Anda di halaman 1dari 22

12/07/2016 00:01:00

Mengenali Kontribusi Ibnu Khaldun terhadap Pemikiran Ekonomi

Adi Susilo Jahja


ABFII Perbanas, Jakarta

Abstract
Western scholars generally failed to recognize Muslims’ contributions in science. They
mentioned the concept of a "Great Gap" of "over 500 years" in the history of economic
thought from the time of the Greek contribution until the Western renaissance. But finally,
that thesis had been corrected. Ibnu Khaldun, the Muslim scholar who lived in 14th century
was a man who had mentioned his ideas long time before Western scholars restated those
ideas. The most important contribution of Khalduns’ thought in economics was the use of this
branch of knowledge together with other branches like sociology, politics, norms and
believes to build coherent and comprehensive model in explaining the rise and fall of
civilization. This article try to trace Khalduns’ contribution in modern economic thoughts
through library research, to identify some of his thoughts which still have relevance at
present.

Keywords: Demand, supply, market, economics, civilization

PENDAHULUAN

Mengaitkan pemikiran ulama Islam dengan pemikiran ekonomi Barat modern merupakan hal

yang penting untuk mendapatkan interpretasi yang lebih baik terhadap teks hasil pemikiran

para ulama, menelusuri hubungan antara pemikiran para ulama Islam dengan para pemikir

Barat dalam rangka meningkatkan pemahaman hubungan antara Islam dengan Barat

(Oslington, 1990), serta mengenali kontribusi para pemikir Islam terhadap ilmu pengetahuan.

Para penulis sejarah pemikiran ekonomi cenderung mengabaikan kontribusi para

sarjana Muslim dalam bidang ini. Umumnya mereka mengawali pembahasan dari masa

filosof Yunani dan pemerintahan Romawi, kemudian mengutip pendapat para pendeta

Kristen yang hidup pada awal era Kristen. Selanjutnya mereka lompat ke masa abad
pertengahan ketika Eropa keluar dari kegelapan, melewatkan masa senjang selama lebih dari

lima ratus tahun (Islahi, 2004). Dalam bukunya, History of Economic Analysis (1954),

Schumpeter menyebutkan terjadinya "Great Gap" yang merupakan periode yang steril dan

tidak produktif. Pandangan ini dianut pula oleh Douglass North dalam pidato

penganugerahan Nobel pada Desember 1993 dengan mengatakan: "long hiatus between the

end of the Roman Empire in the West and the revival of Western Europe approximately 500

years later" (Chapra, 2004; North, 1993).

Sun (2004) mengemukakan bahwa thesis "Great Gap" ini kemudian dibantah antara

lain oleh Essid (1987), Ghazanfar (2000), dan Hosseini (1998). Pada periode tersebut dalam

dunia Islam terjadi gerakan intelektual menerjemahkan karya-karya yang berasal Yunani.

Sejarawan Phillip Hitti mengatakan bahwa penemuan kembali mazhab Aristotelian serta

renaisans Eropa tak akan terjadi tanpa kontribusi intelektual para sarjana Islam yang mereka

lakukan ketika Eropa mengabaikan pemikiran dan ilmu pengetahuan Yunani (Sun, 2004).

Belakangan North (1996) mengoreksi kalimatnya dengan mengatakan “Following the demise

of Rome in the West there was a long hiatus until the beginning of revival in the tenth

century. With Mohammed came expansion of the Muslim world in North Africa and beyond."

Penyelidikan yang lebih dalam terhadap tulisan para ilmuwan yang berasal dari Timur

Tengah dan Afrika Utara yang hidup pada abad pertengahan menemukan kekayaan

pengetahuan teoritis dalam bidang ilmu kemanusiaan, perilaku dan sosial. Para ilmuwan

tersebut antara lain adalah Abu Yusuf (abad ke 8), Abul-Fadl Al-Dimishqi (abad ke 9), Al-

Farabi (abad ke 10), Al-Ghazali (abad ke 11), Nasiruddin Tusi (abad ke 13), Ibnu Taimiyah

(abad ke 14), dan Ibnu Khaldun (abad ke 14). Abdurrahman Ibn Khaldun dari Tunisia (1332-

1406), yang merupakan diplomat, hakim, politisi, sosiolog, dan ekonom merupakan sosok

yang terkenal. Pendekatan Ibnu Khaldun yang rasional terhadap penalaran ekonomi,

kemampuan abstraksinya serta kepeloporannya dalam mengembangkan model-model

ekonomi dinilai menonjol dibandingkan dengan ilmuwan lain pada masanya (Soofi, 1995),

2
Bibliografi pertama tentang Ibnu Khaldun muncul di Eropa pertama kali tahun 1697

di Bibliothèque Orientale d'Herbelot, Paris. Ibnu Khaldun diperkenalkan kepada Barat pada

awal abad 19, ketika beberapa tulisannya diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis oleh

Silvestre de Sacy pada tahun1806. F. Rosenthal menerjemahkan Muqaddimah kedalam

bahasa Inggris tahun 1958. Dalam bidang ekonomi, atas upaya yang dilakukan terutama oleh

Abdul Qadir (1941), Nashat (1944), Issawi (1950), Spengler (1964), Boulakia (1971), Essid

(1987), dan Kuran (1987), telah membuat nama Ibnu Khaldun semakin dikenal (Abdalla,

2004; Soofi, 1995). Abdul Qadir adalah orang pertama yang menulis makalah dalam bahasa

Inggris, yang berjudul “The Social and Political Ideas of Ibn Khaldun”, sementara Nashat

adalah Ph.D pertama yang menulis tentang Ibnu Khaldun. Disertasinya berjudul “Pemikiran

Ekonomi dalam Mukadimah Ibnu Khaldun” ditulis dalam bahasa Arab, pada Universitas

Kairo Mesir (Islahi, 2004).

Makalah ini bermaksud menelusuri sumbangan pemikiran Ibnu Khaldun dalam

pemikiran ekonomi modern melalui studi kepustakaan. Hal ini dilakukan dengan mempelajari

pendapat-pendapat para penulis tentang pemikiran beliau. Melalui tulisan ini diharapkan

dapat dikenali pemikiran Ibnu Khaldun yang masih memiliki relevansi hingga kini.

