Anda di halaman 1dari 8

Hobbes dan Rousseau: Telaah Kritis Kontraktarianisme dan Kontraktualisme Awal

Oleh Albertus Arioseto B., Medaneo Wahyu P., dan Ratu Mutiara K.

Teori etika normatif yang disebut kontraktarianisme dan kontraktualisme berasal dari
konsepsi moralitas yang muncul dengan adanya hubungan timbal balik antarmanusia. Ide awal
teori etika normatif bersandar pada moralitas yang sangat terlibat dalam gagasan untuk
menentukan suatu tindakan benar atau salah tergantung pada kesesuaian prinsip yang berlaku
pada kesepakatan di antara masyarakat. Gagasan umum ini dikembangkan dalam berbagai cara
sesuai dengan bagaimana masyarakat menyirikan kesepakatan yang relevan dengan situasi,
kondisi, dan pihak-pihak yang terkait. Menurut Harman (1975), keabsahan suatu prinsip moral
tampaknya aneh jika bergantung dengan pilihan dari suatu kesepakatan, tetapi tidak sedikit orang
yang menyatakan bahwa standar moral bergantung pada kesepakatan yang sebenarnya.
Kontrak sosial tidak bisa serta-merta dimengerti sebagai suatu peristiwa historis atau
peristiwa yang pernah berlangsung dalam sejarah. Kontrak itu diadakan karena manusia sebagai
animal rationale yang menyepakati kondisi kontrafaktual tertentu. Dasarnya adalah logika
internal sebab manusia menyadari bahwa keamanan dan perdamaian hanya mungkin tercapai
jika semua orang setuju menyerahkan kebebasannya yang senantiasa merupakan ancaman bagi
orang lain (Bertens, et al., 2018). Paradigma ini adalah salah satu cara yang digunakan Hobbes
untuk menghentikan perang antarmanusia.
Pada akhirnya, untuk menentukan kesepakatan moral tersebut, aliran pemikiran kontrak
sosial terformulasikan menjadi dua aliran berbeda, yaitu kontraktarianisme dan kontraktualisme.
Kontraktarianisme berakar pada garis pemikiran Hobbesian. Moralitas yang pada dasarnya
terdiri dari bentuk-bentuk perilaku kooperatif saling menguntungkan bagi beberapa orang yang
mementingkan diri sendiri. Tindakan terbaik dilakukan untuk mencapai pemaksimalan
kepentingan pribadi dan menentukan tindakan moral dengan menyetujui otoritas pemerintah.
Salah satu perbedaan yang sangat luas adalah bahwa kontraktualisme berusaha menafsirkan
status moral dengan menghormati kepentingan moral bersama sebagai agen otonom rasional.
Kontraktualisme menawarkan alternatif kesetaraan moral kepada kontraktarianisme untuk
mengejar kepentingan pribadi sehingga dapat membenarkan dan memaksimalkan kepentingan
bersama.
Dalam pandangan Hobbes, state of nature atau “kondisi alamiah manusia” adalah
“perang semua orang melawan semua orang” (Graham, 2015). Hobbes (dalam Darwall, 2003)
menyebutkan bahwa perang total tersebut terjadi ketika belum ada satu kekuatan tetap yang
mengikat manusia. Pertentangan tersebut, menurut Hobbes, disebabkan oleh sifat dasar manusia
yang egois, yang termanifestasi dalam tiga hal: kompetisi, rasa takut, dan hasrat akan kejayaan.
Alasan pertama bertujuan untuk memperoleh keuntungan, kedua untuk mendapatkan keamanan,
dan yang terakhir untuk meraih reputasi. Lebih jauh lagi, hal ini merupakan implikasi dari
adanya jus naturale atau kodrat alamiah dalam diri manusia. Kodrat alamiah ini merupakan
kebebasan manusia dalam menggunakan kemampuannya untuk menjaga eksistensi dan
melakukan tindakan-tindakan atas dasar penilaian dan nalarnya sendiri. Ketika tidak ada
kekuatan di luar diri manusia yang membatasi setiap manusia dalam menjalankan kodrat
alamiahnya tersebut, setiap manusia menjadi berhak atas apa pun bahkan atas tubuh manusia
lain. Oleh karena itu, tidak akan ada keamanan bagi semua manusia—terlepas dari seberapa
bijak dan kuatnya ia—ketika kondisi alamiah tersebut masih berlangsung.
