Anda di halaman 1dari 29

Meet The Expert

INFEKSI COVID DALAM KEHAMILAN

Oleh :
Arfozha Radya Gruveno 2040312008
Rara Avira Viandini 2040312102
Ghina Muthmainnah 2040312078
Nadiya Ulfa Mawardi 2040312051
Nurul Ramadhini 2040312130
Isna Annisatuzzakiyah 2040312013

Preseptor :
Prof.Dr.dr.Yusrawati, Sp.OG(K)-FM

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RSUP DR M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2021
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Corona virus Disease 2019 (COVID-19) merupakan gangguan pada


saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh Virus Severe Acute Respiratory
Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang terjadi pertama kali di Wuhan,
Provinsi Hubei, Tiongkok pada Desember 2019 dan menyebar dengan cepat di
seluruh dunia. Kasus infeksi ini pertama kali berasal dari sebuah Pasar yang
menjual berbagai seafood dan hewar liar di kota tersebut. Berdasarkan analisis
sampel Swab oleh Chines Centre for Disease Control and Prevention (CCDC)
diketahui terdapat sekuens genome SARS-CoV-2 pada subjek penderita dan juga
kelelawar yang dicurigai sebagai hospes reservoir. Hingga saat ini, SARS-CoV-2
dapat tertransmisi dari manusia ke manusia.1
Badan kesehatan dunia, WHO, mengumumkan COVID-19 sebagai wabah
pandemi pada tanggal 30 Januari 2020. Hal ini disebabkan karena begitu cepatnya
perkembangan kasus COVID-19 dalam 2 minggu dan telah menyebar di seluruh
dunia.2 Data menyebutkan bahwa terdapat 7.734 kasus yang telah terkonfirmasi di
Cina pada hari itu. Pada tanggal 30 Maret 2020,WHO mengkonfirmasi terdapat
632.146 kasus dengan 30.105 kasus kematian di 203 Negara di seluruh dunia.3
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyebutkan bahwa terdapat total
1.285 terkonfirmasi positif dengan 114 kematian pada hari itu.4

Sebanyak 80% infeksi COVID-19 tergolong asimptomatis maupun


dengan gejala ringan (mild), 15% sedang (severe) yang membutuhkan oksigen, dan
5% berat yang membutuhkan ventilator (WHO, 2020). Gejala COVID-19 muncul
setelah masa inkubasi (1–5 hari) yaitu masa dimana virus SARS-CoV-2 masuk dan
menginfeksi saluran pernapasan pasien. Gejala COVID-19 dapat terjadi pada hari
ke 7 hingga ke 14 tergantung dari status sistem imun seseorang. Gejala klinis
COVID-19 yang sering muncul yaitu panas tinggi (>37.5°C),bersin,sesaknapas,dan
batukkering. Manifestasi klinis lain yang mungkin muncul pada pasien diantaranya
diare, limfopenia, dan kerusakan paru-paru yang ditunjukkan dari pemeriksaan foto
toraks.5
Wanita hamil merupakan kelompok yang rentan mengalami gangguan
kesehatan khususnya penyakit infeksi dikarenakan adanya perubahan fisiologi
tubuh dan mekanisme respon imun di dalam tubuhnya. Selain itu juga terdapat
perubahan imunitas tubuh dari arah Th1 ke arah Th2. Berdasarkan data kasus
wanita terkonfirmasi positif di Amerika Serikat pada Agustus 2020 sejumlah
15.735 jiwa (0,3% dari total kasus terkonfirmasi positif).6 Menurut data
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Jakarta, 13,7% perempuan
hamil lebih mudah terinfeksi Covid-19, dibandingkan mereka yang tidak hamil.7
1.2 Tujuan Penulisan

Penulisan Meet The Expert ini bertujuan untuk memahami srta menambah
pengetahuan mengenai infeksi Covid dalam kehamilan.
1.3 Batasan Penulisan

Batasan penulisan Meet The Expert ini membahas mengenai infeksi Covid,
pengaruh Covid pada kehamilan, pengaruh kehamilan pada Covid, pengaruh Covid
pada janin.
1.4 Metode Penulisan

Penulisan Meet The Expert ini menggunakan metode penulisan tinjauan


kepustakaan yang merujuk ke berbagai literatur.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 COVID-19

2.1.1 Definisi

Corona virus disease 2019 (COVID-19) adalah suatu penyakit menular


yang disebabkan oleh virus RNA yaitu Severe Acute Respiratory Syndrome
Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Tanda dan gejala umum berupa gangguan
pernafasan akut, batuk, dan sesak nafas.8
2.1.2 Epidemiologi

Prevalensi kasus COVID-19 di seluruh dunia, berdasarkan data laporan


WHO per tanggal 28 Juli 2021, didapatkan 195.266.156 kasus terkonfirmasi dengan
4.180.161 kematian.9 Indonesia melaporkan kasus pertama COVID-19 pada
tanggal 2 Maret 2020. Kasus meningkat dan menyebar dengan cepat di seluruh
wilayah Indonesia.8 Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia (Kemenkes RI) sampai dengan 28 Juli 2021, total kasus terkonfirmasi
secara keseluruhan mencapai 3.287.727 kasus dengan 88.659 kematian.10
Prevalensi kasus COVID-19 di Provinsi Sumatera Barat, berdasarkan data terbaru
per tanggal 28 Juli 2021 kasus terkonfirmasi COVID-19 sebanyak 68.074 kasus
dengan kematian sebanyak 1.445 kasus.11 Angka kejadian COVID-19 di Kota
Padang per tanggal 28 Juli 2021 sudah mencapai 32.356 kasus dengan 463 kasus
kematian.12
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh CDC China, diketahui bahwa
kasus paling banyak terjadi pada pria (51,4%) dan terjadi pada usia 30-79 tahun dan
paling sedikit terjadi pada usia <10 tahun (1%). Sebanyak 81% kasus merupakan
kasus yang ringan, 14% parah, dan 5% kritis. Orang dengan usia lanjut atau yang
memiliki penyakit bawaan diketahui lebih berisiko untuk mengalami penyakit yang
lebih parah. Usia lanjut juga diduga berhubungan dengan tingkat kematian. CDC
China melaporkan bahwa CFR pada pasien dengan usia ≥ 80 tahun adalah 14,8%,
sementara CFR keseluruhan hanya 2,3%. Hal yang sama juga ditemukan pada
penelitian di Italia, di mana CFR pada usia ≥ 80 tahun adalah 20,2%, sementara
CFR keseluruhan adalah 7,2%. Tingkat kematian juga dipengaruhi oleh adanya
penyakit bawaan pada pasien. Tingkat 10,5% ditemukan pada pasien dengan
penyakit kardiovaskular, 7,3% pada pasien dengan diabetes, 6,3% pada pasien
dengan penyakit pernapasan kronis, 6% pada pasien dengan hipertensi, dan 5,6%
pada pasien dengan kanker.13
2.1.3 Cara Penularan

Virus SARS-CoV-2 merupakan kelompok zoonosis yang ditularkan


awalnya melalui hewan. Namun, seiring berkembangnya waktu virus ini dapat
menular dari manusia ke manusia dengan penyebaran melalui droplet.14 Droplet
merupakan partikel berisi air dengan diameter >5-10 µm. Penularan melalui droplet
dapat terjadi ketika seseorang berada pada jarak dekat (dalam ±1 meter) dengan
seseorang yang memiliki gejala pernapasan seperti batuk atau bersin sehingga
droplet berisiko mengenai mukosa mulut dan hidung atau konjungtiva.
Penularan SARS-CoV-2 juga dapat terjadi melalui benda dan permukaan yang
terkontaminasi droplet sekitar orang yang terinfeksi.8 Selain itu, SARS-COV-2
dapat terdeteksi pada spesimen non-pernapasan, seperti tinja, darah, sekret mata,
air mani, dan air susu ibu. Oleh karena itu rute penularan lain juga telah
dipertimbangkan, meskipun peran mereka dalam penularan virus masih belum
diketahui.15
Masa inkubasi COVID-19 rata-rata 5-6 hari, dengan range antara 1 dan 14
hari namun dapat mencapai 14 hari. Risiko penularan tertinggi diperoleh di hari-
hari pertama penyakit disebabkan oleh konsentrasi virus pada sekret yang tinggi.
Orang yang terinfeksi dapat langsung dapat menularkan sampai dengan 48 jam
sebelum onset gejala (presimptomatik) dan sampai dengan 14 hari setelah onset
gejala.13
2.1.4 Patogenesis

