Anda di halaman 1dari 47

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

Identifikasi Individu Tak Beridentitas


di Indonesia

Pidato

Disampaikan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar


dalam Bidang Ilmu Antropologi
pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga
di Surabaya pada hari Sabtu, tanggal 27 Agustus 2016

Oleh

Myrtati Dyah Artaria

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

Printing by
Airlangga University Press (AUP)
OC 214/08.16/B7E

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

Kupersembahkan untuk,

Ibuku, Ibuku, Ibuku,


Prof. Dr. Habil. Jozef Glinka SVD
Keluarga besarku
Suami dan Anakku

iii

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Yang terhormat,
Ketua, Sekretaris, dan Anggota Majelis Wali Amanat Universitas
Airlangga,
Ketua, Sekretaris dan Anggota Senat Akademik Universitas
Airlangga,
Para Guru Besar Universitas Airlangga,
Para Guru Besar Tamu dari Luar Universitas Airlangga,
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Para Dekan dan
Wakil Dekan, Para Direktur, Pimpinan Lembaga, serta Pusat, di
Lingkungan Universitas Airlangga,
Para sejawat, Dosen dan Segenap Sivitas Akademika Universitas
Airlangga,

Para Undangan dan Hadirin yang saya muliakan.

Pa d a ke s empat a n ya ng a m at memba h a g i a k a n i n i
perkenankanlah saya mengucapkan “alhamdulillaahi rabbil
‘aalamiin”, puji syukur ke hadirat Allah Tuhan seru sekalian alam,
karena berkat rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, kita semua dapat
hadir di sini dalam keadaan sehat walafiat untuk menghadiri
Sidang Terbuka Senat Akademik Universitas Airlangga, dengan
acara penerimaan jabatan saya sebagai Guru Besar dalam Bidang
Antropologi, di Universitas Airlangga.
Pada kesempatan ini perkenankanlah saya menyampaikan
pidato mimbar akademik yang terhormat ini, berjudul:

“IDENTIFIKASI INDIVIDU TAK BERIDENTITAS


DI INDONESIA”

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

Hadirin yang saya muliakan,

Mengapa ada kata “di Indonesia” di dalam judul, karena


ternyata di Indonesia mempunyai banyak kekhasan sehingga
dalam identifikasi pun, tidak dapat disamakan begitu saja dengan
negara-negara lain di dunia ini. Kekhasan lingkungan fisik
maupun sosial budaya Indonesia ini membawa warna tersendiri.
Sebenarnya, apakah arti antropologi? Sewaktu studi, saya
sering mendapat pertanyaan, studi apakah antropologi ini?
Apakah studi perbintangan? Apakah studi tentang benda-benda
kuno? Apakah studi tentang fosil? Rata-rata, tiga hal itu adalah
persepsi awam di Indonesia, tentang apa antropologi.
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia, studi
komparasi budaya, masyarakat, dan variasi manusia (Miller, 2005).
Anthropos berarti “manusia” (Osamu, 2006). Mempelajari manusia
ini tentu dapat dalam berbagai aspek, baik aspek sosial-budaya,
maupun aspek ragawi; yang satu sama lain saling berkaitan.
Antropologi ragawi adalah ilmu yang mempelajari fisik
manusia, dalam keterkaitannya dengan lingkungannya, baik
lingkungan biotik maupun abiotik (Khongsdier, 2007). Dalam
keterkaitan ini, terdapat unsur adaptasi, dan unsur survival
of the fittest (O’Brien & Holland, 1992). Adaptasi manusia pada
zaman sekarang berbeda dengan zaman dahulu kala di mana
ketergantungan manusia pada alam masih besar. Saat ini bahkan
berbalik bahwa alam banyak dimanipulasi oleh manusia untuk
keuntungan dan kenyamanan manusia. Oleh karena, itu sifat
adaptif manusia pada lingkungannya sedikit berubah pada
masyarakat yang semakin kompleks ini.
Manusia adalah makhluk yang unik karena manusia
mempunyai kesadaran atas diri yang baik, dan mempunyai rasa
ingin tahu terhadap siapa sebenarnya dirinya, bagaimana, dan
apa sebenarnya dirinya. Manusialah makhluk yang ingin tahu,

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

siapa orang tuanya, siapa nenek moyangnya, bagaimana sejarah


mereka, bagaimana mereka dulu sampai di tanah yang sekarang
mereka tempati. Dalam usaha untuk memahami manusia, di
antara makhluk hidup lainnya, pemahaman itu tidaklah dapat
sempurna kecuali seseorang berusaha memahami manusia itu dari
dua tinjauan sudut pandang secara bersamaan, karena satu sama
lain saling terkait; yaitu sisi biologis dan sisi sosial-budaya.
Manusia modern masuk ke dalam satu spesies yang memiliki
variasi yang sangat besar dalam perilaku, ukuran, bentuk dan
penampilan. Manusia modern adalah Homo sapiens, suatu nama
yang diberikan oleh Carl Linnaeus (Koemer, 1996), untuk tujuan
nomenklatur atau klasifikasi. Linnaeus menempatkan manusia ke
dalam Ordo Primata bersama hewan lain yang memiliki banyak
kesamaan misalnya kera.
Di awal perkembangannya, antropologi ragawi diwarnai
oleh studi tentang ras dan evolusi (Stocking, 1968). Setelah itu,
marak dikembangkan studi manusia yang mendasarkan pada
antropometri atau pengukuran manusia (Stocking, 1974).
Tujuan segala ilmu pengetahuan adalah untuk menerapkan
hasil proses investigasi untuk layanan terhadap manusia. Konsep
ini diterapkan antropologi ragawi tidak hanya akhir-akhir ini saja,
tapi telah sangat lama. Hasil penyelidikan antropologi ragawi
praktis telah memberi manfaat di berbagai bidang.
Masih banyak peran antropologi ragawi yang lain. Secara
umum, antropologi bermula dari pertanyaan “What does it mean
to be human?” dan “How did we become human?”
Relevansi antropologi salah satunya adalah penelitian-
penelitian tentang variasi wajah manusia termasuk ukuran
tengkorak dan splanchnocranium beserta jaringan lunaknya.
Hal ini akan dapat membantu dalam rekonstruksi wajah dari
tengkorak untuk aproksimasi bentuk wajah semasa hidup, dari
suatu tengkorak tak beridentitas.

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

Persentuhan dengan ilmu-ilmu forensik tak dapat dipungkiri


sangat memberikan arti ketika antropologi memberikan pengertian
mengenai bagaimana pengetahuan tentang variasi manusia dapat
membantu dalam identifikasi individu yang menjadi korban dalam
kejahatan ataupun mass disaster. Variasi ini dipelajari misalnya
dalam antropometri, sosial-biologi, osteologi, antropologi dental,
dan tentu saja dalam antropologi forensik.
Salah satu kontribusi penting bidang antropologi yang lain
untuk antropologi forensik, yang ini adalah ilmu terapan; yaitu
memberi informasi mengenai hal-hal baru yang telah diteliti yang
dapat membantu identifikasi individu dari area gigi dan mulut.
Identifikasi individu oleh antropolog ragawi, banyak menggunakan
penelitian-penelitian dari Antropologi Dental dan Antropologi
Forensik.

ANTROPOLOGI DENTAL

Penelitian pada area antropologi dental ini antara lain meliputi


beberapa subbidang. Misalnya, meneliti kapan gigi tertentu
tumbuh (Delgado et al., 1975; Wise et al., 2002), dan bagaimana
urutan erupsi gigi (Adler, 1963). Di dalam literatur telah dijumpai
patokan kapan gigi tertentu muncul, dan bagaimana urutannya.
Namun demikian, telah kami temukan pada tahun 2011 bahwa
ternyata dalam suatu studi di dua sekolah di Surabaya, erupsi
gigi antara murid yang berbeda origin (yaitu Tionghoa dan Jawa)
adalah berbeda (Nuringtyas dan Artaria, n.d.). Kemudian, satu
lagi penelitian dilakukan pada tahun 2015 di komunitas Arab.
Ternyata erupsi giginya lebih cepat dari dua kelompok etnis yang
lain (Oktaviana dan Artaria, n.d.).
Area penelitian yang lain di bidang antropologi dental
misalnya tentang pengukuran gigi. Pengukuran pada gigi
sering dilakukan untuk melihat perbedaan antara laki-laki dan

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

perempuan. Penelitian kami (Fidya dan Artaria, n.d) menemukan


bahwa gigi-gigi tertentu mempunyai perbedaan ukuran yang
signifikan antara laki-laki dan perempuan. Ukuran gigi sedikit
berbeda dari dental traits, ada unsur lingkungan yang sedikit
berpengaruh pada besar-kecilnya ukuran gigi. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa anak laki-laki biasanya mempunyai
ukuran gigi lebih besar dari pada anak perempuan dari suatu
origin yang sama.
Satu lagi area penelitian di bidang antropologi dental adalah
tentang kekhasan suatu populasi dalam menunjukkan ciri-ciri
karakteristik gigi yang memang sangat kental dengan unsur
genetisnya, (misalnya Baume & Crawford, 1980; Guatelli-Steinberg
& Irish, 2005; Mayhall & Sanders, 1986). Gigi adalah salah satu
bukti adaptasi makhluk hidup, khususnya manusia terhadap
lingkungannya, melalui mekanisme penurunan karakteristik
secara genetis (Osborne et al., 1958). Di antara semua bagian
tubuh manusia, yang paling sulit berubah karena lingkungan
adalah “dental traits”, karena mempunyai komponen genetik
yang sangat kuat (Boraas et al., 1988; Irish & Guatelli-Steinberg,
2003; Kimura et al., 2009; Townsend et al., 2009). Bagian morfologi
tubuh manusia yang lain, misalnya tulang, relatif lebih mudah
dipengaruhi oleh lingkungan (Hill & Orth, 1998).
Gigi dapat digunakan sebagai salah satu variabel dalam
membantu menentukan origin dari seorang individu. Sebagai
contoh, tulisan Moorrees pada tahun 1951 yang mengulas gigi-
geligi suku bangsa Aleut. Seperti dikatakan oleh Moorrees
pada waktu itu, mempelajari dentisi manusia adalah bertujuan:
1) menambah data terkait dengan dentisi manusia, 2) menentukan
kemungkinan saling hubungan dalam waktu dan ruang antar
populasi, 3) memperbedakan dalam satu sama lain di dalam
populasi yang sama, 4) mempelajari bagaimana pengaruh