SOSOK DAN PEMIKIRAN EKONOMI IBNU KHALDUN

Abu Zaid Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun Waliyuddin Hadhramim dikenal

sebagai Ibnu Khaldun lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732H/27 Mei 1332M,

berasal dari keluarga yang berpengaruh. Leluhurnya datang dari Yaman kemudian tinggal di

Spanyol pada awal pemerintahan Islam abad ke 8. Namun setelah Sevila jatuh, mereka

pindah ke Tunisia. Ibnu Khaldun mendapatkan pendidikan yang baik di bidang syariah,

logika, filsafat, tata bahasa dan susastra; semuanya itu telah membentuk dirinya menjadi

negarawan. Ia pernah memegang peran penting dalam perpolitikan di Afrika Utara dan

Spanyol sehingga ia bisa menulis analisis dan penilaian tentang peristiwa yang terjadi. Ia

3
bekerja pada penguasa Tunisia, Fez, Granada dan Biaja. Terakhir, ia bekerja di Mesir selama

24 tahun sebagai pejabat tinggi yaitu Rais Qadhi (Hakim Agung) dari mazhab Maliki serta

sebagai dosen di Universitas Al Azhar. Ibnu Khaldun wafat pada tanggal 25 Ramadhan

808H/19 Maret 1406M (Hakim, 2007).

Ibnu Khaldun hidup pada masa peradaban Islam sedang mengalami kemunduran dan

disintegrasi. Kekhalifahan Abbasiyah berakhir setelah terjadinya kekerasan, pembakaran dan

penghancuran Baghdad dan sekitarnya oleh pasukan Mongol pada tahun 1258, tujuh puluh

lima tahun sebelum Ibnu Khaldun lahir. Dinasti Mamluk (1250-1517) yang berkuasa saat

Ibnu Khaldun menuliskan karya-karyanya, mempercepat keruntuhannya karena terjadinya

korupsi dan pemborosan, kecuali sebentar saja pada awal masa kekuasaannya. Sebagai

muslim yang taat, ia menginginkan perubahan. Namun ia menyadari bahwa sebagai ilmuwan

hal ini tidak bisa dilakukan tanpa mengambil pelajaran dari sejarah sehingga dapat

menentukan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan pertumbuhan dan penurunan

peradaban. Maka lahirlah kitab Muqaddimah yang diselesaikan tahun 1377 (Chapra, 1999).

Muqaddimah berarti pendahuluan, yang merupakan pendahuluan dari tujuh jilid buku

yang berjudul “Kitabul Ibar wa Diwanul Mubtada wa Khabar fi Ayyamil Arab wal ‘Ajm wal

Barbar wa man ‘Asharahum min Zawi Sulthan al Akbar” (Kitab Pelajaran dan Catatan

Sebab-Akibat dalam Sejarah Arab, Persia, dan Barbar serta Para Penguasanya). Kitab ini

menjelaskan dasar-dasar yang menyebabkan kemajuan atau kemunduran suatu dinasti

(daulah) dan peradaban (umran). Namun di dalamnya juga terkandung banyak pembahasan

tentang ekonomi, sosiologi, dan politik (Chapra, 1999).

Menurut Al-Hamdi (2006), Ibnu Khaldun menggunakan sejarah sebagai alat analisis

untuk melakukan deduksi dan membuat penjelasan tentang masalah-masalah sosial ekonomi.

Ia memiliki pemahaman yang mendalam tentang hukum sebab akibat untuk menemukan

hukum alam yang mengatur masyarakat. Dalam bidang ekonomi, Ibnu Khaldun menulis

banyak tentang hal-hal yang dikemudian hari menjadi landasan bagi teori ekonomi modern

4
mulai dari ekonomi mikro hingga perdagangan internasional. Hampir sepertiga isi

Muqaddimah mengandung konsep-konsep sosial ekonomi (Hakim, 2007).

Boulakia (1971) mengemukakan bahwa Ibnu Khaldun merupakan orang yang telah

mengemukakan sejumlah gagasan jauh sebelum orang Barat menyatakannya. Ia telah

menemukan konsep pembagian pekerjaan sebelum Smith, prinsip nilai buruh sebelum

Ricardo, mengelaborasi teori populasi sebelum Malthus dan menegaskan pentingnya peran

negara dalam ekonomi sebelum Keynes.

Berikut ini adalah beberapa gagasan ekonomi Ibnu Khaldun dari segi penawaran,

permintaan, pasar, dan peran pemerintah dalam perekonomian.

PENAWARAN

Produksi

Ibnu Khaldun berpandangan bahwa nilai setiap produk sama dengan jumlah tenaga kerja

yang terkumpul di dalamnya (Boulakia, 1971). Al-Hamdi (2006) mengemukakan, Ibnu

Khaldun berpandangan bahwa nilai berasal dari tenaga kerja, sebagaimana dikatakannya: “…

maka ketahuilah, bahwa modal yang digunakan dan dicari seseorang, bila diperoleh dari

pertukangan, merupakan nilai yang terealisasi dari kerjanya.” (Khaldun, 2008:449). Dalam

bagian lain dikatakannya, “Maka jelaslah, semua atau sebagian besar penghasilan dan

keuntungan, menggambarkan nilai kerja manusia” (Khaldun, 2008:450). Maka nilai tiap

produk sama dengan jumlah pekerjaan yang dilakukan untuk mewujudkannya. Dengan

demikian Ibnu Khaldun adalah penganjur teori nilai tenaga kerja. Pandangan ini dianut oleh

Baeck (1994), Spengler (1964), maupun Islahi (2004) (Al-Hamdi, 2006).

