkembangan.
iii. Postur yang buruk dan mempelajari kebutuhan dalam
mempertahankan postur yang baik.
iv. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan postur yang
kurang baik sepeti fatigue dan harga diri rendah.
v. Kelemahan otot atau kerusakan alat-alat gerak lainnya.

Pengkajian Risiko Jatuh

Lembar Dokumentasi Time Up Go Test


Nama Klien :
Usia :
Jenis Kelamin :

Pendidikan Terakhir :

Tabel 4 Dokumentasi TUGT

N Tanggal Pemeriksaan Hasil TUG (detik)


o
1

41
3

Rata-rata Waktu TUG

Interpretasi hasil

Observasi gaya berjalan

Untuk mendapatkan hasil yang lebih tepat pemeriksaan dapat


dilakukan sebanyak 3 kali dan diambil rerata waktu tempuh.

2. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan keterbataan
rentang gerak.
2. Gangguan nyaman nyeri yang berhubungan dengan trauma jaringan
akibat jatuh
3. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan
fraktur, pemasangan traksi pen, imobilitas fisik.

3. Intervensi Keperawatan

No Diagnosis Tujuan/kriteria hasil Intervensi


1 Gangguan Tujuan atau kriteria hasil Dukungan ambulasi
mobilitas fisik yang diharapkan: 1. Identifikasi adanya nyeri
yang - Klien mampertahankan atau keluhan fisik
berhubungan kekuatan dan ketahanan lainnya
dengan sistem muskuloskeletal 2. Fasilitasi aktivitas
penurunan dan fleksibilitas sendi- ambulasi dengan alat
massa otot sendi dibuktikan oleh bantu
tidak adanya kontraktur. 3. Fasilitasi melakukan
mobilisasi jika perlu
4. Ajarkan ambulasi
sederhana yang harus
dilakukan
Dukungan mobilisasi
5. Identifikasi toleransi
fisik melakukan

42
pergerakan
6. Monitor kondisi umum
selama melakukan
mobilisasi
7. Libatkan keluarga untuk
membantu pasien
meningkatkan
pergerakan
8. Jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi

2 Nyeri akut Tujuan atau kriteria hasil Manajemen nyeri


berhubungan yang diharapkan:  Identifikasi lokasi,
dengan trauma - Klien menyatakan nyeri karakteristik, durasi,
jaringan terkontrol frekuensi, kualitas,
akibat jatuh - Klien mampu intensitas nyeri
membatasi fungsi posisi  Identifikasi skala nyeri
dengan pembatasan  Identfikasi respon nyeri
kontraktur non verbal
- Klien mampu  Identifikasi faktor yang
mempertahankan atau memperberat dan
meningkatkan kekuatan memperingan nyeri
dan fungsi kompensasi  Berikan teknik
tubuh. nonfarmakologis untuk
- TTV dalam batas mengurangi nyeri
normal  Kontrol lingkungan yang
memperberat nyeri
 edukasi strategi
meredakan nyeri
3 Gangguan Tujuan atau kriteria hasil Perawatan integritas kulit
integritas kulit yang diharapkan:  Identifikasi penyebab
berhubungan - Klien menyatakan gangguan integritas kulit
dengan ketidaknyamanan hilang  Ubah posisi tiap 2 jam
fraktur, - Klien menunjukkan jika tirah baring
pemasangan perilaku untuk  Gunakan produk
traksi pen, mencegah kerusakan berbahan ringan alami
imobilitas kulit atau memudahkan dan hypoalergic pada
fisik. penyembuhan sesuai kulit sensitif
indikasi  Anjurkan minum yang
- Mencapai penyembuhan cukup
luka sesuai waktu atau  Anjurkan meningkatkan
penyembuhan lesi nutrisi
terjadi Perawatan luka
 Monitror karakteristik

43
luka
 Pasang balutan sesuai
jenis luka
 Ganti balutan sesuai
jumlah eksudat dan
drainase
 Anjurkan makanan
tinggi kalori dan protein
 Anjurkan prosedur dan
perawatan luka secara
mandiri
 Jelaskan tanda dan gejala
infeksi
 Kolaborasi pemberian
antibiotik jika perlu

44
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN IMOBILITAS

NARASI KASUS

Ny. A (72 th) mengatakan kakinya pegal-pegal dan badan sulit untuk
digerakkan, keluarga mengatakan bahwa Ny. A mempunyai riwayat hipertensi dan
pernah jatuh 1 tahun yang lalu, TD: 150/90 mmhg, N: 85x/mnt, RR: 22x/mnt, S:
37oC. Pasien rutin mengkonsumsi obat amlodipine dari dokter, segala aktivitas Ny.A
dibantu.