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

percampuran antar populasi terhadap gigi-geligi, dan 5) untuk


menentukan moda penurunan dari ciri-ciri tertentu.
Dengan demikian, telah lazim diketahui bahwa gigi seri
yang mempunyai shovel shape, dengan tampilan keseluruhan
gigi pada umumnya adalah besar dan kokoh, adalah kekhasan
manusia Mongoloid (Taylor, 1969). Sebaliknya, gigi yang mengecil
ukurannya seperti 4-cusp geraham bawah adalah kekhasan
manusia Europoid modern (Bailey, 2006). Berdasarkan ciri giginya,
Scott & Turner (2000) membuat pembagian populasi manusia
menjadi 5 (lima) origin. Belakangan diketahui bahwa manusia
yang mempunyai origin Mongoloid masih dapat dipisahkan
menjadi dua golongan besar yaitu Sinodont dan Sundadont. Baru-
baru ini Artaria (2014) menemukan bahwa dalam satu kota pun,
manusia dengan origin yang berbeda (Jawa dan Arab), mempunyai
perbedaan yang bermakna pada traits di bagian gerahamnya.
Demikian pula kami menemukan bahwa gigi orang Jawa dan
Flores mempunyai karakteristik yang berbeda (Artaria 2007, dan
Artaria 2010).
Keberbedaan bermakna seperti disebutkan dapat terjadi tentu
saja karena dental traits sangat kuat unsur genetisnya. Namun, hal
ini mendapat pertanyaan dari beberapa saintis dari luar Indonesia,
yang meragukan apakah benar di zaman sekarang yang banyak
kawin campur antaretnis ini masih berguna untuk studi semacam
ini. Ternyata, justru di sinilah kekhasan Indonesia.
Pada akhir tahun 2014 kami mengamati cetakan gigi pada
mahasiswa Adelaide (Australia). Jika ditelaah dari nama kecilnya
(first name) dan nama keluarganya (surname), apakah dia berasal
dari Mongoloid origin ataukah Europoid origin, terdapat kesan
bahwa beberapa nama tersebut tidak konsisten dengan ciri khas
gigi berdasar originnya. Dengan kata lain, nama yang mencirikan
origin Mongoloid terkadang mempunyai gigi bercirikan Western
Eurasia; sebaliknya nama yang menunjukkan origin dari Europoid

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

terkadang menunjukkan ciri Mongoloid. Hal ini dapat dimengerti


karena nama keluarga (surname) pada kebudayaan penduduk
Australia keturunan Eropa dan Asia adalah berdasar garis
keturunan ayah; sementara faktanya, gigi merupakan gabungan
gen keturunan ayah dan ibu. Jika telah terjadi kawin campur,
maka gigi dapat mengekspresikan dental traits dari garis ibu.
Sementara itu, di Indonesia pernikahan eksogami tidak
sesering dilakukan seperti di Australia, sebaliknya banyak etnis
yang masih lebih memilih perkawinan endogami; apalagi jika
agama dari kedua etnis berbeda. Justru di sini menguntungkan
untuk studi antropologi dental dalam membantu memecahkan
kasus individu tak beridentitas di Indonesia. Di AS pun pernah
diteliti bahwa penggunaan ukuran metris gigi dan dental traits
secara bersama-sama, dapat membedakan dua kelompok sampel
dengan baik, yaitu anak-anak keturunan European-American
dengan keturunan African-American (Lease & Sciulli, 2005).
Identifikasi individu berdasarkan dental traits ini semakin
akurat jika individu tersebut pernah mempunyai cetak gigi
dan data tersimpan dalam database Perhimpunan Dokter Gigi
Indonesia. Oleh karena, tiap bagian gigi (gigi seri, taring, premolar,
dan geraham), masing-masing mempunyai dental traits yang
berbeda-beda, dan ekspresinya di tiap gigi dapat berbeda-beda
pada tiap individu. Maka ciri khas yang dimiliki oleh seorang
individu dalam satu set giginya, jika terekam dengan baik dalam
cetakan gigi, akan menyerupai sidik jari dalam identifikasi
individu. Hal ini menguntungkan, dan sangat berguna, mengingat
gigi adalah bagian yang paling kuat, tahan lama, tidak mudah
rusak; bahkan dalam peristiwa kebakaran yang mana jaringan
lunak seperti sidik jadi kemungkinannya sudah hancur dan tidak
dapat diperiksa lagi.
Lebih jauh lagi, dalam banyak kasus pembunuhan, pelaku
merusak bagian wajah dan jari korban untuk menyamarkan

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

identitas korban. Karena, langkah awal dalam mencari pelaku


adalah mengetahui terlebih dahulu siapa si korban. Jika korban
tidak diketahui, maka pelaku pun tidak akan tertangkap. Jika
Indonesia sudah mempunyai database gigi, maka ini akan sangat
mempermudah aparat kepolisian dalam mengungkap identitas
Mr. X atau Ms. X.

ANTROPOLOGI FORENSIK

Antropologi forensik adalah penerapan dari antropologi dan


berbagai subarea, termasuk di bidang forensik arkeologi dan
forensik tafonomi (Haglund & Sorg, 2001), dalam suatu tatanan
hukum. Oleh karena antropolog mempunyai keahlian terkait
dengan tulang-belulang manusia, maka antropolog mempunyai
peran penting dalam mengidentifikasi tulang-tulang fragmentaris,
membedakan dari tulang hewan, termasuk mengkonfirmasi
atau menolak reasosiasi bagian-bagian tulang untuk dirilis
pada keluarga. Dalam forensik, sering peran antropolog adalah
membantu identifikasi individu yang tidak beridentitas, di mana
individu itu telah mengalami kondisi kerusakan jaringan lunak
tubuh sehingga tidak lagi dapat diidentifikasi secara visual.

IDENTIFIKASI INDIVIDU TIDAK BERIDENTITAS

Identifikasi individu tidak beridentitas adalah suatu


kebutuhan pada semua masyarakat manusia saat ini. Hal ini
berkaitan dengan adanya masyarakat manusia yang semakin
kompleks, sehingga berbagai peristiwa memungkinkan bahwa
seorang manusia harus diidentifikasi siapa dirinya, baik dalam
kondisi masih hidup, ataupun telah meninggal. Oleh karena itu,
berbagai cara telah dikembangkan untuk semakin memberikan

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

sumbangan agar identifikasi ini menjadi semakin mudah dan


akurat.
Berbagai kebutuhan identifikasi itu di antaranya:
1) Identifikasi anak
2) Identifikasi individu dewasa yang telah meninggal dan tidak
didapati kartu identitas bersamanya

Identifikasi Anak

Identifikasi yang dilakukan pada anak (unaccompanied


minor) terkadang dibutuhkan ketika seorang anak terpisah
dari orang tuanya, dan belum dapat ditanya, atau dia tidak
mengetahui secara lengkap nama dirinya, nama orang tuanya,
maupun dari mana dia berasal. Hal seperti ini kerap terjadi di
tempat keramaian, atau di tempat di mana terjadi bencana alam,
sehingga keluarga tercerai-berai. Jika anak tersebut ditemukan
oleh aparat, maka identifikasi dapat dilakukan dengan beberapa
cara (Schmelling et al., 2006).
Pertama menggunakan patokan berdasar gigi yang telah
tumbuh atau telah tanggal/lepas. Dalam literatur dijumpai
patokan umur anak atau bayi berdasarkan hal ini, seperti
telah dipaparkan di atas. Namun, telah kami temukan bahwa
kecepatan dan urutan erupsi gigi antara satu etnik dengan yang
lain ternyata berbeda (Nuringtyas dan Artaria, n.d.). Karenanya,
di Indonesia diperlukan patokan yang lebih baik dari pada yang
telah dipublikasi di berbagai literatur, yang merupakan patokan
berdasar tumbuh kembang anak-anak di negeri barat.
Kedua, patokan menggunakan osifikasi (persambungan)
tulang. Dalam literatur dijumpai bahwa osifikasi tulang terjadi
pada umur-umur tertentu, sehingga dapat dijadikan patokan
dalam menentukan umur seorang anak yang tidak diketahui
identitasnya. Hanya saja, telah ditemukan bahwa antara satu

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

origin dengan origin yang lain terdapat perbedaan dalam


osifikasi (Garn & Bailey, 1978). Dengan demikian perlu dibuat
database lebih lengkap di Indonesia untuk membantu identifikasi
individu yang tak beridentitas, karena telah diketahui bahwa di
Indonesia tinggal berbagai origin manusia, dan kebanyakan masih
mempraktekkan endogami (Andriansyah, 2015, Kurdi, 2013,
Nuryani, & Lestari, 2013, Parwesi, & Sudaryanto, 2012, Sarjan,
2013, Wardani, 2013).
Melakukan estimasi tinggi badan pada anak yang telah
menjadi kerangka, telah pernah diulas oleh Ubelaker (1987), dan
pernah diteliti oleh misalnya oleh Gilsandz et al. (1998). Rumus
penghitungan tinggi badan hasil estimasi dari panjang tulang-
tulang yang ditemukan, tentu berbeda dari satu ras dengan yang
lain.