Namun Ali (2006) berpandangan lain. Patut dicatat bahwa teori nilai tenaga kerja

menyatakan bahwa tenaga kerja merupakan faktor fundamental dari produksi. Namun

pernyataan bahwa tenaga kerja merupakan adalah faktor utama dari produksi, tidak

menunjukkan bahwa ia penganut teori nilai tenaga kerja. Ibnu Khaldun mengatakan bahwa

5
“Keuntungan bisa juga datang tidak dengan usaha, sebagaimana hujan menumbuhkan

tanaman, dan lain sebagainya” (Khaldun, 2008:448). “Dalam jenis pertukangan tertentu,

harga bahan mentah harus diperhitungkan, umpamanya kayu dan benang dalam pertukangan

kayu dan pertenunan. Sekalipun demikian, nilai kerja tetap lebih besar dari bahan mentahnya,

karena kerja dalam kedua pertukangan ini mengambil bagian terbanyak. Dalam pekerjaan

lain dari pertukangan pun, nilai kerja harus ditambahkan kepada biaya produksi; sebab

dengan tidak adanya kerja maka tidak akan ada produksi” (Khaldun, 2008:450). Dengan

demikian Ibnu Khaldun menekankan pada pentingnya tenaga kerja tetapi juga mengakui

keberadaan faktor produksi yang lain.

Organisasi Produksi dan Pembagian Kerja

Dalam berbagai literatur sejarah pemikiran ekonomi dikemukakan bahwa konsep pembagian

kerja merupakan temuan Adam Smith. Namun Ibnu Khaldun telah membahas konsep ini

dengan menggunakan tiga tingkatan kegiatan ekonomi, yaitu tingkat industri, masyarakat dan

tingkat internasional sebagai berikut (Al-Hamdi, 2006).

Ibnu Khaldun menganalisis pembagian kerja pada tingkat industri dengan

mengkhususkan pembahasan pada perkembangan ketrampilan sebagai cara untuk

meningkatkan produksi. Ketrampilan itu ada dua macam, yaitu yang sederhana dan yang

lebih kompleks. Namun ia menjelaskan bahwa perkembangannya itu didasarkan atas tingkat

peradaban. Dikatakannya, “Bila peradaban telah berkembang pesat, dan kemewahan

merupakan tuntutan, ia telah mencakup kehalusan dan perkembangan lebih lanjut dari

pertukangan” (Khaldun, 2008:477-478). Artinya bila masyarakat berkembang, akan

meningkatkan permintaan produk kerajinan tangan yang berbeda serta produk-produk yang

berhubungan dengannya.

Ibnu Khaldun (2008:488-489) menunjukkan bahwa ada beberapa ketrampilan yang

penting bagi peradaban seperti kerajinan kayu dan pembuatan pakaian. Penggunaan hasil

6
produksi tersebut amat tergantung pada tingkat kemajuan peradaban. Dicontohkannya, orang

Badui menggunakan kayu untuk tiang dan pasak tenda, membuat tandu untuk tempat wanita

di atas onta, membuat lembing, busur dan panah untuk senjata. Namun orang-orang yang

hidup menetap menggunakan kayu untuk atap rumah, palang pintu maupun kursi. Setiap

bentuk produk merupakan hasil kerajinan tangan. Orang yang melakukan hal ini adalah

tukang kayu, dan mereka penting bagi sebuah peradaban. Bila peradaban menyebar dan

berkembang, masyarakat akan meminta produk dalam kuantitas dan kualitas yang lebih

tinggi, sehingga dibutuhkan teknik-teknik yang lebih maju.

Kemudian ia menerangkan tentang bagaimana membagi kerja kedalam beberapa

bagian yang dilakukan oleh orang yang berbeda. Misalnya dalam membuat pintu atau kursi.

Untuk itu diperlukan orang yang memiliki keahlian dalam membentuk potongan kayu dan

membubutnya, kemudian mengumpulkan potongan kayu tersebut dalam susunan simetrik

tertentu kemudian merangkainya menjadi suatu kesatuan.

Hal ini menunjukkan betapa Ibnu Khaldun telah menjelaskan pembagian dalam

proses membuat produk oleh orang yang berbeda untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas

produk tersebut.

Empat ratus tahun kemudian Adam Smith menjelaskan hal yang mirip dengan apa

yang diterangkan Ibnu Khaldun dengan menggunakan contoh pembuatan jarum. Yaitu,

seseorang mengambil kawat besi, yang lain meluruskannya, orang ketiga memotong, orang

keempat menajamkannya, orang kelima membuat kepala pada bagian jarum.

Penjelasan Ibnu Khaldun sejalan dengan pengertian modern tentang pembagian

pekerjaan, yaitu pembagian proses maupun pekerjaan menjadi beberapa bagian, setiap bagian

dilakukan oleh orang yang berbeda. Penjelasan Ibnu Khaldun berbeda dengan contoh Smith

tentang pembuatan jarum, dimana Ibnu Khaldun mengaitkan proses produksi dengan

keahlian yang dibutuhkan oleh jenis-jenis pekerjaan dalam proses produksi.

7
Dalam menjelaskan pembagian kerja tingkat masyarakat, Ibnu Khaldun mengatakan

bahwa individu tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya dengan usahanya sendiri.

Ia menulis, “... tak seorang pun dengan sendirian dapat memperoleh sejumlah gandum yang

dibutuhkannya untuk makanan. Namun, bila enam atau sepuluh orang, terdiri dari tukang besi

dan tukang kayu untuk membuat alat-alat, dan yang lain bertugas menjalankan sapi,

mengolah tanah, mengetam hasil tanaman dan seluruh kegiatan pertanian lainnya, …

Pekerjaan yang terkombinasi menghasilkan lebih banyak daripada apa yang dibutuhkan oleh

para pekerja.” (Khaldun, 2008:417). Hal ini menunjukkan adanya beberapa tingkatan

produksi dan untuk itu diperlukan kerjasama kelompok. Kelompok orang yang bekerja sama

akan memberikan hasil yang lebih besar dibanding bila semua dikerjakan sendiri. Dengan

demikian melalui pembagian pekerjaan dapat memberikan hasil yang lebih banyak.

Ibnu Khaldun mengemukakan bahwa surplus produksi dapat terjadi bila kebutuhan

penduduk terpenuhi. Selanjutnya surplus produksi itu dapat ditukarkan dengan barang-

barang lain dengan pihak luar negeri sehingga menciptakan perdagangan internasional.