Tanggal Pengkajian: 21 Oktober 2019

A. PENGKAJIAN
1. Identitas
Nama : Ny. A
Umur : 72 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa/Indonesia
Bahasa : Jawa
Pendidikan Terakhir : SMP
Pekerjaan : Tidak bekerja
Alamat : Mulyorejo Timur, Surabaya
2. Keluhan Utama
Pasien mengatakan kakinya pegal-pegal dan sulit untuk digerakkan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluarga mengatakan bahwa Ny.A mempunyai riwayat jatuh 1 tahun yang
lalu.
4. Riwayat Penyakit Sebelum Sakit
Penyakit yang pernah diderita : hipertensi
Obat yang biasa dikonsumsi : amlodipine 5mg

45
Kebiasaan berobat : Dokter
Perawatan di RS terakhir : Tidak ada
Alat bantu yang digunakan : Tidak menggunakan alat bantu
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Anggota keluarga klien tidak ada yang menderita penyakit keturunan ataupun
menular.
6. Riwayat Psikologi
Pasien hidup bersama 2 anak beserta menantunya serta 4 cucu.
7. Pola Aktivitas Sehari-hari
a. Makan Dan Minum
Kebiasaan makan sebelum sakit
Frekuensi : 3x / hari
Jenis : Nasi sayur,lauk + buah-buahan
Pantangan : Tidak ada
Makanan yang disukai : Semua makanan disukai
Makanan yang tidak disukai : Tidak ada
Alergi makanan : Tidak alergi makanan
Kebiasaan minum sebelum sakit
Frekuensi : 5 x/hari @ 250 cc
Jenis : Air putih
Pantangan : Tidak ada
Minuman yang diskai : Air putih
Minuman yang tidak disukai : Tidak ada
Alergi minuman : Tidak alergi minuman
Kebiasaan makan saat sakit
Frekuensi : 3x / hari
Jenis : bubur, sayur, lauk + buah
Pantangan : Tidak ada
Makanan yang diskai : Semua makanan disukai
Makanan yang tidak disukai : Tidak ada
Alergi makanan : Tidak alergi makanan
Klien makan dengan dibantu

46
Kebiasaan saat sakit
Frekuensi : 5 x/hari @ 250 cc
Jenis : Air putih
Pantangan : Tidak ada
Minuman yang diskai : Air putih
Minuman yang tidak disukai : Tidak ada
Alergi minuman : Tidak alergi minuman
Klien minum dengan dibantu
b. Eliminasi
Sebelum sakit : Klien mampu BAB dan BAK sendiri tanpa bantuan orang
lain. BAK 5x/hari BAB 1x/hari tanpa obat pencahar.
Saat sakit : Klien masih mampu BAB dan BAK. BAK 5 x/hari BAB
1x/hari dengan bantuan orang lain. Penggunaan toilet
membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan beberapa hal
sendiri.
c. Kebersihan
Sebelum sakit : Klien mandi 2x/ hari dan ganti pakaian 2x/ hari keramas
3 x/ minggu, sikat gigi 2x/hari memotong kuku 1x/minggu.
Semua tindakan dilakukan secara mandiri.
Saat sakit : Klien mandi 1x/ hari hanya diseka dan ganti pakaian 1x/
hari keramas -, sikat gigi 1 x/hari memotong kuku -.
Semua tindakan dengan dibantu.
d. Berpakaian
Sebelum sakit : Klien dapat menggunakan pakaian sendiri. Semua
tindakan dilakukan secara mandiri.
Saat sakit : Klien bisa menggunakan pakaian hanya sebagian saja.
Sebagian dengan bantuan.
e. Pola Istirahat Dan Aktivitas
Sebelum sakit: klien tidur siang kurang lebih1 2 jam/hari mulai pukul
13.00 – 15.00 WIB, klien tidur malam kurang lebih 6
jam/hari mulai pukul 22.00 - 04.00 WIB, aktivitas 4
jam/hari pukul 07.00 – 11.00 WIB.