Identifikasi Individu Dewasa

Terkadang, individu yang hilang ingatan (karena gangguan


jiwa ataupun karena benturan keras pada kepalanya), tidak akan
mengetahui siapa dirinya, antropolog dapat membantu memberikan
rentang (range) umur individu tersebut, dan mengidentifikasi
ciri-ciri tubuh yang kemungkinan dapat mudah dikenali oleh
keluarganya.
Identifikasi individu dewasa dapat dibutuhkan ketika
misalnya pada masa “senile” seseorang sudah tidak ingat lagi
siapa diri mereka. Terkadang mereka pergi ke suatu tempat lalu
lupa arah jalan untuk pulang. Hal seperti ini tentu membutuhkan
identifikasi tentang umur, selain pemeriksaan ciri-ciri khas yang
didapati pada tubuhnya, termasuk bekas luka dan mungkin juga
bekas cedera pada tulang.
Demikian pula garis kerut wajah mempunyai pola pada
berbagai umur manusia yang mengalami penuaan. Pola kerut

10

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

wajah pada usia 40-an, 50-an, 60-an dan 70-an tentu berbeda
(Suo et al., 2010). Hasil penelitian tentang pola kerutan wajah ini
lebih sering digunakan pada rekonstruksi wajah pada tengkorak,
untuk memperkirakan bagaimana wajah si individu pada sat-saat
akhir masa hidupnya.
Memperkirakan usia individu dewasa tidak beridentitas yang
masih hidup juga dapat dilakukan dari mengamati keausan gigi
(Walker et al., 1991), osifikasi tulang (Barchillon et al., 1996;
Kobliansky et al., 1995; Djuric et al., 2007)--jika masih hidup
dengan cara melakukan roentgen, dan melalui pengamatan pola
kerut wajah (Glogau, 1996; Harris, 2004; Friedman, 2005).
Namun demikian, pola tersebut adalah berdasar penelitian di
populasi Europoid. Sementara itu, telah umum diketahui awam,
sehingga terdapat pernyataan bahwa “orang Indonesia itu pada
umumnya terlihat awet muda jika dibanding dengan keturunan
Europoid”. Namun demikian, awam juga sering berpendapat
bahwa orang keturunan Eropa jika telah menua, dia akan terlihat
“awet”, artinya tidak terjadi penuaan yang drastis sesudahnya,
tidak seperti halnya orang Indonesia pada umumnya yang ketika
mencapai usia 60-an terjadi percepatan penuaan dari pada tahun-
tahun sebelumnya. Namun hal ini semata-mata berasal dari
pengamatan secara umum. Di Indonesia belum pernah dilakukan
penelitian mengenai pola penuaan pada wajah, sehingga saat ini
kami sedang melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana
pola penuaan pada wajah orang Indonesia (Fitriana & Artaria,
n.d.).

Identifikasi Individu yang Telah Meninggal dan Tidak


Didapati Kartu Identitas Bersamanya

Dalam mengidentifikasi individu yang telah meninggal, yang


dapat dilakukan misalnya:

11

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

1) Memperkirakan tinggi tubuh individu, ketika tubuh individu


yang ditemukan terpisah atau terpotong, atau hanya beberapa
tulang panjang saja yang ditemukan,
2) Memperkirakan origin dari individu,
3) Memperkirakan jenis kelamin,
4) Memperkirakan usia dari individu,
5) Memperkirakan wajah individu ketika masih hidup,

Memperkiraan Tinggi Tubuh Individu

Perkiraan tinggi tubuh individu dapat dilakukan dengan


berbagai rumus, ketika sisa kerangka yang ditemukan tidak
lengkap. Berbagai penelitian telah dilakukan, dan menemukan
bahwa rumus dalam memperkirakan tinggi tubuh ketika hidup,
berdasar bagian-bagian kerangka, tidaklah sama antarsatu
origin dengan yang lain (Mora et al., 2001). Sebagai contoh, di
Indonesia hidup banyak penduduk dari origin yang berbeda-beda,
misalnya keturunan Arab, Tionghoa, Indo-eropa, dan berbagai
“penduduk asli” dari berbagai etnik misalnya Jawa, Madura,
Bali, Papua, Ambon, Manggarai, dan sebagainya. Mudah untuk
melihat bahwa proporsi antara togok (body trunk), dan tungkai
kaki tidaklah sama antara penduduk Indonesia yang keturunan
Arab dengan Tionghoa, maupun dengan Papua, dan juga Jawa.
Masing-masing mempunyai proporsi tubuh yang berbeda. Hal
ini disebabkan adanya komponen genetik yang menyebabkan
mereka mempunyai proporsi yang berbeda (Ruff, 2002). Oleh
karenanya rumus rekonstruksi tinggi badan dari tulang panjang
akan berbeda di antara empat individu yang berasal dari empat
origin yang berbeda tadi.
Di negara lain, misalnya di Amerika Serikat, telah diketahui
bahwa rumus rekonstruksi tinggi badan dari tulang panjang
berbeda-beda antara keturunan Negroid, Europoid, dan American

12

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

Indian (Dempster et al., 1964; Bidmos, 2006, Tibbetts, 1981,


Meadows, & Jantz, 1992, Sciulli, & Giesen, 1993).
Dengan demikian, perlu ditekankan di sini perlunya untuk
menggunakan rumus yang tepat dalam merekonstruksi tinggi
badan dari kerangka individu di Indonesia. Tentunya, perlu
diidentifikasi terlebih dahulu, pada tengkorak dan kerangka yang
ditemukan itu, tanda-tanda apakah dia dari origin yang satu, atau
lainnya.
Dalam penelitian kami, juga ditemukan bahwa penghitungan
tinggi badan berdasar rumus dari panjang jari tangan, yang paling
akurat adalah menggunakan jari tengah, diikuti oleh jari telunjuk;
dibandingkan jari yang lain. Lebih jauh lagi, rekonstruksi tinggi
badan dari jari lebih akurat jika dilakukan pada ruas-ruas jari
dibandingkan dengan mengukur keseluruhan panjang jari dari
pangkal sampai ujung digit (Fatati & Artaria, n.d.).
Demikian juga kami temukan bahwa akurasi rekonstruksi
tinggi badan berdasar tinggi kepala tidak terlalu besar. Korelasi
hanya signifikan antara tinggi badan dengan tinggi wajah atas.
Tinggi badan dan tinggi wajah genap tidak berkorelasi signifikan,
kemungkinan karena unsur non-genetis cukup besar berpengaruh
pada pertumbuhan wajah bagian bawah (Chorniawan & Artaria,
n.d.). Artinya, kami simpulkan bahwa akurasi estimasi tinggi
badan adalah lebih rendah jika menggunakan ukuran-ukuran
wajah dan kepala, jika dibanding dengan estimasi berdasar tulang
panjang.

Memperkirakan Origin dari Individu Tidak Beridentitas

Seperti diceritakan sebelumnya bahwa penting untuk


memperkirakan terlebih dahulu origin dari individu tak
beridentitas. Hal yang menjadi pertanyaan adalah, apakah hal
tersebut dimungkinkan, ketika individu telah kehilangan semua

13

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

jaringan lunak wajah, dan telah menjadi tengkorak? Jawabannya,


adalah, “Ya, itu dapat dilakukan!”.
Berdasar pengamatan kami, salah satu ciri khas tengkorak
Europoid adalah nasal opening yang sempit dan punggung hidung
yang tinggi. Bagian nasospinale terlihat runcing dan panjang.
Berbeda dengan Negroid yang mempunyai nasal opening yang lebih
lebar dan punggung hidung tidak setinggi Europoid. Demikian
pula pada Mongoloid, nasal opening tidak selebar Negroid, namun
punggung hidung biasanya rendah.
Berdasar osteoskopi, kami simpulkan bahwa tengkorak
Jawa mempunyai tonjol glabella yang berbeda dari tengkorak
Papua. Kekhasan tengkorak Papua adalah pada robustisitas tonjol
glabella ini, baik pada laki-laki maupun perempuan. Tentunya
masih tetap dalam kapasitas seperti pada umumnya, maskulinitas
tengkorak Papua laki-laki lebih besar dari tengkorak Papua
perempuan. Ciri khas lain dari tengkorak Jawa adalah bentuk
kepala brachycephal (melebar ke samping), berbeda dari tengkorak
Papua yang cenderung memanjang ke belakang.
Telah sering didapati di dalam literatur klasik bahwa
antara individu dari origin Europoid mempunyai ciri-ciri yang
khas pada tengkoraknya, yang berbeda dari tengkorak Negroid
dan Mongoloid, seperti dikatakan oleh Richardson (1980). Pada
tengkorak-tengkorak dari Indonesia yang kami teliti, kami
temukan bahwa perbedaan yang signifikan antara tengkorak
Jawa dan Papua adalah pada ukuran-ukuran b-l, ol-sta, co-co, eu-
eu, g-op, g-i, n-o, b-l, total face prognathism, dan nasal prognathism
(Artaria, 2011). Dengan demikian penentuan origin tengkorak
Indonesia, apakah berasal dari Indonesia barat (misalnya Jawa),
ataukah dari Indonesia timur (Papua), dapat dilakukan melalui
pengukuran tengkorak, maupun pengamatan pada glabella, dan
bentuk kepala.

14

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

Memperkirakan origin dari suatu individu dapat pula


dilakukan dari mengobservasi karakteristik gigi atau dental
traits, seperti telah dijelaskan.

Memperkirakan Jenis Kelamin dari Individu Tidak


Beridentitas

Jenis kelamin individu yang masih hidup yang mengalami


gangguan ingatan adalah lebih mudah daripada memperkirakan
jenis kelamin individu yang telah menjadi kerangka. Tetapi apakah
hal yang terakhir ini memungkinkan? Tentu saja memungkinkan.
Jenis kelamin dapat dilihat paling jelas pada tulang panggul.
Namun, tidak jarang tulang panggul tidak ditemukan, karena
berbentuk pipih dan mudah untuk dibawa binatang buas; berbeda
dengan tulang tengkorak yang bulat dan besar.
Jenis kelamin dapat diketahui dari tengkorak, pada beberapa
bagian yaitu pada tulang dahi, sudut rahang, tonjolan glabella,
processus mastoideus, tonjolan occipitalis externa, bentuk tulang
orbita, ketajaman tulang orbita, serta pada bagian menton atau
dagu; pada umumnya tengkorak laki-laki lebih besar dan lebih
kasar perlekatan ototnya.
Namun demikian, dari pengamatan kami, maskulinitas dan
femininitas pada masing-masing origin tidak setara. Misalnya, jika
membandingkan antara maskulinitas bagian glabella individu di
Indonesia yang berasal dari timur (misalnya tengkorak dari Papua)
dan dari barat (misalnya tengkorak dari Jawa), maka tonjolan
glabella pada tengkorak laki-laki Papua adalah sangat maskulin,
sementara tonjolan glabella pada tengkorak laki-laki Jawa sering
tergolong neutral (sedang), atau bahkan ada beberapa yang tidak
begitu menonjol atau lebih menyerupai tipe feminin. Demikian
pula jika mengamati sudut rahang tengkorak papua berjenis
perempuan, lebih sering terlihat bentuknya mendekati sudut

15

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

rahang bertipe maskulin. Oleh karena itu, kami menyarankan


agar melakukan identifikasi origin terlebih dahulu sebelum
melakukan identifikasi jenis kelamin, karena derajat maskulinitas
dan femininitas antar origin yang berbeda.
Kami mengamati bahwa pada tengkorak-tengkorak Jawa,
sering tonjolan glabella tidak konsisten menunjukkan maskulinitas
yang kuat pada laki-laki, sehingga perlu dicari apa sejatinya yang
paling berbeda secara signifikan antara kedua jenis kelamin. Kami
menemukan bahwa dari beberapa ukuran yang kami lakukan,
yang paling berbeda secara signifikan secara lebih konsisten
adalah ukuran lebar maksimal arcus zygomaticus dan jarak enm-
enm (Setianingsih dan Artaria, 2011). Temuan-temuan seperti
ini tentu berguna dalam membantu mengidentifikasi individu
(tengkorak) tidak beridentitas.

