Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PORTOFOLIO

THALLASEMIA

Pendamping:
dr. Nur Cahyo Anggorojati

Disusun Oleh :
dr. Dwi Andrio Septadi

PROGRAM DOKTER INTERNSIP INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MAJENANG
KABUPATEN CILACAP
2018-2019
KATA PENGANTAR

Segala Puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, juga shalawat
serta salam kami panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam mengikuti Program Internsip
Dokter Indonesia, penulis menyusun laporan kasus yang berjudul “thallasemia” sebagai salah satu
syarat tujuan dalam menyelesaikan tugas di wahana terpilih, yakni RSUD Majenang.

Penulis berharap semoga hasil dari laporan ini dapat bermanfaat bagi diri penulis sendiri dan
orang lain, sehingga diharapkan lebih banyak masyarakat yang lebih sadar bahwa setiap faktor
perilaku, faktor lingkungan, ketersediaan pelayanan kesehatan, dan faktor genetik mempengaruhi
status kesehatan.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada berbagai pihak yang telah
mendukung penulis menyelesaikan laporan ini, kepada dokter pembimbing dr. Nur Cahyo
Anggorojati dan teman-teman sejawat internsip di RSUD Majenang.

Majenang, Juli 2019

DOKTER INTERNSIP DOKTER PENDAMPING

dr. Dwi andrio Septadi dr. Nur Cahyo Anggorojati


I. Identitas pasien
Nama : An. S
Usia : 8 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Beratbadan : 15 kg
Agama : Islam
Alamat : Cilopadang, Majenang
Tgl masuk Rs : 13 juli 2019
Dokter pemeriksa : dr Dwi andrio

II. Anamnesis
Keluhan utama :
Lemas 3 hari SMRS

Riwayat penyakit sekarang :


Pasien mengeluh lemas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, disertai
pusing dan mudah lelah, sesak (-), padandangan kabur (-), demam (-), mimisan (-),
bab dan bak seperti hari-hari biasanya.

Riwayat penyakit dahulu :


 Thallasemia

Riwayat penyakit keluarga :


 Tidak ada keluhan yang sama

Riwayat psikososial :
Pasien merupakan anak yang aktif dalam berinteraksi dengan teman-teman. Pasien
kurang suka konsumsi susu, buah dan sayur.

Riwayat Pengobatan :
 Pasien rutin melakukan transfuse setiap bulan.

Riwayat Alergi :
 Alergi obat dan makanan disangkal

III. Pemeriksaan Fisik


 Keadaan umum : Tampak sakit ringan
 Kesadaran : Composmentis
 Tekanan darah : -
 Nadi : 94 kali/ menit,reguler,lemah
 Respirasi rate : 22 kali/ menit
 Suhu : 36.4 ° C
 Berat badan : 15 kg

Status Generalisata

Kepala : Normocephal, simetris, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah


rontok.

Wajah : Pelebaran dahi -, pembesaran tulang pipi (-)

Mata : Alis mata madarosis (-), bulu mata rontok (-), jarak mata mulai menjauh (+),
konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+), d= 2 mm/2mm,
isokor kanan-kiri. Eksophtalmus (-), edema palpebra (-), pergerakan mata kesegala
arah baik. Mata cekung -

Hidung : hidung pesek (-), masa (-), epistaksis (-)

Telinga :Normotia, membran timpani intak, nyeri tekan processus mastoideus (-/-),
otore (-/-), darah (-/-), pendengaran baik.

Mulut : Bibir kering (-), stomatitis (-), mukosa mulut lembab, lidah kotor(-), faring
hiperemis, T1/T1

KGB : Tidak ada pembesaran KGB pada daerah submandibula, supraclavicula,


infraclavicula, axilla, inguinal serta tidak ada nyeri penekanan

THORAX

Paru-Paru

 Inspeksi : Pernafasan bronkovesikuler, gerakan dinding paru saat bernafas


simetris saat statis dan dinamis, penggunaan otot bantu pernafasan (-), bekas operasi
(-), bekas trauma (-)
 Palpasi : Taktil fremitus simetris antara paru kiri dan kanan sama.
 Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru, batas paru-hepar setinggi ICS V
linea midclavicularis dextra
 Auskultasi : Vesikuler +/+ dikedua lapang paru, Ronkhi basah -/- , Ronkhi kering -/-.

