Anda di halaman 1dari 18

PERAN KULTUR SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN MOTIVASI

BELAJAR DAN PRESTASI BELAJAR SISWA


Oleh: Syamsudin
Dosen Program Studi Pendidikan Agama Islam (Tarbiyah)
Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
E-Mail: syamhs@ymail.com

ABSTRACT
Kultur sekolah (school culture) merupakan salah satu faktor penunjang dalam
menentukan intensitas usaha untuk memotivasi belajar. Kultur sekolah juga dapat
dipandang sebagai suatu usaha yang membawa siswa ke arah pengalaman
belajar sehingga dapat menimbulkan tenaga dan aktivitas serta memusatkan
perhatiannya pada suatu waktu tertentu untuk mencapai suatu tujuan. Beberapa
penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli pendidikan mengungkapkan bahwa
kultur sekolah memiliki hubungan yang positif, baik dengan motivasi belajar
siswa (student motivation) maupun prestasi belajar siswa (academic achievement)
Key Words: School Culture, Student Motivation, Academic Achievement

A. Pendahuluan
Kultur (budaya) merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh suatu
kelompok masyarakat, yang di dalamnya mencakup cara berpikir, perilaku, sikap,
nilai yang tercermin baik dalam wujud fisik maupun non fisik (abstrak). Menurut
Schein (1992: 12) budaya adalah artifak, aturan, nilai-nilai, prinsip dan asumsi
dasar yang dapat mengarahkan perilaku suatu organisasi. Selanjutnya, Schein
menyebutkan bahwa kebudayaan terbentuk dari tiga unsur yang membentuk
pengertian dasar mengenai budaya organisasi, yaitu: artifacts, espoused values,
dan basic underlying assumptions.
Artifacts merupakan sesuatu hal yang membentuk sebuah kebudayaan dan
mengungkapkan segala hal terhadap kebudayaan tersebut kepada pihak lain yang
mengamati, di antaranya terdapat produk, jasa dan pola perilaku dari anggota-
anggota organisasi. Espoused values yaitu sebab-sebab yang disampaikan oleh
suatu organisasi tentang cara-cara yang dilakukan untuk mengerjakan sesuatu,
mengapa mereka melaksanakannya dengan cara seperti itu. Dengan demikian,
espoused values ini merupakan tujuan dan strategi. Sementara, basic underlying
assumptions merupakan kepercayaan-kepercayaan yang diyakini kebenarannya
oleh para anggota organisasi. Hal ini meliputi kepercayaan, persepsi, perasaan,
dan sebagainya yang menjadi nilai serta tindakan.
Kultur juga dapat dilihat sebagai suatu perilaku, nilai-nilai, sikap dan cara
hidup untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan dan sekaligus cara untuk
memandang persoalan dan bagaimana cara memecahkannya. Oleh karena itu,
suatu kultur secara alami akan diwariskan oleh satu generasi kepada generasi
berikutnya. Dalam hal ini, sekolah (lembaga pendidikan) merupakan lembaga
utama yang didesain untuk memperlancar proses transmisi kultural antargenerasi
tersebut.
Semula, kultur suatu bangsa (bukan kultur sekolah) diduga sebagai faktor
yang paling menentukan mutu sekolah. Tetapi, pelbagai penelitian menemukan
bahwa pengaruh kultur bangsa terhadap prestasi pendidikan tidak sebesar yang
diduga selama ini. Bukti terakhir, hasil TIMSS (The Third International Math and
Science Study) menunjukkan bahwa siswa dari Jepang dan Belgia sama-sama
menempati rangking atas untuk mata pelajaran matematika, padahal kultur kedua
negara tersebut berbeda. Oleh karena itu, para peneliti pendidikan lebih fokus
pada kultur sekolah, bukannya kultur masyarakat secara umum, sebagai salah satu
faktor penentu mutu sekolah (Anonim, http:/www.pakguruonline.pendidikan.net/
paradigma pdd ms depan 36.html).
Penelitian di atas sesuai dengan temuan-temuan mutakhir penelitian di bidang
pendidikan yang menekankan bahwa faktor penentu kualitas pendidikan tidak
hanya dalam bentuk fisik, seperti keberadaan guru yang berkualitas, kelengkapan
peralatan laboratorium dan buku perpustakaan, tetapi juga dalam bentuk non-fisik,
yakni berupa kultur sekolah.
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan Hanushek misalnya, menunjukkan
bahwa pendekatan konvensional dalam meningkatkan mutu dengan menyediakan
dana untuk meningkatkan kualitas serta kuantitas variabel input, seperti pelatihan
guru, penyediaan buku teks, penyediaan fasilitas pendidikan yang lain, tidaklah
menghasilkan sebagaimana yang diinginkan. Oleh karena itu, agar mutu
meningkat, selain dilakukan secara konvensional sebagaimana selama ini telah
dilaksanakan perlu diiringi pula dengan pendekatan inkonvensional, yaitu
meningkatkan mutu dengan sasaran mengembangkan kultur sekolah (Anonim,
http:/www.pakguruonline.pendidikan.net/paradigma pdd ms depan 36.html).
Kultur sekolah merupakan salah satu faktor penunjang dalam menentukan
intensitas usaha untuk memotivasi belajar. Kultur sekolah juga dapat dipandang
sebagai suatu usaha yang membawa siswa ke arah pengalaman belajar sehingga
dapat menimbulkan tenaga dan aktivitas serta memusatkan perhatiannya pada
suatu waktu tertentu untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu, sekolah harus
mempunyai misi menciptakan kultur sekolah yang menantang dan menyenangkan,
adil, kreatif, terintegratif dan dedikatif terhadap pencapaian visi, menghasilkan
lulusan yang berkualitas tinggi dalam perkembangan intelektualnya dan
mempunyai karakter yang tangguh.
Salah satu keunikan dan keunggulan sebuah sekolah adalah adanya kultur
lembaga yang kokoh dan tetap eksis. Perpaduan semua unsur, baik siswa, guru,
dan orangtua, yang bekerjasama dalam menciptakan komunitas yang lebih baik
melalui pendidikan berkualitas serta bertanggungjawab dalam meningkatkan mutu
pembelajaran, menjadikan sebuah sekolah unggul dan favorit di masyarakat.
Akan tetapi, belakangan ini sering terdengar berita yang tidak baik tentang
dunia pendidikan. Secara ekstrem, berita tersebut bahkan menunjukkan hilangnya
kultur di sekolah. Fenomena ini seakan memberikan gambaran tentang semakin
biasnya penerapan kultur sekolah atau akademik dan pembentukan karakter
(character building) siswa. Seharusnya, pendidikan menjadi kekuatan untuk
merubah ketidak-beraturan ke arah keteraturan, kebobrokan moral menuju
akhlakul karimah dan kekeringan spiritual ke arah power of spiritualism.