Memperkirakan Usia dari Individu Tidak Beridentitas

Memperkirakan usia pada individu dewasa yang telah menjadi


kerangka dapat dilakukan melalui pengamatan pada keausan gigi
serta pertautan antara tulang-tulang tengkorak; sama seperti pada
individu yang masih hidup. Beda antara individu yang masih muda
dan individu yang berumur 20 tahun ke atas adalah pemeriksaan
tulang yang sudah mengalami osifikasi, di mana pada individu
yang masih muda diperiksa apakah masing-masing tulang di area
pergelangan tangan dan jari sudah utuh.
Urutannya sebagai berikut (Gilsandz & Ratib, 2005): 1)
Infancy (the carpal bones dan radial epiphyses); 2) Toddlers
(jumlah epiphyses yang nampak pada tulang panjang di tangan); 3)
Pre-puberty (diamati ukuran phalangeal epiphyses, epifisis sama
lebar dengan metafisis); 4) awal dan Mid-puberty (diamati ukuran
dari phalangeal epiphyses, epifisis lebih lebar dari metafisis);
5) akhir Puberty (tingkatan persambungan epiphyseal); and, 6)

16

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

Post-puberty (tingkatan persambungan epiphyseal the radius and


ulna).
Pada individu usia 15 sampai 35 dapat diamati penutupan
sutura palatal (Persson & Thilander, 1977). Kemudian yang berusia
20 tahun ke atas yang diamati adalah persambungan pada tulang
clavicula, yaitu mulai 21 tahun) (Quirmbach et al., 2005). Setelah
itu, diamati persambungan antara tulang-tulang pipih pelindung
otak; yaitu tulang-tulang tengkorak, yang menutup antara umur
20 sampai 95 tahun (Kokich, 1976).
Keausan gigi pada tengkorak telah lama digunakan sebagai
patokan dalam menentukan usia individu tak beridentitas
(Donachie & Walls, 1995). Hal ini tentu berkaitan dengan logika
bahwa jika gigi digunakan mengunyah dalam kehidupan sehari-
hari, karena manusia tentu perlu makan. Dengan demikian
lama-kelamaan gigi semakin bertambah keausannya, karena
pergesekan dengan makanan yang dikunyah sehari-hari, dan
juga pergesekan antara gigi atas dan gigi bawah. Secara logika,
semakin bertambah umur seseorang, maka semakin parah keausan
giginya. Namun demikian, kecepatan keausan gigi tersebut tentu
berkait dengan jenis makanan seseorang. Jenis makanan individu
biasanya terkait erat dengan budayanya. Sebagai contoh, jika di
negeri Belanda salad Huzarensla adalah salah satu makanan
yang sering dijumpai, maka di Jawa Timur lebih sering dijumpai
jenis gado-gado, karena bumbu salad Belanda tidak cocok dengan
lidah kebanyakan orang Indonesia. Jika di AS jenis protein yang
sering dimakan adalah steak, misalnya dengan bumbu lada hitam,
maka di Jawa Timur lebih sering dijumpai saos kacang sebagai
teman dari daging ayam yang dipanggang. Di Indonesia, penyajian
daging panggang pun berbeda. Sate diiris kecil-kecil sehingga
mudah untuk disantap, sementara di AS disajikan dalam bentuk
potongan besar dan harus dipotong-potong sendiri. Cara memasak
steak pun ada pilihan, yaitu raw, medium, dan well-done. Kalau

17

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

di Jawa Timur lebih disukai sate yang telah empuk dan matang.
Maka kekenyalan daging pun berbeda berdasar cara memasaknya.
Bumbu berbeda yang digunakan tentu kekasaran jenis makanan
yang diterima oleh gigi juga berbeda.
Dari sisi bahan makanan pokok, di AS lebih disukai kentang
yang diiris panjang dan digoreng. Teksturnya cenderung lembut
dan empuk. Sementara itu, di Jawa Timur, beras lebih disukai
untuk ditanak menjadi nasi. Bahkan, di beberapa masyarakat
Jawa Timur lebih disukai beras yang dicampuri dengan jagung,
sehingga lebih mengenyangkan. Dengan demikian, kekasaran
jenis makanan pokok antara orang Jawa Timur dan AS adalah
berbeda, dan akan berpengaruh pada keausan gigi-geliginya.
Cara menyiapkan bahan makanan pun dapat berpengaruh
pada pecepatan keausan gigi (Molnar, 1971). Pada sementara
masyarakat di dunia, ada yang masih menggunakan peralatan
dari batu untuk memproses makanan. Misalnya, dalam menumbuk
padi, menghaluskan bahan makanan dari jagung, melembutkan
bumbu masak, dsb. Hal ini menyebabkan sebagian dari batu
tersebut tergerus dan tercampur dengan makanan, dan dapat
mempercepat keausan gigi, jika dibanding dengan masyarakat
yang tidak menggunakan peralatan berbahan dari batu.
Patokan usia yang ada pada literatur ini adalah berdasar
data dari Eropa pada tahun 1900-an. Kami menemukan bahwa
pada manusia Jawa era modern ini, pola keausan gigi lebih rendah
kecepatannya dibanding patokan dari buku (Artaria, 2007). Hal
ini disebabkan karena jenis makanan pada manusia di Eropa pada
zaman itu tidak sama dengan manusia di Indonesia yang kami
teliti pada tahun 2007, sehingga kecepatan keausannya berbeda.
Sementara telah diketahui bahwa Indonesia ini mempunyai
banyak etnis yang tradisi makanan pokoknya berbeda-beda,
tradisi menyiapkan bahan makanan juga berbeda-beda. Dapat
diduga bahwa kecepatan keausan antara gigi manusia di Madura,

18

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

misalnya, berbeda dengan di Jawa Tengah, dan berbeda pula


dengan di Papua. Dengan demikian, perlu dibuat patokan-patokan
baru untuk asesmen usia dari keausan gigi, di berbagai wilayah
Indonesia berdasar pada kebiasaan makan yang berbeda-beda.

Memperkirakan Wajah Individu Tidak Beridentitas

Dalam membantu identifikasi individu tidak beridentitas, di


negara Amerika Serikat misalnya, sering dilakukan upaya untuk
merekonstruksi wajah dari individu tersebut di masa terakhir
hidupnya, setelah diidentifikasi origin, jenis kelamin, dan usianya
(Haglund & Ray, 1991). Rekonstruksi ini diusahakan untuk
menyamai wajah si individu semasa hidup, sehingga keluarga
atau temannya mengenalinya. Akurasi dari rekonstruksi wajah ini
tidak dapat mencapai 100% karena sulit untuk mengetahui dari
tengkoraknya mengenai bentuk cuping hidung ataupun adanya
tahi lalat, misalnya. Akan tetapi, dapat diketahui perkiraan lebar
hidung dan kemancungan hidung berdasar rumus yang pernah
ditemukan, untuk manusia dari origin Europoid, Negroid, dan
Mongoloid. Namun demikian, dari pengamatan kami, di Indonesia
saja terdapat perbedaan antara Mongoloid yang di bagian barat
dengan yang di bagian tengah—misalnya dari bentuk kepala
dan proporsi wajah. Perbedaan ini terbukti dari gigi--dental
traits pada bagian gigi seri yaitu derajad shovel shape di etnis
Manggarai (Indonesia Tengah) (Artaria, 2007) berbeda dengan
shovel shape pada etnis Jawa (Artaria, 2007b; Artaria, 2010).
Biasanya perbedaan ini juga menandai perbedaan dari sisi lain,
termasuk mungkin rata-rata ketebalan jaringan lemak wajah.
Belum lagi jika dibandingkan dengan Mongoloid di daratan benua
Asia, yang menurut Scott & Turner (2000) mempunyai derajat
shovel lebih tinggi. Maka itu kami sarankan agar diteliti patokan
ketebalan jaringan lunak wajah di berbagai origin di masyarakat

19

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

di Indonesia untuk dapat melakukan rekonstruksi wajah dari


tengkorak dengan lebih sempurna.
Dalam penelitian kami terhadap tiga etnis di Indonesia, telah
kami temukan bahwa terdapat perbedaan bentuk jaringan lunak
wajah pada bentuk mata, bentuk epicantus mata, bentuk hidung,
ketebalan cuping hidung, dan ketebalan bibir integumental. Ke
tiga etnis yang diteliti adalah yang mewakili tiga subras yang kami
sebut dalam penelitian Glinka, Artaria dan Koesbardiati (2010).
Dengan demikian, apabila menjumpai individu dari tiga etnis yang
diteliti, rekonstruksi bentuk mata, hidung dan mulut disesuaikan
dengan hasil temuan kami tersebut (Artaria, 2011).

1.A. 1.B.

Gambar 1. Contoh rekonstruksi wajah dari tengkorak tidak beridentitas.


Gambar 1A: rekonstruksi 3D (patung wajah dan kepala); di bagian
dalam adalah tengkorak individu tersebut, yang diberi lapisan
jaringan kulit wajah dari bahan khusus (“clay”). Gambar 1B adalah
rekonstruksi 2D (sketsa wajah) berdasarkan patokan ketebalan
jaringan lunak yang dipasang pada tengkorak individu tidak
beridentitas; dan mengandalkan rumus untuk memperkirakan
kemancungan hidung, lebar hidung, lebarnya bibir, dan tebal-
tipisnya bibir.