Jantung

 Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat


 Palpasi : ictus cordis ada pada ICS V di sebelah medial linea midklavikularis sinistra
 Perkusi :
- Kanan atas: SIC II Linea Para Sternalis Dextra
- Kanan bawah: SIC IV Linea Para Sternalis Dextra
- Kiri atas: SIC II Linea Para Sternalis Sinistra
- Kiri bawah: SIC IV Linea Medio Clavicularis Sinistra
 Auskultasi : bunyi jantung 1 dan 2 murni reguler, Murmur (-), Gallop (- )

ABDOMEN

 I : Datar, venektasi (-), caput medusa (-), tonjolan (-), bekas operasi (-),
 P : Supel, Nyeri tekan epigastrium (+), terlokalisir, nyeri tekan abdomen (-),
Hepatomegali (-), splenomegali (-), rebound sign (-).
 P : Timpani pada 4 kuadran abdomen, shifting dullness (-) , hepatomegaly (+),
splenomegaly (+) shuffner 3.
 A : Bising usus (+) pada seluruh kuadran abdomen 15 x/menit. Turgor kulit
kembali dengan cepat.

Ekstremitas

 Ekstremitas atas : Akral dingin (-),edema (-), jaringan parut (-)

telapak tangan pucat (-), jari tabuh (-), turgor (+)

 Ekstremitas bawah : akral dingin(-), edema (-), jaringan parut (-)

telapak kaki pucat (-), jari tabuh (-), turgor (+)

Kulit : Pigmentasi (+)

IV. Pemeriksaan penunjang

Tanggal 21 februari 2019

Hasil Pemeriksaan Hematologi

No Pemeriksaan Hasil

1 Hemoglobin 8 g/dl

2 Hematokrit 24 vol%

3 Leukosit 9.300 /mm3

4 Trombosit 229.000/mm3

5 MCV 72

6 MCH 22

7 MCHC 31
V. RESUME
Pasien mengeluh lemas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, disertai pusing
dan mudah lelah,, bab dan bak seperti hari-hari biasanya.
Pemeriksaan fisik :
Abdomen : hepatomegaly (+), splenomegaly (+) shuffner 3
Kulit : pigmentasi (+)
TTV
 Tekanan darah :110/ 70 mmHg
 Nadi : 98 kali/ menit
 Respirasi rate : 20 kali/ menit
 Suhu : 36,7 ° C
Pemeriksaan Laboratorium
 Hb : 8 mg/ dl

VI. Working Diagnosa :


Thallasemia

VII. Differensial Diagnosis :


 Anemia

VIII. Penatalaksanaan
Medikamentosa
 Inf. RL 20 tpm
 Transfuse prc ((12-8)x15x80):22= 220 cc
 Dexamethasone 0.1 mg/kgbb/kali
 Inj furosemide 0.5mg/kgbb/kali

Non Medikamentosa :
 Awasi reaksi transufi
 Awasi overhidrasi cairan

IX. Analisa Kasus

 Pasien sering mengalami kelemahan


 Organomegali yang terjadi seperti hepatomegaly dan splenomegaly
 Hiperigentasi pada kulit yang menjadikan terlihat gelap

X. Follow up

Tgl 14 mei 2019

S : (-)
O : TD -
Nadi 88 x/ menit
Suhu 36,85°C
RR 20 x/ menit
Abd: hepatomegaly (+), splenomegaly (+) shuffner 3
Kulit : pigmentasi (+)
A : thallasemia
P : Pasien BLPL
TALASEMIA

I. Latar Belakang

Talasemia adalah penyakit genetik yang disebabkan oleh mutasi gen yang disebabkan

oleh mutasi gen alpha atau beta, yang dihasilkan oleh keabnormalan sintesis hemoglobin.

Patofisiologi penyakit ini dapat dikelompokkan kedalam penurunan produksi hemoglobin

(talasemia) dan produksi struktur abnormal tipe hemoglobin (hemoglobinopathy).

Mekanisme tersebut menunjukan tidak hanya morfologi eritrosit yang abnormal tetapi juga

paruh waktu eritrosit dikarenakan peningkatan fragility dan destruksi sel darah merah

hemolysis dengan eritropoiesis (keabnormalan produksi sumsum tulang). Gen talasemia

merupakan autosomal inheritance, terdapat pengaruh dari kedua orang tua yang berefek

terhadap anaknya yang dapat memberikan efek secara asimtomatik.

Talasemia dikelompokkan berdasarkan diagnosis genotipe yang dimasukan kedalam 2

grup : thallasemia alpha, talasemia beta, diagnosis fenotipe berbagai macam manifestasi

anemia hemolitik dari sangat parah hingga sangat ringan. Sehingga penyakit ini

dikelompokan berdasarkan derajat klinis talasemia mayor, intermedia, dan minor.

Berdasarkan data terakhir dari Badan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan 250

juta penduduk dunia (4,5%) membawa genetik Talasemia. Dari 250 juta, 80-90 juta di

antaranya membawa genetik Talasemia Beta.1

Sementara itu di Indonesia jumlah penderita Talasemia hingga tahun 2009 naik menjadi

8, 3 persen dari 3.653 penderita yang tercatat pada tahun 2006. Hampir 90% para penderita

penyakit genetik sintesis Hemoglobin (Hb) ini berasal dari kalangan masyarakat miskin.

