0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
7 tayangan5 halaman
SOP ini membahas tentang dermatitis kontak iritan (DKI), yaitu reaksi peradangan kulit non-imunologik yang disebabkan oleh kontak langsung dengan bahan iritan seperti deterjen, pelarut, dan bahan kimia lainnya. SOP ini menjelaskan pengertian, tujuan, prosedur diagnosis dan penatalaksanaan DKI yang meliputi pemberian obat topikal, sistemik, konseling pasien, serta rujukan ke unit pelayanan terkait.
SOP ini membahas tentang dermatitis kontak iritan (DKI), yaitu reaksi peradangan kulit non-imunologik yang disebabkan oleh kontak langsung dengan bahan iritan seperti deterjen, pelarut, dan bahan kimia lainnya. SOP ini menjelaskan pengertian, tujuan, prosedur diagnosis dan penatalaksanaan DKI yang meliputi pemberian obat topikal, sistemik, konseling pasien, serta rujukan ke unit pelayanan terkait.
SOP ini membahas tentang dermatitis kontak iritan (DKI), yaitu reaksi peradangan kulit non-imunologik yang disebabkan oleh kontak langsung dengan bahan iritan seperti deterjen, pelarut, dan bahan kimia lainnya. SOP ini menjelaskan pengertian, tujuan, prosedur diagnosis dan penatalaksanaan DKI yang meliputi pemberian obat topikal, sistemik, konseling pasien, serta rujukan ke unit pelayanan terkait.
Dermatisis kontak iritan (DKI) adalah reaksi peradangan kulit
non-imunologik. Kerusakan kulit terjadi secara langsung tanpa didahului oleh proses sensitisasi. DKI dapat dialami oleh semua orang tanpa memandang umur, jenis kelamin, dan ras. 1. Pengertian Penyebab munculnya dermatitis jenis ini adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu yang biasanya berhubungan dengan pekerjaan. Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk menangani 2. Tujuan kasus dermatitits kontak iritan. Surat Keputusan Kepala Puskesmas Nomor 445/135-SK/PKM 3. Kebijakan RJ/I/2019 tentang Penyusunan Standar Klinis Mengacu pada Acuan yang Jelas. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 4. Referensi Tahun 2014 tentang Panduan Praktek Klinis Dokter di Fasyankes Primer. 5. Prosedur 1. Petugas melakukan anamnesis Keluhan kelainan kulit dapat beragam, bergantung pada sifat iritan. Iritan kuat memberikan gejala akut, sedangkan iritan lemah memberikan gejala kronis. Gejala yang umum dikeluhkan adalah perasaan gatal dan timbulnya bercak kemerahan pada daerah yang terkena kontak bahan iritan. Kadang-kadang diikuti oleh rasa pedih, panas, dan terbakar. 2. Petugas melakukan pemeriksaan fisik 1) Pemeriksaan Fisik Patognomonis : Tanda yang dapat diobservasi sama seperti dermatitis pada umumnya, tergantung pada kondisi akut atau kronis. 2) Faktor Predisposisi : Pekerjaan atau paparan seseorang terhadap suatu bahan yang bersifat iritan. 3. Petugas menetapkan diagnosis 1) Klasifikasi Berdasarkan penyebab dan pengaruh faktor-faktor tertentu, DKI dibagi menjadi: a. DKI akut: Bahan iritan kuat, misalnya larutan asam sulfat (H2SO4) atau asam klorida (HCl), termasuk luka bakar oleh bahan kimia. Lesi berupa: eritema, edema, bula, kadang disertai nekrosis. Tepi kelainan kulit berbatas tegas dan pada umumnya asimetris. b. DKI akut lambat: Gejala klinis baru muncul sekitar 8-24 jam atau lebih setelah kontak. Bahan iritan yang dapat menyebabkan DKI tipe ini : podofilin, antralin, tretinoin, etilen oksida, benzalkonium klorida, dan asam hidrofluorat. c. DKI kumulatif/ DKI kronis: Penyebabnya : kontak berulang-ulang dengan iritan lemah (faktor fisis misalnya gesekan, trauma minor, kelembaban rendah, panas atau dingin, faktor kimia seperti deterjen, sabun, pelarut, tanah dan bahkan air). Umumnya predileksi ditemukan di tangan terutama pada pekerja. Kelainan baru muncul setelah 2/3 kontak dengan bahan iritan berminggu- minggu atau bulan, bahkan bisa bertahun- tahun kemudian, sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan faktor penting. 4. Petugas memberikan terapi ditulis pada resep 1) Topikal Pelembab krim hidrofilik urea 10%. Kortikosteroid dapat diberikan golongan betametason valerat krim 0.1% atau mometason furoat krim 0.1%). Pada kasus infeksi sekunder, perlu dipertimbangkan pemberian antibiotik topikal. 2) Oral sistemik Antihistamin hidroksisin (2 x 1 tablet) selama maksimal 2 minggu, atau Loratadine 1x10 mg/ hari selama maksimal 2 minggu. 5. Petugas memberikan konseling dan edukasi
Pasien perlu mengidentifikasi faktor risiko, menghindari
bahan-bahan yang bersifat iritan, baik yang bersifat kimia, mekanis, dan fisis, memakai sabun dengan pH netral dan mengandung pelembab serta memakai alat pelindung diri untuk menghindari kontak iritan saat bekerja. 6. Petugas Menentukan Prognosis 7. Petugas melakukan rujukan jika diperlukan 8. Petugas melengkapi rekam medis 9. Petugas mempersilahkan pasien untuk ke unit pelayanan obat Unit pelayanan Lansia, Unit pelayanan umum, unit pelayanan 6. Unit Terkait MTBS, Unit pelayanan KIA