20

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

RINGKASAN DAN HARAPAN

Berdasar paparan tersebut, dapat kami simpulkan bahwa


dari sisi identifikasi individu tidak beridentitas, Indonesia ini
khas. Jika di negara-negara lain, percampuran antarsuku
bangsa dan antaragama adalah lazim dan sering dilakukan,
di Indonesia kecenderungannya berbeda. Pasangan eksogami
memang semakin banyak terjadi, tetapi pasangan endogami lebih
banyak lagi. Hal ini diperkuat oleh peraturan di Indonesia di era
Presiden Soeharto, yang masih berlaku sampai sekarang, agar
pasangan yang menikah mempunyai agama yang sama. Hal ini
sangat mendukung perkawinan endogami lebih sering dilakukan
daripada eksogami. Ini berdampak pada percampuran gen antar
gene pool yang berbeda tidak sebebas di negara lain. Akibatnya,
identifikasi masih dapat mengandalkan pada ciri-ciri morfologis
yang diturunkan secara genetis dan dijumpai secara khas pada
kelompok origin tertentu; seperti ciri khas tebal (tipis)-nya cuping
hidung, kemenonjolan area glabella pada populasi Indonesia barat,
perbedaan kedalaman cekungan anterior fovea antara Jawa
dan Arab, besar-kecilnya skor shovel-shape pada gigi seri, dan
sebagainya. Harapan kami, penelitian di area antropologi ragawi
semakin dikembangkan di Indonesia.
Harapan tersebut semakin diperkuat, karena negara
Indonesia yang luas ini terdiri atas banyak suku bangsa. Dari sisi
ciri fisik sangat bervariasi dan berpola; ini semua merupakan
bidang kajian kami. Sementara itu, kami, antropolog ragawi
di Indonesia, jika dihitung belum genap sejumlah sepuluh jari
di tangan. Departemen atau Program Studi Antropologi yang
mempunyai kajian antropologi ragawi satu-satunya adalah di
Universitas Airlangga. Maka masih terbuka luas penelitian
di bidang ini. Indonesia masih memerlukan lebih banyak lagi
antropolog-antropolog ragawi.

21

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

Harapan kami yang lain adalah, agar Indonesia dapat


memberlakukan penyimpanan database cetak gigi dan X-ray
gigi setiap pasien yang melakukan kunjungan ke dokter gigi,
agar dapat membantu bilamana suatu saat dibutuhkan untuk
identifikasi individu.
Dari uraian tulisan ini dapat pula kami simpulkan bahwa
untuk mempelajari dan kemudian mengerti dengan lebih baik
tentang manusia yang sangat beragam ini, dibutuhkan tinjauan
dari banyak sisi. Tidak hanya dari sisi sosial-budaya, tetapi juga
dari sisi biologis. Dengan begitu, maka ilmu tentang manusia
tersebut menjadi semakin berguna untuk dapat diterapkan.

Hadirin yang saya muliakan,

Demikianlah pidato pengukuhan kami, dengan harapan


dapat terwujudnya antropologi ragawi yang lebih dikenal
masyarakat. Dengan demikian, antropolog ragawi lebih berguna
untuk masyarakat, sebagai bagian dari kehidupan manusia yang
kompleks, tidak hanya menjadi bagian dari alam semesta, tetapi
juga sebagai Homo sapiens—yaitu makhluk yang berakal dan
beradab.

UCAPAN TERIMA KASIH

Hadirin yang mulia,

Saya menyadari bahwa sebagai manusia yang memiliki


keterbatasan dan ketidaksempurnaan, maka apa yang telah saya
capai hingga saat ini, tidaklah terlepas dari keterlibatan dan
bantuan banyak pihak. Oleh karena itu di akhir pidato pengukuhan
ini, perkenankanlah saya untuk mengucapkan terima kasih dari
hati saya yang paling dalam kepada berbagai pihak.

22

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

Pertama, saya sampaikan rasa hormat dan ucapan terima


kasih yang sebesar-besarnya kepada Pemerintah Republik
Indonesia dalam hal ini Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan
Tinggi yaitu Prof. Dr. Moh. Nasir, dan Sekretaris Jenderal
Pendidikan Tinggi yang telah menyetujui pengangkatan saya
sebagai Guru Besar dalam Bidang Antropologi.
Kepada yang terhormat Rektor Universitas Airlangga, Prof.
Dr. Moh. Nasih, S.E., M.T., Ak., para Wakil Rektor Prof. dr.
Djoko Santoso, Ph.D., K-GH., FINASIM, Dr. Muhammad
Madyan, SE., M.Si., M.Fin., Prof. Ir. Moch. Amin Alamsjah,
M.Si., Ph.D, Dr. Junaedi Khotib, S.Si., M.Kes., Ph.D., Apt.,
Mantan Rektor Prof. Dr. H. Fasich, Apt., para mantan Wakil
Rektor, Prof. Dr. H. Achmad Syahrani, Apt., M.S, dan Prof.
dr. Soetjipto., M.S., Ph.D, yang telah banyak membantu,
mengusulkan, serta menyetujui untuk mengangkat saya sebagai
Guru Besar dan menerima saya di lingkungan Universitas
Airlangga.
Gelar ini tidak akan pernah saya terima jika tidak atas
dorongan beberapa rekan dosen, senior, dan pegawai, oleh
karenanya saya sangat berterima kasih pada Bu Siswinarti,
S.H. di UP, Pak Drs. Sumanto, M.M. selaku mantan kepala
bagian SDM, Mbak Fitri Nurhayati, A.Md. selaku pegawai
UP, serta Pak Suko dan Bu Supit Agus Wahyuni, SH., M.Si.
di Direktorat SDM, Ibu Sri Endah Kinasih, S.Sos., M.Si.
selaku Kadep Antropologi tahun lalu, dan tentu saja Drs. Koko
Srimulyo, M.Si. semasa menjabat sebagai Dir Sumberdaya, yang
telah banyak membantu memfasilitasi pengurusan pengusulan
Guru Besar ini.
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas dorongan tidak
henti-henti dari Dr. Epy M. Luqman, M.Si., Drh., PA(Vet), Prof.
Dr. Widji Suratri, DEA, Apt., Drg. Adi Subianto, M.S., Drs. I.
Basis Susilo, M.A., dan Prof. Dr. H. Achmad Syahrani, Apt.,

23

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

M.S., sangat berarti karena tak henti memberi semangat dalam


diri saya untuk mengusahakan tercapainya tujuan ini. Demikian
pula yang memberikan saran pada saya untuk mengajukan usulan,
yaitu Prof. Dr. drh. Chairul Anwar, M.S., dan Prof. Dr. Drs.
Laurensius Dyson, M.A.; saya ucapkan banyak terima kasih;
tak lupa juga untuk teman berbagi kisah: Dra. Onny Yoelyana,
Dra. Riza Julandari, dan Theresia Monica Danis Rahayu,
S.IP. Demikian pula bantuan doa dari Dra. Feirizza, Romo Dr.
Ignatius Loyola Madya Utama S.J., dan Pater Stanislaw
Pikor SVD; sangat kami syukuri. Namun demikian, yang pasti
adalah, keinginan mengajukan usulan guru besar ini tidak akan
muncul jika bukan karena untuk mempersembahkan bagi ibunda
drg. Hj. Soeti Halimah, Prof. Dr. Habil. Josef Glinka SVD,
dan almarhum Prof. H. dr. Sentot Moestadjab Soeatmadji.
Oleh karenanya, saya sangat bersyukur bahwa saya mempunyai
beliau bertiga dalam hidup saya.
Ucapan terima kasih yang tulus serta penghargaan setinggi-
tingginya saya sampaikan pada mantan dekan fisip, Drs. I. Basis
Susilo, M.A. serta para mantan wakil dekan FISIP, Prof. Dr.
Drs. Mustain, M.Si., Ibu Dr. Dra. Dwi Windyastuti Budi H,
M.A., Drs. Djoko Adi Prasetyo M.Si., Bpk Karnaji, S.Sos., M.
Si., dan Drs. Vinsensio M. Arifin Dugis, M.A., Ph.D.; serta
Ketua Badan Pertimbangan Fakultas beserta anggotanya, yang
telah menyetujui pengusulan ini.
Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Dekan dan para
Wakil Dekan FISIP, yaitu Dr. Drs. Falih Suaedi, M.Si, Prof.
Dr. Drs. Budi Prasetyo, M.Si, Dr. Dra. Tuti Budi Rahayu,
M.Si, yang telah selama tujuh bulan terakhir memberi dorongan
dan bantuan atas persiapan pengukuhan ini.
Perkenankanlah saya untuk menyampaikan rasa terima kasih
tidak terhingga pada keluarga saya, yaitu orang tua, yaitu Drs.
H. Abdul Choliq Syamsi. M.B.A., drg. Hj. Soeti Halimah;

24

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

adik-adik saya, yaitu Yudha Firman Ariefullah, B.A., M.B.A.,


yang banyak membantu dalam pengurusan berkas di Jakarta, dan
adik bungsu saya Amalia Fadilla Rachma, S. Psi. yang hadir
dalam kesempatan ini, serta suami saya, Dr. Benny B. Nasution,
Dipl. Eng., M. Eng., yang selama ini tidak hanya mendukung
tapi juga selalu mendorong pengurusan berkas saya, dan tentu
saja terima kasih untuk anak saya Omar Adelian Nasution
yang selalu dapat mengerti dengan kegiatan bundanya, dan yang
telah menjadi teman yang menyenangkan dalam keseharian saya.
Ucapan terima kasih juga saya ucapkan untuk Primiary Devita,
S. Ant., Mardiah Nuringtyas, S. Ant., Theresia Anggraeni,
S. Ant., yang telah membantu dalam penyusunan file berkas
pengusulan, dan juga Larasati Haq, S.Ant. dan M. Syahril, S.
Ant. yang telah membantu di saat-saat terakhir pengumpulan
berkas.
Teman-teman sejawat di FISIP, dan saudara-saudara saya di
Departemen Antropologi; terima kasih atas dukungan dan kerja
sama dalam 26 tahun terakhir. Ucapan terima kasih yang tulus
khusus saya persembahkan untuk Bapak Drs. Budi Setiawan,
MA dan Drs. Djoko Adi P., M.Si., yang telah banyak memberi
saran dan nasehat selama saya menjadi mahasiswa dan kemudian
bekerja di Departemen Antropologi.
Ucapan terima kasih juga saya tujukan pada para mantan
mahasiswa serta mahasiswa saya yang masih aktif; karena tanpa
mereka, saya tidak akan punya semangat untuk terus belajar
hal-hal baru.
Tak lupa, ucapan terima kasih pada orang-orang yang selama
masa pengabdian saya di UNAIR, telah membuat saya terpacu
untuk berusaha melakukan pekerjaan dengan baik, dan menjadi
lebih baik.
Saya ucapkan terima kasih tidak terhingga pada seluruh
Panitia Pengukuhan Guru Besar, seluruh anggota Paduan

25

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

Suara Universitas Airlangga, Komunitas Mata Hati, dan


Band Fussion Jazz, serta semua pihak yang tidak dapat saya
sebut satu per satu, yang telah membantu terlaksananya upacara
ini dengan baik.
Akhir kata, kepada seluruh hadirin yang saya hormati, saya
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas perhatian
dan kesabaran dalam mendengarkan pidato pengukuhan ini,
mohon maaf apabila ada hal yang kurang berkenan. Semoga Allah
SWT melimpahkan rahmat dan karunia-Nya bagi kita semua.
Amin YRA.