Melalui perdagangan ini masyarakat suatu negeri dapat memupuk keuntungan sehingga

kesejahteraannya meningkat (Khaldun, 2008:417-418).

PERMINTAAN

Beik dan Arsyianti (2006) mengungkapkan pembahasan Ibnu Khaldun tentang konsep

permintaan. Apabila permintaan terhadap suatu produk meningkat, maka ketrampilan dalam

membuat produk tersebut juga akan meningkat dan semakin baik, karena membuat produk

tersebut akan memberikan keuntungan baginya. Bila banyak yang membutuhkan ketrampilan

tersebut, maka orang akan mempelajari ketrampilan tersebut sebagai mata pencarian

(Khaldun, 2008:489).

Namun bila ketrampilan tersebut tidak banyak yang meminta, produk hasil

ketrampilan tersebut penjualannya akan turun, orang tidak lagi berusaha mempelajari

8
ketrampilan itu, hingga kemudian hari ketrampilan itu akan diabaikan dan dilupakan orang.

Inilah makna ucapan Ali bin Abi Thalib yang mengatakan bahwa harga seseorang tergantung

pada keahliannya. Oleh karena itu, ketrampilan yang dikuasai seseorang merupakan ukuran

nilai seseorang (Khaldun, 2008:480-481).

Permintaan untuk barang tertentu juga tergantung pada sejauh mana barang itu dibeli

oleh negara. Sultan dan kelompok yang berkuasa membeli dalam jumlah yang lebih besar

dibanding pembeli individual. Ketrampilan juga berkembang manakala permintaan terhadap

sutu produk meningkat (Khaldun, 2008:481). Disini nampak bahwa Ibnu Khaldun telah

menjelaskan tentang hukum permintaan, tetapi juga konsep yang dalam ekonomi modern

disebut permintaan turunan (Hakim, 2006).

MEKANISME PASAR

Menurut Chapra (1999) Ibnu Khaldun telah menjelaskan pengaruh penawaran dan

permintaan dalam menentukan harga. Kenaikan dalam permintaan atau penurunan dalam

penawaran akan menyebabkan kenaikan harga, sementara penurunan permintaan dan

kenaikan penawaran menyebabkan penurunan harga.

Ia berpandangan bahwa harga yang amat rendah akan merugikan bagi para pengrajin

dan pedagang, menyebabkan mereka keluar dari pasar. Sementara harga yang lebih tinggi

akan merugikan konsumen. Dengan demikian harga yang moderat yang berada diantara dua

ekstrim merupakan hal yang diinginkan karena memungkinkan para pedagang melakukan

usahanya secara menguntungkan sehingga dapat mendatangkan kemakmuran. Ibnu Khaldun

(2008:474) mengemukakan, “… kerendahan harga yang melampaui batas merugikan mereka

yang berdagang barang-barang tersebut. Kenaikan harga yang melampaui batas juga

merugikan, … Kemakmuran akan terjamin dengan sebaik-baiknya oleh harga yang sederhana

(moderat) dan cepat lakunya barang di pasar”.

9
Namun harga yang rendah diperlukan untuk barang-barang kebutuhan pokok karena

dapat dijangkau oleh orang-orang miskin yang merupakan mayoritas penduduk. “Harga-

harga yang rendah bagi hasil pertanian, dan barang-barang lain yang diperdagangkan, terpuji

hanya karena kebutuhan akan barang-barang itu sifatnya umum, dan penduduk, kaya maupun

miskin, dipaksa harus membeli makanan. Dan orang-orang yang butuh bantuan orang lain

merupakan mayoritas di antara penduduk peradaban.” (Khaldun, 2008:474). Harga yang

rendah untuk barang-barang pokok itu dicapai bukan dengan menetapkan harga, karena hal

ini akan mengganggu dorongan untuk berproduksi (Khaldun, 2008:365).

Faktor-faktor yang menentukan penawaran menurut Ibnu Khaldun adalah permintaan,

tingkat keuntungan relatif, daya upaya manusia, jumlah tenaga kerja beserta pengetahuan

dan keahlian, keadaan yang aman dan damai, perkembangan masyarakat dan kemampuan

tekniknya. Sementara faktor-faktor yang menentukan permintaan adalah pendapatan, jumlah

penduduk, adat kebiasaan masyarakat, perkembangan dan kesejahteraan masyarakat1 (Chapra

1999).

Merupakan hal yang menarik bahwa konsep permintaan dan penawaran dalam

literatur berbahasa Inggris kemungkinan baru dijelaskan tahun 1767 oleh Sir James Steuart

(Chapra, 1999; Humphrey, 1992).

1
Ilmuwan lain sebelum Ibnu Khaldun juga sudah menjelaskan tentang peran penawaran dan permintaan.
Misalnya, Ibnu Taimiyah (1328) dalam tulisannya mengatakan bahwa kenaikan dan penurunan harga tidak
selalu karena ketidak-adilan yang dilakukan oleh beberapa orang. Namun bisa juga disebabkan karena
kurangnya output ataupun impor barang yang dibutuhkan. Bila permintaan barang meningkat dan penawarannya
menurun maka harga akan naik. Bila permintaan turun dan penawaran meningkat, harga akan turun. Lima abad
sebelumnya, Al Jahiz (864) telah menulis, “segala yang tersedia di pasar akan murah karena banyak, dan akan
mahal karena kelangkaan bila ada permintaan untuk itu. Sedangkan apabila terjadi peningkatan penawaran
segala sesuatu maka harganya akan murah, kecuali kecerdasan, harganya akan mahal bila jumlahnya meningkat
(Chapra, 1999).

