Anda di halaman 1dari 24

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka


2.1.1 Manajemen Sumber Daya Manusia
2.1.1.1 Pengertian Sumber Daya Manusia
Menurut Mondy (2010: 45), sumber daya manusia merupakan bagian utilitas
dari individu-individu untuk mencapai tujuan organisasi. Oleh karena itu, setiap
manajer di tiap tingkatan harus memperhatikan manejemen sumber daya manusia.
Pada dasarnya, semua manajer menyelesaikan segala sesuatunya dengan mendelegasi
tugas kepada karyawannya, hal ini memerlukan menejemen sumber daya manusia
yang efektif.
Menurut Sutrisno (2009: 3), sumber daya manusia merupakan satu-satunya
sumber daya yang memiliki akal perasaan, keinginan, ketrampilan, pengetahuan,
dorongan, daya, dan karya (rasio, rasa dan karsa). Semua potensi SDM tersebut
berpengaruh terhadap upaya organisasi dalam mencapai tujuan.

2.1.1.2 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia


Manajemen sumber daya manusia, disingkat MSDM yang merupakan suatu
ilmu atau cara bagaimana mengatur hubungan dan peranan sumber daya (tenaga
kerja) yang dimiliki oleh individu secara efisien dan efektif serta dapat digunakan
secara maksimal sehingga tercapai tujuan (goal) bersama perusahaan, karyawan dan
masyarakat menjadi maksimal. MSDM juga merupakan aset kritis organisasi yang
tidak hanya diikutsertakan dalam filosofi perusahaan tetapi juga dalam proses
perencanaan strategis.
Menurut Sutrisno (2009: 6-7), manajemen sumber daya manusia (MSDM)
merupakan bagian dari manajemen keorganisasian yang memfokuskan diri pada
unsur sumber daya manusia. Manajemen sumber daya manusia mempunyai tugas
untuk mengelola unsur manusia secara baik agar diperoleh tenaga kerja yang puas
akan pekerjaannya. Sedangkan menurut Dessler (2011: 4), MSDM adalah kebijakan
dan praktek di dalam menggerakan sumber daya manusia atau aspek-aspek terkait
posisi manajemen di dalam sumber daya manusia yang mencakup kegiatan
perekrutan, penyaringan, pelatihan, pemberian penghargaan dan penilaian.

11
12

Bohlander dan Snell (2010: 4), menyatakan manajemen sumber daya manusia
merupakan ilmu yang mempelajari tentang bagaimana memberdayakan karyawan
dalam perusahaan. Tujuannya adalah untuk membuat pekerjaan, membentuk
kelompok kerja, mengembangkan para karyawan yang mempunyai kemampuan,
mengidentifikasikan suatu pendekatan untuk dapat mengembangkan kinerja
karyawan dan memberikan imbalan kepada mereka atas usahanya dalam bekerja.
Menurut Mathis dan Jackson (2006: 3), manajemen sumber daya manusia
adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peran tenaga kerja agar efektif dan
efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat.

2.1.1.3 Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia


Ada 5 area fungsional menurut Mondy (2010: 5) yang terasosiasi dengan
keefektifan sumber daya manusia yakni:
1. Susunan Kepegawaian
Susunan kepegawaian adalah proses di dalam sebuah organisasi yang
memastikan organisasi tersebut memiliki ketepatan jumlah karyawan
dengan keahlian yang tepat, untuk mencapai tujuan organisasi.
2. Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pengembangan sumber daya manusia adalah fungsi menejemen sumber
daya manusia yang utama, mencakup tidak hanya pelatihan dan
pengembangan tetapi perencanaan karir dan kegiatan pengembangan
organisasi dan manajemen kinerja dan penilaian.
3. Kompensasi
Kompensasi mengacu pada total dari semua penghargaan yang diberikan
kepada karyawan atas jasa pelayanan.
Penghargaan yang diberikan berupa salah satu atau kombinasi dari:
a. Kompensasi keuangan langsung
Kompensasi yang diberikan kepada karyawan perusahaan dalam
bentuk upah, gaji, komisi dan bonus.
b. Kompensasi keuangan tidak langsung
Kompensasi yang diberikan kepada karyawan perusahaan dalam
bentuk tunjangan rekreasi, sakit, tunjangan hari libur, jaminan
kesehatan.
4. Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Mencakup kegiatan yang melindungi karyawan dari kecelakaan kerja.
Kesehatan mencakup kegiatan yang melindungi karyawan dari penyakit
fisik dan emosional. Aspek ini penting karena karyawan yang bekerja di
dalam lingkungan yang aman dan menikmati hidup yang sehat dapat
menjadi lebih produktif dan memberikan keuntungan jangka panjang bagi
perusahaan.
5. Karyawan dan Hubungan Industrial
Hubungan antara karyawan dan pekerja lain, ini dahulu dianggap sebagai
jalan hidup banyak karyawan. Kebanyakan perusahaan akan lebih
menginginkan sebuah lingkungan yang mempunyai hubungan kuat.

