Buku AJar Infeksi Dan Pediatrik Tropis IDAI
Buku AJar Infeksi Dan Pediatrik Tropis IDAI
1
I' 1
Buku Ajar
!\ 1
!
lnfeksi & Pediatri Tropis
I-
Edisi Kedua
I ,.
Penyun ting
Sumarmo S. Poorwo Soedarmo
Herry Garna
Sri Rezeki S. Hadinegoro
. Hindra Irawan Satari
ISBN: 979-8421-14-0
Sarrrbutan
Ketua Umum Pengurus Pusat
lkatan Dokter Anak lndonesia
Assnlnmualikurn ui~rahmatullahwabarakatuh,
Sejawat Yth,
Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT karena dengan rahmat-Nya buku
ajar Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI ini dapat diterbitkan. Buku ini merupakan hasil karya
anggota Unit Kerja Koordhasi InFeksi dan Pediatri Tropis IDAI dan diharapkan dapat
dipakai sebagai acuan bagi dokter dalam bidang bidang infeksi dan pediatri tropis.
Dalam buku ajar ini dimuat materi-materi yang mengkuti perkembangan ilmu
kedokteran di bidang infeksi pediatri tropis, dituangkan secara singkat tetapi cukup untuk
dapat menangani masalah-masalah penyakit infeksi anak yang lazim dijumpai. Berisi
aspek patogenesis dan teori yang mendasari, langkah-langkah untuk membuat diagnosis
serta penanganan mutakhir yang sesuai dengan mengikuti perkembangan ilmu penyakit
infeksi anak. Materi yang tersaji pun mudah untuk dibaca dan dipahami, dengan berbagai
perbaikan dan tambahan materi-materi dalam edisi pertama.
Dengan terbitnya buku ajar Infeksi dan Pediatrik Tropis, maka UKK Infeksi
dan Pediatri Tropis IDAI turut menambah daftar buku-buku yang sudah diterbitkan
IDAI yang dapat menjadi bahan rujukan sebagai acuan nasional bagi dokter anak di
Indonesia dalam menghadapi masalah kesehatan anak Indonesia. Selain itu, buku ini juga
menambah khazanah keilmuan dalam rangka pendidikan kedokteran berkelanjutan untuk
meningkatkan profesionalisme dalam menghadapi masa yang akan datang.
Atas nama seluruh jajaran Pengurus Pusat IDAI saya menyampaikan selamat dan
penghargaan kepada pengurus UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI yang telah berhasil
menerbitkan buku ajar edisi kedua ini. Diharaukan UKK Infeksi d m Pediatri Troois IDAI di
masa yang akan datang dapat terus menerbitkan beberapa buku yang mengulas penyakit
infeksi sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ilmu kesehatan anak.
Harapan karni mudah-mudahan buku ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan bagi
anak-an& Indonesia.
Sepantasnyalah kami mengucap puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, bahwa unit
Keja Koordinasi Infeksi dan Pediatri Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia (UKK Infeksi &
Pediatri Tropis IDAI) telah berhasil menghimpun karya tulis para staf pengajar dari Pusat
Pendidikan Dokter Spesialis Anak di seluruh Indonesia, dalam bentuk buku ajar. Buku
ajar ini disusun dengan tujuan menyamakan materi pembelajaran bagi dokter spesialis di
seluruh tanah air. Diharapkan buku ajar ini merupakan materi wajib yang harus dikuassi
oleh para calon dokter spesialis anak. Namun dapat juga dipergunakan sebagai bahan ,
acuan dari rnahasiswa Fakultas Kedokteran atau mahasiswa lain yang memerlukan bahan
rujukan.
Mengingat kemajuan ilmu kedokteran khususnya penyakit infeksl anak serta waktu
penyusunan materi buku ajar yang memerlukan waktu cukup lama, kami merasa bahwa
buku ajar ini akan segera rnemerlukan revisi atau penambahan materi dalam waktu dekat.
Untuk ha1 tersebut, editor mengharapkan saran dan kritik dari pembaca untuk kelengkapan
buku ini.
Kepada para kontributor yang telah meluangkan waktu dan aktif dalam penyusunan
buku ajar ini, sebagai ketua UKK Infeksi & Pediatri Tropis IDAI saya mengucapkan terima-
kasih dan penghargaan setinggi-tingginya. Tanpa rasa kebersamaan yang mendalam di
antara para anggota UKK Infeksi & Pediatri Tropis IDAI serta tanggung-jawab kepada
anak didik, mustahil buku ajar ini dapat diterbitkan. Demikian pula kepada para editor
yang telah berupaya menyusun dan mengolah sehingga buku ajar ini layak untuk dibaca
Wassalarnu'alaikum wr.zub.
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas berkah dan karunia-Nya hingga berhasil
terbitnya kembali Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis edisi kedua ini. Habisnya persediaan
buku edisi pertama dalam tempo yang singkat menunjukkan antusias masyarakat yang
meningkat, menunjukkan t i n g p y a minat dan kebutuhan kalangan kedokteran, baik
mahasiswa, perawat, dokter umum maupun dokter spesialis anak terhadap pembelajaran
dan perkembangan ilmu infeksi pediatri tropis yang kian pesat.
Menyadari akan pentingnya ha1 tersebut, maka dalam edisi kedua ini selain revisi
terhadap sebagian besar bab-bab terdahulu dengan referensi-referensi terbaru, kami juga
memasukkan dua bab baru mengenai topik yang sedang berkembang dalam dunia infeksi-
tropis, yakni mengenai SARS dan virus nipah, serta melibatkan penulis-penulis baru.
Walaupun demikian, kami menyadari bahwa edisi kedua ini masihlah jauh dari
sempurna dan dengan demikian kami mohon masukan-masukan, kritik dan saran yang
membangun dari segenap pembaca.
Tak lupa kepada segenap penulis dan pihak-pihak yang sudah bekerja keras demi
terbitnya edisi ini, atas nama UKK Infeksi dan Pediatri Tropis kami ucapkan banyak terima-
kasih. Semoga dengan penerbitan edisi kedua in maka khasanah Ilmu Pediatrik Tropis
akan semakin meresap dan meluas ke seluruh persada Indonesia, dan bermanfaat demi
kemajuan dan kesehatan generasi penerus bangsa.
Prof. DR. Soegeng Soegijanto., Dr., Prof. T.H. Rampengan., Dr., Sp.A(K)
SP.A(K) Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. Universitas Sam Ratulangi, Manado
FK. Universitas Airlangga, Surabaya
Widodo Darmowandoyo., Dr., Sp.A(K)
Soemakto, Dr., Sp.A(K) Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. Universitas Airlangga, Surabaya
FK. Universitas Brawijaya, Malang
Prof. Zarkasih Anwar., Dr., Sp.A(K)
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK. Universitas Sriwijaya, Palembang
vii
Daftar Isi
---.
.
Sambutan Ketua Pengurus Pusat IDA1 .................................................................. iii
Sambutan Kolegium IDA1 ........................................................................................ iv
Kata Pengantar Edisi Pertama ................................................................................. v
Kata Pengantar ........................................................................................................... vi
Daftar Kontributor ..................................................................................................... vii
viii
Penyakit Infeksi Bakteri
27. Difteria ................................................................................................................ 312
28. Tetanus .............................................................................................................. 322
29 . Pertusis ............................................................................................................... 331
30. Demam Tifoid ................................................................................................... 338
31. Infeksi Streptokokus Grup A .......................................................................... 347
32. InfeksiStafilokokus .......................................................................................... 353
33. Sepsis dan Syok Septik ..................................................................................... 358
34. Leptospirosis .................................................................................................... 364
Lain-lain
48. Infeksi Nosokomial ........................................................................................... 478
49. Keracunan Pada Anak ..................................................................................... 497
. 50. Severe Acute Respiratory Syndrome-Coronavirus (SARS-CoV) ....................... 515
Patogenesis Penyakit Infeksi
D
alam istilah biologi umum, bentuk asosiasi antara dua organisme yang berbeda
dapat diklasifikasikan menjadi asoslasi parasitik atau slmbiotik (mutualistik).
Terdapat kategori antara yang disebut komensalisme dimana organisme yang satu
mendapat keuntungan tanpa menirnbulkan kerusakan pada yang lain.
Klaslfikasi seperti diatas dapat diterapkan pada asosiasi antara mikroorganisme dengan
vertebrata. Meksi generalisata seperti campak, tuberkulosis, atau demam tifoid jelas
merupakan contoh bentuk parasitik.
Bakteri yang hidup pada kulit manusia dan beradaptasi secara khusus pada kulit,
sesaat mungkin dianggap sebagai komensal. Mereka menikrnatiperlindungan dan makanan
(lemak, peluh dsb) dan dalam keadaan normal tidak merugkan. Bakteri kulit yang tidak
berbahaya, keberadaannya menghambat pertumbuhan bakteri yang lebih patogen. Sekali
lagi menunjukan keuntungan bagi hospes dan diklasifikasi bersifat simbiotik.
Kemampuan mikroba bermultifikasi jelas sangat penting, mikroba dikatakan mati
atau tidak dapat hidup bila tidak bereflikasi. Yang sama pentingnya adalah kemampuan
menyebar dari hospes ke hospes lain. Pada suatu spesies, penyebarannya mungkin
horisontal, satu individu mengmfeksi individu lain secara kontak, melalui vektor insekta.
- Penyebaran mungkin vertikal pada suatu spesies, orang tua menpfeksi anaknya melalui
sperma, telur, plasenta, air susu ibu atau secara kontak. Jelas bila mikroba tidak menyebar
dari orang keorang, kuman akan mati bersama hospesnya dan tidak dapat lestari di alam.
Hanya sebagian kecil mikroorganisme saja (yang berhubungan dengan manusia) yang
mampu mengakibatkan perubahan patologi atau menyebabkan penyakit.
lnfeksi Oportunistik
Ada suatu konsekuensi penting karena adanya flora mikroba normal. Mikroorganisme
tersebut berada sebagai komensal yang tidak berbahaya, kebutuhan makan dan
bermultiplikasi sudah terpenuhi berkaitan dengan resistensi hospes terhadap invasi dan
kerusakan. Bila pada individu tertentu, keseimbanganini terganggu dan terjadi penurunan
tingkat resistensi, umurnnya bakteri komensal ini yang pertarna memanfaatkannya.
Kerusakan saluran nafas menggangu keseimbangan dan memungkinkan bakteri penghuni
yang biasanya tidak berbahaya; tumbuh dan menyebabkan sinusitis atau pneumonia.
Bakteri'tinja normal menginfeksi saluran kemih bila masuk melalui kateter. Kecendrungan
bakteri komensal memanfaatkan kesempatan bila ada, dan melakukan invasi pada hospes
ini bersifat universal. Karena itu infeksi-infeksitersebut disebut infeksi oportunistik.
Disamping bakteri komensal yang biasa ada patogen oportunistik lain. Misalnya
Pseudomonas aeruginosa, merupakan spesies bakteri yang hidup bebas, kadang-kadang
terdapat dalam saluran usus. Di Rumah Sakit kuman ini sekarang menjadi sumber infeksi
oportunistik utama. Hal ini karena kuman ini resisten terhadap banyak antibiotik baku dan
desinfektan, karena kebutuhan untuk tumbuhnya sangat sederhana, dan karena terdapat
tersebar di lingkungan rumahsakit. Kuman ini dapat bermultifikasi dalam tetes mata,
desinfektan lemah, gabus, dalam reservoar air sekitar kran dan tempat cuci piring, bahkan
dalam vas bunga. Ps. aeruginosa menyebabkaninfeksi terutama pada luka bakar, di saluran
kemih sesudah instrumentasi. Bila resistensi sangat lemah, kuman dapat menyebar secara
farings, mulut dan tenggorok waktu berbicara dan bernafas. Waktu batuk efisiensinya jauh
lebih besar, dan pengeluaran dari tubuh akan terjamin bila terdapat peningkatan sekresi
mukus dan dapat ditimbulkan refleks batuk. Kuman tuberkel dalam paru yang dipindah ke
tenggorok bagian belakang, sebagian besar ditelan dan batuk akan mengeluarkan bakteri
ke udara.
Pengeluaran dari cavum nasi secara efisien tergantung pada peningkatan sekret hidung
dan pada ditimbulkannya gerakan bersin. Pengeluaran bakteri kulit komensal terjadi secara
efektif. Bakteri yang dikeluarkan menempel pada scale kulit yang mengelupas, kecepatan
pengeluarannya sangat tinggi tergantung aktivitas fisik. Debu putih halus yang terkumpul
di Iantai bangsal rumah sakit sebagian besar terdiri dari scales kulit.
Semua rnikroorganisme yang menginfeksi saluran cerna dikeluarkan bersama tinja,
dikeluarkan ke empedu, seperti Salmonella &hi pada karier tifoid, juga terdapat pada
tinja. Mikroorganisme yang ditelan dapat juga berada dalam tinja, tetapi sebagian besar
mikroorganisme tersebut tidak resisten terhadap asam, empedu dan bahan usus lain
sehingga terinaktivasi. Tinja merupakan kontribusi tubuh paling besar pada lingkungan,
dan walaupun hampir semua bersifat komensal tinja merupakan sumber mikroorganisme
yang kurang berbahaya tapi penting. Saat terinfeksi, isi usus sering disegerakan dikeluarkan
dan tinja menjadi cair. Tidak ada ekuivalensi yang tepat dengan bersin, tetapi diare jelas
menyebabkan peningkatan pencemaran lingkungan (oleh tinja)dan penyebaran kepada
individu lain. Pada masyarakat primitif, terdapat daur ulang tinja kembali ke mulut.
Pencemaran makanan, air dan tempat pemukiman memungkinkan ha1 tersebut, dan
efisiensi "gerakan" faeco-oral ini dibuktikan dengan adanya berbagai mikroba dan parasit
yang menyebar dari satu ke individu lain dengan route tsb. Bila mikroorganisme yang
dikeluarkan resisten terhadap kekeringan dan keadaan lingkungan yang lain, kuman
tetap infeksius untuk waktu yang lama. Tanah banyak mengandung spora tetanus, spora
lnvasi Subepitel
Setelah melintasi lapisan sel epitel, mikroorganisme menghadapi membrana basalis.
Membrana basalis ini bekerja sebagai penapis dan agak meng-hentikan infeksi tetapi
integrasinya segera rusak karena inflamasi dan kerusakan sel epitel.
Respons inflamasi
Pembuluh kapiler yang mensuplai suatu jaringan, membawa oksigen dan bahan dengan
berat molekul kecil ke sel, dan mengambil C0 2 dan produk metabolisme dan produk
sekresi. Terdapat juga secara konstan, pasase proteln plasma dan lekosit (hampir semuanya
limfosit) dari kapiler ke jaringan (normal), protein dan lekosit ini kembali ke darah melalui
sistem limfatik setelah memasuki kapiler limfatik. LimFosit ini meninggalkan kapiler darah
secara aktif melewati sel endotel. Setelah berkelana dan melaksanakan tugasnya dalam
jaringan, limfosit menerobos kapiler limfatik danmasuk ke cairan limfe. Cairan limfe dengan
kandungannya berupa protein dan sel, kemudian melewati kelenjar limFe lokal dan pada
umumnya akan melewati paling sedikit satu kelenjar limfe lagi sebelum me masuki duktus
toraksikus dan ke vena dalam toraks dan abdomen. Limfosit darah juga langsung masuk
ke kelenjar limfe dan melalui venula pasca kapiler (dalam jumlah lebih besar). Gerakan
limfosit yang beredar, sebagian besar berkaitan dengan CMI dan di dalam perjalanannya,
limfosit berpeluang bertemu setiap antigen mikroba yang mungkin ada. Terdapat suatu
sistem monitoring yang teratur terhadap jaringan oleh limfosit, immune surveillance.
Berbagai protein plasma timbul di jaringan, jumlahnya sama dengan yang di
plasma, konsentrasi aktualnya tergantung struktur capillary bed. Sebagaimana diukur dari
konsentrasinya dalarn saluran limfe lokal, sinusoid hepar (yang bocor) membiarkan keluar
80-90% protein plasma dsb. Dengan demikian, globulin imun, unsur komplemen dl1 selalu
ada dalam jaringan normal (kadamya lebih rendah dibanding kadamya dalam darah). Ada
diskrirninasi terhadap molekul sangat besar, karena globulin imun terbesar (IgM) tidak
dapat keluar dari pembuluh darah dan tidak terdeteksi dalam saluran limfe aferen.
Segera terjadi perubahan besar dalam sirkulasi-mikro bila terjadi kerusakan jaringan
atau terinfeksi. Pembuluh mengalami dilatasi dan permeabilitasnya meningkat sehingga
timbul kebocoran cairan yang kaya protein dan darah, jumlah imunoglobulin dan protein
lain dalam jaringan meningkat, dan fibrinogen misalnya, dapat berubah menjadi fibrin dan
terjadi jaringan fibril yang Iuas. Endotel vaskular menjadi sticky (kenapa, belum diketahui)
yang memudahkan melekat~~ya leukosit yang beredar, kemudian disusul dengan d~apedesis
(pasase akhf) leukosit melewati endotel, kedalam jaringan. Daerah yang bersangkutan
menunjukkan tanda-tanda inflamasi (merah, hangat karena vasodilatasi, bengkak karena
vasodilatasi dan terjadi eksudasi sel dan cairan, dan nyeri karena keregangan jaringan dan
adanya mediator yang menlmbulkan rasa nyeri)
Sel fagosit
Sel fagosit-spesialis terbagi dalam 2 kelompok utama: Makrofag yang tersebar dalarn semua
kompartemen tubuh yang penting dan neutrofil granulosit yang beredar bolimorf atau
mikrofag). Mikroba dalam jaringan subepitel terpapar pada sel fagosit yakni makrofag lokal
Wstiosit) (juga sel-sel yang datang dari pembuluh darah kecil selama inflamasi).Sel fagosit
ini terdiri dari monosit darah yang menjadi makrofag setelah ekstravasasi dan polimorf.
Sejak Elis Metchnikoff (zoologist Rusia) menjelaskan tentang fago-sitosis pada tahun
1883 telah diterima bahwa fagosit penting dalam pertahanan tubuh terhadap kuman
penyakit, dan bahwa lekosit berfungsi ganda sebagai pemulung dan polisi, membersihkan
debris, partikel asing dan mikroorganisme. Tetapi sejak tahun 1920-an, para peneliti
mengabaikan (peran) fagosit tersebut, setelah penelitian pionir, sangat sedikit tambahan
ilmu baru. Pada tahun-tahun terakhir ini, seperti terjadi penemuan kembali tentang
fagosit sebagai fenomenasentral dan relevan dalam penyakit infeksi. Hal ini menggugah
kembali minat peneliti dan teknologi biokimia, imunologi dan ultrastruktur yang modern,
diterapkan pada topik fagositosis.
Daftar Bacaan
1. Stites DP, Ten: AL, Parslow TG. Medical Immunology; Edisi ke-9. Connecticut: Appleton &
Lange, 1997.
2. Davies, Halablab, Clarke. Infection and Immunity. Edisi pertama. London: Taylor and Francis,
1999.
3. Janeway CA, Travers P, Walport M, Capra JD. Immunobiology: The immune system in Health
and Disease. Edisi ke-4. London: Elsevier Science Ltd. 1999.
4. Leder P. Exploring the biomedical revolution Edisi pertama. Baltimore: Howard Hughes
Medical Institute, 1999.
T
ubuh (manusia) rawan terhadap infeksi oleh berbagai macam mikroorganisme
patogen. Agar dapat menyebabkan infeksi, mula-mula mikroorganisme harus
mengadakan kontak dengan hospes dan kemudian membentuk fokus infeksi.
Mikroorganisme patogen mempunyai pola hidup dan cara patogenesis yang berbeda-
beda, sehingga memerlukan respons pertahanan tubuh yang berbeda-beda pula. Tubuh
mempertahankan diri terhadap infeksi terhadap mikroorganismepatogen melalui beberapa
cara. Fungsi fisiologik sistem imun adalah melindungi tubuh terhadap mikroorganisme
patogen. Evolusi penyakit infeksi pada seseorang melibatkan serangkaian interaksi antara
mikroorganismedengan tubuh antara lain masuknya mikroorganisme,invasi dan kolonisasi
dalam jaringan tubuh, proses hindar dari imunitas tubuh dan proses penyembuhan luka.
Beberapa gambaran urnum tentang imunitas terhadap mikroorganisme, antara lain
adalah
1. Pertahanan tubuh terhadap rnikroorganisme dilakukan oleh imunitas alami (non-
spesifik/bawaan) dan imunitas spesifik (adaptifldidapat)
2. Mikroorganisme yang berbeda merangsang respons (lidosit) yang berbeda pula
3. Survzval dan patogenitas mikroorganisme di dalam tubuh dipengaruhi oleh
kemampuannya menghindu atau melindungi diri dari imunitas tubuh
4. Kerusakan jaringan dan akibat infeksi lebih disebabkan oleh respons tubuh terhadap
mikroorganisme dan produk yang dihasilkan daripada oleh mikroorganisme itu
sendiri.
Beberapa hal perlu diperhatikan sehubungan dengan peran respons imun humoral spesihk
terhadap infeksi virus.
Antibodi hanya efektif pada saat sebelum virus memasuki sel atau mencegah
penyebaran dari sel ke sel
Pada umumnya sangat sulit untuk mentransfer imunitas antiviral ke hewan percobaan
nafve dengan antibodi murni
Kapasitas netralisasi dari antibodi in vitro seringkali korelasinya rendah, bahkan tidak
ada korelasi sama sekali dengan kapasitas protektif in vivo
Daftar Bacaan
1. Davies, Halablab, Clarke dkk. Infection and Immunity. Taylor & Francis Ltd:London 1999.h.1-
32
2. Janeway CA, Travers P, Walport M, Capra JD. The Immune System in Health and Disease.
Dalarn
3. Irnmunobiology. Edisi ke-4. Elsevier Science Ltd/Garland Publishing. 1999. h.362-415
4. Suprapto Ma'at. Ekstrak Phyllanthus nirun' L sebagai imunomodulator pada iideksi anak
Disampaikan pada Forum Komunikasi Ilmiah Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fak. Kedokteran
UNAIR/RSUD Dr Soetomo, Surabaya 2001.h.10-7.
P
ara peneliti beranggapan bahwa masalah demam berawal dari suatu hipotesis yang
menyatakan bahwa demam merupakan suatu proses alamiah yang timbul sebagai
suatu stimulus. Ahli dari Mesir beranggapan bahwa demam diakibatkan oleh
inflamasi lokal. Billroth (1868) menyuntikkan pus pada binatang untuk membuktikan
pendapat tersebut, ternyata demam yang teqadi sebagai akibat adanya endotoksin, yaitu
produk bakteri Gram-negatif yang mengkontaminasi bahan suntikan. Pada tahun 1943,
Menkin melakukan penelitian yang sama dan berhasil mengisolasi bahan penyebab demam
yang disebut pyrexin. Hasil percobaannya juga tercemar oleh endotoksin; karena sifatnya
yang stabil terhadap pemanasan maka disebut sebagai endotoxin-induced fever. Beeson (1948)
menggunakan teknik antiseptik untuk menghindari endotoksin d m berhasil mengisolasi
fever-inducing substance yang berasal dari leukosit pejamu, yang disebut pirogen endogen.
Selanjutnya, Gery dan Waksman berhasil mengidentifikasi Interleukin-1 (IL-1) dikenal
sebagai sitokin yang terbukti identik dengan pirogen endogen.
Definisi
Demam (pireksia)adalah keadaarisuhu tubuh di atas normal sebagai akibatpeningkatanpusat
pengatur suhu di hipotalamus yang dipengaruhi oleh IL-1. Pengaturan suhu pada keadaan
sehat atau demam merupakan keseimbangan antara produksi dan pelepasan panas.
Hipertermia adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diatur, disebabkan
ketidakseimbanganantara produksi dan pembatasan panas. Interleukin-1pada keadaan ini
tidak terlibat, oleh karena itu pusat pengaturan suhu di hipotalamus berada dalam keadaan
normal.
Pirogen adalah suatu zat yang menyebabkan demam, terdapat dua jenis pirogen yaitu
pirogen eksogen dan endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh dan berkemampuan
untuk merangsang IL-1, sedangkan pirogen endogen berasal dari dalam tubuh dan
mempunyai kemampuan untuk merangsang demam dengan mempengaruhi pusat
pengaturan suhu di hipotalamus. Interleukin-1, tumor necrosis factor (TNF), dan interferon
(INF)adalah pirogen endogen.
Pirogen Eksogen
Pirogen eksogen biasanya merangsang demam dalam 2 jam setelah terpapar. Umumnya,
pirogen berinteraksi dengan sel fagosit, makrofag atau monosit, untuk merangsang
sintesis IL-1. Mekanisme lain yang mungkin berperan sebagai pirogen eksogen (misalnya
endotoksin) bekerja langsung pada hipotalamus untuk mengubah pengatur suhu. Radiasi,
racun DDT, dan racun kalajengking dapat pula menghasilkan demam dengan efek langsung
pada hipotalamus.
Pirogen Mikrobial
Bakteri Gram-negatif
Pirogenitas bakteri Gram-negatif (misalnya Escherichi coli, Salmonela) disebabkan adanya
lzeat-stable factor yaitu endoktosin, suatu pirogen eksogen yang pertama kali ditemukan.
Komponen aktif endotoksin berupa lapisan luar bakteri yaitu lipopolisakarida. Endotoksin
menyebabkan peningkatan suhu yang progresif tergantung dari dosis (dose-related).
Endotoksin Gram-negatif tidak selalu merangsang terjadinya demam; pada bayi dan anak
infeksi Gram-negatif akan mengalami hipotermia. .
Bakteri Gram-positif
Pirogen utama bakteri Gram-positif (misalnya Stafilokokus) adalah peptidoglikan dinding
sel. Per unit berat, endotoksin lebih aktif daripada peptidoglikan. Hal ini menerangkan
perbedaan prognosis lebih buruk berhubungan dengan infeksi bak<eri Gram-negatif.
Mekanisme yang bertanggung jawab terjadinya demam yang disebabkan infeksi
pneumokokus diduga proses imunologik. Penyakit yang melibatkan produksi eksotokin
oleh basil Gram-positif pada umumnya demam yang ditimbulkan tidak begitu tinggi
dibandingkan dengan Gram-positif piogenik atau bakteri Gram-negatif lainnya.
Virus
Telah diketahui secara klinis bahwa virus menyebabkan demam. Pada tahun 1958,
dibuktikan adanya pirogen yang beredar dalam serum kelinci yang mengalami demam
setelah disuntik virus mfluenza. Mekanisme virus memproduksi demam antara lain
dengan cara melakukan invasi langsung kedalam makrofag, reaksi imunologik terhadap
komponen virus termasuk di antaranya pembentukan antibodi, induksi oleh interferon,
dan nekrosis sel akibat virus.
Jamur
Produk jamur baik mati maupun hidup memproduksi pirogen eksogen yang akan
merangsang terjadinya demam. Demam umumnya timbul ketika mikroba berada dalam
peredaran darah. Anak yang menderita penyakit keganasan (misalnya leukemia) disertai
demam yang berhubungkan dengan neutropenia mempunyai risiko tinggi untuk terserang
infeksi jamur invasif.
Kompleks Antigen-antibodi
Demam yang disebabkan oleh reaksi hipersensitif dapat timbul baik sebagai akibat reaksi
antigen terhadap antibodi yang beredar, yang tersensitisasi(immunefzver) atau oleh antigen
yang diaktivasi sel-T untuk memproduksi limfokin, yang sebaliknya akan merangsang
monosit dan makrofag untuk melepas IL-1. Contoh demam yang disebabkan oleh
immunologically mediated di antaranya lupus eritematosus sistemik dan reaksi obat yang
berat. Demam yang berhubungan dengan hipersensitif terhadap penisilin lebih mungkin
disebabkan oleh akibat interaksi kompleks antigen-antibodi dengan leukosit dibandingkan
dengan pelepasan IL-1.
Steroid
Steroid tertentu bersifat pirogenik bagi manusia. Ethiocholanolon d m metabolik androgen
diketahui sebagai perangsang pelepasan IL-1. Ethiocholanolon memproduksi demam hanya
bila disuntikkan secara intramuskular (bukan intravena), maka diduga demam tersebut
diakibatkan oleh pelepasan IL-1 oleh jaringan subkutis pada tempat suntikan. Steroid
ini diduga bertanggung jawab terhadap tejadinya demam pada pasien dengan sindrom
adrenogenital dan demam yang tidak diketahui penyebabnya (fmer of unknmn origin).