10
PERAN PEMERINAH

Ibnu Khaldun percaya bahwa pemerintah memainkan peran penting dalam pertumbuhan

ekonomi melalui pembelian barang dan jasa melalui kebijakan fiskal terutama pajak dan

pembelanjaan pemerintah. Pengeluaran pemerintah dapat mendorong perekonomian melalui

efek pengganda, sementara pengenaan pajak dapat mengurangi produksi. Karena pemerintah

merupakan pasar yang besar bagi barang dan jasa, maka pengurangan belanja pemerintah

bukan saja mengakibatkan melambatnya aktivitas usaha dan penurunan laba namun juga

penurunan pendapatan pajak. Makin banyak belanja pemerintah, makin baik dampaknya bagi

ekonomi. Pembelanjaan pemerintah diperlukan untuk kepentingan rakyat, menjaga

ketertiban, menegakkan aturan, dan menstabilkan politik. Tanpa keteraturan dan stabilitas

politik, produsen tidak terdorong untuk berproduksi. (Chapra, 1999).

Dampak pajak terhadap insentif berusaha dan produktivitas diterangkan Ibnu Khaldun

melalui konsep perpajakan optimum. Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa faktor terpenting

dalam membuat kemajuan usaha adalah meringankan sedapat mungkin beban pajak, sehingga

dapat mendorong pengusaha bekerja lebih keras. Bila beban pajak lebih ringan, orang akan

mendapatkan dorongan untuk lebih aktif dalam bekerja. Dunia usaha akan berkembang,

akibatnya pendapatan pajak juga akan naik karena lebih banyak orang yang memiliki

kemampuan membayar pajak (Chapra, 1999; lihat Khaldun, 2008:348-351).

Pada tahun 1978 Jude Wanniski memperkenalkan istilah Laffer curve yang

merupakan teori dari Arthur B. Laffer (Laffer, 2004) yang menyatakan bahwa pendapatan

pajak akan mencapai titik maksimum bila tarif yang dikenakan dibawah 100 persen. Bila

tarif pajak sama dengan nol, tidak ada pendapatan pajak yang diterima oleh pemerintah.

Tetapi bila tarif pajak sebesar 100% maka pendapatan pajak juga akan nihil karena tidak ada

masyarakat yang mau bekerja kemudian pendapatannya semua untuk membayar pajak.

Dengan demikian masyarakat mau bekerja pada tarif antara 0 hingga 100 persen (Lipsey,

11
1981:448). Laffer sendiri menyatakan bahwa kurva Laffer bukan ditemukan olehnya sendiri,

ia mengutip pemikiran dari Ibnu Khaldun dan John Maynard Keynes (Laffer, 2004).

Ibnu Khaldun juga menganalisis pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap

perekonomian. Dikatakannya, pengurangan pengeluaran pemerintah dapat menurunkan

pendapatan pajak, yang berakibat pada berkurangnya belanja pemerintah. Karena pemerintah

merupakan pasar terbesar, pengurangan belanja pemerintah dapat menyebabkan menurunnya

penjualan yang dilakukan oleh dunia usaha sehingga labanya berkurang. Akibat berikutnya

adalah berkurangnya penerimaan pajak (Chapra, 1999). Ini sejalan dengan pandangan

Keynes pada awal tahun 1930an yang merekomendasikan agar perekonomian tidak

diserahkan begitu saja pada mekanisme pasar; hingga pada batas tertentu peran pemerintah

tetap diperlukan (Deliarnov, 1995:151).

EKONOMI DAN PERADABAN

Ibnu Khaldun mengembangkan teori yang komprehensif tentang siklus dinasti, menjelaskan

bagaimana terjadinya perubahan dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat pada masa

kebangunan, puncak, penurunan, dan kehancuran dinasti penguasa (Alrefai & Brun, 1994).

Perkembangan peradaban merupakan kontinum dari badawah (gaya hidup suku-suku) pada

satu kutub dan hadarah (gaya hidup menetap) pada kutub yang lain. Dalam sistem Badawah,

masyarakat kecil terikat bersama oleh ikatan keluarga, budaya dan agama. Lembaga yang

tercipta atau terorganisir bersifat sederhana namun efektif dalam mengakomodasi kegiatan

ekonomi. Agama mengatur standar perilaku para pemain sementara struktur politik maupun

aturan formal biasanya tidak penting (Khalid, 2006).

Sebagai hasil dari surplus produksi akibat pembagian kerja dan spesialisasi, maka

interaksi dan jaringan ekonomi berkembang. Dengan demikian akan semakin dibutuhkan

hubungan yang semakin kuat dan terstruktur sehingga dapat memanfaatkan peluang yang

ada. Soliditas sosial ini dibutuhkan untuk mendorong kegiatan ekonomi, disamping itu hasil

12
yang diperoleh dari kegiatan ekonomi akan memperkuat ikatan sosial sehingga membentuk

sinergi. Ibnu Khaldun menggunakan istilah ashabiyah untuk menjelaskan adanya perasaan

kelompok dan kekuatan yang timbul dari kesatuan kepentingan sosial, politik dan ekonomi.

(Khalid, 2006)

Menurut bahasa Arab istilah ashabiyah memiliki dua makna (Chapra, 1999). Yang

pertama adalah kebaikan dan kesesuaian dengan konsep persaudaraan dalam Islam. Hal ini

mendorong orang bekerjasama atas dasar kesamaan tujuan, menahan hawa nafsu dan

memenuhi kewajiban terhadap pihak lain sehingga menciptakan keseimbangan sosial dan

merupakan faktor penting dalam mengembangkan peradaban. Arti yang lain adalah loyalitas

buta terhadap kelompoknya sendiri. Hal ini menyebabkan seseorang mengunggulkan

kelompoknya tanpa peduli apakah kelompoknya itu benar atau salah, sehingga

mengakibatkan timbulnya sikap tidak adil, saling benci dan pertentangan. Kedua makna

tersebut tercermin dalam ayat Al Qur’an “Dan tolong-menolonglah kamu dalam

(mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan

pelanggaran” (QS. 5:2). Ibnu Khaldun menggunakan kata ashabiyah untuk makna yang

pertama (lihat Khaldun, 2008:247-251).

Mengutip pendapat Fida, Khalid (2006) menjelaskan beberapa faktor yang

memperkuat ashabiyah, sebagai berikut.