47
Saat sakit : Klien tidur siang 1 jam/hari, klien tidur malam kurang
lebih 5 jam / hari, sering terbangun, aktivitas tidak ada.
Transfer : butuh bantuan untuk bisa duduk (2 orang)
f. Mobilitas (berjalan di permukaan datar)
Sebelum sakit : klien dapat berjalan sendiri tanpa bantuan.
Saat sakit : Klien menggunakan kursi roda.
g. Naik turun tangga
Sebelum sakit : Klien dapat naik turun tangga mandiri tanpa bantuan.
Saat sakit : Klien tidak mampu untuk naik turun tangga.
h. Pola Hubungan dan Peran
Hubungan klien di masyarakat sangat baik dan bisa bersosialisasi dengan
siapa saja.
i. Pola Kognitif
Klien dapat berpikir dengan baik dan dapat berbincang-bincang dengan
baik.
8. Hasil dari pemeriksaan Indeks Bartel Ny.A mendapat skor 8 (ketergantungan
berat)
9. Hasil dari pemeriksaan TUGT 19

10. PENGKAJIAN PER SISTEM


a. Pernafasan (Breathing)
Bentuk dada : Simetris
Batuk : Kadang
Nyeri waktu bernapas : Tidak
Pola napas : Regular
Frekuensi napas : 22 x/menit
Bunyi napas Abnormal : Ronchi – / –, wheezing + / +
Alat bantu napas : Tidak pakai alat bantu napas
b. Kardiovaskuler (Blood)
Nadi : 85x/mnt
Frekuensi napas : 22 x/menit
Tekanan darah : 150/90 mmHg

48
Bunyi jantung : DBN
Suhu : 37 oC
Pembesaran jantung : Tidak ada
Nyeri dada : Tidak ada
Persyarafan (Brain)
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 4-5-6
Reflek : Normal
Kejang : Tidak ada
c. Perkemihan (Blader)
Masalah kandung kemih, tidak ada masalah, klien tidak terpasang kateter,
produksi urine ±200 cc setiap berkemih, warna jernih, kuning, bau khas
urine.
d. Otot, Tulang Dan Integumen (Bone)
Otot dan tulang
Kemampuan pergerakan sendi lengan dan tungkai bebas

3
Tidak ada fraktur, dislokasi, haematum, Kekuatan otot

45

3
e. Integumen
Warna kulit : Kemerahan
Akral : Hangat
Turgor : Elastik, kembali dalam < 2detik
B. ANALISIS DATA

Data fokus Etiologi Masalah


DS : Penurunan massa otot Hambatan mobilitas fisik
Ny. A (72th) mengatakan
kakinya pegal-pegal dan
badan sulit untuk
digerakkan
DO :
TD : 150/90 mmhg,
N: 85x/mnt,
RR: 22x/mnt,
S: 370C.
Kekuatan otot
4 4
3 3

49
DS : Riwayat jatuh Risiko jatuh
Ny.A mengatakan pernah
jatuh 1 tahun yang lalu
DO :
Usia klien : 72 tahun
(lebih dari 65 tahun)
Skor TUGT : 19 detik

DS : Pola tidur tidak Gangguan pola tidur


Klien mengatakan tidur menyehatkan
siang 1 jam/hari, klien
tidur malam kurang lebih
5 jam / hari, sering
terbangun dan tiba tiba
merasa pegal
DO :
Klien tampak lemas
TD : 150/90 mmhg,
N: 85x/mnt,
RR: 22x/mnt,
S: 370C.

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan penurunan massa otot.
2. Risiko jatuh berhubungan dengan riwayat jatuh.
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan pola tidur tidak menyehatkan.