Dalam kondisi alamiah ini juga tidak ada hukum moral yang menjadi landasan hidup
semua orang. Ketika tidak ada kekuasaan yang menetapkan hukum, tidak ada penilaian
mengenai yang adil dan tidak adil, benar dan tidak benar. Hal ini disebabkan karena atribut-
atribut tersebut hanya terdapat dalam masyarakat secara keseluruhan, bukan manusia sebagai
individu. Oleh karenanya, dalam pandangan Hobbes, apa yang secara moral salah merupakan hal
yang oleh negara disebut salah secara moral (Graham, 2015).
Digerakkan oleh kecenderungan untuk mempertahankan hidup pribadinya dan—lebih
jauh—ketakutan atas kematian, manusia mengarahkan dirinya untuk memperoleh perdamaian.
Pengejaran akan perdamaian ini menjadi jus naturale kedua manusia. Kodrat tersebut
termanifestasi ketika manusia menyerahkan kebebasan alamiah yang ia miliki di bawah satu
kekuasaan yang membatasi dirinya dan orang lain dalam menjalankan kodrat kemanusiaannya.
Hobbes melanjutkan, hal ini harus dilakukan oleh semua manusia. Jika terdapat satu saja
individu yang menolak menyerahkan haknya pada kekuasaan tertinggi tersebut, maka tidak ada
alasan bagi yang lain untuk menyerahkan haknya pula. Dampaknya, manusia kembali
menjadikan dirinya mangsa dan pemangsa bagi sesamanya. Hobbes mengutip pernyataan Injil
untuk menjelaskan hal ini: quod tibi fieri non vis, alteri ne feceris, ‘segala sesuatu yang kamu
kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka’ (Matius 7:
12). Singkatnya, manusia—secara keseluruhan—harus menukar kebebasan alamiahnya untuk
memperoleh jaminan keamanan dan perdamaian dari kekuasaan yang manusia ciptakan.
Pertukaran mutualisme-universal ini, dalam pandangan Hobbes, disebut sebagai kontrak.
Dengan diadakannya kontrak, maka manusia memiliki kepastian yang mengikat dalam
kehidupan bermasyarakat. Bertolak dari adanya kontrak tersebut, kemudian hukum moral dapat
ditentukan dan batasan-batasan dalam bertindak—yang berdampak pada hilangnya ancaman atas
hidup seorang individu—dapat ditentukan. Dapat disimpulkan bahwa, menurut Hobbes, kodrat
manusia adalah egois, dan negara (sebagai sumber moral) merupakan bentuk pemenuhan
manusia akan hasratnya yang egois dan altruis (Graham, 2015).
Berdasarkan penjabaran tersebut, saat ini telah menjadi jelas, bahwa kontraktarianisme
yang dilahirkan oleh diskursus Hobbes menempatkan moralitas yang terformulasikan dari
bentuk-bentuk perilaku kooperatif yang saling menguntungkan bagi agen yang mementingkan
diri sendiri untuk terlibat (Gauthier, 1986). Hal ini pun berimbas akan identitas dan karakter
hukum moral yang terbangun, yaitu condong berkarakter egoisme psikologis. Sebagaimana
bentuk respons atas tradisi kontraktarian yang dibangun oleh Hobbes, terlahirlah suatu mazhab
yang lain, yang hendak menggulingkan kerangka konsep moral yang bertumpu pada egoisme
psikologis dalam konstelasi pemikiran sosial-politik Hobbes. Aliran ini terbentuk tidak hanya
dalam rangka membangun kehidupan bermasyarakat yang adil, mereduksi aristokrasi aparatur
sipil negara, tetapi juga mampu memberikan keleluasaan bagi kehendak bebas suatu individu
secara terukur. Aliran ini adalah kontraktualisme, yang hendak mengoreksi dan menjawab segala
kekurangan dalam kajian kontraktarianisme.