Sistem Monosit-Makrofag
Sel mononuklear bertanggung jawab terhadap produksi IL-1 dan tejadinya demam.
Granulosit polimorfonuklear tidak lagi diduga sebagai penanggung jawab dalam
memproduksi IL-1 oleh karena demam dapat tirnbul dalam keadaan agranulositosis. Sel
. mononuklear selain merupakan monosit yang beredar dalam darah perifer juga tersebar
dalam organ seperti paru (makrofag alveolar), nodus lirnfatik, plasenta, ruang peritoneum,
dan jaringan subkutan. Monosit dan makrofag berasal dari granulocyte-monocyte colony-
forming unit (GM-CFU)dalam sumsum tulang, kemudian memasuki peredaran darah untuk
tinggal beberapa hari sebagai monosit yang beredar atau bermigrasi kedalam jaringan yang
akan berubah fungsi dan morfologi menjadi makrofag yang berumur beberapa bulan. Sel-sel
ini berperan penting dalam pertahanan tubuh termasuk di antaranya merusak d m engulfing
mikroba, mengenal antigen dan mempresentasikannya untuk menempel pada lirnfosit,
aktivasi limfosit-T, dan desatruksi sel tumor (Tabel1). Keadaan yang berhubungan dengan
perubahan fungsi sistem monosit-makrofag di antaranya bayi baru lahir, kortikosteroid
dan terapi imunosupresi lain, lupus eritematosus sistemik, sindrom Wiskott-Aldrich, dan
penyakit granulomatosus kronik. Dua produk utama monosit-makrofag adalah JL-1 dan
TNF.
Respons inflamasi
' I \ Proteolisis otot
Stimulasi kolagenase dan prostaglandin E2
Interferon (INF)
Interferon dikenal oleh karena kemampuan untuk merintangi replikasi virus di dalam
sel yang terinfeksi. Berbeda dengan K-1 dan TNF, INF diproduksi oleh limfosit-T yang
teraktivasi. Terdapat tiga jenis molekul yang berbeda dalam aktivitas biologik dan urutan
asam aminonya, yaitu INF-alfa, beta, dan gama. Interferon-alfa dan beta diproduksi oleh
hampir semua sel (seperti leukosit, fibroblas, dan makrofag) sebagai respons terhadap
infeksi virus, sedang sintesis INF-gama dibatasi oleh limfosit-T. Meski fungsi sel limfosit-T
neonatus normal sama efektifnya dengan dewasa, INF (khususnya INF-gama) fungsinya
belum memadai, diduga menyebabkan makin beratnya infeksi virus pada bayi baru lahir
Interferon-gama dikenal sebagai penginduksi makrofag yang poten dan menstimulasi
sel-B untuk meningkatkan produksi antibodi. Fungsi IFN-gama sebagai pirogen endogen
dapat secara tidak langsung pada makrofag untuk melepas IL-1 (macrophage-acttvating
factor) atau secara langsung pada pusat pengatur suhu di hipotalamus. Interferon mungkin
mempengaruhi aktivitas antivirus dan sitolitik TNF, serta meningkatkan efisiensi sel NK
Aktivitas antivirus disebabkan penyesuaian sistem INF dengan berbagai jalur biokimia
yang mempunyai efek antivirus dan bereaksi pada berbagai fase siklus replikasi virus.
Interferon juga memperlihatkan aktivitas antitumor baik secara langsung dengan cara
mencegah pembelahan sel melalui pemanjangan jalur siklus multiplikasi sel atau secara
tidak langsung dengan mengubah respons imun. Aktivitas antivirus dan antitumor INF
terpengaruhi oleh meningkatnya suhu. Interleukin-4 (K-4), yang menginduksi sintesis
imunoglobulin igE dan IgG4 oleh sel polimorfonuklear, tonsil, atau sel limpa manusia
sehat dan pasien alergi, dihalangi oleh INF-gama dan INF-alfa, berarti limfokin ini beraksi
sebagai antagonis IL-4.
Interferon melalui kemampuan b i l o w y a , dapat digunakan sebagai obat pada
berbagai penyakit. Interferon-alfa semakin sering dipakai dalam pengobatan berbagai
infeksi virus, seperti hepatitis B, C, d m delta. Efek toksik preparat INF di antaranya,
demam, rasa dingin, nyeri sendi, nyeri otot, nyeri kepala yang berat, somnolen, dan
Interleukin-2 (11-2)
Interleukin-2 merupakan lidokin penting yang kedua (setelah INF) yang dilepas oleh
limfosit-T yang teraktivitasi sebagai respons stimulasi IL-1. Interleukin-2 mempunyai efek
penting pada perturnbuhan dan fungsi sel-T, sel NK, dan sel-8. Telah dilaporkan adanya
kasus defisiensi imun kongenitalberat disertai dengan efek penting pada pertumbuhan dan
fungsi sel-T, sel NK, dan sel 8. Telah dilaporkan adanya kasus defisiensi imun kongental
berat disertai dengan defek spesifik produksi IL-2. Interleukin-2memperlihatkan sitotoksik
antitumor (terhadap melanoma p j a l , usus besar, dan paru) sebagai hasil aktivasi spesifik
sel NK (lymphokine-activated killer cells atau LAK) yang memiliki aktivitas sitotoksik
terhadap proliferasi sel tumor. Uji klinis dengan IL-2 sedang dilakukan saat ini pada
tumor tertentu pada anak. Respons neuroblastoma tampaknya cukup baik terhadap terapi
imun dengan IL-2. Sayangnya terapi imun IL-2 dapat menyebabkan defek kemotaksis
neutrofil yang reversibel, diikuti peningkatan kerentanan terhadap ~nfeksipada pasien
yang menerimanya. Efek samping lainnya di antaranya lemah badan, demam, anoreksia,
dan nyeri otot. Gejala ini dapat dikontrol dengan parasetamol. Interleukin-2 menstirnulasi
pelepasan sitkokin lain, seperti IL-I, TNF, dan INF-alfa, yang akan menginduksi aktivitas
sel endotel, mendahului bocornya pembuluh darah, sehingga dapat menyebabkan edema
paru dan retensi cairan yang hebat. Penyakit yang berhubungan dengan defisiensi IL-2 di
antaranya lupus eritematosus sistemik, diabetes melitus, luka bakar berat, dan beberapa
bentuk keganasan.
Produksi Panas
Pada keadaan istirahat, berbagai organ seperti otak, otot, hati, jantung tiroid, pankreas,
dan kelenjar adrenal berperan dalam menghasilkan panas pada tingkat sel yang
melibatkan adenosin trifosfat (All'). Bayi baru lahir menghasilkan panas pada jaringan
lemak coklat (non-shivering themzogenesis) yang terletak terutama di leher dan daerah
skapula. Jaringan ini kaya akan pembuluh darah dan mempunyai banyak mitokondria
sehingga dapat meningkatkan produksi panas sampai dua kali lipat. Dewasa dan anak
besar mempertahankan panas dengan vasokonstriksi dan memproduksi panas dengan
+
vasokonstriksi dan memproduksi panas dengan menggigil sebagai respons terhadap
selesma atau kenaikan suhu tubuh. Aliran darah yang diatur oleh susunan saraf memegang
peranan penting dalam mendistribusikan panas dalam tubuh. Pada lingkungan panas atau
bila suhu tubuh meningkat, pusat pengatm suhu di hipotalamus mempengaruhi serabut
eferen dari sistem saraf autonom untuk melebarkan pembuluh darah. Peningkatan aliran
darah di kulit menyebabkan pelepasan panas dari pusat tubuh melalui permukaan kulit ke
sekitarnya dalam bentuk keringat. Di lain pihak, pada lingkungan dingin, penurunan aliran
peredaran darah di kulit (vasokonstriksi)akan mempertahankan suhu tubuh. Hipertermia
maligna adalah suatu keadaan patalogs, ditandai adanya peningkatan produksi panas
yang tidak terkendali.
Pelepasan Panas
Tubuh melepaskan panas melalui empat cara, yaitu radiasi, penguapan, konveksi, atau
konduksi. Kegagalan dalam melepas panas dianggap sebagai penyebab heat stroke, yang
sering menyebabkan kematian. Secara umum, enarn puluh persen panas dilepas secara
radiasi, yaitu transfer dari permukaan kulit melalui permukaan luar dengan gelombang
elektromagnet. Seperempat bagian lainnya dilepas melalui penguapan dari kulit dan paru,
dalam bentuk air yang diubah dari bentuk cair menjadi gas, 243 kj (58 kkal) dilepaskan
untuk setiap 100 mL air. Konveksi adalah pemindahan panas melalui pengerakan udara atau
cairan yang menyelimuti permukaan kulit, sedangkan konduksi adalah pemindahan panas
antara dua objek secara langsung pada suhu berbeda. Dibandingkan dengan posisi berdiri,
anak pada posisi tidur dengan permukaan kontak yang lebih luas akan melepas panas lebih
banyak melalui konduksi. Faktor fisik jelas akan mempengaruhi kemampuan respons
perubahan suhu. Pelepasan panas pada bayi sebagian besar disebabkan oleh permukaan
tubuhnya yang lebih luas daripada anak besar. Kegagalan pelepasan panas tejadi pada
displasia ektodermal anhidrotik dan kelebihan dosis penggunaan obat antikolonergik.
Arteri pulmonalis
Suhu tubuh yang dianggap paling mendekati suhu yang terukur oleh thermostat di
Esofagus
Suhu esofagus dianggap suhu yang mendekati suhu inti karena dekat dengan arteri
yang membawa darah dari jantung ke otak, dan lebih tidak invasif dibandingkan dengan
pengukuran suhu arteri pulmonalis. Namun suhu esofagus tidak sama di sepanjang
esofagus. Pada esofagus bagian atas dipengaruhi udara trakeal sedangkan bagian 113
bawah paralel dengan suhu aliran darah arteri pulmonalis.
Kandung kemih
Kandung kemih merupakan tempat lain yag digunakan untuk pengukuran suhu tubuh,
karena diasumsikan bahwa urin merupakan hasil filtrasi darah yang ekivalen dengan 20%
curah jantung dan merefleksikan suhu rata-rata aliran darah yang melalui ginjal pada
satuan waktu tertentu. Namun tingkat keakuratan pengukuran suhu sangat tergantung +
dari jurnlah urin yang keluar.
Rektal
Suhu rektal dianggap sebagai baku emas dalam pengukuran suhu karena bersifat praktis dan
akurat dalam estimasi rutin suhu tubuh. Namun demikian ditemukan beberapa kelemahan.
Benzinger dkk. menyatakan pada rektum tidak ditemukan sistem termoregulasi. Suhu
rektal lebih tinggi dibandingkan tempat lain (arteri pulmonalis), ha1 ini mungkin akibat
aktivitas metabolik bakteri feses. Suhu rektal berubah sangat lambat dibandingkan dengan
p e n m a n suhu inti, sehingga tidak dapat dipakai sebagai salah satu alat untuk deteksi
hipoperfusi seperti pada keadaan syok. Nilai suhu rektal. dipengaruhi oleh kedalaman
insersi termometer, kondisi aliran darah, dan adaltidaknya feses. Selain itu terdapat risiko
perforasi rektal dan infeksi nosokomial.
Oral
Pengukuran oral lebih disukai karena kemudahan dalam teknik pengukurannya, demikian
juga dengan responsnya terhadap perubahan suhu inti tubuh. Suhu sublingual cukup
relevan secara klinis karena arteri utamanya merupakan cabang arteri karotid eksterna dan
mempunyai respons yang cepat terhadap perubahan suhu inti. Beberapa kelemahannya
yaitu:
Memerlukan kerjasama yang baik dengan pasien sehingga tidak dapat dilakukan pada
anak kecil, penderita dengan intubasi, dan lain-lain
Sangat dipengaruhi suhu makanan/minuman dan merokok
Pengaruh takipnea terhadap suhu oral masih kontroversi
Membran timpani
Teoritis membran timpani merupakan tempat yang ideal untuk pengukuran suhu inti
karena terdapat arteri yang berhubungan dengan pusat termoregulasi. Termoneter
membran timpani saat ini menggunakan metode infrared radiation emitted detectors (IRED).
Menurut penelitian Chamberlain, Terndrup, dan Childs metode ini cukup akurat dalam
mengestimasi suhu inti. Walaupun dari segi kenyamanan cukup baik, pengukuran suhu
membran timpani hingga saat ini jarang dipergunakan karena variasi nilai suhu yang
berkorelasi dengan suhu oral atau rektal cukup besar.
a
darah, urin,lcs, sputum
- patogen penyebab
- kepekaan I pola
n
-9
Modifikasi antibiotik
- spektrum sempit
- sesuaikan cara pemberian
I Perkiraan 1
- resistensi
Uji
Tatalaksana Demam
Antipiretik bekerja secara sentral menurunkan pusat pengatur suhu di hipotalamus secara
difusi dari plasma ke susunan saraf pusat. Keadaan ini tercapai dengan menghambat
siklooksigenase, enzim yang berperan pada sintesis prostaglandin. Meski beberapa jenis
prostaglandin dapat menginduksi demam. PGE, merupakan mediator demam terpenting.
Penurunan pusat suhu akan diikuti respons fisiologi termasuk penurunan produksi panas,
peningkatan aliran darah ke kulit, serta peningkatan pelepasan panas melalui kulit dengan
radiasi, konveksi, dan penguapan. Sebagian besar antipiretik dan obat antiinflamasi
nonsteroid menghambat efek PGE2 pada reseptor nyeri, permeabilitas kapiler dan
sirkulasi, migrasi leukosit, sehingga mengurangi tanda klasik inflamasi. Protaglandin juga
mengakibatkan bronkoditalasidan mempunyai efek penting pada saluran cerna dan medula
adrenal. Oleh karena itu, efek samping biasanya berupa spasme bronkus, peredaran saluran
cema, d m penurunan fungsi ginjal. Antipiretik tidak mengurangi suhu tubuh sampai
normal, tidak mengurangi lama episode demam, atau mempengaruhi suhu normal tubuh.
Efektivitas dalam menurunkan demam tergantung pada derajat demam (makin tinggi
suhunya, makin besar penurunannya), daya absorpsi, dan dosis antipiretik. Pembentukan
pirogen atau mekanisme pelepasan panas seperti berkeringat tidak dipengaruhi secara
langsung.
Pemberian terapi simtomatik pada demam hingga saat ini masih diperdebatkan. Ada
pendapat yang menyatakan bahwa demam tidak perlu diterapi sedangkan pendapat lain
menyatakan perlu terapi pada demam.
Demam berbahaya karena dapat Kecuali hipertemia, demam diatur oleh hipotalamus dan tidak akan
mengakibatkan kerusakan susunan meningkat secara drastis
saraf pusat
Menentramkan kegelisahan Waktu lebih baik dipakai untuk penyuluhan orangtua mengenai
orangtua manfaat demam daripada menulis resep antipiretik.
Risiko kejang demam Antipiretik mungkin tidak melindungi terhadap terjadinya kejang
demam, karena kecepatan naiknya suhu lebih penting daripada
tingginya suhu dalam proses terjadinya kejang demam.
kantuk, dan delirium digunakan untuk reaksi yang bermanfaat seperti pembentukan
antibodi.
Demam dapat mempunyai pola karakteristik yang bermanfaat
untuk menegakkan diagnosis. Antipiretik dapat mempengaruhi pola
tersebut, demikian pula pemberian antibodi.
Demam dapat mengakibatkan Antipiretik mempunyai efek samping yang kadang-kadang berakibat
dehidrasi fatal.
Demam melindungi terhadap lnfeksi dan antipiretik dapat
menghalangi seperti supresi respons antibodi serum
antipiretik. Kenaikan suhu tubuh seringkali terlalu cepat untuk diatasi antipiretik dalam
mencegah terjadinya kejang demam, atau tidak jarang seorang anak mengalami kejang
sebelum orangtuanya sadar bahwa anaknya menderita demam. Meskipun demikian,
sebagian besar orangtua anak dengan riwayat kejang demam sangat mengharapkan
pemberian antipiretik oleh dokter. Banyak para ahli beranggapan demam yang moderat
merupakan respons yang bermanfaat terhadap infeksi.
Klasifikasi Antipiretik
Obat antipiretik dapat dikelompokkan dalam empat golongan, yaitu para arninofenol
(parasetamol), devirat asam propionat (ibuprofen dan naproksen), salisilat (aspirin,
salisilamid), dan asam asetik (indometasin).
Parasetamol (Asetaminofen)
Parasetamol merupakan metabolit aktif asetanilid dan fenasetin. Saat ini parasetamol
merupakan antipiretik yang biasa dipakai sebagai antipiretik dan analgesik dalam
pengobatan demam pada anak. Keuntungannya, terdapat dalam sediaan sirup atau eliksir
dan supositoria. Cara terakhir ini merupakan cara altematif bila obat tidak dapat diberikan
per oral, misal anak muntah, menolak pemberian cairan, mengantuk, atau tidak sadar.
Beberapa penelitian menunjukkan efektivitas yang setara antara parasetamol oral dan
supositoria. Dengan dosis yang sama daya terapeutik antipiretiknya setara dengan aspirin,
hanya parasetamol tidak mempunyai daya antiinflamasi, oleh karena itu tidak digunakan
pada penyakit jaringan ikat seperti artritis reumatoid. Parasetamol juga efektif menurunkan
suhu dan efek samping lain yang berasal dari pengobatan dengan sitokin, seperti interferon
dan pada pasien keganasan yang menderita infeksi. Dosis yang biasa dipakai terlihat pada
Tabel 3, dosis 5 mg/kgBB tidak akan menurunkan suhu, tetapi dosis yang tidak memadai
Keracunan parasetamol jarang terjadi pada anak, kejadian fatal di bawah usia 13 tahun
hampir tidak pernah dilaporkan. Toksisitas terjadi apabila anak makan meleb* dosis
rekomendasi yaitu lebih dari 10-15 mg/kgBB. Penggunaan kotak obat yang tidak mudah
Ibuprofen
Ibuprofen adalah suatu derivat asam propionat yang mempunyai kemampuan antipiretik,
analgesik, dan antiinflamasi. Seperti antipiretik lain dan NSAID (non steroid anti
inj7ammatoy drug),ibuprofen beraksi dengan memblok sintesis PGE, melalui penghambatan
siklooksigenase. Sejak tahun 1984 satu-satunya NSAID yang direkomendasikan sebagai
antipiretik di Amerika Serikat adalah ibuprofen, sedangkan di Inggris sejak tahun 1990.
Obat ini diserap dengan baik oleh saluran cema, mencapai puncak konsentrasi serum dalam
1 jam. Kadar efek maksimal untuk antipiretik (sekitar10 mg/L) dapat dicapai dengan dosis
5 mg/kgBB, yang akan menurunkan suhu tubuh 2°C selama 3-4 jam. Dosis 10 mg/kgBB/
h a ~ i d i l ~ ~ o r lebih
k a n poten dan mempunyai efek supresi demam lebih lama dibandingkan
dengan dosis setara parasetamol. Awitan antipiretik tampak lebih dini dan efek lebih besar
pada bayi daripada anak yang lebih tua. Ibuprofen merupakan obat antipiretik kedua yang
paling
- - banyak dipakai setelah parasetamol oleh karena sifat efikasi antipiretiknya,tersedia
dalam sediaan si;up dan keamanan serta tolerabilitasnya.
Aspirin sampai dengan tahun 1980 merupakan antipiretik-analgetik yang luas dipakai
dalam bidang kesehatan anak. Di Arnerika Serikat pangsa pasar salisilat mencapai 70%
sedangkan parasetamol hanya mencapai30%,di Inggris kecenderungannya terbalik. Dalam
penelitian perbandingan antara aspirin dan parasetamol dengan dosis setara terbukti
kedua kelompok mempunyai efektivitas antipiretik yang sama tetapi aspirin lebih efektif
sebagai analgesik. Setelah dilaporkan adanya hubungan antara sindrom Reye dan aspirin,
kadar salisilat dalam darah sekitar 20-30 mg/dL. Oleh karena akhir-akhirini dilaporkan
adanya sindrom Reye pada kasus artritis reumatoid yang mendapat aspirin, maka
aspirin tidak lagi dipakai pada pengobatan artritis reumatoid.
3. firomboxane A, merupakan vasokonstriktor poten dan sebagai platelet aggregation
agent yang terbentuk dari asam arakidonat melalui siklus siklooksigenase. Aspirin
menghambat siklooksigenase sehingga mempunyai aktivitas antitrombosit dan
fibrinolitik dalam dosis rendah, direkomendasikan bagi anak dengan penyakit
Kawasaki, penyakit jantung bawaan sianotik, dan penyakit jantung koroner dewasa.
Penelitian terakhir menyatakan dosis rendah aspirin (60 mg/hari) diberikan mulai
kehamilan 12 minggu pada ibu dengan hipertensi yang diinduksi kehamilan, ternyata
mempunyai manfaat memperpanjang masa gestasi serta meningkatkan berat badan bayi
yang dilahirkannya.
Efek Samping
Efek samping yang timbul pada kadar salisilat darah <20 mg/100 mL, umumnya dianggap
sebagai efek samping; sedangkan gejala yang timbul pada kadar yang lebih tinggi disebut
keracunan.Gambaran yang saling tumpah tindih timbul di antara kedua kelompok tersebut.
Efek samping berasal dari efek langsung terhadap berbagai organ atau menghambat sintesis
prostaglandin pada organ-organ terkena.
I Keracunan Aspirin
I
Pada anak besar gambaran klinis menunjukan alkalosis respiratorik, sedangkan pada anak
yang lebih muda fase alkalosis respiratorik terjadi singkat dan ketika anak tiba di rumah
sakit sudah terjadi asidosis metabolik bercampur dengan alkalosis respirkatorik. Pada
bayi atau keracunan salisilat berat, keseimbangan asam-basa sangat terganggu ditandai
dengan penurunan pH (dapat kurang dari 7,O). Alkalosis respiratorik menunjukkan adanya
keracunan ringan atau tanda awal keracuan berat. Pemeriksaan laboraturium yang harus
dilakukan adalah: darah perifer lengkap, kadar salisilat, gula dalam darah, enzim hati, waktu
protrombin, analisis gas darah, bikarbonat serum, ureum dan elektrolit, benda keton, dan
osmolaritas serum. Pemeriksaan win, untuk melihat hasil pH, mikroskopis, elektrolit, dan
aseton. Pemantauan EKG harus pula dilakukan. Uji feri klorida berguna untuk menemukan
adanya salisilat dalam urin (perubahan warna dari merah lembayung menjadi ungu).
Dernarn:Potogenesisdon Pengobaton
Antipiretik Lain 1
1. hdometasin tidak digunakan sebagai antipiretik pada anak oleh karena ketersediaan
obat-obat lain yang efek sampingnya lebih rendah. Reaksi samping indometasin
berupa gejala gastrointestinal dan susunan saraf pusat, seperti sakit kepala, pusing, dan
I
i
bingung. Obat ini lebih efektif untuk mengobati demarn pada anak dengan keganasan, i
setara dengan naproksen.
2. Dipiron adalah derivat lain pirazolon, berbeda dengan parasetamol, efek toksisitasnya ,
lebih tinggi, terutama agranulositosis sehingga tidak diperbolehkan beredar di pasar
Amerika sejak tahun 1997. obat ini tidak direkomendasikan lagi untuk digunakan pada
anak.
3. Salisilamid saat ini sudah jarang digunakan sebagai antipiretik. Dibandingkan dengan
parasetamol atau aspirin efektivitasnya lebih rendah.
4. Aminopirin pernah digunakan secara luas di dunia sebagai antipiretik tetapi tidak
dipakai lagi oleh oleh karena toksisitasnya terutama agranulositosis.
5. Nirnesulid adalah suatu NSAID (non-steroid anti inflammatory drug) baru dengan
aktivitas antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik. Dosis 5 mg/kgBB/hari dibagi dalam +
3 dosis.
6. Klorpromazin menurunkan suatu tubuh melalui efek sentral melalui hipotalamus dan
efek perifer (vasodilatasi). Teknik surface cooling mempunyai efek potensiasi dengan
klorpromazin yang berakibat hipoterrnia dan hipotensi postural.
Antipiretik Steroid
Steroid mempunyai efek antipiretik, pasien yang mendapat pengobatan steroid jangka
panjang akan mengalami penurunan demam atau bebas demam dalam respons terhadap
infeksi, seperti sepsis. Umumnya penekanan demarn berlagsung sampai 3 hari setelah
penghentian steroid. Efek antipiretik disebabkan pengurangan produksi Interleukin-1
(IL-1) oleh makrofag (menyebabkan terhambatnya respons fase akut proses infeksi yang
sedang berjalan), supresi aktivitas lunfosit dan respons inflamasi lokal, serta menghambat
pelepasan prostaglandin.
Pengobatan Fisik
Selain pengobatan dengan antipiretik, metode fisik di bawah ini direkomendasikan untuk
menurunkan demam: seperti tirah baring, total body surface cooling, sponging, dan cool or ice
water enema.
Tirah Baring
Sejak seribu tahun lalu, aktivitas fisik dianggap dapat meningkatkan demam. Penelitian
saat ini memperlihatkan aktivitas normal anak tidak cukup untuk menaikkan suhu tubuh.
Banyak dokter spesialis anak melihat bahwa anak yang tidak beristirahat sama cepat
sembuhnya dengan anak yang istirahat di tempat tidur. Oleh karena itu, metode lama
Mc Cathy membuat Yale observation scale untuk membantu evaluasi anak umur 3-36
bulan yang sangat berisiko terhadap meningitis atau kondisi serius lainnya. Kalau penilaian .
ini tidak terlalu akurat dalam mengindentifikasianak dengan penyakit berat bila digunakan
secara tunggal, maka diperlukan sehingga perlu penunjang lainnya.
Penelitian Broadhurst seperti yang dikutip Rothrock mendapatkan: bila dalam
penilaian total skor <11 terdapat kemungkinan sebanyak 3% untuk mendapat infeksi
berat, sedangkan untuk total skor antara 11-15 terdapat kemungkinan sebesar 26% untuk
mendapatkan infeksi berat, dan bila total skor > 15 terdapat kemungkinan sebanyak
92% mendapatkan infeksi berat. Penelitian terakhir menyatakan anak dengan meningitis
mempunyai nilai tengah Yale observation scale sebesar 18, untuk anak dengan demam tanpa
penyakit berat adalah sebesar 7-8.
Skala ini terdiri dari enam kriteria berupa: evaluasi cara menangis, reaksi terhadap
orangtua, variasi keadaan, respons sosial, wama kulit, dan status hidrasi. Masing-masing
item diberi nilai1 (normal), 3 (moderat), dan 5 (berat).
Tabel 7 The Yale Observation Scale
Pengamatan Normal (I) Gangguan ringan (3) Gangguan berat (5)
Kualitas tangisan Kuat atau senang Merengeklterisak Lemah atau mengiking
Simulasi orangtua Tangis segera berhentil . Tangisan hilang timbul Terus menangis atau
tidak menangis menangis bertambah keras
Variasi keadaan Bila bangun tetap terbangun Mata segera menutup lalu Terus tertidur atau tidak
atau bila tidur distimulasi terbangun atau terbangun terstimulasi
akan segera bangun dengan simulasi yang lama
Warna kulit Merah muda Ekstremitas pucat Pucat
Hidrasi Kulit, mata normal. Membran mukosa kering Turgor kulit buruk
membran mukosa basah
Respons terhadap Senyum atau alert Segera tersenyum atau Tidak tersenyum tampak
kontak sosial (<2 bln) segera alert (<2 bulan) cemas, bodoh, kurang
berekspresi
Sumber : Rothrock 1999
D
emam atau peningkatan suhu tubuh merupakan marufestasi mum penyakit
infeksi, namun dapat juga disebabkan oleh penyakit non-infeksi ataupun keadaan
fisiologis, misalnya setelah latihan fisik atau apabila kita berada di lingkungan yang
sangat panas. Penyebab demam adakalanya sulit ditemukan, sehingga tidak jarang pasien
sembuh tanpa diketahui penyebab penyakitnya. Untuk mencari penyebab demam tanpa
kausa jelas ini di-perlukan pendekatan secara sistematik.
