Anda di halaman 1dari 21

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

REPRODUKSI ADA’ TUHO DI KECAMATAN ULUMANDA,


KABUPATEN MAJENE, PROPINSI SULAWESI BARAT

Muhammad Irfan
Program Studi Sosiologi
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret

Dosen Pembimbing:
Dr. Argyo Demartoto, M.Si.
Dr. Drajat Tri Kartono, M.Si.

Abstrak

Muhammad Irfan S251408008, “Reproduksi Ada’ Tuho di Kecamatan Ulumanda,


Kabupaten Majene, Propinsi Sulawesi Barat” Tesis, Program Studi Sosiologi, Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Ada’ Tuho sebagai salah satu bentuk aturan adat yang ada di Kecamatan Ulumanda
dalam pelaksanaannya banyak diabaikan oleh sebagian besar masyarakat, namun beberapa
aktor seperti kelompok Forum Studi Pengembangan Ada’ Tuho (FORSPAT), kelompok
Pemangku Adat Ada’ Tuho, dan kelompok Pamaretta berupaya melestarikan kembali
melalui reproduksi Ada’ Tuho. Penelitian ini bertujuan menganalisis reproduksi Ada’ Tuho di
Kecamatan Ulumanda dengan teori Pierre Bourdieu dengan habitus, modal, ranah dan praktik
sebagai komponen teoritisnya.
Penelitian ini merupakan studi kasus tunggal. Data bersumber dari informasi yang
diperoleh langsung dari informan, studi pustaka, dokumen tertulis, arsip dan data visual.
Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Pemilihan
informan dipilih secara snowball. Validitas data menggunakan triangulasi sumber. Data
dianalisis dengan analisis model interaktif melalui reduksi data, penyajian data, penarikan
kesimpulan dan verifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam reproduksi Ada’ Tuho di Kecamatan
Ulumanda terdapat hubungan antara aktor dan struktur yang dijelaskan melalui habitus,
modal, dan arena untuk menggambarkan perjuangan aktor dalam memperoleh posisi pada
ruang sosial. Arena Ada’ Tuho di dalamnya terdapat empat ranah yaitu pernikahan, pertanian,
upacara kematian, dan aturan hukum kemanusiaan. Para aktor yang terdiri dari kelompok
FORSPAT, kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho dan kelompok Pamaretta dalam
aktivitasnya membentuk berbagai habitus. Kelompok FORSPAT membentuk habitus
monitoring, habitus sosialisasi, habitus evaluasi, dan habitus aksi. Kelompok Pemangku Adat
Ada’ Tuho membentuk habitus massoro, habitus Sumemba’, habitus saputanga barata, dan
habitus Mambicarai. Kelopok Pamaretta membentuk habitus Tosule, habitus monitoring dan
habitus Mambicarai. Dengan modal berupa modal ekonomi, modal budaya, modal simbolik,
dan modal sosial para aktor tersebut mereproduksi Ada’ Tuho dalam berbagai bentuk
pelaksanaan tradisi Ada’ Tuho di ranah pernikahan, pertanian, upacara kematian, dan aturan
hukum kemanusiaan. Berbagai modal tersebut tentunya dapat mendukung serta dapat juga
menghambat pelestarian Ada’ Tuho di Ulumanda.

Kata kunci: Reproduksi, Ada’ Tuho, Habitus, Modal, Arena.


commit to user

1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Muhammad Irfan, S251408008, “The Reproduction of Ada’ Tuho in Ulumanda District,


Majene Regency, West Sulawesi Province”. THESIS. Supervisor I Dr. Argyo Demartoto,
M.Sc.; Supervisor II Dr. Drajat Tri Kartono, M.Sc.; Sociology Study Program, Postgraduate
Program, Sebelas Maret University of Surakarta.

ABSTRACT

Muhammad Irfan, S251408008, “THE REPRODUCTION OF ADA’ TUHO IN


ULUMANDA DISTRICT, MAJENE REGENCY, WEST SULAWESI PROVINCE”.
Thesis. Sociology Study Program, Postgraduate Program, Sebelas Maret University of
Surakarta.
Ada’ Tuho is one of customs rules form in the Ulumanda District in which the
implementation has been largely ignored by most peoples, but some actors such as the groups
of Forum Studi Pengembangan Ada’ Tuho (FORSPAT), Pemangku Adat Ada’ Tuho, and
Pamaretta were attempted to preserved through reproduction of Ada’ Tuho. This study was
aimed to analyze the reproduction of Ada’ Tuho in Ulumanda District in accordance to the
Pierre Bourdieu’s theory to review habitus, capital, and the domain and practice as the
theoretical components.
This study is a single case study. Data were sourced from information which directly
obtained from the informants, literature, writing documents, archives and visual data. The
collecting data techniques were used interviews, observation, and documentation. The
informants were selected by snowball. The data validity was used triangulation. Data
analyzing technique was used interactive model analysis through data reduction, data
presentation, drawing conclusions, and verification.
The study results were showed that in the reproduction of Ada‘ Tuho in Ulumanda
District there are relationship between the actors and the structures described by habitus,
capital, and an arena for described the actors’ struggle in obtaining a position in the social
space. Ada’ Tuho Arena is in four domains, namely marriage, farming, funerals ceremony,
and humanitarian law. The actors are comprising groups of FORSPAT, Pemangku Adat Ada’
Tuho and Pamaretta which in their activities formed various habitus. FORSPAT were formed
habitus of monitoring, socialization, evaluation, and action. The group of Pemangku Adat
Ada’ Tuho was formed habitus of massoro, sumemba’, saputanga barata, and Mambicarai.
Group of Pamaretta was formed hahitus of Tosule, monitoring and Mambicarai with capital
in the form of economic, cultural, symbolic, and social capitals. The actors was reproduced
the Ada’ Tuho in various forms of Ada’ Tuho implementation in the domains of marriage,
farming, funerals ceremony, and humanitarian law. The various capitals were supported, but
also can be inhibiting cultural preservation of Ada’ Tuho in Ulumanda district.

Keywords: Reproduction, Ada’ Tuho, Habitus, Capital, Arena.

commit to user

2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

A. Pendahuluan
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman
yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal
dengan istilah masyarakat multikultural. Masyarakat sendiri dikenal sebagai kelompok
manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka mampu
mengorganisasikan dirinya yang berfikir tentang dirinya sebagai suatu kesatuan sosial
dengan batas-batas tertentu, maka konsep masyarakat tersebut bila digabungkan dengan
multikultural memiliki makna sebagai sekelompok manusia yang tinggal dan hidup
menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang mampu
membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain (Nuraeni dan Alfan,
2012: 19). Melihat kekayaan warisan budaya di Indonesia tersebut, salah satu literasi yang
membahas hal tersebut misalnya penelitian yang dilakukan oleh Shubuha Pilar Naredia
(2015) dengan judul Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen, Kelurahan
Purbayan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta dengan menggunakan desain studi
kasus tunggal yang bertujuan menggambarkan tentang Produksi Kultural Kampung Seni
di Kampung Bumen melalui teori Produksi Kultural Pierre Bourdieu. Bahwa Kampung
Seni dipandang sebagai Arena dalam Produksi Kultural di Kampung Bumen, di dalamnya
terdapat beberapa aktor seperti kelompok Purba Budoyo, Purba Makuta, dan Purba Swara
yang berada dalam ranah seni tradisional serta dalam pergerakan seninya membangun
berbagai habitus disertai dengan berbagai modal yang memungkinkan sebagai dimensi
pendorong maupun dimensi penghambat dalam pengelolaan Kampung Seni di Kampung
Bumen.
Salah satu adat istiadat di Indonesia yang mendukung keanekaragaman budaya
dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah Ada’ Tuho yang ada
di Kecamatan Ulumanda, Kabupaten Majene, Propinsi Sulawesi Barat. Ada’ Tuho adalah
produk kebudayaan yang lahir atas prakarsa daya cipta dan kreativitas manusia serta
menjadi ketetapan aturan masyarakat lokal di Kecamatan Ulumanda yang mengikat para
aktor di dalamnya sehingga mampu menjadi spirit dalam memberikan kontrol terhadap
aspek kehidupan sosial yang keberadaannya dirasakan masyarakat sebagai payung
kehidupan untuk memberi perlindungan, kedamaian, dan kesejahteraan bagi masyarakat
Ulumanda. Aturan hukum dalam Ada’ Tuho terdiri dari Sakka Pambojanga yang memuat
aturan pernikahan, kemudian Sakka Pariama yang memuat aturan pertanian atau bercocok
commitaturan
tanam, adapula Panda Tomate yang memuat to usertata cara kematian, dan yang terakhir