Virus SARS-CoV-2 dapat melewati membran mukosa, terutama mukosa


nasal dan laring, kemudian memasuki paru-paru melalui traktus respiratorius.
Selanjutnya, virus akan menyerang organ target yang mengekspresikan
Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE2), seperti paru-paru, jantung, sistem renal
dan traktus gastrointestinal.16
Protein S pada SARS-CoV-2 memfasilitasi masuknya virus corona ke
dalam sel target. Masuknya virus bergantung pada kemampuan virus untuk
berikatan dengan ACE2, yaitu reseptor membran ekstraselular yang diekspresikan
pada sel epitel, dan bergantung pada priming protein S ke protease selular, yaitu
TMPRSS2.17,18,19
Protein S pada SARS-CoV-2 dan SARS-CoV memiliki struktur tiga
dimensi yang hampir identik pada domain receptor-binding. Protein S pada SARS
CoV memiliki afinitas ikatan yang kuat dengan ACE2 pada manusia. Pada analisis
lebih lanjut, ditemukan bahwa SARS-CoV-2 memiliki pengenalan yang lebih baik
terhadap ACE2 pada manusia dibandingkan dengan SARS-CoV.20
Periode inkubasi untuk COVID-19 antara 3-14 hari. Ditandai dengan kadar
leukosit dan limfosit yang masih normal atau sedikit menurun, serta pasien belum
merasakan gejala. Selanjutnya, virus mulai menyebar melalui aliran darah, terutama
menuju ke organ yang mengekspresikan ACE2 dan pasien mulai merasakan gejala
ringan. Empat sampai tujuh hari dari gejala awal, kondisi pasien mulai memburuk
dengan ditandai oleh timbulnya sesak, menurunnya limfosit, dan perburukan lesi di
paru. Jika fase ini tidak teratasi, dapat terjadi Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARSD), sepsis, dan komplikasi lain.Tingkat keparahan klinis berhubungan dengan
usia (di atas 70 tahun), komorbiditas seperti diabetes, penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK), hipertensi, dan obesitas.16,21
Sistem imun innate dapat mendeteksi RNA virus melalui RIG-I-like
receptors, NOD-like receptors, dan Toll-like receptors. Hal ini selanjutnya akan
menstimulasi produksi interferon (IFN), serta memicu munculnya efektor antiviral
seperti sel CD8+, sel Natural Killer (NK), dan makrofag. Infeksi dari
betacoronavirus lain, yaitu SARS-CoV dan MERS-CoV, dicirikan dengan replikasi
virus yang cepat dan produksi IFN yang terlambat, terutama oleh sel dendritik,
makrofag, dan sel epitel respirasi yang selanjutnya diikuti oleh peningkatan kadar
sitokin proinflamasi seiring dengan progress penyakit.19,22
Infeksi dari virus mampu memproduksi reaksi imun yang berlebihan pada
inang. Pada beberapa kasus, terjadi reaksi yang secara keseluruhan disebut “badai
sitokin”. Badai sitokin merupakan peristiwa reaksi inflamasi berlebihan dimana
terjadi produksi sitokin yang cepat dan dalam jumlah yang banyak sebagai respon
dari suatu infeksi. Dalam kaitannya dengan Covid-19, ditemukan adanya
penundaan sekresi sitokin dan kemokin oleh sel imun innate dikarenakan blokade
oleh protein non-struktural virus. Selanjutnya, hal ini menyebabkan terjadinya
lonjakan sitokin proinflamasi dan kemokin (IL-6, TNF-α, IL-8, MCP-1, IL-1 β,
CCL2, CCL5, dan interferon) melalui aktivasi makrofag dan limfosit. Pelepasan
sitokin ini memicu aktivasi sel imun adaptif seperti sel T, neutrofil, dan sel NK,
bersamaan dengan terus terproduksinya sitokin proinflamasi. Lonjakan sitokin
proinflamasi yang cepat ini memicu terjadinya infiltrasi inflamasi oleh jaringan
paru yang menyebabkan kerusakan paru pada bagian epitel dan endotel. Kerusakan
ini dapat berakibat pada terjadinya ARDS dan kegagalan multi organ yang dapat
menyebabkan kematian dalam waktu singkat.16,19
Seperti diketahui bahwa transmisi utama dari SARS-CoV-2 adalah melalui
droplet. Akan tetapi, ada kemungkinan terjadinya transmisi melalui fekal-oral.
Penelitian oleh Xiao dkk. (2020) menunjukkan bahwa dari 73 pasien yang dirawat
karena Covid-19, terdapat 53,42% pasien yang diteliti positif RNA SARS- CoV-2
pada fesesnya. Bahkan, 23,29% dari pasien tersebut tetap terkonfirmasi positif
RNA SARS- CoV-2 pada fesesnya meskipun pada sampel pernafasan sudah
menunjukkan hasil negatif. Lebih lanjut, penelitian juga membuktikan bahwa
terdapat ekspresi ACE2 yang berlimpah pada sel glandular gaster, duodenum, dan
epitel rektum, serta ditemukan protein nukleokapsid virus pada epitel gaster,
duodenum, dan rektum. Hal ini menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 juga dapat
menginfeksi saluran pencernaan dan berkemungkinan untuk terjadi transmisi
melalui fekal-oral.18,23
Gambar 2.1 Patogenesis dan Respon Imun Pada SARS-COV216

Gambar 2.2 Respon Immune Pada Covid-1916

2.1.5 Manifestasi Klinis

Gejala-gejala yang dialami biasanya bersifat ringan dan muncul secara


bertahap. Beberapa orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala apapun dan
tetap merasa sehat. Gejala COVID-19 yang paling umum adalah demam, rasa lelah,
dan batuk kering. Beberapa orang mungkin mengalami rasa nyeri dan sakit, hidung
tersumbat, pilek, nyeri kepala, konjungtivitis, sakit tenggorokan, diare, hilang
penciuman dan pembauan atau ruam kulit. Tidak ada perbedaan antara populasi
umum dengan ibu hamil terhadap gejala yang mungkin timbul. Berdasarkan RCOG
2020 menyatakan bahwa kehamilan dan persalinan tidak meningkatkan risiko
infeksi terhadap COVID-19. Perubahan sisitem imun fisiologis pada ibu hamil,
berhubungan dengan gejala infeksi COVID-19 yang lebih besar. Kebanyakan ibu
hamil hanya mengalami gejala cold/flu-like sympthomps derajat ringan sampai
dengan sedang. Pada telaah sistematis pada 108 kasus kehamilan terkonfirmasi
covid-10 didapatkan gejala klinis paling sering didapatkan adalah demam dan batuk
(tabel 2.1.). Lebih dari 90% tidak memerlukan terminasi kehamilan. Risiko akan
meningkat pada kehamilan dengan komorbid.13
Menurut data dari negara-negara yang terkena dampak awal pandemi, 40%
kasus akan mengalami penyakit ringan, 40% akan mengalami penyakit sedang
termasuk pneumonia, 15% kasus akan mengalami penyakit parah, dan 5% kasus
akan mengalami kondisi kritis. Pasien dengan gejala ringan dilaporkan sembuh
setelah 1 minggu. Pada kasus berat akan mengalami Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS), sepsis dan syok septik, gagal multi-organ, termasuk gagal
ginjal atau gagal jantung akut hingga berakibat kematian. Orang lanjut usia (lansia)
dan orang dengan kondisi medis yang sudah ada sebelumnya seperti tekanan darah
tinggi, gangguan jantung dan paru, diabetes dan kanker berisiko lebih besar
mengalami keparahan.24
Tabel 2.1. Gejala Klinis pada Kehamilan terkonfirmasi Covid-1924
2.1.6 Diagnosis