2.1.1.4 Perencanaan Sumber Daya Manusia


Menurut Hartantik (2014: 31), perencanaan sumber daya manusia adalah
proses untuk menentukan jumlah dan jenis manusia yang dibutuhkan suatu
organisasi atau perusahaan dalam waktu dan tempat yang tepat, serta melakukan
tugas sesuai dengan yang diharapkan. Penyusunan rencana SDM bagi suatu
organisasi dimaksudkan untuk menjamin agar kebutuhan SDM dapat terpenuhi
secara konstan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Menurut Sutrisno (2009: 33), perencanaan sumber daya manusia merupakan
fungsi utama yang harus dilaksanakan dalam organisasi, guna menjamin tersedianya
tenaga kerja yang tepat untuk menduduki berbagai posisi, jabatan, dan pekerjaan
yang tepat pada waktu yang tepat. Sedangkan menurut Hanggraeni (2012: 39),
perencanaan sumber daya manusia adalah proses perkiraan atau peramalan akan
kebutuhan sumber daya manusia di dalam sebuah organisasi dengan melihat
ketersediaan sumber daya manusia baik di dalam organisasi maupun di luar
organisasi.
Menurut Mangkunegara (2005: 33), perencanaan sumber daya manusia adalah
suatu proses menentukan kebutuhan akan tenaga kerja berdasarkan peramalan
pengembangan, pengimplementasian, dan pengendalian kebutuhan yang berintegrasi
dengan perencanaan organisasi agar tercipta jumlah pegawai, penempatan pegawai
yang tepat, dan manfaat secara ekonomis.
2.1.1.5 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perencanaan SDM
Menurut Sutrisno (2009: 37-38), perencanaan sumber daya manusia sangat
dipengaruhi baik oleh faktor yang berasal dari dalam organisasi maupun yang berasal
dari luar organisasi.
1. Faktor Internal
Adapun berbagai kendala yang terdapat di dalam organisasi itu sendiri,
seperti:
a. Rencana strategis
b. Anggaran
c. Estimasi produksi dan penjualan
d. Perluasan usaha atau kegiatan baru
e. Rancangan organisasi dan tugas pekerjaan
2. Faktor Eksternal
Merupakan berbagai faktor yang pertumbuhan dan perkembangannya
berada di luar kemampuan, yang termasuk faktor-faktor eksternal, yaitu:
a. Situasi ekonomi
b. Sosial-budaya
c. Politik
d. Peraturan perundang-undangan
e. Teknologi
f. Pesaing

2.1.2 Penilaian Kinerja (Performance Appraisal)


Salah satu cara yang dapat digunakan untuk melihat perkembangan suatu
organisasi adalah melalui hasil penilaian prestasi kerja yang ada pada organisasi
tersebut. Yang menunjukkan apakah SDM pada organisasi tersebut telah memenuhi
sasaran/target sebagaimana yang dikehendaki organisasi, baik secara kualitas
maupun kuantitas, bagaimana perilaku karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya,
apakah cara kerja tersebut sudah efektif dan efisien, bagaimana menggunakan waktu
kerja, dan sebagainya.

2.1.2.1 Definisi Penilaian Kinerja


Menurut Hartantik (2014: 119), penilaian kinerja adalah cara sistematis untuk
mengevaluasi prestasi, kontribusi, potensi, dan nilai dari seseorang karyawan oleh
orang-orang yang diberi wewenang perusahaan sebagai landasan pengembangan.
Sedangkan menurut Hanggraeni (2012: 121), penilaian kinerja adalah sebuah proses
di mana perusahaan melakukan evaluasi dan penilaian kinerja individu setiap
pekerjaanya.
Menurut Widodo (2015: 130), penilaian kinerja (performance appraisal)
adalah suatu evaluasi terhadap tingkat kinerja seseorang dibandingkan dengan
standar kinerja yang sudah ditentukan, guna bahan pertimbangan dalam menentukan
promosi, kompensasi, perlunya perlatihan atau pengembangan, maupun untuk
pemberhentian seseorang.
Mathis dan Jackson (2006: 382), penilaian kinerja adalah proses mengevaluasi
seberapa baik karyawan dalam melakukan pekerjaan mereka jika dibandingkan
dengan seperangkat standar dan kemudian mengkomunikasikan informasi tersebut
kepada karyawan. Penilaian kinerja juga disebut sebagai evaluasi karyawan, tinjauan
kinerja dan penilaian hasil.
Menurut Snell dan Bohlander (2010: 362), penilaian kinerja dapat didenifisikan
sebagai suatu proses penilaian yang dirancang untuk membantu karyawan mengerti
peran, tujuan, ekspetasi, dan kesuksesan kinerja yang diadakan secara berkala.
Terdapat beberapa pihak yang dijelaskan oleh Snell dan Bohlander (2010: 370-
374), yang dapat melakukan penilaian kinerja antara lain :
a. Penilaian oleh manajer atau supervisor
b. Penilaian diri
c. Penilaian bawahan
d. Penilaian rekan
e. Penilaian tim
f.Penilaian pelanggan

2.1.2.2 Tujuan Penilaian Kinerja


Menurut Hartatik (2014: 120-122) tujuan penilaian kerja terbagi menjadi dua
jenis yaitu:
1. Tujuan penilaian kerja secara umum:
a. Bertujuan untuk memperbaiki pelaksanaan pekerjaan para pekerja
dengan memberikan bantuan agar setiap pekerja mampu
mewujudkan dan mempergunakan potensi yang dimilikinya secara
maksimal dalam melaksanakan misi organisasi.
b. Bertujuan untuk menghimpun dan memperisapkan informasi bagi
pekerja dan para manajer dalam membuat keputusan.
c. Bertujuan untuk menyusun inventarisasi SDM di lingkungan
organisasi yang dapat digunakan dalam mendesain hubungan antara
atasan dan bawahan, guna mewujudkan saling pengertian dan
penghargaan dalam rangka mengembangkan keseimbangan antara
keinginan pekerja dengan sasaran perusahaan.
d. Bertujuan untuk meningkatkan motivasi kerja, yang berpengaruh
pada prestasi kerja karyawan dalam melaksanakan tugasnya.
2. Tujuan penilaian kerja secara khusus:
a. Untuk melakukan promosi, menghentikan pelaksanaan kerja yang
keliru, menegakkan disiplin sebagai kepentingan bersama, dan
menetapkan pemberian penghargaan.
b. Penilaian kerja menghasilkan informasi yang dapat digunakan
sebagai kriteria dalam membuat tes yang mempunyai validitas
tinggi.
c. Penilaian kinerja menghasilkan informasi yang dapat digunakan
sebagai umpan balik bagi pekerja dalam meningkatkan efisiensi
kinerja.
d. Penilaian kinerja berisi informasi yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kebutuhan pekerjaan.
e. Penilaian kerja memberikan informasi tentang spesifikasi jabatan.
f. Penilaian kinerja harus dilaksanakan oleh manajer dengan atau tanpa
kerja sama petugas menejemen SDM terhadap bawahannya.