3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ialah Reppoang Ulu Rendengang Tallottong yang memuat aturan kemanusiaan (Amin,
2014: 31).
Seiring berjalannya waktu keempat aturan tersebut sudah mulai berubah pada
praktiknya, terjadinya berbagai perubahan yang ada pada aturan dalam Ada’ Tuho
disebabkan berbagai faktor yang menyertainya. Berbagai faktor yang menyertai perubahan
pada Ada’ Tuho memungkinkan dapat dianalisa sebagai kategori faktor pendorong dan
juga penghambat bagi perubahan aturan hukum dalam Ada’ Tuho sendiri. Berdasarkan
uraian di atas, menunjukkan bahwa Ada’ Tuho dalam hal pelaksanaanya kurang
memperhatikan prinsip-prinsip dasar Ada’ Tuho sendiri dan kemudian mulai direproduksi
dalam bentuk lain oleh masyarakat Ulumanda dengan berbagai praktik lain. Maka,
penelitian ini mengkaji reproduksi Ada’ Tuho yang menggunakan teori Praktik Sosial
milik Pierre Bourdieu dengan habitus, modal, serta ranah sebagai skema analitiknya.
B. Deskripsi Lokasi dan Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan studi kasus tunggal yang dilakukan di Desa Tandeallo
Kecamatan Ulumanda Kabupaten Majene. Data bersumber dari informasi yang diperoleh
langsung dari informan, studi pustaka, dokumen tertulis, arsip dan data visual. Teknik
pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Pemilihan
informan dipilih secara snowball. Validitas data menggunakan triangulasi sumber. Data
dianalisis dengan analisis model interaktif melalui reduksi data, penyajian data, penarikan
kesimpulan dan verifikasi.
C. Hasil dan Pembahasan
1. Reproduksi Ada’ Tuho di Kecamatan Ulumanda
Aktor dalam reproduksi Ada’ Tuho terdiri dari kelompok FORSPAT (Forum
Studi Pengembangan Ada’ Tuho), kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho, dan
Kelompok Pamaretta. Melalui ranah pernikahan, pertanian, upacara kematian, dan
pelaksanaan hukum dalam hal kemanusiaan, para aktor membentuk habitus masing-
masing di ranah tersebut. Kelompok FORSPAT dalam pergerakannya membentuk
habitus monitoring sebagai seperangkat pengetahuan terpola dalam struktur tindakan
aktor sebagai bentuk reaktif pada aktivitas monitoring oleh aktor yang bersangkutan.
Habitus ini digunakan oleh kelompok FORSPAT dalam memonitoring segala bentuk
pelaksanaan terkait praktik Ada’ Tuho di wilayah Ulumanda yang dilakukan oleh
masyarakat umum atas dasar penetapan dari kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho.
Dimana ketika ada penyimpangancommit
maka to user
kelompok FORSPAT akan membawanya

4
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

untuk dibicarakan dalam acara Temu Budaya Ada’ Tuho yang dihadiri oleh kelompok
Pemangku Adat Ada’ Tuho, perwakilan tokoh masyarakat setempat, dan tentunya
kelompok FORSPAT sendiri sebagai panitia pelaksana kegiatan Temu Budaya.
Apabila dalam kegiatan Temu Budaya menghasilkan beberapa catatan terkait
pelaksanaan budaya Ada’ Tuho di tengah masyarakat ataupun penetapan dari
kelompok Pemangku Adat terkait penyelenggaraan Ada’ Tuho, maka selanjutnya
habitus evaluasi (seperangkat pengetahuan terpola dalam struktur tindakan aktor
sebagai bentuk reaktif pada aktivitas evaluasi oleh aktor yang bersangkutan) dibentuk
oleh kelompok FORSPAT untuk melakukan evaluasi terkait pelaksanaan ketetapan
dari kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho. Selanjutnya kelompok FORSPAT juga
membentuk habitus sosialisasi (seperangkat pengetahuan terpola dalam struktur
tindakan aktor sebagai bentuk reaktif pada aktivitas sosialisasi oleh aktor yang
bersangkutan) untuk melakukan sosialisasi kepada berbagai pihak. Sosialisasi sangat
dimungkinkan didukung dengan habitus yang menyertainya karena terbukti mampu
lebih meningkatkan apresiasi dan mempengaruhi tindakan orang lain agar dapat turut
serta ke dalam tujuan yang hendak disosialisasikan oleh kelompok FORSPAT.
Selanjutnya kelompok FORSPAT juga membangun habitus aksi (seperangkat
pengetahuan terpola dalam struktur tindakan aktor sebagai bentuk reaktif melalui
kegiatan berupa aksi tindakan oleh aktor yang bersangkutan) untuk tindak lanjut
realisasi dari berbagai ketetapan hasil kegiatan Temu Budaya Ada’ Tuho.
Sedangkan kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho sendiri membangun habitus
massoro (seperangkat pengetahuan terpola dalam struktur tindakan aktor sebagai
bentuk reaktif pada tindakan penyerahan mahar pernikahan dan pembukaan
pembicaraan pada prosesi pernikahan) dalam menjalani aktivitasnya sebagai panitia
pelaksana upacara pernikahan warga Ulumanda mulai dari prosesi awal pemilihan
mahar, pembukaan acara pernikahan, menikahkan mempelai, hingga perayaan
syukuran keluarga para warga yang menikah. Kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho
juga membentuk habitus sumemba’ yaitu seperangkat pengetahuan terpola dalam
struktur tindakan aktor sebagai bentuk reaktif pada tindakan dalam pengelolaan
pengolahan lahan pertanian. Para aktor Pemangku Adat Ada’ Tuho juga membentuk
habitus Saputanga Barata yaitu seperangkat pengetahuan terpola dalam struktur
tindakan aktor sebagai bentuk reaktif pada prosesi kematian di Ulumanda berwujud
commit
kain kafan yang diikatkan ke kepala to user
sebagai bentuk simbol berduka. Pemangku Adat