Definisi
Demam didefinisikan sebagai keadaan kenaikan suhu tubuh. Batas kenaikan suhu adalah
100°F (37,PC) bila diukur secara oral atau di atas 101°F (38,4"C) pada pengukuran di rektal.
Suhu tubuh normal pada anak berkisar antara 36,l-37,PC (97-100°F) atau (37" f 1-1,5)"C.
- Kepustakaan lain membatasi demam menurut tempat pengukuran yaitu pada pengukuran
rektal batas suhu normal sampai 38°C (100,4"F),oral 37,6"C (99,7"F),aksila 37,2"C (99°F) atau
aksila 37°C dan rektal37,2-37,5"C. Dikenal variasi diurnal pada tubuh, yaitu suhu terendah
di pagi hari pukul02.00-06.00 sebelum bangun tidur dan suhu tertinggi di sore hari pukul
17.00-19.00, perbedaan kedua waktu pengukuran dapat mencapai 1°C (1,8"F), fluktuasi
ini lebih besar pada anak daripada orang dewasa terutama selama episod demam. Lorin
membatasi suhu tub& normal tertinggi 38,5"C (101°F) pada pengukuran rektal di sore hari
atau setelah berolah raga. Dengan demikian untuk menetapkan seorang anak menderita
demam atau tidak harus diperhatikan kondisi pengukuran, waktu dan di bagian tubuh
mana suhu tubuh tersebut diukur.
Hiperpireksia didefhsikan seb&ai kenaikan suhu tubuh 41°C atau lebih. Keadaan
ini sering dihubungkan dengan infeksi berat, kerusakan hipotalamus atau perdarahan
SSP dan memerlukan terapi. Sedangkan demam tanpa kausa jelas atau fever of unknown
origin (FUO) adalah kedaan temperatur tubuh minimal 37,8-38°C terus menerus untuk
periode waktu paling sedikit selama 3 rninggu tanpa diketahui sebabnya setelah dilakukan
pemeriksaan medis lengkap. Lorin dan Feigin mendefinisikan, demam tanpa kausa jelas i
I
I
sebagai timbulnya demam 8 hari atau lebih pada anak setelah dilakukan anamnesis dengan I
teliti dan cermat, sedangkan pada pemeriksaan fisik serta pemeriksaan laboratorium awal, I
tidak ditemukan penyebab demam tersebut. Sedangkan Bherman membatasi demaln berke-
1
!
panjangan pada anak sebagai demam yang menetap lebih dari 7-10 hari tanpa diketahui I
sebabnya. Kepustakaan lain membatasi demam berke-panjangan pada anak sebagai (1)
Riwayat demam lebih dari 1 minggu, (2) Demam tercatat selama perawatan di rumah sakit.,
(3) Tidak ditemukan diagnosis setelah dicari penyebabnya selama 1 minggu di rumah sakit.
Etiologi
-
Penyakit yang paling sering menyebabkan demam tanpa kausa jelas pada anak, ialah
penyakit infeksi (50%)diikuti penyakit vaskular-kolagen (15%),neoplasma (7%),inflamasi
usus besar (4%)dan penyakit lain (12%).Penyakit infeksi meliputi sindrom virus, infeksi
saluran nafas atas, saluran nafas bawah, traktus urinarius, gastrointestinal, osteomielitis,
infeksi susunan saraf pusat, tuberkulosis, bakteremia, endokarditis bakterialis subakut,
mononukleosis, abses, bruselosis, dan malaria, sedangkan penyakit vaskular-kolagen
meliputi artritis reumatoid, SLE dan vaskulitis. Keganasan yang sering menimbulkan
demam tanpa kausa jelas adalah leukemia, limfoma dan neuroblastoma. Bannister dkk
mengelompokkan penyebab demam berkepanjangan dalam 6 kelompok, yaitu infeksi (45-
55%), keganasan (12-20%),gangguan jaringan ikat (10-15%),gangguan hipersensitivitas,
kelainan metabolik yang jarang terjadi, danfactitiousfever.
Patogenesis Demam
Demam ditimbulkan oleh senyawa yang dinamakan pirogen. Dikenal dua jenis pirogen,
yaitu pirogen eksogen dan endogen. Pirogen eksogen merupakan senyawa yang berasal
dari luar tubuh pejamu dan sebagian besar terdiri dari produk rnikroba, toksin atau rnikroba
itu sendiri. Bakteri Gram negatif memproduksi pirogen eksogen berupa polisakarida yang
disebut pula sebagai endotoksin. Bakteri Gram-positif tertentu dapat pula memproduksi
pirogen eksogen berupa polipeptida yang dinamakan ekso-toksin. Pirogen eksogen
menginduksi pelepasansenyawa di dalam tubuh pejamu yang dinamakan pirogen endogen.
Pirogen endogen tersebut diproduksi oleh berbagai jenis sel di dalam tubuh pejamu terutama
sel monosit dan makrofag. Senyawa yang tergolong pirogen endogen ialah sitokin, seperti
interleukin (interleukin-lP, interleukin-1, interleukin-6), tumor nekrosis faktor (TNF-a,
TNF-P) dan interferon.
Pirogen endogen yang dihasilkan oleh sel monosit, makrofag dan sel tertentu lainnya
secara langsung atau denganperantaraanpembuluhlimfemasuksistemsirkulasi dandibawa
ke hipotalamus. Di dalam pusat pengendalian suhu tubuh pirogen endogen menimbulkan
perubahan metabolik, antara lain sintesis prostaglandin E, (PGE,) yang mempengaruhi
pusat pengendalian suhu tubuh sehingga set polnt untuk suhu tersebut ditingkatkan untuk
suatu suhu tubuh yang lebih tinggi. Pusat ini kemudian mengirimkan impuls ke pusat
produksi panas untuk meningkatkan aktivitasnya dan ke pusat pelepasan panas untuk
mengurangi aktivitasnya sehingga suhu tubuh meningkat atau teqadi demam.
Pendekatan Diagnosis
Secara klasik, memberikan beberapa pedoman penting dalarn menghadapi demarn
berkepanjangan pada anak, yaitu :
1. Pada umumnya anak yang menderita demam tanpa kausa jelas tidak menderita
penyakit yang jarang tejadi, tetapi penyakit yang biasa dijumpai yang mempunyai
manifestasi Minis yang a-tipik (tidak khas, tidak lazirn)
Anamnesis
Anamnesis perlu dilakukan selengkap dan seteliti mungkin serta berulang kali dalam
beberapa hari oleh karena seringkali pasien atau orangtua mengingat suatu ha1 yang
sebelumnya lupa diberitahukannya.
1. Umur
Umur harus diperhatikan, oleh karena pada anak di bawah 6 tahun sering menderita
infeksi saluran kemih (ISK), infeksi lokal (abses, osteomielitis) dan juvenile rheumatoid
arthritis (JRA).Sedangkan anak yang lebih besar sering menderita tuberkulosis, radang
usus besar, penyakit auto-imun dan keganasan
2. Karakteristik demarn
Karakteristik demarn (saat timbul, lama dan polaltipe) dan gejala non-spesifik seperti
anoreksia, rasa lelah, menggigl, nyeri kepala, nyeri perut ringan dapat membantu
diagnosis. Pola demam dapat membantu diagnosis, demam intermiten terdapat
pada infeksi piogenik, tuberkulosis, limfoma dan JRA, sedangkan demam yang terus
menerus dapat terjadi pada demam tifoid. Demam yang relaps dijurnpai pada malaria,
rat-bitefever, infeksi borelia dan keganasan. Demam yang rekurens lebih dari satu tahun
lamanya mengarah pada kelainan metabolik, SSP atau kelainan pada pusat pengontrol
temperatur dan defisiensi imun
3. Data epidemiologi
Riwayat kontak dengan binatang (anjing, kucing, burung, tikus) atau pergi ke daerah
tertentu perlu ditanyakan, demikian pula latar belakang genetik pasien perlu diketahui
serta terpapamya pasien dengan obat (salisilism).
Pemeriksaan Fisis
Pada kasus FUO diperlukan pemeriksaan fisis lengkap, kadang-kadang diperlukan
pemeriksaan khusus pada bagian tubuh tertentu. Sumber demam mungkin terlihat dengan
melakukan palpasi pada sendi yang bengkak. Pemeriksaan fisis tidak hanya pada hari
pertama, tetapi sebaiknya diulang sampai diagnosis dapat ditegakkan. Pembesaran kelenjar
getah bening regional dapat timbul akibat proses infeksi lokal, sedangkan pembesaran
kelenjar getah bening umum mungkin disebabkan infeksi sistemik meliputi keganasan dan
berbagai proses inflamasi.
Laboratoriurn
Pemeriksaan laboratorium sebagai salah satu penunjang untuk menegakkan penyebab
demam sangat diperlukan. Sebaiknya dilakukan secara bertahap dan tidak serentak.
Luasnya pemeriksaan laboratorium hams disesuaikan dengan derajat penyakit pasien.
Tahapan pemeriksaan laboratorium demam tanpa kausa jelas tertera pada Tabel 2.
Bila anak tampak sakit berat, diagnosis harus dilakukan dengan cepat; tetapi bila
penyakit lebih kronik pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan secara bertahap.
Pemeriksaan awal dan rutin meliputi darah tepi lengkap termasuk hitung jenis, trombosit,
Tabel 3. Diagnosis Akhir Demam Tanpa Kausa Jelas Setelah Dua Minggu Pemeriksaan
Penulis Jumlah lnfeksi Penyakit Neoplasms Miscellaneous Tidak
kasus kolagen terdiagnosis
Mc lung 99 29 11 8 19 32
Pizzo 100 52 20 6 10 12
Mc Carthy dkk 54 18 . 11 7 8 10
Jumlah 253 99 (39%) 42 (17%) 21 (8%) 37 (15%) 54 (21%)
Pengobatan
Risiko Terapi Percobaan
Menurut pendapat umum, sebaiknya terapi percobaan tidak boleh diberikan pada saat
sedang mencari penyebab demam tanpa kausa jelas. Pendapat ini berdasarkan bahwa obat
yang diberikan akan mempersulit pemeriksaan lebih lanjut, kadang-kadang dapat sangat
mengganggu. Beberapa antibiotik seringkali menyebabkan reaksi hipersensitivitas yang
berakibat menimbulkan demam, timbulnya ruam kulit, kelainan darah atau kadangkala
Daftar Bacaan
1. Andreoli TE, Carpenter CCJ, Plum F, Smith LH. Cecil essentials of medicine; edisi ke-2.
Philadelphia: WB Saunders Company,1990.h.551-63.
2. Bannister BA, Begg NT, Gillespie SH. Pyrexia of unknown origin. Oxford, Blackwell Science,
1996.h.414-27.
3. Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan 111VC. Nelson textbook of pediatrics; edisi
ke-14. Philadelphia: WB Saunders Company, 1992.h.647-54.
4. BhermanS. Prolong fever of unknownorigin.Pediatric decision making; edisi ke-2. Philadelphia:
BC Decker Inc, 1991.h.10-11.
5. Black JB, Grossman M. Fever infants and young children. Dalam: Rudolph AM (penyunting).
Rudolph's pediatrics; edisi ke-19. America: Prentice-Hall International Inc, 1991.h.545-50.
6. Chusid MJ. Fever. Dalam: Wedgwood RJ, DavisSD, Ray CG, KeUey VC (penyunting). Infections
in children; edisi ke-2. Philadelphea: Harper & Row 1984.h.228-34.
7. Darwis D. Hiperpireksi. Dalam: Hassan R, Kasirn YA, Markum HAM (penyunting).
Penatalaksanaan kegawatan pediatric; Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
1981.h.120-7.
8. Davis AT, Phair JF'. Pengatwan suhu, patogenesis demam dan pendekatan terhadap penderita
demarn. Dalam: Shulman ST, Phair I T',Sommers HM (penyunting).Dasar biologis dan klinis
penyakit infeksi; edisi ke-4. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994.h.624.
9. Jacobs RA, Jawetz E, Grossrnan M. Intruction to infectious disease. Dalam: Schrueder SA, Kryp
MA, Tierney LM, Phee SJ (penyunting).Current medical diagnosis and treatment; edisi ke-30.
America: Prentice-Hall International Inc, 1991.h.9224.
10. Linakis JG, Lovejoy FH. Antipyretics. Dalam: Yaffe SJ, Aranda JV (penyunting). Pediatrics
pharmacology; edisi ke-2. Philadelphia: WB Saunders Company, 1992.h.35-44.
11. Lorin MI. Fever : pathogenesis'and treatment. Dalam: Feigin RD, Cherry JD (penyunting).
Textbook of pediatric infectious disease; edisi ke-3. Philadelphia:Saunders, 1992.h.148-52.
12. Lorin MI, Feigin RD. Fever of unknown origin. Dalam: Feigin RD, Cherry JD (penyunting).
Textbook of pediatric infectious disease; edisi ke-3. Philadelphia: Sanders, 1992.h.1012-22.
13. Markurn AH, Aminullah A, Abdoerachman H, Budjang RF, Madiyono B. Kegawatan pada
anak; edisi ke-1. Jakarta:IKA-FKUI, 1981.h.1-7.
14. Miller ML, Szer L, Yogev R, Bernstein B. Fever of unknown origin. Pediatr Clin North Am 1995;
42:999-1015.
15. Radhi AS, Carroll JE. Fever in pediatric practice; edisi ke-1. London: Blackwell Scientific
Publications, 1994.h.15-236.
16. Strickland GT. Hunter's tropical medicine; edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Company,
1984.h.945-52.
s ejak terjadinya kejadian luar biasa infeksi nosokomial pada tahun 1960-an, Centers
or Disease Control and Preuention (CDC) mulai menyusun kebijakan isolasi pasien
penyakit menular di rumah sakit. Rekomendasi pertama CDC "Isolation techniques
for use i n hospitals" yang diterbitkan pada tahun 1970, membagi cara isolasi dalam tujuh
kategori berdasarkan cara penularan epidemiologik. Penggunaan tujuh kategori yang
dipantau mengakibatkan terjadinya pengisolasian yang tidak diperlukan atau berlebihan,
sehingga terjadilah beberapa kali revisi. Pada tahun 1985 diperkenakan urnversa1 precaution,
yang dibuat untuk mengurangi risiko transmisi patogen yang ditularkan melalui darah
dan cairan tubuh, yang diterapkan pada pasien yang diketahui atau dicurigai terinfeksi
kuman yang menular melalui darah. Pada tahun 1987 diperkenalkan body substance isolation
(BSI) yang dibuat untuk mengurangi risiko transmisi patogen melalui cairan tubuh. BSI
difokuskan terhadap cairan tubuh yang berpotensi menyebarkan infeksi seperti darah,
feses, win, sputum, saliva, cairan luka, dan cairan tubuh lain dari semua pasien tanpa
memandang status infeksinya.
Pada tahun 1996 CDC menerbitkan pedoman isolasi terbaru (Isolation Precaution)
yang terdiri dari dua lapis kewaspadaan, yaitu: (1) Standard precaution dan (2) Additional
(transmission-based) precaution. Transmisi infeksi di fasilitas kesehatan dapat dicegah dan
dikontroI melalui aplikasi kewaspadaan kontrol infeksi dasar yang dikelompokkan menjadi
standard precaution, yang hams diaplikasikan setiap saat terhadap semua pasien, tanpa
memandang diagnosis atau status infeksi, dan additional (transmission-based) precaution yang
khusus ditujukan kepada cara transmisi (udara, droplet, dan kontak).
Standard precaution merupakan ha1 pokok dalam universal precaution (tindakan
pencegahan terhadap darah dan cairan tubuh, yang dibuat untuk mengurangi risiko
transmisi patogen yang dapat ditularkan melalui darah) dan body substance isolation (dibuat
untuk mengurangi risiko transmisi patogen melalui cairan tubuh), serta diaplikasikan
pada semua pasien yang dirawat di rumah sakit, tanpa memandang diagnosis atau status
infeksinya. Standard precaution diaplikasikan terhadap: (1) darah; (2) semua cairan tubuh,
sekresi, dan ekskresi kecuali keringat, tanpa memandang apakah mengandung darah
atau tidak; (3) kulit yang tidak utuh; dan (4) membran mukosa. Standar ini dibuat untuk
mengurangi risiko transmisi mikroorganisme penyebab infeksi di rumah sakit, baik dari
sumber yang dikenali ataupun tidak. Additional (transmission-based) precaution khusus
ditujukan kepada cara transmisi penyakit, apakah melalui udara, droplet, ataupun kontak.
Standard Precaution
57
b) Cuci tangan antiseptik/dekontaminasi
o Menghilangkan atau membasmi rnikroorganisme transien dan memberikan efek
jangka panjang. Dapat dilakukan dengan cara:
i. Cuci tangan dan lengan bawah dengan sabun antimikroba dan air selama 15-
30 detik.
ii. Dekontaminasi tangan dengan antiseptik tanpa air, yaitu gel berbahan dasar
alkohol selama 15-30 detik. Cara ini dapat digunakan untuk membersihkan
kotoran yang tidak mengandung protein atau lemak.
o Mencelupkan tangan pada wadah yang mengandung antiseptik tidak
direkomendasikan.
c) Cuci tangan persiapan operasi
o Antiseptik tangan untuk persiapan operasi dapat menghilangkanatau membunuh
mikroorganisme yang berefek dalam jangka panjang. Tangan dan lengan bawah
dicuci menggunakan sabun antiseptik selama minimal 2-3 menit. Tangan
kemudian dikeringkan dengan handuk steril.
o Antiseptik tangan persiapan operasi diperlukan sebelum melakukan tindakan
invasif.
Standard.Precaution
10. Buang tisu atau letakkan handuk di tempatnya tanpa menyentuhnya.
11. Gunakan tisu atau siku untuk mematikan kran untuk mencegah kontaminasi.
Hair cover
Eye wear (goggles)
Mask
Gown
Apron
Shoe coven
Sarung tangan
Tata cara pemakaian sarung tangan adalah sebagai berikut:
Gunakan sarung tangan (bersih, nonsteril)saat menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi,
dan ekskresi.
Ganti sarung tangan saat kontak dengan pasien yang berbeda.
Ganti sarung tangan antara tiap prosedur pada satu pasien, untuk mencegah
kontaminasi silang antar bagian tubuh yang berbeda.
Lepas sarung tangan segera setelah digunakan dan sebelum mendatangi pasien yang
lain.
Cuci tangan segera setelah melepas sarung tangan.
Gunakan sabun biasa atau htimikroba, atau cairan antiseptik.
= Sarung tangan sekali pakai jangan digunakan ulang, harus dibuang sesuai protokol
tempat pelayanan kesehatan.
Masker
Tata cara penggunaan masker adalah sebagai berikut:
Gunakan masker untuk melindungi membran mukosa mulut dan hidung saat
melakukan prosedur yang mungkin memercikkan darah, cairan tubuh, sekresi, atau
ekskresi.
Gunakan masker operasi, karena didisain untuk menahan cairan.
Jangan ulangi penggunaan masker sekali pakai. Buang berdasarkan protokol fasilitas
pelayanan kesehatan.
Standard Precaution
Pelindung mata/kacamata/pelindung wajah
Gunakan pelindung mata atau kacamata atau pelindung wajah untuk melindungi
membran mukosa mata saat melakukan tindakan yang mungkin terpercik oleh darah,
cairan tubuh, sekresi, atau ekskresi.
Jika sekali pakai, buang dengan tepat, jika dapat dipakai ulang, bersihkan sesuai
instruksi pabrik.
-
Gaun dan apron
Gunakan gaun (bersih, nonsteril) untuk melindungi kulit dan mencegah pakaian
menjadi kotor saat melakukan tindakan yang mungkin terpercik darah, cairan tubuh,
sekresi, atau ekskresi. Lebih disukai gaun yang tidak menyerap air.
Lepaskan sesegera mungkin gaun yang kotor atau basah.
Apron plastik dapat digunakan di atas gaun untuk melindungi dari paparan darah,
cairan tubuh, sekresi dan ekskresi.
Cuci gaun d m apron dengan tepat jika dapat digunakan ulang berdasarkan petunjuk
rumah sakit.
* Jangan menggunakan ulang gaun dan apron sekali pakai, melainkan harus dibuang
berdasarkan protokol fasilitas pelayanan kesehatan.
Topilbootslpenutup sepatu
Gunakan topi dan boots jika terdapat kemungkinan darah, cairan tubuh, sekresi, atau
ekskresi pasien memercik ke rambut atau sepatu.
Jangan pakai ulang topi sekali pakai. Buang berdasarkan protokol fasilitas pelayanan
kesehatan.
Bersihkan boots yang dapat digunakan kembali.
Buang penutup sepatu setelah digunakan berdasarkan protokol fasilitas pelayanan
kesehatan.
Kain
Tmgani, pindahkan, dan proses kain yang telah digunakan dan terkotori oleh darah,
cairan tubuh, sekresi, atau ekskresi dengan hati-hati untuk memastikan tidak adanya
kebocoran cairan.
5. Pengelolaan Lingkungan
Lingkungan yang bersih berperan penting dalam mencegah infeksi nosokomial. Diperlukan
disain khusus untuk area perawatan pasien, ruang operasi, kualitas udara, sumber air, dan
laundri. Gedung rumah sakit harus didisain dan direncanakan memibkk
o Sumber air yang adekuat dan aman, yang dibersihkan dengan tepat,
o Area ruang rawat yang memadai,
o Jarak antar tempat tidur yang memadai (1-2 meter),
o Ventilasi yang adekuat untuk ruang isolasi dan area risiko tinggi, seperti ruang operasi,
unit transplantasi, ruang perawatan intensif, d m lain-lain,
o Fasilitas isolasi untuk infeksi yang menular melalui udara, droplet, dan kontak,
o Pengaturan arus lalu lintas yang dapat merninimalisasi paparan pasien risiko tinggi
dan fasilitas transpor pasien,
o Mencegah paparan pasien terhadap spora jamur selama renovasi; pencegahan dan
pengontrolan terhadap tikus, hama, dan vektor-vektor lain,
o Fasilitas pengelolaan sampah.
Pembersihan lingkungan secara teratur penting untuk memastikan rumah sakit
bersih dan bebas debu. Area perawatan pasien harus dibersihkan dengan kain basah, tidak
diperkenankan menyapu dalam keadaan kering. Dapat ditarnbahkan cairan pembersih dan
menggunakan air panas (80°C) yang sangat berguna dan efektif sebagai pembersih.
o Area yang terkontaminasi darah atau cairan tubuh harus segera dibersihkan.
o Ruang isolasi dan area lain yang merniliki pasien yang memungkinkan penularan
infeksi dibersihkan degan cairan pembersih/dismfektan sekurang-kurangnya sekali
sehari.
o Seluruh permukaan horizontal dan toilet harus dibersihkan setiap hari.
Standard Precaution
I
Pengambilan dari tempat-tempat sampah
Pemisahan
Pisahkan sampah medis (infeksius) dengan sampah nonmedis pada tempat yang berbeda.
Pengurnpulan
Pemindahan
Pindahkan sampah-sampah dengan troli khusus
Penyimpanan
Simpansampahdi tempat khusus denganakses terbatas.Sirnpansampah tajam dalamwadah
khusus yang terbuat dari logam atau plastik bertutup, dan diberi logo biohazard
Penanganan yang tepat
= Pembuangan akhir I
Airborne precaution
Alrborne precaution dibuat untuk mengurang.1 transmsi penyakit melalui udara. Transmisi
udara tejadi saat inti droplet (droplet yang menguap), yang berukuran <5 mikron menyebar
di udara. Inti droplet ini dapat tetap berada dl udara dalam waktu yang lama. Inti droplet
merupakan residu droplet dan saat berada di udara akan mengering dan memiliki ukuran
1-5 rnikron. Parhkel-partikel ini tetap melayang-layang di udara. Penyakit yang dapat
disebarkan melalui cara ini adalah TB paru, campak, varisela, dan pneumonia.
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah:
Terapkan standard precaukon.
Tempatkan pasien pada ruangan tersendiri dengan tekanan udara negatif. Udara harus
disaring sebelum bersirkulasi ke area lain.
= Jaga pintu tetap tertutup.
Semua yang rnasuk harus menggunakan masker khusus yang memilik~tingkat filtrasi
tinggi (masker N 95).
Batasi pergerakan dan perpindahan pasien hanya untuk tujuan yang mendasar. Jika
diperlukan transpor, batasi penyebaran inti droplet dengan memakaikan masker
kepada pasien.
Penting untuk mermnta bagian pemeliharaan agar menjaga tekanan udara dl dalam
ruangan tersebut tetap negabf.
Droplet precaution
Penyakit yang dapat ditularkan melalui droplet adalah pneumonia, pertusis, difteria,
influenza tipe B, parotitis, dan meningitis. Penularan melalui droplet terjadi jika ada kontak
Contact precaution
Penyakit yang dapat ditularkan melalui cara ini adalah kolonisasi atau infeksi oleh
organisme yang resisten terhadap bermacam-macam antibiotik. Tindakan pencegahan
yang dapat dilakukan adalah
Terapkan standard precaution.
Tempatkan pasien di ruang tersendiri (atau bersama dengan pasien lain dengan
penyakit yang sarna).
Kenakan sarung tangan bersih, nonsteril saat memasuki ruangan.
Gunakan gaun bersih, nonsteril saat memasuki ruangan dan jika berkontak dengan
pasien, atau lingkungan sekitarnya.
Batasi perpindahan pasien, kecuali bila sangat diperlukan.
Kesimpulan
Transmisi infeksi pada fasilitas pelayanan kesehatan dapat dicegah dan dikendalikan
melalui aplikasi pencegahan dan pengendalian infeksi melalui standard precaution yang
harus diaplikasikan setiap saat pada semua pasien tanpa melihat diagnosis atau status
mfeksinya dan additional (transmission-based) precaution yang berbeda-beda berdasarkan
jenis penularan penyakitnya.
Daftar Bacaan
1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman pengendalian infeksi nosokomial ch rumah sakit. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI;2001.
2. Garner JS. Guidelines for isolation precautions in hospitals. Atlanta: Hospital infection control
advisory committee;1996.
3. WHO. Prevention of hospital-acquired infections. A practical guide. Edisi ke-2. Malta: WHO;
2002.
4. WHO. Practical guidelines for infection control in health care facilities. WHO; 2003.
5. CDC. Guideline for infection control in health care personnel. Atlanta: CDC; 1998.
6. CDC. Guidelines for environmental infection control in health-care facdities. Atlanta: CDC;
2003.
7. Mayhal CG. Hospital epidemiology and infection control. Edisi ke-3. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2004.
Sfandard Precoufion
65
Pemakaian Antimikroba
di Bidang Pediatri
D
alam memilih antimikroba untuk pasien anak, diperlukan pemahaman 1
farmakologi klinis obat yang akan dipergunakan. Farmakologi klinis obat j
mengupas farmakodinamik obat yaitu interaksi antara pejamu dengan obat, dan [
farmakokinetiknya mengenai pengetahuan bagaimana cara tubuh pejamu mengamankan 1
pengaruh obat tersebut. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dosis, cara pemberian, dan ,
indikasi pengobatan antimikroba: apakah sebagai pengobatan awal (pengdbatan empiris),
pengobatan definitif (berdasarkan hasil biakan) atau untuk pencegahan @rofilaksis).
Terdapat beberapa dasar perbedaan anak dengan orang dewasa pada penggunaan
antimikroba. Sebagai contoh, volume distribusi beberapa jenis obat lebih besar pada anak
daripada dewasa sehingga elirninasi waktu paruhnya pun lebih lama. Demikian pula daya
ekskresi dan elimmasi obat pada anak lebih tinggi daripada dewasa. Sebaliknya daya
ekskresi dan eliminasi pada neonatus rendah seiring dengan maturasi organ yang berperan
pada metabolisme obat. Oleh sebab itu, saat ini Food and Drug Administration (FDA)dan I
National Institute of Health (NIH)di Amerika Serikat telah memutuskan untuk melakukan uji
klinis fase I terlebih dulu pada obat baru yang akan diberikan pada anak.
karena itu agak sulit mencari hubungan antara umur biologk dengan perubahan disposisi
obat pada anak. Keadaan fisiologis anak akan mendekati dewasa setelah anak berumur 2-3
tahun, maka keadaan ini akan berpengaruh pada daya absorbsi, distribusi, metabolisme, ,
dan ekskresi obat.