B. Kultur Sekolah
Kultur sekolah adalah seluruh pengalaman psikologis para siswa, baik dalam
konteks sosial, emosional dan intelektual, yang diserap oleh mereka selama
berada dalam lingkungan sekolah. Cara-cara guru dan personil sekolah lainnya
merupakan hal-hal yang cenderung mengundang respons psikologis siswa dalam
keseharian. Sebagai contoh misalnya, layanan wali kelas dan tenaga administratif,
implementasi kebijakan sekolah, kondisi dan layanan kantin sekolah, penataan
keindahan, kebersihan dan kenyamanan sekolah. Semua hal-hal itu membentuk
kultur sekolah.
Menurut Schein (1992: 16), kultur sekolah adalah suatu pola asumsi dasar
hasil invensi, penemuan atau pengembangan oleh suatu kelompok tertentu saat ia
belajar mengatasi masalah-masalah yang telah berhasil baik serta dianggap valid,
dan pada akhirnya hal itu diajarkan ke warga baru sebagai cara-cara yang benar
dalam memandang, memikirkan dan merasakan masalah-masalah tersebut.
Selain pernyataan Schein tersebut, Zamroni (2003: 149) mengemukakan jika
kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma, ritual, mitos yang dibentuk dalam
perjalanan panjang sekolah juga disebut kultur sekolah. Kultur sekolah ini
dipegang bersama oleh Kepala sekolah, guru, staf aministrasi dan siswa sebagai
dasar mereka dalam memahami dan memecahkan pelbagai persoalan yang muncul
di sekolah. Dengan demikian, sekolah menjadi wadah utama dalam transmisi
kultural antargenerasi.
Stolp dan Smith mengatakan bahwa kultur sekolah merupakan hal-hal yang
sifatnya historis dari pelbagai tata hubungan yang ada dan hal-hal tersebut telah
diinternalisasikan oleh warga sekolah (Stolp, 1994, http://eric.uoregon.edu/
publications/digests/digest091.html). Sedangkan, pengertian kultur sekolah yang
dikemukakan Deal dan Peterson (1999: 4) ialah sekumpulan nilai yang melandasi
perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh
Kepala sekolah, guru, petugas administrasi, siswa dan masyarakat sekitar sekolah.
Kultur sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak dan citra sekolah tersebut
di masyarakat luas.
Berangkat dari beberapa definisi yang telah sampaikan di atas dapat diketahui
bahwa kultur sekolah adalah tatanan nilai, kebiasaan, kesepakatan-kesepakatan
yang direfleksikan dalam tingkah laku keseharian, baik perorangan maupun
kelompok yang merupakan bagian dari respons psikologis “penghuni sekolah”
terhadap peristiwa kehidupan keseharian yang terjadi di sekolah.
Dengan pengertian tersebut maka kultur sekolah tidaklah statis, tetapi justru
dinamis. Hal ini sesuai dengan apa yang telah dikatakan oleh Finnan, sebagaimana
dikutip Hinde (http://www.usca.edu/essays/vol122004/hinde.pdf), bahwa kultur
sekolah bukan suatu entitas statis. Proses pembentukan norma, nilai dan tradisi
sekolah akan terus berlangsung melalui interaksi dan refleksi terhadap kehidupan
dan dunia secara umum.
Menurut Jumadi (2006: 22), kultur sekolah dibagi menjadi tiga, yaitu: (1)
kultur yang bersifat positif, (2) kultur yang bersifat negatif, dan (3) kultur yang
netral. Pertama, kultur yang bersifat positif merupakan kultur yang mendukung
peningkatan mutu pendidikan. Sebagai contoh misalnya: kerjasama dalam
mencapai prestasi, penghargaan terhadap yang berprestasi, komitmen terhadap
belajar, saling percaya antarwarga sekolah, menjaga sportivitas dan sebagainya.
Hanson dan Childs (1998: 15) menggambarkan sekolah dengan suatu iklim
sekolah yang positif sebagai a place where students and teachers like to be (suatu
tempat di mana siswa dan guru saling berbagi dan mereka menggunakan
ketulusan hati dalam proses belajar). Apabila norma-norma dasar pembelajaran
seperti persahabatan, kegembiraan dalam proses belajar yang menyenangkan (fun