2.1.2.3 Metode Penilaian Kinerja


Menurut Hanggraeni (2012: 123-124), terdapat beberapa metode penilaian
kinerja, yaitu:
1. Rating Scales
Dalam metode ini orang yang memberikan penilaian diharuskan
memberikan penilaian terhadap kinerja individu dengan menggunakan skala
angka yang merentang dari rendah sampai tinggi.
2. Checklist
Metode ini penilaian harus memilih penyataan-pernyataan yang paling
sesuai untuk mendeskripsikan kinerja individu.
3. Paired Comparison Method
Dalam metode ini, semua pekerja dinilai secara bersama-sama dengan
teman kerjanya yang lain untuk kriteria-kriteria tertentu.
4. Alternation Ranking Method
Penilaian kinerja dengan metode ini adalah menggunakan semua pekerja
dari yang memiliki kinerja paling bagus sampai dengan yang memiliki
kinerja paling buruk.
5. Critical Incident Method
Dalam metode ini perilaku yang dianggap tidak biasa dan buruk dicatat
untuk kemudian dilakukan review dengan pekerja pada waktu yang telah
ditentukan.
6. Narrative Form
Metode yang memungkinkan penilaian memberikan penilaian dalam bentuk
naratif atau esai tertulis.
7. Behaviorally Anchored Rating Scale (BARS)
Metode ini menggabungkan penilaian naratif dengan penilaian kuantitatif
rating scale.
8. Management by Objectives (MBO)
Penilaian ditentukan oleh pekerja bersama-sama dengan atasannya untuk
kemudian dilakukan evaluasi secara bersama-sama secara berkala.
9. 360 Degree
Penilaian diberikan oleh atasan saja, maka dalam metode ini penilaian
diberikan secara 360 derajat yang berarti dari semua pihak, meliputi atasan,
bawahan, teman sekerja, penilaian oleh diri sendiri, pelanggan, serta semua
pihak yang terlibat dalam proses kerja individu.

2.1.2.4 Indikator Penilaian Kinerja


Menurut Rivai (2009: 563), penilaian kinerja adalah pengetahuan tentang
pekerjaannya, kepemimpinan, inisiatif, kualitas pekerjaan, kerja sama, pengambilan
keputusan, kreativitas, dapat diandalkan, perencanaan, komunikasi, kecerdasan,
pemecahan masalah, pendelegasian, sikap, usaha, motivasi dan organisasi.
1. Kemampuan Teknis
Kemampuan menggunakan pengetahuan, metode, teknik, dan peralatan yang
dipergunakan untuk melaksanakan tugas serta pengalaman dan pelatihan
yang diperolehnya.
2. Kemampuan Konsepsual
Kemampuan untuk memahami kompleksitas perusahaan dan penyesuaian
bidang gerak dari unit masing-masing kedalam bidang operasional
perusahaan serta menyeluruh, yang pada intinya individual tersebut
memahami tugas dan fungsi tanggung jawabnya sebagai seorang karyawan.
3. Kemampuan Hubungan Interpersonal
Kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain, memotivasi karyawan,
dan negoisasi.

2.1.2.5 Elemen Penilaian Kinerja


Menurut Hanggraeni (2012: 122-123) dalam proses penilaian kinerja, ada
beberapa elemen penting yang menjadi dasar pokok dari proses ini. Elemen penilaian
kerja inilah yang akan menentukan efektivitas sistem evaluasi kinerja.

Performance Appraisal Elements

Performance Performance Feedback


Standard Setting Measurement

Gambar 2.1 Elemen Performance Appraisal


Sumber: Hanggraeni (2012: 122-123)

1. Proses penilaian kinerja adalah penentuan standar-standar kinerja


(performance appraisal). Standar kinerja didenifisikan sebagai patokan-
patokan yang akan digunakan sebagai dasar penilaian kinerja aktual
individu.
2. Pengukuran kinerja (performance measure) yang didefinisikan sebagai
rating atau angka yang digunakan untuk memberikan penilaian terhadap
kinerja seseorang pekerja.
3. Pemberian umpan balik (feedback) yang diberikan kepada pekerja sebagai
hasil dari penilaian kinerja mereka. Ini berkaitan dengan hal-hal apa yang
harus ditingkatkan, standar apa yang belum terpenuhi, dan keberhasilan-
keberhasilan apa yang telah dicapai.

2.1.3 Kinerja Karyawan (Employee Performance)


Kinerja merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dapat dicapai
oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab
yang diberikan kepadanya. Pada dasarnya kinerja seorang karyawan merupakan hal
yang bersifat individual karena setiap karyawan mempunyai tingkat kemampuan
yang berbeda-beda dalam mengerjakan tugas mereka. Kinerja sangat penting untuk
mencapai tujuan dan akan mendorong seseorang untuk lebih baik lagi dalam
pencapaian tujuan. Kinerja seseorang bergantung pada kombinasi dari kemampuan,
usaha dan kesempatan yang diperoleh.