Absorbsi
Dari sejak usia neonatus sampai adolesens dapat dijumpai berbagai faktor yang
mempengaruhi daya absorbsi obat. Faktor-faktor yang berpengaruh pada daya absorbsi
obat adalah pH lambung, daya pengosongan lambung, perfusi gastrointestinal dan luas
permukaan saluran gastrointestinal. Setelah usia 3 tahun ekskresi asam lambung per
kilogram berat badan sama dengan ekskresi pada dewasa, sedangkan daya pengosongan
lambung pada neonatus lebih rendah daripada dewasa. Belum diketahui dengan jelas kapan
seorang anak mempunyai daya pengosongan lambung sama dengan orang dewasa.
Pemberian obat oral akan diserap baik melalui proses difusi pasif maupun melalui
mekanisme transport aktif. Dalam suatu studi dijumpai daya penyerapan sulfonamid,
fenobarbital dan digoksin lebih rendah pada neonatus dibandingkan pada anak besar,
walaupun demikian jumlah obat yang diserap tidak tergantung dari umur.
Distribusi
Segera setelah obat diabsorbsi dan disebarkan ke beberapa bagian tubuh, obat tersebut akan
diikat oleh protein plasma atau akan tetap berada dalam sirkulasi sampai diekskresi oleh p j a l .
Obat yang larut di dalam darah akan didistribusikan dengan bebas ke dalam cairan tubuh,
sedangkan obat yang larut di dalarn lemak akan didistribusikan ke dalarn jaringan lemak.
Mengmgat ha1 tersebut di atas, maka maturitas daya ikat protein plasma, jumlah cairan tubuh,
jumlah lemak tubuh dan daya ikat jaringan, mempengaruhi htribusi obat dalam tub& Jumlah
dan komposisi protein plasma berubah sesuai dengan perubahan umur. Kadar albumin baik
pada neonatus maupun dewasa sama-sama tinggi, walaupun demikian pada neonatus terdapat
perbedaan afinitas berbagai obat terhadap albumin. Jumlah cairan tubuh terhadap berat badan
bayi kecil lebih tinggi bila dibandingkan dengan orang dewasa, berturut-turut 80-90%dan 55-
60%,sedangkan jumlah lemak terhadap berat badan pada anak rendah sekitar10-15%.
Metabolisme
Biometabolisme terjadi antara absorbsi di dalam sirkulasi dan saat ekskresi. Dikenal
2 fase metabolisme obat, fase pertama adalah mengubah obat menjadi lebih polar yaitu
menginaktifkanhasil metabolit atau mengubah aktivitasnya. Bila obat tersebut cukup polar
maka akan mudah diekskresi, tetapi bila tidak maka memerlukan fase kedua. Fase kedua
adalah proses konjugasi dan reaksi sintesis melalui ikatan antara gugus fungsional obat (-
OH, NH2, -SH)dengan asam glukoronat, asam sulfur, asam asetat, dan asarn amino. Setelah
. melalui proses konjugasi tersebut obat menjadi lebih polar dan mudah diekskresi. Dalam
kenyataannya fase kedua dapat terjadi mendahului fase pertama.
Setiap jaringan (saluran cerna, paru, kulit, ghjal) dapat melakukan metabolisme
obat, tetapi hati merupakan salah satu organ yang terpenting. Oleh karena itu, jumlah
dan aktivitas enzim, maturitas ko-faktor enzirn dan maturitas organ tubuh terutama hati,
mempengaruhi metabolisme obat pada neonatus.
Metabolismeobat juga dapat dipengaruhi oleh faktor Iain yaitu faktor genetik misalnya
gangguan enzim, faktor non-genetik yaitu jenis kelamin, umur, fungsi hati, suhu badan,
nutrisi dan pencemaran lingkungan seperti asap rokok atau peptisida.
Ekskresi
Secara umum metabolisme dan ekskresi obat oleh ginjal pada neonatus belum sempurna.
Perubahan biotransformasi dan ekskresi melalui ginjal berjalan sesuai dengan maturitas
PernokoionAntirnikroba di BidongPediatri
67
janin, sehingga perubahan ini tergantung pada masa gestasi. Kemampuan metabolisme
dan ekskresi obat pada anak besar lebih sempuma, tercermin dari fungsi ginjal dan klirens
ginjal pada anak besar dan dewasa hampir sama. Walaupun demikian pada beberapa
penyakit, fungsi gmjal harus diperiksa terlebih dahulu sebelum pemberian obat antimikroba
tertentu.
Untuk mengetahui kadar obat di dalam darah perlu diketahui klirens obat dalam
tubuh. Ginjal dan hati merupakan dua organ pembersih dalam tubuh, yang akan
mengekskresi hasil metabolit obat setelah obat menjadi non-polar dan terkonjugasi. Klirens
p j a l tergantung dari aliran darah yang melalui ginjal, protein pengikat obat dalam plasma,
dan fungsi nefron untuk membersihkan komponen obat. Sedangkan untuk klirens hati
diperlukan aliran darah ke hati yang optimal, protein pengikat obat dalam plasma, dan
enzim untuk metabolisme obat tersebut.
Pemilihan Antimikroba
Antimikroba untuk pengobatan penyakit infeksi pada pasien anak dapat diklasifikasikan
dalam 4 golongan, yaitu penisilin dengan derivatnya, sefalosporin, aminoglikosidaa,
dan antimikroba lain termasuk kloramfenikol, makrolid (eritromisin dan derivatnya),
kotrimoksazol, metronidazol, dan lain-lain. Golongan penisilin sangat luas dipergunakan
dalam bidang pediatri untuk berbagai derajat infeksi. Untuk pengobatan infeksi berat
pada umumnya dipergunakan golongan penisilin, sefalosporin dan aminoglikosida baik
sebagai monoterapi atau kombinasi; maka berikut ini akan dibicarakan ketiga golongan
antirnikroba tersebut secara singkat.
Penisilin-resisten-terhadap-penisilinase dipergunakan untuk lnfeksi kuman
Stafilokokus yang resisten terhadap penisilin. Metilsilin adalah preparat penisilin-resisten-
terhadap-penisilinaseyang pertama kali dibuat dalam bentuk parenteral. Di dalam praktek,
derivat penisilin ini dipergunakan sebagai terapi awal pneumonia yang disebabkan
oleh Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae sebelum diperoleh hasil biakan.
Namun tidak lama setelah obat ini diperkenalkan, timbul kurnan methylcillin resistant
Staphyllococcus aureus (MRSA). Galur (strain) mikroorganisme mi biasanya telah resisten
terhadap semua golongan penisilin resisten penisilinase dan sebagian galur juga resisten
terhadap sefalosporin.Sedangkan penisilin antipseudomonas tradisional adalah ticarcillin,
mezlocillin, dan azlocillin.
Golongan sefalosporin mempunyai afinitas spektrum luas, baik terhadap bakteri
kokus Gram positif maupun basil enterik negatif, maupun bakteri anaerob. Sebagian besar
sefalopsorin relatif resisten terhadap sifat hidrolisis enzirn beta laktamase yang dihasilkan
S. aureus. Seperti halnya penisilin, sefalopsorin aman untuk anak dan toksisitas tidak
tergantung dari dosis, namun perlu diwaspadai bahwa sefalosporin bersifat nefrotoksik
(terutama bila diberikan bersama aminoglikosidaa) dan dapat menyebabkan kelainan
perdarahan. Ekskresi sefalosporin sama dengan penisilin, melalui filtrasi glumerulus
dan ekskresi tubulus ginjal. Tingginya kadar sefalosporin dalam win merupakan dasar
mengapa sefalosporin baik untuk pengobatan infeksi saluran kemh.
Golonganaminoglikosidaa merupakan antimikroba spektrum luas untuk basil enterik
dan beberapa organisme Gram positif, bersifat bakterisidal dan mudah diabsorbsi. Namun,
golongan aminoglikosidaa bersifat nefrotoksik, ototoksik, dengan daya penetrasi melalui
membran biologk (termasuk penetrasi ke dalam likuor serebro spinal) yang rendah.
Kombinasi aminoglikosidaa dengan penisilin akan memberikan daya bakterisidal yang
lebih cepat dengan konsentrasi aminoglikosidaa yang rendah, sehingga mengurangi efek
toksik.
Pasien diduga
menderita infeksi
Resistensi Antirnikroba
Kegagalan pengobatan tidak selalu disebabkan oleh antimikroba resisten terhadap mikroba i
penyebab. Ha-ha1 yang perlu diperhatikan apabila terjadi kegagalan pengobatan adalah
apakah mikroba penyebab yang diduga telah benar dan sesuai dengan antimikroba yang
diberikan secara empiris?; Apakah dosis dan cara pem,berian telah dipatuhi (perhatikan
compliance pemberian obat)?; Apakah ada fokus infeksi yang menjadi sumber infeksi?;
Apakah ada komplikasi?; Apakah antimikroba resisten?; dan pertanyaan terakhir yang
hams dipikirkan adalah apakah diagnosis pasien tersebut sudah benar?
Resistensi antimikroba merupakan isu penting dalam pengobatan penyakit infeksi,
yang pada dasarnya dapat disebabkan oleh,
Mikroorganisme menghasikan enzim adenyllacting, fosforilacting, acetylacting agent "
Pada infeksi berat pada an&, terdapat beberapa masalah yang perlu mendapat
perhatian antara lain:
Pengobatan awal yang diberikan umumnya hanya secara empiris maka kemungkinan
mengganti antimikroba sangat besar.
Pemberian obat lebih dari 1 jenis (multiple drug therapy) akan menimbulkan masalah
peningkatan biaya pengobatan, mempertinggi risiko terjadinya efek samping dan
memudahkan proses resistensi.
Vankomlsin Amlnogl~k
Enterobacter
Amin~~enl~llln Ps.monas
aiau
Penisilin spektum luas
atau
Sefalosporin generasi ketigal
keempat
lmunokompromaisl
neutropenia .,
Klindamisin
Vankomisin metronidazol
Panduan Dosis
, Pertimbangan risiko (efek samping, harga) dan manfaat (khasiat) selalu harus d i f h k a n
, dalam menentukan obat antiinfeksi yang akan dipakai. Sayangnya untuk anak tidak semua
obat mempunyai data mengenai efek toleransi dan efikasi. Di dalam bidang pediatri standar
dosis obat secara umum berdasarkan pada berat badan yang ditentukan sesuai dengan
studi farmakokinetik untuk anak dengan fungsi gmjal normal.
Faktor-faktor lain yang hams dipertimbangkan dalam menentukan dosis pada anak
ialah.
a. Dosis obat ditentukan berdasarkan penelitian kasus pediatri yang mengacu pada hasil
uji klinis orang dewasa.
b. Tidak dijumpai formula dosis untuk anak.
c. Seringkali dijumpai dosis suboptimal karena pemberian dalam bentuk suspensi atau
karena cara melarutkannya tidak homogen/tidak akurat.
d. Kesalahan perhitungan besar dosis.
e. Larutan yang dipakai bersifat hipertonik baik oral maupun intravena.
f. Adanya keterbatasan jumlah larutan
Antimikroba Profilaksis
Obat antimikroba untuk mencegah infeksi sering diberikan pada bayi dan anak (Tabel1
dan 3). Keampuhan pencegahan untuk beberapa tujuan telah dibakukan, tetapi banyak
pula yang belum disepakati. Tujuan pemberian antimikroba profilaksis adalah pertarna,
mencegah infeksi terhadap patogen tertentu; kedua, mencegah infeksi pada organ tubuh
tertentu; dan ketiga, untuk pasien yang rentan terhadap infeksi (rnisalnya pada pasien
dengan imunokompromais).Untuk dua tujuan pertama telah banyak disepakati, sedangkan
untuk tujuan ketiga masih banyak ketidaksepakatan.
American Medical Association, 1995 memperingatkan pemberian antimikroba profilaksis
yang rasional harus mempertimbangkan faktor-faktor berikut:
Risiko terjadinya lnfeksi apabila profilaksis tidak diberikan
Derajat infeksi yang hendak dicegah
Fungsi pertahanan non-spesifik pasien
Efektivitas antimikroba yang akan digunakan
Keamanan antimikroba yang akan digunakan
Lama pemberian profilaksis
Kemungkinan terjadinya resistensi
Biaya dan ketersediaan obat
Faktor pejarnu
Defek respons imun terhadap infeksi, baik respons imun spesifik maupun non-
spesifik.
Defek anatomi (misalnya abses otak pada kelainan jantung bawaan sianotik).
Adanya benda asing.
Faktor obat
Ketaatan minum obat kurang.
b. Dosis dan cara pemberian obat yang kurang tepat.
Difusi ke tempat infeksi kurang baik (antimikrobatopikal untuk otitis media supurativa
harus didahului dengan pemberian H202 3%,antimikroba untuk abses otak yang telah
berkapsul).
Kombinasi obat yang kurang tepat yang diberikan baik oral maupun parenteral.
Kemasan atau penyimpanan yang kurang baik.
Faktor mikroorganisrne
Resisten terhadap obat yang diberikan.
Superlnfeksidengan bakteri yang resisten.
P
emeriksaan laboratorium merupakan satu bagian penting sebagai alat penunjang
diagnosis. Hasil pemeriksaan laboratorium bermanfaat untuk: (1) membantu
menentukan penyebab infeksi, (2) menunjukkan apakah diagnosis dan pengobatan
sudah benar, (3) memberikan petunjuk untuk pengobatan pasien dengan penyebab yang
sama di masa yang akan datang, dan (4) dalam upaya penanggulangan penyakit, beberapa
penyakit dapat diketahui dengan bantuan pemeriksaan laboratorium yang sederhana, tetapi
sebagian lain memerlukan pemeriksaan dengan peralatan, teknik, dan keahlian khusus.
Pada saat ini terdapat beberapa metode laboratorium, di antaranya histologi,
biakan, serologi, pemeriksaan asam nukleat, dan uji kulit yang digunakan untuk
membantu menegakkan diagnosis d m mengetahui penyebab penyakit infeksi. Hasil
pemeriksaan laboratorium pada penyakit infeksi sebagian besar tergantung dari jenis bahan
pemeriksaan, waktu pengumpulan bahan pemeriksaan, ketelitian teknis dan pengalaman
pekerja laboratorium. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemeriksaan laboratorium
memerlukan kerja sama yang baik antara dokter, ahli patologi anatomi, ahli patologi klinik,
peneliti di bidang laboratorium, dan para eksekutif di bidang kesehatan.
Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan merupakan prosedur laboratorium yang sering digunakan untuk
mencari penyebab infeksi. Pada tahap awal, pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi
atau mengisolasi kuman. Untuk bakteri dan jamur akan tampak koloni pada lempeng atau
kekeruhan pada bulyon, sedangkan untuk deteksi virus dilakukan dengan cytopathic efect,
interference, hemadsorption, atau dengan melakukan percobaan pada binatang. Pada tahap
berikutnya, pemeriksaan biakan ditujukan untuk identifikasi kuman. Pada identifikasi
akhir biasanya dilakukan pemeriksaan biokimia atau reaksi serologik, misalnya untuk
virus dilakukan neutralisasi dari cytupathiceffect dengan anti serum tipe spesifik,sedangkan
untuk bakteri d m jamur dilakukan reaksi aglutinasi dengan dilusi tinggi dari anti serum
spesifik.
Jenis biakan yang sering digunakan unkk pemeriksaan bakteri ialah agar darah,
agar coklat, d m agar MacConkey, sedangkan bahan pemeriksaan umurnnya diambil dari
darah, urin, feses, atau dapat juga berasal dari cairan serebrospinal, pus pada abses,
cairan pleura, cairan sendi, swab dari nasofaring, tenggorok dan kulit. Media standar
untuk kultur adalah agar darah, biasanya dibuat dari 5% darah domba. Beberapa kuman -.
patogen seperti Neiseria, Hemofilus tidak dapat tumbuh pada agar coklat. Media lainnya
yaitu MacConkey biasanya digunakan untuk bakteri bentuk batang Gram-negatif. Bulyon
biakan dengan media yang diperkaya digunakan untuk bahan yang berasal dari biopsi
jaringan dan cairan tubuh, misalnya cairan serebrospinal, dengan cara ini sediaan yang
mengandung sedikit kuman dapat membeiikm hasil positif, yang dengan cara biasa
hasilnya inungkin negatif. Untuk kuman anaerob diperlukan cara pengumpulan spesimen,
perbenihan dan tehnik yang khusus, bila tidak pemeriksaanbakteriologik akanmemberikan
hasil negatif.
Media yang sebenamya semula dibuat untuk bakteri, misalnya agar darah, ternyata
juga dapat digunakan untuk beberapa spesies jamur. Hasil yang didapat memang tidak
Pemeriksaan Serologik
Pada banyak laboratoriumsaat ini seringdilakukan pemeriksaanserologik untuk membantu
diagnosis dan mengontrol penyakit infeksi. Dasar pemeriksaan serolo@ adalah adanya
reaksi antigen dengan antibodi yang bertujuan:
Membantu diagnosis penyakit infeksi bila pemeriksaan bahan secara rutin atau
dengan tehnik yang ada kuman sulit diisolasi atau diidentifikasi, misalnya riketsiosis,
leptospirosis, hepatitis virus, infeksi rotavirus.
Reaksi serologik dapat dipengaruhi beberapa faktor, yaitu faktor pejamu dan aspek
teknis.
1. Faktor yang berhubungan dengan pejamu
Faktor yang menghambat pembentukan antibodi, antara lain umur, malnutrisi,
dan penggunaan obat imunosupresan.
Saat pemeriksaan, antibodi atau aglutinin umurnnya baru ada dalam darah
setelah pasien sakit satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-5
atau ke-6. Pada uji Widal, kadar antibodi anti H mencapai puncaknya pada satu
bulan setelah vaksinasi dan tampaklmenetap sampai usia satu tahun, sedangkan
antibodi anti 0 puncaknya pada rninggu pertama dan hanya bertahan sampai 6
bulan
Antibodi pada seseorang yang telah divaksinasi, misalnya vaksinasi tifoid akan
didapat titer aglutinasi 0 dan H yang meningkat.
Infeksi subklinis atau klinis pada orang yang terinfeksi Salmonella typhl
sebelurnnya akan didapat reaksi Widal yang positif walaupun dengan titer
rendah, oleh karena itu di daerah endernis tifoid dapat dijumpai aglutinasi pada
orang sehat.
Pengobatan dini dengan antimikroba. Beberapa peneliti berpendapat bahwa
pengobatan dini dengan antimikroba akan menghambat respons imunologik.
Hal ini tidak diketahui pasti, namun diduga antimikroba menyebabkan antigen
lebih sensitif sehingga hanya dengan sedikit antibodilaglutinin sudah terjadi
aglutinasi.
Reaksi anamnestik adalah keadaan terjadinya peningkatan titer aglutinin
terhadap Salmonella &hi yang disebabkan penyakit infeksi yang bukan tifoid
pada seseorang yang telah divaksinasi atau infeksi subklinis di masa lalu. Hal
ini tejadi oleh karena ada beberapa kuman pada farnili Enterobacteriaceae yang
mernpunyai antigen mirip dengan Salmonela.
2. Faktor teknis
Aglutinasi silang, beberapa spesies Salmonela mengandung antigen 0 dan H
yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat terjadi pada spesies
lain, oleh karena itu spesies Salrnonela penyebab infeksi tidak dapat ditentukan
dengan reaksi Widal.
Konsentrasi suspensi antigen d m galuh Salmonela yang dipergunakan.
Pemeriksaan asam nukleat tergolong pemeriksaan baru, spesifik dan dapat dengan cepat
mengidentifikasi rangkaian DNA atau RNA mikroorganisme patogen. Seorang peneliti
mengatakan bahwa kuman dapat diidentifikasi dalam 4-6 jam. Bahan pemeriksaan dapat
berupa darah, urin atau feses. Jika didapatkan spesimen berlabel maka hasil dikatakan
positif. Dengan cara ini dapat dideteksi berbagai kuman penyebab infeksi, termasuk
Uji Kulit
Uji kulit biasanya dilakukan dengan cara menyuntikan antigen intradermal, hasilnya
dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas yang lambat, misalnya uji tuberkulin,
circulating antibody, misalnya uji Schick. Adanya reaksi hipersensitivitas yang lambat
terhadap suatu kuman menunjukkan adanya kemungkinan bahwa kuman tersebut
merupakan penyebab infeksi yang timbul saat ini. Kelemahan uji ini adalah bila pasien
anergi atau berdaya-imun rendah, reaksi terhadap uji kulit mungkin akan negatif sehingga
tidak menggambarkan keadaan sebenamya. Hasil uji kulit biasanya ditentukan dalam 48
jam; positif/ tidaknya dilihat dari luas indurasi pada daerah suntikan, eritema yang timbul
tidaklah bermakna bila tidak disertai indurasi.
Daftar Pustaka
1. Cheesbrough M. Principles of immunity serologcal diagnosis of microbial diseases. Medical
laboratory manual for tropical countries, Vol.11. England The Ford Press Ltd, 1984.h.70-99.
2. Feigin RD, KaplanS. Rapid identification of the invading microorganism.Pediat Clin North
Am.1980; 4783-804.
3. Fung JC, Tilton RC. Detection of bacterial antigens by counter immuno- electrophoresis, coag
glutination, and latex agglutination. Manual of Clinical Microbiology, edisi ke4. Washington:
American Society for Microbiology,1985.h.883-90.
4. JawetzE,Brooks GF. Principles of diagnostic medical microbiology.Dalam: Bankspenyunting,
Modem practice in infectious fevers. London: Butterworh & Co Publisher,1951.h.315-38.
5. JawetzE, Brooks GF. Dasar-dasar mikrobiologikedokterandiagnotik. Mikrobiologiuntuk Profesi
Kesehatan, edisi ke-16. CV EGC, Jakarta,1986.h.391-421.
6. Laboratorium Mirobiologi. Perbenihan. Laboratorium mikrobiologi, penuntun praktikum
rnikrobiologi. Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran,
Bandung, 1992.h.18-9.
7. McCartney. Laboratory aids to diagnosis and treatment. Dalam: Jawetz, penyunting, Review of
medical microbiology. USA, Lange Medical Publication,1984.h.31-75.
8. Moffet HL. Analysis of laboratory data. Pechatric infectious diseases.Philadelphia: JBLippincott
Company, 1989.h.9-11.
9. Plotkin. Clinical use of the microbiology laboratory. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Nelson WE, Voughan 111VC penyunting. Textbook of pediatrics, edisi ke114. Philadelphia: WB
Saunders Company, 1992.h.658-61.
10. Ryan RW, Kwasnik I. Specific immunoglobulin detection. Dalam: Lennette (penyunting),
Manual of clinical microbiology, edisi ke4. Washington: American Society for Microbiology,
1985.h.877-82.
11. Tenover, Wuth DF. DNA probes promise to transform diagnosis of infectious disease. JAMA1987;
258:301-2.
12. Wikipedia. Updated 2007, Feb; cited 2007 Apr, 17. available from: http://en.wikipedia.org/wki/
Polymerase-chain-reaction
Pemeriksoon PenunjangDiagnosis
Nilai Normal
Darah Perifer
Urnur Hb gldl Ht Leukositlpl Trombositl MCV MCHC
PI
rerata -2SD rerata -2SD rerata x 95% CI rerata x l o 3 rerata -2SD rerata -2SD
103 ,103
Baru lahir 16,5 13,5 51 42 18,l 9-30 290 108 98 33,O 30,O
1 - 3 hari 18.5 145 56 45 18,9 9.4-34 192 108 95 33,O 29,O
2 minggu
1 bulan
2 bulan
6 bulan
6 - 24 bulan
2 - 6 tahun
6 - 12 tahun
12 - 18 tahun
(laki2)
12-18 tahun
(perempuan)
Kirnia Darah
Perneriksaan Satuan lnternasional (SI) Faktor konversl Unit konvenslonal
ACTH Umbilikus : 130-160 ngll Umbilikus: 130-160 pglml
1 minggu : 100-140 1 minggu : 100-140
dewasa 08.00 iam : 25-1 00 dewasa : 08.00 iam : 25-100
18.00 ism
: < 50 18.00 jam : < 50
Aldosteron baru lahir : 0,14-1,6 nmolll nmolll X 36,l = baru lahir : 5-60 ngldl
1 minggu-1 th : 0,03-4,43 . ngldl 1 minggu - 1 th : 1-160 ngldl
1-3 th : 0,14-1,66 1-3 th : 5-60 ngldl
3-5 th : < 0,14-2,22 3-5 th : < 5 - 80
5-7 th : < 0,14-1,39 5-7 th : < 5 - 50
7-11 th : 0,14-1,94 7-11 th : 5 - 70
11-15 th : < 0,14-1,39 11-15th:<5-50
Bikarbonat -
< 2 th : 20 25 mmolll
> 2 th : 22 - 26 mmolll
Nilai Normal
Kimia Darah
Pemeriksaan Satuan lnternasional (SI) Faktor konversi Unit konvensional
Bilinrbin (total) Preterm : Preterm :
umbilikus : < 34 UmolIL umbilikus : < 2
0-1 hari : < 137 0-1 hari : < 8
1-2 hari : < 205 1-2 hari : < 12
3-5 hari : < 274 3-5 hari : < 16
Selanjutnya : < 34 selanjutnya : < 2
Cukup bulan : Cukup bulan :
umbilikus : < 34 umbilikus : < 2
0-1 hari : < 103 0-1 hari : < 6
1-2 hari : < 137 1-2 hari : < 8
3-5 hari : c 205 3-5 hari : < 12
selanjutnya : < 17 selanjutnya : < 1
Kalsium (total) Preterm < I mgg : 1,5 - 2,5 Preterm < I mgg : 6-10
Term<Imgg: 1,75-3 Term < I rngg : 7-12
Anak-anak : 2 - 2,6 Anak-anak . 8-10,5
dewasa : 2,l - 2,6 dewasa : 8,5-10.5
Kreatinin Baru lahir : 27-88 umolll urno1/1x0,0113=rngldl Baru lahir : 0,3-I ,0 rngldl
Bayi : 18-35 Bayi : 0,2-0,4
Anak : 27-62 Anak : 0,3-0,7
Anak besar : 44-88 Anak besar : 0,5-1,O
dewasa (laki): 53-106 dewasa (laki): 0,6-1,2
dewasa (prp): 44-97 dewasa (prp): 0,5-l,l
Niloi Norrnol
93
Kimia Oarah
Pemeriksaan Satuan lnternasional (SI) Faktor konversi Unit konvensional
Gastrin < 100 ngll
lmunoglobulin
IgA Baru lahir : 0 - 05 gll
1 - 3 bl : 0.03 - 0,66
3 - 6 bl : 0,04 - 0.90
6 - 12 bl : 0,45 - 2,25
1 - 2 th : 0.35 - 2,40
2 - 6 th : 0,40 - 2,70
12 - 16 th : 0.50 - 2,32
dewasa : 0,70 - 3,90
Baru lahir : 6,4 - 16 gll
1 - 3 bl : 3.0 - 10.0
3 - 6 bl : 1.4 - 10,O
6 - 12 bl:4,0 - 11,5
1 -2th:3,5-12.0
2 - 6 th : 5,O - 13.0
6 - 12 th : 7,O - 16,5
12 - 16 th : 0.45 - 2,40
Prolaktin Baru lahir : < 200 ugll Baru lahir : < 200 nglml
dewasa : < 20 ugll dewasa : < 20 nglml
Niloi Normol
95
Kimia Darah
Pemeriksaan Satuan Internasional (SI) Faktor konversi Unit konvensional
Triiodotironin (T3) Umbilikus : 0,23 - 1,16 nmolllx65,1=ngldl Umbilikus : 15 - 75 ngldl
< 1 bl : 0,49 - 3.70 < Ibl : 32 - 240
1 bl-1 th: 1,70-4,31 1 bl-1 th : 110 - 280
1-5 th : 62-4,q4 1-5 th : 105 - 269
5 - 10 th : 1,45 - 3,71 5 - 10 th : 94-241
10 - 15 th : 1,28-3,14 10-15th:83-215
dewasa : 1,08 - 3,14 dewasa : 70 204-
Trigliserida Laki-laki :
0-4th: 1,12
5-9 th : 1,14
10-14 th : 1,41
15-19 th : 1,67
Perempuan :
0-4 th : 1,26
5-9 th: 1,19
10-14 th: 1,48
15-19 th: 1.40
Fosfor Baru lahir : 1,36 - 2,91 mmo111~3,097=mgldl Baru lahir : 4,2 - 9,O
1 th : 1,23 - 2,00 1 th : 3,8 - 6,2
2-5th: 1,13-2,20 2-5 th : 3,5 - 6,8
Dewasa : 0.97 - 1,45 Dewasa : 3,O - 4,5
Testosteron total -
Prepubertas : 0,35 0,70 Prepubertas : 10 - 20 ngldl
dewasa (L): 0,8 - 2,6 dewasa (L): 23 - 75
dewasa (P): 95 - 30 dewasa (P): 275 - 875
Niloi Normal
Urin
Pemeriksaan Satuan lnternasional (SI) Faktor konversi Unit konvensional
Aminolevunilic acid 8 - 53 umollhari umollhrx0,131=mglhari 1 - 7 mglhari
Cairan Serebrospinal
Hitung sel
Bayi lahir kurang bulan : 0,25 leukosit x 106 sell1 (57%PMN)
Bayi lahir cukup bulan : 0 - 22 leukosit x 106 sell1 (61%PMN)
Anak : 0 - 7 leukosit x 106 sell1 (0 % PMN)
Niloi Normal
Pendekatan Diagnostik Penyakit
Eksantema Akut
-
D alam tatalaksana pasien yang datang dengan keluhan kemerahan pada kulit,
seorang dokter dihadapkan pada tanggung jawab yang sangat besar, mengingat
konsekuensi yang akan terjadi akibat penegakan diagnosis penyakit yang tidak
tepat. Diagnosis yang kurang tepat dapat berdampak luas pada penderita, kontak serumah
dan juga lingkungan komunitasnya. Sebagai contoh penderita meningococcemia yang
didiagnosis sebagai campak. Terapi spesifik mungkin tidak atau terlarnbat diberikan,
dengan akibat prognosis akan lebih buruk saat kesalahan diagnosis disadari kemudian.