Kontraktualisme meletakkan kedudukan kinerjanya berdasarkan status moral individu
yang setara—hal ini dipengaruhi oleh kebesaran pemikiran Locke terkait hak-hak masyarakat
yang tertuang dalam salah satu karyanya yang masyhur, yaitu A Letter Concerning Toleration
(1689). Pandangan tersebut menjelaskan “status moral” sebagai alat ukur kapasitas mereka untuk
menciptakan lembaga otonom rasional. Menurut kontraktualisme, moralitas terdiri dari apa yang
akan dihasilkan jika kita membuat kesepakatan yang mengikat dari sudut pandang “yang
menghormati kepentingan moral individu secara setara” sebagai agen otonom rasional. Adapun
kontraktualisme berakar pada filsafat J. J. Rousseau, terutama dari doktrinnya mengenai
“kehendak umum”. Untuk memahami secara holistik telaah Rousseau dalam membangun
kontraktualisme, sejalan dengan Hobbes, kita harus memulai perjalanan dari memahami “kondisi
alamiah” (state of nature) masyarakat dalam perspektif Rousseau.
Rousseau secara sarkastik mengejek bahwa peradaban bukanlah sesuatu yang baik
(Rousseau, 1754). Ia percaya bahwa umat manusia terlahir sebagai orang yang baik, tetapi
mereka dirusakkan oleh pengalaman pada saat tumbuh dan berkembang di masyarakat. Inilah
keadaan alamiah menurut Rousseau, bahwa ia percaya insting-insting kita sebagai manusia,
sejatinya baik adanya. Pandangannya dalam posisi azali praperadaban ini persis bertentangan
dengan perspektif Hobbes. Menurut Rousseau, manusia dalam keadaan yang belum mengalami
peradaban merupakan “orang belum beradab yang mulia” (noble savage) (Magee, 2001).
Namun, ketika individu ini mulai mengenal masyarakat, secara perlahan mereka akan
terfrustrasikan insting-insting alaminya, tereduksi perasaan-perasaan sejatinya, dan
terekonstruksi emosinya. Hasil dari fase pengenalan atas peradaban ini adalah manusia
teralienasi dari pribadinya yang sejati, dan peradaban membawa kemunafikan serta kepalsuan
bagi diri manusia (Magee, 2001).
Dengan demikian, konklusi yang ditarik oleh Rousseau, peradaban merupakan perampas
dan perusak nilai-nilai murni yang terlekat dalam diri manusia pada hakikatnya. Rousseau
dengan landasan argumen ini mencoba mempertanyakan ulang kerangka keadaan alamiah
Hobbes, bahwa tidak mungkin “perang semua melawan semua” (bellum ominium contra
omnnes) yang membentuk masyarakat secara alamiah. Hal itu tidak dimungkinkan, sebab
keserakahan dan ketinggian hati yang menyebabkan adanya perang itu bukanlah bawaan dari
alam, melainkan hasil dari hidup bermasyarakat (Hadiwijono, 1980). Dalam kerangka keadaan
alamiah Rousseau, masyarakat tercipta atas krisis dan desakan-desakan alam yang kontinu
(contoh: kekeringan yang panjang, musim dingin yang terlampau lama) yang menuntut diri
mereka untuk dapat bekerja sama satu sama lain. Semula, hubungan tersebut masih bersifat
sementara. Hal itu berubah menjadi kerjasama tetap dan berkesinambungan karena desakan-
desakan alam yang bersifat insidental (contoh: serangan hewan buas, menangkap ikan, mencari
abris sous roche untuk tempat tinggal)—kondisi alamiah ini kelak akan diadopsi para pemikir
anarkisme modern seperti Kropotkin dan Bakunin untuk merumuskan kondisi “komunisme
awal” sebagai titik berangkat aspek kajian historis mereka.
Dalam karya besarnya, The Social Contract (1762), Rousseau mengungkapkan bahwa ia
bukannya menginginkan supaya masyarakat dihilangkan, meskipun ia tidak mengafirmasi
peradaban. Ia menjelaskan bahwa hidup bermasyarakat adalah sesuatu yang signifikan, sebab
manusia tidak mungkin hidup menyendiri tanpa bersosialisasi. Akan tetapi, keuntungan-
keuntungan yang terdapat dalam keadaan alamiah itu harus sebisa mungkin dipelihara
(Hadiwijono, 1980). Untuk memelihara hal tersebut, harus ditemukan suatu bentuk persekutuan
yang tetap mampu mendudukkan kebebasan dan kesamaan hak, sebagaimana dahulu dialami
pada saat periode keadaan alamiah. Di sinilah Rousseau merumuskan pemikirannya mengenai
kehendak umum, sebagai jalan keluar permasalahan.