2.1.3.1 Definisi Kinerja Karyawan


Menurut Rivai (2009: 549) kinerja merupakan perilaku nyata yang ditampilkan
setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan
perannya dalam perusahaan atau organisasi. Menurut Mangkunegara (2007: 9),
kinerja karyawan adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh
seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab
yang diberikan kepadanya.
Mathis dan Jackson (2006: 378), berpendapat bahwa kinerja (performance)
pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan.
Kinerja karyawan yang umum untuk kebanyakan pekerjaan meliputi elemen yaitu
kuantitas dari hasil, kualitas dari hasil, ketepatan waktu dari hasil, kehadiran, dan
kemampuan bekerja sama.
Menurut Simanjuntak (2005) dalam buku Widodo (2015: 131), kinerja adalah
tingkatan pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu, sedangkan kinerja
individu adalah tingkat pencapaian atau hasil kerja seseorang dari sasaran yang harus
dicapai atau tugas yang harus dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu.
2.1.3.2 Elemen Kinerja Karyawan
Menurut Mathis dan Jackson (2006: 378), kinerja pada dasarnya adalah apa
yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan. Kinerja karyawan yang umum
untuk kebanyakan pekerjaan meliputi beberapa elemen yang terkait sebagai berikut:
1. Kuantitas dari Hasil
Pencapaian sasaran atau target dalam kuantitas dapat diukur secara absolut,
dalam persentase atau indeks.
2. Kualitas dari Hasil
Kualitas bersifat relatif, sehingga tidak mudah diukur, dan sangat tergantung
pada selera individu. Kualitas dapat dirasakan, dilihat, atau diraba.
3. Ketepatan Waktu dari Hasil
Setiap pelaksanaan tugas selalu membutuhkan waktu sebagai masukan.
Waktu merupakan sumber daya yang mahal, karena dia terbatas, tidak dapat
disimpan atau ditunda. Oleh karena itu setiap waktu harus digunakan
secepat mungkin dan secara optimal.
4. Kehadiran atau Absensi
5. Kemampuan Bekerja Sama

2.1.3.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja Karyawan


Menurut Mathis dan Jackson (2006: 113-114), kinerja para karyawan adalah
awal dari suatu keberhasilan organisasi untuk mencapai tujuannya. Ada 3 faktor
utama dalam memengaruhi kinerja karyawan yaitu:
1. Kemampuan Individual
Kemampuan individual karyawan mencakup bakat, minat dan faktor
kepribadian. Tingkat ketrampilan, merupakan bahan mentah yang dimiliki
seorang karyawan berupa pengetahuan, pemahaman, kemampuan,
kecakapan interpersonal dan kecakapan teknis.
2. Usaha yang Dicurahkan
Usaha yang dicurahkan dari karyawan bagi perusahaan adalah etika kerja,
kehadiran dan motivasinya. Tingkat usahanya merupakan gambaran
motivasi yang diperlihatkan karyawan untuk menyelesaikan pekerjaan
dengan baik. Dari itu kalaupun karyawan mempunyai tingkat ketrampilan
untuk mengerjakan pekerjaan, akan tetapi tidak akan bekerja dengan baik
jika hanya sedikit upaya. Hal ini berkaitan dengan perbedaan antara tingkat
ketrampilan dengan tingkat upaya. Tingkat ketrampilan merupakan cermin
dari apa yang dilakukan, sedangkan tingkat upaya merupakan cermin yang
dilakukan.
3. Dukungan Organisasional
Dalam dukungan organisasional, perusahaan menyediakan fasilitas bagi
karyawan meliputi pelatihan dan pengembangan, standar kinerja, peralatan,
dan teknologi. Kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak
dilakukan karyawan, sedangkan kinerja karyawan adalah apa yang
memengaruhi sebanyak mereka memberikan kontribusi pada organisasi.

2.1.4 Turnover Intention


Turnover intention adalah tingkat di mana banyak atau tidaknya perputaran
atau keluar-masuk tenaga kerja pada suatu perusahaan. Sebenarnya, perusahaan yang
menganggap SDM sebagai Asset, merasa rugi jika tingkat turnover di dalam
perusahaannya tinggi. Turnover dapat berupa pengunduran diri, perpindahan keluar
unit organisasi, pemberhentian maupun kematian anggota organisasi.

2.1.4.1 Definisi Turnover


Turnover merupakan perpindahan karyawan keluar dari organisasi (Snell dan
Bohlander (2010). Turnover mengarah pada kenyataan akhir yang dihadapi
organisasi berupa jumlah karyawan yang meninggalkan organisasi pada periode
tertentu. Sedangkan menurut Staffelbach (2008) Turnover adalah perpindahan
individu dalam keanggotaan suatu organisasi.
Jika dilihat dari segi ekonomi tentu perusahaan akan mengeluarkan cost yang
cukup besar karena perusahaan sering melakukan recruitment, pelatihan yang
memerlukan biaya yang sangat tinggi dan faktor-faktor lain yang memengaruhi
suasana kerja menjadi kurang menyenangkan. Menurut Mathis dan Jackson (2006:
125), perputaran adalah proses dimana karyawan-karyawan meninggalkan
perusahaan dan harus diganti.

2.1.4.2 Jenis-Jenis Turnover


Perputaran, menurut Mathis dan Jackson (2006: 125-126), adalah proses di
mana karyawan-karyawan meninggalkan organisasi dan baru digantikan. Perputaran
dikelompokan ke dalam beberapa cara yang berbeda. Setiap klasifikasinya dapat
digunakan dan tidak terpisah satu sama lain.
a. Perputaran Secara Tidak Sukarela
Pemecatan karena kinerja yang buruk dan pelanggaran peraturan kerja.
Perputaran secara tidak sukalera dipicu oleh kebijakan organisasional,
peraturan kerja dan standar kinerja yang tidak dapat dipenuhi oleh
karyawan.
b. Perputaran Secara Sukalera
Dimana karyawan meninggalkan perusahaan karena keinginannya sendiri.
Perputaran secara sukarela dapat disebabkan oleh banyak faktor, termasuk
peluang karier, gaji, pengawasan geografis dan alasan pribadi/keluarga.
c. Perputaran Fungsional
Dilakukan terhadap karyawan yang memiliki kinerja lebih rendah.
d. Perputaran Disfungsional
Dilakukan terhadap karyawan penting dan memiliki kinerja tinggi.
e. Perputaran yang Tidak Dapat Dikendalikan
Muncul karena alasan di luar pengaruh pemberi kerja. Banyak alasan
karyawan yang berhenti tidak dapat dikendalikan oleh organisasi.
f.Perputaran yang Dapat Dikendalikan
Muncul karena faktor yang dapat dipengaruhi oleh pemberi kerja. Dalam
turnover yang dapat dikendalikan, organisasi lebih mampu memelihara
karyawan apabila mereka menangani persoalan karyawan yang dapat
menimbulkan turnover.