Pada kasus demam skarlatina yang didiagnosis sebagai rubella kemungkinan komplikasi
otitis media mungkin dapat dihindarkan bila diagnosis tepat serta terapi yang adekuat
terjadi lebih awal.
Pada kasus dengan gambaran klinis eksantema subitum yang temyata didiagnosis
sebagai rubella, mungkin secara normal tidak akan berdampak apa-apa. Tetapi bila ternyata
ibu pasien juga sedang harnil muda akan menimbulkan efek psikologis rasa takut terhadap
penularan rubella pada ibu. Dalam kasus lain dimana seorang anak dengan campak ringan
terdiagnosis sebagai rubela, temyata telah menularkan penyakit campak pada saudaranya
dengan akibat komplikasi pneumonia berat, yang pada dasarnya mungkin dapat dicegah
dengan pemberian imunoglobulin bila diagnosis pada saudaranya tidak salah.
Dampak pada komunitas atau lingkungan penderita dapat dilihat pada suatu contoh
kasus varisela pada anak yang tidak terdeteksisecara dini dan tetap bersekolah dan berakibat
tertularnya beberapa murid dikelas tersebut. Mungkin penularan ini tidak bersifat fatal,
tetapi jelas akan mengganggu produktifitas anak dan kelancaran sekolahnya.
Brogan dan Raffles melakukan penelitian pada anak-anak dengan demam dan petekie
terhadap kemungkinan infeksi bakteri/sepsis. Temyata 50% kasus merupakan infeksi
saluran nafas karena virus, 12% purpura Henoch-Schonlein, 8% bakteremia, dan sisanya
adalah alergi, sindrom Kawasaki, dan lainnya. Disamping itu, mereka juga menguji kriteria
tatalaksana berdasarkan ILL (irritab~lity-lethargy-lowcapillary reJI11)yang temyata menjadi
prediktor infeksi bakteri berat dengan sensitivitas loo%,spesifisitas 57%,nilai duga positif
29% dan nilai duga negatif 100%.
Etiologi
Virus dikenal sebagai penyebab terbanyak penyakit eksantema akut, bahkan sebelum jenis-
jenis virus tertentu dapat diisolasi sebagai penyebab yang spesifik. Pada awalnya penyakit
eksantema diberi nama berdasarkan urutan ditemukannya dengan urutan nomor saja,
seperti penyakit pertama (firstdisease) untuk campak (virus campak), penyakit kedua untuk
rubella (virusrubella), penyakit ketiga untuk varisela (virus varicella-zoster),penyakit kelima
untuk eritema infeksiosa (Parvovirus B19),dan penyakit keenam untuk roseola infantum
(virus herpes 6 dan 7).
-
Diagnosis Banding
Bintik merah atau kelainan kulit yang terlihat pada kelompok penyakit eksantema
akut memang biasanya sulit dibedakan secara klinis. Bentuk-bentuk makula, papula,
vesikula, pustula ataupun krusta sering terjadi sendiri-sendiri ataupun bersamaan tanpa
menunjukkan karakterlstik khusus yang dapat mengarahkan diagnosis. Namun demikian
tidak sedikit penyakit yang mempunyai gambaran kemerahan pada kulit dengan pola
dan sifat yang khas sehingga sangat mudah mendeteksi penyakitnya. Diagnosis banding
penyakit eksantema akut pada dasarnya dapat didekati dengan mengenal beberapa kriteria
antara lain, (1)riwayat penyakit adanya penyakit infeksi serta data irnunisasi pasien, (2)
gambaran gejala masa prodromal, (3) gambaran/karakteristik dari rash (rum), baik lokasi
maupun pola penyebarannya, (4) adanya gejala patognomonik atau ciri tertentu, dan (5)
hasil laboratorium uji diagnostik.
Pada umumnya penyakit-penyakit eksantema akut pada anak membenkan imunitas
seumur hidup pada penderitanya, dengan konsekuensi adanya riwayat penyakit tersebut akan
dapat menyingkirkanpenyakit tersebut.Namundisadari pula bahwa riwayat penyakit tersebut
sangat tergantung pada kemampuan/ daya ingat orang tua penderita serta ketepatan diagnosis
saat lalu. Karakteristik serta lama masa prodromal juga penting. Beberapa penyakit memiLiki
masa yang cukup panjang (4 hari atau lebih) sebelum timbulnya kemerahan atau kelainan kulit
sedang pada pihak lain ada yang sangat pendek bahkan tidak ada. Pada beberapa penyakit,
gejala gangguan salurannafassangat menonjol pada masa prodrornal.Karakteristik, distribusi,
serta lama tirnbulnya kemerahan pada kulit perlu dievaluasi secara rinci. Erupsi atau kelainan
kulit yang terjadi dapat bersifat tunggal atau bergabung satu sarna lain, juga lokasinya dapat
bersifat sentralisasiatau hanya di bagian periferlalatgerak saja. Kelainan kuht bisa berlangsung
selama 1 sampai 2 rninggu atau hanya beberapa hari saja. Tanda patognomonik selalu
merupakan hal yang sangat membantu dalam penegakan diagnosis, bercak Koplik misalnya
akan sangat berarti dalam penegakan diagnosis campak bila dapat ditemukan. Diagnosis akhir
sering kali sulit ditegakkan tanpa bantuan pemeriksaan laboratorium baik sederhana maupun
spesifik seperti pemeriksaan petanda imunologlk ELISA atau lainnya.
Klasifikasi
Penyakit eksantema akut dapat digolongkan dalam 2 kelompok besar, untuk kepentingan
diagnosis. Kelompok ini didasarkan atas gambaran kemerahan /kelainan kulit yang
Kelornpok Makulopapular
~Campak
Kelompok Papulovesikular
lnfeksi virus Varisela-zoster
-
.Rubella .Variola
~Demamskarlatina Eczema herpeticum
staphylococcal scalded skin syndrome elnfeksi virus Coxsakie
.Staphylococcal toxic shock syndrome .Impetigo
. Meningococcemia
~Toxoplasmosis
.Gigitan serangga
~Urtikariapapularis
.Infeksi virus Sitomegali *Erupsiobat
.Roseola infantum .Molluscum contagiosum
~InfeksiEnterovirus Dermatitis herpetiformis
.Mononukleosis infeksiosa -dan lain-lain
~Eritematoksis
.Erupsi obat
.Miharia
Penyakit Kawasaki
mdan lain-lain
Masa Prodromal
Campak
Timbulnya kelainan kemerahan kulit diawali oleh demam tinggi 3-4 hari, konjungbvitis,
serta bat& pilek.
Rubela
Pada anak umumnya tidak diawali suatu masa prodromal yang spesifik. Pembesaran
kelenjar getah bening yang khas jarang terlihat pada anak. Remaja d m dewasa muda
dapat menunjukkan gejala demam ringan serta lemas dalam1 - 4 hari sebelum timbulnya
kemerahan.
Demam skarlatina
Kelainan kulit pada demam skarlatina biasanya timbul dalam 12 jam pertama sesudah
demam, batuk dan muntah. Gejala prodromal ini dapat berlangsung selama 2 hari.
Cough
Rosh
Son threat
Roseola infantum
Gejala demam tinggi selama 3 - 4 hari disertai iritabilitasbiasanya terjadi sebelum timbulnya
kemerahan pada kulit penderita roseola infantum dan diikuti dengan penurunan demam
secara drastis menjadi normal.
lnfeksi Enterovirus
Gejala demam biasanya tidak tinggi dan menghilang saat timbulnya kemerahan, sedang
pada infeksi Coxsackie kadang-kadang juga terjadi bersarnaan dengan kemerahan.
Eritema ToksCk
Erupsi obat serta rniliaria dan penyakit non-infeksi lain dengan gambaran makulopapular
biasanya tidak mempunyai gejala prodromal.
Sindrom Gianotti-Crosti
Biasanya didahului dengan gejala infeksi saluran nafas atas dan saat ini etiologinya
dihubungkan dengan beberapa jenis virus antara lain Epstein-Barr.
Varisela
Pada anak sering tidak dijumpai gejala prodromal pada penderita varisela. Gejala
konstitusional dan eksantema tejadi secara bersamaan. Pada remaja dan dewasa muda,
kadang-kadang dijumpai masa prodromal 1 - 2 hari dengan gejala demam, sakit kepala
lemas dan anoreksia.Herpes simpleks, herpes zoster dan vaksinia, biasanya tidak ditemukan
gejala prodromal.
Ric kettsialpox
Erupsi papulovesikular secara menyeluruh sering didahului oleh adanya gejala seperti
influensa.
Rubella
Eksantema pada rubella berwarna merah-muda, dan mulai timbul di leher dan muka dan
menyebar ke seluruh tubuh lebih cepat dari campak, biasanya dalam 24-48 jam sudah
menyeluruh. Kemerahanini jarang bergabung sehingga terlihat sebagai bintik-bintik merah
kecil. Pada hari ke 3 biasanya eksantema di bagian tubuh mulai memudar dan tinggal
menyisakan bagian ekstremitas saja, yang kemudian menghilang tanpa deskuamasi.
Roseola infantum
Penyakit ini sering disebut "campak mini" karena tampilannya yang sangat rnirip. Kelainan
kulit pada eksantema subitum bersifat diskrit makulopapular berwarna merah tua dan
biasanya timbul di daerah dada pada awalnya yang kemudian menyebar ke muka dan
ekstremitas. Dalam 2 hari gambaran ini akan menghilang, dengan didahului memudamya
warna dalarn beberapa jam sesudah timbul. Beda utama dengan campak adalah tiadanya
bercak Koplik. Biasanya menyerang bayi dan anak usia 1 - 2 tahun.
Sindrorn Gianotti-Crosti
Eksantema yang tirnbul berupa papula berukuran 1 - 5 mm terbatas pada daerah pipi,
daerah extensor dan pantat. Kelainan ini bisa menetap sampai 3 bulan.
lnfeksi Enterovirus
Karakteristik eksantema pada lnfeksi virus Echo dan Coxsackie mirip dengan gambaran
rubella. Biasanya bersifat makulopapular, diskrit, tidak gatal dan menyeluruh. Tidak terjadi
deskuamasi saat menghilang. Meksi virus echovims-9 juga sering menimbulkan erupsi
berupa petekie yang mernbuatnya sulit dibedakan dengan infeksi Meningococcus. Lokasi
spesifik sering ditemui pada infeksi virus Coxsackie tipe Enterovirus yang dikenal sebagai
penyakit tangan-kaki dan mulut yaitu dimulai dengan vesikel dimulut yang membesar
menjadi luka, serta timbulnya eksantema di tangan, kaki dan perineum.
Penyakit Kawasaki
Pada penyakit ini eksantema yang terjadi bersifat generalisata dan makulopapular. Telapak
tangan dan kaki membengkak merah dan menghilang dalarn beberapa hari sampai minggu.
Bibir, mulut, lidah sering mengering dan merah serta ditemui juga konjungtivitis non-
purulen.
Miliaria
Eksantema berupa bintik-bintik kecil kemerahan sering diternui terutama didaerah fleksor.
Biasanya tidak menyeluruh dan tidak ada deskuamasi. Purpura Henoch-Schonlein, juga
sering menunjukkan karakteristik lesi yang spesifik dimulai seperti urtikaria di pantat yang
menyebar ke kaki.
u 103 Chickenpox I
Rash
Day of illness
Doy of illness
1 2 3 A 5 6 7 8 91011121314
Eczema voccinotum
eczema herpelicum
r- 99
r- 99
00
------ Primary lesion
Grippe-like
symptoms
Rash
Rosh
Varisela
Eksantema pada varisela ditandai dengan beberapa karakteristik yaitu (1)evolusi cepat
dari bentuk makula-papula-vesikula dan krusta, (2) distribusi terutama terjadi pada bagian
sentral badan, (3) terdapatnya berbagai stadia eksantema pada satu saat di suatu area
badan, (4) erupsi juga terjadi di kulit kepala dan selaput mukosa.
Herpes zoster
Lesi herpes zoster bersifat unilateral dan terdistribusi sesuai garis persyarafan yang terkena.
Biasanya vesikel akan berkelompok dan cenderung bergabung menjadi satu.
Impetigo
Eksantema pada impetigo biasanya dimulai dengan bentuk vesikel yang secara cepat
bergabung dan mecah menjadi krusta. Tempat tersering adalah di daerah nasolabialis dan
daerah lain yang sering digaruk. Selapot mukosa biasanya tidak terkena.
Rubella
Adanya pembesaran kelenjar getah bening khususnya pada daerah belakang telinga dan
oksipital sangat menunjang diagnosis rubella, walaupun keadaan ini juga dapat ditemui di
penyakit lain.
Demam skarlatina
Lidah berwarna merah strawberry serta tonsilitis eksudativa atau membranosa sangat
spesifik untuk menegakkan diagnosis penyakit ini.
Rubella
Penemuan virus pada isolasi usap tenggorok serta peningkatan kadar antibodi membantu
penegakkan diagnosis rubella. Gambaran darah tepi biasanya normal atau sedikit
leukopenia.
Demam skarlatina
Menemukan Streptokokus hemolitikus grup A pada biakan usap tenggorok memastikan
diagnosis dan juga terjadi peningkatan kadar titer antistreptolisin-0.
Meningococcemia
Kuman penyebab penyakit ini dapat ditemukan melalui pemeriksaan dengan pewarnaan
Gram pada darah, cairan serebrospmalis.
Roseola infantum
Belum ada pemeriksaanlaboratorium untuk menunjang penyakit ini. Garnbaran darah tepi
biasanya menunjukkan leukopenia saat timbul eksantema.
Mononukleosis infeksiosa
Sediaan apus darah dapat menunjukkan adanya limfosit abnormal, serta pemeriksaan
imunologis lainnya juga dapat membantu.
Varisela
Deteksi antibodi spesifik terhadap varisela dapat dilakukan dengan menggunakan metode
FAMA, ELISA atau agluinasi lateks.
Kesimpulan
1. Pendekatan diagnostik terhadap penderita dengah tampilan utama eksantema +
Daftar Bacaan
1. Diagnosis of acute exanthematous diseases. Dalam; Krugrnan S, Katz SL, Gershon AA, Wilfert CM.
Infectious Diseases of Children, Pded. St. Louis: Mosby Year Book. 1992.h.631-9.
2. Brogan PA, Raffles A. The management of fever and petechiae: making sense of rash decisions. Arch Dis
Child 2000; 83:507-7.
3. McKinnon HD, Howard T. Evaluating the febrile patient with a rash. Am Fam Physician 2000; 62804-16.
4. Wong HB. Exanthemas in infants and children. The Singapore Family Physician 1995; 213-10.
5. Mancini A. Features of exanthems helpful in diagnosing childhood disease. Kawasaki syndrome, fifth
disease and Gianotti Crosti syndrome are diseases associated with exanthems. Website URL: htrp://
www.idinchildren.com/200005/exanthmhmas~ 2001.
Definisi
Campak adalah penyakit akut yang sangat menular, disebabkan oleh infeksi virus yang
umumnya menyerang anak. Campak merniliki gejala klinis khas yaitu terdiri dari 3 stadium
yang masing-masing mempunyai ciri khusus: (1)stadium masa tunas berlangsung kira-
kira 10-12 hari, (2) stadium prodromal dengan gejala pilek dan batuk yang meningkat dan
ditemukan enantem pada mukosa pipi (bercak Koplik), faring dan peradangan mukosa
konjungbva, dan (3) stadium akhir dengan keluamya ruam mulai dari belakang telinga
menyebar ke muka, badan, lengan dan kaki. Ruam timbul didahului dengan suhu badan
yang meningkat, selanjutnya ruam menjadi menghitam dan mengelupas.
Epidemiologi
Di Indonesia, menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) campak menduduki
tempat ke-5 dalam urutan 10 macam penyakit utama pada bayi (0,7%)dan tempat ke-5
dalam urutan 10 macam penyakit utama pada anak usia 1-4 tahun (0,77%).
Campak merupakan penyakit endernis, terutama di negara sedang berkembang. Di
Indonesia penyakit campak sudah dikenal sejak lama. Di masa lampau campak dianggap
sebagai suatu ha1yang harus dialami setiap anak, sehingga anak yang terkena campak tidak
perlu diobati, mereka beranggapan bahwa penyakit campak dapat sembuh sendiri bila
ruam sudah keluar. Ada anggapan bahwa semakin banyak ruam yang keluar semakin baik.
Bahkan ada usaha dari masyarakat untuk mempercepat keluarnya r u m . Ada kepercayaan
bahwa penyakit campak akan berbahaya bila ruam tidak keluar pada kulit sebab ruam
akan muncul di dalamrongga tubuh lain seperti dalam tenggorokan, paru, perut atau usus.
Hal ini diyakini akan menyebabkan anak sesak nafas atau diare, yang dapat menyebabkan
kematian. Dari penelitian retrospektif dilaporkan bahwa campak di Indonesia ditemukan
sepanjang tahun. Studi kasus campak yang dirawat inap di rumah sakit selama kurun
waktu lima tahun (1984-1988), memperlihatkan peningkatan kasus pada bulan Maret d m
mencapai puncak pada bulan Mei, Agustus, September dan Oktober.
Pengalaman menunjukkan bahwa epidemi campak di Indonesia timbul secara tidak
teratur. Di daerah perkotaan epidemi campak terjadi setiap 2- 4 tahun. Wabah teqadi pada
kelompok anak yang rentan terhadap campak, yaitu di daerah dengan populasi balita
banyak mengidap gizi buruk dan daya tahan tubuh yang lemah. Telah diketahui bahwa
campak menyebabkan penurunan daya tahan tubuh secara umum, sehingga mudah terjadi
infeksi sekunder atau penyulit. Penyulit yang sering dijumpai ialah bronkopneumonia
(75,2%),gastroenteritis (7,1%),ensefalitis (6,7%)dan lain-lain (7,9%).
Secara biologk, campak mempunyai sifat adanya ruam yang jelas, tidak diperlukan
hewan perantara, tidak ada penularan melalui serangga (vektor),adanya siklus musiman
dengan periode bebas penyakit, tidak ada penularan virus secara tetap, hanya memiliki
satu serotipe virus dan adanya vaksin campak yang efektif.
Sifat-sifat biologik campak ini serupa dengan cacar. Hal ini menirnbulkan optimisme
kemungkinan campak dapat dieradikasi dari muka bumi sebagairnana yang dapat
dilakukan terhadap penyakit cacar. Cakupan imunisasi campak yang lebih dari 90% akan
menghasiJkan daerah bebas campak, seperti halnya di Amerika Serikat.
Di Indonesia penyakit campak mendapat perhatian khusus sejak tahun 1970, setelah
terjadi wabah campak yang cukup serius di Pulau Lombok (dilaporkan 330 kematian di
antara 12.107 kasus) dan di Pulau Bangka (65 kematian di antara 407 kasus) pada tahun
yang sarna. Sampai sekarang permasalahan campak masih menjadi sumber perhatian
dan keprihatinan. Wabah dan kejadian luar biasa campak masih sering terjadi. Salah
satu di antaranya adalah wabah di Kecamatan Cikeusal - Kabupaten Serang pada tahun
1981, dengan CFR mencapai 15%. Pada kejadian luar biasa campak di Desa Bondokodi
- Kabupaten Sumba Barat pada bulan Agustus 1984 sampai Februari 1985,50%anak balita
terserang campak dengan CFR 5,3%.
Menurut kelompok umur kasus campak yang rawat inap dirumah sakit selama kurun
waktu 5 tahun (1984-1988) menunjukkan proporsi yang terbesar dalam golongan umur
balita dengan perincian 17,6%berumur <1 tahun, 15,2%berumur 1 tahun, 20,3% berumur
2 tahun, 12,3%berumur 3 tahun d m 8,2% berumur 4 tahun.
Hampir semua anak Indonesia yang mencapai usia 5 tahun pemah terserang penyakit
campak, walaupun yang dilaporkan hanya sekitar 30.000 kasus pertahun. Hasil survei
prospektif oleh Badan Litbangkes di Sukabumi tahun 1982 menunjukkan CFR campak
pada anak balita sebesar 0,64%.Sedangkan survai retrospektif di Sidoarjo dan 19 propinsi
lainnya mendapatkan CFR campak berkisar antara 0,76-1,4%.Sedangkan laporan kasus
di rumah sakit menunjukkan CFR campak yang jauh lebih besar. Hal ini disebabkan
kebanyakan kasus campak yang dibawa ke rumah sakit merupakan kasus yang parah dan
hampir selalu dengan penyulit. Bagian anak RS Pimgadi Medan melaporkan bahwa angka
kematian akibat penyulit campak rata-rata 26,4% setiap tahunnya.
Kejadian luar biasa campak lebih sering terjadi di daerah pedesaan terutama daerah
yang sulit dijangkau oleh pelayanan kesehatan, khususnya dalam program imunisasi. Di
daerah transmigrasi sering terjadi wabah dengan angka kematian yang tinggi. Di daerah
perkotaan khusus, kasus campak tidak terlihat, kecuali dari laporan rumah sakit. Hal ini
Etiologi
Virus campak berada di sekret nasofaring dan di dalam darah, minimal selama masa tunas
dan dalam waktu yang singkat sesudah timbulnya ruam. Virus tetap aktif minimal 34
jam pada temperatur kamar, 15 minggu di dalam pengawetan beku, minimal 4 minggu
disimpan dalam temperatur 35OC, dan beberapa hari pada suhu O°C. Virus tidak aktd pada
pH rendah.
Bentuk Virus
Virus campak termasuk golongan paramyxovirus berbentuk bulat dengan tepi yang kasar
dan bergaris tengah 140 nm, dibungkus oleh selubung luar yang terdiri dari lemak dan
protein. Di dalamnya terdapat nukleokapsid yang berbentuk bulat lonjong, terdiri dari
bagian protein yang mengelilingi asam nukleat (RNA) - yang merupakan struktur heliks
nukleoprotein dari myxovirus. Pada selubung luar seringkali terdapat tonjolan pendek.
Salah-satu protein yang berada di selubung luar berfungsi sebagai hemaglutinin.
Ketahanan Virus
Virus campak adalah organisme yang tidak memiliki daya tahan tinggi. Apabila berada
di luar tubuh manusia, keberadaannya tidak kekal. Pada temperatur kamar ia akan
kehilangan 60% sifat infektivitasnya setelah 3-5 hari, pada suhu 37°C waktu paruh usianya
2 jam, sedangkan pada suhu 56°C hanya satu jam. Sebaliknya virus ini mampu bertahan
dalam keadaan dingin. Pada suhu -70°C dengan media protein ia dapat hidup selama 5,5
tahun, sedangkan dalam lemari pendingin dengan suhu 4-6"C, dapat hidup selama 5 bulan.
Tetapi bila tanpa media protein, virus ini hanya mampu bertahan selama 2 minggu, dan
dapat dengan mudah dihancurkan oleh sinar ultraviolet.
e
Oleh karena selubungnya terdiri dari lemak maka virus campak termasuk
mikroorganismeyang bersifat ether labile. Pada suhu kamar, virus ini akan mati dalam 20%
ether setelah 10 menit dan dalam 50% aseton setelah 30 menit. Virus campak juga sensitlf
terhadap 0,01% betapropiacetone - pada suhu 37°C dalam 2 jam, ia akan kehilangan sifat
infektivitasnyanamun tetap mernilikiantigenitas penuh. Sedangkan dalamformalin 1/4.000,
virus ini menjadi tidak efektif setelah 5 hari, tetapi tetap tidak kehilangan antigenitasnya.
Penambahan tripsin akan mempercepat hilangnya potensi antigen*.
Pertumbuhan Virus
Virus campak dapat tumbuh pada berbagai macam tipe seI, tetapi untuk isolasi primer
digunakan biakan sel ginjal manusia atau kera. Pertumbuhan virus campak lebih lambat
daripada virus lainnya, baru mencapai kadar tertinggi pada fase larutan setelah 7-10 hari.
Virus tidak akan tumbuh dengan baik pada perbenihan primer yang terdiri dari continuous
Carnpok 111
cell lines, tetapi dapat diisolasi dari biakan primer sel manusia atau kera terlebih dahulu
dan selanjutnya virus ini akan dengan mudah menyesuaikan diri dengan berbagai macam
biakan yang terdiri dari continuous cell lines yang berasal dari sel ganas maupun sel normal
manusia. Sekali dapat menyesuaikan diri pada perbenihan tersebut, ia dapat tumbuh
dengan cepat dibandingkan dalam perbenihan primer, dan mencapai kadar maksimurnnya
dalam 2 4 hari.
Virus campak menyebabkan dua perubahan tipe sitopatik. Perubahan sitopatik yang
pertama berupa perubahan pada sel yang batas tepinya menghilang sehingga sitoplasma
dari banyak sel akan saling bercampur dan membentuk anyaman dengan pengumpulan 40
nucleus di tengah. inclusion bodies tampak pada kedua sitoplasma dan intinya. Efek sitopatik'
yang kedua menyebabkan perubahan bentuk sel perbenihan dari poligonal menjadi bentuk
gelondong.Sel ini menjadi lebih hitam dan lebih membias daripada sel normal dan jika dicat
menunjukkan inclusion bodies yang berada di dalam inti. Efek pada sel gelondong ini lebih
sering teqadi pada sub-kultur yang berurutan, terutama apabila virus telah menyesuaikan
diri dalam sel amnion manusia.
Ada atau tidak adanya glutamin dalam media mungkin menentukan efek sitopatik
utama mana yang akan timbul, terutama bila virus ditumbuhkan dalam sel H.Ep2. Tipe
efek sitopatik yang bervariasi ini tergantung pada tipe sel penjamu, media, jalur virus yang
.
dilalui dan genetik strain virus itu sendiri. Struktur serat dan pipa kecil terlihat dalam inti
sel yang terinfeksi virus campak, namun struktur tersebut bukan merupakan partikel virus
melainkan tanda istimewa dari infeksi virus campak. Struktur serupa juga terlihat pada
kasus subacute sclerosing encephalitis.
Struktur antigenik
Virus campak menunjukkan antigenitas yang homogen, berdasarkan penemuan
laboratorik dan epidemiologik. Infeksi dengan virus campak merangsang pembentukan
neutralizing antibody, complement frxing antibody dan haemaglutinine inhibition antibody.