and enjoy learning), manajemen yang terbuka, aturan yang ditegakkan serta visi-
misi sekolah yang terdistribusi dengan baik dalam segenap benak komunitas
sekolah, maka sekolah tersebut dapat dikatakan memiliki ciri-ciri kultur sekolah
yang positif.
Kedua, kultur yang bersifat negatif merupakan kultur yang menghambat
peningkatan mutu pendidikan. Banyaknya jam pelajaran yang kosong, siswa takut
berbuat salah, siswa takut bertanya atau mengemukakan pendapat, warga sekolah
saling menjegal atau menjatuhkan, persaingan yang tidak sehat antarsiswa,
perkelahian antarsiswa atau antarsekolah, penggunaan minuman keras dan obat-
obat terlarang, pornografi dan sebagainya merupakan contoh-contoh dari kultur
sekolah yang negatif.
Menurut Peterson dan Deal (1998: 29), sebuah sekolah dapat dicirikan
memiliki kultur sekolah yang negatif jika di lembaga tersebut terdapat indikator-
indikator sebagaimana disebutkan di atas. Selain itu, adanya penolakan dari guru
dan manajemen sekolah untuk melakukan praktik pembelajaran yang berpusat
pada kebutuhan dasar siswa, diayomi dan dilayani sesuai dengan bakat dan
minatnya juga merupakan indikator lain dari kultur sekolah yang negatif.
Ketiga, kultur sekolah yang bersifat netral ialah kultur yang tidak mendukung
maupun tidak menghambat peningkatan mutu pendidikan. Dalam pengertian lain,
kultur ini cenderung berada di tengah-tengah dari kedua kultur sebelumnya.
Sebagai contoh misalnya arisan keluarga atau warga sekolah, seragam guru,
seragam karyawan dan lain sebagainya.
Bagaiamanapun, kultur sekolah yang kondusif dapat dimanifestasikan dalam
sikap dan perilaku guru, siswa dan Kepala sekolah dalam perilaku sehari-hari.
Dalam arti lain, Kepala sekolah dan tenaga kependidikan lainnya dapat
memberikan contoh atau keteladanan dalam perilaku di sekolah yang mengarah
kepada kultur sekolah yang kondusif. Penekanan pada aspek ini merupakan suatu
langkah yang cukup signifikan, mengingat kultur sekolah tetap akan dipengaruhi
oleh banyak faktor, seperti: antusiasme guru dalam mengajar dan penguasaan
materi yang diajarkan; kedisiplinan sekolah dan proses belajar mengajar; jadwal
yang ditepati; sikap guru terhadap siswa; dan kepemimpinan Kepala sekolah.
Perlu diketahui jika kultur sekolah yang ada pada suatu sekolah tidak terlepas
dari struktur dan pola atau gaya kepemimpinan Kepala sekolah. Perubahan kultur
sekolah yang lebih sehat harus dimulai dari kepemimpinan Kepala sekolah. Dalam
hal ini, kultur sekolah sangat berkaitan erat dengan visi yang dimiliki oleh Kepala
sekolah. Dengan demikian, seorang Kepala sekolah yang memiliki visi untuk
menghadapi tantangan sekolah di masa depan akan lebih sukses di dalam
membangun kultur sekolah yang dipimpinnya.
Pernyataan di atas menandakan begitu pentingnya peran visi seorang Kepala
sekolah dalam membangun kultur sekolah. Karena itu, suatu kultur sekolah yang
dibangun Kepala sekolah akan menjadi baik jika ia mampu memenuhi beberapa
hal: pertama, Kepala sekolah dapat berperan sebagai model. Kedua, Kepala
sekolah mampu membangun tim kerjasama. Ketiga, Kepala sekolah mau belajar
dari guru, staf dan siswa. Keempat, Kepala sekolah memahami kebiasaan yang
baik untuk terus dikembangkan.
Dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut maka Kepala sekolah dan guru
harus mampu memahami kondisi yang ada di lingkungan sekolahnya. Pemahaman
terhadap lingkungan secara spesifik akan memberi perspektif dan kerangka dasar
untuk melihat, memahami dan memecahkan pelbagai problem yang terjadi di
sekolah. Dengan demikian, Kepala sekolah dan guru akan memiliki nilai-nilai dan
sikap yang diperlukan dalam menjaga dan memberikan lingkungan yang kondusif
bagi berlangsungnya proses pendidikan.