WHO merekomendasikan pemeriksaan molekuler untuk seluruh pasien


yang terduga terinfeksi COVID-19. Metode yang dianjurkan adalah metode deteksi
molekuler/NAAT (Nucleic Acid Amplification Test) seperti pemeriksaan RT-
PCR.13
2.2 COVID-19 pada Kehamilan

Kehamilan umumnya dianggap sebagai keadaan berisiko tinggi di konteks


kondisi infeksi, sebagai perubahan imunologis kehamilan dapat meningkatkan
kerentanan terhadap patogen dan komplikasi terkait mereka. Wanita hamil yang
memiliki COVID-19 dan menunjukkan gejala lebih mungkin daripada wanita tidak
hamil dengan COVID-19 dan gejalanya memerlukan perawatan di unit perawatan
intensif (ICU), membutuhkan ventilator (untuk bantuan pernapasan), atau
meninggal karena penyakit tersebut. . Namun, risiko keseluruhan penyakit parah
dan kematian bagi wanita hamil rendah. Wanita hamil dan baru saja hamil dengan
beberapa kondisi kesehatan, seperti obesitas dan diabetes gestasional, mungkin
memiliki risiko penyakit parah yang lebih tinggi, mirip dengan wanita tidak hamil
dengan kondisi ini.27
2.2.1 Manifesasi Klinis dan Pertimbangan

Manifestasi Pulmonal

Kehamilan yang berpotensi berdampak pada fungsi paru-paru dan


perubahan anatomi dalam sistem pernapasan. Perubahan fisiologis pada bentuk
dada dan elevasi diafragma karena rahim menyebabkan perubahan fungsi
pernapasan. Meskipun ada peningkatan 30-40% dalam volume tidal, pengurangan
volume dada menyebabkan penurunan kapasitas residu fungsional, volume akhir
ekspirasi, dan volume residu sejak awal kehamilan.
Pengurangan total kapasitas paru-paru dan ketidakmampuan untuk
membersihkan sekret dapat menyebabkan ibu hamil lebih rentan terhadap gangguan
pernapasan berat infeksi.40
ACOG merekomendasikan evaluasi klinis yang cepat untuk gangguan
pernapasan dengan pemeriksaan fisik, analisis gas darah, denyut nadi oksimetri,
dan penilaian radiologis sesuai indikasi.
1. Analisis gas darah dan oksimetri nadi
Perubahan fisiologi pernafasan selama kehamilan adalah
peningkatan ventilasi menit istirahat, peningkatan volume tidal sementara,
frekuensi napas ibu hampir tidak berubah. Pada pasien hamil dengan infeksi
COVID-19, memerlukan suplementasi oksigen lebih baik untuk ibu
maupun janin. WHO merekomendasikan target oksigenasi yang lebih tinggi
pada kehamilan, target SpO2 pada orang dewasa yang tidak hamil adalah
>90%, sementara tujuan ini meningkat menjadi 92-95% pada ibu hamil.
Hiperkapnia pada penderita COVID-19 yang tidak hamil memungkinkan
untuk ventilasi pelindung, sementara hiperkapnia ibu dapat menyebabkan
asidosis respiratorik pada janin.
2. Temuan radiologis
Ibu hamil dengan COVID-19 lebih mungkin untuk memiliki
konsolidasi campuran atau lengkap pada pencitraan dada.27
Manifestasi Imunologi

Temuan laboratorium di antara pasien dengan COVID-19 adalah jumlah sel


darah putih normal yang disertai dengan jumlah limfosit total yang menurun, atau
limfopenia. Kehamilan, di sisi lain, ditandai oleh adanya leukositosis ringan dengan
neutrofilia. Studi retrospektif dari 55 wanita hamil, jumlah limfosit yang lebih
rendah adalah dicatat pada pasien dengan COVID-19 yang dikonfirmasi
dibandingkan dengan kontrol, yang mungkin menunjukkan bahwa limfopenia dapat
diandalkan sebagai penanda untuk perkembangan penyakit pada populasi ini.27
Sistem Koagulasi

Interaksi kompleks antara respon imun terhadap infeksi dan aktivasi jalur
koagulasi menyebbakan keadaan prokoagulan pada pasien yang menderita COVID-
19.32 Pasien berisiko mengalami trombus arteri dan vena. Kehamilan juga
menimbulkan peningkatan risiko hiperkoagulabilitas.37 Akibatnya,penggunaan
profilaksis tromboemboli vena di antara pasien hamil dan pascapersalinan dengan
COVID-19 juga direkomendasikan.27
Manifestasi Kardiovaskular

Kehamilan menimbulkan perubahan hemodinamik, peningkatan curah


jantung, peningkatan volume plasma, dan berkurangnya resistensi vaskular. Pada
pasien COVID-19 dengan populasi orang dewasa secara umum, komplikasi
kardiovaskular termasuk cedera miokard, miokarditis, kardiomiopati, infark
miokard, dan aritmia.4 Meskipun tidak ada penelitian khusus yang menilai hal ini
asosiasi dalam kehamilan, wanita hamil dengan penyakit dasar pada kardiovaskular
atau metabolik mungkin berisiko tinggi menderita komplikasi terkait COVID-19.27