5
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Ada’ Tuho juga membangun habitus mambicarai sebagai seperangkat aturan yang
tersusun dalam pengetahuan yang dimanifestasikan dalam tindakan seorang aktor
terkait cara penyelesaian perkara masalah hidup yang terjadi di wilayah Ulumanda.
Sedangkan untuk Kelompok Pamaretta, aktor ini membangun Habitus Tosule
yakni Seperangkat pengetahuan terpola dalam struktur tindakan aktor sebagai bentuk
reaktif dalam bertamu. Kemudian juga aktor yaitu Pamaretta juga membangun
Habitus Monitoring sebagai Seperangkat pengetahuan terpola dalam struktur tindakan
aktor sebagai bentuk reaktif pada aktivitas monitoring oleh aktor yang bersangkutan.
Lebih lanjut, kelompok Pamaretta juga membentuk Habitus Mambicarai sebagai
Seperangkat aturan yang tersusun dalam pengetahuan yang dimanifestasikan dalam
menyelesaian perkara.
Selain habitus, para aktor juga diiringi berbagai modal dalam pergerakannya
untuk melestarikan budaya Ada’ Tuho di Ulumanda. Aktor FORSPAT memiliki
modal budaya berupa pengetahuan terkait Ada’ Tuho yang diperoleh dari keluarga,
sekolah, dan lingkungan tempat tinggal (lingkungan bermain) para aktor anggota
FORSPAT. Modal budaya lain yaitu naskah/buku-buku tentang Ada’ Tuho dari
berbagai pihak. Selain modal budaya, terdapat pula modal ekonomi berupa tenda
pertemuan Temu Budaya Ada’ Tuho dengan sistem sewa tenda, dana dari pemerintah
setempat, dan fasilitas sound system dari bantuan pihak lain untuk penyelenggaraan
Temu Budaya Ada’ Tuho agar dapat lebih memudahkan pendokumentasian
recording. Adapula modal sosial dengan wujud solidaritas antar anggota dalam
pelestarian Ada’ Tuho dan Temu Budaya Ada’ Tuho serta membangun berbagai
jaringan yang baik dengan pemerintah setempat dalam hal perizinan, kelompok
Pemangku Adat Ada’ Tuho, serta tokoh masyarakat. Modal lain yaitu modal simbolik
dengan bentuk stigma sebagai kelompok akademis yang dapat dimanfaatkan
membangun jaringan dan kepercayaan menyelenggarakan Temu Budaya Ada’ Tuho.
Modal ini juga dapat membuka ruang yang luas FORSPAT ikut serta dalam kajian-
kajian budaya di Ulumanda. Berbagai modal tersebut semuanya saling mempengaruhi
satu sama lain karena terbukti sebagai embrio munculnya satu modal dengan modal
yang lain dan dapat dipergunakan dalam pelestarian budaya Ada’ Tuho di Ulumanda
melalui reproduksi Ada’ Tuhu di berbagai ranahnya.
Sedangkan kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho sendiri memiliki modal
budaya berupa pengetahuan terkaitcommit to user
Ada’ Tuho yang diperoleh dari keluarga, sekolah,

6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dan lingkungan tempat tinggal (lingkungan bermain) para aktor kelompok Pemangku
Adat Ada’ Tuho dan masukan dari FORSPAT untuk pelaksanaan Ada’ Tuho yang
lebih relevan. Untuk modal ekonominya, berupa dana bantuan yang didapat dari
Pemerintah setempat yang menjadi tempat penyelenggaraan Temu Budaya Ada’
Tuho. Hal lain juga berupa pakaian adat dan pusaka adat yang digunakan sebagai
artefak budaya Ada’ Tuho yang diperoleh dari warisan keluarga untuk dipamerkan
dan mendapat dana kompensasi. Modal lain seperti modal sosial juga dimiliki para
aktor Pemangku Adat Ada’ Tuho berupa solidaritas antar anggota dalam pelestarian
Ada’ Tuho dan Temu Budaya Ada’ Tuho serta membangun berbagai jaringan yang
baik dengan pemerintah setempat dalam hal perizinan, kelompok Pemangku Adat
Ada’ Tuho, serta tokoh masyarakat setempat. Untuk modal simboliknya, Pemangku
Adat Ada’ Tuho diwujudkan berupa stigma sebagai kelompok ningrat, terpandang,
dan terhormat yang dimanfaatkan membangun jaringan dan kepercayaan dari
masyarakat untuk ikut serta dalam Temu Budaya Ada’ Tuho. Modal ini juga dapat
membuka ruang yang luas dalam mengikuti berbagai kajian-kajian budaya di
Ulumanda.
Sedangkan pada kelompok Pamaretta, modal budaya berupa pengetahuan Ada’
Tuho dari lingkungan keluarga dan lingkungan kerja yang memposisikannya sebagai
Pamaretta. Untuk modal ekonomi sendiri pada kelompok ini Berupa bantuan dana
dari Pemerintah Kabupaten ataupun juga Pemerintah Propinsi yang dialokasikan
untuk dana operasional bantuan kepada Pemangku Adat. Pada identifikasi modal
sosial sendiri kelompok Pamaretta diwujudkan dengan modal berupa Berupa
solidaritas dan jaringan baik dengan FORSPAT, Pemangku Adat, serta Pemerintah
Propinsi dalam mengkomunikasikan peran masing-masing aktor. Lebih lanjut untuk
modal simbolik kelompok Pamaretta Berupa stigma sebagai golongan terhormat yang
sejajar dengan Pemangku Adat Ada’ Tuho untuk dipercaya aktor lain dan masyarakat
lokal.
Adapun ranah dalam Ada’ Tuho yang menjadi ruang para aktor baik
FORSPAT maupun kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho dalam melakukan
reproduksi dan pelestarian budaya terkait Ada’ Tuho di Ulumanda terbagi ke dalam
empat ranah yakni: Sakka Pambojanga (aturan dalam hal pernikahan), Sakka
Pariama (aturan dalam hal pertanian atau bercocok tanam), Panda’ Tomate (aturan
dalam hal upacara kematian), dancommit to userUlu Rendengang Tallottong (aturan
Reppoang

7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dalam hal kemanusiaan). Dalam Sakka Pambojanga (aturan dalam hal pernikahan)
sendiri terdapat ritual Passoro yang identik dengan marrende tedong (menggiring
kerbau) namun seiring dengan punahnya kerbau (tedong), maka marrende tedong
telah berubah ritual dengan istilah massoro pa’tedonga atau massoro. Kerbau dapat
diganti dengan kerbau yang bernilai atau berharga sama dengan kerbau yang
sesungguhnya. Selanjutnya terdapat pula ritual Mesa Kati (seperangkat alat-
alat/barang) yang wajib diserahkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan.
Sedangkan di ranah Sakka Pariama (aturan dalam hal pertanian atau bercocok
tanam) terdapat tradisi Makatte’ sebagai ritual memulai panen padi di ladang. Cara
panen padi ladang di Ulumanda yang lazim dengan menggunakan rappakang, alat
kecil dari besi yang dapat memotong dengan cepat. Adapula tradisi Makkaringngii
yaitu ritual upacara adat untuk memulai mengkonsumsi hasil panen dan diakhiri
Mattuju’ yaitu sebuah ritual akhir dari panen padi ladang dan disertai pula adanya
tradisi Mappadiloko, menyimpan hasil panen padi di lumbung.
Untuk ranah Panda’ Tomate (aturan dalam hal upacara kematian), Panda’
Tomate diselenggarakan oleh para pegawai Sara’ dan Sando dari Pemangku Adat di
bidang hukum dan keagamaan serta harus sepengetahuan Tomakaka. Selanjutnya
terdapat beberapa perangkat yang harus melekat dalam pelaksanaan ritual ini, antara
lain: pa’balla, pa’dingi, la’la, dan ula-ula. Beberapa perangkat tersebut menjadi
tradisi yang beberapa di antaranya masih dipertahankan hingga sekarang meskipun
dalam bentuk yang lain. Sedangkan pada ranah Reppoang Ulu Rendengang Tallottong
(aturan dalam hal kemanusiaan) sendiri di dalamnya memuat penyelesaian perkara
terhadap hukum adat sesuai dengan putusan hukum adat yang disebut Parrendenga
Tedo atau Mangakka’ Kasalaa (terdapat sanksi/denda). Selanjutnya ranah ini juga
memungkinkan para aktor yang berkepentingan menyelesaikan perkara dengan
Mattera’ Lita’ Ada’ Simemanganna Ada’ Tuho di Ulumanda (melakukan
persembahan kurban kepada alam).
Lebih lanjut dalam berbagai ranah di atas, para aktor seperti FORSPAT,
kelompok Pemangku Adat dan pamaretta melakukan reproduksi budaya. Berbagai
reproduksi budaya tersebut sebagai bentuk pelestarian budaya Ada’ Tuho di
Ulumanda. Pada ranah Sakka Pambojanga (aturan dalam hal pernikahan), kelompok
FORSPAT, kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho dan pamaretta melakukan
reproduksi budaya berupa adanya commit to user
perubahan mahar tambahan berwujud uang tidak