Imunoglobulin kelas IgM dan IgG distimulasi oleh infeksi campak, muncul bersama-sama
diperkirakan 12 hari setelah infeksi dan mencapai titer tertinggi setelah 21 hari. Kemudian
IgM menghilang dengan cepat sedangkan IgG tinggal tidak terbatas dan jumlahnya terus
terukur. Keberadaan imunoglobulin kelas IgM menunjukkan pertanda baru terkena infeksi
atau baru mendapatkan vaksinasi, sedangkan IgG menunjukkan bahwa pernah terkena
infeksi walaupun sudah lama. Antibodi IgA sekretori dapat dideteksi dari sekret nasal
dan terdapat di seluruh saluran nafas. Daya efektivitas vaksin virus campak yang hidup
dibandingkan dengan virus campak yang mati adalah adnya IgA sekretori yang hanya
dapat ditimbulkan oleh vaksin virus campak hidup.
Seluruh virion penting untuk infeksi, tetapi antibodi protektif sudah dapat terbentuk
dengan penyuntikan antigen hemaglutinin murni. Bila lebih dari satu bagian virus muncul,
dapat menyebabkan hemagluhnasi pada sel darah merah kera dan baboon. Anhgen ini
dapat dipisahkan dari antigen lainnya yang terbawa bersama virus, dengan membubuhkan
Tzueen 80 ether. Dengan pemberian Tween 80 ether, terlepaslah inti kapsul yang bertanggung-
jawab terhadap terbentuknya complementfrxingantibody. Hemolisin mungkin berasal dari
selubung luar yang dapat menyebabkan perubahan sitopatik, namun tidak ditularkan.
Penyulit
a. Laringitis akut
Laringitis timbul karena adanya edema hebat pada mukosa saluran nafas, yang
bertambah parah pada saat demam mencapai puncaknya. Ditandai dengan distres
pemafasan, sesak, sianosis dan stridor. Ketika demam turun keadaan akan membaik
dan gejala akan menghilang.
b. Bronkopneumonia
Dapat disebabkan oleh virus campak maupun akibat invasi bakteri. Ditandai dengan
batuk, meningkatnya frekuensi nafas, dan adanya ronki basah halus. Pada saat
suhu turun, apabila disebabkan oleh virus, gejala pneumonia akan menghilang, kecuali
batuk yang masih dapat berlanjut sampai beberapa hari lagi. Apabila suhu tidak juga
t u r n pada saat yang diharapkan dan gejala saluran nafas masih term berlangsung,
dapat diduga adanya pneumonia karena bakteri yang telah mengadakan invasi
pada sel epitel yang telah dirusak oleh virus. Gambaran infiltrat pada foto toraks dan
adanya leukositosis dapat mempertegas diagnosis. Di negara sedang berkembang
dimana malnutrisi masih menjadi masalah, penyulit pneumonia bakteri biasa terjadi
dan dapat menjadi fatal bila tidak diberi antibiotik.
c. Kejangdemam
Kejang dapat timbul pada periode demam, umurnnya pada puncak demam saat ruam
keluar. Kejang dalam ha1 ini diklasifikasikansebagai kejang demam.
d. Ensefalitis
Merupakan penyuht neurologik yang paling sering terjadi, biasanya terjadi pada hari ke-4-
7 setelah timbulnya ruam. Kejadian ensefalitis sekitar1dalam1.000 kasus campak, dengan
mortalitas antara 3040%.Terjadinya ensefalitis dapat melalui mekanisme irnunologik
rnaupun melalui invasi langsung virus campak ke dalam otak. Gejala ensefalitis dapat
berupa kejang, letargi, koma dan iritabel. Keluhan nyeri kepala, frekuensi nafas
meningkat, bitching, disorientasijuga dapat ditemukan. Pemeriksaan cairanserebrospinal
menunjukkan pleositosis ringan, dengan predominan sel mononuklear, peningkatan
protein ringan, sedangkan kadar glukosa dalam batas normal
Pencegahan
Pencegahancampakdilakukandengan pemberianimunisasiaktif pada bayi berumur 9 bulan
atau lebih. Program imunisasi campak secara luas baru dikembangkan pelaksanaannya
pada tahun 1982.
Pada tahun 1963 telah dibuat dua macam vaksin campak, yaitu (1) vaksin yang
berasal dari virus campak yang hidup dan dilemahkan (tipe Edmonstone B) dan (2)
vaksin yang berasal dari virus campak yang dimatikan (virus campak yang berada dalam
larutan formalin yang dicampur dengan garam aluminium). Sejak tahun 1967 vaksin
yang berasal dari virus campak yang telah dimatikan tidak digunakan lagi oleh karena
efek proteksinya hanya bersifat sementara dan dapat menimbulkan gejala atypical measles
yang hebat. Sebaliknya, vaksin campak yang berasal dari virus hidup yang dilemahkan,
dikembangkan dari Edmonstone strain menjadi strain Schwarz (1965) dan kemudian
Carnpok 117
vaksin yang tidak ganas. Akibat setiap pemberian imunisasi akan menyebabkan respons
imun anamnestik pada kasus yang tidak menunjukkan gejala klinis dari penyakitnya.
Kegagalan vaksinasi perlu dibedakan antara kegagalan primer dan sekunder.
Dikatakan primer apabila tidak terjadi serokonversi setelah diimunisasi dan sekunder
apabila tidak ada proteksi setelah terjadi serokonversi. Berbagai kemungkinan yang
menyebabkan tidak terjadinya serokonversi ialah: (a) Adanya antibodi yang dibawa
sejak lahir yang dapat menet~alisirvirus vaksin campak yang masuk, @) Vaksinnya yang
rusak, (c) Akibat pemberian irnunoglobulin yang diberikan bersama-sama. Kegagalan
sekunder dapat terjadi karena potensi vaksin yang kurang kuat sehingga respons imun
yang terjadi tidak adekuat dan tidak cukup untuk memberikan perlindungan pada bayi
terhadap serangan campak secara alami.
Daftar Bacaan
1. Alber CH, Ennis FA, Saltzam EJ, Krugman S. Persistenceof maternal antibody in infants beyond
12 months : mechanism of measles vaccine failure. J Pediatr 1971; 91: 715-8.
2. Arbete AM, Arthur JH, Blakemen GJ, Mclntosh K. Measles immunity : reirnmunization of
children who previously received livemeasles vaccine and gamma glob;lin. J Pediatr 1977; 81: .
73741.
3. Bech V. Studies on the development of complement fixing antibodies in measles patient.
Observations during a measles epidemic in Greenland. J Immunol1959;83 : 267-75.
4. Behrman RE, Vaughan VC. Measles. Dalam: Behrman RE, Vaughan 111 VC, Nelson WE
(penyunting). Textbook of pediatrics, edisi ke-13. Philadelphia: WB Saunders, 1987.h.655-8.
5. Bellanti JA, Robbin JB. Immunoprophylaxis : The use of vaccines. Immunology, edisi ke-3.
Philadelphia: WB Saunders,1985; 472 : 508-32.
6. Black FL. Measles. Dalam: Evans AC (penyunting).Viral infections of humans, edisi ke-2. New
York: Plenum Med, Book, 1983.h. 397418.
7. Black FL. Measles. Textbook of tropical and geographical medicine. Mc Graw-Hill, 1985.h.586-
92.
"
8. Bloch AB. Orenstein WA, Stetler HC dkk. Health impact of measles vaccination in the United
States Pediatric, 1985; 76:524-32.
9. Budiarso LR. Pola Penyakit penyebab kematian bayi. Survei Kesehatan.Rumah Tangga
1985/1986. Disajikan pada Seminar Kelangsungan Hidup Anak. Biro Pusat Statistik, Jakarta
29-30 Juni,1987.
10. CendricAM, David OW. Viral pathogenesis and immunologi.Blackwell Scientific Publications,
1984.
11. Cheny JD, Feigin RD, Lobes JA, JR. Urban measles in the vaccine era : a clinical, episdemiologic :
and serologic study. J Pediatr 1972; 81:217-30.
12. Cherry JD, Feigin RD, Lobes LA, Shakelford PG. A Typical measles in children previously
immunized with attenuated measles virus ,vaccines.Pediatrics, 1972; 50:712-7.
13. Cheny ID, Feigin RD, Shackelford PG, Hinthom DR, Schmidt RR. A clinical and serologic study
of 103 children with measles vaccine failure. J Pediatr 1973; 82802-8.
14. Morley D. Overview of the present situation as to measles in the developing world Trans R Soc
Trop Med Hyg. 1975; 6922-3.
15. David J, Drutz, Graybill JR.Infectious diseases basic &clinicalimmunology,edisi ke-6. Appleton
& Lange medical Publication,1987.h.534-80. i
I
i
Buku Ajar lnfeksi don Pediatn' Tropis j
i
!
i
I
i
Departemen Kesehatan' Republik Indonesia. Cakupan program imunisasi 1986/1987,Berita
Epidemiologi Edisi Khusus/ kwartal1I dan 111, Ditjen PPM & PLP. Jakarta,1987.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan penelitian faktor-faktor yang
mempengaruhistatus kesehatan di D.1. Yogyakarta dan Nusa Tenggara Barat. SekretarisJendral
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta, Maret 1989.
Dibley MJ. Risk factors for severe measles. Laporan Semiloka campak dan kaitannya dengan
kelangsungan hidup anak. UPEKA, Puslitkes-LPUI. Jakarta,1988.
Feigin RD, Garg R. Interaction of infection and nutrition. Dalam: Feigin RD, Cherry JD
(penyunting). Textbook of pediatric infectious diseases, edisi ke-2. Hongkong, WB Saunders
CO, 1992.h.17-25.
Fireman P, Friday G, Kumate J. Effect of measles vaccine on immunologic responsiveness.
Pediatrics.1969; 43: 264-72.
Fulginiti VA. Immunologic responses to infection. Dalam: Feigin RD, Cherry JD (penyunting).
Textbook of pediatric infectious diseases, edisi ke-2. Hongkong, WB Saunders Company,1987.
h.28-38.
Ginting S. Kejadian luar biasa campak di desa Bondokodi, Sumba barat NTT, Agustus 84-
Februari 1985. Laporan semiloka campak dan kaitannya dengan kelangsungan Hidup Anak.
UPEKA, Puslitkes. LPUI. Jakarta.1988.
Gunawan S. Masalah Campak di Indonesia. Laporan semiloka campak dan kaitannya dengan
kelangsingan hidup anak. UPEKA, Puslitkes LPUI, Jakarta.1988.
Halsey NA, Atetler HC. Adverse reactions associated with vaccines administered in expanded
on immunization project. Dalam: Halsey NA, Quardros CA @enyunting).-~ecent
advances in immunization. Washington: Pan America Health Organization, Scientific
Publication, 1983; 451:90-102.
Halsey NA. The optimal age for administering measles vaccine in developing countries. Dalam:
Halsey NA, de Quadros CA, penyunting. Recent advances in immunization. A bibliographic
review. Washington DC : Pan American Health Organization (publication 451), 1983.
Halsey NA. Recent advances in immunization. Washington 1 PAHO, scientivic publication,
1983; 451: 65-80.
Hardiono DP, Passat J, Abdoerrachman MH. Subacuta sclerosing panencephalitis, manifestasi
klinis dan laboratorium.Seminar Campak. Jakarta, 4 Mei 1991.
Jurita Harjati, Susy Sannie, lamtiur H. Tampubolon., Lusia Gani J. Bondan Lukita. Penyalut
campak dan permasalahannya.Seminar campak sehari di Jakarta 7 Nopember 1989.
Jusak. Studi retrospekbf morbiditas dan mortalitas penderita penyakit campak yang dirawat
tinggal di RSUD Dr. Soetomo tahun 1984-1989.Diajukan di LaboratoriumIlmu Kesehatan Anak
FK Unair Surabaya, (Unpublished).1989.
Kandun Ny. Program imunisasi Pelita V dengan telaah cakupan imunisasi campak, berita Pokja
Campak edisi V/ Agustus. 1989.
Kasinyah Kaniek.Persepsi orang Jawa terhadap penyakit morbili dan perawataruiya, salah satu
kendala dalam rangka program imunisasi.. Thesis Universitas Indonesia Jakarta, 1983.
Kandun I Ny, Hariadi W, Ruspandi H, Basuki L, Arnold RB, SuharyonoW. Penelitiankekebalan
bawaan dan serokonversi setelah vaksinasi campak pada bayi di Kabupaten Mojokerto Jawa
Timur 1986. Seminat campak sehari. Jakarta, 7 Nopember 1989.
33. Kandun. Kebijakan program imunisasi dalam reduksi insidens campak setelah UCI Tercapai.
Seminar sehari Pokja Campak. Jakarta, 4 Mei 1991.
34. Katz SL, Morley DC, Krugmans S. Attenuated measles vaccine in Nigeria children, Am J Dis
Child 1962; 103402-05.
35. Katz GL. International symposium on measles immunization : summary and recommendations.
Pediatrics 1983; 71:653-4.
36. Kemp A, Asperen PV, Mukhi A. Measles immunization in children with clinical reaction to egg
protein. AJDC, 1990; 144.
37. Krause PJ, Cherry JD, Naiditch MJ, Deseda-Tous J, Walbergh EJ. Revaccination of provious
recipients of killed measmes vaccine : clinical and imrnunologc studies. J Pediat 1978; 93:565-
71.
38. Krause PJ, Cherry JD, Carney JM, Naidith MJ, 0'Connor K. Measles spesific lymphocyte
reactivity and serum antibody in subjects with different measles histories. Am J Dis Child 1980;
134:567-71.
39. Kristiani, Sanusi R. Vaksinasi campak pada anak umur 6-36 bulan dengan berbagai tingkat gizi
di Kecamatan Salam sehari, Jakarta, 1989.
40. Katz SL. Measles (Rubeola). Dalarn: Krugman's Infectious Diseases of Children. Ed. 11. Gerson
,
AA, Hotez PJ, Katz SL. Penyunting. Mosby Philadelphia, 2004; 353-71.
41. Linnemann CC, Dine MS, Bloom JE, Schiff GM. Measles antibody in previously vaccinated cluldren : the
need for revaccination. Am J Dis Child 1972; 124:53-7.
42. Markowitz LE, Bemier RH. Immunization of young infants with Edmonston-Zagred measles vaccine.
Pediatr Infect Dis J 1987; 6:809-12.
43. Markowitz LE, Stephen RP, Paul EM Fi, Walter A. Duration of live measles vaccine-induced immunity.
Pediatr Infect Dis J 1987; 9:101-10
44. Markowitz LE, Nieburg P. The burden of acute respiratory infectiondue to measles in developing countries
and potential impact of measles vaccine. Reviews Infect Dis. 1991; 13 (suppl6):S555-61.
45. Marks JS, Hayden GF, Orenstein WA. Methodologic issues in the evaluation of vaccine efectiveness
Measles vaccine at 12 vs. 15 months. Am. J. Epidemiol.1982; 116:510-23
46. McGraw TY.Reimmunization following early immunization with measles vaccine : a prospective study.
Pediatrics, 1986; 77:45-8.
47. Murphy MD, Bmnell PA, Lievevs AW, Schebab ZM. Effect of early immunization on antibody response to
reimmunization with measles vaccine as demonstrated by enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).
Pediatrics 1984; 7490-3.
48. Nelson WE. Measles. Textbook of pediatrics. WB Saunders Company 1987
49. Nosaal GJV.The biotechnology revolution and new vaccines. Dalam: Mandl PE (penyunting).Universal
Child Immunization by 1990. Geneve : Assignment children. UNICEF, 1985.h.115-36.
50. Orenstein WA, Betnier RH, Dondero TJ, ads. Field evaluation of vaccine efficacy. Bull WHO 1985; 63:1055-
68.
51. Peballi JK, Merigan TC, Wilbur JR. Circulating interferon after measles vaccination. N Engl J Med 1965;
273198-201.
52. Plotkin, Mortimer. Vaccines. Textbook on vaccine. WB Saunders Co, 1988.
53. Reblud SR, Katz SL. Measles vaccine. Dalam: Meier AE (penyunting). Vaccines. Philadelphia, WB
Saunders, 1988 h.182-222.
Carnpok
Rubella
R
ubella (German measles) menjadi terkenal karena sifat teratogeniknya. Rubella
merupakan suatu penyakit virus yang umum pada anak dan dewasa muda, yang
ditandai oleh suatu masa prodromal yang pendek, pembesaran kelenjar getah
bening servikal, suboksipital dan postaurikular, disertai erupsi yang berlangsung 2 - 3 hari.
Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa dapat terjadi infeksi berat disertai kelainan
sendi dan purpura. Kelainan prenatal akibat rubella pada kehamilan muda dilaporkan
pertama kali oleh Gregg di Australia pada tahun 1941. Rubella pada kehamilan muda
dapat mengakibatkan abortus, bayi lahir mati, dan menimbulkan kelainan kongenital yang
berat pada janin. Sindrom rubella kongenital merupakan penyakit yang sangat menular,
mengenai banyak organ dalam tubuh dengan gejala klinis yang luas. Hingga saat ini
penyakit rubella masih merupakan masalah dan terus diusahakan eliminasinya.
Rubella disebabkan oleh suatu RNA virus, genus Rubivirus, famili Togaviridae. Virus
dapat diisolasi dari biakan jaringan penderita. Secara fisikokimiawi virus ini sama dengan
anggota virus lain dari famili tersebut, tetapi virus rubella secara serologik berbeda. Pada
waktu terdapat gejala klinis virus ditemukan pada sekret nasofaring, darah, feses dan urin.
Virus rubella hanya menjangkiti manusia saja.
Patogenesis
Penularan terjadi melalui oral droplet, dari nasofaring, atau rute pernafasan. Selanjutnya
virus rubella memasuki aliran darah. Namun terjadinya erupsi di kulit belum diketahui
patogenesisnya. Virernia mencapai puncaknya tepat sebelum tirnbul erupsi di kulit. Di
nasofaring virus tetap ada sampai 6 hari setelah timbulnya erupsi d m kadang-kadang lebih
lama. Selain dari darah dan sekret nasofaring, virus rubella telah diisolasi dari kelenjar
getah bening, urin, cairan serebrospinal, ASI, cairan sinovial dan paru.
Penularan dapat terjadi biasanya sejak 7 hari sebelum hingga 5 hari sesudah timbulnya
erupsi. Daya tular tertinggi terjadi pada akhir masa inkubasi, kemudian menurun dengan
cepat, dan berlangsung hingga menghilangnya erupsi.
Epidemiologi
Penyakit ini terdistribusi secara luas di dunia. Epidemi terjadi dengan interval 5-7 tahun (6-
'
9 tahun), paling sering timbul pada musim semi dan terutama mengenai anak serta dewasa
muda. Pada manusia virus ditularkan secara oral droplet dan melalui plasenta pada infeksi
kongenital. Sebelum ada vaksinasi, angka kejadian tertinggi terdapat pada anak usia 5-14
tahun. Dewasa ini kebanyakan kasus terjadi pada remaja dan dewasa muda.
Kelainan pada fetus mencapai 30% akibat infeksi rubella pada ibu hamil selama
! rninggu pertama kehamilan.Risiko kelainan pada fetus tertinggi (50-60%)terjadi pada bulan
: pertama dan menurun menjadi 4-5% pada b u l q keempat kehamilan ibu. Survei & Inggris
i (1970-1974) menunjukan insidens infeksi fetus sebesar 53%dengan rubella klinis dan hanya
I 19% yang subklinis.Sekitar 85% bayi yang terinfeksi rubella kongenital mengalami defek.
i
I
!
Manifestasi Klinis
I Masa lnkubasi
Masa inkubasi berkisar antara 14 - 21 hari. Dalam beberapa laporan lain waktu inkubasi
minimum 12 hari dan maksimum 17 sampai 21 hari.
Masa Prodromal
Pada anak biasanya erupsitimbul tanpa keluhansebelumnya; jarang disertai gejala dan tanda
pada masa prodromal. Namun pada remaja dan dewasa muda masa prodromal berlangsung
1-5 hari dan terdiri dari demam ringan, sakit kepala, nyeri tenggorok, kemerahan pada
konjunghva, rinitis, batuk dan lirnfadenopati. Gejala ini segera menghilang pada waktu
erupsi timbul. Gejala dan tanda prodromal biasanya mendahului erupsi di kulit 1-5 hari
sebelumnya. Pada beberapa penderita dewasa gejala dan tanda tersebut dapat menetap
lebih lama dan bersifat lebih berat. Pada 20% penderita selama masa prodromal atau hari
pertama erupsi, timbul suatu enantema, Forschheimer spot, yaitu makula atau petekia pada
palatum molle, bisa saling merengkuh sampai seluruh permukaan faucia. Pembesaran
kelenjar limfe bisa timbul 5 - 7 hari sebelum timbul eksantema, khas mengenai kelenjar
suboksipital, postaurikular dan servikal, dan disertai nyeri tekan.
Masa Eksantema
Seperti pada rubeola, eksantema mulai retroaurikular atau pada muka dan dengan cepat
meluas secara kraniokaudal ke bagian lain dari tubuh. Mula-mula berupa makula yang
berbatas tegas dan kadang-kadang dengan cepat meluas dan menyatu, memberikan bentuk
morbillifom. Pada hari kedua eksantema di muka menghilang, diikuti hari ke-3 di tubuh
dan hari ke-4 di anggota gerak. Pada 40% kasus infeksi rubella terjadi tanpa eksantema.
Meskipun sangat jarang, dapat terjadi deskuamasi posteksantematik.
Limfadenopati merupakan suatu gejala klinis yang penting pada rubella. Biasanya
pembengkakan kelenjar getah bening itu berlangsung selama 5-8 hari.
Rubella
123
Pada penyakit rubella yang tidak mengalami penyulit sebagian besar penderita sudah
dapat bekeja seperti biasa pada hari ke-3. Sebagian kecil penderita masih terganggu dengan
nyeri kepala, sakit mata, rasa gatal selama 7-10 hari.
i
j
i
Penyulit
Jarang terjadi pada anak. Pada remaja dan dewasa dapat terjadi artritis dan artralgia dari 1
sendi kecil tangan, kaki, lutut, dan bahu yang berupa pembengkakan dan nyeri. Khususnya
artralgia pada tangan timbul setelah erupsi pada penderita dewasa, merupakan gejala klinis
yang sangatmeyakinkanuntukrubella. Artritis dapatmengenai30% serta5%wanita. Artritis
biasanya hilang dalam 1 bulan. Ensefalitis dapat terjadi tetapi sangat jarang (1:5.000 kasus).
Satu minggu setelah erupsi timbul dapat terjadi purpura (purpura trombositopenik).Dapat
pula terjadi epistaksis, per-darahan gusi dan saluran cema, hematuria serta ekimosis pada
palatum dan periorbita. Penyulit tersebut jarang berakibat fatal dan umurnnya penderita
sembuh dalarn 2 rninggu.
Rubella kongenital
Meksi rubella pada ibu hamil dapat menimbulkan infeksi pada janin dengan kelainan
teratogenesisyang bergantung dari umur kehamilan. Pada waktu mengalami infeksi rubella
sebagian ibu hamil (50%)tidak menunjukkan gejala atau tanda klinis. Meskipun demikian
virus dapat menimbulkan infeksi pada plasenta dan diteruskan ke janin, yang mana virus
itu menyerang banyak organ dan jaringan. Rubella pada ibu dapat menimbulkan berbagai
kemungkinan di janinnya, yaitu: (1)non-infeksi, (2) infeksi tanpa kelainan apapun, (3)infeksi
dengan kelainan kongenital, (4) resorpsi embrio, (5) abortus atau (6) kelahiran mati.
Bayi yang lahir dari ibu hamil yang menderita rubella pada trimester pertama bisa
terkena sindrom rubella kongenital, yaitu trias anomali kongenital pada mata (katarak,
rnikroftalmia, glaukoma, retinopati), telinga (ketulian) dan defek jantung (stenosis arteri
pulmonalis, patent ductus arteriasus, ventricle septa1 dqecf). Kerusakan jantung dan mata
terjadi karena infeksi embrio yang berumur kurang dari 6 minggu, sedangkan ketulian
dan defek mental terjadi pada semua embrio yang berumur sampai kira-kira 16 minggu.
Selain itu dapat tejadi kelainan susunan saraf pusat dan gigi. Manifestasi lainnya adalah
glaukoma, rnikrosefali d m berbagai kelainan viseral.
Manifestasiurnum rubella kongenital pada waktu lahir adalah retardasi pertumbuhan
dan psikomotorik. Antara 50-85%dari semua bayi beratnya kurang dari 2.500 gram, setelah
lahir pertumbuhannya punakan terhambat (growth retardation).Angka kematian bayi dengan
rubella kongenitd pada tahun pertama tinggi. Kematian dapat disebabkan karena gaga1
pertumbuhan, kelainan jantung atau miokarditis, pneumonia, hepatitis, trombositopenia,
bluebewy mufin rash, lirnfopenia, classic ensefalitis atau defisiensi sistem imun.
Kira-kira sepertiga bayi rubella kongenital akan mengalami katarak. Katarak ini dapat
bilateral atau unilateral dan seringkali sudah ada pada waktu lahir. Biasanya juga terdapat
retinopati dan rnikroftalmia yang biasanya unilateral. Pada 5% bayi rubella kongenital
terdapat glaukoma. Diagnosis dini sangat penting untuk mencegah kebutaan.
Diagnosis Banding
Penyakit yang memberikan gejala klinis dan eksantema yang menyerupai rubella adalah,
a. Penyakit virus: campak, roseola infanturn, eritema mononukleosis infeksiosa dan
pityriasis rosea
b. Penyakit bakteri: scarlet fever (Skarlatina).
c. Erupsi obat: ampisilin, penisilin, asam salisilat, barbiturat, INH, fenotiazin dan diuretik
tiazid.
Bercak erupsi rubella yang berkonfluens sulit dibedakan dari morbili, kecuali
bila ditemukan bercak Koplik yang patognomonik untuk morbili. Erupsi rubella cepat
menghilang sedangkan erupsi morbili menetap lebih lama.
Bila terjadi kernerahandifus dan tampak bercak-bercakbenvarnalebihgelap diatasnya,
perlu dibedakan dari Scarlet fever. Tidak seperti Scarlet fever, pada rubella daerah perioral
terkena.
Erupsi pada infeksi mononukleosis dapat menyerupai rubella derajat berat, namun
penyakit itu dimulai dengan difteroid atau Plaut-Vincent-like tonsillitis, demam lebih tinggi,
pembesaran kelenjar getah bening umum serta pembesaran hepar dan lirnpa.
Pada sifilis stadium dua ditemukan juga eksantema yang menyerupai rubella, disertai
pembesaran kelenjar getah bening umum. Kadang-kadang perlu pemeriksaan serologk
untuk sifilis.
Erupsi obat menyerupai rubella yang dapat disertai pembesaran kelenjar getah bening
disebabkan terutama oleh senyawa hidantoin. Pada kasus yang meragukan dapat dilakukan
pemeriksaan hemogram dan serologi.
Diagnosis
Diagnosis klinis sering kali sukar dibuat untuk seorang penderita oleh karena tidak ada tanda
atau gejala yang patognomik mtuk rubella. Seperti dengan penyakit eksantema lainnya,
diagnosis dapat dibuat dengan anamnesis yang cermat. Rubella merupakan penyakit yang
epidemi sehingga bila diselidiki dengan cermat, dapat ditemukan kasus kontak atau kasus
Rubella
125
lain di dalam lingkungan penderita. Sifat demam dapat membantu dalam menegakkan
diagnosis, oleh karena demam pada rubella jarang sekali di atas 38,5OC.
Pada infeksi yang tipikal, makula merah muda yang menyatu menjadi eritema difus
pada muka dan badan serta artralgia pada tangan penderita dewasa merupakan petunjuk
diagnosis rubella.
Perubahan hematologik hanya sedikit membantu penegakan diagnosis. Peningkatan
sel plasma 5-20% merupakan tanda yang khas. Kadang-kadang terdapat leukopenia pada
awal penyakit yang dengan segera diikuti limfositosis relatif. Sering terjadi penurunan
ringan jurnlah trombosit.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan serologi yaitu adanya peningkatan
titer antibodi 4 kali pada haemaglutination inhibition test (HAIR)atau ditemukannya antibodi
IgM yang spesifikuntukrubella. Titer antibodi mulaimeningkat 24-48 jam setelahpermulaan
erupsi dan mencapai puncaknya pada hari ke 6-12. Selain pada infeksi primer, antibodi IgM
spesifik rubella dapat ditemukan pula pada reinfeksi. Dalam ha1 ini adanya antibodi IgM
spesifik rubella harus di interpretasi dengan hati-hati. Suatu penelitian telah menunjukkan
bahwa telah terjadi reaktivitas spesifik terhadap rubella dari sera yang dikoleksi, setelah
terinfeksi virus lain.