Kejadian talasemia sampai saat ini tidak bisa terkontrol terkait faktor genetik sebagai batu

sandungan dan belum maksimalnya tindakan skrining untuk talasemia khususnya di

Indonesia. Talasemia pertama kali ditemukan pada tahun 1925 ketika Dr. Thomas B. Cooley
mendeskripsikan anak-anak dengan anemia berat, splenomegali, dan biasanya ditemukan

abnormal pada tulang yang disebut kelainan eritroblastik atau anemia Mediterania karena

sirkulasi sel darah merah dan nukleasi. Pada tahun 1932 Whipple dan Bradford menciptakan

istilah talasemia dari bahasa yunani yaitu thalassa, yang artinya laut (laut tengah) untuk

mendeskripsikan ini. Beberapa waktu kemudian, anemia mikrositik ringan dideskripsikan

pada keluarga pasien anemia Cooley, dan segera menyadari bahwa kelainan ini disebabkan

oleh gen abnormal heterozigot. Ketika homozigot, dihasilkan anemia Cooley yang berat.

Talasemia merupakan penyakit yang diturunkan. Pada penderita talasemia, hemoglobin

mengalami penghancuran (hemolisis). Penghancuran terjadi karena adanya gangguan sintesis

rantai hemoglobin atau rantai globin. Hemoglobin orang dewasa terdiri dari HbA yang

merupakan 98% dari seluruh hemoglobinya. HbA2 tidak lebih dari 2% dan HbF 3%. Pada

bayi baru lahir HbF merupakan bagian terbesar dari hemoglobin (95%). Pada penderita

talasemia kelainan genetik terdapat pada pembentukan rantai globin yang salah sehingga

eritrosit lebih cepat lisis. Akibatnya penderita harus menjalani tranfusi darah seumur hidup.

Selain transfusi darah rutin, juga dibutuhkan agent pengikat besi (Iron Chelating Agent) yang

harganya cukup mahal untuk membuang kelebihan besi dalam tubuh. Jika tindakan ini tidak

dilakukan maka besi akan menumpuk pada berbagai jaringan dan organ vital seperti jantung,

otak, hati dan ginjal yang merupakan komplikasi kematian dini.

II. Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi

Talasemia adalah penyakit genetik yang disebabkan oleh mutasi gen yang disebabkan

oleh mutasi gen alpha atau beta, yang dihasilkan oleh keabnormalan sintesis hemoglobin.

Merupakan kelompok dari anemia herediter yang diakibatkan oleh berkurangnya sintesis
salah satu rantai globin yang mengkombinasikan hemoglobin (HbA, α 2 β 2). Disebut

hemoglobinopathies, tidak terdapat perbedaan kimia dalam hemoglobin. Nolmalnya HbA

memiliki rantai polipeptida α dan β, dan yang paling penting talasemia dapat ditetapkan

sebagai α - atau β -talasemia. Talasemia ditandai dengan kondisi sel darah merah mudah

rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah normal (120 hari). Akibatnya penderita

talasemia akan mengalami gejala anemia

diantaranya pusing, muka pucat, badan sering lemas, sukar tidur, nafsu makan hilang, dan

infeksi berulang. Talasemia terjadi akibat ketidakmampuan sumsum tulang membentuk

protein yang dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin sebagaimana mestinya.

Hemoglobin merupakan protein kaya zat besi yang berada di dalam sel darah merah dan

berfungsi sangat penting untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh bagian tubuh

yang membutuhkannya sebagai energi. Apabila produksi hemoglobin berkurang atau tidak

ada, maka pasokan energi yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi tubuh tidak dapat

terpenuhi, sehingga fungsi tubuh pun terganggu dan tidak mampu lagi menjalankan

aktivitasnya secara normal. Talasemia adalah sekelompok penyakit keturunan yang

merupakan akibat dari ketidakseimbangan pembuatan salah satu dari keempat rantai asam

amino yang membentuk hemoglobin.

2.2 Epidemiologi

Kelainan Hemoglobin pada awalnya endemik sebesar 60% dari 229 negara, berpotensi

mempengaruhi 75% kelahiran. Namun sekarang cukup umum dengan angka 71% pada

Negara di antara 89% kelahiran. Setidaknya 5,2% dari populasi dunia (dan lebih dari 7%

wanita hamil) membawa varian yang signifikan. S Hemoglobin membawa 40% gen pembawa
namun lebih dari 80% kelainan dikarenakan prevalensi pembawa lokal sangat tinggi. Sekitar

85% dari gangguan sel sabit (sickle-cell disorders), dan lebih dari 70% seluruh kelahiran

terjadi di afrika. Selain itu, setidaknya 20% dari populasi dunia membawa Talasemia α +.