8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

boleh melebihi dari Rp. 1.000.000,-, kemudian hiburan / pertunjukkan pada upacara
pesta pernikahan dengan iringan kecapi berubah dengan adanya grup musik atau
minimal solo keyboard, kemudian undangan pernikahan yang disiarkan melalui sound
atau khutbah di masjid serta dengan cara datang dari rumah ke rumah warga sekarang
dilakukan dengan undangan tertulis, dan mempelai yang hendak menikah dinikahkan
oleh penghulu dari KUA dan Pemangku Adat hanya bertindak sebagai saksi ataupun
tamu kehormatan. Sedangkan dalam ranah Sakka Pariama (aturan dalam hal pertanian
atau bercocok tanam) kelompok FORSPAT dan kelompok Pemangku Adat Ada’
Tuho melakukan reproduksi budaya yaitu adanya perubahan lahan pertanian dari
kebun ke sawah, peralihan gotong royong dan tolong menolong dilakukan dengan
sistem pemilik lahan dan buruh tani, ada juga penggunaan sarana ataupun alat
pertanian yang lebih modern disertai aturan bertani yang mulai ditentukan secara
subjektif antara pemilik lahan dan buruh tani. Untuk ranah Panda’ Tomate (aturan
dalam hal upacara kematian) sendiri, para aktor yang bersangkutan juga melakukan
reproduksi budaya berupa atribut kepala yang dikenakan oleh kelompok Pemangku
Adat berupa kain kafan berubah menjadi peci (kopiah), aturan hewan kurban untuk
sedekah tidak lagi sapi tetapi ayam, upacara pemakaman jenazah sudah dapat
dilakukan langsung tidak lagi ditunda-tunda. Bahkan dalam ranah Reppoang Ulu
Rendengang Tallottong (aturan dalam hal kemanusiaan), aktor kelompok Pemangku
Adat Ada’ Tuho sendiri melakukan reproduksi budaya berupa penanganan kasus di
tingkat dewan adat jika tidak menemui kesepakatan akan langsung dilimpahkan
kepada pihak kepolisian dan kejaksaan.
2. Dimensi Pendukung dan Dimensi Penghambat dalam Reproduksi Ada’ Tuho
Reproduksi Ada’ Tuho tentunya didukung oleh berbagai modal di dalamnya.
Adapun modal tersebut yaitu modal budaya, modal sosial, modal ekonomi, serta
modal simbolik. Modal dalam reproduksi Ada’ Tuho dapat dianalisis menjadi dimensi
pendukung bahkan juga dapat menjadi dimensi penghambat bagi pelestarian budaya
Ada’ Tuho di Ulumanda. Modal budaya kelompok FORSPAT berupa pengetahuan
terkait Ada’ Tuho yang diperoleh dari keluarga, sekolah, dan lingkungan tempat
tinggal (lingkungan bermain), serta naskah/buku-buku tentang Ada’ Tuho dari
berbagai pihak tentunya sangat mendukung bagi pelestarian budaya Ada’ Tuho. Hal
ini dikarenakan para aktor akan semakin kuat pondasi pengetahuan serta
pembangunan habitus terkait dari commit
padanyatountuk
user selalu menjaga pelestarian budaya

9
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Ada’ Tuho terutama bagi generasi muda agar semakin bangga dang tidak canggung
dengan budaya Ada’ Tuho yang ada di sekitar mereka. Namun hal ini jika dipahami
secara sempit dan kaku oleh generasi muda dan generasi tua yang memberikan
pengetahuan tersebut akan menjadi ancaman tersendiri karena dapat memicu
kerenggangan anatar generasi karena mereka memiliki pengetahuan yang kaku dan
tidak mau menerima perubahan yang terjadi di Ulumanda akibat adanya modernisasi
di sekitar mereka.
Sementara pada modal ekonomi, tenda pertemuan Temu Budaya Ada’ Tuho
dari sistem sewa yang diperoleh kelompok FORSPAT serta dukungan dana dari
pemerintah setempat dan fasilitas sound system dari bantuan berbagai pihak lain untuk
dana operasional kelompok FORSPAT juga memungkinkan dapat mendukung
pergerakan kelompok FORSPAT dalam upaya pelestarian budaya Ada’ Tuho. Hal ini
dikarenakan karena dengan adanya dana tersebut, kelompok FORSPAT semakin
terdukung aktivitasnya di berbagai kegiatan, bahkan dengan adanya dana dan
penyelenggaraan Temu Budaya Ada’ Tuho yang rutin tersebut memungkinkan
sebagai bentuk eksistensi Ada’ Tuho di Ulumanda yang tetap dipelihara. Dengan
adanya kegiatan tersebut paling tidak dapat sebagai pembuktian konsistensi dari
kelompok FORSPAT untuk mengupayakan kembali pengenalan Ada’ Tuho bagi
generasi muda yang sudah semakin kurang mengenal adanya Ada’ Tuho di
Ulumanda. Namun di sisi lain, modal ini dapat mengancam pelestarian budaya Ada’
Tuho karena memungkinkan di dalamnya terjadi penyalahgunaan dana untuk
kepentingan pribadi, maka kondisi ini memang sangat membutuhkan pengelolaan dan
transparansi dari aktor yang bersangkutan. Dengan adanya berbagai bantuan dana
tersebut juga memungkinkan kelompok FORSPAT semakin dimanjakan dan kurang
mandiri dalam pergerakannya, sehingga ketika dana tersebut mulai dihentikan atau
mengalami keterlambatan untuk diberikan akan mempengaruhi pergerakan kelompok
FORSPAT yang menjadi terhambat. Bahkan acara Temu Budaya Ada’ Tuho yang ada
di Ulumanda tersebut juga lambat laun akan mulai dinilai membosankan karena hanya
diisi dengan diskusi dan pembicaraan dengan fokus yang selalu sama, maka
hendaknya kegiatan ini dapat ditingkatkan variasi acaranya agar masyarakat tidak
bosan. Beberapa kali pertemuan Temu Budaya yang sudah dilakukan menunjukkan
animo masyarakat masih tingggi, namun jika lokasi Temu Budaya berpusat pada
beberapa desa tertentu saja sangatcommit to user masyarakat desa lain yang jarak
memungkinkan