Pada kehamilan, 1-2 rninggu setelah timbulnya rash dapat dilakukan pemeriksaan
serologi IgM-immunoassay (dengan sampel berasal dari tenggorok atau urin) sebanyak
dua kali dengan selang 1-2 rninggu. Bila didapatkan kenaikan titer sebanyak 4 kali, dapat
dipertimbangkan terminasi kehamilan.
lmunitas
Setelah serangan rubella, biasanya timbul imunitas jangka panjang. Reinfeksi dapat terjadi,
namun biasanya tidak disertai dengan gejala dan tanda klinis. Pada reinfeksl subklinis
dapat terjadi peningkatan kadar antibodi IgM. Bila seorang ibu yang mengalami reinfeksi
rubella pada waktu hamil, sangat kecil kemungkinan bahwa bayinya menderita rubella
kongenital.
Belurn ada standar pengukuran antibodi rubella dan kepastian mengenai kadar
minimal antibodi yang dapat memberikan proteksi klinis. Uji HA1 merupakan teknik
I
Buku Ajar lnfeksi don Pediatri Tropis
standar yang pertarna kali digunakan secara luas untuk pemeriksaan antibodi rubella. Bila
dengan pemeriksaan HA1 titernya >I116sampai 11512maka ada imunitas terhadap infeksi
rubella.
Suatu penelitian jangka panjang dengan pemeriksaan ELISA di Hawai dengan
menggunakan 3 jenis vaksin rubella menunjukkan bahwa imunitas pasca vaksinasi rubella
menetap setelah 16 tahun dengan angka seropositif 98% untuk vaksin HPV-77 DK 12
dan 88,8% untuk vaksin Cendehill. Sedangkan hasil penelitian di Eropa memperlihatkan
menetapnya antibodi pada 87-89% individu selama 8-18 tahun pasca vaksinasi.
Profilaksis
Makin dini terjadi ideksi rubella pada kehamilan, makin besar bahaya terjadinya
embriopati. Dari 212 wanita hamil dengan abortus diperiksa antibodi IgM dan IgG
spesifik rubella dengan cara enzyme immunoassay dan temyata seropositif 39 (18%) dan
80 (38%) berturut-turut untuk IgM dan IgG. Sedangkan dari 143 wanita hamil dengan
kelahiran normal sebanyak 7 (5%)d m 23 (16%)seropositif untuk IgM dan IgG. Karenanya
pemeriksaan status imun terhadap infeksi rubella seharusnya merupakan bagian rutin dari
pemeriksaan antenatal pada wanita harnil. Seharusnya setiap wanita pada masa reproduksi
memeriksakan titer antibodi rubella.
Bila dengan tes HAI titer antibodi kurang atau sebesar 1/16 maka dianggap rentan
terhadap infeksi. Perlu dilakukan vaksinasi pada wanita pasca pubertas dengan seronegatif
untuk mengurangi morbiditas.
Daftar Bacaan
1. Chery JD. Rubella. Dalam: Feigin RD, Cherry JD (penyunting). Textbook of pediatric infections
disease, edisi ke-1. Philadelphia: WB Saunders Co, 1981; 1370-400.
2. Phillip CP. Rubella (german for three day measles). Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin
AM (penyunting). Nelson textbook of pediatric, edisi ke-12. Philadelphia: WB Saunders Co,
1982.h.658-60.
Rubella
Eksantema Subitum
E
ksantema subitum adalah penyakit virus pada bayi dan anak kecil yang bersifat akut,
biasanya terjadi secara sporadik dan dapat menimbulkan epiderni.Hal yang unik dari
eksantema subitum ialah r u m dan perbaikan klinis yang tejadi hampir simultan.
Eksantema subitum sudah lama dikenal sebagai penyakit eksantematus yang sering terjadi
pada anak. Beberapa nama lain dari penyakit ini adalah roseola infanturn, sixth disease, the
rose rash of infants dan pseudorubella.
Awalnya penyakit ini tidak diketahui penyebabnya, sampai pada tahun 1988,
Yamanishi dkk menemukan human herpesvirus 6 (HHV-6) dalam darah 4 anak yang
menderita eksantema subitum. Penyakit ini ditandai dengan periode panas tinggi yang
berlangsung 1-5 hari (biasanya 3-4 hari). Setelah panas turun akan timbul ruam yang
timbul pada tubuh, menyebar ke arah leher, wajah dan ekstremitas. Selain HHV-6, infeksi
primer human herpesvirus 7 (HHV-7) yang mirip dengan HHV-6 juga dapat menyebabkan
eksantema subitum dengan demam yang tinggi.
Epidemiologi
Eksantema subitumcenderung hmbul di musim semi dan musim gugur pada negara dengan
4 musim. Angka kejadian penyakit ini pada anak laki-laki dan perempuan sama besar.
Secara geografis, angka kejadian eksantema subitum tidak berbeda bermakna. Eksantema
subitum diperkirakan memiliki periode inkubasi selama 7-17 hari.
Pada suatu penelitian dengan tes imunofluoresens, secara langsung telah dibuktikan
adanya antibodi terhadap HHV-6 pada awal penyakit. Sebagian besar bayi mempunyai
antibodi maternal untuk beberapa bulan pertama kehidupan. Pada umur 4 bulan hanya
25% didapatkan antibodi. Persentase ini meninggi sampai 76% pada waktu berumur 11
bulan, 90% pada umur 5 tahun, dan 98% pada waktu berumur 17 tahun. Sebagian besar
kasus klinik terjadi antara usia 6 dan 18 bulan. Didapatkannya virus pada saliva orang
dewasa asimtomatik dapat merupakan sumber infeksi. Berbagai penelitian serologi
menggambarkanbahwa infeksi HHV-6 terdapat pada setiap negara yang diteliti, seperti di
Jepang dan Amerika Serikat. Infeksi primer HHV-6 didapat pada usia 6-18 bulan, dimana
rata-rata usia adalah 9 bulan. Semua bayi atenn memiliki antibodi maternal sejak lahir dan
menurun pada usia 4 bulan. Titer ini akan meningkat kembali karena adanya infeksi primer
dari HHV-6. Hal ini menggambarkan bahwa hampir semua anak terkena KHV-6-dalam
usia 6 bulan pertama.
Di Amerika Serikat, hampir semua tes serologi infeksi HHV-6 hasilnya positif. Pada
penelitian yang lain juga menunjukkan variasi dalam prevalensi penyebaran. Seperti
diketahui terdapat asosiasi kuat antara HHV-6A pada anak di Zambia dengan demam yang
tejadi pada daerah endemik. Pada kejadian infeksi HHV-6 tidak mengenai ras tertentu saja.
Penelitian seroepidemiologi menyatakan bahwa lnfeksi HHV-7 terjadi pada anak dengan
usia yang lebih lanjut bila dibandingkan dengan infeksi HHV-6. Juga dikatakan antibodi
HHV-7 tidak terdeteksi pada anak usia di bawah 2 tahun.
Etiologi
Pada tahun 1986 HHV-6 telah diisolasi dari penderita dengan penyakit limfoproliferatif.
Dua tahun kemudian (1988) Yamanishi, dkk mengisolasi virus yang sama dari darah 4
bayi dengan eksantema subitum. Dilaporkan juga bahwa virus yang diisolasi berasal dari
penderita AIDS.
HHV-6 merupakan anggota genus Roseolovirus, subfamili Beta- herpesvirus. Seperti pada
virus herpes lainnya, HHV-6 memiliki karakteristik electron-dense core dan kapsid ikosahedral,
dikelilingi oleh tegurnen dan lapisan luar yang merupakan lokasi dari glikoprotein yang
penting dan membran protein. Kapsid HHV-6 dengan diameter 90-110 mrn, dirangkai dalam
nukleus, dimana terdapat pula tegumen. Kapsid tegurnen berdiameter 165 nrn melepaskan
diri masuk ke sitoplasma, kemudian kapsid menjadi envelope dengan membuat tunas ke
dalam vesikel sitoplasma. Virion luar memiliki diameter sekitar 200 nm.
Telah diketahui bahwa HHV-6 menpfeksi dan bereplikasi dalam lirnfosit dari sel T.
Terdapat 2 jenis HHV-6, yaitu jenis HHV-6A dan HHV-6B. Kedua varian ini sangat mirip,
tetapi dapat dibedakan berdasarkan selular, karakteristik biologi moluker, epidemiologi
dan asosiasi klinik. Genom DNA HHV-6 sekitar 162-170 kb, dengan panjang segmen
sekitar 141-143 kb Pada saliva, lebih banyak terdapat jenis HHV-6B. Meksi primer
penyakit eksantema subitum disebabkan oleh HHV-6B. Transmisi yang mungkin terjadi
adalah saat intrauterin atau perinatal, dirnana dapat ditemukan genom HHV-6 pada sel
. mononuklear di darah tepi neonatus sehat dan sekret dari senriks wanita hamil. Isolasi
HHV-6 diikuti dengan identifikasi dari 2 herpesvirus yang lain yang dapat menpfeksi
manusia, yaitu HHV-7 dan human herpes virus-8 (HHV-8) atau Kaposi's sarcoma-associated
herpesvirus (KSHV). HHV-6 dan HHV-7 merupakan subfamili beta herpesvirus. HHV-6A
dan HHV-6B memiliki hubungan yang erat dengan HHV-7. Meksi primer HHV-7 yang
rnirip dengan HHV-6 dapat menyebabkan eksantema subitum dengan demam yang tinggi.
HHV-7 diisolasi pada tahun 1990 dari CD4+ limfosit T individu yang sehat. Transmisi dari
HHV-7 belum ditentukan secara pasti, tetapi dilaporkan bahwa virus dapat diisolasi dari
saliva orang dewasa.
Patogenesis
Transrnisi infeksi HHV-6 dan HHV-7 pada anak belum jelas. Umumnya infeksi virus yang
terjadi pada masa bayi bersumber secara horizontal dari orang yang tinggal dekat dengan
Eksonterna Subifurn
129
bayi tersebut. Seperti orangtua, dokter, perawat saat membantu melahirkan, atau terjadi
infeksi transplasental. DNA HHV-6 dapat ditemukan pada saliva dan sel mononuklear
darah tepi dari 90% individu yang sehat. Pada individu yang sehat dapat ditemukan 100-
4000 DNA genom virus HHV-6 untuk satu juta sel mononuklear pada darah tepi. Walaupun
dernikian individu yang sehat dapat mentolerir jurnlah virus tersebut, atau bahkan yang
lebih banyak lagi, tanpa timbul gejala penyakit.
Adanya DNA HHV-6 dalam saliva dan kelenjar liur menyebabkan HHV-6 dapat
diisolasi dari saliva dan kelenjar liur tersebut, yang berarti virus dapat rnenyebar secara
horizontal dari satu individu ke individu yang lain melalui sekret oral. Walaupun jarang,
virus ini diduga juga dapat menyebar secara vertikal dari ibu ke bayi, dengan ditemukannya
virus DNA HHV-6 dalam sekret sewiks uteri. Infeksi primer dari HHV-7, diduga berasal
dari virus yang hidup di saliva orang dewasa karena ditemukannya DNA HHV-7 pada
kelenjar liur dari dewasa yang sehat. Transmisi yang mungkin terjadi berasal dari orang-
tua ke anak melalui kontak dekat.
Penelitian serologis pada hubungan infeksi HHV-6 dengan eksantema subitum telah
dilaporkan di Jepang. Sampel serum pasien pada fase akut dan konvalesen diperiksa
melalui antibodi imunoglobulin G (I$) dan imunoglobulin M (IgM). Antibodi IgM
dideteksi pada hari ke-5 dan marnpu bertahan selama 3 rninggu, tetapi tidak dapat dideteksi
setelah 1 bulan. Antibodi I$ dideteksi pada hari ke-7, dan meningkat sampai 3 minggu
serta bertahan selama 2 bulan. Ditemukan ha1 yang menarik bahwa titer antibodi terhadap
HHV-6 menjadi lebih tinggi saat terjadi infeksi virus lain seperti HHV-7. Pada penderita
transplantasi sumsum tulang, infeksi HHV dapat mengakibatkan fungsi surnsum tulang
menjadi tersupresi. Hal ini terjadi pada infeksi HHV-6, sedangkan infeksi HHV-7 tidak
merniliki efek terhadap formasi koloni hematopoietik.
Manifestasi KlinCk
Eksanterna subitum rnerupakan infeksi primer HHV-6B. Eksantema subitum merupakan
penyakit yang umum, disertai panas yang akut pada anak. Meskipun manifestasi klinik dari
bayi atau anak yang menderita eksantema subitum bewariasi, tetapi memiliki karakteristik
khas yaitu tirnbul demam mendadak tinggi sampai 39,4" C- 41,2 C. Panas akan berlangsung j
3-6 hari. Pada periode demam ini berhubungan dengan terdapatnya virus dalam darah. Saat
periode demam selama 3-6 hari, anak menjadi rewel, tetapi bila demam sudah menurun, :
anak menjadi tampak normal. Umumnya terjadi lirnfadenopati sewikal, tetapi karakteristik
yang paling utama adalah timbulnya limfadenopati di oksipital posterior pada 3 hari
pertama infeksi, disertai eksantema (Nagayana's spots) pada palatum molle dan uvula.
Setelah panas turun, kemudian timbul ruam pada tubuh, menyebar ke arah leher,
wajah dan ekstremitas. Lesi yang timbul berbentuk morbilifom atau rubella-like dengan
makular, lesi benvama merah muda, u k u h dengan diameter 1-3 mrn. Dapat ditemukan i
juga ubun-ubun besar yang menonjol namun akan sembuh secara spontan. Infeksi primer '1
ini dapat asimtomatik, tetapi juga dapat menimbulkan m d e s t a s i klinik yang lain dari 1
eksantema subiturn yang klasik. Pada beberapa kasus, eksantema subitum dapat disertai 1
gejala-gejala yang lain seperti otitis media sampai infeksi saluan pernapasan atas dan ;,
Diagnosis
Diagnosis eksantema subitum ditegakkan berdasarkan manifestasi klinik dan pemeriksaan
penunjang. Demam menurun pada hari ke-3-4. Saat temperatur kembali normal, timbul
erupsi makula dan makulopapular di seluruh tubuh, dimulai pada dada yang menyebar
ke lengan dan leher serta sedikit mengenai muka dan kaki. Ruam kemudian menghilang,
jarang menetap selama 24 jam. Jarang terjadi deskuamasi atau menimbulkan pigmentasi.
Kadang-kadang kelenjar limfe membesar, terutama di daerah servikal.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan laboratoriurn.
Pemeriksaan darah rutin seperti jumlah leukosit, dirnana dapat dijumpai leukositosis.
Selama 24-36 jam pertama panas, jumlah lekosit dapat mencapai 16000-20000/mm3 dengan
peninggian neutrofil. Pada hari ke-2 dapat timbul leukopenia (3000-5000/mm3) biasanya
pada hari ke 3-4 panas. Dapat terdapat neutropenia absolut dengan limfositosis relatif
(90%).Kadang-kadang dapat timbul monosit dalarn jurnlah besar.
Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan serologis, seperti pemeriksaan terhadap
irnunoglobulin M terhadap antibodi penderita, d m dapat dilakukan pemeriksaan polymerase
c h i n reaction (PCR)untuk mendeteksi DNA HHV-6 pada saliva dan kelenjar liur.Pemeriksaan
secara pasti untuk menentukan infeksi primer dari HHV-6 sangat sulit. Meskipun terdapat
berbagai macam tes serologi tetapi tetap tidak akurat. Adanya antibodi maternal pada bayi
dengan peningkatan 4 kali pada titer serologi, dapat menandakan reaktivasi atau dapat pula
berhubungan dengan infeksi yang lain. Pemeriksaan serologis HHV-6 dan HHV-7 dapat
menunjukkan adanya reaksi silang, sehingga menyebabkan hasil positif palsu. Antibodi
IgM terhadap HHV-6 umumnya dapat terdeteksi 5-7 hari pertama setelah infeksi primer.
Deteksi DNA HHV-6 pada darah dan saliva, dengan polymerase c h i n reaction tidak dapat
membedakan suatu infeksi persisten atau infeksi primer. HHV-6 yang persisten pada sel
mononuklear darah tepi umumnya terdapat pada anak setelah infeksi primer.
i
i Terapi
I
1 Tidak ada terapi spesifik yang direkomendasikan untuk infeksi primer dari HHV-6, karena
I pada umumnya anak dengan eksantema subitum dapat sembuh sempurna hanya dengan
' pengobatan simptomatik saja.
I
i
Penyulit
Penderita dengan eksantema subitum memiliki komplikasi-komplikasi yang umumnya
terjadi pada susunan saraf pusat. Komplikasi yang jarang terjadi adalah meningoensefalitis
atau ensefalitis, dan hemiplegia. Kejang demam merupakan komplikasi yang paling serjng
terjadi saat infeksi akut dan timbul pada anak dengan infeksi primer dengan usia antara
12-15 bulan. HHV-6 dapat bertahan dalam cairan serebrospinal setelah infeksi primer pada
anak sehat. Hal ini berhubungan dengan kejadian kejang demam berulang pada anak.
Predileksi yang sering adalah pada lobus temporal dan lobus frontal. HHV-6 seperti telah
dijelaskan dapat menginvasi otak secara langsung dan sel-sel neural, baik pada individu
yang sehat maupun pada penderita yang imunokompromis.
Prognosis
Prognosis pada penderita eksantema subitum adalah baik. Hal ini disebabkan karena
perjalanan penyakit eksantema subitum adalah akut dan ringan. Penyakit ini dapat sembuh
secara sempurna. Erupsi yang terjadi pada kulit dapat hilang dan kembali normal tanpa
adanya bekas. Pada penderita imunokompromis yang 'menderita eksantema subitum,
dapat terjadi infeksi kronis hingga menyebabkan kematian.
Daftar Bacaan
Yamanishi K. Human herpesvirus 6 and human herpesvirus 7. Dalam: Knipe DM, Howley PM,
editor. Virology. 4" ed. Philade1phia:Lippincott Williams&Wilkins,2001. p.2785-2795.
Hall CB, Caserta MT. Exanthem subitum (eksantema subitum). HERPES 1999; 6(3):64-67.
Hall CB. Human herpesvirus 6,7, and 8. Dalarn: Katz SL, Gershon AA, Hotez PJ, editor.
Krugrnan's infectious diseases of children. St Louis:CV Mosby-Yearbook Inc, 1998. p.204-210.
Berhman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan VC. Exanthem subitum. Dalam: Nelson
textbook of pediatrics.141hed. Philadelphia: WB Sanders Company, 1992. p.769-797.
Grose H. Human herpesviruses 6,7, and 8. Dalam: Feigin RD, Cheny JD,DemrnlerGJ, KaplanSL,
editor. Textbook of pediatric infectious diseases. 5'hed. Philadelphia: WB Sanders Company,
2004. p.1957-1962.
Schleiss h4R, Bernstein DI. Human herpesvirus6. Dalam: Rudolph CD, RudolphAM. Rudolph's
pediatrics. 21" ed. The McGraw-Hill companies, 2002. p.1039-1041.
Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Jawetz, melnick, & adelberg's medical microbiology. 2Pded.
Boston:The McGraw-Hill Companies,Inc, 2004. p.429-446.
Lewis LS. Pediatrics, eksantema subitum. Emergency medicine. (diakses tanggal 8 Februari
2005) Didapat dari:URL: http:/ /www.emedicine.com/emer~c/ topic400.htm.
Dewhurst S, Skricosky D, van Loon N. Human herpesvirus 6. Expert reviews in molecular
medicine. (diakses tanggal 7 Januari1998) Didapat dari:URL: http:/ /www-ermm.cbcu.cam.
ac.uk.
10. Sandstrom E, Whitley RJ. The increasing importance of cytomegalovirus,epstein-barr virus
and the human herpesvirus types 6,7 and 8. Recommendation from the International herpes
management forum-managemktstrategies workshop and Pdannual meeting 1995.'
11. Carnpadelli-Fiurne G, Mirandola P, Menotti L. Human herpesvirus 6: an emerging pathogen.
Emerging infectious diseases 1999; 5(3):353-366.
Eksonterno Subiturn
Varisela
v arisela disebabkan oleh virus Herpes varicella atau disebut juga varicella-zoster virus
(VZV). Varisela terkenal dengan nama chickenpox atau cacar air adalah penyakit
primer VZV, yang pada umumnya menyerang anak. Sedangkan herpes zoster atau
shingles merupakan suatu reaktivitasi infeksi endogen pada periode laten VZV, umumnya
menyerang orang dewasa atau anak yang menderita defisiensi imun.
Varisela sebagai penyakit virus pada anak sangat menular, lebih menular daripada
parotitis, tetapi kurang menular blla dibandingkan dengan campak. Gejala klinis varisela bila
mengenai anak sehat pada umumnya tidak berat dan sangat sedikit yang menderita penyulit.
Walaupun demikian, berdasarkan penelitian di Amerika bila anak menderita varisela,
anak akan mangkir dari sekolah rata-rata 5,6 hari; dan akan diikuti oleh teman sekelasnya
yang lain oleh karena penularan varisela terjadi sejak sebelum ruam keluar sampai terjadi
keropeng @a-kira 7 hari). Di lain pihak, anak dengan status imunitas menurun (misalnya
anak yang sedang menderita leukemia, anemia aplastik, atau anak yang sedang mendapat
pengobatan imunosupresan), akan mudah menderita penyulit dan kematian.
Epidemiologi
Di negara Barat, kejadian varisela tergantung dari musim (musim dingin dan awal musim
semi). Di Indonesia walaupun belum pernah dilakukan penelitian, agaknya penyakit virus
menyerang pada musim peralihan antara musim panas ke musim hujan atau sebaliknya.
Angka kejadian di negara kita belum pemah diteliti, tetapi di Amerika dikatakan kira-kira
3,l-3,5 juta kasus dilaporkan tiap tahun. I
Varisela sangat mudah menular terutama melalui kontak langsung, droplet atau
aerosol dari lesi vesikuler di kulit ataupun melalui sekret saluran nafas, dan jarang melalui 1
I
kontak tidak langsung. Varisela dapat menyerang semua golongan umur termasuk i
neonatus, 90% kasus berumur 10 tahun dan terbanyak umur 5-9 tahun. Viremia terjadi
pada masa prodromal sehingga transmisi virus dapat terjadi pada fetus intrauterin atau
1
1
melalui transfusi darah. Pasien dapat menularkan penyakit selama 24-48 jam sebelum lesi
kulit timbul, sampai semua lesi timbul krusta/keropeng, biasanya 7-8 hari. Seumur hidup
1
seseorang hanya satu kali menderita varisela. Serangan kedua mungkin berupa penyebaran j
ke kulit pdda herpes zoster. II
i
134 -1!
Tabel1 di bawah ini memperlihatkan angka kejadian varisela pada anak yang berobat
jalan di Poliklinik bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM Jakarta. Tampak varisela terutama
terjadi pada kelompok urnur balita dan urnur sekolah, sedangkan data pasien yang
berobat ke poliklinik Bagian Kulit di berbagai rumah sakit (Tabel 2), angka kejadian makin
meningkat sesuai dengan umur sampai umur 40-an.
Patogenesis
Virusvaricella-zoster merupakansalah-satu dari8jenis herpesvirus darifarnilyherpesviridae
yang dapat menyerang manusia dan primate, merupakan virus DNA alfa herpesvirus,
mempunyai 125.000 pasangan basa yang mengandung 70 gen. Virus ini mempunyai 3 tipe
liar (wild type) Dumas di Eropa dan Oka di Jepang mengumumkan rangkaian genetic virus
varisela yang ditelitinya.
Virus VZV masuk tubuh melalui mukosa saluran nafas bagian atas atau orofaring.
Pada lokasi masuknya terjadi replikasi virus yang selanjutnya menyebar melalui
pembuluh darah dan lirnfe (viremia pertama). Selanjutnya virus berkembang biak di sel
retikuloendotelial (Gambar1).Pada kebanyakan kasus, virus dapat mengatasi pertahanan
non-spesifik seperti interferon dan respons imun. Satu minggu kemudian, virus kembali
menyebar melalui pembuluh darah (viremia ke-2) dan pada saat ini timbul demam dan
Varisela
malaise. Penyebaran ke seluruh tubuh terutama kulit dan mukosa. Lesi kulit muncul
tidak bersamaan, sesuai dengan siklus virernia. Pada keadaan normal, siklus ini berakhir
setelah 3 hari akibat adanya kekebalan humoral dan selular spesifik. Timbulnya pneumonia
varisela dan penyulit lainnya disebabkan kegagalan respons imun mengatasi replikasi dan
penyebaran v h s .
Gejala Klinis
Stadium Prodromal
Gejala prodromal timbul setelah14-15 hari masa inkubasi, dengan timbulnya ruam kulit
disertai demam yang tidak begitu tinggi serta malaise. Pada anak lebih besar besar dan
dewasa ruam didahului oleh demam selama 2-3 hari sebelumnya, menggigil, malaise,
nyeri kepala, anoreksia, nyeri punggung, dan pada beberapa kasus nyeri tenggorok
dan batuk.
Stadium Erupsi
R u m kulit muncul di muka dan kulit kepala, d e n g h cepat menyebar ke badan dan .
ekstrernitas.Ruarn lebih jelas pada bagian badan yang tertutup dan jarang ditemukan
pada telapak kaki dan tangan. Penyebaran lesi varisela bersifat sentrifugal.Gambaran
yang menonjol adalah perubahan yang cepat dari makula kemerahan ke papula,
vesikula, pustula dan akhirnya menjadi krusta. Perubahan ini hanya terjadi dalam
waktu 8-12 jam. Gambaran vesikel khas, superfisial, dinding tipis dan terlihat seperti
tetesan air. Penampang 2-3 rnm berbentuk elips dengan sumbu sejajar garis lipatan
kulit. Cairan vesikel pada permulaan jernih, dan dengan cepat menjadi keruh akibat
serbukan sel radang dan menjadi pustula. Lesi kemudian mengering yang dimulai
dari bagian tengah dan akhirnya terbentuk krusta. Krusta akan lepas dalam waktu
1-3 minggu bergantung kepada dalarnnya kelainan kulit. Bekasnya akan membentuk
cekungan dangkal benvama merah muda dan kemudian berangsur-angsur hilang.
Apabila terdapat penyulit berupa infeksi sekunder dapat terjadi jaringan parut.
Vesikel juga dapat tirnbul pada mukosa mulut terutama pada palatum. Vesikel ini
dengan cepat pecah sehingga luput dari pemeriksaan, bekasnya masih dapat terlihat
berupa ulkus dangkal dengan diameter 2-3 rnm. Lesi kulit terbatas terjadi pada lapisan
epidermis sehingga tidak menembus membran basal kulit, sehingga tidak menimbulkan
bekas. Jaringanparut yang menetap terjadi sebagai akibat infeksi sekunder (lesi menembus
membran basalis kulit). Vesikel juga dapat timbul pada mukosa hidung, faring, laring,
trakea, saluran cerna, saluran kemih, vagina dan konjunGva. Gambaran lain dari lesi
varisela adalah terdapatnya semua tingkatan lesi kulit dalam waktu bersamaan pada satu
area. Pada kasus yang khas dan berat suhu badan dapat mencapai 39-40,5OC. Apabila
demam berlanjut mungkin telah terjadi infeksi bakteri sekunder atau penyulit lain. Keluhan
yang paling menonjol adalah perasaan gatal selama fase erupsi, sehingga dapat dijumpai
lesi bekas garukan.
Voriselo
137
dan purpura maligna kemungkinan infeksi sel endotel kapiler menjadi faktor utama.
Kerusakan sel endotel ini menyebabkan koagulasi intravaskular diserninata (disseminated
intravascular coagulation = DIC) dan purpura trombotik.
Penyulit dari infeksi varisela primer yang baru muncul kemudian adalah herpes zoster.