Pertama adalah kekuasaan. Menurut Ibnu Khaldun, keutamaan suatu masyarakat

seringkali dinilai dari susunan struktur kekuasaannya. Potensi dan daya gunanya tergantung

pada bagaimana kekuasaan diatur serta kemampuan kekuasaan tersebut menghimpun

berbagai kelompok menjadi sebuah kesatuan yang utuh dalam bertindak.

Yang kedua adalah kepemimpinan. Perasaan ashabiyah tergantung pada keyakinan

dan kepercayaan bahwa pemimpin membangkitkan semangat dan memimpin dengan

bijaksana. Sedangkan yang ketiga adalah agama, yang merupakan faktor yang sangat kuat

dalam kehidupan sosial dan mendorong kesatuan pemikiran dan tindakan diantara para

13
pengikutnya. Otoritas dalam masyarakat berkembang dari yang berdasarkan moral dan

kultural menuju kekuasaan berdasarkan politik.

Douglass C. North (1993), berpandangan bahwa formalisasi kekuasaan institusional

dipandang sebagai pergerakan dari kutub ekstrim yang satu (tabu, adat istiadat dan tradisi) ke

kutub yang lain (konstitusi), yang didorong oleh terjadinya peningkatan spesialisasi dan

pembagian kerja sehingga masyarakat menjadi semakin kompleks.

Adapun faktor-faktor yang memperlemah ashabiyah (Fida, dalam Khalid, 2006),

yang pertama adalah kemewahan dan korupsi. Orang cenderung pada kehidupan berfoya-

foya, memikirkan kepentingannya sendiri sehingga solidaritas sosial berkurang. Terjadi

ketidak-adilan ekonomi seperti pelanggaran hak milik, kegiatan ekonomi mencari rente dan

lain-lain yang kian hari kian bertambah. Untuk melanggengkan kekuasaan, penguasa

menyewa tentara atau menambah struktur birokrasi. Untuk pembiayaannya dilakukan dengan

meningkatkan pajak sehingga meningkatkan biaya transaksi usaha. Akibatnya kegiatan usaha

menjadi kurang bergairah.

Studi Murrel dan Olson (Khalid, 2006) menunjukkan bagaimana institusi yang

sedianya dikembangkan untuk mendukung rejim yang otoriter, akan memerlukan informasi

yang semakin besar yang diperlukan untuk mengontrol dan mempertahankan diri dari

serangan terhadap kekuasaan. Untuk itu maka mesin birokrasi dikembangkan, terjadi kolusi

antar kelompok penguasa maupun kolusi penguasa dengan pengusaha, sehingga

berkontribusi terhadap mundurnya perekonomian.

Kedua, kerap terjadinya penyalah-gunaan kekuasaan akan menyebabkan rakyat

tertekan kemudian perilakunya menyimpang menjadi tidak jujur dan tidak amanah. Dalam

hal ini Levi (Khalid, 2006) mengemukakan hubungan antara ketiadaan kepercayaan sebagai

akibat dari hilangnya ashabiyah dengan kinerja ekonomi. Jika seseorang tidak percaya

bahwa pihak lain akan memenuhi janji, maka tak ada alasan yang rasional bagi orang tersebut

untuk melakukan kerjasama. Seseorang yang salah dalam mempercayai orang lain, akan

14
menderita kerugian. Ketidak-percayaan akan menyebabkan orang tidak berbuat apa-apa, atau

mungkin saja melakukan perbuatan yang positif, namun tindakannya penuh hati-hati

terhadap pihak lain yang tidak dipercaya. Ketidak-percayaan dapat menyebabkan seseorang

memutuskan untuk tidak mengambil risiko, atau membuat orang tersebut dalam keadaan

rentan terhadap risiko. Ketidak-percayaan dapat membuat perasaan takut dikhianati sehingga

mendorong seseorang untuk memproteksi dirinya.

Karena penyalah-gunaan kekuasaan merupakan sumber terjadinya perselisihan dan

frustrasi, para elit penguasa berusaha memelihara stabilitas politik dalam rangka

mempertahankan kepentingan ekonomi mereka. Untuk itu mereka membangun birokrasi dan

kebijakan untuk melindungi kroni-kroni dan program-program mereka, tentu saja dengan

biaya yang tinggi. Akibatnya terjadi ekonomi biaya tinggi yang menyebabkan negara tersebut

tidak kompetitif. Inilah yang terjadi di Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru.

Menurut Chapra (2006) Ibnu Khaldun telah mengembangkan model yang

menjelaskan kemajuan dan kemunduran suatu peradaban atau perkembangan dan penurunan

keadaan perekonomian, dimana kedua hal tersebut saling bergantung. Chapra mengutip Ibnu

Khaldun (2008:65 & 361) sebagai berikut.


(1) Kekuatan sebuah kekuasaan (al mulk) tidak akan bertahan kecuali dengan menjalankan
syariah. (2) Syariah tidak dapat dijalankan kecuali melalui kekuasaan (al mulk); (3)
kekuasaan tidak akan kuat kecuali melalui manusianya (ar rijal); (4) manusia tidak dapat
bertahan kecuali dengan adanya kekayaan (al mal); (5) kekayaan tidak dapat diperoleh
kecuali melalui pembangunan (imarah); (6) pembangunan tidak dapat tercapai kecuali dengan
adanya keadilan (al ‘adl); (7) keadilan adalah timbangan (al mizan) Tuhan dalam menilai
kemanusiaan; dan (8) kekuasaan dibebankan dengan tanggung jawab atas realisasi keadilan.

Ibnu Khaldun menamakannya sebagai delapan prinsip kebijaksanaan (kalimat

hikamiyah), yang satu sama lain saling berpaut erat. Prinsip-prinsip ini bersifat interdisipliner

dan dinamis. Penyebab kemunduran suatu peradaban bukan karena satu sebab tetapi

disebabkan oleh variabel-variabel sosial, ekonomi dan politik seperti Syariah (S), kekuatan

15
politik (G), manusia (N), kekayaan atau ketersediaan sumber daya (W), pembangunan (g) dan

keadilan (j) (Chapra, 2006).