C. Motivasi Belajar
Motivasi merupakan suatu hal yang sangat penting bagi setiap kehidupan
seseorang dalam setiap aktivitasnya untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Menurut Wahjosumidjo (1987: 174), motivasi adalah suatu proses psikologis yang
mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi dan keputusan yang
terjadi pada diri seseorang untuk bertingkah laku dalam rangka memenuhi
kebutuhan yang dirasakan. Sedangkan, Gerungan (1991: 140) berpendapat bahwa
motivasi adalah penggerak, alasan-alasan atau dorongan dalam diri manusia yang
menyebabkan dirinya melakukan suatu tindakan atau bertingkah laku.
Berdasarkan pada beberapa pengertian di atas, maka dapat dikatakan bahwa
motivasi adalah suatu penggerak atau dorongan yang terdapat di dalam diri
seseorang yang dapat menimbulkan, mengarahkan dan mengorganisasikan
tingkah lakunya. Dorongan atau penggerak ini terkait dengan upayanya untuk
memenuhi kebutuhan yang dirasakan, baik fisik maupun psikisnya (rohani).
Demikianlah pengertian motivasi yang dimaksud dalam tulisan ini. Lantas,
apa pengertian motivasi belajar itu? Menurut Hudoyo (1995: 24), motivasi belajar
adalah dorongan untuk mempelajari sesuatu dengan sungguh-sungguh sehingga
memiliki pengertian yang lebih mendalam dalam bidang tersebut untuk
memperoleh kepandaian. Sedangkan Nashar (2004: 42) menyebut motivasi belajar
sebagai kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan diri secara optimal
sehingga mampu berbuat yang lebih baik, berprestasi dan kreatif.
Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya
penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar. Motivasi
tersebut dapat menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberikan arah
pada kegiatan belajar sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subyek belajar itu
dapat tercapai (Sardiman, 2004: 75). Dengan pengertian-pengertian tersebut maka
motivasi belajar dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak psikis di
dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar. Selain itu, motivasi belajar
juga dapat menjamin kelangsungan kegiatan belajar seseorang dan memberikan
arah pada kegiatan belajar demi mencapai suatu tujuan.
Ditinjau dari segi fungsinya, motivasi dapat berfungsi sebagai pendorong
usaha dan pencapaian prestasi seseorang untuk melakukan suatu usaha tertentu.
Adanya motivasi yang baik akan menunjukkan hasil yang baik. Dengan kata lain,
adanya usaha yang tekun dan terutama didasari adanya motivasi, maka seseorang
yang belajar akan mendapatkan prestasi yang baik. Dalam konteks ini, intensitas
motivasi seorang siswa akan sangat menentukan tingkat pencapaian belajarnya.
Crow dan Crow, sebagaimana dikutip oleh Tabrani (1994: 121), memperjelas
pentingnya motivasi dalam belajar. Menurut mereka, belajar harus diberi motivasi
dengan pelbagai cara sehingga minat yang dipentingkan dalam kegiatan belajar itu
dapat dibangun dari minat yang ada pada diri anak. Berdasar pada hal ini maka
jelas adanya manfaat motivasi yang begitu besar bagi kegiatan belajar mengajar.
Menurut Tim MKDK IKIP Surabaya (1995: 81), setidaknya terdapat lima manfaat
motivasi dalam proses kegiatan belajar mengajar. Pertama, motivasi bisa memberi
semangat terhadap siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran yang
dilaksanakan.
Kedua, motivasi perbuatan merupakan pemilihan dari tipe kegiatan di mana
seseorang berkeinginan untuk melakukan kegiatan tersebut. Ketiga, motivasi bisa
memberi petunjuk pada tingkah laku belajar. Keempat, motivasi bisa menentukan
tingkat keberhasilan atau kegagalan kegiatan pembelajaran siswa. Kelima,
motivasi dapat berfungsi sebagai pendorong dalam usaha pencapaian prestasi dan
hasil belajar yang diharapkan.
Motivasi belajar dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu: motivasi intrinsik
dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik ialah motivasi yang berasal dari dalam
diri individu yang bersangkutan untuk melakukan tindakan. Motivasi ini tumbuh
dari dalam diri anak sendiri. Oleh karena itu, motivasi semacam ini sering disebut
sebagai motivasi murni atau motivasi yang sebenarnya (sound motivation).
Sebagai contoh misalnya: siswa yang tekun belajar karena ingin memperoleh ilmu
pengetahuan.
Sedangkan, motivasi ekstrinsik, yaitu motivasi yang berasal dari luar individu
yang bersangkutan. Motivasi semacam ini berfungsi karena disebabkan oleh
adanya faktor pendorong dari luar individu. Siswa rajin belajar untuk mendapat
penghargaan dari teman-teman sebaya dan guru apabila usahanya itu berhasil
dengan baik merupakan contoh dari motivasi ekstrinsik.
Bagaimanapun, salah satu prinsip utama dalam kegiatan pembelajaran adalah
peran serta siswa dalam mengambil bagian atau peranan di setiap proses kegiatan
belajar mengajar yang dilaksanakan. Di sini, siswa harus mempunyai motivasi
belajar sehingga dengan adanya hal itu ia akan menunjukkan minat, aktivitas dan
partisipasinya dalam proses pembelajaran yang diikutinya. Dengan demikian,
motivasi mempunyai peranan dan manfaat yang sangat penting dalam
kelangsungan dan keberhasilan belajar yang dilaksanakan oleh setiap individu.
Semakin tinggi motivasi belajar yang dimiliki siswa maka akan semakin tinggi/
besar pula prestasi dan hasil belajar yang akan dicapainya.
Ada beberapa unsur yang mempengaruhi motivasi belajar, antara lain: cita-
cita, kemampuan, kondisi dan suasana lingkungan belajar siswa. Dengan adanya
cita-cita, maka siswa akan mempunyai arah dan tujuan yang mampu
mengkonsolidasikan seluruh pikiran dan perasaan serta tindakannya agar
mengarah pada terwujudnya suatu keinginan. Kemampuan siswa merupakan
kemampuan intelektual akademik yang dimiliki oleh siswa yang digunakan untuk
mengolah dan memproses informasi yang diperolehnya menjadi pengetahuan.
Sedangkan, kondisi siswa meliputi kondisi fisik, psikis dan indera yang akan
mempengaruhi diri dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan
dan lingkungan belajar adalah tempat berlangsungnya kegiatan belajar yang
mendapatkan pengaruh dari luar terhadap keberlangsungan kegiatan tersebut.