2.1.4.3 Indikasi Turnover Intention


Menurut Harnoto (2002: 2) dalam Wijaya (2012: 40-42), turnover intention
ditandai oleh berbagai hal yang menyangkut perilaku karyawan, antata lain: absensi
yang meningkat, mulai malas bekerja, naiknya keberanian untuk melanggar tata
tertib kerja, keberanian untuk menentang atau protes kepada atasan, maupun
keseriusan untuk menyelesaikan semua tanggung jawab karyawan yang sangat
berbeda dari biasanya. Indikasi tersebut bisa digunakan sebagai acuan untuk
memprediksikan turnover intention karyawan dalam sebuah perusahaan, berikut
penjelasan indikasi terjadinya turnover intention:
1. Absensi yang Meningkat
karyawan berkeinginan untuk melakukan pindah kerja biasanya ditandai
dengan absensi meningkat dengan tingkat tanggung jawab karyawan yang
menurun dibandingkan sebelumnya.
2. Mulai Malas Bekerja
Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja akan lebih
malas bekerja karena orientasi karyawan ini adalah bekerja di tempat
lainnya yang dipandang lebih mampu memenuhi semua keinginan karyawan
yang bersangkutan.
3. Peningkatan Terhadap Pelanggaran Tata Tertib
Berbagai pelanggaran kerja dalam lingkungan pekerjaan sering dilakukan
oleh karyawan yang akan melakukan turnover. Karyawan lebih sering
meninggalkan tempat kerja ketika jam kerja berlangsung, maupun berbagai
bentuk pelanggaran lainnya.
4. Penigkatan Protes Terhadap Atasan
Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja, lebih sering
melakukan protes terhadap kebijakan perusahaan kepada atasan. Materi
protes yang ditekankan biasanya berhubungan dengan balas jasa atau aturan
lain yang tidak sependapat dengan keinginan karyawan.
5. Perilaku Positif yang Sangat Berbeda dari Biasanya
Biasanya hal ini berlaku untuk karyawan yang karakteristik positif.
Karyawan ini memiliki tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas yang di
bebankan dan jika perilaku positif karyawan ini meningkat jauh dan berbeda
dari biasanya menunjukkan karyawan ini akan melakukan turnover.

2.1.4.4 Faktor yang Memengaruhi Turnover Intention


Menurut Staffelbach (2008: 35), faktor-faktor penyebab turnover intention
dikategorikan sebagai berikut:
1. Faktor Psikologi
Penentu psikologis merujuk pada proses mental dan perilaku karyawan,
seperti harapan, orientasi, kepuasan kerja, komitmen organisasi, keterlibatan
kerja atau efektifitas. Konsep turnover secara psikologis berkaitan dengan
faktor-faktor yang dipengaruhi oleh emosi karyawan, sikap atau persepsi.
Faktor psikologi terdiri dari:
a. Kontrak Psikologis (Psychological Contract)
Mengacu pada keyakinan individu mengenai syarat dan ketentuan
perjanjian timbal balik pertukaran antara seseorang dan pihak lain.
Konsep kontrak psikologis didasarkan pada wawasan, bahwa
motivasi karyawan dan tingkat kinerja mereka harus dipelihara oleh
organisasi melalui insentif dan penghargaan (Brinkmann dan Stapf,
2005: 21-22). Kontrak psikologis berisi semua harapan timbal dan
balik yang tidak terungkapkan, harapan dan keinginan karyawan atau
atasan dan merupakan perjanjian tambahan tidak dirumuskan dalam
pekerjaan yang mengikat sah kontrak. Jika pemenuhan keinginan
dan harapan karyawan gagal untuk muncul dalam jangka panjang
dan kerugian tidak seimbang dengan keuntungan, maka konflik batin
pada karyawan akan semakin buruk. Jika seorang karyawan tidak
mampu membawa perubahan apapun, ketidakpuasan akan terjadi
dan kemudian akan merusak kontrak psikologis. (Brinkmann dan
Stapf, 2005: 21-22). Dasar dari kontrak psikologis didasarkan pada
teori pertukaran sosial, yang mengasumsi bahwa perilaku manusia
dikendalikan oleh Staffelbach (2008: 35) pemaksimalan utilitas
individu (Brinkmann dan Stapf, 2005: 21-22). Manusia berusaha
untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan biaya. Jika
karyawan merasakan kontrak psikologis tidak berjalan seperti
semestinya, maka turnover intention akan lebih tinggi.
b. Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja adalah keadaan emosional menyenangkan yang
dihasilkan dari penilaian pekerjaan seseorang dalam mencapai atau
memfasilitasi pencapaian nilai pekerjaannya. Kepuasan kerja
menjadi keterikatan afektif seseorang, hal ini dikonseptualisasikan
sebagai respon afektif dan emosional. Kepuasan didenifisikan
sebagai sejauh mana karyawan memiliki orientasi afektif negatif
terhadap organisasi akan muncul ketika karyawan tidak puas.
c. Komitmen Organisasi
Mowday dan Steers mendefinisikan komitmen “sebagai kekuatan
relatif dari individu dalam identifikasi dengan keterlibatan dalam
organisasi tertentu”. Komitmen dapat dilihat sebagai loyalitas sebuah
organisasi atau suatu pekerjaan. Meyer dan Allen mengkonsepkan
komitmen dalam tiga keadaan psikologis yang berbeda yang
memengaruhi apakah karyawan akan tetap atau meninggalkan
organisasi.
1. Komitmen afektif adalah keterkaitan emosional terhadap
organisasi.
2. Komitmen berkelanjutan adalah pengakuan biaya yang
terkait dengan meninggalkan organisasi.
3. Komitmen normatif adalah kewajiban yang dirasakan untuk
tetap dengan organisasi.
d. Ketidakamanan Kerja (Job Insecurity)
Job insecurity sebagai kekhawatiran pribadi tentang kelangsungan
pekerjaan. Karyawan dapat merasa tidak aman meskipun tidak ada
alasan untuk itu. Namun, ketidaknyamanan pekerjaan lebih dikenal
mengenai ketidakpastian tentang pekerjaan di masa depan dalam
pengembangan pekerjaan dan diskontinuitas.
2. Faktor Ekonomi
Ketika reward sama dengan di tempat kerja lain, karyawan akan
memutuskan untuk tidak meninggalkan organisasi. Pandangan ekonomi
menganalisis proses turnover lebih menekankan pada interaksi antara
penentuan variabel eksternal seperti gaji atau peluang.
Faktor ekonomi terdiri dari:
a. Upah
Upah pembayaran memainkan peran penting dalam pekerjaan pada
masa ini dan pada masa depan. Bahwa karyawan yang dibayar lebih
tinggi dalam tingkat hirarki yang sama cenderung untuk tetap
bertahan dalam organisasi (Henneberger dan Sousa-Poza, 2007: 61).