Saat mengonsepkan kehendak umum, Rousseau berangkat dari asumsi bahwa tidak ada
manusia yang hanya bersifat egoisme psikologis, melainkan juga memiliki apa yang disebut
sebagai egoisme etis. Setiap individu juga menginginkan hal-hal yang menjurus kepada
kepentingan bersama atau umum (contoh: keadilan, perdamaian, kebebasan mengemukakan
pendapat). Oleh sebab itu, pemahaman mengenai kontrak sosial Rousseau secara utuh diperlukan
penguraian definisi mengenai kehendak pribadi, kehendak semua orang, dan kehendak umum.
Kehendak pribadi (volonté personnelle) adalah kehendak sebagaimana hasil dari kepentingan
dan keinginan suatu individu (perseorangan). Kehendak semua orang (volonté de tous) adalah
kehendak yang mewakili suara mayoritas, tetapi belum menjawab kepentingan umum. Kehendak
umum (volonté générale) adalah kehendak bersama semua individu yang mengarah kepada
kepentingan bersama atau umum (Magnis-Suseno, 2003).
Dengan demikian, Rousseau menekankan bahwa perubahan hukum atau penciptaan
regulasi dalam struktur negara, haruslah berpatokan terhadap kehendak umum. Kehendak umum
secara praksis dapat dilalui melalui proses demokrasi, yang menempatkan rakyat secara bebas
dan adil, dengan meletakkan kepentingan umum sebagai tujuan dari regulasi yang akan
ditetapkan. Dalam pandangannya tentang negara sebagai kehendak umum rakyat, Rousseau
tampak jelas berpihak pada kehendak mayoritas. Kehendak mayoritas dilihat paling kredibel
dalam sebuah negara. Bagi Rousseau kehendak negara harus identik total dengan kehendak
semua orang. Dengan demikian, Rousseau mengabaikan suara minoritas. Inilah bentuk dari
kontrak sosial Rousseau, bahwa kebenaran subjektif mayoritas yang dirasa sudah mengarah
kepada pemenuhan kepentingan umum, menjadi kebenaran publik, dan dengannya semua
individu diharuskan untuk mengikat diri (Sumardjo, 1986).
Kontrak sosial Rousseau secara gamblang menghasilkan kajian kontraktualisme.
Kehendak umum yang terdapat dalam kontrak sosial Rousseau adalah apa yang akan kita terima
bersama jika ingin mengejar titel warga negara yang bebas dan setara. Kontraktualisme
menawarkan alternatif untuk kontraktarianisme. Di bawah rezim kontraktarianisme, individu
berusaha memaksimalkan kepentingan dirinya dalam tawar-menawar dengan orang lain. Di
bawah bendera kontraktualisme, individu tidak hanya mengejar kepentingan dirinya saja,
melainkan juga memungkinkan orang lain untuk mengejar kepentingannya juga. Berbeda dengan
Hobbes, justifikasi apa yang disebut benar—dalam konsep justifikasi moral—dalam lingkup
kehidupan bernegara berada di tangan suara mayoritas yang menenteng kepentingan umum.
Kemudian apa yang disebut “salah”, dan oleh karena itu perlu diacuhkan, didefinisikan pada apa
yang berada di posisi suara minoritas—yang dianggap sebagai cerminan kepentingan pribadi.
Anggapan antara aliran kontraktarianisme Hobbes dan kontraktualisme Rousseau
sebenarnya memiliki kesamaan bahwa manusia merupakan sumber kewenangan. Akan tetapi,
pandangan kedua filsuf yang diakui sebagai penggagas teori kontrak sosial ini memiliki
perbedaan, yaitu mengenai siapa dan bagaimana pengoperasian kewenangan tersebut berjalan.
Perbedaan tersebut sangat mendasar baik dalam segi konsep maupun praktisnya.