D. Prestasi Belajar Siswa


Sebelum membahas tentang pengertian prestasi belajar siswa, terlebih dahulu
akan dikemukakan apa yang dimaksud dengan kata belajar itu sendiri. Hal ini
dipandang penting, mengingat pengertian yang dikemukakan oleh para pakar
pendidikan tentang pengertian kata ini berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Namun demikian, semuanya selalu mengacu pada prinsip yang sama yaitu setiap
orang yang melakukan proses belajar akan mengalami suatu perubahan di dalam
dirinya.
Menurut Slameto (1995: 2), belajar merupakan proses usaha yang dilakukan
oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya. Selanjutnya, Winkel (1996: 53) menyatakan bahwa belajar adalah
suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi yang aktif dengan
lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan,
pemahaman, keterampilan dan nilai sikap. Perubahan-perubahan yang dimaksud
itu lebih bersifat relatif konstan. Sementara, Hamalik (1983: 28) mendefinisikan
belajar sebagai suatu pertumbuhan atau perubahan di dalam diri seseorang yang
dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan
latihan.
Lantas, apa yang dimaksud dengan prestasi itu? Di sini, kata prestasi dapat
diartikan sebagai hasil yang diperoleh karena adanya aktivitas belajar yang telah
dilakukan. Dengan dasar pengertian ini maka kemampuan intelektual siswa sangat
menentukan keberhasilannya dalam memperoleh prestasi. Untuk mengetahui
berhasil tidaknya seseorang dalam belajar maka perlu dilakukan suatu evaluasi.
Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk mengetahui prestasi yang diperoleh siswa
setelah proses belajar mengajar berlangsung.
Berangkat dari kedua definisi di atas, maka prestasi belajar dapat dimaknai
sebagai suatu hasil belajar yang dicapai ketika siswa mengikuti dan mengerjakan
tugas kegiatan pembelajaran di sekolah. Penilaian prestasi siswa ini ditekankan
pada aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Ketiga ranah inilah yang harus
dinilai oleh para guru di sekolah. Sebab, ketiganya berkaitan dengan kemampuan
siswa dalam menguasai isi bahan pengajaran. Lazimnya, hasil prestasi belajar
ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru.
Dalam rangka mencapai prestasi belajar sebagaimana yang diharapkan, maka
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hal itu perlu selalu diperhatikan
dengan baik. Faktor-faktor yang dimaksud itu meliputi faktor yang terdapat dalam
diri siswa (faktor intern) dan faktor yang terdiri dari luar siswa (faktor ekstern).
Faktor-faktor yang berasal dari dalam diri siswa lebih bersifat biologis. Sedangkan
faktor yang berasal dari luar diri siswa antara lain adalah faktor keluarga, sekolah,
masyarakat dan kultur sekolah (lingkungan sekolah).
Pertama, faktor intern adalah faktor yang timbul dari dalam diri individu itu
sendiri. Faktor intern yang dimaksud itu meliputi kecerdasan atau intelegensi,
bakat, minat dan motivasi. Kecerdasan merupakan kemampuan belajar disertai
kecakapan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapinya.
Kemampuan ini sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya intelegensi yang normal
dan selalu menunjukkan kecakapan sesuai dengan tingkat perkembangan sebaya.
Adakalanya perkembangan ini ditandai oleh kemajuan-kemajuan yang
berbeda antara satu anak dengan yang lainnya. Karenanya tidak heran apabila
terdapat seorang anak pada usia tertentu sudah memiliki tingkat kecerdasan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan teman sebayanya. Dengan uraian ini semakin
jelas bahwa faktor intelegensi merupakan suatu hal yang tidak dapat diabaikan
dalam kegiatan belajar mengajar.
Sejalan dengan hal tersebut, Kartono (1995: 1) menyatakan bahwa kecerdasan
adalah salah satu aspek yang penting dan sangat menentukan berhasil tidaknya
studi seseorang. Jika seorang murid mempunyai tingkat kecerdasan normal atau di
atas normal maka secara potensi ia bisa mencapai prestasi yang tinggi. Sementara,
Slameto (1995: 56) juga mengatakan bahwa tingkat intelegensi yang tinggi akan
lebih berhasil daripada yang mempunyai tingkat intelegensi rendah. Dua pendapat
ini dengan tegas menyatakan intelegensi yang baik atau kecerdasan yang tinggi
merupakan faktor yang sangat penting bagi seorang anak dalam usaha belajar.
Bakat adalah kemampuan tertentu yang telah dimiliki seseorang sebagai
kecakapan pembawaan. Menurut Kartono (1995:2), bakat merupakan potensi atau
kemampuan yang apabila diberi kesempatan untuk dikembangkan melalui belajar
akan menjadi kecakapan nyata. Dengan demikian, tumbuhnya keahlian tertentu