b. Peluang Eksternal
Peluang eksternal mengacu pada tersedianya alternatif, daya tarik
dan pencapaian dari pekerjaan di lingkungan. Interaksi antara
kekuatan penawaran dan permintaan ekonomi harus ditimbangkan
dalam mengukur peluang eksternal. Ketersediaan ini terutama
tentang seberapa banyak peluang di luar organisasi. Daya tarik yang
mengacu pada pay level dari peluang tersebut. Pencapaian
didenifisikan sebagai kepemilikan keahlian yang dibutuhkan di
dalam suatu pekerjaan.
c. Ukuran Perusahaan (Company Size)
Selama fase resesi di pertengahan tahun sembilan puluhan,
organisasi yang lebih kecil dihadapkan dengan tingkat turnover yang
lebih tinggi, sedangkan organisasi yang lebih besar mampu
mempertahankan karyawan mereka (Henneberger dan Sousa-Poza,
2002). Banyak orang beranggapan bahwa perusahaan-perusahaan
besar membayar gaji yang lebih tinggi, memiliki kesempatan
promosi yang lebih dan menawarkan keselamatan kerja yang lebih
tinggi daripada perusahaan kecil (Henneberger dan Sousa-Poza,
2007: 61).
3. Faktor Demografis
Faktor demografis yang sering disebut juga sebagai karakteristik personal,
yang terdiri dari:
a. Usia
Faktor usia berkorelasi negatif dengan turnover intention
(Henneberger dan Souza-Pouza, 2007: 61). Orang yang lebih muda
memiliki tahap percobaan pada kehidupan profesional mereka,
sehingga lebih sering berpindah kerja.
b. Masa Jabatan
Individu memiliki masa jabatan yang lebih lama kemudian
meniggalkan organisasi akan dianggap tidak proporsional.

2.1.4.5 Alasan Karyawan Berhenti


Menurut Mathis (2006: 126), alasan karyawan berhenti dalam organisasi
sebagai berikut:
1. Karyawan pindah ke daerah geografis.
2. Karyawan memutuskan untuk tinggal di rumah karena alasan keluarga.
3. Suami atau istri karyawan dipindahkan.
4. Karyawan adalah mahasiswa yang baru lulus dari perguruan tinggi.
2.1.4.6 Dampak Turnover bagi Perusahaan
Turnover merupakan isu yang penting bagi sebuah organisasi. Menurut
Staffelbach (2008: 15-17) ada 3 dampak negatif turnover yang memengaruhi
efektifitas organisasi, yaitu:
1. Biaya Organisasi (Separation Cost)
Efisiensi organisasi telah terbukti sangat berkorelasi dengan tingkat turnover
yang rendah. Studi yang berhubungan dengan dampak dari turnover
didominasi oleh keprihatinan dengan efektivitas organisasi, yang
didefinisikan sebagai sejauh mana suatu sistem mencapai tujuannya. Dampak
keuangan dari turnover omset dinyatakan dalam istilah moneter. Ada tiga
kategori utama yang harus diperhatikan yang merupakan biaya turnover
karyawan:
a. Biaya Perpisahan
1. Biaya yang digunakan untuk wawancara keluar.
2. Biaya yang berkaitan dengan pemutusan atau perpisahan.
b. Biaya Penggantian (Replacement Cost)
1. Pemasangan iklan lowongan di berbagai media.
2. Biaya interview calon karyawan baru.
c. Pelatihan (Training Cost)
1. Kinerja dan norma yang berlaku.
2. Menyebarluaskan informasi yang relevan untuk sosialisasi
organisasi.
3. Partisipasi dalam kegiatan 0n-the-job training
2. Gangguan Operasional
Terjadi ketika peran pekerjaan memiliki ketergantungan yang tinggi dalam
perusahaan. Hilangnya anggota penting dalam sebuah organisasi dapat
memengaruhi kemampuan anggota yang tersisa lainnya untuk memenuhi
tugas pekerjaan mereka.
3. Demoralisasi Keanggotaan Organisasi
Mengacu pada dampak turnover yang terjadi pada sikap dari anggota yang
tersisa. Jika seseorang memutuskan untuk meninggalkan posisi alternatif
dalam lingkungan eksternal, mungkin akan memicu perasaan reflektif
terhadap anggota yang tersisa.
2.1.5 Kepuasan Kerja (Job Satisfaction)
Salah satu sarana penting pada menejemen sumber daya manusia dalam sebuah
organisasi adalah terciptanya kepuasan kerja lebih banyak daripada produktivitas
karyawan, tingkat absensi karyawan, dan tingkat pergantian karyawan. Hubungan
kepuasan kerja dengan kinerja dapat dikatakan secara singkat bahwa karyawan yang
bahagia adalah karyawan yang produktif. Apabila karyawan merasa lebih puas
dengan pekerjaannya, maka ia akan melaksanakan tugas pada tingkat yang lebih
tinggi dibandingkan dengan karyawan yang kurang puas.