Diantara 1.1% pasangan suami istri mempunya resiko memiliki anak dengan kelainan

hemoglobin dan 2.7 per 1000 konsepsi terganggu. Pencegahan hanya memberikan pengaruh

yang kecil, pengaruh prevalensi kelahiran dikalkulasikan antara 2.55 per 1000. Di indonesia

talasemia merupakan penyakit terbanyak di antara golongan anemia hemolitik dengan

penyebab intrakorpuskuler.

2.3 Klasifikasi

Secara molekuler talasemia dibedakan atas :

1. Talasemia-α (gangguan pembentuakan rantai α)

2. Talasemia-β (gangguan pembentukan rantai β)

3. Talasemia- β-δ (gangguan pembentukan rantai β dan δ yang letak gen nya diduga

berdekatan)

4. Talasemia –δ (gangguan pembentukan rantai δ)

Secara Klinis talasemia dibedakan atas :


2.4 Penyebab

Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta, yang diperlukan dalam

pembentukan hemoglobin, disebabkan oleh sebuah gen cacat yang diturunkan. Untuk

menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen dari kedua orang tuanya. Jika hanya 1

gen yang diturunkan, maka orang tersebut hanya menjadi pembawa tetapi tidak menunjukkan

gejala-gejala dari penyakit ini. Talasemia digolongkan bedasarkan rantai asam amino yang

terkena 2 jenis yang utama adalah :

1. Alfa – Talasemia (melibatkan rantai alfa)

Alfa – Talasemia paling sering ditemukan pada orang kulit hitam (25% minimal membawa 1

gen).

2. Beta – Talasemia (melibatkan rantai beta)

Beta – Talasemia pada orang di daerah Mediterania dan Asia Tenggara.

Secara umum, terdapat 2 (dua) jenis talasemia yaitu :

1. Talasemia Mayor, karena sifat sifat gen dominan. Talasemia mayor merupakan penyakit

yang ditandai dengan kurangnya kadar hemoglobin dalam darah. Akibatnya, penderita

kekurangan darah merah yang bisa menyebabkan anemia. Dampak lebih lanjut, sel-sel darah

merahnya jadi cepat rusak dan umurnya pun sangat pendek, hingga yang bersangkutan

memerlukan transfusi darah untuk memperpanjang hidupnya. Penderita talasemia mayor akan

tampak normal saat lahir, namun di usia 3-18 bulan akan mulai terlihat adanya gejala anemia.

Selain itu, juga bisa muncul gejala lain seperti jantung berdetak lebih kencang dan facies

cooley. Facies cooley adalah ciri khas talasemia mayor, yakni batang hidung masuk ke dalam

dan tulang pipi menonjol akibat sumsum tulang yang bekerja terlalu keras untuk mengatasi

kekurangan hemoglobin. Penderita talasemia mayor akan tampak memerlukan perhatian lebih

khusus. Pada umumnya, penderita talasemia mayor harus menjalani transfusi darah dan

pengobatan seumur hidup. Tanpa perawatan yang baik, hidup penderita talasemia mayor
hanya dapat bertahan sekitar 1-8 bulan. Seberapa sering transfusi darah ini harus dilakukan

lagi-lagi tergantung dari berat ringannya penyakit. Yang pasti, semakin berat penyakitnya,

sering pula si penderita harus menjalani transfusi darah.

2. Talasemia Minor, individu hanya membawa gen penyakit talasemia, namun individu hidup

normal, tanda-tanda penyakit talasemia tidak muncul. Pada talasemia minor tak bermasalah,

namun bila ia menikah dengan talasemia minor juga akan terjadi masalah. Kemungkinan

25% anak mereka menerita talasemia mayor. Pada garis keturunan pasangan ini akan muncul

penyakit talasemia mayor dengan berbagai ragam keluhan. Seperti anak menjadi anemia,

lemas, loyo dan sering mengalami pendarahan. Talasemia minor sudah ada sejak lahir dan

akan tetap ada di sepanjang hidup penderitanya, tapi tidak memerlukan transfusi darah di

sepanjang hidupnya.

2.5 Gejala

Semua talasemia memiliki gejala yang mirip, tetapi beratnya bervariasi. Sebagian besar

penderita mengalami anemia yang ringan. Pada bentuk yang lebih berat, misalnya beta-
talasemia mayor, bisa terjadi sakit kuning (jaundice), luka terbuka di kulit (ulkus, borok),

batu empedu dan pembesaran limpa. Sumsum tulang yang terlalu aktif bisa menyebabkan

penebalan dan pembesaran tulang, terutama tulang kepala dan wajah. Tulang-tulang panjang

menjadi lemah dan mudah patah. Anak-anak yang menderita talasemia akan tumbuh lebih

lambat dan mencapai masa pubertas lebih lambat dibandingkan anak lainnya yang normal.