pada diri seseorang sangat ditentukan oleh bakat yang dimilikinya. Bakat yang
dimiliki seseorang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya prestasi belajarnya
dalam bidang-bidang studi tertentu. Dalam proses belajar, terutama belajar
keterampilan, bakat memegang peranan penting dalam mencapai suatu hasil atau
prestasi yang baik.
Selain bakat dan kecerdasan, faktor intern lainnya juga mencakup minat
seseorang. Menurut Winkel (1996: 24), minat ialah kecenderungan yang menetap
dalam subyek untuk merasa tertarik pada bidang atau hal tertentu dan merasa
senang berkecimpung dalam bidang tersebut. Sedangkan, minat dalam pandangan
Slameto (1995: 57) adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan
mengenang beberapa kegiatan-kegiatan yang diminati seseorang dan diperhatikan
terus yang disertai dengan rasa sayang.
Dua pernyataan di atas telah memberikan penegasan bahwa pengaruh minat
sangat besar bagi proses belajar seseorang. Bahkan, pelajaran yang menarik minat
siswa akan lebih mudah dipelajari dan diingat. Minat belajar yang telah dimiliki
siswa merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi hasil belajarnya.
Apabila seseorang mempunyai minat yang tinggi terhadap sesuatu hal maka ia
akan terus berusaha untuk melakukannya. Dalam arti lain, dengan adanya minat
yang tinggi, apa yang diinginkan oleh seseorang itu dapat tercapai.
Oleh sebab itu, keberadaan minat dapat mendorong motivasi seseorang untuk
berusaha melakukan sesuatu. Dalam konteks belajar, motivasi merupakan suatu
hal yang cukup dipandang penting. Sebab hal ini (motivasi) merupakan keadaan
yang mendorong siswa untuk melakukan kegiatan belajar. Persoalan utama yang
berhubungan dengan motivasi belajar adalah bagaimana cara mengatur agar hal
itu dapat terus ditingkatkan. Demikian pula dalam kegiatan belajar mengajar,
seorang siswa akan berhasil jika di dalam dirinya terdapat motivasi untuk belajar.
Kedua, faktor ekstern. Faktor ini ialah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
prestasi belajar yang sifatnya di luar diri siswa. Menurut Slameto (1995: 60),
faktor ekstern yang dapat mempengaruhi belajar adalah keadaan keluarga,
lingkungan masyarakat dan keadaan sekolah. Keluarga merupakan lingkungan
terkecil dalam masyarakat tempat di mana seseorang dilahirkan dan dibesarkan.
Sebagaimana yang dijelaskan Slameto (1995: 60), keluarga merupakan lembaga
pendidikan pertama dan utama.
Keluarga yang sehat sangat besar artinya bagi pendidikan anak sewaktu masih
kecil. Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama, karena di dalam
keluarga inilah pertama-tama anak mendapatkan pendidikan dan bimbingan.
Sedangkan tugas utama keluarga bagi pendidikan anak adalah sebagai peletak
dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan. Dengan demikian,
keluarga dapat disebut sebagai leading sector bagi peletakan dasar pendidikan
anak.
Selain keluarga, lingkungan masyarakat juga merupakan salah satu faktor
yang dapat memberi pengaruh besar bagi hasil belajar siswa. Dalam kehidupan
sehari-hari, anak akan lebih banyak bergaul dengan lingkungan tempatnya berada.
Terkait dengan hal ini, Kartono (1995: 5) menyatakan jika lingkungan masyarakat
dapat menimbulkan kesukaran belajar anak, terutama anak-anak yang sebayanya.
Apabila anak-anak yang sebaya merupakan anak-anak yang rajin belajar, maka ia
akan terangsang untuk mengikuti jejak mereka. Sebaliknya, bila anak-anak di
sekitarnya merupakan kumpulan anak-anak nakal yang berkeliaran, anakpun juga
dapat terpengaruh.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lingkungan ikut serta membentuk
kepribadian anak. Sebab, di dalam pergaulan sehari-hari, seorang anak akan selalu
menyesuaikan dirinya dengan kebiasaan-kebiasaan di lingkungannya. Apabila
seorang siswa bertempat tinggal di suatu lingkungan yang temannya rajin belajar
maka kemungkinan besar hal tersebut akan membawa pengaruh pada dirinya,
sehingga ia akan turut belajar seperti yang dilakukan oleh temannya itu.
Faktor eksternal lainnya yang bisa memberi pengaruh terhadap motivasi
belajar anak adalah lingkungan di sekolah. Bagaimanapun, sekolah merupakan
lembaga pendidikan formal pertama yang sangat penting dalam menentukan
keberhasilan belajar siswa. Lingkungan sekolah yang baik dapat mendorong siswa
untuk belajar yang lebih giat. Sekolah yang memiliki kultur yang baik dapat
mempengaruhi prestasi siswa. Bahkan beberapa ahli menyatakan jika kultur
sekolah yang sehat memiliki korelasi yang tinggi terhadap prestasi dan motivasi
siswa untuk berprestasi (http://www.jawapos.co.id, 2009)