D. INTERVENSI KEPERAWATAN

No Diagnosis Tujuan/kriteria hasil Intervensi


1. Hambatan mobilitas Setelah dilakukan Terapi Latihan: Mobilitas
fisik yang tindakan keperawatan Sendi
berhubungan selama 3x24 jam 1. Monitor lokasi dan
dengan penurunan diharapkan masalah kecenderungan adanya
massa otot hambatan mobilitas nyeri dan
fisik tertasi dengan ketidaknyamanan
kriteria hasil: selama
1. Menopang BB pergerakan/aktivitas.
tidak terganggu. 2. Jelaskan pada pasien dan
2. Berjalan dengan keluarga manfaat dan
pelan. tujuan melakukan
3. Berjalan menaiki llatihan sendi.
tangga. 3. Lakukan ROM pasif atau

50
4. Berjalan menuruni ROM dengan bantuan,
tangga. sesuai indikasi.
5. Keseimbangan 4. Dukung latihan ROM
tidak terganggu. aktif, sesuai jadwal yang
6. Koordinasi tidak teratur dan terencana.
terganggu. 5. Dukung pasien untuk
7. Gerakan otot tidak duduk di tempat tidur, di
terganggu. samping tempat tidur
8. Gerakan sendi (“menjuntai”) atau di
tidak terganggu. kursi, sesuai toleransi.
6. Dukung ambulasi, jika
memungkinkan.
7. Intruksikan
pasien/keluarga cara
melakukan latihan ROM
pasif, ROM dengan
bantuan, atau ROM
aktif.
Terapi Latihan:
Keseimbangan
1. Lakukan pengkajian
ruah untuk
mengidentifikasi adanya
bahaya lingkungan dan
perilaku, jika (latihan)
dilakukan.
2. Evaluasi fungsi sensorik
(misalnya penglihatan,
pendengarann, dan
propriosepsi.
3. Tentukan kemampuan
pasien untuk
berpartisipasi dalam
kegiatan-kegiatan yang
membutuhkan
keseimbangan.
4. Sediakan lingkungan
yang aman untuk
latihan.
5. Bantu pasien untuk
berpartisipasi dalam
latihan peregangan
sambil berbaring,
duduk, atau berdiri.
6. Bantu pasien untuk

51
pindah ke posisi duduk,
menstabilkan tubuh
dengan tangan
diletakkan di sisi atas
tempat tidur/kurs, dan
mengayun tubuh di atas
lengan yang
menyokong.
7. Bantu untuk berdiri
(atau duduk) dan
mengayun tubuh dari
sisi ke sisi untuk
menstimulsi mekanisme
keseimbangan.
8. Sediakan sumber daya
untuk program
keseimbangan, latihan,
atau program edukasi
(pencegahan jatuh).
Terapi Latihan: Kontrol
Otot
1. Tentukan kesiapan
pasien untuk terlibat
dalam aktivitas atau
protokol latihan.
2. Jelaskan protokol dan
rasionalisasi latihan pada
pasien dan keluarga.
3. Bantu pasien untuk
berada posisi duduk atau
berdiri untuk melakukan
protokol latihan, sesuai
kebutuhan.
4. Masukkan kegiata
sehari-hari dalm
protocol latihan, jika
diperlukan.
5. Dorong pasien untuk
mempraktikkan secara
mandiri, sesuai indikasi.
6. Kolaborasi dengan
pemberi perawatan di
rumah terkait protocol
latihan dan kegiatan
sehari-hari.

52
2. Risiko jatuh Setelah dilakukan Pencegahan Jatuh
berhubungan tindakan keperawatan 1. Monitor gaya berjalan
dengan riwayat selama 3x24 jam (terutama kecepatan),
jatuh diharapkan masalah keseimbangan, dan
risiko jatuh tertasi tingkat kelelahan
dengan kriteria hasil: dengan ambulasi.
1. Jatuh saat berdiri 2. Identifikasi perilaku dan
tidak ada. faktor yang
2. Jatuh saat berjalan mempengaruhi risiko
tidak ada. jatuh.
3. Jatuh saat duduk 3. Sediakan alat bantu
tidak ada. (misalnya tongkat atau
4. Jatuh dari tempat walker) untuk
tidur tidak ada. menyeimbangkan gaya
5. Jatuh saat naik berjalan.
tangga tidak ada. 4. Letakkan benda-benda
6. Terjun saat turun dalam jangkauan yang
tangga tidak ada. mudah bagi pasein.
7. Jatuh saat ke kamar 5. Sediakan penvahayaan
mandi tidak da. yang cukup dalam
8. Jatuh saat rangka meningkatkan
membungkuk tidak pandangan.
ada. 6. Sediakan permukaan
lantai yang tidak licin
dan anti selip.
7. Ajarkan anggota
keluarga mengenai
faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap
adanya kejadian jatuh
dan bagaimana keluarga
bisa menurunkan risiko
ini.
3. Gangguan pola Setelah dilakukan Peningkatan Tidur
tidur berhubungan tindakan keperawatan 1. Monitor/catat pola tidur
dengan pola tidur selama … x24 jam pasien dan jumlah jam
tidak menyehatkan diharapkan masalah tidur.
gangguan pola tidur 2. Monitor pola tidur
teratasi dengan kriteria pasien, dan catat kondisi
hasil: fisik (misalnya apne
1. Jam tidur tidak atidur, sumbatan jalan
terganggu naps,
2. Pola tidur tidka nnyeri/ketidaknyamanan
terganggu. , dan frekuensi BAK)
3. Kualitas tidur tidak dan/atau psikologis