10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

wilayahnya jauh akan mulai merasakan keluhan yang berujung pada ketidakhadiran
dalam acara tersebut.
Sedangkan untuk modal sosial kelompok FORSPAT sendiri berupa solidaritas
anggota dan jaringan yang baik dengan pemerintah setempat dalam hal perizinan,
kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho, serta tokoh masyarakat juga mampu
menambah kemampuan kelompok FORSPAT dalam melestarikan budaya Ada’ Tuho
di Ulumanda. Dengan adanya solidaritas antar anggota FORSPAT sendiri
memungkinkan kelompok ini menjadi semakin kuat dalam integritasnya dan
eksistensinya karena setiap anggota akan dapat berperan tepat fungsi di bagian
masing-masing khususnya dalam penyelenggaraan Temu Budaya Ada’ Tuho di
Ulumanda dan mengembangkan diri sebagai kelompok yang aktif dalam kajian studi
perkotaan di Ulumanda dengan berbekal Ada’ Tuho sebagai bahan kajiannya. Di lain
hal, berbagai jaringan yang dibangun dengan Pemerintah Setempat, Kelompok
Pemangku Adat Ada’ Tuho, dan beberapa tokoh masyarakat juga memungkinkan
mereka dapat lebih mendalam mendalami Ada’ Tuho untuk dilestarikan serta
diwujudkan dalam berbagai pergerakannya. Namun di sisi lain, solidaritas dan
jaringan tersebut jika tidak dijaga dengan baik maka dapat melunturkan kepercayaan
kepada kelompok FORSPAT tersebut sehingga kelompok FORSPAT akan kehilangan
berbagai modal ekonomi dan budaya dari jaringan yang bersangkutan, yang pada
akhirnya kondisi semacam ini dapat menghambat pergerakan dari kelompok
FORSPAT.
Lebih lanjut pada modal simbolik kelompok FORSPAT sendiri dengan wujud
adanya stigma sebagai kelompok akademis tentunya untuk membangun jaringan dan
kepercayaan, serta membuka ruang yang luas bagi kelompok FORSPAT untuk turut
serta dalam kajian-kajian budaya di Ulumanda. Dengan adanya stigma tersebut
tentunya lebih memudahkan kelompok FORSPAT dalam mengumpulkan kepercayaan
dari masyarakat karena dianggap sebagai kelompok akademis dengan kemampuan
serta kecerdasan yang relatif baik dalam penyelenggaraan kegiatan Temu Budaya dan
penggalangan dana bantuan dari pemerintah baik Pemerintah Desa maupun
Pemerintah Kecamatan ataupun Pemerintah Kabupaten sebagai tambahan modal
ekonomi dalam aksi pergerakannya. Namun di sisi lain stigma tersebut jika tidak
dijaga dengan baik pendayagunaannya tentunya justru dapat menghambat pergerakan
kelompok FORSPAT karena akancommit to user dirinya sendiri karena kehilangan
merendahkan

11
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kepercayaan dari berbagai pihak yang menaruh kepercayaan dan keyakinan pada
FORSPAT sebagai kelompok akademis (berpendidikan). Dengan demikian maka
kelompok FORSPAT juga akan kehilangan salah satu sumber modal sosial dan modal
ekonomi dalam pergerakannya melestarikan Ada’ Tuho di Ulumanda.
Kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho sendiri dalam pergerakannya juga
memiliki modal budaya berupa pengetahuan terkait Ada’ Tuho yang diperoleh dari
keluarga, sekolah, dan lingkungan tempat tinggal (lingkungan bermain) para aktor
serta masukan dari FORSPAT untuk pelaksanaan Ada’ Tuho yang lebih relevan.
Pengetahuan semacam ini memungkinkan dapat digunakan dalam membentuk habitus
di berbagai ranah pada Ada’ Tuho serta menunjang pergerakannya dalam pelestarian
budaya Ada’ Tuho di Ulumanda karena para aktor dapat semakin memiliki bekal yang
mendasar ketika melestarikan Ada’ Tuho melalui berbagai tindakan. Masukan dari
kelompok FORSPAT dalam kegiatan Temu Budaya Ada’ Tuho juga memungkinkan
pengetahuan yang dimiliki aktor seperti kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho
menjadi semakin bertambah dan relevan dengan kondisi sosial masyarakat Ulumanda.
Namun di sisi lain, jika pengetahuan yang dimiliki tidak dibekali sikap keterbukaan
dari yang bersangkutan tentunya akan sangat menghambat pelestarian Ada’ Tuho
karena dapat memunculkan perasaan yang kaku dan tidak mau menerima pendapat
baru dari pihak lain. Jika dibiarkan terus menerus maka pengetahuan ini akan
berujung pada perasaan idealis yang salah dan menghambat adanya modal ekonomi
serta modal sosial dari kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho dalam pergerakannya
melestarikan budaya Ada’ Tuho di Ulumanda.
Untuk modal ekonomi kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho sendiri berupa
dana bantuan dari Pemerintah setempat, pakaian adat, dan pusaka adat yang
digunakan sebagai artefak budaya Ada’ Tuho yang diperoleh dari warisan keluarga
untuk dipamerkan dan mendapat dana kompensasi. Hal ini menjadi modal ekonomi
karena terbukti beberapa artefak terkait Ada’ Tuho sesekali dipamerkan dan mendapat
kompensasi berupa uang sebagai tambahan dana operasional pelaksanaan pelestarian
budaya Ada’ Tuho oleh kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho. Namun dengan
adanya pendayagunaan tersebut secara berlebihan dan tidak disertai tanggung jawab
yang baik dari aktor bersangkutan maka akan menjadikan beberapa artefak tersebut
justru nampak dikomoditikan sehingga melunturkan modal simbolik kelompok
Pemangku Adat Ada’ Tuho dan commit to user modal sosial mereka karena akan
menghambat