2.2.2 Skrining dan Diagnosis COVID-19 pada Maternal13

1. Skrining Universal untuk Covid-19 pada semua ibu hamil yang akan
melahirkan perlu dilakukan secara rutin. Hal ini berdasar temuan pada studi
di New York, dari 215 ibu yang melahirkan, 15.3% (33 kasus) yang positif,
dengan mayoritas kasus yang positif tersebut (88%) tanpa gejala
2. Idealnya semua ibu hamil yang akan melahirkan dilakukan pemeriksaan
Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction test (RT-PCR) yang
didapat melalui swab nasopharing dan oropharing sehingga bisa dilakukan
penegakan diagnosis pasti ("Universal testing dengan Swab RT-PCR").
3. Pemeriksaan RT PCR merupakan standar baku (gold standard) untuk
diagnosis Covid-19.
4. Skrining dikerjakan pada saat awal ibu hamil yang akan melahirkan datang
ke rumah sakit (di Instalasi Gawat Darurat/Unit Gawat Darurat)
5. Rekomendasi skrining pada ibu bersalin secara umum tidak dibedakan
dengan skrining Covid-19 secara khusus, yaitu dengan melakukan
penapisan anamnesis dan pemeriksaan fisik terhadap gejala ISPA (demam
[>38'C], batuk, sesak dan gejala flu lainnya) serta riwayat kontak erat dan
atau riwayat domisili atau perjalanan ke daerah dengan transmisi lokal
Covid-19.
6. Skrining ini tidak dapat mengidentifikasi kasus tanpa gejala yang tentunya
ditambah dengan kesulitan untuk mengevaluasi riwayat kontak erat di
masyarakat terutama di daerah dengan transmisi lokal Covid-19 yang masih
tinggi dan luas maka diperlukan strategi tambahan untuk melakukan
skrining Covid-19 pada kasus maternal yang mayoritas ditemukan dalam
kondisi asimptomatik.
7. Sebagai tambahan maka dapat dilakukan pemeriksaan penunjang untuk
meningkatkan sensitivitas metode skrining tersebut, meliputi: tes serologis
(darah lengkap dan rapid test Covid), CT scan thoraks atau foto thoraks
8. Pemeriksaan serologis antibodi Covid-19 dengan metode ELISA juga perlu
dikerjakan untuk skrining awal. Antibodi Ig M dan Ig A terdeteksi dengan
median 5 hari (Inter Quartile Range/IQR: 3-6 hari), dan Ig dideteksi setelah
14 hari (IQR: 10-18 hari). Pada jurnal ini juga disebutkan bahwa IgM, IgA
dan IgG pada beberapa kasus dapat terdeteksi pada hari pertama gejala
timbul untuk menunjukkan bahwa skrining dengan rapid ini ‘masih bisa
digunakan’ dan ‘hasilnya sulit diprediksi’ Sehingga dapat digunakan
sebagai alternatif skrining pada RS yang tidak dapat melakukan testing
universal karena keterbatasan sumber daya.
9. Pemeriksaan darah lengkap yang dapat digunakan sebagai penunjang
diagnosis Covid-19 meliputi: Limfopenia dan Neutrofil/limfosit rasio
(NLR) > 5.8 (sesuai Covid-19 Early Warning Score)
10. CT scan thoraks memiliki sensitivitas tinggi dalam mendeteksi dini Covid
19. Idealnya pada RS dengan fasilitas CT Scan thoraks melakukan
pemeriksaan ini sebagai bagian dari skrining awal Covid-19 pada ibu yang
mau melahirkan.
11. Gambaran Pneumonia pada CT Scan atau Foto thoraks mendukung
kecurigaan ke arah Covid-19. Pada CT Scan biasanya didapatkan gambaran
Ground Glass Opacities (GGO) atau konsolidasi multilobar bilateral,
sedangkan pada foto thoraks didapatkan gambaran ruang udara perifer
berbayang (peripheral airspace shadowing).
12. Jika RS tidak memiliki fasilitas CT Scan thoraks atau sulit melakukan
pemeriksaan ini secara rutin, maka metode ini dapat digantikan dengan
pemeriksaan foto thoraks. Saat ini sedang dikembangkan kecerdasan buatan
berbasis CT scan untuk meningkatkan akurasi diagnosis Covid 19
menggunakan foto toraks.
13. Penggunaan CT-Scan low dose dan foto thoraks dalam satu kali
pemeriksaan memiliki paparan radiasi yang cukup rendah dan aman untuk
ibu hamil.
14. Di RS dengan satuan tugas khusus Covid-19 atau ada dokter spesialis Paru,
hasil pemeriksaan skrining bisa dikonsulkan kepada yang bersangkutan
untuk memastikan kategori kasus.
15. Dari hasil skrining pasien dapat dikategorikan sebagai kasus non covid,
suspek atau konfirmasi.
16. Pasien dengan salah ssatu item pemeriksaan skrining yang positif dapat
dikategorikan sebagai kasus suspect (suspected cases).
17. Berdasarkan ‘Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 revisi 5
Kemenkes’ jika didapatkan kasus suspek dari evaluasi skrining diatas maka
dilakukan pemeriksaan diagnostik covid-19 dengan swab RT-PCR
18. Pasien suspect perlu dimasukkan di ruang isolasi/ruang khusus di
IGD/UGD untuk mencegah penularan kepada pasien maupun tenaga
kesehatan sambil menunggu pemeriksaan diagnostik lanjutan. Upayakan
untuk mempersingkat waktu pasien berada di ruang publik di IGD/UGD.
19. Pasien suspect perlu dilakukan diagnosis dengan pemeriksaan PCR
COVID-19 dari swab nasopharing dan oropharing.
20. Pasien suspect harus diperlakukan sebagai pasien Covid-19 positif sebelum
ada hasil pemeriksaan PCR yang menyatakan sebaliknya. Sehingga
perawatannya di ruang isolasi dan jika diperlukan penatalaksanaan
persalinan yang tidak dapat ditunda, maka dilakukan penatalaksanaan
persalinan sesuai dengan tatalaksana persalinan Covid-19.
21. Pasien dengan kegawatdaruratan obstetrik atau dengan gejala Covid-19
sedang/berat perlu dilakukan perawatan di RS (hospitalisasi).
22. Penentuan kriteria hospitalisasi pada pasien dengan gejala Covid-19 tanpa
ada masalah obstetrik dapat menggunakan Modified Early Obstetrics
Warning Score (MEOWS)(6) (tabel 3.1) atau melihat dari severitas gejala
Covid(7) (tabel 3.2). Pasien dengan skor MEOWS > 4 wajib mendapat
perawatan di rumah sakit (hospitalisasi)
23. Pasien dengan gejala ringan (tidak ada sesak dan tanda vital stabil), tanpa
komorbiditas, tanpa kegawatdaruratan obstetri dapat melakukan isolasi
mandiri di rumah atau tempat khusus dengan pengawasan parameter klinis
harian. Pasien dengan gejala sedang atau berat harus segera dirawat di ruang
isolasi khusus di rumah sakit.

Gambar 2.3. Algoritma Skrining & Diagnosis Ibu Hamil Datang ke RS13

2.2.3 Tatalaksana COVID-19 pada Kehamilan13


1. Terapi Medis dan Suportif

Ibu hamil dengan penyakit ringan namun mempunyai komorbiditas


(misalnya, hipertensi yang tidak terkontrol atau diabetes gestasional atau
pregestasional, penyakit ginjal kronis, penyakit kardiopulmoner kronis, keadaan
imunosupresif) atau penyakit sedang sampai kritis harus dirawat di rumah sakit.
Pasien rawat inap yang hamil dengan penyakit berat, yang mendapat terapi
oksigen disertai komorbiditas, atau dalam kondisi kritis harus dirawat oleh tim
multi disiplin di rumah sakit rujukan tingkat lanjut tipe B atau A dengan layanan
obstetri dan unit perawatan intensif orang dewasa (ICU). Status COVID-19 saja
tidak selalu menjadi alasan untuk memindahkan wanita hamil yang tidak kritis
dengan dugaan atau konfirmasi COVID-19. Klasifikasi keparahan penyakit
menurut US National Institutes of Health, adalah sebagai berikut:13
• Ringan – setiap tanda dan gejala (misalnya, demam, batuk, sakit
tenggorokan, malaise, sakit kepala, nyeri otot) tanpa sesak napas, dyspnea,
atau foto thoraks abnormal.
• Sedang – adanya bukti gangguan saluran napas bawah dengan penilaian
klinis atau pencitraan dan saturasi oksigen (SpO2) > 93 % pada suhu kamar.
• Berat – frekuensi pernapasan > 30 kali per menit, SpO2 ≤ 93 persen pada
suhu kamar, rasio PaO2/FiO2 < 300, atau infiltrasi paru > 50 %.
• Penyakit kritis – kegagalan pernafasan, syok sepsis, dan/atau beberapa
disfungsi organ.
Definisi lain dari keparahan (misalnya, berat = saturasi oksigen periferal ibu
[SpO2] ≤ 94 persen pada suhu, memerlukan oksigen tambahan, ventilasi mekanis,
atau oksigenasi membran ekstrorporeal)
2. Terapi Suportif Oksigen
Selama kehamilan, saturasi oksigen perifer ibu (SpO2) harus dijaga pada
≥95 persen, yang melebihi kebutuhan pengiriman oksigen ibu, untuk kebutuhan
janin. Jika SpO2 turun di bawah 95 persen, analisis gas darah arteri (AGD)
diperlukan untuk mengukur tekanan parsial oksigen (PaO2): Maternal PaO2 > 70
mmHg diperlukan untuk mempertahankan gradien difusi oksigen dari ibu ke sisi
janin dari plasenta.13
3. Profilaksis Tromboemboli Vena
Data tentang risiko tromboemboli pada COVID-19 walaupun masih terbatas namun
menunjukkan peningkatan risiko. American Society of Hematology, Society of Critical
Care Medicine, dan International Society of Thrombosis and Haemostasis
merekomendasikan terapi profilaksis tromboemboli vena secara rutin pada pasien
yang dirawat di RS dengan COVID19 kecuali ada kontraindikasi
(misalnya, perdarahan, trombositopenia berat).1 Semua ibu hamil dengan COVID-
19, harus dilakukan penilaian kemungkinan terjadinya tromboemboli vena (VTE).3
Pemberian profilaksis VTE antepartum untuk yang tidak sakit parah atau kritis dan
akan segera melahirkan dapat diberikan unfractioned heparin 5000 unit secara
subkutan setiap 12 jam.27
Low molecular weight heparin 40 mg per hari untuk yang belum melahirkan
atau yang postpartum. Semua wanita hamil yang telah dirawat di rumah sakit dan
telah terkonfirmasi COVID-19 diberikan tromboprofilaksis selama 10 hari setelah
keluar dari rumah sakit. Untuk wanita dengan morbiditas persisten, pertimbangkan
durasi tromboprofilaksis yang lebih lama. Pertimbangkan untuk memperpanjang ini
sampai 6 minggu pascapersalinan untuk wanita dengan morbiditas berkelanjutan
yang signifikan.13
4. Deksametason