E. Hubungan Antara Kultur Sekolah dengan Motivasi Belajar dan Prestasi


Belajar Siswa
Studi yang dilakukan oleh Wentzel telah mengungkapkan jika kultur sekolah
memiliki hubungan positif dengan motivasi belajar siswa. Studi yang dilakukan
Stockard dan Mayberry menyimpulkan bahwa kultur sekolah yang mencakup
ekspektasi prestasi siswa yang tinggi, lingkungan sekolah yang teratur, moral
yang tinggi, perlakuan terhadap siswa yang positif, penyertaan aktivitas siswa
yang tinggi dan hubungan sosial yang positif, ternyata memiliki korelasi kuat
dengan hasil-hasil akademik siswa (Akhmad Sudrajat dalam
wordpress.com/.../budaya-organisasi-di-sekolah/).
Studi tentang budaya sekolah yang dikemukakan Zamroni (2003: 149)
menemukan bahwa kultur yang "sehat" memiliki korelasi yang tinggi terhadap (a)
prestasi dan motivasi siswa untuk berprestasi; (b) sikap dan motivasi kerja guru;
dan (c) produktivitas dan kepuasan kerja guru. Analisis kultur sekolah sebaiknya
dilihat sebagai bagian suatu kesatuan sekolah yang utuh. Artinya, kultur sekolah
dapat dijelaskan melalui pola nilai-nilai, sikap, pikiran-pikiran dan perilaku warga
sekolah yang tercermin pada (a) motivasi berprestasi; (b) penghargaan yang tinggi
terhadap prestasi warga sekolah; (c) pemahaman terhadap tujuan sekolah; (d) visi
organisasi yang kuat; dan (e) partisipasi orangtua siswa.
Hasil penelitian Stephen Stolp yang kemudian dipublikasikan dalam ERIC
Digest menunjukkan jika budaya organisasi di sekolah (kultur sekolah) sangat
berkorelasi dengan peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa serta kepuasan
kerja dan produktivitas guru. Begitu juga, survey yang dilakukan Leslie J. Fyans,
Jr. dan Martin L. Maehr tentang pengaruh dari lima dimensi budaya organisasi di
sekolah yang meliputi tantangan akademik, prestasi komparatif, penghargaan
terhadap prestasi, komunitas sekolah dan persepsi tentang tujuan sekolah,
menunjukkan bahwa para siswa lebih termotivasi dalam belajarnya melalui
budaya organisasi di sekolah yang kuat. Sementara itu, studi yang dilakukan Jerry
L. Thacker and William D. McInerney terhadap skor tes siswa sekolah dasar
menunjukkan adanya pengaruh budaya organisasi di sekolah terhadap prestasi
siswa (Stolp, dalam http://eric.uoregon.edu/ publications/digests/digest091.html).
Menurut Mackenzie, sebagian besar literatur tentang sekolah efektif yang
berhasil di-review mengungkapkan bahwa kultur sekolah sangat menentukan
kesuksesan (prestasi) akademik siswa. Sementara, kesimpulan penelitian yang
dilakukan Purkey dan Smith juga menemukan bahwa sekolah efektif berkorelasi
dengan kultur sekolah yang positif dan kualitas (prestasi) akademik siswa (Ron
1992: 4).

F. Kesimpulan
Sekolah merupakan tempat berlangsungnya kegiatan belajar mengajar. Belajar
dan mengajar tidak hanya dimaknai sebagai kegiatan transfer ilmu pengetahuan
dari guru ke siswa, tetapi lebih dari itu. Pelbagai kegiatan, seperti: bagaimana
membiasakan seluruh warga sekolah disiplin dan patuh terhadap peraturan yang
berlaku, saling menghormati, membiasakan hidup bersih dan sehat serta memiliki
semangat berkompetisi secara fair dan sejenisnya, merupakan kebiasaan yang
harus ditumbuhkan di lingkungan sekolah sehari-hari. Sekolah hendaknya juga
berusaha mewujudkan kultur atau budaya sekolah yang selalu menghidupkan
nilai-nilai keislaman, mendorong siswa untuk senantiasa berusaha agar maju
dalam setiap pelajaran, mengingatkannya untuk selalu berbakti kepada orangtua
dan guru, dan lain sebagainya.
Kultur yang dikembangkan pada setiap sekolah bisa memiliki efek positif
terhadap proses belajar mengajar. Sebaliknya, kultur sekolah juga memiliki efek
negatif serta menghalangi berfungsinya sebuah sekolah. Kultur sekolah yang
positif seharusnya diciptakan di sekolah. Hal ini sepenuhnya bukan merupakan
tanggung jawab dari Kepala sekolah saja, namun juga merupakan tanggungjawab
dari seluruh komponen yang ada di sekolah. Apabila seluruh komponen sekolah
dapat diarahkan pada penciptaan kultur sekolah yang positif secara maksimal,
tanpa mengesampingkan tujuan yang lain, maka diharapkan seluruh siswa akan
mempunyai minat, perhatian dan motivasi belajar yang lebih tinggi. Motivasi ini
dapat memberikan gairah, semangat dan rasa senang dalam hal belajar dan pada
akhirnya akan mencapai prestasi belajar yang memuaskan.
Kultur sekolah yang kondusif dapat dimanifestasikan dalam sikap dan
perilaku guru, siswa dan Kepala sekolah dalam perilaku sehari-hari. Kepala
sekolah dan tenaga kependidikan lainnya dapat memberikan contoh atau
keteladanan dalam perilaku di sekolah yang mengarah kepada kultur sekolah yang
kondusif. Pengembangan kultur sekolah yang kondusif dapat dilakukan oleh
kepala sekolah karena kultur sekolah berkaitan erat dengan visi yang dimiliki oleh
Kepala sekolah tentang masa depan sekolah. Kepala sekolah yang memiliki visi
untuk menghadapi tantangan sekolah di masa depan akan lebih sukses dalam
membangun kultur sekolah yang sehat.
Kultur sekolah yang sehat tidak dapat dibentuk secara instan, namun
membutuhkan proses yang panjang dan berkesinambungan dengan melibatkan
seluruh warga sekolah, termasuk orangtua siswa. Pelibatan seluruh warga sekolah
untuk mewujudkan kultur yang kondusif harus selalu diusahakan, ditingkatkan
dan dikaji sesuai dengan dinamika yang ada. Sosialisasi pelbagai program sekolah
dan kultur diharapkan menjangkau seluruh warga sekolah dan orangtua siswa.
Salah satu harapan dikembangkannya kultur sekolah ialah bisa meningkatkan
motivasi belajar siswa. Karena motivasi belajar merupakan faktor utama terhadap
berhasil atau tidaknya suatu proses pembelajaran. Kultur sekolah masuk dalam
faktor pendukung berhasil atau tidaknya suatu proses pembelajaran tersebut.
Sebab, lingkungan tempat belajar, seperti: penataan keindahan, kebersihan dan
kenyamanan sekolah, juga sangat berpengaruh dalam suatu proses pembelajaran.
Dengan tumbuhnya motivasi belajar pada diri siswa, diharapkan ia akan berhasil
dalam belajarnya dan pada akhirnya mendapatkan prestasi belajar yang tinggi.
Untuk mencapai prestasi belajar siswa sebagaimana yang diharapkan, perlu
diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar, antara lain:
faktor yang terdapat dalam diri siswa (faktor intern) dan faktor yang terdiri dari
luar siswa (faktor ekstern). Faktor-faktor yang berasal dari dalam diri siswa lebih
bersifat biologis, sedangkan faktor yang berasal dari luar dirinya antara lain
adalah faktor lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dan kultur sekolah
yang kondusif untuk proses belajar mengajar.