12
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kehilangan rasa simpatik dari warga Ulumanda. Terlebih lagi dana bantuan dari
Pemerintah Setempat juga jika tidak dikelola secara transparan maka akan dapat
menimbulkan kecemburuan dari aktor lain sehingga melunturkan modal sosial dalam
pergerakannya untuk melestarikan budaya Ada’ Tuho di Ulumanda.
Sementara untuk modal sosial kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho sendiri
berupa solidaritas antar anggota, serta membangun jaringan baik dengan pemerintah
setempat dalam hal perizinan, kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho, serta tokoh
masyarakat setempat. Modal tersebut dipandang juga mampu menambah kemampuan
kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho dalam melestarikan budaya Ada’ Tuho di
Ulumanda. Dengan adanya solidaritas antar anggota kelompok Pemangku Adat Ada’
Tuho sendiri memungkinkan kelompok ini menjadi semakin kuat dalam integritasnya
dan eksistensinya karena setiap anggota akan dapat berperan tepat fungsi di bagian
masing-masing khususnya dalam penyelenggaraan Temu Budaya Ada’ Tuho bersama
dengan kelompok FORSPAT di Ulumanda dan mengembangkan diri sebagai
kelompok yang aktif dalam kajian studi perkotaan di Ulumanda dengan berbekal Ada’
Tuho sebagai bahan kajiannya. Di lain hal, berbagai jaringan yang dibangun dengan
Pemerintah Setempat, Kelompok FORSPAT, dan beberapa tokoh masyarakat juga
memungkinkan mereka dapat lebih mendalam mendalami Ada’ Tuho untuk
diinternalisasikan kepada generasi muda di Ulumanda serta diwujudkan dalam
berbagai pergerakan. Namun di sisi lain, solidaritas dan jaringan tersebut jika tidak
dijaga dengan baik maka dapat melunturkan kepercayaan kepada kelompok
Pemangku Adat Ada’ Tuho tersebut sehingga mereka akan kehilangan berbagai
modal ekonomi dan simbolik dari jaringan yang bersangkutan, yang pada akhirnya
kondisi semacam ini dapat menghambat pergerakan dari kelompok Pemangku Adat
Ada’ Tuho.
Lebih lanjut, untuk modal simbolik kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho
sendiri berupa stigma sebagai kelompok ningrat, terpandang, dan terhormat. Modal ini
tentunya dapat untuk membangun jaringan dan kepercayaan dari masyarakat, serta
membuka ruang untuk mengikuti berbagai kajian-kajian budaya di Ulumanda.
Dengan adanya stigma tersebut tentunya lebih memudahkan kelompok Pemangku
Adat Ada’ Tuho dalam mengumpulkan kepercayaan dari masyarakat karena dianggap
sebagai kelompok terpandang dengan kemampuan serta pemahaman dan kapasitasnya
yang dominan dalam keikutsertaancommit to user
di kegiatan Temu Budaya dan penggalangan dana

13
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

bantuan dari pemerintah baik Pemerintah Desa maupun Pemerintah Kecamatan


ataupun Pemerintah Kabupaten sebagai tambahan modal ekonomi dan modal budaya
dalam aksi pergerakannya. Namun di sisi lain stigma tersebut jika tidak dijaga dengan
baik pendayagunaannya tentunya justru dapat menghambat pergerakan kelompok
Pemangku Adat Ada’ Tuho karena akan merendahkan dirinya sendiri karena
kehilangan kepercayaan dari berbagai pihak yang menaruh kepercayaan dan
keyakinan pada kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho sebagai kelompok terpandang
di Ulumanda. Dengan demikian maka kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho juga
akan kehilangan salah satu sumber modal sosial dan modal ekonomi dalam
pergerakannya melestarikan Ada’ Tuho di Ulumanda, bahkan berpengaruh juga pada
modal sosial yang sudah mereka bangun.
Sedangkan untuk Kelompok Pamaretta sendiri memiliki modal budaya berupa
Berupa pengetahuan Ada’ Tuho yang diperoleh dari lingkungan keluarga, buku-buku,
serta lingkungan kerja aktor sebagai Pamaretta di Ulumanda yang tentunya dapat
menjadi modal utama Pamaretta dalam beradaptasi dengan dinamika Ada’ Tuho di
Ulumanda. Sedangkan modal ekonomi berupa bantuan dana yang diperoleh dari
Pemerintah Propinsi dan pihak-pihak lain untuk dialokasikan kepada Pemangku Adat
dan operasional lainnya tentunya sangat dapat membantu berbagai kegiatan terkait
pelestarian Ada’ Tuho di Ulumanda. sementara itu, untuk modal sosial berupa
solidaritas serta jaringan yang baik dengan aktor lain seperti Pemangku Adat dan
kelompok FORSPAT juga sangat mendukung Pamaretta dalam menjalankan
fungsinya sebagai aktor yang berkontribusi dalam pelestarian Ada’ Tuho. Lebih
lanjut, untuk modal simbolik berupa stigma sebagai kelompok terhormat dalam
upacara adat yang diposisikan sebagai tamu yang wajib diundang, dapat untuk
membangun kepercayaan dan relasi. Namun terlepas dari keberfungsiannya, berbagai
modal tersebut juga dapat menghambat pelestarian Ada’ Tuho jika berbagai modal
tersebut tidak disertai dengan pemaknaan serta tanggungjawab yang baik dari aktor
Pamaretta.
3. Proses Reproduksi Ada’ Tuho di Kecamatan Ulumanda
Reproduski Ada’ Tuho yang ada di Kecamatan Ulumanda berlangsung secara
dinamis seiring kebergerakan sosial yang ada di wilayah tersebut. Berbagai hal
mengiringi proses reproduksi tersebut sehingga pelestarian Ada’ Tuho dapat
commit
dimungkinkan tercapai. Reproduksi to user sebuah analisa untuk menguraikan
merupakan

14
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

berbagai hal perubahan sosial yang ada di ranah Ada’ Tuho dalam kerangka praktis.
Ada’ Tuho merupakan sebuah produk sosio-kultural yang terakumulasi dengan
rentan waktu panjang sehingga menjadikannya sebuah produk yang memiliki nilai
pemaknaan historis tersendiri pada individu yang ada di dalamnya. Ada’ Tuho adalah
sebuah pranata hidup yang dilembagakan oleh para masyarakat yang menganutnya
sebagai suatu pedoman cara hidup untuk menjaga harkat martabat hidup satu sama
lainnya. Dalam Ada’ Tuho sendiri memuat berbagai aturan dan legitimasi adat
bersifat khas bagi warga Ulumanda berdasarkan ajaran lokal warga pendahulunya di
Ulumanda serta dijaga pengaplikasiannya hingga sekarang.
Ada’ Tuho mulai hidup di Ulumanda dikarenakan sosio-historis warganya
yang dahulu sangat erat dalam hal menjaga nilai-nilai kemanusiaan. Mengingat
topografi wilayah Ulumanda yang dulu sangat erat dengan hubungan bersama alam,
maka Ada’ Tuho muncul sebagai produk pranata kehidupan untuk mengatur setiap
warganya agar dapat lebih teratur dan menjaga kesatuan hidup dengan alam ataupun
dengan sesamanya. Ada’ Tuho selanjutnya sebagai bekal berkehidupan masyarakat
Ulumanda yang aplikasinya masih dapat dilacak hingga sekarang. Meskipun berbagai
aturan sudah mulai banyak yang berubah dikarenakan berbagai hal, namun nilai-
nilainya masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat Ulumanda karena dirasa
masih sangat berguna dengan transformasi bentuk lain pada berbagai masalah
kehidupan. Hal inilah yang menandai eksistensi Ada’ Tuho di Ulumanda hingga
sekarang ini masih terbukti ada dan sangat dihormati oleh sebagian besar warga
Ulumanda disertai dukungan berbagai pihak terkait. Seiring modernisasi dan
teknologi yang berkembang di wilayah Ulumanda, berbagai aturan adat dengan nilai-
nilai di dalamnya mulai berkembang dinamis. Perubahan aturan ataupun pergeseran
maknanya tersebut bukanlah suatu hal yang sangat merugikan bagi para penganut
Ada’ Tuho, melainkan sebagai sesuatu yang bersifat dinamis menyesuaikan kondisi
sosial Ulumanda sekarang ini sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang tentunya harus menyesuaikan diri dengan hukum atau aturan
konvensional sebagai adapatasi diri agar tidak menyimpang dari nilai-nilai luhur
bangsa dan negara. Adaptasi diperlukan sebagai bentuk reaktif akan keselarasan dan
keharmonisan diri dengan lingkungan sosial yang baru dan tentunya dihadapi oleh
masyarakat Ulumanda sebagai masyarakat seutuhnya.
commit to user