Deksametason 6 mg setiap hari selama 10 hari atau sampai keluar dari RS


direkomendasikan untuk pasien tidak hamil yang sakit parah yang menggunakan
oksigen tambahan atau dukungan ventilasi. Glukokortikoid juga dapat berperan
dalam manajemen syok refraktori pada pasien sakit kritis dengan COVID-19.13
Pada ibu hamil yang memenuhi kriteria untuk penggunaan glukokortikoid
untuk perawatan ibu COVID-19 (seperti yang disebutkan di atas), dan berisiko
lebih tinggi untuk kelahiran preterm dalam tujuh hari, direkomendasikan memulai
terapi dengan dosis biasa dexamethasone (empat dosis 6 mg yang diberikan secara
intramuskuler 12 jam terpisah) atau betametason (dua dosis 12 mg yang diberikan
secara intramuskuler 24 jam terpisah) untuk menginduksi pematangan paru janin
diikuti oleh prednisolon (40 mg per hari secara oral) ) atau hidrokortison (80 mg
intravena dua kali sehari) untuk menyelesaikan pemberin steroid ibu. Hal ini untuk
menghindari paparan deksametason atau betametason yang berkepanjangan
terhadap janin, yang melalui sawar plasenta dalam bentuk aktif secara metabolik
dan mungkin memiliki efek buruk (misalnya, peningkatan risiko kelahiran
prematur, gangguan perkembangan saraf jangka panjang). 13
5. Terapi Anti Viral
Remdesivir adalah analog nukleotida yang memiliki aktivitas melawan
SARS-CoV-2 secara in vitro dan coronaviruses terkait (termasuk sindrom
pernapasan akut parah [SARS] dan Timur Tengah terkait sindrom pernapasan
coronavirus [MERS-CoV]) baik secara in vitro dan dalam penelitian hewan.
Mekanisme kerja remdesivir terutama terkait dengan replikasi virus.
Remdesivir merupakan analog nukleosida adenosine yang akan mengganggu kerja
RNA polymerase dari virus dan selanjutnya menurunkan kemampuan replikasi
virus Disebabkan oleh kemiripan remdesivir dengan adenosine, salah satu
nukleotida untuk pembentukan RNA, maka dapat memungkinkan RNA
polymerase salah mengenali remdesivir sebagai adenosine. Penempatan analog
adenosine ini lalu akan mengakhiri proses transkripsi, yang akhirnya
28
menyebabkan virus tidak dapat bereplikasi atau menginfeksi sel yang lain.
Remdesivir belum mendapat persetujuan dari Food and Drug
Administration (FDA). Namun dapat digunakan dengan aturan khusus FDA
(emergency use authorization) untuk penanganan orang dewasa, anak-anak, dan
ibu hamil yang terinfeksi Covid-19 dan saat ini sedang dalam uji klinis. Beberapa
data pendahuluan dari studi RCT multinasional (Adaptive COVID-19 Treatment
Trial [ACTT]) menunjukkan bahwa pasien Covid-19 yang mendapat remdezivir
memiliki waktu pulih secara klinis lebih pendek dibandingkan yang mendapat
plasebo. Namun data uji klinis untuk menilai efektifitas remdesivir pada pasien
dengan gejala ringan dan sedang masih sangat terbatas. Obat ini telah digunakan
tanpa laporan tentang toksisitas janin pada wanita hamil dengan Ebola dan infeksi
virus Margburg. Hampir semua uji acak dariobat selama pandemi COVID-19 telah
mengecualikan wanita hamil dan menyusui.13
Karena persediaan remdesivir terbatas, direkomendasikan agar remdesivir
diprioritaskan untuk digunakan pada pasien yang dirawat di rumah sakit dengan
COVID-19 yang membutuhkan oksigen tambahan tetapi yang tidak menggunakan
oksigen aliran tinggi, ventilasi noninvasif, ventilasi mekanis, atau oksigenasi
membran ekstrakriloreal (ECMO). Penggunaan selama 5 hari atau sampai keluar
rumah sakit (AI). Jika pasien yang menggunakan oksigen tambahan saat menerima
remdesivir berkembang hingga membutuhkan oksigen aliran tinggi, ventilasi
mekanis noninvasif atau invasif, atau ECMO, maka pemberian remdesivir harus
dihentikan.13
Lopinavir / Ritonavir adalah terapi kombinasi antiprotease dan
merupakan rejimen obat yang disukai karena diketahui relatif aman dalam
kehamilan. Obat ini adalah inhibitor SARS-CoV 3CLpro in vitro, dan protease ini
juga memiliki ikatan kuat terhadap SARS-CoV 2. Lopinavir terbukti memiliki
mekanisme menghambat kerja enzim 3CL protease (atau disebut juga dengan
3CLpro atau Mpro) dan papain- like protease PLpro yang berperan penting pada
proses replikasi coronavirus.28
Dosis yang dianjurkan adalah dua kapsul Lopinavir/Ritonavir (200 mg /
50 mg per kapsul) secara oral bersama dengan nebulisasi inhalasi interferon-α
(5 juta IU dalam 2 mL air steril untuk injeksi) dua kali sehari. Obat ini sudah
banyak digunakan dalam terapi ibu hamil dengan HIV, dan tidak ada bukti
teratogenesitas karena transfer plasentanya rendah. Namun data yang
menunjukkan efikasi leponavir/ritonavir pada pasien dengan Covid-19 sangat
terbatas, dan kemungkinan dosis yang lebih tinggi dibandingkan terapi HIV
diperlukan untuk tatalaksana SARS-CoV 2.13
Chloroquine dan hydroxychloroquine telah dievaluasi untuk pengobatan
COVID-19 dalam uji klinis acak kecil, seri kasus, dan studi observasi.
Hydrochloroquine (HCQ) adalah analog chloroquine yang digunakan untuk terapi
penyakit autoimun, seperti Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan Rheumatoid
Arthritis (RA). Hydrochloroquine memiliki keuntungan dengan efek toksisitas
berat yang lebih ringan dan interaksi obat yang lebih sedikit dibandingkan
chloroquine.
Mekanisme kerja klorokuin secara molekuler belum dapat dipahami
dengan jelas. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, klorokuin dan
hidroksiklorokuin diduga dapat menghambat coronavirus dengan melalui
serangkaian mekanisme. Pertama, baik klorokuin maupun hidroksiklorokuin dapat
mengubah pH pada permukaan membran sel sehingga dapat menghambat
bersatunya (‘fusion’) virus tersebut dengan membran sel. dan imunomodulasi
pelepasan sitokin.28–31. Kedua klorokuin dapat menghambat quinone reductase
2 yang memiliki peran penting dalam pembentukan asam sialic asam tersebut
ditemukan pada protein sel transmembran yang merupakan komponen penting
ikatan virus dan reseptor 27. Ketiga, klorokuin dapat menghambat proses
glikosilasi protein virus dan sekaligus juga dapat memengaruhi proses glikosilasi
reseptor angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) yang diduga merupakan
mediator masuknya virus. 28
Hydrochloroquine adalah obat yang sedang dalam penelitian untuk terapi
Covid-19 dan sampai saat ini belum terbukti efektif pada kehamilan. HCQ
teramsuk aman dalam kehamilan, sudah dibuktikan melalui terapi SLE dan
penyakit rematik pada kehamilan. Selain itu HCQ juga aman pada ibu menyusui
karena kadar yang terdeteksi di air susu ibu sangat sedikit. 13
Direkomendasikan untuk tidak menggunakan klorokuin atau
hydroxychloroquine untuk pengobatan COVID-19, kecuali dalam uji klinis (AII).
Panel merekomendasikan untuk tidak menggunakan klorokuin dosis tinggi (600 mg
dua kali sehari selama 10 hari) untuk pengobatan COVID-19 (AI).
Direkomendasikan pula untuk tidak menggunakan hydroxychloroquine plus
azithromycin untuk pengobatan COVID-19, kecuali dalam uji klinis (AIII).13
Beberapa penelitian menunjukkan kejadian aritmia pada pasien covid-19
yang mendapat terapi HCQ atau chloroquine, sering pada kombinasi dengan
azithromycin dan obat lain yang memperpanjang interval QTc, karena itu FDA
merekomendasikan untuk tidak menggunakan HCQ atau chloroquine untuk terapi
covid-19 di luar rumah sakit atau uji klinis.13
6. Antibiotik
Kerusakan paru-paru yang luas oleh virus secara substansial meningkatkan
risiko pneumonia bakteri sekunder. Antibiotik diindikasikan hanya jika ada bukti
infeksi bakteri sekunder. Namun, antibiotik harus diberikan tanpa penundaan jika
sepsis bakteri dicurigai. Ceftriaxone intravena dapat diberikan pada awalnya sambil
menunggu hasil kultur dan sensitivitas.13
7. Imunomodulator