53
terganggu. (ketakutan atau
4. Tidak ada kesulitan kecemasan) keadaan
memulai tidur. yang mengganggi tidur.
3. Tentukan pola
tidur/aktivitas pasien.
4. Sesuaikan lingkunga
(misalnya cahaya,
kebisingan, suhu, kasur,
dan tempat tidur) untuk
meningkatkan tidur.
5. Bantu untuk
menghilangkan situasi
stress sebelum tidur.
6. Bantu meningkatkan
jumlah jam tidur.
7. Mulai/terapkan langkah-
langkah kenyamanan
seperti pijat, pemberian
posisi, dan sentuhan
afektif.
8. Ajarkan pasien dan
orang terdekat mengenai
faktor yang
berkontribusi terjadinya
gangguan pola tidur
(misalnya, fisiologis,
psikologis, pola hidup,
faktor lingkungan
lainnya).
9. Diskusikan dengan
pasien dan keluarga
mengenai tekni untuk
meningkatkan tidur.

54
BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Lanjut usia adalah suatu proses fisiologis yang tidak dapat dihindari, ditandai
dengan penurunan kemampuan tubuh beradaptasi terhadap stress di lingkungan. Pada
lansia terjadi perubahan fisik yang fisiologis, dapat menimbukan berbagai masalah,
salah satunya yaitu immobilitas dan instabilitas (resiko jatuh). Imobilisasi merupakan
salah satu masalah kesehatan yang cukup besar di bidang geriatri yang timbul
sebagai akibat penyakit atau masalah psikososial yang diderita. Instabilitas/jatuh
adalah kejadian tiba-tiba dan tidak disengaja yang mengakibatkan seseorang
terbaring atau terduduk di lantai dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka.
Immobilitas pada lansia seringkali tidak dapat dicegah, namun beberapa komplikasi
akibat dapat dicegah. Upaya seperti mobilisasi dini dapat dilakukan untuk
mengurangi insiden dan mengurangi beratnya komplikasi imobilisasi, sehingga dapat
mempercepat proses penyembuhan dan kualitas hidup pasien. Instabilitas/ jatuh pada
lansia dapat menimbulkan berbagai komplikasi, sehingga perlu adanya tindakan
pencegahan resiko.

4.2 SARAN
 Mahasiswa kesehatan sebaiknya memahami dan mnegetahui konsep imobilitas
dan instabilitas pada lansia dan asuhan keperawatannya guna untuk
mengaplikasikan dalam memberikan pelayanan kepada pasien.
 Pelayanan keperawatan dapat memberikan anjuran kepada keluarga untuk
melalukan pencegahan resiko bahaya pada lansia
 Diharapkan lansia dapat mencegah komplikasi dari immobilitas.
 Lansia dan keluarga sebaiknya dapat mencegah resiko jatuh yang terjadi pada
lansia yang keseimbangannya terganggu dengan cara mengidentifikasi terlebih
dahulu kemudian memperbaiki atau memodifikasi lingkungan sehingga tidak
menimbulkan bahaya resiko jatuh pada lansia

55
DAFTAR PUSTAKA

Barbara, Kozier, 1995. Fundamental Of Nursing, Addison Wesley, California

56

Anda mungkin juga menyukai