Semua variabel itu saling bergantung, satu sama lain saling mempengaruhi. Bila salah

satu variabel terpicu, varabel-variabel lainnya dapat bereaksi, dapat pula tidak. Bila variabel

lain tidak berreaksi pada arah yang sama, maka kemunduran pada salah satu sektor tidak

menyebar ke yang lain, sektor tersebut dapat diperbaiki, atau kemunduran suatu peradaban

melambat. Namun bila sektor-sektor yang lain berreaksi dengan arah yang sama, maka

kemunduran peradaban menemukan momentumnya melalui reaksi berantai, sehingga sulit

membedakan antara sebab dan akibat. Lingkaran sebab-akibat ini digambarkan oleh Chapra

sebagai berikut.

Gambar 1. Kalimat Hikamiyah

Perhatian utama Ibnu Khaldun adalah menjelaskan maju mundurnya sebuah dinasti

(negara) atau peradaban. Menurutnya kekuatan dan kelemahan suatu dinasti tergantung pada

kekuatan dan kelemahan otoritas politik. Otoritas politik (G) harus menjamin kepentingan

rakyat (N) dengan menyediakan lingkungan yang kondusif bagi pembangunan (g) dan

keadilan (j) melalui implementasi syariah (S), pertumbuhan dan distribusi kekayaan (W)

yang adil.

Penyebab kemunduran peradaban bisa bermacam-macam. Bisa karena kurangnya

pendidikan sehingga kualitas sumber daya manusia (N) turun, bisa karena kelemahan

16
ekonomi (W) karena diterapkannya sistem ekonomi (S) yang salah, atau nilai-nilai dan

lembaga masyarakat yang tidak sejalan dengan nilai-nilai yang dibutuhkan untuk

pembangunan.

Nilai-nilai syariah (S) dapat berperan untuk mengaktifkan seluruh faktor peradaban

menuju arah yang positif (Chapra, 2006). Untuk itu nilai-nilai tersebut dapat diterjemahkan

melalui objektivisasi sehingga dapat diintrodusir dan diterima oleh masyarakat luas. Yang

dimaksud objektivisasi nilai-nilai Islam adalah proses transposisi konsep atau ideologi dari

wilayah personal-subjektif ke ranah publik objektif; dari ranah internal merambah ke wilayah

eksternal, agar bisa diterima secara luas oleh publik. Agar dapat diterima di wilayah publik

maka nilai-nilai tersebut mesti memenuhi kriteria-kriteria tertentu seperti: kesesuaian dengan

konteks dari segi ruang dan waktu; mempunyai hubungan rasional-organik; memenuhi rule of

the game; memenuhi prinsip pluralitas dan kehidupan bersama (non-diskriminatif) serta

resolusi konflik agar konsep dan ide tadi memenuhi prinsip keadilan publik (Azra, 2008).

17
SIMPULAN

Ibnu Khaldun merupakan salah satu diantara banyak pemikir Islam yang telah memperkaya

khazanah keilmuan dalam bidang ekonomi. Meski Ibnu Khaldun hidup setelah masa the “the

Great Gap”, namun pemikirannya merupakan hasil kristalisasi dari para pemikir Muslim

sebelumnya. Thesis the “the Great Gap” tersebut kini telah terbantahkan.

Ibnu Khaldun hidup pada masa kemunduran peradaban Islam. Perhatiannya pada

maju-mundurnya peradaban bangsa-bangsa menghasilkan pemikiran yang dewasa ini dikaji

orang dari berbagai bidang ilmu, termasuk bidang ilmu ekonomi. Ia adalah seorang pengamat

yang cermat mengenai fenomena-fenomena ekonomi, sosial, politik dan sejarah pada

masanya dan masa sebelumnya. Ia mampu mengidentifikasi dan menjelaskan hubungan antar

variabel-variabel ekonomi serta keterkaitannya dengan variabel-variabel lain.

Tulisan ini telah menunjukkan bahwa teori-teori dari para pemikir ekonomi hingga kini

ternyata banyak memiliki kemiripan dengan pemikiran ekonomi Ibnu Khaldun, sehingga

Ibnu Khaldun yang selama ini dikenal sebagai father of sociology oleh sebagian pakar

diusulkan sebagai father of economics (Boulakia, 1971; Al-Hamdi, 2006; Oweiss, 1988;

Islahi, 2005, Bartkus & Hassan, 2007). Pemikiran Ibnu Khaldun tentang ekonomi mampu

melampaui jamannya, teruji oleh sejarah, dan masih tetap relevan hingga saat ini.

Bagi bangsa Indonesia yang sedang berusaha keluar dari krisis multi dimensi,

pemikiran Ibnu Khaldun dapat dijadikan inspirasi. Konsep ashabiyah dalam makna yang

positif serta kerangka berpikir kalimat hikamiyah kiranya dapat menjadi dasar bagi penelitian

selanjutnya untuk memberi sumbangan pemikiran kepada bangsa Indonesia, demi

memajukan peradaban kita.

Namun demikian perlu dicatat bahwa penelitian ini terutama bersumber pada

pendapat berbagai penulis tentang karya Ibnu Khaldun, disamping itu penulis menggunakan

18
buku Muqaddimah terjemahan bahasa Indonesia sebagai rujukan, sehingga kemungkinan

terjadinya bias serta masalah otentisitas merupakan keterbatasan tulisan ini.


---

19
Daftar Pustaka

Abdalla, Mohamad. 2004. The Fate of Islamic Science Between the Eleventh and Sixteenth
Centuries: A Comprehensive Review of Scholarship from Ibn Khaldun to the Present.
Humanomics. Patrington. Vol. 20, Iss. 3/4; pg. 26.

Al-Hamdi, Mohamed Talib. 2006. Ibn Khaldun: The Father of the Division of Labor.
International Conference on Ibn Khaldun in Madrid , Spain November 3-5, 2006 hold
by the Islamic Research and Training Institute in collaboration with Univerisdad
Nacional de Education a Distance (UNED), and the Islamic Culture Center of Madrid.
Dalam http://www.uned.es/congreso-ibn-khaldun/ponencia.htm

Ali, Salman Syed. August 2006. Economic Thought of Ibn Khaldun (1332—1406 A.D.).
IRTI, Islamic Development Bank.