Dapat dikatakan, pandangan luar kontraktarianisme adalah egoisme psikologis. Secara
umum, dengan memperhatikan alur moralitas yang menjadi kontribusi kepada keseimbangan
sosial bahwa tiap individu memiliki kesejahteraan. Meskipun banyak penafsir berasumsi bahwa
dengan memberi otorisasi kepada suatu kedaulatan akan membuat subjek menjadi bertanggung
jawab secara moral atas tindakannya, Hobbes malah menegaskan bahwa “tindakan eksternal
yang dilakukan tanpa persetujuan dalam ketaatan hukum adalah tindakan yang berdaulat, dan
bukan berasal dari subjek” (Leviathan XIII, 106). Hobbes menjelaskan secara lebih lanjut bahwa
“subjek yang dipaksa melakukan ketaatan kepada kedaulatannya, bukanlah milik pikirannya
sendiri melainkan milik penguasa” (Leviathan XIII, 11). Hal ini diharapkan adanya
pertanggungjawaban pada tindakan salah yang dilakukan atas perintah penguasa. Dengan
demikian, Hobbes gagal dalam membuktikan mengenai normativitas moralitas dan membuat
karakter intensionalitas moral menjadi salah, selanjutnya Hobbes juga gagal dalam membuktikan
penilaian substantif tentang ketidakberpihakan moralitas (Southwood, 2013). Kontrak sosial
Hobbesian merupakan pandangan mengenai alasan praktis dan konsepsi yang sesuai dari sudut
pandang moral yang bersifat subjektif, pribadi, dan parsial.
Berbeda dengan Rousseau, walaupun pemikirannya berangkat kuat dari Hobbes, ide
kedaulatannya berasal dari kekuasaan terpusat yang diadakan atas semua orang. Tentu saja,
Rousseau percaya penguasa adalah rakyat dan selalu ingin mengungkapkan keinginan mereka.
Kontrak sosial Rousseau bisa dikatakan sebagai oposisi dari kontrak sosial Hobbes dengan
mengakui bahwa kedaulatan dan pemerintah akan sering memiliki hubungan friksi, karena
pemerintah dianggap bertentangan dengan keinginan umum rakyat. Posisi radikal Rousseau
ketika The Social Contract diterbitkan, banyak membahas berbagai bentuk pemerintahan yang
tidak terlihat demokratis di mata masyarakat modern. Rousseau selalu berfokus untuk mencari
tahu bagaimana memastikan bahwa kehendak umum dapat diekspresikan sejelas mungkin dalam
pemerintahan. Di satu titik, ia selalu bertujuan mencari cara bagaimana membuat masyarakat
sedemokratis mungkin. Dengan demikian, tinjauan pemikiran Rousseau mengenalkan dengan
kuat gagasan mengenai “persetujuan dari yang diperintah”. Rousseau banyak diakui sebagai
salah satu pelopor dalam konsepsi demokrasi kontemporer karena prinsip-prinsip modern hak
asasi manusianya. Hal ini jauh berbeda dengan Hobbes yang beranggapan bahwa sistem
pemerintahan yang ideal haruslah memiliki apa yang disebut sebagai “hak esensial kedaulatan”
(essential rights of sovereignty) dalam tubuh pemerintahannya, yang dapat diandalkan secara
efektif. Hak-hak ini secara nyata dipegang dan diaktualisasikan badan-badan oposisi dalam
struktur pemerintahan, dalam rangka mengoreksi penilaian dan kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA

Ashford, E., & Mulgan, T. (2018). Contractualism (Stanford Encyclopedia of Philosophy).


Retrieved May 24, 2021, from Stanford.edu website:
https://plato.stanford.edu/entries/contractualism/#WhaCon
Bertens, Kees., Ohoitmur, Johanis., & Dua, Mikhael. (2018). Pengantar Filsafat.
Yogyakarta: PT. Kanisius Yogyakarta.
Darwall, Stephen. (2003). Contractariansim/Contractualism. Oxford: Blackwell
Publishing.
Gauthier, David. (1986). Morals by Agreement. New York: Oxford University Press.
Graham, Gordon. (2015). Teori-Teori Etika: Eight Theories of Ethics . Bandung: Nusa Media.
Hadiwijono, Harun. (1980). Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius.
Harman, Gilbert. (1975). Moral Relativism Defended. The Philosophical Review 84, no. 1:
3–22. URL: http://www.jstor.org/stable/2184078
Magnis-Suseno, Franz. (2003). Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Magee, Bryan. (2001). The Story of Philosophy. London: Dorling Kindersley Limited.
Rousseau, J. J. (1754). A Discourse Upon the Origin and Foundation of the Inequality among
Mankind. London: Pallmall.
Rousseau, J. J. (1986). Kontrak Sosial (Terj.) Sumardjo. Jakarta: Erlangga.
Southwood, Nicholas. (2013). Contractualism and the Foundations of Morality. Oxford:
Oxford University Press.

Anda mungkin juga menyukai