Karena penyerapan zat besi meningkat dan seringnya menjalani transfusi, maka kelebihan zat

besi bisa terkumpul dan mengendap dalam otot jantung, yang pada akhirnya bisa

menyebabkan gagal jantung. Oleh karena itu, untuk memastikan seseorang mengalami

talasemia atau tidak, dilakukan dengan pemeriksaan darah. Gejala talasemia dapat dilihat

pada anak usia 3 bulan hingga 18 bulan. Bila tidak dirawat dengan baik, anak-anak penderita

talasemia mayor ini hidup hingga 8 tahun saja. Satu-satunya perawatan dengan tranfusi darah

seumur hidup. Jika tidak diberikan tranfusi darah, penderita akan lemas, lalu meninggal.

2.6 Patofisiologi

Mutasi pada β-Talasemia meliputi delesi gen globin, mutasi daerah promotor,

penghentian mutasi dan mutasi lainnya. Terdapat relatif sedikit mutasi pada α-Talasemia.

Penyebab utama adalah terdapatnya ketidakseimbangan rantai globin. Pada sumsum tulang

mutasi talasemia mengganggu pematangan sel darah merah, sehingga tidak efektifnya

eritropoiesis akibat hiperaktif sumsum tulang, terdapat pula sedikit Retikulosit dan anemia

berat. Pada β-talasemia terdapat kelebihan rantai globin α-yang relatif terhadap β- dan γ-

globin; tetramers-globin α (α4) terbentuk, dan ini berinteraksi dengan membran eritrosit

sehingga memperpendek hidup eritrosit, yang mengarah ke anemia dan meningkatkan

produksi erythroid. Rantai globin γ-diproduksi dalam jumlah yang normal, sehingga

menyebabkan peningkatan Hb F (γ2 α2). Rantai δ-globin juga diproduksi dalam jumlah

normal, Hb A2 meningkat (α2 δ2) di β-Talasemia. Pada α-talasemia terdapat lebih sedikit-
globin rantai α dan β-berlebihan dan rantai γ-globin. Kelebihan rantai ini membentuk hb Bart

(γ4) dalam kehidupan janin dan Hb H (β4) setelah lahir. Tetramers abnormal ini tidak

mematikan tetapi mengakibatkan hemolisis extravascular.

Talasemia –α

Seperti telah disebutkan diatas terdapat 2 gen α pada tiap haploid kromosom, sehingga

dapat di duga terjadi 4 macam kelainan pada talasemia- α. Kelainan dapat terjadi pada 1 atau

2 gen pada satu kromosom atau beberapa gen pada seorang individu sehat. Penelitian akhir

akhir ini menunjukkan bahwa pada kelainan α- talasemia-1 tidak terbentuk rantai- α sama

sekali, sedangkan α – talasemia- 2 masih ada sedikit pembentukan rantai- α tersebut. Atas

dasar tersebut, α-talasemia-1 dan α-talasemia-2 sekarang disebut α0- dan α-+- talasemia.

Disamping kelainan pada pembentukan rantai α ini terdapat pula kelainan struktural pada

rantai α. Yang paling banyak di temukan ialah Hb konstan spring. Pada Hb konstan spring

terdapat rantai α dengan 172 asam amino, berarti 31 asam amino lebih panjang daripada

rantai α biasa. Kombinasi heterozigot antara α0- talasemia dengan α-+- talasemia atau α0-

talasemia dengan Hb konstan spring akan menimbulkan penyakit HbH. Pada talasemia α

akan terjadi gejala klinis bila terdapat kombinasi gen α0- talasemia dengan gen- - lainnya.
Homozigot α_+_ talasemia hanya menimbulkan anemia yang sangan ringan dengan

hipokromia eritrosit. Bentuk homozigot Hb konstan spring juga tidak menimbulkan gejala

yang nyata, hanya anemia ringan dengan kadang kadang disertai splenomegali ringan.

Pada fetus kekurangan rantai –α menyebabkan rantai-δ yang berlebihan sehingga akan

terbentuk tetramer δ 4 (Hb Bart’s) sedangkan pada anak besar atau dewasa, kekurangan

rantai- α ini menyebabkan rantai– β yang berlebihan hingga akan terbentuk tetramer β 4

(HbH). Jadi adanya Hb bart’s dan HbH pada elektroforesis merupakan petunjuk terhadap

adanya talasemia α. Yang sulit ialah mengenal bentuk heterozigot α- talasemia. Bentuk

heterozigot α0- talasemia memberikan gambaran darah tepi serupa dengan bentuk heterozigot

talasemia seperti mikrositosis dan peninggian resistensi osmotik.