Wabillahitaufik wal hidayah, walhamdulillahirabbil ‘alamiin.


Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakatuh.

26

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

DAFTAR PUSTAKA

Adler, P. (1963). Effect of some environmental factors on sequence of


permanent tooth eruption. Journal of Dental Research, 42(2),
605-616.
Andriansyah, D. (2015). Perkawinan Endogami di Kalangan
Kelompok Etnik Punjabi Penganut Agama Sikh di Kota
Medan (Doctoral dissertation, UNIMED).
Angel, J. L. (1963) Physical anthropology and medicine. Journal of
the National Medical Association Vol 55(2):107-116.
Artaria, M.D. (2007a) ”Dental Traits of Sample from Manggarai
(Flores)”. International Seminar on Southeast Asian
Paleoanthropology, Yogyakarta, 23-25 Juli 2007.
Artaria, M.D. (2014) “The prevalence of anterior fovea and Carabelli
traits in Deuteromalayid Javanese”. Australasian Society of
Human Biologists. International Conference Proceeding.
Adelaide, December 2014.
Artaria, M.D. (2011) “Differences in Anthropometric Measurements
at the Skull and Face of Austromelanesoid and Mongoloid: A
Preliminary Study”. Proceeding International Conference.
APICA international Conference, Surabaya, 22-23 July
2011.
Artaria, M.D. (2007b) Dental trait variation and age determination
based on dental wear: A preliminary study of Javanese. Dental
Anthropology 20, 41-43.
Artaria, M.D. (2010) The dental traits of Indonesian Javanese.
Dental Anthropology 23 (3), 74-78.
Artaria, M.D. (2011) “Reconstruction of Face from the Skull”.
Proceeding International Conference. APICA international
Conference, Surabaya, 22-23 July 2011.
Bailey, S.E. (2006). The evolution of non-metric dental variation in
Europe. Mitteilungen der Gesellschaft für Urgeschichte, 15, 9-30.

27

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

Bidmos, M. (2006). Adult stature reconstruction from the calcaneus


of South Africans of European descent. Journal of Clinical
Forensic Medicine, 13(5), 247-252.
Boraas, J.C., Messer, L.B., & Till, M.J. (1988). A genetic contribution
to dental caries, occlusion, and morphology as demonstrated
by twins reared apart. Journal of Dental Research, 67(9),
1150-1155.
Chorniawan A. & Artaria, M.D. (n.d) “Estimating Height from
Head Measurements.” Unpublished paper.
Delgado, H., Habicht, J.P., Yarbrough, C., Lechtig, A., Martorell,
R., Malina, R. M., & Klein, R. E. (1975). Nutritional status
and the timing of deciduous tooth eruption. The American
Journal of Clinical Nutrition, 28(3), 216-224.
Dempster, W.T., Sherr, L.A., & Priest, J.G. (1964). Conversion scales
for estimating humeral and femoral lengths and the lengths
of functional segments in the limbs of American Caucasoid
males. Human Biology, 36(3), 246-262.
Donachie, M.A., & Walls, A.W.G. (1995). Assessment of tooth wear
in an ageing population. Journal of Dentistry, 23(3), 157-
164.
Fatati, A.& Artaria, M.D. ( n.d) “The Reliability of body height
estimation from measurement of unsegmented fingers in
Mongoloid Javanese of Indonesia”. Unpublished paper.
Fidya dan Artaria, M.D. (n.d.) “Variation of Dental Crown
Dimension between Javanese Males and Females”. Unpublished
paper.
Fitriana, R. & Artaria, M.D. (n.d.) “Pattern of Aging on the Face
of Peasants in Indonesia.” On going research.
Friedman, O. (2005). Changes associated with the aging face. Facial
Plastic Surgery Clinics of North America, 13(3), 371-380.
Garn, S.M., & Bailey, S.M. (1978). Genetics of maturational processes.
In Principles and Prenatal Growth (pp. 307-330). Springer US.

28

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

Geertz, C. (1973) The Interpretation of Cultures. New York: Basic


Books.
Gilsanz, V., Skaggs, D.L., Kovanlikaya, A., Sayre, J., Loro, M.L.,
Kaufman, F., & Korenman, S. G. (1998). Differential Effect
of Race on the Axial and Appendicular Skeletons of Children
1. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism, 83(5),
1420-1427.
Gilsanz, V., & Ratib, O. (2005). Hand Bone Age: A Digital Atlas of
Skeletal Maturity. Springer Science & Business Media.
Glinka, J., Artaria, M.D., Koesbardiati, T. (2010) The three human
morphotypes in Indonesia. Indonesian Journal of Social
Sciences 2 (2), 70-76.
Glogau, R. G. (1996, September). “Aesthetic and Anatomic Analysis
of the Aging Skin”. In Seminars in Cutaneous Medicine and
Surgery (Vol. 15, No. 3, pp. 134-138). No longer published by
Elsevier.
Guatelli-Steinberg, D., & Irish, J.D. (2005). Brief communication:
early hominin variability in f irst molar dental trait
frequencies. American Journal of Physical Anthropology, 128(2),
477-484.
Haglund, W.D., & Reay, D.T. (1991). Use of facial approximation
techniques in identification of Green River serial murder
victims. The American Journal of Forensic Medicine and
Pathology, 12(2), 132-142.
Haglund, W.D., & Sorg, M.H. (Eds.). (2001). Advances in Forensic
Taphonomy: Method, Theory, and Archaeological Perspectives.
CRC Press.
Harris, M. (1997) Culture, People, Nature: An Introduction to
General Anthropology (7th Edition). Boston: Allyn & Bacon.
Harris, M.O. (2004). The aging face in patients of color:
minimally invasive surgical facial rejuvenation—a targeted
approach. Dermatologic Therapy,17(2), 206-211.

29

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

Hill, P.A., & Orth, M. (1998). Bone remodelling. Journal of


Orthodontics,25(2), 101-107.
Irish, J.D., & Guatelli-Steinberg, D. (2003). Ancient teeth and
modern human origins: an expanded comparison of African
Plio-Pleistocene and recent world dental samples. Journal of
Human Evolution, 45(2), 113-144.
Jurmain, R., et al. (2013). Introduction to Physical Anthropology.
Belmont, CA: Cengage Learning.
Khongsdier, R. (2007). Bio-cultural Approach: The essence of
anthropological study in the 21st Century. Anthropology today:
Trends, Scope and Applications. American Anthropologist.
Special Volume, (3), 39-50.
Kimura, R., Yamaguchi, T., Takeda, M., Kondo, O., Toma, T.,
Haneji, K., ... & Osawa, M. (2009). A common variation in
EDAR is a genetic determinant of shovel-shaped incisors. The
American Journal of Human Genetics, 85(4), 528-535.
Kobyliansky, E., Livshits, G., & Pavlovsky, O. (1995). Population
biology of human aging: methods of assessment and sex
variation. Human Biology, 87-109.
Koerner, L. (1996). 9 Carl Linnaeus in his time and place. Cultures
of Natural History, 145.
Koentjaraningrat (2002) Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:
Rineka Cipta.
Kokich, V. G. (1976). Age changes in the human frontozygomatic
sut u re f rom 2 0 t o 9 5 ye a rs. A mer ic a n jou r n a l of
orthodontics, 69(4), 411-430.
Kurdi, F.A.Z.M.S. (2013). Motivasi perkawinan endogami
pada Komunitas Alawiyyin di Martapura Kabupaten
Banjar. Muadalah, 1(2).
Lease, L.R., & Sciulli, P.W. (2005). Brief communication:
D i s c r i m i n at ion b et we en E u r op e a n-A mer ic a n a nd
African-American children based on deciduous dental

30

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

metrics and morphology. American Journal of Physical


Anthropology, 126(1), 56-60.
Lewis, H. S. (1998). “The Misrepresentation of Anthropology and Its
consequences”. American Anthropologist 100 (3): 716–731.
Marks, J. (1995) Human Biodiversity: Genes, Race, and History.
New York: Aldine de Gruyter.
Mayhall, J. T., & Saunders, S. R. (1986). Dimensional and discrete
dental trait asymmetry relationships. American Journal of
Physical Anthropology,69(3), 403-411.
Meadows, L., & Jantz, R.L. (1992). Estimation of stature from
metacarpal lengths. Journal of Forensic Science, 37(1), 147-
154.
Miller, B.D. (2005). Cultural anthropology. Boston, MA: Pearson.
Molnar, S. (1971). Human tooth wear, tooth function and cultural
variability. American Journal of Physical Anthropology, 34(2),
175-189.
Mora, S., Boechat, M.I., Pietka, E., Huang, H.K., & Gilsanz, V.
(2001). Skeletal age determinations in children of European
and African descent: applicability of the Greulich and Pyle
standards. Pediatric Research, 50(5), 624-628.
Nuringtyas, M. dan Artaria, M.D. (n.d.) “Difference Timing of
Tooth Eruption between Javanese and Chinese Children Age
7 years”. Unpublished paper.
Nuryani, D., & Lestari, P. (2013). Latar belakang dan dampak
perkawinan endogami di Desa Sidigde Kabupaten Jepara.
Unnes Civic Education Journal, 1(2).
Oktaviana, I.R. dan Artaria, M.D. (n.d.) “Difference Timing of
Tooth Eruption between Javanese, Chinese, and Arab Children
Age 7 years”. Unpublished paper.
Osamu, N. (2006). Anthropos and humanitas: Two Western
concepts of ‘human being’. Translation, Biopolitics, Colonial
Difference, 259-274.