Setelahinfeksi primervarisela, VZVdapatmenjadi laten dan berdiamdigangliasaraf sensorik
tanpa menimbulkan manifestasi klinis, hingga bila tereaktivasi akan menyebabkan herpes
zoster. Walaupun kejadian herpes zoster terbanyak terjadi pada orang dewasa, terdapat
kemungkinan seorang anak akan menderita herpes zoster di kemudian hari. Penelitian di
Amerika melaporkan 20,30,59, dan 63 kasus zoster per 100.000 anak per tahun, berturut-
turut pada kelompok umur 0-4, 5-9, 10-14, dan 15-19 tahun. Risiko menderita zoster
meningkat pada kasus imunokompromais dan pada anak yang menderita varisela pada
umur <1tahun. Kemungkinan peningkatan risiko terjadinya herpes zoster pada kelompok
tersebut disebabkan karena ketidakmampuan sistem imun mempertahankan periode laten
dari virus varisela.
Diagnosis
Diagnosis varisela dapat ditegakkan secara klinis dengan gambaran dan perkembangan lesi
kulit yang khas, terutama apabila diketahui ada kontak 2-3 minggu sebelumnya. Gambaran
khas terrnasuk (1). Muncul setelah masa prodromal yang singkat dan ringan, (2) Lesi
berkelompok terutama di bagian sentral, (3)Perubahan lesi yang cepat dari makula, vesikula,
pustula sampai krusta, (4) Terdapatnya semua tingkat lesi kulit dalam waktu bersamaan
pada daerah yang sama, (5) Terdapat lesi mukosa mulut. Diagnosis banding dapat berupa
sindrom Stevens Johnson, herpes zoster generalisata atau herpes simpleks.
Umurnnya pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan lagi. Pada tiga hari pertama
dapat terjadi leukopenia yang diikuti dengan leukositosis. Serum antibody IgA dan
IgM dapat terdeteksi pada hari pertama d m kedua pasca ruam. Untuk mengkonfirmasi
diagnosis varisela dapat dengan pewamaan imunohistokirniawi dari lesi kulit. Prosedur
ini umumnya dilakukan pada pasien risiko tinggi yang memerlukan konfirmasi cepat.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan di antaranya isolasi virus (3-5 hari), PCR,
ELISA, thenik irnunofluoresensi Fluorosecent Antibody to Membrane Antigen (FAMA), yang
merupakan baku emasnya
Pemeriksaan Rontgen thoraks dilakukan untuk mengkonfirmasi ataupun untuk
mengeksklusi pneumia. Gambaran nodul infiltrat difus bilateral umumnya terjadi pada
pneumonia varisela primer sedangkan infiltrat fokal mengindikasikanpneumonia bacterial
sekunder. Pungsi lumbal dapat dilakukan pada anak dengan kelainan neurologis.
Pengobatan
Pada anak sehat, variselaumumnyaringan dan sembuhsendiri, cukup diberikanpengobatan
simtomatik. Pada lesi kulit lokal dapat diberikan lotio calamine. Untuk mengurangi rasa
gatal dapat dengan kompres dingin, mandi secara teratur ataupun dengan pemberian
antihistauin. Antipiretik jarang diperlukan. Salisilat tidak dianjurkan karena berhubungan
Pencegahan
. Semula vaksin varisela yang merupakan vaksin virus hidup yang telah dilemahkan (llve
attenuated) hanya diberikan pada'anak dengan risiko terjadi penyulit berat, yaitu anak yang
menderita penyakit keganasan, mereka yang sedang mendapat pengobatan imunosupresif,
atau menderita defisiensi imun; tetapi dalam perkembangannya vaksin ini juga diberikan
pada anak sehat. Imunisasi aktif ini dilakukan dengan menggunakan vaksin single live-
attenuated strain OKA yang sudah terbukti aman, ditoleransi baik dengan efek samping yang
minimal (demam dan ruam minimal) dan mempunyai tingkat perlindungan yang tinggi
pada anak usia 1-12 tahun (dengan angka serokonversi positif sebesar 99,3%), sedangkan
di negara maju tersedia sediaan kombinasi dengan vaksin lain, seperti MMR-V. Immisasi
pasif dapat diberikan pada kelompok risiko tinggi, sedang pada pasca paparan varisela
harus diberikan dalam 96 jam pertama.
Berdasarkanguidelines terbaru dari Advlsoy Committee on immunization Practices (ACLP)
of the Centers for Disease Control and Prevention, pemberian vaksin varisela dosis tunggal
belum mampu mencegah wabah varisela sepenuhnya. Sehingga kini direkomendasikan
pemberian vaksin varisela dua kali (masing-masing 0,5 mL) subkutan pada anak-anak
berusia di 12 bulan - 12 tahun, dengan interval minimum 3 bulan. Sedangkan pemberian
pada pasien yang telah berusia lebih dari 12 tahun, interval yang direkomendasikanadalah
empat minggu. Serokonversi teqadi pada 78% kasus setelah dosis pertama dan 99% terjadi
setelah dosis kedua. Vaksin varisela ini terbukti mampu memberikan perlindungan hingga
10 tahun kemudian. Rekomendasi ACIP selengkapnya dapat dilihat dalam tabel 3. Pengurus
Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP-IDAI) sampai saat ini mash merekomendasikan
vaksinasi pada anak di atas 5 tahun, satu kali pemberian, dengan mengingat masih tingginya
kemungkinan untuk mendapat kekebalan secara alamiah.
Kategori Rekomendasi
Vaksinasi rutin pada anak Direkomendasikandalam 2 kali pemberian:
# pertama pada usia 12-15 bulan
# kedua pada usia 4-6 tahun
Remaja 2 13 tahun dan Dalam 2 kali pemberian, dengan interval 4-8 minggu. Direkornendasikan
dewasa pada semua remaja dan dewasa tanpa bukti irnunitas.
Vaksinas~kejar (catch-up) Dosis kedua direkomendasikanuntuk semua orang yang telah menerima
Pasien HIV satu dosls sebelumnya.
Dua dosis, dengan interval 3 bulan.
Sebaiknya diberikan pada anak terinfeksi HIV dengan persentase CD4 T-
lirnfosit 215%.
Dapat dipertirnbangkan pernberi-annyapada dengan jurnlah CD4 T-limfosit
Skrining antenatal 2200 selluL,
Direkornendasikan evaluasi prenatal dan vaksinasi postpartum.
Pengendalian wabah Direkomendasikanpemberian dua dosis.
Pasca pajanan Diberikan dalam kurun waktu 3-5 hari.
Lingkup vaksinasi Direkomendasikanuntuk anak-anak di pusat penitipan anak, sekolah dan
institusi pendidikan lainnya.
Daftar Bacaan
1. Brunnel PA. Varicella zoster infections. Dalam: Feigin RD, Cherry JD (penyunting).Texbook of
pediatric infectious diseases, edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders, Co., 1992.h.1587-91.
2. Budiardja SA, Sugito TL. Epidemiology of varicella and preliminary reports on acyclovir
treatment in varicella patients. Dipresentasikanpada the 8th RCD, Pattaya, Thailand 11-14 Mei
1996.
3. Choo PW, Dohnahue JG, Manson JE. The epidemiology of its complications. J Infect Dis 1995;
172:706-12.
4. Krugman S, Katz SL, Gershon AA, dkk. Varicella zoster infections. Dalam: Infectious diseases
of children, edisi ke-9. St Louis: CV Mosby, 1992.h.587-91.
5. Padovan D, Cantrell CA. Varicella-like herpesvirus infections of non-human primates. Lab
Anirn Sci 1986:36:7-13.
6. Davison AJ, Scott JE. The complete DNA sequence of varicella-zoster virus. J Gen Virol
1986;67:1759-816.
7. Varisella Vaccine. Diunduh dari: http: / /www.who.int/vaccines/en/varicella.shtml.
Diakses pada tanggal 6 November 2007.
8. Mehta P. Varicella. Diunduh dari: htt~://www.emedicine.com/ped/ to~ic2385.htm.
Diakses pada tanggal 6 November 2007.
9. Bonhoeffer J, Baer G, Muehleisen B, et al. Prospective surveillanceof hospitalization associated
with varicella-zoster infections in children and adolescents. Eur J pediatr 2005; 164366-70.
10. Satari HI, Hadinegoro SR, et al. Imunogenitas dan keamanan vaksin varisela pada anak sehat.
Sari Pediatri 2002; 3:202-205.
11. Ramli Y, Hadinegoro SR, et al. Seroconversion and adverse reaction of live-attenuated (OKA
strain) varicella vaccine. PaedTnd 2003; 43:171-176.
12. Heininger U, Seward JF. Varicella. Lancet 2006; 368:1365-7.
1 3 . Sawyer MH, WU YN, Chamberlin CJ, et al. Detection of varicella-zoster virus DNA in the
oropharynx and blood of patients with varicella. J Infect Dis 1992; 166:885-8.
14. Mohsen AH, Peck RJ, Mason Z, Mattock L, et al. Lung functions tests and risk factors for
pneumonia in adults with chickenpox. Thorax 2001;56:796-9.
15. Mohsen AH, Peck RJ, McKendrick M. Varicella pneumonia in adults. Eur Respir J 2003;21:886-
91.
16. Shepp DH, Dandliker PS, Mayers JD. Treatment of varicella-zoster virus infection in severely
immunocompromised patients. A randomized comparison of acylclovir and vidarabine. N Engl
J Med 1986:314:208-12.
17. Satari HI. Varisela. Dalam: Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SR, Kartasasmita CB. Pedoman
Imunisasi di Indonesia, ed. 3. Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2007;
140-3 (in press).
Voriselo
141
18. CDC Morbidity and Mortality Weekly Report: Recommendations and Reports. Preventions on
Varicella. Diunduh dari: www.cdc.eov.milll.silibrarv.or~/mmwr/ PDF/rr/rr4806.PDF.
Diakses pada tanggal 6 November 2007.
19. Liz Smith. PracticeGuidelines:ACIP Recommendations for the Prevention of Varicella. Diunduh
dari: www.aa~.or~/afu/20071101/vractice.htrnl. Diakses pada tanggal 20 November
2007.
v irus herpes pada manusia meliputi virus lzerpes kominis (herpes simpleks), Virus
sitomegalo (cytomegalovirus), virus varicella-zoster dan virus Epstein-Barr. Virus
ini selain menyebabkan infeksi yang aktif, dapat juga menetap hidup dalam sel
pejamu, menghasilkan ~nfeksilaten yang pada suatu saat dapat mengalami reaktivasi.
Telah diketahui bahwa sebagian besar manusia pernah mengalami infeksi virus herpes
selama hidupnya. Virus herpes yang menyebabkan infeksi umum pada mulut dan genital
disebut virus herpes simpleks. Virus herpes simpleks merupakan virus yang paling banyak
dipelajari dibandingkan virus herpes lainnya.
Dua tipe virus herpes simpleks yang diketahui menyebabkan infeksi pada kulit dan
lapisan mukosa adalah virus herpes simpleks tipe-1 yang masuk melalui oral dan virus
herpes simpleks tipe-2 yang masuk melalui genital. Virus varicella-zoster menyebabkan
chickenpox (varisela)danherpes zoster. Virus sitomegalo menyebabkanhepatitis, pneumonia
dan infeksi kongenital yang serius. Virus Epstein-Barr dikenal merupakan penyebab
mononukleosisinfeksiosa, tetapi virus ini juga dikatakan terlibat pada kanker tertentu pada
manusia. Suatu virus herpes ke-6 yang disebut human herpesvirus tipe-6, ditemukan pada
tahun 1986 tetapi masih sedikit pengetahuan tentang penyakit yang ditimbulkan. Beberapa
laporan menyatakan bahwa virus herpes tipe 6 menyebabkan eksantema subitum. Human
herpes virus tipe-7 diidentifikasi pada tahun 1990 tetapi mash belum diketahui penyakit apa
yang ditimbulkan virus ini.
Etiologi
Virus herpes merupakan virus yang relatif besar, kompleks dengan molekul DNA double-
stranded yang sanggup men@at 50-80 protein (Garnbar1 dan Tabel I).Virus ini bereplikasi
dan berkumpul di dalam inti sel, kemudian virus ini tumbuh dan terbungkus di dalam
bagian inti dan membran sitoplasma. Kita tidak dapat membedakan dengan cepat masing-
masing anggota virus herpes dengan mikroskop elektron, karena virus tersebut terlihat
sangat mirip. Walaupun dernikian, mereka dapat dibedakan dengan pemeriksaanserologik
dan hibridisasi DNA. Sebagian besar virus herpes secara relatif tidak berhubungan dalam
ha1 antigennya atau homolog DNA, kecuali kedua virus herpes simpleks, tipe-1 dan 2, yang
mirip satu sama lainnya. Antibodi terhadap protein tipe-1 bereaksi dengan protein tipe-
2, tetapi protein ini secara keseluruhan bersifat unik terhadap masing-masing tipe sejauh
telah diidentifikasi akhir-akhir ini. DNA dari satu tipe herpes simpleks dapat berhibridisasi
terhadap DNA tipe lainnya dengan kira-kira setengah kemampuannya berhibridisasi
terhadap diri sendiri.
Genome dari kelima virus herpes yang menyebabkan infeksi pada manusia adalah
unik. Virus tersebut panjang, berupa molekul yang linier double-stranded dengan beberapa
susunan yang berulang dan terbalik. Pada virus herpes simpleks berbagai susunan dari
segrnen utama akan menghasilkan empat bentuk isometrik dari genome.
Transmisi
Meksi oleh satu atau lebih virus herpes mungkin terjadi dengan segera atau dikemudian
hari pada kehidupan manusia. Virus herpes tipe-1 sering menyebar melalui ciuman atau
pemindahan saliva. Sebagian besar anak tertular virus tersebut, tetapi bila mereka terhindar
mereka akan terinfeksi setelah terdapat aktivitas seksual baik melalui kontak oral-oral
atau oral-genital. Dua-perhga sampai tiga-perempat orang dewasa memiliki antibodi
terhadap virus herpes simpleks tipe-1, ha1 ini menunjukkan adanya infeksi sebelurnnya.
Virus herpes simpleks tipe-2 juga tersebar melalui kontak oral-oral dan oral-genital, tetapi
terutama menyebar melalui kontak genital-genital. Infeksi virus ini jarang terjadi sebelum
adolesens, tetapi prevalensi infeksi muncul dengan cepat dengan adanya aktivitas seksual.
Kira-ha seperenam sampai seperempat dari semua orang dewasa telah mengalami infeksi
dengan virus ini, tergantung dari frekuensi aktivitas seksual mereka. Sebagian besar infeksi
virus herpes simpleks bersifat asirntomatik. Mungkin hanya sepertiga dari individu yang
terinfeksi virus tersebut dikenali gejalanya. Secara klinis bukti infeksi dengan virus herpes
tipe-2 meningkat, perkiraan kasar menunjukkan peningkatan kira-kira 10 kali lipat dari
tahun 1965 sampai 1985.
Virus herpes sangat rapuh dan peka terhadap kekeringan dan dapat inaktif akibat
panas, detergen d m pelarut ringan. Virus herpes dapat menimbulkan infeksi pada
manusia melalui berbagai jalur yang berbeda (Tabel 2). Membran mukosa mulut, mata,
genital, saluran nafas dan anus adalah tempat yang paling siap untuk diinfeksi virus herpes
simpleks. Pertahanan pertama yang kita miliki terhadap infeksi virus ini adalah kulit.
Tampaknya ketebalan kulit, lapisan tanduk kulit mencegah masuknya virus. Membran
mukosa tidak memiliki barier yang seperti itu sehingga mudah terinfeksi.
Virus sitomegalo dan virus Epstein-Barr dapat ditularkan melalui leukosit yang
terinfeksi selama transfusi darah, melalui saliva, dan mungkin melalui semen. Saliva
dipercaya sebagai perantara penularan virus stein-~arr, sehingga penyakit utama yang
berhubungan dengan virus ini, yaitu mononukleosisinfeksiosa sering disebut sebagai kissing
disease. Sedangkan pada varisela, inhalasi virus melalui udara nampaknya merupakan cara
kontak yang utama. Walaupun demikian inokulasi langsung dapat juga menyebabkan
infeksi. Tidak banyak diketahui bagaimma cara herpes virus manusia tipe-6 dan tipe-7
ditularkan, tetapi mereka didapat pertama-tama pada anak, jadi pertukaran saliva atau
kontak dengan beberapa permukaan membran mukosa yang lain harus terlibat.
Epidemiologi
Insidens antibodi virus herpes simpleks yang tinggi ditemukan pada masyarakat dengan
sosial ekonomi yang rendah, yang hidup dalam lingkungan yang berdesakan. Epidemiologi
kedua virus herpes simpleks berbeda. Pengkajian serologi telah dilakukan hanya pada
masyarakat berpenghasilan rendah. Pada kelompok ini, kebanyakan bayi memperlihat-
kan adanya antibodi melalui plasenta selama kurang lebih 6 bulan pertama kehidupan.
Mulai usia 1-4 tahun terdapat kenaikan tajarn terhadap tipe-1, kecepatan yang lebih lambat
tampak pada usia 5-14 tahun. Setelah 14 tahun terdapat lagi kenaikan yang tajam antibodi
terhadap virus herpes simpleks terutama tipe-2, hingga 60% dari kalangan orang dewasa.
hsidens antibodi tipe-2 pada kelompok masyarakat sosial ekonomi yang lebih baik kurang
lebih sebesar 10% dan pada biarawati kurang lebih 3%.Sekali terdeksi maka sebagian
. besar orang akan terus membawa virus tersebut dalam keadaan laten dan mempertahankan
kadar antibodi yang beredar secara konstan. Karier penyakit ini dapat menyebarkan virus
tanpa manifestasi apapun. Virus herpes simpleks dapat diisolasi di daerah faring pada
sekitar 5% orang dewasa yang asimtomatik.
Sejak 1988, gambaran seroepiderniologk virus herpes tipe-6 dilaporkan dari beberapa
negara. Saat lahir, sebagian besar bayi seropositif akibat transfer transplasental antibodi
maternal. Seroprevalensi menurun antara 20-60% dari lahir hingga usia 5 bulan dan
kemudian meningkat dengan cepat antara 60-100% saat berusia 1-2 tahun. Prevalensi ini
sama pada anak yang lebih tua dan orang dewasa. Penemuan ini berhubungan dengan
observasi epiderniologi pada saat umur eksantema subitum terjadi.
Varisela adalah penyakit yang sangat menular. Sembilan puluh persen dari seluruh
kasus yang dilaporkan tejadi pada usia kurang dari 10 tahun. Puncak insidens terdapat
pada usia 5-9 tahun, tetapi penyakit ini dapat terjadi pada semua kelompok usia termasuk
neonatus. Sebaliknya pada herpes zoster, penyakit ini jarang ditemukan pada anak berusia
Herpes Sirnpleks
145
kurang dari 10 tahun, namun setelah usia tersebut insidensnya meningkat. Orang yang
terkena herpes zoster biasanya pemah mempunyai riwayat menderita varisela.
Infeksi virus sitomegalo tersebar luas di seluruh dunia. Insidens infeksi kongenital
pada umurnnya lebih besar di kalangan penduduk dengan tingkat kehidupan lebih rendah.
Paling tidak setengah dari wanita usia subur mempunyai bukti serologi infeksi virus
sitomegalo sebelumnya. Ekskresi virus melalui air seni terlihat pada 4-5% wanita hamil.
Prevalensiinfeksi kongenital berkisar antara 0,4-0,7%.Di Jepang, sebagian besar anak secara
serologik akan positif selama masa bayi, sedangkan di Amerika Serikat hanya 10%.
Epidemiologi mononukleosis infeksiosa berhubungan dengan epidemiologi virus
Epstein-Barr(EB).Infeksi virus EB terjadi secara dini dalam kehidupan orangyang bertempat
tinggal di negara sedang berkembang. Di Afrika Tengah misalnya, hampir semua anak telah
terkena infeksi ketika mencapai usia 3 tahun, pada lingkungan demikian secara praktis
tidak dikenal penyakit mononukleosis infeksiosa yang khas. Mononukleosis infeksiosa
dapat terjadi pada semua umur, tetapi jarang ditemukan pada usia kurang dari 2 tahun.
Infeksi virus EB akan tetap tenang pada usia lebih dari 40 tahun karena pada umurnnya
individu telah memiliki kekebalan. Secara keseluruhan, insidens infeksi ini kurang lebih 50
: 100.000 penduduk/tahun, tetapi pada dewasa insidens inj meningkat hingga kurang lebih
1 : 1.000 penduduk/tahun.
Manifestasi Klinis
Herpes Neonatus
Herpes neonatus didapat melalui infeksi intrauterin, perinatal atau postnatal. Meksi
HSV intrauterine, berbeda dengan infeksi HSV perinatal dan post natal, biasanya jarang
terjadi hanya sekitar 5% dari infeksi HSV pada neonatus. Bayi yang terinfeksi intrauterin
mempunyai ciri-ciri lesi kulit atau jaringan parut, korioretinitis, rnikrosefalus atau
- fudrosefalus, yang dapat dilihat saat lahir. Bayi yang tetap hidup sering memperlihatkan
kerusakan neurologi berat, termasuk retardasi mental, growth retardation, dan defek
penglihatan serta pendengaran.
Sebagian besar infeksi HSV didapat secara perinatal, yaitu pada saat neonatus kontak
dengan virus yang berada di dalam jalan lahir pada bayi yang lahir per vagmam. Infeksi
HSV postnatal, yang diperkirakan terdapat pada 10% kasus herpes neonatus, berasal
dari kontak antara bayi dengan virus herpes orolabial penolong persalinan atau melalui
penyebaran nosokomial virus di antara bayi saat perawatan.
Manifestasi klinis infeksi HSV perinatal d m postnatal sering rnirip dengan sepsis
bakteri. Gambaran non-spesihk meliputi: iritabel, temperatur yang tidak stabil, ikterus,
apnea, syok, hepatosplenomegali, dan kejang. Meksi HSV telah dikategorikan dalam 3
gambaran urnum :
a. Penyakit terlokalisir pada kulit, mata atau mulut. Manifestasi klinis berupa vesikel pada
kulit, konjungtivitis, atau ekskresi virus dari orofaring, dan tidak terdapat keterlibatan
organ lain.
Herpes Simpleks
147
b. Penyakit terbatas pada susunan saraf pusat, dengan atau tanpa keterlibatan kulit, mata
atau mulut. Manifestasi klinis berupa ensefalitis, kejang dan kelainan pada EEG atau
CTscan denganltanpa keterlibatan kulit, mata dan rnulut.
c. Infeksi menyebar melibatkan berbagai organ. Manifestasi klinis berupa keterlibatan
organ (misalnya hepatitis, pneumonia, KID) denganl tanpa keterlibatan susunan saraf
pusat atau kulit, mata dan mulut.
Eksema Herpetikum
'
Eksema herpetikum merupakan manifestasi paling berat dari herpes traumatis, biasanya
terjadi akibat infeksi primer oleh virus herpes pada kulit eksematosa yang tersebar luas.
Serangan dapat berat atau ringan. Pada serangan berat yang khas, maka vesikel berkembang
secara mendadak dalam jurnlah besar di atas kulit yang eksematosa dan terus berlanjut dan
berkelompok hingga 7-9 hari. Apabila ukuran lesi luas, epidermis akan terbuka disusul
terbentuknya krusta dan epitelisasi. Reaksi sistemik yang terjadi berbeda-beda, tetapi tidak
jarang terjadi peningkatan suhu badan sebesar 39,4O-40,6OC yang berlangsung selama 7-10
hari. Serangan berulang terjadi pada lesi atopis kronik. Kematian mungkin terjadi sebagai
akibat gangguq fisiologis berat seperti kehilangan cairan, elektrolit dan protein melalui
kdit prig mengalami lesi, akibat penyebaran virus ke jaringan otak dan jaringan lain atau
akibat invasi infeksi bakteri sekunder.
Herpes Genital
Infeksi genital dengan virus herpes paling sering terjadi pada masa remaja dan dewasa
muda. Infeksi biasanya disebabkan oleh HVH-2 dan disebarluaskan melalui hubungan
seksual. Lima sarnpai sepuluh persen kasus yang ditemukan berhubungan dengan HVH-1.
Pada wanita dewasa, vulva dan vagina dapat turut terlibat dalam proses penyakit, tetapi
serviks merupakan tempat infeksi primer. Kekambuhan sering terjadi pada penyakit ini.
Kekambuhan yang hanya melibatkan serviks sering bersifat subklinis, suatu kenyataan
yang penting karena penyakit aktif pada serviks dengan mudah menirnbulkaninfeksi pada
Lesi Mata
Konjungbvitis dan keratokonjungtivitis merupakan manifestasi infeksi primer maupun
kekambuhan dari infeksi virus herpes. Konjungtiva mengalami kongesti, membengkak
disertai sedikit sekret purulen. Pada infeksi primer, maka kelenjar lirnfe preaurikular
membesar dan terasa nyeri. Katarak, uveitis dan korioretinitis telah ditemukan pada
neonatus. Lesi pada kornea bersifat superfisial dalam bentuk ulkus dendritik atau sebagai
keratitis disiforme. Diagnosis ditegakkan dengan adanya vesikel herpes pada kelopak mata
dan dipastikan dengan isolasi virus.
Diagnosis
Diagnosis infeksi HSV ditegakkan berdasarkan pola klinis yang khas ditunjang pemeriksaan
laboratorium. Metode untuk pemeriksaan laboratorium infeksi HSV, disimpulkan pada
Tabel 3. Isolasi virus merupakan metode diagnosis yang paling sensitif dan menghasilkan
isolasi yang cepat dari tipe virus HSV-1 atau HSV-2.
p.;!
r:
"S i..
. -
g;;'.;..
.
Tabel 3. Pemeriksaan Laboratorium untuk Diagnosis lnfeksi Virus Herpes Simpleks
Metode Spesimen Keuntungan Kerugian Keterangan
lsolasi virus Darah, lesi kulit. Metode paling sensi- Kadangkala spesimen WaMu observasi untuk
orofaring, urin, LCS, tif, dapat meigeta- perlu diambil selama 5 CPE tergan-tung pada
sekret vagina ibu, hui tipe virus hari untuk mendapat- konsen-trasi virus di
jaringan biopsi kan hasil positif da-lam spesimen (18
jam-5 hari)
Deteksi Lesi kerokan atau Cepat (daiarn hi- Hasil negatif dapat Pengumpulan Spe-
langsung, DFA, biopsi, LCS tidak tungan jam) dipercaya, kecuali sei simen diambil dari
atau imuno- da-pat dipakai, Sensitivitas 78 - 88% yang intak ditransfer ke dasar lesi, angkat
peroksidase sekret genital, gelas objek sel dengan mem-
aspirasi trakea, BAL pergunakan ujung
aplikator katun.
Patahkan sarnpel ke
dalam tabung.
Pewarnaan Seperti DFA Murah Tidak spesitik untuk Seperti DFA
Papa-nicolou, HSV
Uji Tzanck Sensitivitas rendah
PCR Serum, LCS, lesi Cepat Qam) Tidak untuk komersial
mukokutaneus,
biopsi
ELlSA Serum Sensitif untuk pasca Uji komersiai tidak Dapat rnembeda-kan
infeksi HSV dapat rnembedakan antara HSV-I dan
an-tara HSV-1 dan HSV-2 tetapi tidak
HSV-2 untuk komersial
Western blot Serum Sensitif untuk pasca Tidak untuk komersial
infeksi, dapat mem-
bedakan HSV-1
dengan HSV-2
Keteranaan:
BAL--bronchoalveolarlavage; CPE--cyfopathiceffect; DFA- direct fluorescent antibody; €LISA - enzyme linked
immunosorbent assay, HSV-- herpes simplex virus; HSV-1--herpes simplex virus type 1; HSV-2-herpes simplex
virus type 2; PCR-- polymerase chain reaction.
Surnber: Straus, 1993.
Infeksi HSV yang terjadi pada masa fetal dan neonatal biasanya mengganggu tetapi
tidak dengan cepat membahayakan kehidupan. Eksema herpetikum biasanya ringan
dan bila sembuh tidak terdapat gejala sisa. Ensefalitis infeksi HSV dapat sangat serius,
dapat menyebabkan kematian dan kerusakan neurologk yang permanen. Case fatality rate
ensefalitis yang tidak diobati adalah 75%.Penelitian pada awal1970 menunjukkan bahwa
infeksi serviks uteri dengan HSV-2 berhubungan dengan munculnya karsinoma semiks.