Pada Hidrops fetalis, biasanya bayi telah mati pada usia kehamilan 28-40 minggu atau

lahir hidup untuk beberapa jam kemudian meninggal. Bayi akan tampak anemia dengan

kadar Hb 6-8 g%, sediaan apusan darah tepi memperlihatkan hipokromia dengan tanda-tanda

anisositosis, poikilositosis, banyak normoblas dan retikulositosis. Pada pemeriksaan

eritroporesis darah, akan ditemukan Hb bart’s sebanyak kira kira 80%. Tidak ditemukan HbF

Maupun HbA.

Pada penyakit HbH, biasanya ditemukan anemia dengan pembesaran limpa. Anemia biasa

nya tidak membutuhkan tranfusi darah. Mudah terjadi serangan hemolisis akut pada serangan

infeksi berat. Kadar Hb biasanya 7-10 g%. Sediaan darah tepi biasanya menunjukkan tanda

tanda hipokromia. Terdapat pula retikulositosis (5-10%) dan ditemukan badan inklusi, pada

sediaan apus darah tepi yang di inkubasi dengan biru brilian kresil. Pada elektroforesis

ditemukan adanya HbA, H, A2 dan sedikit Hb Bart’s. HbH jumlanya sekitar 5-40%, kadang

kadang kurang atau lebih dari variasi itu. Pada pemeriksaan sintesis rantai globulin (in vitro)

dari retikulosis terdapat ketidakseimbangan antara pembentukan rantai- α / β yaitu antara 0,5

sampai 0,25. Dalam keadaan normal rasio α / β ialah 1.


Talasemia- β (Talasemia major, cooley anemia)

Bentuk ini lebih heterogen dibandingkan talasemia α, tetapi untuk kepentingan klinis

umumnya dibedakan antara talasemia β0 dan talasemia β+. Pada β0 talasemia tidak dibentuk

rantai globin sama skali, sedangkan β+ talasemia terdapat pengurangan (10-50%) daripada

produksi rantai globin β tersebut. Pembagian selanjutnya adalah kadar HbA2 yang normal

baik pada β0 maupun β+- talasemia dalam bentuk heterozigotnya. Bentuk homozigot dari β0

atau campuran antara β0 dengan β+ -talasemia yang berat akan menimbulkan gejala klinis

yang berat yang memerlukan tranfusi darah sejak permulaan kehidupannya. Tapi kadang

kadang bentuk campuran ini memberi gejala klinis ringan dan disebut talasemia intermedia.

Bentuk β-Talasemia sindrom lainnya

Sindrom talasemia β- digolongkan menjadi enam kelompok: β-talasemia, δβ- talasemia,

γ- talasemia, δ- talasemia, εγδβ- talasemia, dan sindrom HPFH. Sebagian besar talasemia

relatif langka, hanya beberapa yang ditemukan dalam kelompok keluarga. β- talasemia juga

dapat diklasifikasikan secara klinis sebagai sifat talasemia, minimum, ringan, menengah, dan

besar dari tingkat anemia. Klasifikasi genetik tidak selalu menentukan fenotipe, dan derajat

anemia tidak selalu memprediksi klasifikasi genetik.

Talasemia intermedia dapat berupa kombinasi dari mutasi β- talasemia (β0 / β, β0 /

βvariant, E/β0), yang akan menyebabkan fenotipe anemia mikrositik dengan Hb sekitar 7 g /

dL. Terdapat kontroversi mengenai apakah dilakukan tranfusi pada anak-anak ini. Mereka

pasti akan mengembangkan derajat hiperplasia meduler, hemosiderosis gizi mungkin

membutuhkan chelation, splenomegali, dan komplikasi lain talasemia dengan kelebihan zat

besi. Hematopoiesis Extramedullary dapat terjadi dalam kanalis vertebralis, penekanan saraf

oleh tulang belakang dan menyebabkan gejala neurologis, kedua adalah darurat medis yang

membutuhkan terapi radiasi langsung lokal untuk menghentikan eritropoiesis. Transfusi akan
meringankan manifestasi talasemia dan mempercepat kebutuhan chelation. Splenektomi

menempatkan anak berisiko terinfeksi dan hipertensi paru.


Talasemia diklasifikasikan sebagai minimum dan ringan biasanya heterozigot (β0 / β, β /

β) yang memiliki fenotipe yang lebih parah dari sifat tetapi tidak separah intermedia. Anak-

anak ini harus diselidiki untuk genotipe dan dimonitor untuk akumulasi besi. β- talasemia.

Dipengaruhi oleh keberadaan-Talasemia α: α-talasemia menyebabkan anemia dengan sifat

kurang parah dan digandakan gen α (ααα / αα (menyebabkan talasemia yang lebih berat.