31

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

Osborne, R.H., Horowitz, S.L., & De George, F.V. (1958). Genetic


variation in tooth dimensions: a twin study of the permanent
anterior teeth. American Journal of Human Genetics, 10(3),
350.
Parwesi, N.K.Y., & Agus Sudaryanto, S. H. (2012). “Perkawinan
Endogami di Kalangan Masyarakat Tenganan Pegringsingan
di Kabupaten Karangasem Bali”. (Doctoral dissertation,
Universitas Gadjah Mada).
Persson, M., & Thilander, B. (1977). Palatal suture closure in
man from 15 to 35 years of age. American Journal of
Orthodontics, 72(1), 42-52.
Quirmbach, F., Ramsthaler, F., & Verhoff, M.A. (2009). Evaluation
of the ossification of the medial clavicular epiphysis with a
digital ultrasonic system to determine the age threshold of
21 years. International Journal of Legal Medicine, 123(3),
241-245.
Richardson, E.R. (1980). Racial differences in dimensional traits of
the human face. The Angle Orthodontist, 50(4), 301-311.
Ruff, C. (2002). Variation in human body size and shape. Annual
Review of Anthropology, 211-232.
Sarjan, A. (2013). Nikah lintas agama dan riddah di Indonesia. An-
Nisa,6(2).
Schmeling, A., Reisinger, W., Geserick, G., & Olze, A. (2006).
Age estimation of unaccompanied minors: Part I. General
considerations. Forensic Science International, 159, S61-
S64.
Sciulli, P.W., & Giesen, M.J. (1993). An update on stature estimation
in prehistoric Native Americans of Ohio. American Journal of
Physical Anthropology, 92(3), 395-399.
Scott, R. & Turner, C.G. (2000) The Anthropology of Modern Human
Teeth: Dental Morphology and Its Variation. Cambridge:
Cambridge University Press.

32

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

Setianingsih, H dan Artaria, M (2011) “The Differences between


Male and Female Skulls in Several Anthropometric
Measurements”. Proceeding International Conference APICA
2011. Surabaya, 22-23 July 2011.
Setianingsih, H. & Artaria, M.D. (2011) “The Differences between
Male and Female Javanese Skulls in Several Anthropometric
Measurements”. Proceeding International Conference APICA
2011. Surabaya, 22-23 July 2011.
Stocking, G.W. (1968). Race, Culture, and Evolution: Essays in the
History of Anthropology. University of Chicago Press.
Stocking, G.W. (1974). The Shaping of American Anthropology
1883-1911. A Franz Boas Reader.
Suparlan, P., ed. (1993) Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya.
Jakarta: Rajawali.
Suo, J., Zhu, S.C., Shan, S., & Chen, X. (2010). A compositional and
dynamic model for face aging. IEEE Transactions on Pattern
Analysis and Machine Intelligence, 32(3), 385-401.
Taylor, R.M.S. (1969). Variation in form of human teeth: I. An
anthropologic and forensic study of maxillary incisors. Journal
of Dental Research, 48(1), 5-16.
Tibbetts, G.L. (1981). Estimation of stature from the vertebral
column in American Blacks. Journal of Forensic Science, 26(4),
715-723.
Townsend, G., Hughes, T., Luciano, M., Bockmann, M., & Brook,
A. (2009). Genetic and environmental influences on human
dental variation: a critical evaluation of studies involving
twins. Archives of Oral Biology, 54, S45-S51.
Ubelaker, D.H. (1987). Estimating age at death from immature
human skeletons: an overview. Journal of Forensic Science,
32(5), 1254-1263.

33

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

Walker, P.L., Dean, G., & Shapiro, P. (1991). Estimating age from
tooth wear in archaeological populations. Advances in Dental
Anthropology, 169, 187.
Wardani, N.P.Y. (2013) Pelaksanaan perkawinan endogami pada
masyarakat Bali Aga di Desa Adat Tenganan pegringsingan
Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem. Jurnal
Jurusan Pendidikan PKn, 1(4).
Washburn, S.L. (1951) “The new physical anthropolog y”,
Transactions of the New York Academy of Sciences, Series II,
13:298–304.
Washburn, S.L. (1953) “The strategy of physical anthropology”, In
A. L. Kroeber ed., Anthropology Today. Chicago: University
of Chicago Press. Pp.714-726.
Wise, G.E., Frazier-Bowers, S., & D’souza, R.N. (2002). Cellular,
molecular, and genetic determinants of tooth eruption. Critical
Reviews in Oral Biology & Medicine, 13(4), 323-335.

34

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

RIWAYAT HIDUP

Nama : Prof. Myrtati D. Artaria. Dra., MA., Ph.D.


Telephone/Fax kantor : (031)5011744 / (031)5012442
E-mail : myrtati@gmail.com,
myrtati.artaria@fisip.unair.ac.id
Unit Kerja dan Alamat : Departemen Antropologi, FISIP,
Universitas Airlangga,
Jalan Airlangga 4-6, Surabaya 60286,
Indonesia

Mata kuliah
Antropologi Dental, Sosial-Biologi, Antropometri, Teknik
Penulisan Ilmiah, Primatologi, Osteologi, Antropologi Forensik,
Penulisan Proposal Antropologi, Antropologi Kesehatan,
Antropologi Ragawi, Antropologi Budaya

Riwayat Pendidikan
SDN IV Kawedanan Kepanjen, Kabupaten Malang, lulus tahun
1979
SMPN 6 Kodya Malang, lulus tahun 1982
SMA PPSP IKIP Malang Pengetahuan Alam dan Matematika,
lulus tahun 1984
Sandwich High School, Illinois, USA, Peminatan Biologi, lulus
tahun 1985
S1 di Universitas Airlangga, Surabaya, dalam Bidang Antropologi,
lulus tahun 1990
S2 di Arizona State University, Arizona, USA, dalam Bidang
Antropologi Ragawi, lulus tahun 1996
S3 di The University of Adelaide, SA, Australia, dalam Bidang
Antropologi Ragawi, lulus tahun 2003

35

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

Riwayat Pelatihan
1996 : “Basic Forensic Facial Reconstruction from the Skull”. Di:
Scottsdale Artist School, 3720 N. Marshal Way, Scottsdale,
AZ 85252 USA.
1999 : “Advance Forensic Facial Reconstruction from the Skull”.
Di: New York Institute of Photography, NY, USA.
2007–2015: “Training in Managerial and Editorial of Scientific
Journal”. Di: (berbagai tempat).

Riwayat Jabatan:
2010 : Ketua Tim Pengembangan Jurnal UNAIR
Sept. 2015 – Nov 2015: Ketua Pusat Pengembangan Jurnal dan
Publikasi UNAIR
Nov. 2015–sekarang: Wakil Dekan 3 FISIP UNAIR

Publikasi Jurnal, Buku dan Book Chapter


Glinka, J., Artaria, M.D., Koesbardiati, T. (1992) Die beziehung
zwischen hassenlippe und gaumenspalte und endogamie.
Zeitschrift f. Morphologie u. Anthropo logie (ZMA).
Artaria, M.D. (1992) Morfologi tubuh orang Indonesia. Anthropica.
Universitas Airlangga.
Glinka, J., Artaria, M. D., Koesbardiati, T. (1996) Zur beziehung
zwischen lippen- und gaumenspalte und verwandtenehen.
Homo-Journal of Comparative Human Biology Vol. 46/3.
Artaria, M.D. (1997) Dentisi ditinjau dari perspektif antropologi.
Masyarakat, Kebudayaan dan Politik. (Mei)
Artaria M, Henneberg M, (2000) Why did they lie? Socioeconomic
bias in reporting menarcheal age. Annals of Human Biology
27(6):561-569
Artaria, M.D. (2001) “Growth of Javanese children in Malang”.
In Henneberg (Ed.) Causes and Effects of Human Variation.
Australasian Society of Human Biologists. pp. 139-155.

36

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

Artaria, M. & Henneberg, M. (2002) Response to the Letter to the


Editor “Why did they lie? Socio-economic bias in reporting the
age of menarche”. Annals of Human Biology 29(2): 221.
Artaria, M.D. (2007) Short communication: Dental trait variation
and age determination based on dental wear: A Preliminary
Study of Javanese. Dental Anthropology Vol. 20:42-44.
Artaria, M.D. and Henneberg, M. (2007) Schoolchildren who do
not reach WHO reference despite good socioeconomic status:
A mixed-longitudinal study of body height and weight of
Javanese and Cape-Coloured Schoolchildren. Schweizerischen
Gesellschaft für Anthropologie (SGA).
Artaria, M.D. (2007) “Jenis kelamin manusia ditinjau dari
perspektif biologis”. Bunga Rampai Wacana Masalah Gender,
Multikulturalisme, dan Anak. Editor: Y. Ernawan. Surabaya:
FISIP UNAIR
Artaria, M.D. & Henneberg, M. (2008) The existence of a peak in
adolescent’s height increments. Folia Medica Indonesiana,
July- Sept 2008(3).
Glinka, J., Artaria, M.D., Koesbardiati, T. (2008) Metode Pengukuran
Manusia. Surabaya: Airlangga University Press.
Artaria, M. (2008) Comparative study of cephalometric traits in
various ethnic groups in Indonesia. Biomorfologi. January
2008 (1).
Artaria, M.D. (2008) “Jangan memusuhiku...!” Fungsi lemak
(makanan berlemak dan jaringan lemak) untuk tubuh
manusia. Dalam Manusia Makhluk Sosial Biologis. Glinka,
J., Artaria, M., Hendrawati, L., Koesbardiati, T. Surabaya:
Airlangga University Press.
Artaria, M.D. (2008) “Pengaruh budaya terhadap persepsi
mengenai berat badan”. Dalam Manusia Makhluk Sosial
Biologis. Glinka, J., Artaria, M., Hendrawati, L., Koesbardiati,
T. Surabaya: Airlangga University Press.