Plasma konvalesens

Terapi plasma konvalesen merupakan terapi antibodi yang bersifat pasif,


yaitu memberikan antibodi terhadap penyakit infeksi tertentu kepada sesorang
yang bertujuan untuk mengobati atau mencegah orang tersebut terhadap penyakit
itu dengan cara memberikan imunitas yang bersifat cepat. Plasma konvalesen
diperoleh dari pasien COVID-19 yang telah sembuh, diambil melalui metoda
plasmaferesis dan diberikan kepada pasien COVID-19 yang berat atau potensial
mengancam nyawa. Terapi plasma konvalesen diberikan bersama-sama dengan
terapi standar COVID-19 (anti virus dan berbagai terapi suportif lainnya) dan
bertujuan untuk menurunkan angka kematian dengan memberikan antibodi yang
spesifik.29
Mengikuti protokol transfusi plasma konvalesens. Sampai saat ini belum
cukup data untuk merekomendasikan penggunaan atau tidak dari terapi ini untuk
tatalaksana Covid-19.13
Interleukin-1 (Anakinra ) dan Interleukin-6 Inhibitor (Tocilizumab)

Cytokine storm adalah respons sistem kekebalan tubuh yang berlebihan akibat
infeksi maupun penyebab lain yang ditandai dengan pelepasan sitokin yang tidak
terkontrol yang menyebabkan inflamasi sistemik dan kerusakan multi-organ. Pada
pasien COVID-19, kadar IL-6 meningkat tajam dan berperan dalam induksi
diferensiasi limfosit B dan produksi antibodi serta proliferasi dan diferensiasi
limfosit T. Cytokine storm pada COVID-19 dapat meningkatkan permeabilitas
vaskuler, terjadi perpindahan cairan dan sel darah dalam alveolus yang
mengakibatkan acute respiratory distress syndrome (ARDS) hingga kematian.
Dengan demikian, menghambat kerja IL-6 merupakan salah satu terapi potensial
untuk pasien COVID-19. 29
Transduksi sinyal sel oleh IL-6 harus diinisiasi oleh ikatan antara IL-6 dan
reseptornya, IL-6R yang bersama sama membentuk kompleks dan berikatan dengan
protein membran sel. Reseptor IL-6 (IL-6R) memiliki dua bentuk yaitu membrane
bound IL-6R (mIL-6R) dan soluble IL-6R (sIL-6R). Tocilizumab merupakan
antibodi monoclonal penghambat IL-6 yang dapat secara spesifik berikatan dengan
mIL-6R dan sIL-6R sehingga dapat menghambat kerja dari IL-6. 29
Anakinra merupakan antagonis reseptor IL-1 rekombinan yang memiliki
mekanisme untuk menetralisasi reaksi hiperinflamasi yang terjadi pada kondisi
ARDS yang disebabkan oleh infeksi SARS-CoV-2. Pada sebuah studi klinis yang
melibatkan 52 pasien, Anakinra dapat menurunkan kebutuhan pemakaian ventilasi
mekanis invasif dan menurunkan kematian pada pasien COVID-19 tanpa efek
samping yang serius. 29
Sampai saat ini belum cukup data untuk merekomendasikan penggunaan
atau tidak Interleukin1 inhibitor (seperti anakinra) dan Interleukin-6 inhibitor
(seperti sarilumab, siltuximab, tocilizumab) untuk tatalaksana Covid-19. Sehingga
pemakaiannya secara rutin untuk penanganan Covid-19 pada kehamilan tidak
dianjurkan, melainkan hanya untuk uji klinis. Dari beberapa obat ini, hanya
Tocilizumab yang digunakan sebagai obat off-label untuk ibu hamil dengan gejala
berat atau kritis dengan kecurigaan adanya sindroma aktivasi sitokin (cytokine
storm) dengan peningkatan kadar IL-6 sebagai upaya terakhir atau berdasar
protokol penelitian.13

Gambar 2.4. Algoritma Terapi Covid 19 pada Kehamilan13

Gambar 2.5 Bagan Cara Kerja Obat COVID13


Gambar 2.6 Bagan Cara Kerja Obat COVID13

2.3 Kehamilan pada COVID-19

Menurut ASRM, sejauh ini hamil dalam keadaan terinfeksi virus COVID-
19 masih tergolong aman. Namun, perlu diketahui bahwa infeksi COVID-19 dapat
berlangsung selama berminggu-minggu, sehingga berada di trimester pertama
kehamilan dan pulih dari COVID-19 mungkin jauh dari ideal. ASRM menyarankan
untuk mulai proses mendapatkan kehamilan 10 hari setelah gejala mulai atau
setelah dinyatakan COVID-19 positif. 30
Sebuah penelitian kohort wanita hamil dengan COVID-19 menunjukkan bahwa
infeksi pada awal kehamilan meningkatkan risiko komplikasi. Data ini menyoroti
pentingnya vaksinasi pada pasien yang menginginkan atau merencanakan
pembuahan dan/atau yang sedang hamil, untuk mencegah penyakit yang parah dan
memperkuat argumen bahwa risiko COVID-19 pada wanita hamil lebih besar
daripada risiko bahaya dari vaksinasi COVID-19.31
Virus ini masih sangat baru, sehingga belum banyak diketahui tentang
efeknya pada kehamilan. Tetapi saat ini, tidak ada bukti ilmiah yang menunjukkan
bahwa virus corona meningkatkan risiko keguguran pada setiap tahap kehamilan,
termasuk beberapa minggu pertama. Juga tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa
virus mempengaruhi perkembangan bayi di dalam rahim.32 Namun, wanita hamil
minimal harus mengikuti panduan yang sama tentang COVID-19 seperti orang
lain (misalnya tentang tes atau isolasi diri), meskipun beberapa wanita hamil
mungkin ingin mengambil tindakan pencegahan ekstra. Berbeda halnya jika
wanita hamil pada trimester ketiga (hamil lebih dari 28 minggu), yang harus sangat
memperhatikan physical distancing dan meminimalkan kontak dengan orang
lain.32
Saran utama untuk semua wanita hamil adalah:32
• Tetap di rumah jika ada anggota keluarga Anda yang memiliki gejala virus
corona
• Tetap bergerak dan terhidrasi, ini dapat mengurangi risiko pembekuan darah
pada kehamilan
• Tetap aktif dengan olahraga teratur, makan makanan yang sehat dan
seimbang, dan minum suplemen asam folat dan vitamin D
• Follow-up kehamilan dengan pemindaian dan antenatal care kecuali
disarankan untuk tidak melakukannya
• Hubungi layanan kesehatan jika memiliki kekhawatiran tentang kondisi ibu
hamil atau janinnya.
2.4 Pengaruh COVID-19 terhadap Perkembangan Janin dan Bayi