2.1.5.1 Definsisi Kepuasan Kerja


Kepuasan Kerja adalah sebagai orientasi afektif secara keseluruhan pada
bagian dari individu terhadap peran kerja meraka yang berlangsung saat ini
(Kalleberg 1997, dalam Tricia A. Seifert, Paul D. Umbach (2007).
Menurut Sutrisno (2010: 74), kepuasan kerja merupakan suatu sikap karyawan
terhadap pekerjaan yang berhubungan dengan situasi kerja, kerjasama antar
karyawan, imbalan yang diterima dalam kerja, dan hal yang menyangkut faktor fisik
dan psikologis. Penilaian tersebut dapat dilakukan terhadap salah satu pekerjaanya,
penilaian dilakukan sebagai ras menghargai dalam mencapai salah satu nilai-nilai
penting dalam pekerjaan.
Menurut Mathis (2006: 70), kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang
paling positif yang merupakan hasil dari evaluasi pengalaman kerja seseorang.
Ketidakpuasan muncul ketika harapan seseorang tidak dipenuhi.
Menurut Siagian (2006: 295) dalam buku Widodo (2015:170), kepuasan kerja
merupakan suatu cara pandang seseorang, baik yang bersifat positif maupun bersifat
negatif tentang pekerjaannya.

2.1.5.2 Faktor- Faktor Kepuasan Kerja


Widodo (2015:176), membagi kepuasan kerja menjadi lima faktor yang
memengaruhi kepuasan kerja:
1. Pekerjaan itu Sendiri (Work it Self)
Setiap pekerjaan memerlukan suatu ketrampilan tertentu sesuai dengan
bidangnya masing-masing. Sukar tidaknya suatu pekerjaan serta perasaan
seseorang, akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan kerja.
2. Atasan (Supervisor)
Atasan yang baik berarti mau menghargai pekerjaan bawahannya. Bagi
karyawan, atasan bisa dianggap sebagai figur ayah/ibu/teman, sekaligus
atasannya.
3. Temen Sekerja (Workers)
Faktor ini membahas tentang hubungan antara pegawai dengan atasannya
dan pegawai lain, baik yang sama maupun berbeda jenis pekerjaan.
4. Promosi (Promotion)
Merupakan faktor yang berhubungan dengan ada tidaknya kesempatan
untuk memperoleh peningkatan karier selama bekerja.
5. Gaji/Upah (Pay)
Merupakan faktor pemenuhan kebutuhan hidup pegawai yang dianggap
layak atau tidak.
Kepuasan kerja seseorang dapat dipengaruhi oleh ke lima faktor di atas, apabila
seorang karyawan memiliki kepuasan kerja terhadap organisasi dimana dia bekerja,
maka dapat memengaruhi dan mendukung karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan-
pekerjaan yang dibebankan kepada mereka.
Hartatik (2014: 229-231), menyatakan selain lima faktor tersebut, ada aspek-
aspek lain yang ada dalam kepuasan kerja, antara lain:
1. Pekerjaan yang Menantang
Kebanyakan karyawan menyukai pekerjaan yang memberi mereka
kesempatan untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuan, serta
menawarkan tugas, kebebasan, dan umpan balik. karakteristik ini membuat
kerja mereka menantang secara mental.
2. Ganjaran yang Pantas
Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang adil
dan segaris dengan pengharapan mereka. Pemberian upah yang baik
didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat ketrampilan individu, dan
standar pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan menciptakan
kepuasan.
3. Kondisi Kerja yang Mendukung
Karyawan peduli akan lingkungan kerja, baik untuk kenyamanan pribadi
maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas-tugas.
4. Rekan Kerja yang Mendukung
Orang yang mendapatkan lebih daripada sekedar uang atau prestasi yang
berwujud dari kerja mereka. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi
kebutuhan akan sosial.
5. Kesesuaian Kepribadian dengan Pekerjaan
Pada hakikatnya, orang yang tipe kepribadiannya kongruen (sama dan
sebangun) dengan pekerjaan yang mereka pilih, seharusnya mempunyai
kemampuan yang tepat untuk memenuhi tuntutan pekerjaan mereka.