Azra, Azzumardi. PKS. Repubika Kamis, 24 April 2008.

Alrefai, Ahmed & Brun, Michael. 1994 Ibn Khaldun: dynastic change and its economic
consequences. From: Arab Studies Quarterly (ASQ). Dalam
http://www.encyclopedia.com/doc/1G1-16502941.html

Bartkus, James R. & M. Hassan, Kabir. 2007. Ibn Khaldun and Adam Smith: Contributions
to the Theory of the Division of Labor and Modern Economic Thought. International
Islamic University Malaysia. International Conference on Ibn Khaldun in Madrid,
Spain November 3-5, 2006 hold by the Islamic Research and Training Institute in
collaboration with Univerisdad Nacional de Education a Distance (UNED), and the
Islamic Culture Center of Madrid. Dalam http://www.uned.es/congreso-ibn-
khaldun/ponencia.htm

Beik, Irfan Syauqi & Arsyianti, Laily Dwi. 2006. Ibn Khaldun’s Contribution on Modern
Economics Development An Analysis based on Selected Economic Issues.
International Conference on Ibn Khaldun in Madrid, Spain. November 3-5, 2006 hold
by the Islamic Research and Training Institute in collaboration with Univerisdad
Nacional de Education a Distance (UNED), and the Islamic Culture Center of Madrid.
Dalam http://www.uned.es/congreso-ibn-khaldun/ponencia.htm

Boulakia, Jean David C. 1971. Ibn Khaldun: A Fourteenth-Century Economist. The Journal
of Political Economy, Vol. 79, No. 5., pp. 1105-1118.

20
Chapra, M. Umer. 1999. Socioeconomic and Political Dynamics in Ibn Khaldun’s Thought.
The American Journal of Islamic Social Sciences Vol. 16, No. 4, Winter, pp.17-38.

Chapra, M. Umer. 2004. Book Reviews Published by EH.NET. S.M. Ghazanfar, editor,
Medieval Islamic Economic Thought: Filling the Great Gap in European Economics.
London: Routledge/Curzon, 2003. xv + 284 pp. ISBN: 0-415-29778-8.

Chapra, M.Umer. 2007. Ibn Khaldun’s theory of development: Does it help explain the low
performance of the present-day Muslim world? The Journal of Socio-Economics,
doi:10.1016/j.socec.2006.12.051

Deliarnov, 1995. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Hakim, Cecep Maskanul. 2007. Ibn Khaldun’s Thought in Microeconomics: Dynamic of


Labor, Demand-Supply and Prices. Economics Development An Analysis based on
Selected Economic Issues. International Conference on Ibn Khaldun in Madrid, Spain.
November 3-5, 2006 hold by the Islamic Research and Training Institute in
collaboration with Univerisdad Nacional de Education a Distance (UNED), and the
Islamic Culture Center of Madrid. Dalam http://www.uned.es/congreso-ibn-
khaldun/pdf/03%20Cecep%20Hakim.pdf

Humphrey, Thomas M. 1992. Marshallian Cross Diagrams and Their Uses Before
Alfred Marshall: The Origins of Supply and Demand Geometry. Economic Review.
(Federal Reserve Bank of Richmond). Richmond. Vol. 78, Iss. 2; pg. 3, 21 pgs.

Islahi, Abdul Azim. 2004. Contributions Of Muslim Scholars To Economic Thought and
Analysis (11-905 A.H./632-1500 A.D.), Islamic Economics Research Centre King
Abdulaziz University Jeddah, Saudi Arabia.

Khalid, Haniza. 2007. Comparing Ibn Khaldun and The New Institutional Economics.
International Islamic University Malaysia. International Conference on Ibn Khaldun in
Madrid, Spain November 3-5, 2006 hold by the Islamic Research and Training Institute
in collaboration with Univerisdad Nacional de Education a Distance (UNED), and the
Islamic Culture Center of Madrid. Dalam http://www.uned.es/congreso-ibn-
khaldun/pdf/05%20Haniza%20Khalid.pdf

21
Khaldun, Ibnu. 2008. Muqaddimah. Diterjemahkan oleh Ahmadie Thoha. Cetakan ketujuh,
Maret 2008. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Laffer, Arthur B. June 1, 2004. The Laffer Curve: Past, Present, and Future. Backgrounder
No. 1765. Dalam www.heritage.org/research/taxes/bg1765.cfm

North, Douglass C. 1993. Economic Performance Through Time– Prize Lecture. Lecture to
the memory of Alfred Nobel, December 9, 1993.

North, Douglass C. 1996. Where Have We Been and Where Are We Going? Washington
University, St. Louis. Dalam http://129.3.20.41/eps/eh/papers/9612/9612001.html

Oslington, Paul. Economic Thought and Religious Thought: A Comment on Ghazanfar S.M.
and Azim Islahi A. (1990) "Economic Thought of an Arab Scholastic: Al Ghazali"
History of Political Economy vol 22 pp381-403.

Oweiss, Ibrahim M. Abstracts: Ibn Khaldun, The Father Of Economics. Atlantic Economic
Journal; Sep 1988; 16, 3; Abi/Inform Global. Pg. 63.

Soofi, Abdol S. 1995. Economics of Ibn Khaldun Revisited", History of Political Economy,
Vol. 27, No. 2:387-404 (1995) Department of Economics, University of Wisconsin.
Dalam http://www.uwplatt.edu/~soofi/khaldun2.pdf

Sun, Guang-Zhen. 2004. The Economics of Division of Labor from Xenophon to Hayek
(1945): A Review of Selected Literature. Dalam
https://www.worldscientific.com/economics/etextbook/5728/5728_chap1.pdf

(Jahja, 2009)
Cite:
Jahja, A. S. (2009). Mengenali Kontribusi Ibnu Khaldun terhadap Pemikiran Ekonomi.
Jurnal Ekonomi Dan Keuangan Syariah Amwaluna, 1(1), 61–75.

22

Anda mungkin juga menyukai