DAFTAR PUSTAKA
Deal,T. E. and Petersen, K.D. 1999. Shaping School Culture: The Heart of
Leadership. San Francisco: Jossey-Bass
Gerungan, W.A. 1991. Psikologi Sosial. Bandung: Eresco
Gilley, W Jerry and Maycunich, Ann. 2000. Beyond the Learning Organization,
Massahusetts: Perseus Books Cambridge
Hamalik, Oemar. 1983. Metoda Belajar dan Kesulitan-Kesulitan Belajar.
Bandung: Tarsito
Hamzah, B. Uno. 2007. Model Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara
Hanson, J. M. and Childs, J. 1998. “Creating a School Where People Like To Be”
dalam Educational Leadership 56 (1), 14-17
Hudoyo, Herman. 1995. Strategi Belajar Mengajar. Surabaya: Usaha Nasional
Jumadi. 2006. "Peranan Kultur Sekolah terhadap Kinerja Guru, Motivasi
Berprestasi dan Prestasi Akademik Siswa". dalam Jurnal Penelitian. Vol.
1, No. 1
Kartini Kartono. 1995. Psikologi Anak. Bandung; Mandar Maju
Nashar. 2004. Peranan Motivasi dan Kemampuan Awal dalam Kegiatan
Pembelajaran. Jakarta: Delia Press
Peterson, A.M. and Skiba, R. 2001. "Creating school Climates that Prevent School
Violence". dalam The Social Studies, 92 (4), 167-175.
Peterson, K. and Deal T. 1998. "How Leaders Influence the Culture of Schools".
dalam Educational Leadership 56 (1), 28-30
Renchler, Ron. 1992. Student Motivation, School Culture and Academic
Achievement. Oregon: Eric Clearinghouse on Educational Management
Sardiman. 2004. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
Schein, H. 1992. Organizational Culture and Leadership. San Francisco: Jossey-
Bass Publisher
Slameto. 1995. Belajar dan Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka
Cipta
Slavin, Robert E. 1995. Cooperative Learning: Theory, Research and Practice.
Needham Heights, Massachusetts: Allyn and Bacon
Suryabrata, Sumardi. 1990. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali
Tabrani, A. R. 1994. Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung:
Rosdakarya
Tim MKDK IKIP Surabaya. 1995. Belajar dan Pembelajaran II. Surabaya:
University Press
Wahjosumidjo. 1987. Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: PT. Galia Indonesia
Winkel, W.S. 1996. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Gramedia
Zamroni. 2003. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf
Publishing

Internet:
Hinde, Elizabeth R. School Culture and Change: an Examination of the Effects of
School Culture on the Process of Change. dalam
http://www.usca.edu/essays/vol122004/hinde.pdf. diakses bulan Januari
2010.
http://www. wordpress.com. diakses bulan Desember 2009
http://www.jawapos.co.id. diakses bulan Desember 2009
http:/www.pakguruonline.pendidikan.net/paradigmapddmsdepan 36.html. diakses
bulan Mei tahun 2010
Stolp, Stephen. 1994. "Leadership for School Culture". Eric Digest 19 June.
dalam http://eric.uoregon.edu/publications/digests/digest091.html. diakses
bulan Januari 2010.
Sudrajat, Akhmad. 2008. dalam wordpress.com/.../budaya-organisasi-di-sekolah/.
diakses bulan Januari tahun 2010

Anda mungkin juga menyukai