2.1.5.3 Efek Kepuasan Kerja


Menurut Hartatik (2014: 234-235) kepuasan kerja berpengaruh terhadap
beberapa hal, antara lain:
1. Terhadap Produktivitas
Produktivitas yang tinggi menyebabkan peningkatan kepuasan kerja hanya
jika tenaga kerja mempersepsikan bahwa apa yang telah dicapai perusahaan
sesuai dengan apa yang mereka terima, yaitu adil dan wajar, serta
diasosiasikan dengan performa kerja yang unggul. Dengan kata lain,
performansi kerja menunjukkan tingkat kepuasan kerja seseorang, karena
perusahaan dapat mengetahui aspek-aspek pekerjaan dari tingkat keberhasilan
yang diharapkan.
2. Ketidakhadiran (Absenteeism)
Ketidakhadiran bersifat lebih spontan dan kurang mencerminkan
ketidakpuasan kerja. Tidak ada hubungan antara kepuasan kerja dengan
ketidakhadiran. Sebab, ada dua faktor dalam perilaku hadir, yaitu motivasi
dan kemampuan untuk hadir. Di sisi lain, ada pendapat yang menyatakan
bahwa antara kepuasan dan ketidakhadiran menunjukkan kolerasi negatif.
Contohnya perusahaan memberikan cuti sakit atau cuti kerja dengan bebas
tanpa sanksi atau denda, termasuk kepada pekerja yang sangat puas.
3. Keluarnya Pekerja (Turnover)
Keluar dari pekerjaan mempunyai akibat ekonomis yang besar, maka besar
kemungkinannya hal ini berhubungan dengan ketidakpuasan kerja.
Ketidakpuasan kerja dapat diungkapkan dalam berbagai cara, misalnya
meninggalkan pekerjaan, mengeluh, membangkang, mencuri barang milik
perusahaan, menghindari sebagian tanggung jawab pekerjaan mereka, dan
lainnya.
4. Respon Terhadap Ketidakpuasan Kerja
Menurut Robbins (2006), dalam buku Hartatik (2014: 235) ada empat cara
mengungkapkan ketidakpuasan kerja, yaitu:
a. Keluar (Exit)
Meninggalkan pekerjaan dan mencari pekerjaan lain.
b. Menyuarakan (Voice)
Memberikan saran perbaikan dan mendiskusi masalah dengan atasan
untuk memperbaiki kondisi.
c. Mengabaikan (Neglect)
Sikap membiarkan keadaan menjadi lebih buruk, seperti sering absen
atau semakin sering membuat kesalahan.
d. Kesetiaan (Loyalty)
Menunggu secara pasif sampai kondisi menjadi lebih baik, termasuk
tetap membela perusahaan terhadap kritik dari luar.

2.1.5.4 Dimensi dan Indikator Kepuasan Kerja


Menurut Kalleberg (1997) dalam Seifert (2007: 359), menggunakan dua
dimensi dari kepuasan kerja dalam penelitiannya. Dia menemukan dimensi kepuasan
kerja dapat dianggap sebagai baik intrinsik mengacu pada pekerjaan itu sendiri
maupun ekstrinsik mewakili aspek pekerjaan eksternal untuk tugas itu sendiri. Dua
dimensi itu didenifinisikan sebagai berikut:
1. Dimensi Intrinsik:
a. Sejauh mana pekerjaan itu menarik
b. Sejauh mana pekerjaan itu mandiri
c. Hasil pekerjaan yang jelas
2. Dimensi Ekstrinsik:
a. Keamanan
b. Karir
c. Keuangan
d. Kenyamanan
e. Hubungan degan rekan kerja
f. Kecukupan sumber daya
2.1.5.5 Teori Kepuasan Kerja
Menurut Hartatik (2014: 226-228) terdapat beberapa teori kepuasan kerja,
anatara lain:
1. Teori Ketidaksesuaian (Discrepancy Theory)
Teori ini mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih
antara sesuatu yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasa. Sehingga,
apabila kepuasan diperoleh melebihi apa yang diinginkan maka orang akan
menjadi lebih puas lagi, sehingga terjadi ketidaksesuaian yang positif.
2. Teori Keadilan (Equity Theory)
Teori ini mengungkapkan bahwa orang merasa puas atau tidak tergantung
pada ada atau tidaknya keadilan dalam suatu situasi kerja. Menurut teori ini,
komponen utama dalam teori keadilan adalah input, hasil keadilan, dan
ketidakadilan.
3. Teori Dua Faktor (Two Factor Theory)
Menurut teori ini, kepuasan dan ketidakpuasan kerja merupakan hal yang
berbeda. Kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan bukan suatu
variable yang kontinu. Teori ini dikelompokan menjadi dua yaitu satisfies
dan dissatisfies.
a. Satisfies adalah faktor atau situasi yang dibutuhkan sebagai sumber
kepuasan kerja yang terdiri dari pekerjaan menarik, penuh tantangan,
ada kesempatan untuk berprestasi, serta ada kesempatan memperoleh
penghargaan dan promosi.
b. Dissatisfies adalah faktor-faktor yang menjadi sumber
ketidakpuasan, yang berarti dari gaji/upah, pengawasan, hubungan
antarpersonal, kondisi kerja, dan status.
4. Teori Motivasi Hygiene (M-H)
Salah satu teori yang menjelaskan mengenai kepuasan kerja adalah M-H
yang dikembangkan oleh Frederich Herzberg, yang merupakan hubungan
yang positif antara kepuasan kerja dan turnover SDM.

2.2 Kerangka Pemikiran


Kerangka pemikiran berdasarkan tinjauan pustaka maka kerangka pemikiran
penelitian sangat dibutuhkan sebagai alur berpikir sekaligus sebagai landasan
untuk menyusun hipotesis penelitian. Penyusunan kerangka pemikiran juga akan
memudahkan pembaca untuk memahami permasalahan utama yang dikaji dalam
penelitian ini. Secara lengkap kerangka pemikiran dapat dilihat pada gambar berikut:

Kinerja Karyawan (Y1)

Penilaian Kinerja (X) Turnover Intention (Y2)

Kepuasan Kerja (Y3)

Gambar 2.2 Kerangka pemikiran


Sumber: Penulis (2015)

2.3 Hipotesis
Dari kerangka pemikiran dan tinjauan di atas, dapat dirumuskan hipotesis atau
terhadap variable-variable penelitian yang digunakan sebagai berikut.
1. Hipotesis pertama:
Ho : Penilaian Kinerja tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
Kinerja Karyawan.
H1 : Penilaian Kinerja berpengaruh secara signifikan terhadap Kinerja
Karyawan.
2. Hipotesis kedua:
Ho : Penilaian Kinerja tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
Turnover Intention.
H1 : Penilaian Kinerja berpengaruh secara signifikan terhadap Turnover
Intention.
3. Hipotesis ketiga:
Ho : Penilaian Kinerja tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
Kepuasan Kerja.
H1 : Penilaian Kinerja berpengaruh secara signifikan terhadap Kepuasan
Kerja.

Anda mungkin juga menyukai