15
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Beberapa kebijakan atau aturan tertentu misalnya yang kurang relevan dengan
kondisi masyarakat akan dicermati dan dimonitoring oleh berbagai aktor seperti
kelompok akademis (FORSPAT) dan kelompok Pamaretta yang kemudian akan
mengadakan konsolidasi serta komunikasi dengan Pemangku Adat Ada’ Tuho demi
mencari kesepakatan yang lebih relevan dan dapat diterima masyarakat luas. Pada
intinya, komunikasi yang dilakukan ini adalah untuk lebih menjadikan Ada’ Tuho
mudah diresapi dan dimaknai nilainya oleh masyarakat tidak hanya mempertahankan
bentuk fisiknya semata. Bentuk komunikasi ini adalah dengan adanya Temu Budaya
Ada’ Tuho sebagai ruang berdiskusi berbagai pihak yang terlibat dalam pelestarian
Ada’ Tuho di Ulumanda. Selepas kegiatan Temu Budaya, maka lahir sebuah
kesepakatan yang kemudian akan disosialisasikan oleh aktor-aktor tersebut agar
masyarakat dapat dengan mudah memaknai perubahan terhadap pemaknaan aturan
dalam Ada’ Tuho tersebut. Seiring berjalannya waktu dalam sosialisasi tersebut
tentunya para aktor disertai berbagai habitus dan modal yang dimiliki akan berjuang
masing-masing di ranah-ranah sosialnya dalam Arena Ada’ Tuho untuk menjaga
Ada’ Tuho melalui reproduksi Ada’ Tuho agar tidak terjadi penyimpangan dalam
pengaplikasiannya.
D. Penutup
1. Kesimpulan
a. Reproduksi Ada’ Tuho di Ulumanda dilakukan oleh beberapa aktor, yaitu
kelompok FORSPAT, kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho, dan kelompok
Pamaretta. Ketiga aktor tersebut melakukan reproduksi pada empat ranah di Ada’
Tuho yaitu Sakka Pambojanga (pernikahan), Sakka Pariama (pertanian atau
bercocok tanam), Panda’ Tomate (upacara kematian), Reppoang Ulu Rendengang
Tallottong (aturan kemanusiaan) dengan berbagai bentuk dan proses reproduksi
budaya seperti:
1) Dalam ranah pernikahan terdapat perubahan mahar tambahan berwujud uang
yang tidak boleh melebihi dari Rp. 1.000.000,-, hiburan / pertunjukkan pada
upacara pesta pernikahan dengan iringan kecapi berubah dengan adanya grup
musik atau minimal solo keyboard, undangan pernikahan yang disiarkan
melalui sound atau khutbah di masjid serta dengan cara datang dari rumah ke
rumah warga sekarang dilakukan dengan undangan tertulis, serta mempelai
commit to user

16
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dinikahkan oleh penghulu dari KUA dan Pemangku Adat hanya bertindak
sebagai saksi ataupun tamu kehormatan.
2) Dalam ranah pertanian terdapat perubahan lahan pertanian dari kebun ke
sawah, gotong royong dan tolong menolong dilakukan dengan sistem pemilik
lahan dan buruh tani, penggunaan sarana ataupun alat pertanian yang lebih
modern, serta aturan bertani yang mulai ditentukan secara subjektif antara
pemilik lahan dan buruh tani.
3) Dalam ranah upacara kematian terdapat perubahan atribut kepala yang
dikenakan oleh kelompok Pemangku Adat berupa kain kafan berubah
menjadi peci (kopiah), aturan hewan kurban untuk sedekah tidak lagi sapi
tetapi ayam, dan upacara pemakaman jenazah sudah dapat dilakukan
langsung tidak lagi ditunda-tunda.
4) Dalam ranah aturan kemanusiaan terdapat perubahan penanganan kasus di
tingkat dewan adat jika tidak menemui kesepakatan akan langsung
dilimpahkan kepada pihak kepolisian dan kejaksaan.
b. Para aktor tersebut dalam pergerakannya membentuk habitus yang beragam
seperti:
1) Kelompok FORSPAT membentuk habitus monitoring, habitus sosialisasi,
habitus evaluasi, dan habitus aksi.
2) Kelompok Pemangku Adat Ada’ Tuho membentuk habitus massoro, habitus
Sumemba’, habitus saputanga barata, dan habitus Mambicarai.
3) Kelompok Pamaretta membentuk habitus tosule, habitus monitoring, dan
habitus Mambicarai.
c. Berbagai modal (modal budaya, modal sosial, modal ekonomi, dan modal
simbolik) mengiringi pergerakan para aktor dalam reproduksi Ada’ Tuho di
Ulumanda. Modal yang dimiliki para aktor tersebut dapat sebagai modal
penunjang dan modal penghambat dalam pelestarian budaya Ada’ Tuho di
Ulumanda melalui reproduksi budaya. Modal budaya berupa pengetahuan tentang
Ada’ Tuho. Modal sosial berupa jaringan dan solidaritas yang dibangun aktor
dengan berbagai pihak. Sedangkan modal simbolik berupa prestasi dan
stigma/labelling yang melekat pada para aktor. Sementara modal ekonomi berupa
sumber pendanaan yang ada dalam setiap pergerakan aktor pada pelestarian
commit to user
budaya Ada’ Tuho di Ulumanda.

17
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

d. Reproduksi Ada’ Tuho dilakukan oleh para aktor dengan


penerapan/pengaplikasian kembali tradisi yang sudah ada dan berkembang di
masyarakat Ulumanda melalui beberapa tahapan proses meliputi perencanaan,
pengorganisasian, dan pergerakan. Tahap perencanaan terjadi pada rutinitas aktor
dalam kegiatan sosial masing-masing. Tahap pengorganisasian berlangsung
dengan bentuk kolaborasi antar aktor dalam penyelenggaraan kegiatan Temu
Budaya Ada’ Tuho. Sementara tahap pergerakan berupa implementasi
tindakan/aksi terkait hasil dari Temu Budaya tersebut.
2. Implikasi
a. Implikasi Teoritis
Reproduksi Ada’ Tuho di Ulumanda dengan desain studi kasus ini
menggunakan teori yang sepenuhnya dapat diterima karena dapat mempermudah
dalam mengurai dan menggambarkan fokus penelitian. Dengan teori Bourdieu
tersebut, berbagai agen (aktor) dapat didentifikasi dan dijelaskan karakteristik serta
perjuangannya dalam ranah reproduksi Ada’ Tuho. Di lain hal, penelitian studi
kasus ini memiliki kekurangan dan memungkinkan adanya teori lain yang dapat
digunakan untuk menganalisanya. Salah satu teori yang memungkinkan
dipergunakan misalnya adalah Teori Sosiologi dengan teori tindakan sosial Max
Weber atau juga Talcott Parsons yang memandang bahwa tindakan sosial individu
mempunyai orientasi aktor. Penjelasan orientasi tersebut memungkinkan dapat
lebih menggambarkan latar belakang konstruksi tiga sistem analitis berupa sistem
sosial, sistem kepribadian, dan sistem kebudayaan dalam reproduksi Ada’ Tuho di
Ulumanda dan lebih mampu menjelaskan fokus penelitian serupa.
b. Implikasi Metodologis
Implikasi metodologis dalam studi kasus ini merupakan sebuah tinjauan
mengenai kekuatan dan kelemahan dari metode yang digunakan dalam studi kasus
terkait reproduksi Ada’ Tuho di Ulumanda. Penggunaan studi kasus pada
penelitian ini tepat sebagai alat untuk meninjau masalah yang unik dan tidak dapat
digeneralisir berdasarkan masalah serupa di tempat lain. Namun dalam mengkaji
tema kebudayaan dan masyarakat akan lebih mendalam kajiannya dengan metode
etnografi karena dapat lebih lengkap dari studi kasus.
Pilihan model analisis data interaktif dirasa tepat sebagai teknik analisis
commit to user
dalam studi kasus ini. Dengan menggunakan teknik analisa model interaktif, proses