2.4.1 Pengaruh COVID-19 terhadap Perkembangan Janin

Beberapa sampel diperoleh pada saat persalinan dan melahirkan untuk


menguji keberadaan coronavirus dengan qRT-PCR, termasuk cairan ketuban yang
disedot dari vagina selama persalinan, darah tali pusat, dan segmen tali pusat,
selaput janin dan plasenta, swab nasofaring dan tenggorokan neonatus, aspirasi
lambung dan sampel mekonium telah diuji dan negatif untuk coronavirus, hal ini
menunjukkan tidak ada bukti penularan vertikal pada wanita yang terkena
pneumonia coronavirus COVID-19 dan non-COVID-19 pada akhir kehamilan.33,34
Studi yang dilakukan di London melaporkan neonatus yang lahir dari ibu
hamil dengan COVID-19 yang dinyatakan positif SARS-CoV-2 dalam sampel usap
faring 36 jam setelah lahir, kemudian dikonfirmasi bahwa pengujian qRT-PCR
plasenta dan darah tali pusat negatif untuk SARSCoV- 2, diyakini bahwa ibu atau
anggota keluarga menularkan infeksi ke bayi melalui kontak dekat setelah
melahirkan, bukan di dalam rahim melalui plasenta.35,36
Dalam studi saat ini, prosedur pengujian sistematis untuk infeksi virus
corona, termasuk radiografi dada dan uji RT-PCR serial dengan beberapa sampel
klinis tidak menunjukkan adanya SARS-CoV-2, MERS-CoV dan SARSCoV di
bayi yang baru lahir. Tes antibodi CoV dilakukan dengan serum ibu dan bayi baru
lahir. Pada beberapa ibu, serum imunoglobulin G dideteksi dengan menggunakan
tes serologis.
Namun, antibodi CoV untuk IgG, IgM, dan IgA tidak terdeteksi pada
sampel darah bayi baru lahir. Oleh karena itu, tidak ada bukti penularan intrauterin
SARS-CoV-2 dan CoV lainnya dari ibu ke bayi yang baru lahir. Ini mungkin karena
ekspresi yang sangat rendah dari enzim pengubah angiotensin 2 (ACE2) pada sel
antarmuka ibu ke janin awal. Virus ini dapat ditularkan melalui kontak dekat atau
droplet ke bayi yang baru lahir setelah lahir. Dengan demikian, ibu dan neonatusnya
harus dirawat di ruang isolasi untuk mencegah penularan neonatus dan tindakan
perlindungan yang efektif harus diterapkan selama persalinan dan perawatan
pascapersalinan untuk mencegah penularan virus dari ibu ke bayi baru lahir.37,38