Orang yang berada dalam kelompok-kelompok ini memerlukan transfusi pada masa remaja

atau dewasa, Beberapa mungkin menjadi kandidat untuk kemoterapi seperti hydroxyurea.

Sifat talasemia sering misdiagnosis sebagai kekurangan zat besi pada anak-anak. Sebuah

kursus singkat dari besi dan re-evaluasi, semua yang diperlukan untuk memisahkan anak-

anak yang perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut. Anak anak yang memiliki sifat β- Talasemia

akan memiliki lebar sel darah merah terdistribusi dan pada elektroforesis Hb memiliki HbF

tinggi dan diagnosa di tinggikan HbA2. Terdapat istilah "silent" bentuk sifat talasemia dan

jika sejarah keluarga adalah sugestif, studi lebih lanjut dapat diindikasikan.

2.7 Diagnosa

Talasemia lebih sulit didiagnosis dibandingkan penyakit hemoglobin lainnya. Hitung

jenis darah komplit menunjukkan adanya anemia dan rendahnya MCV (mean corpuscular

volume). Elektroforesis bisa membantu, tetapi tidak pasti, terutama untuk alfatalasemia.

Karena itu diagnosis biasanya berdasarkan kepada pola herediter dan pemeriksaan

hemoglobin khusus. Pasien biasanya menunjukan gejala anemia, penyakit kuning, dan

pembesaran hati dan limpa, Eritrosit (sel darah merah) dari pasien talasemia sebagian besar

mengungkapkan mikroskopis sebagai hipokromia, microcytes, anisocytosis, poikilocytes, dan

polychromasia. Dalam hal yang abnormal indeks sel darah merah, eritrosit talasemia
menunjukkan karakteristik serendah MCV, rendah MCH, MCHC rendah, tetapi RDW tinggi.

Selain itu, untuk diagnosis penyakit hemoglobin H, inklusi uji tubuh bisa menemukan hasil

yang positif.

Dalam rangka untuk membuat diagnosis yang jelas, tes darah laboratorium penting untuk

analisis hemoglobin untuk dilakukan, termasuk elektroforesis hemoglobin atau saat ini

diperbarui high performance liquid chromatography (HPLC). Dianjurkan untuk anak

anemia, tes darah dilakukan sebelum menerima transfusi pertama mereka, atau setidaknya 3

bulan setelah terakhir kali transfusi darah. Dalam beberapa kasus genotipe perlu

diidentifikasi, tes darah untuk penilaian molekuler di gen globin tertentu dapat dilakukan

sewaktu-waktu.

2.8 Pengobatan

Pada talasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan pemberian tambahan asam

folat. Penderita yang menjalani transfusi, harus menghindari tambahan zat besi dan obat-obat

yang bersifat oksidatif (misalnya sulfonamid), karena zat besi yang berlebihan

bisa menyebabkan keracunan.

Pada bentuk yang sangat berat, mungkin diperlukan pencangkokan sumsum tulang. Terapi

genetik masih dalam tahap penelitian.

Penatalaksanaan :

Guidelines manajemen untuk setiap kelompok talasemia.

1. Severe beta-thalassemia disease ; dengan nilai hemoglobin 7 gram per desiliter atau

hematokrit kurang lebih 20%, dapat menerima pengobatan :

- Allogeneic hematopoietic stem cell transplantation

- Hipertransfusi dengan iron chelation therapy

- Low transfusion
2. Moderately severe thalassemias disease ; dengan nilai hemoglobin 7-9 gram per desiluter

atau hematokrit 2-17%

- High transfusion

- Low transfusion

3. Mild thalassemia disease ; hb lebih dari 9 gram per desiliter atau Ht lebih dari 27%,

menerima transfuse jika terjadi krisis hemolisis akut. Pengobatan dasar terdiri dari asupan

asam folat harian.

4. Asymptomatic or thalassemia trait or carrier ; tidak membutuhkan pemantauan regular

ataupun pengobatan. Hanya dibutuhkan konseling genetik.

Iron chelation therapy

Setiap packed red cell mengandung sejumlah iron. Ketika transfusi darah diberikan secara

rutin kepada pasien, iron akan terdeposit di jaringan tubuh. Setiap orang memiliki

keterbatasan untuk mengekskresikan peningkatan iron. Pada orang yang ditrasnfusi, toxic

iron berkembang dan dapat merusak organ vital seperti hati, jantung, pancreas, dan kelenjar

endokrin.

Chleation therapy diberikan mulai 12-15 jam

 Pemberian iron chelating agent (desferoxamine): diberikan setelah kadar feritin serum

sudah mencapai 1000 mg/l atau saturasi transferin lebih 50%, atau sekitar 10-20 kali transfusi

darah. Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg berat badan/hari subkutan melalui pompa infus

dalam waktu 8-12 jam dengan minimal selama 5 hari berturut setiap selesai transfusi darah.

 Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk meningkatkan efek kelasi

besi.

 Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.


 Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur sel

darah merah

II. Bedah

Splenektomi, dengan indikasi:

 limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan peningkatan

tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya ruptur

 hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau kebutuhan

suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu tahun.

Transplantasi sumsum tulang telah memberi harapan baru bagi penderita talasemia dengan

lebih dari seribu penderita talasemia mayor berhasil tersembuhkan dengan tanpa

ditemukannya akumulasi besi dan hepatosplenomegali. Keberhasilannya lebih berarti pada

anak usia dibawah 15 tahun. Seluruh anak anak yang memiliki HLA-spesifik dan cocok

dengan saudara kandungnya di anjurkan untuk melakukan transplantasi ini.

III. Suportif

 Tranfusi Darah

Terapi transfusi untuk meregulasi jumlah hemoglobin 9-10 gram per desiliter untuk

memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan dan juga mengurangi hepatosplenomegaly

dikarenakan extramedullary hematopoiesis yang menyebabkan deformitas tulang.

Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl. Dengan keadaan ini akan

memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, menurunkan tingkat akumulasi besi, dan

dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita. Pemberian darah dalam

bentuk PRC (packed red cell), 3 ml/kg BB untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dl.

Pemantauan :

I. Terapi
 Pemeriksaan kadar feritin setiap 1-3 bulan, karena kecenderungan kelebihan besi sebagai

akibat absorbsi besi meningkat dan transfusi darah berulang.

 Efek samping kelasi besi yang dipantau: demam, sakit perut, sakit kepala, gatal, sukar

bernapas. Bila hal ini terjadi kelasi besi dihentikan.

II. Tumbuh Kembang

 Anemia kronis memberikan dampak pada proses tumbuh kembang, karenanya diperlukan

perhatian dan pemantauan tumbuh kembang penderita.

III. Gangguan Jantung, Hepar, dan Endokrin

 Anemia kronis dan kelebihan zat besi dapat menimbulkan gangguan fungsi jantung (gagal

jantung), hepar (gagal hepar), gangguan endokrin (diabetes melitus, hipoparatiroid) dan

fraktur patologis.
2.9 Komplikasi

Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Tranfusi darah yang

berulang ulang dan proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah sangat tinggi,

sehingga di timbun dalam berbagai jarigan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung dan lain

lain. Hal ini menyebabkan gangguan fungsi alat tersebut (hemokromatosis). Limpa yang

besar mudah ruptur akibat trauma ringan. Kadang kadang talasemia disertai tanda

hiperspleenisme seperti leukopenia dan trompositopenia. Kematian terutama disebabkan oleh

infeksi dan gagal jantung.

Hepatitis pasca transfusi biasa dijumpai, apalagi bila darah transfusi telah diperiksa

terlebih dahulu terhadap HBsAg. Hemosiderosis mengakibatkan sirosis hepatis, diabetes

melitus dan jantung. Pigmentasi kulit meningkat apabila ada hemosiderosis, karena

peningkatan deposisi melanin.

2.10 Pencegahan

Konseling genetik

Pada keluarga dengan riwayat talasemia perlu dilakukan penyuluhan genetik untuk

menentukan resiko memiliki anak yang menderita talasemia. Pengidap talasemia yang

mendapat pengobatan secara baik dapat menjalankan hidup layaknya orang normal di tengah

masyarakat. Sementara zat besi yang menumpuk di dalam tubuh bisa dikeluarkan dengan

bantuan obat, melalui urine.

Penyakit talasemia dapat dideteksi sejak bayi masih di dalam kandungan, jika suami atau

istri merupakan pembawa sifat (carrier) talasemia, maka anak mereka memiliki kemungkinan

sebesar 25 persen untuk menderita talasemia. Karena itu, ketika sang istri mengandung,

disarankan untuk melakukan tes darah di laboratorium untuk memastikan apakah janinnya

mengidap talasemia atau tidak.


Talasemia dapat diturunkan dari orang tua yang tidak bergejala. Diagnosis yang tepat

merupakan kunci untuk konseling pada orang tua atau pasangan. Untuk ibu hamil dapat

dilakukan prenatal diagnosis (PND). Indikasi untuk pasangan yang membutuhkan PND

adalah ;

1. keduanya pembawa gen alpha-talasemia

2. keduanya pembawa gen beta-talasemia

3. salah satunya merupakan gen pembawa

Prosedur PND dilakukan menggunakan sinar ultrasonogram pada trimester pertama dengan

chorionic vili sampling. Pada trimester kedua bisa dilakukan melalui amniosentesis

Anda mungkin juga menyukai