18
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pengumpulan data dan analisisnya berjalan secara bersamaan, sehingga perjalanan


peneliti dalam studi kasus ini mengalir menentukan arah lanjut dan semakin
mantap hingga pengumpulan data dirasa telah menghasilkan data selengkap-
lengkapnya dan dapat diakhiri. Teknik ini memudahkan dalam penyusunan laporan
akhir, karena tidak banyak memerlukan waktu dalam penyusunannya. Namun di
sisi lain memungkinkan pula jika dilakukan dengan model analisis domain
(Domain analysis) yang dikembangkan oleh Spradley, Glaser dan Straus karena
dapat lebih memperoleh gambaran umum serta memudahkan menjawab fokus
penelitian.
c. Implikasi Empiris
Ada’ Tuho sebagai produk budaya dapat dikembangkan sebagai identitas
bagi beberapa desa di Ulumanda yang masih menerapkan Ada’ Tuho dalam
kesehariannya. Reproduksi budaya Ada’ Tuho di Ulumanda dapat berhasil dengan
koordinasi serta kerja sama yang solid antar aktor (agen) serta dukungan dari luar.
Dengan adanya reproduksi ini turut mempengaruhi upaya pihak lain untuk
mereproduksi tradisi yang sama pula di daerahnya masing-masing. Reproduksi
Ada’ Tuho selanjutnya dipandang sebagai kearifan lokal yang dapat didukung dan
dikelola oleh berbagai pihak dan instansi terkait untuk meningkatkan daya guna
identitas Kabupaten Majene dengan keberadaan desa-desa adat di dalamnya, serta
dapat sebagai wadah/tempat bagi pengembangan tradisi maupun kebudayaan yang
ada di Ulumanda.
3. Rekomendasi
Terselesaikannya penelitian studi kasus ini memunculkan beberapa
rekomendasi/saran yang dapat dimanfaatkan oleh lain pihak di kemudian hari.
Rekomendasi dalam studi kasus ini terbagi dalam dua kategori, yaitu:
a. Rekomendasi kebijakan
Berdasar pentingnya tradisi dan fungsi kebudayaan dalam keseharian
hidup masyarakat, maka diharapkan:
1) Pemerintah Kabupaten Majene dapat lebih peka dengan fenomena ini.
Apresiasi pemerintah Kabupaten Majene pada aktivitas pelestarian budaya
memang sudah terbilang baik, hal ini dapat dilihat dengan adanya bantuan
dana untuk kegiatan-kegiatan pelestarian budaya yang ada di berbagai
commit
wilayah Ulumanda. Namun, to user
apresiasi (dukungan) tersebut hanya mengarah

19
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pada aspek pendanaan semata. Hal ini jika tidak segera dikembangkan maka
akan dapat membuka ruang bagi pihak yang tidak bertanggung jawab untuk
menyalahgunakan dana tersebut.
2) Pemerintah Kabupaten Majene hendaknya lebih bersentuhan dengan
masyarakat lokal tidak hanya dalam kegiatan Temu Budaya, agar muncul
sinergi yang tepat antara tradisi lokal dalam kehidupan sosial bermasyarakat
yang diatur dalam berbagai perundangan hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pengembangan pelestarian budaya hendaknya dilakukan atas
dukungan serta pengawasan dari para aktor yang bersangkutan dan
pemerintah Kabupaten Majene, dalam hal ini Dinas Sosial dan Dinas
Pariwisata, agar aktivitas tersebut tetap memiliki kandungan nilai bagi
masyarakat meskipun juga dapat digunakan dalam hal pengembangan
wilayah di bidang keanekaragaman budaya lokal.
3) Reproduksi Ada’ Tuho di Ulumanda dapat menjadi contoh yang baik
bagaimana menggerakkan kesadaran masyarakat serta pihak terkait untuk
melestarikan tradisi dalam Ada’ Tuho.
4) Bagi aktor seperti kelompok FORSPAT dan kelompok Pemangku Adat Ada’
Tuho, perlu adanya penguatan jaringan sosial antar anggota agar solidaritas
dan koordinasinya tetap terjaga di mata publik. Upaya reproduksi budaya
tidak dapat dilakukan dengan cara mandiri, maka langkah inovatif perlu terus
dilakukan dalam memahami perkembangan jaman yang semakin cepat dan
tak terprediksi arahnya untuk menciptakan daya harmonisasi serta
kemandirian yang kuat. Tidak hanya mengandalkan uluran dan jabat tangan
dari pemerintah yang bekerja.
b. Rekomendasi bagi penelitian lebih lanjut
Berdasarkan hasil dan pembahasan dari studi kasus ini, didapati bahwa
keberadaan tradisi-tradisi di Ada’ Tuho masih sulit dilacak sumber dan sejarah
praktik pelaksanaannya, adapun data yang ada hanya bersumber dari wawancara
tokoh terkait di dalamnya dan belum terdapat bukti-bukti tertulis yang dapat
dibuktikan secara empiris, maka berdasarkan hal tersebut dapat sebagai celah
rekomendasi bagi penelitian lebih lanjut untuk dapat dilakukan penelitian
selanjutnya sebagai upaya melengkapi data dalam penelitian ini.
commit to user

20
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Daftar Pustaka

Amin, Harmegi. 2014. Mengenal Ada’ Tuho, Tinjauan History dan Prediksi Masa Depan.
Majene: Forum Study dan Pengembangan Ada’ Tuho (PORSPAT).

Bourdieu, Pierre. 2015. Arena Produksi Kultural alih bahasa oleh Santoso Yudi. Bantul:
Kreasi Wacana.

Nuraeni, Heny. 2012. Studi Budaya Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.

Sutopo, H. B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.

Naredia, Shubuha Pilar. 2015. Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen,
Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta dalam Jurnal Analisa
Sosiologi.

Slamet, Y. 2006. Metode Penelitian Sosial. Surakarta: Sebelas Maret Universty Press.

Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta:
Salemba Humanika.

Martin Rew, 2013. Pro-Poo?Bourdieu, Neo-Liberalisme, and Social Reproduction Trrough


Faith-Based Education in Maharastra. International Journal Of Relijion and Sosiety.
Vol, 4, Pages 85-103.

John W. Creswell. 2012. Researsh Design alih bahasa oleh Fawaid, Ahmad: Pendekatan
Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed. Jakarta: Pusataka Belajar.

Sugiyono. 2014. Memahami Peneletian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Anis, Faud. Dkk. 2014. Panduan Praktis PenelitianKualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Jenkins, Richard. 2013. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu alih bahasa oleh Nurhadi Bantul:
Kreasi Wacana
Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES.

Tridewiyanti, Kunthi. 2009. Perempuan Arab Ba-Alawi dalam Sistem Perkawinan:


Reproduksi Kebudayaan dan Resistensi. Jakarta: UI Press.

commit to user

21

Anda mungkin juga menyukai