2.4.2 Pengaruh COVID-19 terhadap Perkembangan Janin

Pada infeksi COVID-19 di usia kelahiran late pregnant menunjukkan tidak satupun bayi
lahir terkonfirmasi positif dari 7 kelahiran yang terjadi berdasarkan tes RT-PCR. Dari
keseluruhan bayi tidak ada yang mengalami asfiksia. Rata-rata berat lahir bayi yang
dilaporkan yaitu 2096 ± 660g diantaranya terdapat 2 bayi prematur yang mengalami
gejala mendengkur sedang (mild grunting) namun mereda dengan bantuan non-invasive
continuous positive airway pressure (nCPAP) ventilation. Berdasarkan pengamatan X-
ray dada ditemukan bahwa 2 kasus bayi premature tersebut mengalami neonatal
respiratory distress syndrome (NRDS).39
COVID-19 pada trimester ketiga terbukti tidak menimbulkan respon
imunitas seluler maupun humoral pada fetus, serta tidak ada aktivitas diferensiasi
limfosit yang berlebihan. Tidak satupun dari 51 bayi yang terlahir dari ibu dengan
COVID-19 yang menunjukkan gejala seperti demam maupun gangguan
pernapasan. Berdasarkan analisis ekspresi sel limfosit diketahui bahwa kadar
limfosit secara umum normal yaitu pada CD3, CD4, CD8 dan CD19. Sedangkan
pada CD16-CD56 terdapat sedikit penurunan kadar. Hanya ada 1 dari 51 (1,96%)
bayi yang mengalami peningkatan sitokin IL-6 yang ekstrim dan ditemukan adanya
enterokolitis selama 3 minggu awal paska kelahiran. Namun demikian, 50 dari 51
bayi (98,04%) tidak ditemukan adanya gejala abnormal.40
Pengaruh COVID-19 pada terhadap perkembangan janin selama kehamilan
belum banyak diketahui. Sebuah kores pondensi menyebutkan bahwa terdapat
potensi COVID-19 saat kehamilan dapat memicu terjadinya gangguan
perkembangan syaraf (neurodevelopmental disorder). Hal ini mungkin terjadi
sebab COVID-19 dapat mempengaruhi sistem imun dari ibu yang memungkinkan
terjadinya perubahan epigenetik pada DNA janin. Selain dapat menimbulkan
epigenetik, peningkatan kadar sitokin sebagai aktivitas sistem imun dapat memicu
terjadinya Autism Spectrum Disorder(ASD) dan Schizophrenia. Peningkatan IL-6
pada ibu hamil juga dapat menimbulkan perubahan struktur otak, gangguan fungsi
otak seperti gangguan fungsi memori, serta gangguan neuro psikiatrik. Namun
sejauh ini, belum ada kasus klinis yang menunjukkan adanya gangguan
perkembangan syaraf otak pada janin yang terjadi karena adanya COVID-19 pada
ibu hamil.40
DAFTAR PUSTAKA
1. Lu H, Stratton CW, Tang YW. Outbreak of pneumonia of unknown etiology
in Wuhan, China: The mystery and the miracle.JMedVirol.2020;92(4):401
402.doi:https://doi.org/10.1002/jmv.256782.
2. WHO. Novel Coronavirus (2019-NCoV) Situation Report - 12.
World;2020.https://www.who.int/docs/default source/coronaviruse/situation-
reports/20200201-sitrep-12 ncov.pdf?sfvrsn=273c5d35_2.3.
3. World Health Organization. Coronavirus Disease 2019 (COVID-
19)SituationReport-70.World;2020.https://www.who.int/docs/default-
source/coronaviruse/situation-reports/20200330-sitrep-70-covid-
19.pdf?sfvrsn=7e0fe3f8_4.4.
4. Kementerian Kesehatan Repulik Indonesia. Situasi COVID-19. Indonesia;
2020. https://www.kemkes.go.id/
5. RohmahMK,Nurdianto, AR.Perspective of molecular immune response of
sars-cov-2 infection. Jurnal Teknologi Laboratorium. 2020; 9(1):58–66.
6. CDC. Center for Disease Control and Prevention. Coronavirus Disease 2019
(COVID-19) Cases in the U.S. CDC. 2020 [cited 13 Agustus 2020]
7. Wijaya, C. Hamil Saat Pandemi COVID-19: Mau Periksa Disuruh Pulang
Hingga Harus Tunggu Hasil Tes COVID-19 Meski Sudah Sudah Bukaan
Delapan. BBC News. 2020 [cited 13 agustus 2020]
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Coronavirus Disease (COVID-19). Revisi ke 5. Jakarta; 2020.
9. World Health Organization [2021]. Diakses 28 Juli 2021 - Available at :
https://covid19.who.int/
10. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia [2021]. Diakses 28 Juli 2021.
Available at - https://covid19.go.id/peta-sebaran-covid19
11. Provinsi Sumatera Barat [2021]. Diakses 28 Juli 2021. Available at :
https://corona.sumbarprov.go.id/
12. (Daftar Pustaka : Dinas Kesehatan Kota Padang [2021]. Diakses 28 Juli 2021
- Available at : https://dinkes.padang.go.id/covid19).
13. POGI, 2020. Rekomendasi penanganan infeksi virus corona (Covid-19) pada
maternal (hamil, bersalin, dan nifas). Jakarta : Perkumpulan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia, Pokja Infeksi Saluran Reproduksi. pp.1-23.
14. Yuniarti E, Hermon D, Dewata I, Barlian E, Iswamdi U. Mapping the High
Risk Populations Against Coronavirus Disease 2019 in Padang West
Sumatra Indonesia. International Journal of Progressive Sicineces and
Technologies. 2020:20(2);50-8.
15. Harrison AG, Lin T, Wang P. Mechanisms of SARS-CoV-2 Transmission and
Pathogenesis. Trend in Immunology. 2020;41(12):1100-15.
16. Gennaro, F. Di, Pizzol, D., Marotta, C., Antunes, M., Racalbuto, V., Veronese,
N., & Smith, L. (2020). Coronavirus Diseases ( COVID-19 ) Current Status
and Future Perspectives : A Narrative Review. International Journal of
Environmental Research and Public HealthEnvironmental Research and Public
Health, 17(2690), 1–11. https://doi.org/10.3390/ijerph17082690
17. Handayani, D., Hadi, D. R., Isbaniah, F., Burhan, E., & Agustin, H. (2020).
Penyakit Virus Corona 2019. Jurnal Respirologi Indonesia, 40(2), 119–129.
18. Kumar, C. V. S., Mukherjee, S., Harne, P. S., Subedi, A., Ganapathy, M. K.,
Patthipati, V. S., & Sapkota, B. (2020). Novelty in the Gut : A Systematic
Review Analysis of the Gastrointestinal Manifestations of COVID-19. BMJ
Open Gastroenterology, 7(e000417), 1– 9.
https://doi.org/10.1136/bmjgast2020-000417
19. Lingeswaran, M., Goyal, T., Ghosh, R., & Suri, S. (2020). Inflammation ,
Immunity and Immunogenetics in COVID-19 : A Narrative Review. Indian
Journal of Clinical Biochemistry, 35(3), 260–273.
https://doi.org/10.1007/s12291- 020-00897-3
20. Zhang, H., Penninger, J. M., Li, Y., Zhong, N., & Slutsky, A. S. (2020).
Angiotensin - Converting Enzyme 2 ( ACE2 ) as a SARS - CoV - 2 Receptor :
Molecular Mechanisms and Potential Therapeutic Target. Intensive Care
Medicine, 46(4), 586–590. https://doi.org/10.1007/s00134- 020-05985-9
21. Susilo, A., Rumende, C. M., Pitoyo, C. W., Santoso, W. D., Yulianti, M., Sinto,
R., … Yunihastuti, E. (2020). Coronavirus Disease 2019 : Tinjauan Literatur
Terkini. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 7(1), 45–67.
22. Allegra, A., Gioacchino, M. Di, Tonacci, A., Musolino, C., & Gangemi, S.
(2020). Immunopathology of SARS-CoV-2 Infection : Immune Cells and
Mediators , Prognostic Factors , and ImmuneTherapeutic Implications. Journal
of Molecular Sciences, 21(4782), 1–19. https://doi.org/10.3390/ijms2113 4782
23. Xiao, F., Tang, M., Zheng, X., Liu, Y., Li, X., & Shan, H. (2020). Evidence for
Gastrointestinal Infection of SARS-CoV-2. Elsevier Gastroenterology, 158(6),
1831– 1833. Retrieved from https://doi.org/10.1053/j.gastro.2020.02.055
24. Chen H, Guo J, Wang C, Luo F, Yu X, Zhang W, et al. Clinical characteristics
and intrauterine vertical transmission potential of COVID-19 infection in nine
pregnant women: a retrospective review of medical records. Lancet 2020; DOI:
10.1016/S0140-6736(20)30360-3. Available at:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S014067320303603.
Retrieved July 28, 2021.
25. RCOG. Principles for the testing and triage of women seeking maternity care
in hospital settings , during the COVID-19 pandemic. 2020.
26. Guo L, Ren L, Yang S, Xiao M, Chang D, Yang F, et al. Profiling Early
Humoral Response to Diagnose Novel Coronavirus Disease (COVID-19). Clin
Infect Dis. 2020;1–28.
27. Syeda, S., Baptiste, C., Breslin, N., Gyamfi-Bannerman, C., & Miller, R.
(2020). The clinical course of COVID in pregnancy. Seminars in Perinatology.
28. Setiadi AP, Wibowo YI, Halim SV, Brata C, Presley B et al. Tata Laksana
Terapi Pasien dengan COVID-19: Sebuah Kajian Naratif. Jurnal Farmasi
Klinik Indonesia. 2020. 9(1) :70–94
29. Perhimpunan Dokter Paru Indonesi ( 2020). Pedomen Tatalaksana Covid-19
Edisi 3.
https://www.papdi.or.id/pdfs/983/Buku%20Pedoman%20Tatalaksana%20CO
VID-19%205OP%20Edisi%203%202020.pdf. diakses 1 agustus 2020
30. American Society for Reproductive Medicine. FAQs Related to COVID-19
[Internet]. ReproductiveFacts.org. 2020. Available from:
https://www.reproductivefacts.org/faqs/faqs-related-to-covid-19/
31. Di Mascio D, Sen C, Saccone G, Galindo A, et al: Risk factors associated with
adverse fetal outcomes in pregnancies affected by Coronavirus disease 2019
(COVID-19): a secondary analysis of the WAPM study on COVID-19. J
Perinat Med. 2020;49:111-115.
32. Tommy’s Hub. Pregnancy and coronavirus : information for pregnant
women.2021. Available from : https://www.tommys.org/pregnancy-
information/blogs-and-stories/im-pregnant/pregnancy-news-and-
blogs/pregnancy-and-coronavirus-information-pregnant-women
33. Chen H, Guo J, Wang C, Luo F, Yu X, Zhang W, et al. Clinical characteristics
and intrauterine vertical transmission potential of COVID-19 infection in nine
pregnant women: a retrospective review of medical records. Lancet.
2020;395(10226):809–15.
34. Haddad LB, Jamieson DJ, Rasmussen SA. Pregnant women and the Ebola
crisis. N Engl J Med. 2018;379(26):2492–3.
35. Wang S, Guo L, Chen L. A case report of neonatal COVID-19 infection in
China [published online March 12, 2020]. Clin Infect Dis. 2020.
https://doi.org/10.1093/cid/ciaa2 25.
36. Zeng L, Xia S, Yuan W, Yan K, Xiao F, Shao J, et al. Neonatal early-onset
infection with SARS-CoV-2 in 33 neonates born to mothers with COVID 19
in Wuhan, China. JAMA Pediatr. 2020;174:722–5.
37. Alserehi H, Wali G, Alshukairi A, Alraddadi B. Impact of Middle East
Respiratory Syndrome coronavirus (MERS-CoV) on pregnancy and perinatal
outcome. BMC Infect Dis. 2016;16(1):105.
38. Zheng Q-L, Duan T, Jin L-P. Single-cell RNA expression profiling of ACE2
and AXL in the human maternal–Fetal interface. Reprod Dev Med. 2020;4(1):7.
39. Yang P, Wang X, Liu P, Wei C, He B et al. Cilinical characteristic and risk
assessment of newborns born to mothers with Covid-19. Journal of Clinical
Virology. 2020;127:1–5.
40. Liu P, Zheng J, Yang P, Wang P, Wang X, et al. The immunologic status of
newborns born to SARS-CoV-2 infected mother in Wuhan, China. American
Academy of Allergy, Asthma & Immunology.2020;146(1):101–109.
41. Martin-Filho PR, Santos HP, Santos VS. COVID-19 during pregnancy:
Potential risk for neurodevelopmental disorders in neonates? European Journal
of Obstetrics & Gynecological and Reproductive Biology. 2020; 250: 255–256.
29.
42. Elizabeth A. N. Wastnedge, Rebecca M. Reynolds, Sara R. van Boeckel, Sarah
J. Stock, Fiona C. Denison, Jacqueline A. Maybin, Hilary O. D. Critchley.
Physiological Reviews Pregnancy And Covid-19. the American Physiological
Society. 2021

Anda mungkin juga menyukai