37

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

Artaria, M.D. (2008) “Pertumbuhan tulang”. Dalam Manusia


Makhluk Sosial Biologis. Glinka, J., Artaria, M., Hendrawati,
L., Koesbardiati, T. Surabaya: Airlangga University Press.
A r t a r i a , M.D. (2 0 0 8) “ Velosit a s ti ng g i b ad a n deng a n
mempertimbangkan tahun penelitian dan lokasi”. Dalam
Manusia Makhluk Sosial Biologis. Glinka, J., Artaria,
M., Hendrawati, L., Koesbardiati, T. Surabaya: Airlangga
University Press.
Artaria, M.D. (2009) Peran faktor sosial-ekonomi dan gizi pada
tumbuh kembang anak. Masyarakat, Kebudayaan dan Politik.
Edisi Januari-Maret Vol. 22(1)
Artaria, M. D. (2009) Perbedaan antara laki-laki dan perempuan:
Penelitian antropometris pada anak umur 6-19 tahun.
Masyarakat, Kebudayaan dan Politik Vol. 22(4)
Artaria, M.D. (2009) Antropologi Dental. Yogyakarta: Graha
Ilmu
Artaria, M.D. (2009) Growth of Adolescence: Cross-sectional,
Mixed-Longitudinal and Longitudinal Studies. Saarbrücken
(Germany): LAP.
Artaria, M. D. (2010) Dental traits of Javanese. Dental Anthropology
Vol 23:74-78.
Artaria, M.D. (2010) Socioeconomic and genetic factors influencing
the strength, weight, length, and width measurements of
children. Folia Medica Indonesiana vol 46 no 3, juli-sept 2010
Artaria, M.D. (2010) The three human morphotypes in Indonesia.
Indonesian Journal of Social Sciences, Vol 2(2): 70-76.
Feirizza and Artaria, M. D. (2010) Exogamy and increased MMR
in Banyuwangi. Jurnal Ilmu Sosial Vol 11(1):11-18.
Artaria, M.D. and Herijadi, B.S. (2011) Dental measurements of
Deuteromalayid Javanese students of the Faculty of Dentistry
in Airlangga University. Dental Journal Volume 44 Number
3: 122 -126

38

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

Artaria, M.D. (2011) “Literature and folklore”. Encyclopedia of


Asian American: Folklore and Folklife. Vol 2. Editor: Katherine
Nadeau dan Jonathan. ABC Clio (USA).
Artaria, M.D. (2011) “Names and name giving”. Encyclopedia
of Asian American: Folklore and Folklife. Vol 2. Editor:
Katherine Nadeau dan Jonathan. ABC Clio (USA).
Artaria, M.D. (2011) “Proverbs and maxims”. Encyclopedia of Asian
American: Folklore and Folklife. Vol 2. Editor: Katherine
Nadeau dan Jonathan. ABC Cleo (USA).
Artaria, M.D. (2012) Primatologi untuk Antropologi. Surabaya:
FISIP Universitas Airlangga bekerja sama dengan Revka
Petromedia.
Artaria, Myrtati D. (2013) Pengaruh faktor keturunan terhadap
proporsi tubuh anak. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan
Politik Vol 26(1).
Artaria, Myrtati D. (2013) Tumbuh-kembang anak laki-laki usia
pra-puber rentan terhadap pengaruh lingkungan. Jurnal
Masyarakat, Kebudayaan dan Politik vol 26(3)
Artaria, M.D. (2014) Ukuran Antropometris di Usia 18-21 pada
DeuteroMalayid dan Mongoloid. Biokultur Vol 3(2).
Artaria, M.D. (2015) Teknik Penulisan Ilmiah. Surabaya: FISIP
UNAIR bekerja sama dengan Revka Petramedia.
Artaria, M.D. (2016) “Membangkitkan kembali yang telah mati”.
Dalam Buku Kematian: Perspektif Antropologi. Surabaya:
Pusat Penerbitan dan Percetakan UNAIR, Airlangga
University Press.
Artaria, M.D. (2016) “Pop Music in Indonesia”, SECTION 1:
Popular Music, Encyclopedia of Popular Culture in Asia and
Oceania. ABC Cleo (USA)
Artaria, M.D. (2016) “Pramudya Ananta Toer”, SECTION 2:
Books and Contemporary Literature, Encyclopedia of Popular
Culture in Asia and Oceania. ABC Cleo (USA)

39

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

Artaria, M.D. (2016) “Teeth filing in Surabayan Javanese and


Balinese: A change in tradition”. PART III: SOUTHEAST
ASIA, AUSTRALIA, AND OCEANIA: Different Lands and
Possibilities. In: A World View of BioCulturally Modified
Teeth: Past and Present. University Press of Florida (USA)

Konferensi & Proceeding


Artaria, M.D. (2009) “Tinggi dan berat badan anak di SDN Pucang
V” (POSTER). Kongres Nasional Tahunan Perhimpunan Ahli
Anatomi Indonesia 2009.
Artaria, M.D. (2009) “Differences between males and females:
anthropometric study of children”. Kongres Nasional Tahunan
Perhimpunan Ahli Anatomi Indonesia 7-8 Agustus 2009.
Artaria, M.D. (2010) “Preventing the spread of HIV/AIDS using
cultural approach” International Seminar: New Strategies
for “the control and prevention of zoonotic dieases” 22-23
june 2010. In Surabaya. PROCEEDING ISBN: 978-602-8967-
00-6.
Artaria, M.D. (2010) “Global mobility: Possible consequences in the
spreading of infectious diseases”. International 5th CRISU
CUPT Conference, Chiang Mai University, Thailand, 7-9
Juli 2010.
Artaria, M.D. (2010) “Ukuran Mesio Distal Gigi Jawa (Dental
measurements of Javanese)”. Kongres Nasional Tahunan
Perhimpunan Ahli Anatomi Indonesia Jakarta, 27-28
November 2010
Artaria, M.D. (2011) “Differences in Anthropometric Measurements
at the Skull and Face of Austromelanesoid and Mongoloid: A
Preliminary Study”. Anatomy International Conference,
APICA and Kongres Nasional Tahunan Perhimpunan Ahli
Anatomi Indonesia, July 2011.

40

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

Setianingsih, H and Artaria, M. (2011) “The Differences between


Male and Female Javanese Skulls in Several Anthropometric
Measurements”. Proceeding of Anatomy International
Conference, A PICA and Kong res Nasional Tahunan
Perhimpunan Ahli Anatomi Indonesia, July 2011.
Ariningsih, F.N., Nuringtyas, M., Paramita, P.D.A., Artaria,
M.D. (2011) “Adapting 3D Method into 2D Method in Facial
Reconstruction from the Skull”. Anatomy International
Conference, Poster. APICA and Kongres Nasional Tahunan
Perhimpunan Ahli Anatomi Indonesia, July 2011.
Artaria, M.D. (2011) “Reconstruction of Face from the Skull”.
Proceeding of Anatomy International Conference, APICA
and Kongres Nasional Tahunan Perhimpunan Ahli Anatomi
Indonesia, July 2011. Proceeding ISBN: 978-602-99668-00
Artaria, MD., Henneberg, M., Ariningsih, F.N., Paramita, P.D.A.,
Firmansyah, F., Marjono, W. (2012) “The Occurrence
of Premolar Rotation amongst Surabaya n Samples:
A Preliminar y Study “. Proceeding of Anthropolog y
International Conference. “Celebrating Anthropology”. June
2012.
Artaria, M.D., Rahmawati, Y., & Setianingsih, H. (2012) “Body
Mass Index (BMI), Berat Badan, Tinggi Badan, dan Fat
Skinfold Perempuan ≥ 60 tahun di Panti dan Perkumpulan
Lanjut Usia di Surabaya”. Proceeding Kongres Nasional
Tahunan Perhimpunan Ahli Anatomi Indonesia, Denpasar,
Oktober 2012.
Artaria, M.D. (2013) “Sustaining Academic Publication: Lessons
Learned from Submitted Manuscripts to Indonesian
Journals”. Surabaya May 2, 2013. ASAIHL International
Conference.
Artaria, M.D. (2014) “Dental Anthropology in Clinical Context”.
Keynote Speaker. 3rd Dental Technology Exhibition and

41

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

Meeting: Integrating Science, Technology and Culture.


International Conference. Batu, 21 Feb. 2014.
Artaria, M.D. (2014) “Teeth Filing in Surabayan Javanese and
Balinese: A change in tradition”. American Association of
Physical Anthropologists Annual Conference. April 2014.
Calgary, Canada.
Artaria, M.D. (2014) “The Prevalence of Anterior Fovea in
Deuteromalayid Javanese”. Conference of Australasian
Society of Human Biology. Adelaide, Australia. December
2014.
Artaria, M.D. (2016) “Metode , Teknik, dan Aplikasi dalam
Antropologi Dental”. Proceeding Kongres Nasional Tahunan
Perhimpunan Ahli Anatomi Indonesia, Surabaya, Agustus
2016.

Koran
Artaria, M. D. (1993) Kondisi Masyarakat tentukan Kejahatan,
Koran Memorandum.
Artaria, M. D. (2008) Mengidentifikasi Mr./Mrs. X. Harian Radar
Surabaya, September 2008.
Artaria, M. D. (2015) Mengidentifikasi korban melalui tengkorak.
Harian Jawa Pos, 14 January 2015.

Beasiswa
1984–1985 AFS (American Field Service) Scholarship
1993–1996 Fulbright Scholarship
1998–2003 AUSAID Scholarship

Riwayat Penghargaan
1984 : Wakil Indonesia dari Jawa Timur untuk pertukaran pelajar
SMA. Dari: AFS (Bina Antar Budaya)

42

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

2009 : Dosen Berprestasi peringkat ke I se FISIP. Dari: FISIP


Universitas Airlangga
2009 : Kartini Award “Perempuan ber IPTEK dan berkeahlian
unik”. Dari: Surabaya Plaza Hotel dan Pusat Studi
Wanita
2009 : Juara 1 Web-Blog dosen se-Unair. Dari: Universitas
Airlangga
2009 : Satya Lencana Karya Satya 10 tahun. Dari: Presiden RI
2010 : Dosen Berprestasi peringkat ke I se FISIP. Dari: FISIP
Universitas Airlangga
2010 : Dosen Berprestasi peringkat ke I se UNA IR. Dari:
Universitas Airlangga
2010 : Seratus (100) Perempuan Peneliti Berprestasi di Indonesia.
Dari: Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan
2015 : Satya Lencana Karya Satya 20 tahun. Dari: Presiden RI

43

PIDATO GURU BESAR Myrtati Dyah Artaria


Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia

Anda mungkin juga menyukai